Pemerintah Tegaskan Pajak Karbon Jadi Instrumen Utama Transisi Energi Nasional

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan arah baru kebijakan energi nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang diundangkan pada 15 September 2025. Regulasi ini menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) paling lambat pada tahun 2060, dengan menjadikan pajak karbon dan insentif berbasis kinerja sebagai dua instrumen kunci dalam transisi menuju ekonomi hijau.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menyatakan bahwa arah kebijakan utama energi nasional harus didukung oleh penerapan pajak karbon serta pemberian insentif bagi pelaku usaha dan pengguna energi yang berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Langkah ini menandai babak baru dalam transformasi sektor energi, yang selama ini menjadi penyumbang terbesar emisi nasional.

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1), pemerintah pusat diberikan kewenangan untuk mengenakan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan secara bertahap. Skema bertahap ini akan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, agar kebijakan transisi energi tidak menimbulkan gejolak di masyarakat maupun industri.

Adapun Pasal 83 ayat (2) menegaskan bahwa penerapan pajak karbon akan dilakukan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta aturan turunannya, yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. Pajak karbon secara spesifik akan diterapkan pada sektor-sektor strategis seperti transportasi, industri termasuk pembangkitan tenaga listrik, dan sektor komersial.

Tak hanya fokus pada pungutan, pemerintah juga memberikan insentif fiskal untuk mempercepat adopsi energi bersih. PP 40/2025 membuka ruang pemberian fasilitas berupa keringanan pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), kepabeanan, retribusi, hingga pengurangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bagi pelaku usaha yang mengembangkan energi baru, terbarukan, maupun efisien energi tak terbarukan.

Selain itu, beleid baru ini juga memperkenalkan secara eksplisit konsep Nilai Ekonomi Karbon (NEK), sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 34. NEK didefinisikan sebagai nilai terhadap setiap unit emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan ekonomi. Melalui mekanisme ini, pemerintah, daerah, maupun badan usaha dapat memperoleh insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan emisi di sektor energi.

Mekanisme NEK diharapkan menjadi instrumen efektif untuk mendorong diversifikasi sumber energi, penerapan teknologi rendah karbon, serta efisiensi dan konservasi energi. Pemerintah menargetkan, skema ini dapat memperkuat pendanaan hijau dan mempercepat pencapaian target penurunan emisi nasional.

Dengan diberlakukannya PP 40/2025, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional resmi dicabut. Langkah ini menandai pergeseran paradigma dari sekadar penyediaan energi menuju pengelolaan energi berkelanjutan yang mengintegrasikan dimensi lingkungan, sosial, dan fiskal dalam satu kebijakan nasional. (alf)

Eks Hakim Pajak Soroti Ketimpangan dan “Kepastian Semu” dalam Hukum Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode 1997–1999, Nuryadi Mulyodiwarno, melontarkan kritik terhadap lemahnya kepastian hukum dan ketimpangan dalam sistem perpajakan Indonesia.

“Kalau putusan dibacakan dua tahun setelah diputus, lalu di mana certainty principle?” sindir Nuryadi saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (24/10/2025).

Dalam forum yang turut menghadirkan pakar pajak seperti Guru Besar Fakulyas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak periode (2010-2015) Catur Rini Widosari, dan Henro Susanto (Wakil Ketua Departemen Hukum IKPI), Nuryadi menilai praktik perpajakan di Indonesia sering kali hanya terlihat tertib secara administratif, namun jauh dari efisien dan pasti dalam penerapannya.

“Dulu di BPSP, putusan dibacakan sehari setelah ditetapkan. Sekarang? Bisa setahun lebih. Bagaimana mau disebut efisien dan pasti?” ujarnya.

Ia menyoroti lamanya proses keberatan dan sengketa pajak yang dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. “Sudah empat puluh tahun sistem keberatan tetap 12 bulan seperti tahun 1983. Katanya reformasi, tapi praktiknya stagnan,” tegasnya.

Tak hanya soal waktu penyelesaian perkara, Nuryadi juga menyoroti dasar hukum sejumlah kebijakan modern di bidang perpajakan yang menurutnya terlalu lemah. Ia mencontohkan sistem Coretax yang disebutnya belum memiliki payung hukum yang memadai. “Sistem sebesar itu seharusnya diatur undang-undang, bukan sekadar surat keputusan atau edaran. Ini contoh form yang mengalahkan substance,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan (1992–1997) itu menegaskan, perdebatan substance over form bukan hanya isu akademik, melainkan menyangkut arah kebijakan fiskal dan keadilan ekonomi. “Kalau aturan dibuat tanpa memahami substansi ekonomi, yang lahir hanyalah kepatuhan semu,” katanya.

