Sri Mulyani Akui Penerimaan Pajak Tertekan tetapi APBN Tetap Dijaga Stabil

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa penerimaan negara dari sektor perpajakan menghadapi tekanan akibat penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global. Hal ini berdampak pada penerimaan pajak dan bea cukai, yang menjadi sumber utama pendapatan negara.

Meskipun demikian, Ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus menjaga keseimbangan APBN agar tetap sehat dan berkelanjutan. “Kami akan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat dan memperkuat fondasi ekonomi nasional,” ujarnya dalam acara BRI Microfinance Outlook 2025, Kamis (30/1/2025).

Bendahara negara ini juga menegaskan, sebagai langkah antisipasi, pemerintah melakukan berbagai penyesuaian anggaran, termasuk efisiensi belanja kementerian dan lembaga negara. Anggaran yang dianggap tidak efektif, seperti perjalanan dinas dan kegiatan seremonial, akan dikurangi.

Namun, anggaran untuk program yang berdampak langsung pada masyarakat, seperti bantuan sosial dan subsidi, tetap dipertahankan.

Sri Mulyani juga meminta dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter tetap sejalan dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. (alf)

Direktur Pengemplang Pajak Kembalikan Rp 1,5 Miliar ke Kas Negara

IKPI, Jakarta: Direktur PT Dwikarya Saranamandiri, Andi Muchtar, yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pengemplangan pajak, telah mengembalikan uang senilai Rp 1,5 miliar ke kas negara. Uang tersebut disetorkan ke rekening penitipan Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok.

Kepala Seksi Intelijen Kejari Depok, M. Arif Ubaidillah, menyatakan bahwa total pengembalian uang dalam kasus ini mencapai Rp 1.586.110.468. “Rinciannya adalah pembayaran denda tindak pidana perpajakan sebesar Rp 25 juta dan pengembalian pendapatan negara sebesar Rp 1.561.110.468,” kata Arif dalam keterangan tertulis, yang diterima, Jumat (31/1/2025).

Arif menegaskan bahwa keberhasilan pemulihan pendapatan negara ini menunjukkan komitmen Kejari Depok dalam menangani tindak pidana perpajakan. “Selain tindakan penegakan hukum, kami juga terus berupaya memperbaiki sistem guna mencegah kasus serupa di masa depan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Arif mengajak seluruh pihak untuk mendukung transparansi dan optimalisasi sistem perpajakan demi kepentingan negara dan masyarakat. “Kejari Depok akan terus melakukan sosialisasi dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan guna meningkatkan kepatuhan pajak,” tambahnya.

Proses Hukum Berlanjut

Uang tersebut dikembalikan Andi saat kasusnya masih dalam tahap proses penuntutan. “Pemeriksaan telah masuk ke tahap saksi-saksi dan dalam waktu dekat akan dilakukan penuntutan,” ungkap Arif.

Andi Muchtar sebelumnya ditahan oleh Kejaksaan Negeri Depok karena diduga mengemplang pajak dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2.048.610.467.

Kasus ini awalnya diselidiki oleh Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah III Jawa Barat sebelum akhirnya dilimpahkan ke Kejari Depok untuk proses hukum lebih lanjut.

Tersangka, yang merupakan direktur perusahaan konstruksi sipil di Cilodong, Depok, diduga menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak yang tidak benar atau tidak lengkap dalam periode Januari 2017 hingga Desember 2018.

Saat ini, Andi ditahan di Rutan Cilodong selama 20 hari ke depan. Kejari Depok menegaskan akan terus mengawasi kasus ini hingga tahap penuntutan dan berkomitmen untuk memperketat pengawasan terhadap pelanggaran perpajakan di wilayah Depok. (alf)

Pagar Laut dari Aspek Pajak Bumi dan Bangunan

Akhir akhir ini ramai di perbincangkan istilah “pagar laut” di daerah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, yang kemudian menjadi isu nasional dan ramai diberitakan di media massa dan media sosial.

Barisan bambu yang disusun rapih sepanjang 30,16 kilometer di perairan laut wilayah tersebut, pasalnya bertujuan untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman abrasi dan banjir rob. Namun, keberadaanya malah menarik perhatian berbagai pihak, salah satunya adalah konsultan pajak.

Sebagai seorang konsultan pajak, isu pagar laut sangat menarik untuk dikaji dan dikupas melalui pendekatan Pajak Bumi dan Bangunan . Berdasarkan, Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pada Bab I tentang ketentuan umum: konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdapat lima elemen utama yang harus dikaji.

