PMK 15/2025 Atur Ulang Kategori dan Waktu Pemeriksaan Pajak: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menegaskan komitmennya untuk menciptakan proses pemeriksaan pajak yang lebih efisien, akuntabel, dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Kewajiban Perpajakan.

Dalam aturan baru tersebut, pemerintah menetapkan pengelompokan pemeriksaan pajak menjadi tiga kategori utama, yakni Pemeriksaan Lengkap, Pemeriksaan Terfokus, dan Pemeriksaan Spesifik. Klasifikasi ini diikuti dengan penetapan batas waktu pelaksanaan yang tegas, guna menghindari ketidakpastian yang selama ini dikeluhkan oleh pelaku usaha.

Pasal 6 PMK 15/2025 merinci bahwa:

• Pemeriksaan Lengkap memiliki batas waktu maksimal 5 bulan;

• Pemeriksaan Terfokus dilakukan selama 3 bulan;

• Pemeriksaan Spesifik hanya memerlukan waktu 1 bulan.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak diterimanya surat pemberitahuan pemeriksaan oleh wajib pajak hingga penyampaian hasil pemeriksaan resmi. Selain itu, pemerintah memberikan waktu tambahan maksimal 30 hari kerja untuk penyelesaian pembahasan akhir dan pelaporan hasil pemeriksaan.

Untuk kategori Pemeriksaan Spesifik yang berkaitan dengan indikasi tertentu, prosesnya bahkan lebih ringkas, yakni masing-masing tahap pemeriksaan dan pelaporan diselesaikan dalam 10 hari kerja. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mempercepat pelayanan tanpa mengurangi kualitas pengawasan.

PMK ini juga memberikan ruang bagi perpanjangan waktu pemeriksaan, seperti dalam kasus pemeriksaan transfer pricing dalam grup usaha yang bisa diperpanjang hingga 4 bulan, dengan syarat pemberitahuan resmi harus disampaikan kepada wajib pajak.

Tidak hanya itu, PMK 15/2025 turut mengatur batas waktu pemeriksaan untuk keperluan khusus seperti permohonan pengembalian pajak, penghapusan NPWP, dan pencabutan PKP. Ketentuan tersebut tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Satu pengecualian penting dalam aturan ini adalah untuk pemeriksaan Pajak Penghasilan (PPh) dari sektor minyak dan gas bumi. Pemeriksaan pada sektor ini tetap tunduk pada peraturan menteri yang mengatur pelaksanaan kontrak kerja sama dengan skema cost recovery. (alf)

 

Pajak Global di Persimpangan Jalan: Mampukah Indonesia Bermain Cerdas?

Pada 27 Maret 2025, para pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi perpajakan internasional berkumpul di Brussels dalam acara CFE’s 2025 Forum yang mengangkat tema “Navigating Tax Transformation: From Compliance to Competitiveness”.

Forum ini bukan sekadar ajang diskusi teknis pajak, melainkan panggung bagi negosiasi kepentingan global yang berpotensi mengubah wajah sistem perpajakan dunia.

Dalam forum ini, penulis tampil sebagai pembicara kunci dan membahas dua isu strategis yang saat ini memecah arah kebijakan perpajakan global: potensi penarikan diri Amerika Serikat dari Two Pillars Solution yang dipelopori OECD/G20, serta masa depan UN Framework Convention on International Tax Cooperation yang digagas oleh PBB.

Penulis menggarisbawahi bahwa mundurnya AS dari Pilar 1 dan Pilar 2 bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal nyawa konsensus global. Pilar 1, yang berupaya mendistribusikan kembali hak pemajakan ke negara-negara pasar, bergantung pada partisipasi negara-negara tempat induk perusahaan multinasional bermarkas dan banyak di antaranya ada di AS. Tanpa mereka, kesepakatan ini bisa karam sebelum sempat berlayar.

Pilar 2, yang mengusung Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan multinasional, pun menghadapi tantangan serupa. Negara-negara mungkin memilih bersikap wait and see termasuk Indonesia. Jika diterapkan secara sepihak tanpa dukungan AS, bukan mustahil terjadi retaliasi dan konflik ekonomi. Perang tarif bisa kembali menghantui dunia.

Sebagai alternatif, PBB mendorong lahirnya UN Framework Convention on International Cooperation in Tax Matters. Ambisinya jelas: membangun sistem perpajakan global yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang. Indonesia, bersama China dan Vietnam, termasuk pendukung inisiatif ini.