Ia juga menyoroti ketimpangan sosial dalam kebijakan pajak yang masih berpihak pada kelompok kuat. “Rakyat kecil beli sarung kena PPN, sementara pengusaha besar mendapat insentif. Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi moralitas fiskal,” ujarnya.

Nuryadi menekankan, reformasi pajak sejati harus dimulai dari perubahan paradigma. “Pajak bukan sekadar alat pungut, tapi alat pemerataan. Dan pemerataan tidak mungkin terjadi kalau hukum pajak sendiri tidak adil,” tegasnya.

Ia menyerukan agar para konsultan pajak tidak hanya terpaku pada teks peraturan, tetapi juga memahami makna ekonominya. “Kalau kita ingin memperbaiki penerimaan negara, jangan hanya bicara form. Dalami substansinya. Karena hukum pajak yang kuat hanya lahir dari niat yang adil,” pungkasnya. (bl)

Ketum IKPI Sebut “Substance Over Form” Kunci Keadilan Pajak yang Sebenarnya

IKPI, Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan pentingnya penerapan prinsip substance over form dalam praktik perpajakan sebagai kunci menjaga keadilan antara fiskus dan wajib pajak. Menurutnya, makna di balik transaksi sering kali lebih penting dibanding bentuk formal yang tampak di permukaan.

“Topik ini menarik karena sering kali terjadi perbedaan tafsir antara fiskus dan wajib pajak terhadap satu transaksi. Nah, di sinilah tantangan kita, bagaimana menempatkan makna yang sebenarnya agar pajak berjalan adil tanpa menafikan aturan,” ujar Vaudy saat membuka diskusi panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar secara luring di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan dan juga daring, Jumat (24/10/2025).

Vaudy menilai bahwa penerapan prinsip substance over form bukan sekadar persoalan teknis administrasi, melainkan juga refleksi dari nilai keadilan dalam sistem perpajakan nasional. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kepatuhan formal dan keadilan substantif agar tidak ada pihak yang dirugikan.

“Kadang yang tampak benar di atas kertas belum tentu mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Pajak harus dilihat dari substansi, bukan sekadar bentuk. Inilah yang menjadi roh diskusi kita hari ini,” ungkapnya.

Sekadar informasi, diskusi panel tersebut diikuti lebih dari 200 peserta melalui Zoom Meeting, menghadirkan sejumlah pakar dan tokoh perpajakan. Para narasumber antara lain Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si dari Universitas Indonesia, Catur Rini Widosari (anggota kehormatan IKPI dan mantan Kakanwil DJP Banten serta DJP Jabar III), Nuryadi Mulyodiwarno (Ketua II Pengurus Pusat IKPI periode 2014–2019), dan Henro Susanto (Wakil Ketua Departemen Hukum IKPI) yang sekaligus menjadi moderator.

Dalam kesempatan itu, Vaudy juga memberikan apresiasi atas kehadiran para tokoh senior IKPI dan mantan hakim pajak seperti Harta Indra Tarigan dan Haryono yang baru saja purna tugas. Ia berharap pengalaman dan pandangan mereka dapat memperkaya perspektif dalam pembahasan topik yang kompleks tersebut.

Selain mengulas tema diskusi, Vaudy turut memperkenalkan kegiatan rutin IKPI seperti diskusi panel bulanan dan podcast pajak yang tayang empat kali sebulan setiap hari Minggu. Program tersebut menjadi bagian dari upaya IKPI memperluas edukasi dan literasi pajak di masyarakat.

“Podcast ini kami hadirkan agar semangat belajar pajak bisa terus hidup. Pajak bukan hanya urusan angka, tetapi juga soal memahami makna dan keadilan di balik setiap transaksi,” jelasnya. (bl)

Daftar 11 Negara Tanpa Pajak Penghasilan: Surga Finansial, Tapi Tidak untuk Semua Orang

Tidak semua orang di dunia wajib setor pajak penghasilan. Di beberapa penjuru bumi, ada negara-negara yang benar-benar membebaskan warganya dari kewajiban membayar pajak pribadi mulai dari pantai tropis Karibia hingga gurun mewah di Timur Tengah.