Pertama adalah, bumi yang mencakup permukaan tanah dan tubuh bumi di bawahnya. Wilayah yang berada di pesisir pantai juga dapat dimasukkan dalam definisi bumi, karena daerah tersebut merupakan bagian dari tanah atau kawasan pesisir yang dimiliki oleh negara atau pihak tertentu.

Kedua, mengenai bangunan yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pada kenyataannya, pagar laut hanya menancapkan batangan bambu (kontruksi ringan) yang hanya bersifat sementara, mudah dilepas atau diganti, dan tidak memiliki fondasi permanen yang mengikatnya ke tanah. Oleh karena itu, pancang bambu tidak memenuhi kriteria bangunan karena sifatnya yang sementara dan tidak permanen.

Ketiga, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, atau nilai objek pajak pengganti. Untuk hal itu, bisa juga dikaitkan dengan UU PBB pasal pasal 3.1.c yang membahas “yang bukan objek PBB”.

Salah satu objek yang tidak termasuk dalam PBB merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

Jelas sekali bahwa kekayaan alam Indonesia meliputi laut, udara, dan tanah yang merupakan sumber daya yang sangat berharga dan menjadi bagian dari warisan bangsa yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau dijual-belikan secara bebas.

Artinya, dalam hal ini laut bukanlah objek yang bisa dijual secara langsung, tetapi dikelola melalui peraturan yang bertujuan untuk konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan keamanan ekosistem laut

Keempat, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) atau surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data tentang objek pajak yang dimiliki, seperti tanah dan bangunan, kepada dinas pajak yang berwenang. Di dalam SPOP berisi informasi penting seperti identitas wajib pajak dan data lainnya.

Kelima, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan kepada wajib pajak tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan data objek pajak yang telah dilaporkan dalam SPOP.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jika statement Point 3 (Objek) tidak terpenuhi maka Point 4 (SPOP) dan 5 (SPPT) tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan “laut”, sebagai kekayaan alam negara yang tidak dapat diperdagangkan, tidak memenuhi kriteria sebagai objek pajak dalam PBB.

Oleh karena itu, tanpa objek yang dapat dikenakan pajak (seperti tanah atau bangunan), maka tidak ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi, sehingga SPOP dan SPPT tidak perlu diterbitkan.

Kesimpulannya, pagar laut dalam konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah bahwa pagar laut yang umumnya terbuat dari bambu dan bersifat sementara, tidak memenuhi kriteria bangunan tetap. Laut sebagai kekayaan alam negara juga tidak dapat diperjualbelikan, sehingga tidak dapat dihitung menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Dengan demikian, tanpa adanya NJOP maka Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak akan diterbitkan, yang berakibat pada tidak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).

Laut merupakan kekayaan alam yang sangat berharga milik bangsa Indonesia. Sebagai bagian integral dari ekosistem dan budaya, laut bukan hanya memberikan potensi ekonomi yang luar biasa, tetapi juga berfungsi sebagai penyeimbang alam yang harus dijaga dan dilestarikan.

Dengan pengelolaan yang bijaksana, laut Indonesia dapat menjadi sumber daya yang mendukung kesejahteraan rakyat, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan melindungi warisan bangsa untuk generasi mendatang. Laut Indonesia adalah aset negara yang perlu dikelola dengan penuh tanggung jawab untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Penulis : Anggota Departemen Pendidikan PP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP

Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadi penulis.

 

 

DJP Tekankan Pentingnya Menjaga Kerahasiaan Password dan Passphrase

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan seluruh Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan, untuk menjaga kerahasiaan password dan passphrase yang digunakan dalam mengakses layanan Coretax DJP. Informasi ini merupakan tanggung jawab pribadi setiap Wajib Pajak dan tidak boleh dibagikan kepada pihak lain, termasuk pihak yang tidak berwenang.

Dalam pengumuman di akun Instagram resmi DJP, dijelaskan bahwa Password dan passphrase merupakan kunci utama dalam mengakses akun perpajakan. Khusus untuk Wajib Pajak badan, penanggung jawab yang ditunjuk diimbau untuk tidak membagikan informasi ini, baik untuk akun pribadi maupun akun badan, kepada siapapun. Hal ini bertujuan untuk melindungi data perpajakan dari potensi penyalahgunaan atau kebocoran data.