Namun, jalan ini tidak mulus. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan menentangnya dengan alasan tumpang tindih kebijakan dan potensi ketidakpastian regulasi. Mekanisme pengambilan keputusan berbasis mayoritas yang diusung PBB juga ditolak, karena dianggap melemahkan prinsip konsensus yang selama ini dijunjung tinggi dalam OECD.

Satu hal yang menarik dan perlu ditelaah lebih dalam adalah sikap Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendukung OECD dan bahkan bercita-cita menjadi anggota penuh. Di sisi lain, Indonesia juga mendukung penuh kerangka kerja PBB, yang justru digagas sebagai tandingan OECD.

Apakah ini strategi jitu menjaga keseimbangan? Ataukah cerminan kegamangan dalam mengambil posisi? Yang jelas, Indonesia harus jeli membaca arah angin. Dunia sedang membentuk ulang aturan main perpajakan lintas negara.

Jika Indonesia tak menentukan posisi dengan cermat, bukan hanya kehilangan kesempatan memungut pajak dari ekonomi digital global, tetapi juga terjebak dalam sistem yang tidak menguntungkannya.

Saatnya Strategi, Bukan Sekadar Simpati

Forum di Brussels adalah pengingat bahwa pajak kini bukan hanya urusan fiskal, tetapi juga geopolitik. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara berkembang dan anggota G20, punya peluang untuk menjadi suara penengah yang menjembatani dua kutub kekuatan pajak global ini.

Namun untuk itu, dibutuhkan strategi yang tak hanya berbasis kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang: bagaimana memastikan sistem perpajakan global yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang yang layak bagi negara-negara seperti kita. Dunia sedang menyusun ulang peta pajak global Indonesia tidak boleh sekadar jadi penonton.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Sri Mulyani Bidik Kegiatan Usaha yang Luput Radar Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan terus memerangi sektor-sektor ilegal untuk mencegah kebocoran penerimaan negara. Kali ini, sang bendahara negara menyasar sektor yang selama ini bak “hantu” di perekonomian beroperasi secara ilegal, mengeruk keuntungan besar, namun luput dari radar pajak.

Dalam konferensi pers di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar secara virtual pada Kamis (24/4/2025), Sri Mulyani menegaskan bahwa strategi ekstensifikasi pajak menjadi senjata utama untuk mendongkrak rasio pajak yang stagnan di angka 10 persen selama lebih dari satu dekade.

“Langkah-langkah ekstensifikasi dilakukan dari sisi pemungutan yang berpotensi atau yang selama ini memang belum terkumpul secara memadai,” ujarnya.

Target utamanya, sektor-sektor yang selama ini bermain di bawah permukaan hukum seperti illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining. Ketiganya disebut Sri Mulyani sebagai ladang subur yang belum tergarap maksimal dalam sistem perpajakan nasional.

“Ini bukan kerja satu kementerian saja,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas kementerian dan lembaga—termasuk sektor perikanan dan energi menjadi kunci penguatan pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas-aktivitas ilegal tersebut.

Namun bukan hanya memburu yang “gelap-gelap”, Sri Mulyani juga mendorong penggunaan teknologi digital untuk menutup celah penghindaran pajak. Penerapan sistem core tax, digitalisasi pencatatan transaksi, hingga penyederhanaan proses restitusi pajak menjadi langkah konkret demi sistem perpajakan yang lebih modern dan akurat.

“Ini bagian dari upaya sistemik kita memperbaiki administrasi perpajakan, mempercepat pemeriksaan, dan memperkuat regulasi,” katanya.

Meski kondisi fiskal Indonesia dinilai sehat dengan tingkat utang terkendali, namun Sri Mulyani tak mau terlena. Rasio pajak terhadap PDB tercatat hanya 10,21% di tahun 2023 dan turun tipis menjadi 10,08% di tahun 2024. Angka yang menurutnya belum cukup kuat untuk menopang visi pembangunan jangka panjang Indonesia. (alf)

 

IKPI Jakarta Pusat Gelar Bimbingan SPT Tahunan Badan, Dukung Kepatuhan Pajak Lewat Edukasi Langsung

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan literasi perpajakan dengan menggelar kegiatan Bimbingan Pengisian SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2024 yang dilaksanakan di Lobby LG, North Tower, Citra Tower, Rabu (23/4/2025).

Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani, mengungkapkan rasa bangganya atas terselenggaranya acara ini yang dihadiri oleh sembilan peserta, meskipun satu di antaranya berhalangan hadir.

(Foto: DOK. IKPI Jakarta Pusat)

“Saya merasa bangga bisa berpartisipasi sebagai sukarelawan, mendampingi para wajib pajak dalam proses pengisian SPT Tahunan Badan. Kegiatan ini tidak hanya memberikan edukasi teknis, tetapi juga membuka ruang interaksi yang solutif antara peserta dan para konsultan pajak profesional,” ujar Heri yang didampingi Risky selaku penyuluh.