Menurut laporan The Economic Times, sepanjang 2025 ada setidaknya 11 negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi. Dari Bahamas hingga Uni Emirat Arab, negara-negara ini menjadi magnet bagi ekspatriat dan investor yang ingin “menikmati 100% hasil kerja mereka”.

1. Bahamas

Bahamas menawarkan dua hal yang sulit ditolak: cuaca tropis dan nol pajak penghasilan. Cukup beli properti minimal sekitar Rp12 miliar, dan izin tinggal bisa dikantongi dengan mudah. Meski biaya hidup tinggi, stabilitas politik dan gaya hidup pantai membuat negara ini jadi surga bagi miliuner dunia.

2. Bahrain

Melalui program Golden Residency, Bahrain memberikan visa 10 tahun bagi investor yang menanamkan dana sekitar Rp8,5 miliar. Tak ada pajak penghasilan, proses izin tinggalnya serba online, dan negara ini dikenal ramah ekspatriat.

3. Bermuda

Bermuda juga bebas pajak penghasilan, meski perusahaan tetap wajib membayar pajak penggajian. Bagi profesional global yang bekerja jangka pendek, negara dengan pantai berpasir merah muda ini menawarkan keamanan tinggi dan gaya hidup premium.

4. Brunei

Di Brunei, warga menikmati layanan kesehatan dan pendidikan gratis tanpa perlu membayar pajak penghasilan. Namun, tak mudah untuk menjadi penduduk tetap—izin tinggal dan kewarganegaraan hanya bisa diberikan dengan restu kerajaan.

5. Kepulauan Cayman

Cayman Islands adalah ikon klasik “surga pajak”. Tak ada pajak penghasilan, pajak properti, atau pajak capital gain. Tapi tiket masuknya mahal—investasi minimal sekitar Rp19 miliar dan penghasilan tahunan minimal Rp2,3 miliar. Setelah lima tahun, barulah bisa mengajukan kewarganegaraan.

6. Kuwait

Didukung kekayaan minyak melimpah, Kuwait membebaskan warganya dari pajak penghasilan dan memberikan gaji tinggi bagi ekspatriat. Namun, untuk mendapatkan izin tinggal permanen atau kewarganegaraan, hampir mustahil. Sekitar dua pertiga penduduknya bahkan adalah warga asing.

7. Monaco

Monaco, permata di pesisir Mediterania, sudah lama dikenal sebagai surga pajak bagi miliarder dunia. Tak ada pajak penghasilan, tetapi untuk menetap di sana seseorang harus menyetor minimal Rp8 miliar ke bank lokal dan memiliki properti tetap.

8. Maladewa

Maladewa memang bebas pajak penghasilan, tapi eksklusivitasnya ketat. Kewarganegaraan hanya diberikan kepada Muslim Sunni, dan tidak ada program residensi untuk warga asing. Singkatnya, Maladewa lebih cocok untuk berlibur mewah ketimbang hidup permanen.

9–10. Oman dan Qatar

Keduanya menawarkan hidup tanpa pajak penghasilan dengan kualitas hidup tinggi. Oman mulai membuka pintu bagi investor asing lewat visa investasi, sedangkan Qatar memberikan izin tinggal permanen bagi mereka yang sudah menetap legal selama dua dekade dan memenuhi syarat finansial tertentu.

Hidup Bebas Pajak, Tapi Tidak Bebas Biaya

Meski terdengar seperti mimpi, hidup tanpa pajak bukan berarti hidup murah. Mayoritas negara bebas pajak mensyaratkan investasi besar, biaya hidup selangit, dan standar finansial tinggi.

Ahli keuangan mengingatkan, sebelum pindah ke negara semacam itu, calon ekspatriat sebaiknya memahami aturan izin tinggal, perbedaan budaya, dan biaya hidup riil. Sebab, kebebasan dari pajak bisa jadi terasa semu jika pengeluaran harian justru menembus langit. (alf)

APPI Usul Pajak Emas Hanya Dikenakan Kepada Produsen, Tutup Celah Penghindar Pajak

IKPI, Jakarta: Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APPI) mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar pajak atas emas perhiasan sebaiknya hanya dikenakan di tingkat produsen. Langkah ini dinilai sebagai solusi konkret untuk menutup celah penghindaran pajak yang kerap dimanfaatkan produsen ilegal.

