Lonjakan Restitusi Pajak Capai Rp 111,04 Triliun hingga Februari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat adanya lonjakan signifikan dalam realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak hingga Februari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti di Jakarta, Jumat (14/3/2025) mengungkapkan bahwa realisasi restitusi pajak hingga Februari 2025 mencapai Rp 111,04 triliun.

Sekadar informasi, angka ini mengalami peningkatan 93,11% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 57,5 triliun. Secara agregat, total realisasi restitusi sampai 28 Februari 2025 adalah sebesar Rp 111,04 triliun.

Dwi menjelaskan bahwa berdasarkan jenis pajaknya, realisasi restitusi tersebut didominasi oleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang mencapai Rp 86,31 triliun.

Selain itu, restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan turut berkontribusi signifikan dengan total mencapai Rp 22,96 triliun.

Lebih lanjut, Dwi memaparkan bahwa jika dilihat dari sumbernya, restitusi normal mendominasi dengan nilai Rp 70,92 triliun. Selain itu, terdapat restitusi dipercepat sebesar Rp 35,16 triliun dan restitusi upaya hukum senilai Rp 4,97 triliun.

Lonjakan restitusi ini mencerminkan dinamika perpajakan yang semakin aktif, dengan adanya peningkatan pengajuan restitusi dari wajib pajak baik melalui mekanisme normal, percepatan, maupun upaya hukum. (alf)

 

Industri Perkapalan Nasional Minta Pemerintah Insentifkan Pembebasan PPN

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo), Anita Puji Utami, menegaskan bahwa dukungan pemerintah sangat dibutuhkan agar industri perkapalan nasional dapat tumbuh dan berkontribusi terhadap target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen.

“Saat ini, kebijakan fiskal dan nonfiskal yang ada belum cukup untuk membuat industri perkapalan nasional mandiri dan kompetitif. Kami menginginkan insentif pembebasan PPN (pajak pertambahan nilai) sebagaimana yang sudah diberikan kepada industri pelayaran,” ujar Anita dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (15/3/2025).

Menurut Anita, jika industri pelayaran telah mendapatkan pembebasan PPN, maka industri pendukungnya, termasuk industri perkapalan, seharusnya memperoleh perlakuan yang sama. Ia juga meminta pemerintah untuk mempermudah regulasi terkait Bea Masuk bahan baku industri perkapalan, mengingat sebagian materialnya masih harus diimpor.

“Kami berharap ada pembebasan maksimal Bea Masuk, sehingga industri galangan kapal dalam negeri bisa lebih berkembang,” tambahnya.

Selain itu, Anita juga menyoroti persoalan infrastruktur dari dan menuju galangan kapal yang masih belum memadai, terutama di daerah pesisir. Menurutnya, hal ini menghambat kelancaran aktivitas industri perkapalan.

“Kami sudah membayar pajak dan dikenakan PNBP, seharusnya pemerintah daerah maupun provinsi bisa lebih memperhatikan infrastruktur yang mendukung industri perkapalan,” tegas Anita.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Anita memastikan bahwa Iperindo siap membangun kapal-kapal yang dapat diproduksi di dalam negeri. Ia juga mengapresiasi kerja sama antara BUMN dan swasta dalam mendukung pertumbuhan industri perkapalan nasional. (alf)

 

 

Setoran PPN DN Turun 9,53% di Awal Tahun, Pemerintah dan Ekonom Berbeda Pandangan

IKPI, Jakarta: Setoran Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) pada dua bulan pertama tahun 2025 mencatatkan penurunan signifikan. Hingga Februari 2025, realisasi PPN DN hanya mencapai Rp 102,5 triliun, turun 9,53% dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang mencapai Rp 113,3 triliun.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa penerimaan PPN DN untuk Februari 2025 tercatat sebesar Rp 48,1 triliun, lebih rendah dibanding Januari 2025 yang mencapai Rp 54,4 triliun. Bahkan, penerimaan pada Desember 2024 mencapai Rp 95,4 triliun.

Anggito menjelaskan bahwa penurunan ini merupakan pola musiman yang lazim terjadi di awal tahun. “Jadi ini juga mengikuti pola musiman yang kurang lebih sama, awal tahun Januari itu turun dibanding Desember tahun sebelumnya,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/3/2025).