Dalam kegiatan ini, para peserta mendapatkan panduan langsung dari para konsultan pajak, yang memberikan pemahaman mendalam terkait pengisian SPT Badan, serta menjawab berbagai persoalan teknis yang mereka hadapi.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Para peserta menyambut baik inisiatif ini, menyebutnya sangat membantu dalam memahami kewajiban perpajakan mereka. Namun, sebagian menyayangkan karena kegiatan ini hanya berlangsung satu hari.

Dikatakan Suryani, para peserta berharap kegiatan ini bisa menjadi agenda rutin tahunan dengan durasi pelaksanaan yang lebih panjang.

Selain itu, ia juga menyampaikan terima kasih kepada manajemen Citra Tower yang telah memfasilitasi tempat kegiatan ini. Harapannya, akan terjalin kerja sama yang lebih erat di masa mendatang.

Dengan kolaborasi antara organisasi profesi, sukarelawan, dan wajib pajak, IKPI Jakarta Pusat membuktikan bahwa pendekatan edukatif dan partisipatif adalah kunci membangun ekosistem perpajakan yang sehat, transparan, dan berkelanjutan. (bl)

Coretax Bantu Pemerintah Pantau Pengusaha Nakal Penghindar Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kini punya senjata canggih untuk mengawasi para pengusaha ‘nakal’ yang mencoba menghindari kewajiban pajak. Senjata itu bernama Coretax, sistem administrasi perpajakan terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam acara AMSC Gathering 2025 di Jakarta Pusat pada Rabu malam (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan bagaimana Coretax bekerja layaknya radar ekonomi. Dengan hanya berbekal Nomor Induk Kependudukan (NIK), sistem ini mampu melacak setiap aktivitas ekonomi warga, termasuk perputaran omzet para pelaku usaha.

“Coretax akan mengintegrasikan data dari berbagai pihak ketiga. Jadi, setiap transaksi ekonomi bisa terpantau. Hasil akhirnya, kami bisa menerapkan prinsip keadilan perpajakan dengan lebih tepat sasaran,” ungkap Suryo.

Contohnya, ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar per tahun. Bila seorang pengusaha melampaui angka itu, maka ia wajib membayar PPh Badan sebesar 22% dan memungut PPN dari konsumennya. Sebaliknya, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzet di bawah batas tersebut hanya dikenai PPh final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.

“Pertanyaannya, bagaimana kami bisa tahu siapa yang sudah lewat Rp4,8 miliar dan siapa yang belum? Nah, inilah fungsinya Coretax. Setiap transaksi bisa kami lacak. Insyaallah semua tercatat,” jelas Suryo.

Dirjen Pajak juga menyebut, ke depan pihaknya akan mengirim notifikasi otomatis kepada pengusaha berdasarkan data transaksi. Jika sistem mendeteksi omzet tahunan pengusaha sudah melewati batas, maka status PKP langsung diberikan. Tidak ada lagi celah untuk menghindar.

Lebih dari sekadar alat pengawas, Coretax juga dirancang untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak, meningkatkan efektivitas pemungutan, dan mencegah potensi kecurangan. Meski sempat mengalami kendala saat awal peluncuran, Suryo mengaku sistem kini berjalan jauh lebih stabil.

“Coretax ini adalah bagian dari proyek strategis nasional. Sekarang pelaksanaannya sudah jauh lebih baik. Terima kasih atas semua masukan, terutama dari pengusaha ritel. Kami terus lakukan penyempurnaan,” ujarnya. (alf)

 

 

 

 

Sri Mulyani Soroti Peran Coretax dalam Pacu Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan lonjakan penerimaan pajak menakjubkan pada Maret 2025, dengan realisasi mencapai Rp 134,8 triliun atau naik drastis dari Februari yang hanya mencatat Rp 98,9 triliun.

“Ini bukti reformasi perpajakan bekerja!”, kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di KSSK, Kamis (24/4/2025).

Total akumulasi pajak hingga Maret 2025 telah menembus Rp 400,1 triliun atau 16,1% dari target APBN. Pencapaian ini disebutnya tak lepas dari keberhasilan implementasi Coretax dan perbaikan sistem administrasi.

Bulan Maret saja menyumbang 41,8% dari total realisasi kuartal pertama (Rp 322,6 triliun). Sri Mulyani menyoroti tren ini sebagai indikator pulihnya daya beli masyarakat dan ketahanan sektor ekonomi. “Pajak yang naik berarti ekonomi bergerak,” ujarnya.