Dalam pertemuan di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (23/10/2025), Purbaya mengungkapkan bahwa para pelaku industri perhiasan mengeluhkan rumitnya skema perpajakan saat ini, terutama karena masih banyak produsen yang beroperasi tanpa izin dan tidak menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Mereka minta kita menyesuaikan kebijakan yang berhubungan dengan produsen perhiasan yang dianggap ilegal,” ujar Purbaya.

Menurutnya, praktik ilegal di sektor ini marak terjadi, mulai dari penjualan tanpa dokumen resmi hingga pengiriman barang tanpa surat keterangan pembelian. Akibatnya, rantai distribusi emas perhiasan menjadi sulit diawasi, dan banyak toko emas membeli barang dari produsen tanpa menyertakan bukti pajak.

Skema Baru untuk Tutup Celah Pajak

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023, beban pajak emas perhiasan saat ini mencapai sekitar 3 persen, terdiri atas 1,1 persen di tingkat produsen dan 1,6 persen di tingkat konsumen akhir. Namun dalam praktiknya, banyak produsen tidak melaporkan penjualan sebenarnya sehingga PPN hanya tertagih dari penjualan ke konsumen, bukan dari proses produksi awal.

APPI pun mengusulkan agar seluruh beban pajak 3 persen dikenakan langsung di tingkat produsen. Dengan begitu, setiap produk perhiasan yang keluar dari pabrik sudah dipastikan membayar pajak, sehingga pengawasan menjadi lebih mudah dan potensi kebocoran dapat ditekan.

“Asosiasi memperkirakan sekitar 90 persen produsen saat ini beroperasi di luar mekanisme pajak yang patuh,” kata Purbaya. “Jadi mereka minta treatment bagaimana caranya supaya PPN dibayar langsung oleh perusahaan, bukan di konsumen aja.”

Dengan skema baru ini, pemerintah diharapkan bisa meningkatkan penerimaan pajak sekaligus memberikan kepastian usaha bagi produsen yang taat aturan. Industri perhiasan yang selama ini dikenal padat karya juga berpotensi tumbuh lebih sehat karena persaingan tidak lagi timpang antara pelaku legal dan ilegal.

Langkah reformasi pajak di sektor perhiasan ini tengah dikaji serius oleh Kementerian Keuangan. Jika diterapkan, kebijakan tersebut bisa menjadi preseden penting bagi sektor lain yang menghadapi persoalan serupa antara kepatuhan, pengawasan, dan keadilan pajak. (alf)

Dua Wajah Baru Hakim Agung Pajak: Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting Siap Perkuat Kamar TUN

IKPI, Jakarta: Dunia peradilan pajak di Indonesia kedatangan dua sosok baru yang siap memperkuat penegakan hukum di bidang tata usaha negara (TUN) khusus pajak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menetapkan Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting sebagai hakim agung TUN khusus pajak, melalui rapat paripurna setelah keduanya lolos uji kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI.

Penetapan ini menandai langkah penting dalam upaya memperkuat kapasitas Mahkamah Agung (MA) dalam menangani perkara-perkara perpajakan yang kian kompleks, sekaligus menjamin konsistensi putusan di tingkat tertinggi.

Keduanya telah resmi dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., pada Kamis (23/10/2025) di Ruang Kusumaatmadja, Tower Mahkamah Agung, Jakarta. Pelantikan itu digelar dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan dan Pelantikan sembilan hakim agung serta satu hakim ad hoc.

Budi Nugroho: Hakim Pajak yang Menjaga Keseimbangan Fiskal dan Kepastian Hukum

Nama Budi Nugroho bukanlah wajah baru di dunia hukum pajak. Dalam lima tahun terakhir, ia dikenal sebagai hakim di Pengadilan Pajak, tempatnya mengurai beragam sengketa seputar perpajakan, kepabeanan, hingga bea cukai. Latar belakang dan pengalamannya membuat Budi dianggap memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika hukum fiskal Indonesia.

Dalam pemaparannya di hadapan anggota DPR, Budi menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan perlindungan hak wajib pajak. Baginya, tugas hakim pajak bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi juga memastikan keadilan substantif bagi seluruh pihak.

Ia juga menyoroti rencana integrasi Pengadilan Pajak ke dalam Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, pembentukan kamar pajak di MA merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi putusan, khususnya dalam perkara peninjauan kembali (PK). “Konsistensi dan kepastian hukum adalah fondasi kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan,” ujarnya.

Budi menilai, peningkatan kompetensi hakim pajak merupakan kebutuhan mendesak agar putusan-putusan yang dihasilkan tidak hanya tepat secara hukum, tetapi juga berdampak positif bagi kepastian usaha dan iklim investasi.