Selain faktor musiman, Anggito juga menyebutkan adanya kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari sebagai faktor tambahan yang menekan setoran. Relaksasi ini memungkinkan PPN DN Januari 2025 dibayarkan pada 10 Maret 2025. Jika dampak relaksasi diperhitungkan, rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024 hingga Februari 2025 diperkirakan mencapai Rp 69,5 triliun, lebih tinggi dari rata-rata periode yang sama pada 2024 sebesar Rp 64,2 triliun.

Anggito menegaskan bahwa kondisi ini tetap mencerminkan tren positif. Ia menunjuk pada data penjualan kendaraan yang tumbuh positif per Februari 2025, dengan penjualan motor naik 4% secara tahunan dan mobil tumbuh 2,2%. “Kalau Anda lihat, kita hubungkan penerimaan pajak dengan PMI, indeks industri manufaktur, dan kita lihat dengan data ekonomi terkait penjualan kendaraan yang mulai tumbuh positif,” jelasnya.

Namun, pandangan Anggito ini bertolak belakang dengan sejumlah ekonom. Arif, seorang ekonom yang pernah menjadi staf khusus presiden bidang ekonomi era pemerintahan Joko Widodo, menilai bahwa penurunan setoran PPN DN lebih mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat. Menurutnya, PPN merupakan cerminan konsumsi rumah tangga, yang erat kaitannya dengan daya beli. “Jika PPN menurun, hal ini dapat tercermin pula pada PPh Badan dan memberikan indikasi kondisi makro ekonomi, khususnya ketenagakerjaan,” jelas Arif.

Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, juga menilai bahwa penurunan 9% pada PPN DN mencerminkan tekanan pada konsumsi masyarakat. “Jika pemerintah terus menutup-nutupi masalah fundamental ekonomi, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus defisit yang makin lebar, utang yang membengkak, dan daya beli masyarakat yang semakin melemah,” ujar Syafruddin.

Dengan perbedaan pandangan tersebut, isu penurunan setoran PPN DN terus menjadi sorotan, mencerminkan dinamika yang perlu dicermati baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun perkembangan ekonomi masyarakat. (alf)

 

 

Ini Pengertian Sistem Pemotongan Pajak PPh 21 dengan Format TER 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi mulai menerapkan sistem pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) dengan format TER (Tarif Efektif Rata-Rata) pada tahun 2024. Sistem ini bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan PPh 21 sekaligus menciptakan keadilan dalam perhitungan pajak bagi para wajib pajak.

Sebelumnya, penghitungan PPh 21 dilakukan dengan tarif progresif yang kerap dianggap rumit dan kurang fleksibel. Dengan format baru ini, pemotongan pajak setiap bulan akan menyesuaikan dengan penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak pada bulan tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah pajak yang dipotong dapat bervariasi dari bulan ke bulan, berbeda dengan sistem sebelumnya yang menerapkan pemotongan tetap setiap bulan.

Meskipun terjadi perubahan dalam jumlah pemotongan pajak bulanan, DJP menegaskan bahwa total pajak yang dipotong dalam setahun akan tetap sama baik dengan sistem sebelumnya maupun dengan sistem TER. Hal ini memberikan jaminan bahwa wajib pajak tidak akan dirugikan secara keseluruhan.

Namun, DJP juga mengingatkan bahwa penerapan sistem TER ini berpotensi menimbulkan kasus “Lebih Bayar” bagi karyawan yang tidak bekerja penuh selama satu tahun kalender.

Contohnya, mereka yang mulai bekerja setelah Januari atau berhenti sebelum akhir tahun berisiko mengalami pemotongan pajak yang lebih besar dari seharusnya. Jika terjadi lebih bayar, penyelesaiannya akan dilakukan di tempat kerja masing-masing, di mana pemberi kerja diwajibkan mengembalikan kelebihan pajak secara tunai kepada karyawan.

Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk pegawai negeri, anggota TNI/Polri, serta para pensiunan.

Dengan diberlakukannya sistem TER ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah memahami kewajiban perpajakan mereka dan merasa lebih adil dalam perhitungan pajak. Sistem yang lebih sederhana dan transparan ini diharapkan mampu mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan masyarakat. (alf)

 

 

IKPI Cabang Palembang Gelar PPL dan Buka Puasa Bersama

IKPI, Palembang: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Palembang menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dengan tema “Pemeriksaan Pajak PMK 15 Tahun 2025” di Hotel Aston, Jalan Basuki Rahmat Palembang (Ruang Ocean 1), Sabtu (15/3/2015).