Dengan dukungan teknologi Coretax, proses penarikan pajak dinilai semakin efisien dan transparan. “Kami optimis pertumbuhan akan terus terjaga,” katanya. (alf)

 

 

IKPI Yogyakarta Gencarkan Sosialisasi Perpajakan untuk UMKM 

IKPI, Yogyakarta: Dalam upaya mendorong kemudahan berusaha dan kepatuhan perpajakan di kalangan pelaku UMKM, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggandeng Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Yogyakarta dan DPRD DIY untuk menyelenggarakan sosialisasi bertema “Kemudahan Berusaha dan Aspek Perpajakan UMKM”. Kegiatan ini berlangsung di Grage Business Hotel Yogyakarta dan dihadiri sekitar 20 pelaku UMKM dari berbagai daerah di DIY, Selasa (22/4/2025).

Para peserta mendapatkan pemaparan materi langsung dari para ahli pajak yang tergabung dalam IKPI Yogyakarta, antara lain Lukas Mulyono (Wakil Ketua IKPI Cabang Yogyakarta), Tri Joko Prayitno, dan Stefanus Cendra Hogi.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Yogyakarta)

Selain memberikan edukasi mengenai kemudahan berusaha dan perpajakan, kegiatan ini juga mencakup sesi pendampingan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan secara langsung. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan literasi pajak di kalangan UMKM serta memperkenalkan peran strategis IKPI dalam mendampingi pelaku usaha.

Lukas Mulyono menjelaskan, kegiatan ini menjadi langkah konkret IKPI dalam menjalin kemitraan strategis dengan dunia usaha serta memperkuat kolaborasi lintas lembaga, khususnya dengan Dinas Koperasi dan UKM DIY serta DPRD DIY.

“Harapannya, UMKM tidak hanya tumbuh secara usaha, tetapi juga tertib dalam kewajiban perpajakan sehingga dapat menopang perekonomian daerah secara berkelanjutan,” ujar Lukas, Kamis (24/4/2025).

(Foto: DOK. IKPI Cabang Yogyakarta)

Dengan kolaborasi lintas lembaga seperti ini, diharapkan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan profesi konsultan pajak dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan transparan di Yogyakarta. (bl)

Advokat Gugat UU Pengadilan Pajak, Soroti Peran Menteri Keuangan dalam Penentuan Kuasa Hukum

IKPI, Jakarta: Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menggugat Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan bernomor 25/PUU-XXIII/2025, Zico mempermasalahkan keberadaan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan bagi kuasa hukum dalam perkara perpajakan.

Dalam sidang pendahuluan yang digelar Rabu (23/4/2025), kuasa hukum Zico, Bernie Joshua L. Tobing, menyampaikan bahwa ketentuan tersebut merugikan kliennya secara langsung sebagai advokat yang aktif beracara, termasuk di MK.

“Putusan-putusan MK sebelumnya belum sepenuhnya menyelesaikan isu independensi kekuasaan kehakiman di Pengadilan Pajak, terutama karena peran Menteri Keuangan yang masih dominan dalam menentukan syarat kuasa hukum,” tegas Bernie dikutip dari website resmi MK, Kamis (24/4/2025).

Pasal yang dipersoalkan menyebutkan bahwa kuasa hukum harus memenuhi “persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”, yang menurut pemohon bertentangan dengan prinsip kemandirian profesi advokat. Mereka menilai bahwa advokat seharusnya tidak dibatasi dengan syarat administratif tambahan yang tidak diberlakukan di pengadilan lain, termasuk pengadilan khusus lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Dalam argumentasinya, pemohon menyoroti bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184 Tahun 2017 mendefinisikan kuasa hukum dengan kriteria yang sejatinya sudah tercakup dalam kewenangan dan kompetensi advokat. Karenanya, penambahan syarat oleh Menteri Keuangan dianggap tidak relevan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat posisi Menteri berada dalam lingkup eksekutif.

Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa persyaratan tambahan hanya dapat ditentukan oleh Undang-Undang, bukan melalui peraturan menteri.

Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan Ridwan Mansyur mengingatkan pemohon agar memperjelas apakah permohonan tersebut benar-benar menyangkut persoalan konstitusionalitas norma atau sekadar soal implementasi peraturan.

“Pendelegasian pada peraturan menteri biasanya hanya bersifat administratif. Maka perlu dicermati, apakah ini soal norma inkonstitusional atau pelaksanaan teknis yang bermasalah,” ujar Daniel dalam persidangan.