Diana Malemita Ginting: Auditor Senior yang Siap Bertransformasi Jadi Penegak Keadilan Pajak

Berbeda dengan Budi, Diana Malemita Ginting datang dengan latar belakang yang unik. Ia bukan dari jalur karier hakim, melainkan tiga dekade mengabdi sebagai auditor di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dengan jabatan terakhir sebagai Auditor Utama. Pengalaman panjangnya dalam menelaah laporan dan regulasi keuangan membuatnya piawai dalam menilai kepatuhan terhadap hukum fiskal.

“Pola kerja auditor dan hakim sebenarnya serupa,” ujar Diana saat menjalani uji kelayakan. “Keduanya menilai berkas, memastikan kesesuaian dengan aturan, lalu memberikan rekomendasi atau putusan yang membawa konsekuensi hukum.”

Dalam pandangannya, tingginya beban perkara pajak di MA — terutama terkait permohonan peninjauan kembali (PK) — perlu direspons dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Ia mengusulkan agar perkara pajak dikelompokkan berdasarkan jenis, seperti transfer pricing, CPO, hingga migas, agar penanganannya lebih efektif dan cepat.

Tak hanya fokus pada tumpukan perkara, Diana juga menunjukkan visi ke depan. Ia mendorong pemerintah untuk segera menuntaskan aturan teknis pajak karbon, mencakup sistem monitoring, reporting, verification (MRV) hingga penerbitan sertifikat izin emisi. Menurutnya, pendapatan dari pajak karbon dapat menjadi sumber pendanaan strategis bagi program pengendalian perubahan iklim nasional.

Sinergi Pengalaman dan Integritas untuk Peradilan Pajak yang Lebih Kuat

Kehadiran dua figur dengan latar belakang berbeda ini diharapkan mampu membawa warna baru di kamar TUN khusus pajak. Budi dengan pengalaman yudisialnya, dan Diana dengan perspektif pengawasan fiskalnya, diyakini dapat saling melengkapi dalam memperkuat integritas dan kualitas putusan pengadilan.

Dengan pengesahan dan pelantikan ini, publik menaruh harapan besar bahwa Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting akan menghadirkan wajah peradilan pajak yang lebih adil, transparan, dan profesional, sejalan dengan semangat reformasi hukum dan perpajakan di Indonesia. (bl)

Hakim TUN Pajak Resmi Dilantik, MA Kukuhkan 10 Hakim Baru

IKPI, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) kembali memperkuat jajaran yudisialnya dengan melantik sembilan Hakim Agung dan satu Hakim Ad Hoc dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan di Ruang Kusumaatmadja, lantai 14 Tower MA Jakarta, Kamis (23/10/2025). Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pelantikan Hakim Agung di Kamar Tata Usaha Negara (TUN) yang membidangi sengketa pajak.

Sidang sakral ini dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., serta disaksikan oleh jajaran pimpinan MA, Wakil Ketua Bidang Yudisial, para Ketua Kamar, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc, dan pejabat struktural eselon I dan II. Jalannya prosesi berlangsung khidmat dan terbuka untuk umum, serta disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam sambutannya, Sunarto menegaskan bahwa jabatan hakim agung adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas dan rasa tanggung jawab. “Sumpah yang diucapkan hari ini bukan hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga para hakim yang dilantik dapat menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujarnya.

Pelantikan ini merupakan hasil akhir dari proses panjang seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan uji kelayakan serta kepatutan di Komisi III DPR RI. Setelah melewati tahap tersebut, para calon hakim agung akhirnya dikukuhkan untuk memperkuat berbagai kamar di lingkungan MA.

Adapun sembilan hakim agung yang dilantik terdiri dari berbagai kamar, yakni pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. Di antaranya adalah Dr. Hari Sugiharto, S.H., M.H., serta Dr. Budi Nugroho, S.H., S.E., M.Hum., dan Dr. Diana Malemita Ginting, Ak., S.H., M.Si., M.H. yang akan memperkuat Kamar Tata Usaha Negara (TUN) — termasuk bidang peradilan pajak yang semakin kompleks seiring meningkatnya sengketa fiskal.

Selain itu, turut dilantik Dr. Moh. Puguh Hariyogi, S.H., Sp.N., M.H. sebagai Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia (HAM), yang diharapkan mampu menambah perspektif keadilan substantif dalam perkara-perkara pelanggaran HAM berat.