Dalam kegiatan yang diikuti oleh 50 anggota IKPI Cabang Palembang tersebut, mereka tampak antusias mengukuti acara. Hal itu terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan, yakni seputar pemeriksaan pajak yang akan dihadapi terkait PMK 15 Tahun 2025.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Palembang)

Menurut Ketua IKPI Cabang Palembang Suaanti, hal ini menunjukkan besarnya perhatian para konsultan pajak terhadap pemahaman regulasi terbaru guna mendukung kinerja profesional mereka.

Usai sesi PPL, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama dan ice breaking pada pukul 17.30 hingga 17.45 WIB untuk kembali membangkitkan semangat anggota yang telah menjalani sesi diskusi intensif dalam suasana berpuasa.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Palembang)

Pada pukul 17.45 hingga 18.10 WIB, digelar diskusi internal yang dipimpin oleh Susanti, didampingi Sekretaris Cabang Shinta dan Bendahara Cabang Andra.

Dalam diskusi tersebut, dibahas beberapa agenda penting, di antaranya:
• Mendorong partisipasi dan ide kreatif anggota untuk mengisi kegiatan di sekretariat IKPI Cabang Palembang.
• Membahas kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengisian SPT Tahunan yang mendukung program dari IKPI pusat, dengan harapan agar anggota aktif berpartisipasi guna meningkatkan eksistensi IKPI Cabang Palembang di Kota Palembang dan sekitarnya.
• Perencanaan kegiatan PPL dan brevet yang akan dilaksanakan sepanjang tahun 2025 guna meningkatkan kompetensi anggota.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Palembang)

Acara dilanjutkan dengan buka puasa dan makan bersama yang diikuti dengan kejutan serta lagu ulang tahun bagi anggota yang berulang tahun di bulan Maret.

Susanti menyampaikan rasa terima kasih atas partisipasi aktif seluruh anggota yang telah menyukseskan acara ini. “Semoga kegiatan ini dapat mempererat silaturahmi, meningkatkan profesionalisme anggota, dan membawa manfaat besar bagi IKPI Cabang Palembang di masa mendatang,” ujarnya di lokasi acara. (bl)

IKPI Desak Pemerintah Segera Terbitkan Peraturan Perpanjangan PPh Final 0,5%: Timbulkan Kebingungan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan mengenai perpanjangan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5%. Permintaan ini muncul karena hingga pertengahan Maret 2025, peraturan tersebut belum juga diterbitkan, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, menyampaikan kekhawatiran akan situasi ini. Menurutnya, kondisi tersebut menyebabkan dilema bagi WP OP mengenai kewajiban pembayaran PPh untuk masa Januari dan Februari 2025. Bahkan ada kekhawatiran untuk masa tersebut WP OP belum melakukan penyetoran pajak karena dilema tersebut, tentu ini berdampak negatif bagi penerimaan pajak.

“Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh Final 0,5%. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka WP OP bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” ujar Vaudy di Jakarta, Minggu (16/3/2025).

Dikatakannya, perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% sebelumnya diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada 16 Desember 2024. Dalam konferensi pers tersebut, Menko Perekonomian memperkenalkan “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” yang mencakup perpanjangan fasilitas hingga akhir 2025.

Ditegaskan Vaudy, perpanjangan ini seharusnya mencakup perubahan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam Pasal 5 PP tersebut, WP OP yang memanfaatkan fasilitas ini hanya bisa menikmati keringanan selama tujuh tahun.

Artinya, pemegang sertifikasi ahli kepabeanan dan kuasa di Pengadilan Pajak ini menegaskan bahwa WP OP yang mulai menggunakan fasilitas tersebut sejak 2018 tidak dapat lagi memanfaatkannya mulai Januari 2025, kecuali jika ada peraturan baru yang memperpanjang masa berlaku fasilitas tersebut.

Ketiadaan aturan baru hingga Maret 2025 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WP OP yang berharap dapat terus memanfaatkan insentif ini. Padahal, jika ketentuan tersebut diperpanjang sejak awal tahun, WP OP tidak akan menghadapi dilema terkait pembayaran pajak untuk masa Januari dan Februari 2025.

Lebih lanjut, ia menyoroti dampak yang lebih luas terhadap penerimaan pajak negara jika ketentuan ini tidak segera diterbitkan. WP OP dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta, yang sebelumnya dibebaskan dari kewajiban PPh berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PP Nomor 55 Tahun 2022, WP akan menghadapi kebingungan dalam melaksanakan kewajibannya.