“Kerahasiaan password dan passphrase adalah langkah pertama dalam menjaga keamanan data perpajakan. Kami mengimbau seluruh Wajib Pajak untuk tidak membagikan informasi ini kepada pihak lain, termasuk pihak yang tidak berwenang,” kata pengumuman tersebut.

DJP juga menekankan pentingnya kesadaran bersama dalam mewujudkan keamanan sistem perpajakan. Dengan menjaga kerahasiaan informasi akun, Wajib Pajak turut berkontribusi dalam mencegah tindakan yang dapat merugikan, seperti pencurian data atau akses tidak sah ke sistem perpajakan.

DJP berharap dengan langkah-langkah ini, seluruh Wajib Pajak dapat lebih waspada dan proaktif dalam menjaga keamanan data perpajakan. (alf)

DJP Ingatkan WP Segera Lapor SPT Tahunan 2024, Hindari Denda Administrasi!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan seluruh Wajib Pajak (WP) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak tahunan 2024. Pelaporan SPT tahunan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi guna menghindari sanksi keterlambatan dan denda administrasi.

Jadwal Batas Lapor SPT Tahunan 2024

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, batas waktu pelaporan SPT tahunan untuk tahun pajak 2024 telah ditetapkan sebagai berikut:

– Wajib Pajak Orang Pribadi: 1 Januari – 31 Maret 2025

– Wajib Pajak Badan: 1 Januari – 30 April 2025

Wajib Pajak yang melebihi batas waktu tersebut akan dikenakan denda administrasi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan pelaporan SPT dilakukan tepat waktu.

Dokumen yang Perlu Disiapkan

Untuk memudahkan proses pelaporan, berikut adalah daftar dokumen yang perlu disiapkan:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi:

– NIK dan NPWP (jika NPWP sudah terintegrasi dengan NIK, cukup gunakan NIK)

– Nomor EFIN (Electronic Filing Identification Number)

– Akun DJP Online (untuk akses pelaporan)

– Bukti Potong Pajak (jika bekerja sebagai karyawan)

– Formulir sesuai jenis penghasilan:

– Formulir 1770S (untuk penghasilan di atas Rp60 juta per tahun)

– Formulir 1770SS (untuk penghasilan di bawah Rp60 juta per tahun)

2. Wajib Pajak Badan:

– Laporan Keuangan (laba rugi, neraca, dan laporan perubahan modal)

– Penghitungan Peredaran Bruto dan Pembayaran Pajak (khusus UMKM)

– Laporan Penyampaian Country by Country Report (jika diwajibkan)

– Formulir 1770 (untuk Wajib Pajak Badan)

Sistem Pelaporan SPT Tahunan 2024

Pelaporan SPT tahun pajak 2024 masih dilakukan melalui sistem DJP Online di situs resmi [pajak.go.id](https://pajak.go.id).

Meskipun sistem modern Coretax telah dijadwalkan untuk mulai beroperasi pada awal 2025, sistem ini baru akan mencakup transaksi pajak tahun 2025 yang akan dilaporkan pada tahun 2026. Dengan demikian, pelaporan SPT tahun pajak 2024 tetap menggunakan sistem lama melalui DJP Online.

Cara Melaporkan SPT Secara Online

Berikut adalah langkah-langkah untuk melaporkan SPT secara online:

1. Akses situs DJP Online di [pajak.go.id](https://pajak.go.id).

2. Login menggunakan NPWP/NIK, kata sandi, dan kode keamanan.

3. Pilih menu “Lapor” dan klik “e-Filing”.

4. Isi formulir sesuai dengan jenis SPT.

5. Unggah dokumen pendukung (jika diperlukan).

6. Kirim SPT dan simpan bukti penerimaan elektronik (BPE).

Sanksi Keterlambatan Pelaporan

Bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan SPT sesuai jadwal, akan dikenakan denda administrasi sebagai berikut:

– Wajib Pajak Orang Pribadi: Denda Rp100.000

– Wajib Pajak Badan: Denda Rp1.000.000

Pentingnya Pelaporan Tepat Waktu

Pelaporan SPT Tahunan merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Dengan melaporkan SPT tepat waktu, Wajib Pajak tidak hanya terhindar dari denda, tetapi juga turut serta dalam mendukung sistem perpajakan yang transparan dan akuntabel.

Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak di [pajak.go.id](https://pajak.go.id). (alf)

Wajib Pajak Tetap Harus Lapor SPT Meski Tidak Bekerja, Ini Aturannya! 

IKPI, Jakarta: Setiap masyarakat yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) setiap tahunnya. Kewajiban ini berlaku bagi seluruh Wajib Pajak (WP) di Indonesia, termasuk bagi mereka yang sudah tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan.

SPT Tahunan merupakan dokumen penting yang digunakan WP untuk melaporkan perhitungan, pembayaran pajak, serta informasi terkait objek pajak dan non-objek pajak, termasuk data harta dan kewajiban. Pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk WP Orang Pribadi harus dilakukan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya tahun pajak, atau tepatnya pada bulan Maret.

Banyak WP beranggapan bahwa kewajiban pelaporan SPT hanya berlaku saat mereka memiliki penghasilan atau menjalankan usaha. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa selama status NPWP masih aktif, kewajiban pelaporan SPT tetap berlaku, meskipun tidak ada penghasilan yang dilaporkan.

Aturan bagi Wajib Pajak

Bagi WP yang sudah tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan, terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan:

1. Mengajukan Status Non-Efektif

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan status NPWP menjadi non-efektif. Dengan status ini, kewajiban pelaporan SPT tidak lagi berlaku. Namun, jika WP kembali memperoleh penghasilan, status NPWP harus diaktifkan kembali.

2. Penghapusan NPWP

Wajib Pajak dapat mengajukan penghapusan NPWP jika merasa tidak akan lagi memiliki kewajiban perpajakan. Namun, penghapusan NPWP untuk orang pribadi hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti meninggal dunia atau pindah ke luar negeri secara permanen.

3. Tetap Melaporkan SPT

Jika WP tidak ingin mengubah status NPWP menjadi non-efektif, mereka tetap wajib melaporkan SPT. Dalam hal ini, SPT dapat diisi dengan status nihil jika tidak ada penghasilan yang diperoleh.

Sanksi bagi WP yang Tidak Melaporkan SPT

Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan SPT akan dikenakan sanksi administrasi. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), WP yang terlambat melaporkan SPT Tahunan akan dikenakan denda sebesar Rp100.000 untuk WP orang pribadi dan Rp1.000.000 untuk WP badan.

DJP mengingatkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana WP bertanggung jawab penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya secara mandiri. Oleh karena itu, penting bagi WP untuk memahami dan mematuhi aturan yang berlaku guna menghindari sanksi yang memberatkan.

Bagi WP yang membutuhkan informasi lebih lanjut atau bantuan terkait pelaporan SPT, DJP menyediakan layanan konsultasi melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau melalui platform online resmi DJP. (alf)

Refleksi Kewenangan AR dalam Pengawasan Pajak Hendak Kadaluwarsa

Account Representative (AR) merupakan ujung tombak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menjembatani kepentingan Wajib Pajak (WP) dengan negara. Tugas utama AR adalah memastikan hak dan kewajiban perpajakan WP dapat terpenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun, dalam praktiknya, AR lebih menitikberatkan pada pengawasan kepatuhan kewajiban WP dibandingkan dengan pemenuhan hak WP, seperti insentif pajak atau upaya hukum atas sengketa perpajakan.

Dalam konteks pengawasan terhadap kewajiban perpajakan yang mendekati masa kadaluwarsa, peran AR menjadi sangat strategis. Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (1a) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi acuan penting dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT).

WP diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT secara mandiri, selama belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP. Namun, jika SPT yang hendak dibetulkan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan paling lama dua tahun sebelum daluwarsa penetapan.

AR dan Pengawasan SP2DK

Dalam praktiknya, pengawasan oleh AR kerap dilakukan melalui Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Surat ini meminta WP memberikan penjelasan terkait data perpajakan tertentu, sering kali diiringi dengan pembetulan SPT. Masalah muncul ketika pengawasan ini dilakukan terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa.

WP sering kali merasa “dipaksa” untuk membetulkan SPT dalam kondisi kurang bayar, tambahan kurang bayar, atau nihil, meskipun tidak sesuai dengan kondisi yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1a). Hal ini memunculkan kesan bahwa proses tersebut lebih condong kepada kepentingan administrasi DJP dibandingkan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi WP.

Usulan Perubahan Kewenangan

Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengalihkan kewenangan pengawasan terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa dari AR ke tahap pemeriksaan oleh Tim Fungsional Pemeriksa.