Para hakim agung dan hakim ad hoc yang dilantik berikrar untuk menjalankan tugas dengan jujur, setia pada UUD 1945, serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu. “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar mereka serempak dalam pembacaan sumpah.

Ketua MA Sunarto menutup prosesi dengan doa agar para hakim yang baru dilantik senantiasa diberikan kekuatan moral, kejernihan hati, dan keberanian dalam menegakkan hukum. “Semoga saudara-saudara semua selalu dalam lindungan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa,” tutupnya.

Dengan pelantikan ini, Mahkamah Agung berharap kinerja peradilan, khususnya di bidang TUN dan pajak, semakin profesional, transparan, dan responsif terhadap dinamika hukum dan ekonomi nasional. (bl)

Edukasi Perpajakan IKPI: Role Access dan Impersonate Jadi Kunci Pelaporan Pajak di Coretax

IKPI, Jakarta: Sistem Coretax Administration yang resmi diterapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2025 tidak hanya membawa wajah baru bagi pelaporan SPT, tetapi juga mengubah secara fundamental cara wajib pajak dan kuasa pajak mengelola akses serta otorisasi akun. Hal ini diungkapkan Michael, Sekretaris Pengda IKPI Banten, dalam kegiatan edukasi perpajakan bertema “Isu Terkini SPT Masa PPh Pasal 21–26”, Kamis (23/10/2025).

Menurut Michael yang juga sebagai narasumber pada Edukasi Perpajakan IKPI, salah satu fitur paling krusial di Coretax adalah role access, yang membedakan peran pengguna antara drafter, signer, dan PIC (person in charge). “Role access ini bukan formalitas. Ini menentukan siapa yang berhak membuat, memverifikasi, dan menandatangani SPT masa,” jelasnya. 

Ia menekankan bahwa kesalahan dalam mengatur akses bisa berujung pada pelaporan yang tidak sah secara administratif.

Selain role access, sistem Coretax juga memperkenalkan fitur baru bernama impersonate, yang memungkinkan seorang profesional mengakses akun badan atau perusahaan melalui akun pribadi yang telah terverifikasi. 

“Fitur ini menggantikan cara lama di DGT Online. Jadi bukan lagi pakai akun perusahaan langsung, melainkan lewat login pribadi yang diotorisasi sebagai wakil resmi,” ujar Michael.

Ia menambahkan, perubahan lain yang tak kalah penting adalah penggantian sertifikat elektronik badan dengan kode otentikasi (KO), yang berfungsi sebagai tanda tangan digital resmi. “Sekarang tidak ada lagi e-certificate badan. Semua otentikasi sudah beralih ke KO, yang jauh lebih aman dan efisien,” ujarnya.

Michael menjelaskan, setiap perusahaan harus melakukan pengaturan ulang terhadap akun pusat dan cabangnya, yang kini dikenal dengan istilah NITKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha). “Kalau dulu NPWP cabang, sekarang jadi NITKU. Dan setiap NITKU punya akses berbeda sesuai peran dan tanggung jawabnya,” katanya.

Ia mengingatkan, pengabaian terhadap detail teknis ini dapat menyebabkan permasalahan pelaporan, terutama ketika bukti potong dibuat tanpa role yang tepat. “Kalau signer tidak punya otorisasi, laporan bisa ditolak sistem. Ini bukan sekadar administratif, tapi soal legalitas pelaporan pajak,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan sistem berbasis role access dan impersonate ini merupakan bentuk penguatan governance dan akuntabilitas perpajakan nasional. Dengan sistem ini, setiap tindakan dapat ditelusuri siapa yang membuat, memverifikasi, dan menandatangani. “Transparansi meningkat, potensi penyalahgunaan data menurun,” ujarnya optimistis.

Ia mengajak para praktisi pajak untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan regulasi melalui kegiatan pendidikan berkelanjutan yang diadakan oleh IKPI. “Coretax bukan hanya platform pelaporan, tapi revolusi cara berpikir dalam menjalankan kepatuhan pajak. Jangan tunggu dipaksa sistem pahami dan kuasai lebih dulu,” pungkas Michael. (bl)

Edukasi Perpajakan IKPI: Perubahan Bukti Potong Tantangan Adaptasi di Era Coretax

IKPI, Jakarta: Sekretaris Pengda Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Banten, yang juga menjadi narasumber pada Edukasi Perpajakan, Michael, mengingatkan para pelaku usaha dan konsultan pajak untuk bersiap menghadapi perubahan besar dalam tata cara pelaporan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21–26. Transformasi ini terjadi seiring dengan diberlakukannya Peraturan Dirjen Pajak (Per-11 Tahun 2025) yang memperkuat penerapan Coretax Administration System di seluruh lini pelaporan pajak.