Mengenai adanya kewajiban penyampaian penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang wajib disampaikan oleh WP OP paling lama akhir Maret 2025. Karena ketiadaan ketentuan menyebabkan kebingungan bagi WP OP dengan jumlah peredaran bruto tertentu apakah di 2025 ini masih tetap menggunakan fasilitas PPh 0,5% final, kembali ke NPPN, atau pembukuan.

Karenanya, WP OP tersebut diperhadapkan dengan kewajiban menyampaikan pilihan tersebut paling lama tiga bulan setelah berakhirnya tahun pajak.

Pada PP 55/2022, khususnya Pasal 59, mengatur tentang waktu mulai dan berakhirnya penggunaan fasilitas PPh Final bagi WP OP sejak mereka terdaftar. Ketentuan ini berhubungan erat dengan PP 23/2018, sehingga perpanjangan fasilitas PPh Final menjadi langkah penting untuk menjaga kepastian hukum dan mendukung kepatuhan pajak masyarakat. Hal ini juga merupakan pemenuhan janji pemerintah sebagaimana disampaikan pada konferensi pers oleh Menko Perekonomian.

Ia berharap pemerintah dapat segera menindaklanjuti perpanjangan ini agar tidak berdampak negatif pada WP OP dan penerimaan negara serta mempunyai kepastian hukum. “Kami berharap regulasi ini dapat segera diterbitkan sesuai dengan paket kebijakan stimulus ekonomi yang diumumkan oleh pemerintah sendiri,” kata Vaudy. (bl)

IKPI Kabupaten Tangerang Gelar Ruang Konsultasi Pajak di Aeon Mall Tangerang

IKPI, Kabupaten Tangerang: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kabupaten Tangerang kembali menggelar program Ruang Konsultasi Pajak. Kali ini kegiatan dilakukan di Aeon Mall Tangerang pada tanggal 15-16 Maret 2025.

Kegiatan yang dilakukan secara pro bono ini merupakan tindak lanjut dari Training for Trainer (TOT) yang sebelumnya diselenggarakan oleh IKPI Pusat dan kini dijadikan program tahunan oleh IKPI Kabupaten Tangerang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Ketua IKPI Cabang Kabupaten Tangerang Dhaniel Hutagalung, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kontribusi profesional anggota IKPI dengan memberikan layanan konsultasi pajak gratis kepada masyarakat. “Kami berharap melalui kegiatan ini, IKPI semakin dikenal luas oleh masyarakat,” ujar Dhaniel, Sabtu (15/3/2025).

Ruang Konsultasi Pajak ini menyasar masyarakat umum dan pelaku UMKM. Sejak dibuka pada pagi hari, antusiasme masyarakat terlihat cukup baik, dengan lebih dari 20 peserta yang telah memanfaatkan layanan ini. Peserta yang hadir berkesempatan berdiskusi terkait berbagai aspek perpajakan, baik untuk individu maupun badan usaha kecil dan menengah (UMKM).

Selain Dhaniel, kegiatan ini juga dihadiri oleh jajaran kepengurusan cabang IKPI Kabupaten Tangerang yang telah mengikuti pembekalan melalui TOT. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi perpajakan yang benar kepada masyarakat sekaligus mempererat hubungan antara IKPI dengan warga Kabupaten Tangerang.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

Menurut Dhaniel, Ruang Konsultasi Pajak ini telah berlangsung sejak tahun lalu dan akan menjadi agenda rutin tahunan IKPI Tangerang. Pada tahun 2025 ini, kegiatan dilaksanakan di dua lokasi, yakni Aeon Mall Tangerang pada 15-16 Maret 2025 dan Maxxbox Tangerang pada 22-23 Maret 2025.

“Dengan adanya program ini, diharapkan masyarakat semakin memahami pentingnya administrasi perpajakan yang benar serta mendapatkan solusi atas berbagai permasalahan perpajakan yang mereka hadapi,” ujarnya. (bl)

Korea Selatan Rencanakan Rombak Sistem Pajak Warisan, Berlaku pada 2028

IKPI, Jakarta: Korea Selatan (Korsel) mengumumkan rencana untuk merombak sistem pajak warisan yang berlaku di negara tersebut. Revisi aturan pajak ini diperkirakan akan mulai berlaku pada tahun 2028 mendatang. Pemerintah berencana untuk memperkenalkan kebijakan baru yang memungut pajak berdasarkan jumlah warisan yang diterima oleh masing-masing penerima, bukan lagi berdasarkan total kekayaan pemberi warisan setelah meninggal dunia.