Majelis memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonan. Perbaikan harus sudah diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 6 Mei 2025. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Sampaikan Kekosongan Waketum Segera Dibahas dalam Rapat Pleno

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan dinamika internal organisasi dalam acara “Outlook Perpajakan 2025: Pemeriksaan, Pemeriksaan Perpajakan, dan Penyidikan” yang digelar IKPI Cabang Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy mengungkapkan rasa duka cita atas wafatnya Wakil Ketua Umun IKPI, Jetty, yang juga merupakan anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Bu Jety selama ini dikenal sebagai sosok berdedikasi tinggi dalam organisasi. Kepergiannya menyisakan kekosongan jabatan penting di jajaran pimpinan IKPI.

Menanggapi hal itu, Vaudy menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (20) Anggaran Rumah Tangga IKPI, Ketua Umum memiliki kewenangan menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum yang berhalangan tetap, setelah mendengar pendapat dari Rapat Pleno.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, saya akan meminta pendapat dari Rapat Pleno, yakni rapat antara Pengurus Pusat dan Pengawas—terkait urgensi pengisian jabatan Wakil Ketua Umum. Saya pribadi menilai hal ini penting, mengingat masa kepengurusan masih berlangsung hingga tahun 2029,” ujarnya.

Selain itu, lebih lanjut Vaudy mengungkapkan bahwa acara Outlook Perpajakan 2025 ini menjadi forum penting untuk membahas arah kebijakan perpajakan nasional di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi pengurusa cabang IKPI yang aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti ini. Selain berkontribusi untuk dunia perpajakan, kegiatan seperti ini sekaligus mengukuhkan IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak yang aktif berperan membantu pemerintah dalam menyosialisasikan dan melakukan edukasi perpajakan kepada masyarakat serta dunia usaha,” ujarnya.

Sekadar informasi, turut hadir dari IKPI dalam kesempatan antara lain, Ketua Dewan Kehormatan Christian B. Marpaung, perwakilan Ketua Dewan Penasehat Heru R. Hadi, Pengurus Pusat Warsito dan Fadhil, serta perwakilan Ketua Pengda DKJ, Kosasih. (bl)

Dirjen Pajak Minta Pengusaha Dukung dan Sukseskan Implementasi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mengakselerasi transformasi digital sektor perpajakan lewat sistem Coretax. Dalam acara AMSC Gathering 2025 yang digelar di Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo secara terbuka meminta dukungan dari kalangan pengusaha agar sistem ini bisa berjalan maksimal.

Coretax adalah sistem inti administrasi perpajakan berbasis digital yang diyakini mampu menciptakan keadilan dan transparansi lebih besar dalam pengelolaan pajak. “Saya sangat berharap, betul-betul memohon dukungan para pihak. Supaya apa? Coretax ini betul-betul dapat kita jalankan dengan baik,” ujar Suryo.

Ia memaparkan sembilan pilar utama dalam pengembangan Coretax, mulai dari otomasi layanan, transparansi transaksi, hingga penyediaan data kredibel dan penegakan hukum berbasis risiko. Semua itu bertujuan memudahkan wajib pajak dan menekan potensi kecurangan. Tak hanya bicara konsep, Coretax juga telah diuji di lapangan.

Dalam periode 24 Maret–20 April 2025, sistem ini menunjukkan performa cukup stabil, meskipun sempat mengalami lonjakan waktu tunggu saat terjadi peningkatan aktivitas transaksi. Misalnya, proses pendaftaran sempat melambat hingga 1,13 detik, dan pengelolaan SPT Masa pernah mencatat latensi hingga 30,1 detik. Namun, DJP memastikan semuanya kini terkendali dan jauh lebih baik.

“Fluktuasi latensi ini wajar dalam masa transisi, apalagi saat volume transaksi tinggi. Tapi sekarang sudah jauh lebih stabil,” kata Dwi Astuti, Direktur P2Humas DJP.

Sejak awal tahun hingga 20 April 2025, Coretax telah menangani hampir 200 juta faktur pajak dan lebih dari 70 juta bukti potong. Sistem ini juga mengelola lebih dari 2 juta SPT Masa untuk tiga bulan pertama tahun ini.

Suryo menegaskan bahwa Coretax bukan sekadar proyek teknologi, tetapi bagian dari proyek strategis nasional yang bertujuan menurunkan biaya kepatuhan, meningkatkan efisiensi pemungutan, dan meminimalkan risiko fraud. Ia pun menyampaikan terima kasih kepada pengusaha ritel yang terus memberikan masukan konstruktif selama proses implementasi.

“Intinya, kami ingin membuat perpajakan yang lebih mudah, adil, dan terpercaya. Coretax adalah fondasi menuju masa depan itu,” katanya. (alf)

 

id_ID