Menurut Michael, regulasi baru tersebut bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga menuntut adaptasi mindset wajib pajak. Sistem Coretax, katanya, dirancang untuk menyederhanakan, menstandarkan, sekaligus mendigitalisasi seluruh proses pelaporan agar lebih efisien dan transparan. “Namun di lapangan, banyak perusahaan yang masih gagap memahami perubahan ini,” ujarnya dalam acara edukasi perpajakan yang digelar secara daring, Kamis (23/10/2025).

Michael menjelaskan, perubahan paling signifikan terlihat dari pembaruan format bukti potong yang kini memiliki kode baru, antara lain BP21, BP26, BPA1, dan BPA2. Semua dokumen tersebut wajib dibuat dan dilaporkan melalui sistem elektronik Coretax yang terintegrasi langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). “Kalau dulu pakai e-Bupot atau perekam DGT Online, sekarang semuanya sudah pindah ke Coretax,” tuturnya.

Ia menekankan bahwa kesalahan kecil dalam pengisian bukti potong atau keterlambatan pelaporan dapat berakibat fatal. “Banyak yang menganggap perubahan ini cuma soal teknis input, padahal konsekuensinya bisa sampai ke sanksi administratif atau bahkan pemeriksaan pajak,” jelasnya. 

Ia mencontohkan, kasus pembetulan berulang kali pada SPT masa 2024 menjadi pelajaran penting agar adaptasi sistem baru dilakukan secara hati-hati.

Menurutnya, wajib pajak kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan rutinitas lama. Pengelola HR dan staf payroll harus benar-benar memahami mekanisme pemotongan serta pelaporan baru agar tidak terjebak kesalahan sistem. “Kita tidak bicara compliance di atas kertas lagi, tapi compliance digital yang berbasis data real time,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan Coretax menjadi momentum penting bagi dunia perpajakan Indonesia untuk memperkuat prinsip self-assessment. Dalam sistem ini, setiap wajib pajak harus mampu menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya secara mandiri namun akurat. “Kalau dulu masih bisa manual, sekarang tidak ada alasan lagi untuk salah. Semua terukur dan terekam,” katanya.

Meski begitu, ia mengakui bahwa transformasi digital ini memerlukan masa transisi yang tidak sebentar. DJP diharapkan terus memperkuat sosialisasi, terutama untuk sektor UMKM dan badan kecil yang belum sepenuhnya memahami struktur pelaporan Coretax. “Edukasi dan pendampingan dari asosiasi seperti IKPI juga menjadi kunci keberhasilan implementasi,” tambahnya.

Namun demikian, Michael berpesan agar para profesional pajak tidak hanya fokus pada aspek pelaporan, tetapi juga membangun budaya patuh pajak berbasis integritas. “Teknologi hanya alat. Yang menentukan tetap manusianya apakah kita mau beradaptasi dan taat atau tidak,” ujarnya. (bl)

Meningkatkan Kepatuhan Sukarela Wajib Pajak

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras kepada seluruh jajaran pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam arahannya, Purbaya menegaskan bahwa wajib pajak (WP) yang telah patuh dan taat dalam memenuhi kewajiban pajaknya harus mendapatkan perlakuan yang adil (fair treatment).

Arahan tersebut merupakan kabar baik bagi wajib pajak. Di mana sebagai konsekuensi dari Self Assessment System adalah fiskus dapat melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak.

Namun, ada satu hal yang masih menjadi PR bersama, yakni bagaimana meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak? Pertanyaan ini terus menerus bergulir sampai hari ini. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menuju ke sana.

Peraturan Pajak yang Selalu Berubah-ubah

Pajak bukan sekadar soal membayar kewajiban ke negara. Di balik angka-angka tersebut, terdapat sistem hukum, administratif, dan teknis yang sangat kompleks.

Misalnya:

• Jenis pajak yang berbeda-beda: PPh 21, PPh 23, PPh Final UMKM, PPN, dan lain-lain memiliki aturan, tarif, dan cara lapor masing-masing.