Revisi ini akan menggantikan sistem pajak berbasis harta warisan yang selama ini dipertahankan di Korsel, yang dianggap memberikan beban pajak yang terlalu besar bagi penerima warisan dibandingkan dengan jumlah aset yang mereka terima. Menurut Kepala Divisi Pajak Kementerian Ekonomi dan Keuangan Korsel, Jeong Jeong Hoon, perubahan ini merupakan langkah penting untuk memastikan sistem perpajakan Korsel lebih adil dan sejalan dengan standar global.

“Sistem perpajakan berbasis penerima ini lebih disukai karena dianggap lebih adil dalam hal redistribusi kekayaan,” ujar Jeong. “Kami telah berulang kali menerima tuntutan dan kritik terkait kebijakan pajak kami yang dianggap tidak sesuai dengan praktik internasional.”

Saat ini, Korea Selatan termasuk dalam kelompok negara yang masih menerapkan pajak berbasis harta warisan, bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Denmark. Menurut laporan OECD dan IMF, kebijakan pajak berbasis penerima lebih mendukung keadilan pajak dan penyebaran kekayaan yang lebih merata.

Pemberlakuan Perubahan Pajak

Menurut rancangan revisi yang diusulkan, pajak warisan untuk pasangan akan mendapatkan pengurangan pajak 100% jika nilai aset yang diwariskan kurang dari 1 miliar won (sekitar Rp 11,2 miliar). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batas pengurangan pajak saat ini yang hanya 500 juta won (sekitar Rp 5,6 miliar).

Anak-anak yang menerima warisan juga akan mendapatkan pengurangan yang signifikan. Jumlah pengurangan pajak untuk anak-anak akan meningkat sepuluh kali lipat, dari yang semula 50 juta won (sekitar Rp 560 juta) menjadi 500 juta won. Hal ini diharapkan dapat meringankan beban pajak pada keluarga-keluarga berpenghasilan menengah yang selama ini merasa terkendala oleh beban pajak yang terlalu besar.

Selain itu, keluarga yang terdiri dari pasangan dan dua anak akan bebas dari pajak warisan jika nilai kekayaan yang diwariskan berada antara 1 miliar won hingga 2 miliar won, sebuah ketentuan yang diakui sebagai langkah yang lebih realistis mengingat banyak rumah tangga yang diwarisi dengan jumlah kekayaan tersebut.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Pemerintah Korea Selatan juga berharap perubahan ini akan mengurangi ketimpangan sosial yang semakin lebar, terutama dalam hal akumulasi kekayaan antargenerasi. Selama beberapa dekade terakhir, ekonomi Korsel mengalami pertumbuhan pesat yang tidak diimbangi dengan pemerataan kekayaan, sehingga membuat sebagian besar warisan terkonsentrasi pada keluarga-keluarga terkaya.

Meskipun beban pajak warisan di Korsel sangat tinggi—dengan tarif yang bisa mencapai 50%, tertinggi kedua di dunia setelah Jepang—pemerintah berjanji untuk mempertahankan tarif pajak maksimum, meskipun beban pajak keseluruhan diperkirakan akan berkurang hingga 60% dengan diterapkannya sistem berbasis penerima.

Menurut Park Hun, seorang profesor ekonomi di Universitas Seoul, perubahan ini akan memberikan manfaat langsung bagi banyak keluarga di Korsel. “Banyak rumah tangga yang akan mendapat keuntungan, terutama mereka yang mewarisi kekayaan dalam kisaran 1 hingga 2 miliar won,” kata Park.

Para ahli ekonomi juga menyambut baik perubahan ini, mengingat penurunan populasi yang sedang berlangsung di Korsel. Profesor Ha Joon Kyung dari Universitas Hanyang menyebut kebijakan ini tepat waktu, karena dapat membantu keluarga dengan banyak anak mengurangi beban pajak mereka.

“Di tengah penurunan jumlah penduduk, keluarga besar bisa lebih mudah mengalihkan warisan mereka dengan pajak yang lebih ringan, dan ini juga membantu distribusi kekayaan yang lebih merata,” kata Ha.

Pemerintah Korea Selatan berencana untuk mengajukan revisi kode pajak tersebut ke Majelis Nasional pada bulan Mei mendatang untuk mendapatkan persetujuan. Setelah itu, pedoman dan aturan tambahan akan disusun, dengan harapan perubahan ini bisa berlaku sepenuhnya pada 2028. (alf)

Pemerintah Perpanjang Insentif PPN-DTP untuk Rumah Tapak dan Rumah Susun Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun hingga tahun anggaran 2025. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 4 Februari 2025.

Perpanjangan insentif ini merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah diberikan pada tahun 2023 dan 2024. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, menyatakan bahwa transaksi properti memiliki efek berantai yang besar terhadap sektor ekonomi lainnya.

“Sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, pemberian insentif PPN ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya,” ujar Dwi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/3/2025).

Ketentuan Insentif PPN-DTP

Berdasarkan PMK-13/2025, terdapat dua skema insentif PPN-DTP:

• Periode 1 Januari – 30 Juni 2025: Insentif PPN-DTP sebesar 100% dari PPN terutang untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

• Periode 1 Juli – 31 Desember 2025: Insentif PPN-DTP sebesar 50% dari PPN terutang untuk bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2 miliar pada 14 Februari 2025, seluruh PPN akan ditanggung oleh pemerintah. Namun, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2,5 miliar pada 15 Februari 2025, maka pembeli harus menanggung PPN sebesar 11% dari Rp500 juta, yaitu Rp55 juta.

Dwi menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk rumah tapak atau satuan rumah susun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Dengan adanya insentif ini, pemerintah berharap dapat membantu masyarakat memperoleh hunian dengan harga lebih terjangkau serta mendorong pertumbuhan sektor properti nasional.

“Kami berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional, terutama di sektor properti dan sektor terkait lainnya,” kata Dwi. (alf)

 

Optimalisasi Penerimaan Negara 2025: Kemenkeu Jalankan Empat Inisiatif Strategis dan Kolaborasi Internal

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menjalankan empat Inisiatif Strategis serta empat Aspek Kolaborasi internal untuk mengoptimalkan penerimaan negara pada tahun 2025. Langkah ini akan dilaksanakan bersama kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), dan instansi lainnya guna meningkatkan efektivitas penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa aspek kolaborasi internal terdiri dari kolaborasi sistem, pemanfaatan big data, regulasi, dan proses bisnis. Dalam aspek sistem, Kemenkeu akan melaksanakan interoperabilitas sistem/IT antar Core Revenue System dengan Core System K/L/D/I terkait. Pemanfaatan big data akan difokuskan pada optimalisasi penerimaan industri dan sumber daya alam (SDA).

Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan harmonisasi regulasi, kebijakan, dan strategi pengamanan penerimaan. Sementara itu, dalam aspek proses bisnis, dilakukan sinkronisasi proses bisnis hulu-hilir sektor prioritas dengan fungsi pengawasan penerimaan Kemenkeu.

Empat Inisiatif Strategis

• Transformasi Joint Program Sinergi Penerimaan

Kemenkeu akan melakukan analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, hingga intelijen terhadap lebih dari 2.000 wajib pajak (WP) yang selama ini belum terjangkau sistem perpajakan.

“Transformasi joint program antara eselon 1 di Kementerian Keuangan ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara,” ujar Anggito.

• Penguatan Perpajakan Transaksi Digital

Kemenkeu akan menerapkan sistem trace and track serta program digitalisasi untuk mengurangi penyelundupan, terutama dalam cukai dan rokok palsu.

• Intensifikasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA

Pemerintah akan mengoptimalkan penerimaan dari komoditas batubara, nikel, timah, bauksit, serta melalui Satuan Tugas (Satgas) Sawit.

“Kami akan segera menyampaikan perubahan kebijakan tarif dan harga batu bara acuan agar dapat diterima oleh masyarakat,” jelas Anggito.

• Intensifikasi PNBP K/L Layanan Premium

Pemerintah akan mengintensifkan penerimaan dari layanan premium di sektor imigrasi, kepolisian, dan perhubungan untuk masyarakat kelas menengah ke atas.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan strategi tambahan untuk menutup potensi kehilangan penerimaan negara akibat batalnya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk semua barang dan jasa pada 2025.

Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan bahwa tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif 11%.

“PPN 12% tidak diberlakukan untuk semua komoditas, dan untuk mengompensasi penerimaan yang hilang, kami akan menempuh upaya ekstra seperti yang disampaikan Pak Anggito,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN di Kementerian Keuangan.

Langkah-langkah ini diharapkan mampu memperkuat penerimaan negara di tengah tantangan ekonomi dan dinamika kebijakan fiskal yang terus berkembang. (alf)

id_ID