Dengan demikian, AR dapat lebih fokus pada tugas-tugas yang bersifat analisis, konkrit serta terpenuhinya unsur benar, lengkap dan jelas terhadap SPT WP, meningkatkan kepatuhan sukarela, dan menjalankan pengawasan secara sistematis. Hal ini juga memungkinkan AR bekerja secara lebih profesional tanpa tekanan waktu yang sempit.

Di sisi lain, pengalihan kewenangan ini akan memberikan ruang relaksasi bagi WP, sehingga mereka dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan lebih tenang dan percaya diri.

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan low enforcement yang lebih humanis, memberikan kepercayaan kepada WP, serta mendorong hubungan yang lebih harmonis antara DJP dan WP.

Pengawasan yang dilakukan oleh AR terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa memang krusial, tetapi pelaksanaannya perlu dievaluasi untuk memastikan terciptanya keadilan dan kepastian hukum.

Dengan melepas kewenangan pengawasan tersebut kepada Tim Fungsional Pemeriksa saja, diharapkan AR dapat lebih optimal dalam menjalankan tugasnya, sementara WP mendapatkan perlakuan yang lebih adil.

Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan profesionalisme DJP, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan di Indonesia.

Penulis: Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

DJP Ingatkan Penipuan dengan Akun Palsu Menyerupai Kring Pajak di Medsos X

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap akun media sosial (medsos) palsu di platform X yang menyerupai akun resmi Kring Pajak 1500200. Akun-akun ini berusaha menipu wajib pajak dengan menyamar sebagai sumber informasi perpajakan yang sah.

DJP menegaskan bahwa akun resmi mereka di X memiliki verified badge abu-abu, sebagai tanda autentikasi dari platform tersebut. Akun-akun resmi yang dapat diikuti untuk informasi perpajakan adalah, @kring_pajak dan @DitjenPajakRI.

Selain itu, beberapa unit kerja DJP juga memiliki akun resmi di media sosial masing-masing. Wajib pajak dapat memeriksa daftar lengkap akun resmi DJP melalui laman www.pajak.go.id/unit-kerja.

Wajib pajak diminta memastikan hanya berinteraksi dengan akun resmi DJP jika membutuhkan informasi terkait perpajakan.

DJP mengimbau jika masyarakat menemukan akun mencurigakan, segera laporkan agar tidak ada korban penipuan. (alf)

PKP Tertentu Wajib Gunakan e-Faktur dalam Pembuatan Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerapkan kebijakan baru terkait pembuatan Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu yang berlaku sejak16 Januari 2025. Kebijakan ini sejalan dengan implementasi sistem Coretax DJP yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan pajak.

Dalam ketentuan itu, PKP tertentu yang melakukan pembuatan Faktur Pajak dengan jumlah tertentu, sebagaimana ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, wajib menggunakan aplikasi e-Faktur. Sementara itu, PKP lainnya tetap harus membuat Faktur Pajak melalui aplikasi Coretax DJP.

Selain itu, seluruh PKP diwajibkan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai Januari 2025 dengan menggunakan aplikasi Coretax DJP.

Contoh Kasus Penerapan e-Faktur

Sebagai ilustrasi penerapan aturan baru ini, berikut beberapa contoh kasus yang dapat menjadi acuan bagi PKP dalam pembuatan Faktur Pajak:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang Tergolong Mewah
Pada 20 Januari 2025, PT ABC, yang merupakan PKP tertentu, menjual mobil 1.500 cc kepada PT DEF dengan harga jual Rp300.000.000,00 (belum termasuk PPN). Karena mobil tersebut termasuk dalam kelompok BKP yang tergolong mewah, maka PPN yang terutang dihitung dengan tarif 12% dari harga jual:
• Harga Jual: Rp300.000.000,00
• Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Rp300.000.000,00
• PPN (12% dari DPP): Rp36.000.000,00

Sebelum mengunggah Faktur Pajak ke DJP, PT ABC harus memastikan bahwa nilai PPN telah disesuaikan dengan ketentuan, karena dalam sistem e-Faktur sebelumnya nilai PPN masih tercatat sebesar Rp33.000.000,00.

2. Penyerahan BKP Selain yang Tergolong Mewah

Pada 21 Januari 2025, PT GHI, yang juga merupakan PKP tertentu, menjual komputer kepada PT JKL dengan harga jual Rp12.000.000,00 (belum termasuk PPN). Karena komputer bukan termasuk BKP yang tergolong mewah, maka PPN dihitung berdasarkan DPP yang merupakan 11/12 dari harga jual:

• Harga Jual: Rp12.000.000,00
• DPP: Rp11.000.000,00 (11/12 dari harga jual)
• PPN (12% dari DPP): Rp1.320.000,00

Sebelum mengunggah Faktur Pajak, PT GHI harus memastikan bahwa nilai DPP dan PPN sudah disesuaikan sesuai dengan aturan, karena nilai awal dalam sistem e-Faktur masih tercatat lebih tinggi.

Pentingnya Memeriksa Validitas Sertifikat Elektronik

DJP juga mengingatkan seluruh PKP untuk memastikan bahwa sertifikat elektronik mereka masih berlaku. Sertifikat yang telah kedaluwarsa harus segera diperpanjang agar tidak menghambat pembuatan Faktur Pajak melalui e-Faktur.

Dengan kebijakan ini, DJP berharap penerapan Coretax DJP dapat meningkatkan akurasi dan transparansi dalam administrasi perpajakan. PKP diharapkan segera menyesuaikan diri dengan ketentuan baru untuk menghindari kendala dalam pelaporan dan pembayaran pajak. (alf)

Proses Pembuatan Faktur Pajak Keluaran Kode 04 DPP Nilai Lain di Coretax DJP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini telah mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-1/PJ/2025) dalam pembuatan Faktur Pajak Keluaran dengan Kode Faktur 04 DPP Nilai Lain melalui sistem Coretax DJP.

Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi serta mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan dan pembayaran pajak. Berikut adalah tahapan dalam proses pembuatan Faktur Pajak Keluaran Kode 04 di sistem e-Faktur Coretax DJP:

1. Login ke Sistem Coretax DJP
Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk harus melakukan login menggunakan NIK, NPWP, atau NITKU. Setelah memasukkan kata sandi dan captcha, pengguna dapat mengakses sistem Coretax dan memilih fitur impersonasi jika bertindak atas nama wajib pajak lain.

2. Memilih Modul dan Menu Pajak Keluaran
Setelah berhasil login, pengguna perlu mengakses Modul “e-Faktur”, lalu memilih menu “Pajak Keluaran” untuk memulai pembuatan faktur.

3. Mengisi Dokumen Transaksi

• Pilih Kode Transaksi “04 DPP Nilai Lain”.
• Tentukan tanggal faktur sesuai dengan transaksi yang dilakukan.
• Isi informasi pembeli dengan memasukkan NPWP 16 digit yang secara otomatis akan menampilkan data pembeli.
• Pilih identitas tempat kegiatan usaha pembeli.

4. Merekam Detail Transaksi

• Pilih jenis transaksi, apakah berupa barang atau jasa.
• Masukkan kode penyerahan barang/jasa, nama barang/jasa, serta satuan ukur.
• Isi harga satuan, jumlah barang/jasa, dan potongan harga (jika ada).
• Centang opsi “DPP Nilai Lain” dan hitung nominalnya dengan rumus (11/12 x nilai transaksi penyerahan barang/jasa kena pajak).
• Pastikan tarif PPN 12% diterapkan secara otomatis oleh sistem.

5. Penyelesaian Faktur Pajak

• Jika ingin menyimpan konsep sebelum dikirim, pilih “Simpan Konsep”.
• Jika semua data sudah lengkap dan benar, pilih “Kirim” untuk proses lebih lanjut.
• Pilih Penyedia Penandatangan yang telah terdaftar dalam sistem DJP.
• Masukkan kata sandi penandatangan untuk melakukan Konfirmasi Tanda Tangan.

6. Status dan Persetujuan Faktur Pajak
Setelah faktur berhasil dikirim, sistem akan menampilkan Nomor Faktur Pajak secara otomatis. Jika faktur sudah disetujui (Approved), pengguna dapat melihat atau mengunduh faktur pajak.

Dengan diterapkannya PMK 131/2024 dan PER-1/PJ/2025, DJP berharap sistem pembuatan Faktur Pajak Keluaran dengan Kode Faktur 04 DPP Nilai Lain dapat berjalan lebih efektif, transparan, dan akuntabel.

Bagi wajib pajak yang mengalami kendala dalam pembuatan faktur pajak, DJP menyediakan layanan bantuan melalui portal pajak resmi atau kantor pajak terdekat. (alf)

id_ID