• Pembaruan regulasi yang terus-menerus: Satu kebijakan bisa berubah dalam hitungan bulan melalui PMK, SE, atau PER DJP.

• Teknologi dan sistem yang terus berganti: Munculnya aplikasi e-Bupot, e-Billing, e-Faktur 3.0, hingga Coretax mewajibkan adaptasi cepat dari para wajib pajak.

Banyak pelaku usaha kecil menengah (UKM), pekerja lepas, bahkan perusahaan skala besar pun sering tertinggal dalam mengikuti perkembangan ini.

Wajib pajak menjadi bingung. Kebingungan ini bukan hanya soal mental, tetapi juga berdampak langsung ke finansial. Kesalahan dalam menghitung, menyetor, atau melaporkan pajak bisa berujung pada:

• Denda administrasi karena keterlambatan atau kekeliruan pelaporan

• Sanksi bunga atas kekurangan pembayaran

• Surat teguran atau pemeriksaan pajak

• Pencabutan NPWP atau status PKP

Bayangkan pelaku usaha UMKM yang baru saja melampaui omzet Rp4,8 miliar. Tidak tahu harus pindah ke skema PPh umum, dia tetap setor 0,5% PPh Final. Setelah diperiksa, ternyata dia keliru dan harus bayar kekurangan plus denda. Ini bukan kasus fiktif, tapi realita yang sering terjadi.

Keterbatasan Akses terhadap Konsultasi Pajak Profesional

Idealnya, setiap wajib pajak bisa bertanya langsung ke ahli pajak setiap kali bingung. Namun kenyataannya:

• Konsultan pajak profesional tidak selalu terjangkau, apalagi bagi individu atau UMKM.

• Kantor pajak memiliki keterbatasan waktu dan tenaga dalam melayani konsultasi secara menyeluruh.

• Banyak yang tidak tahu ke mana harus bertanya, atau ragu karena takut dianggap “bodoh”.

Padahal, kesalahan dalam pajak bukan hal sepele. Sekali salah, koreksinya bisa mahal dan panjang prosesnya. Sayangnya, akses konsultasi yang mudah dan cepat masih menjadi kendala utama bagi sebagian besar masyarakat.

“Berburu di Kebun Binatang”

Sebagai konsekuensi pelaksanaan Self Assessment System, otoritas dapat melakukan penilaian terhadap pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak. Sebagai pintu masuk, KPP terdaftar akan menerbitkan SP2DK.

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada wajib pajak dalam rangka pelaksanaan P2DK. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak, perubahan dari SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak dalam Bentuk Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.

Menurut penulis, SP2DK merupakan pintu masuk menuju pemeriksaan. Artinya, ketika wajib pajak tidak atau dianggap tidak bisa memberikan penjelasan sejelas-jelasnya ke otoritas, SP2DK ini akan diusulkan ke pemeriksaan.

Hal inilah yang membuat wajib pajak resah, terlebih bagi wajib pajak yang telah memenuhi hak dan kewajiban perpajakan secara baik dan benar. Padahal secara hakikat, ending SP2DK tidak harus ada setoran tambahan.

Di lapangan, banyak wajib pajak berpikir ulang untuk melaporkan pajak secara benar, “toh ujung-ujungnya tetap dikenakan tambahan setoran.”

Arahan Menkeu Purbaya

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Beri Peringatan Keras Jajaran Direktorat Jenderal Pajak: Pegawai Pajak Jangan Ganggu Wajib Pajak yang Sudah Patuh!

Menurut penulis, arahan Menkeu tersebut sangat tepat dan harus didukung dengan dibuatkan legal standing-nya, baik berupa PMK atau PER, supaya di lapangan tidak terjadi istilah “berburu di kebun binatang”.

Legal standing tersebut harus memuat:

• Kriteria wajib pajak patuh

• Wajib pajak yang bagaimana

• Kondisi wajib pajak yang bagaimana

• Apa jaminan jika masuk kategori wajib pajak patuh

• Fasilitas apa yang didapat

Menkeu menekankan pentingnya menciptakan lingkungan perpajakan yang kondusif, terutama bagi mereka yang telah berkontribusi aktif pada penerimaan negara.

Apabila ada legal standing yang jelas, tentu akan membawa angin segar bagi para wajib pajak, terutama bagi mereka yang sudah patuh atau yang sudah berkontribusi selama ini. Dengan demikian, para wajib pajak akan berlomba-lomba menjadi wajib pajak patuh.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID