Peta Jalan Pajak Asia-Pasifik: Kolaborasi, Penyelesaian Sengketa, dan Strategi Baru

Konstelasi perpajakan internasional tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran digitalisasi ekonomi, krisis geopolitik, dan tekanan transparansi global, negara-negara di Asia-Pasifik menunjukkan geliat yang tidak bisa diabaikan.

Kongres International Fiscal Association (IFA) Asia-Pacific Regional yang ke-8 di Kuala Lumpur pada 29-30 April 2025 menjadi momen penting dalam menggambar ulang peta jalan pajak kawasan ini.

Semangat kolaborasi menjadi denyut utama kongres ini. Lebih dari 150 peserta dari berbagai negara hadir bukan hanya untuk berbagi kebijakan, tapi untuk menyusun fondasi kesepahaman lintas yurisdiksi.

Topik seperti BEPS 2.0, Global Minimum Tax (GMT), transfer pricing, sengketa pajak, dan Country-by-Country Reporting (CbCR) dibedah dalam konteks regional, dengan fokus pada bagaimana negara-negara seperti Indonesia, Australia, India, Malaysia, dan Singapura menyelaraskan regulasi domestik dengan standar global.

Pembahasan mengenai compliance dan transparansi menandai titik temu baru antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Asia-Pasifik tak lagi sekadar “penerima dampak”, melainkan kini tampil sebagai aktor yang berani membentuk arah.

Namun, kolaborasi bukan tanpa tantangan. Meningkatnya jumlah sengketa pajak internasional, khususnya yang melibatkan transaksi afiliasi dan perpindahan laba, menjadi bukti bahwa sistem perpajakan global masih terus mencari keseimbangannya. India, misalnya, mencatat lebih dari 170 kasus APA, sementara Australia menghadapi landmark cases yang menguji batas kewenangan domestik atas praktik global perusahaan multinasional.

Indonesia juga menunjukkan peningkatan intensitas pemeriksaan pajak audit dan permintaan MAP, menandakan bahwa Wajib Pajak kini lebih sadar risiko dan lebih siap untuk menempuh jalur formal penyelesaian. Sementara itu, Singapura menjadi contoh bagaimana kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa pajak bisa menjadi keunggulan kompetitif.

Tren baru juga terlihat dari pergeseran fokus kebijakan pajak. Jika dulu perhatian tertuju pada perusahaan multinasional, kini negara-negara seperti Australia mulai membidik family office dan individu berpenghasilan tinggi. Indonesia memperkuat insentif fiskal sekaligus membangun ulang sistem teknologi perpajakan.

Di India, pencabutan Equalization Levy menjadi langkah strategis untuk meredam tensi dagang dengan Amerika Serikat. Isu geopolitik seperti tarif Trump juga menciptakan tantangan yang dinamis. Negara-negara Asia-Pasifik tak lagi bereaksi dengan defensif, melainkan secara strategis. Indonesia memilih negosiasi dua arah, sementara Singapura dan Australia mengambil posisi waspada dan cermat.

Sistem Pajak yang Berkelanjutan

Kongres ini juga menyiratkan bahwa masa depan perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara. Cross-border services, sustainable tax system, dan posisi strategis direktur pajak di perusahaan multinasional menjadi diskursus penting. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, sementara pemerintah menginginkan kepatuhan tanpa mengorbankan daya saing.

IFA Asia-Pacific Conference 2025 bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah ruang strategis untuk menyusun peta jalan bersama di mana kolaborasi regional menjadi kunci, penyelesaian sengketa menjadi jembatan keadilan, dan strategi baru menjadi jawaban atas perubahan dunia.

Tahun depan kongres yang sama akan diadakan Tokyo, dan dua tahun lagi di Jakarta, Asia-Pasifik berpeluang memimpin diskursus pajak global. Dengan modal kolaborasi dan keberanian untuk berubah, kawasan ini siap menjadi episentrum reformasi perpajakan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Presiden IFA Asia-Pacific yang juga Wakil Ketua Departemen Hubungan Kerja Sama Internasional, IKPI

Ichwan Sukardi

Email: ichwan.sukardi@rsm.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

AS-China Sepakat Pangkas Tarif, Pasar Global Sambut Positif

IKPI, Jakarta: Amerika Serikat dan China resmi mengumumkan kesepakatan pengurangan tarif impor sementara selama 90 hari, menandai meredanya tensi perang dagang yang telah lama membebani perdagangan dan rantai pasok global. Langkah ini disambut positif oleh pelaku pasar, dengan penguatan dolar AS dan reli bursa saham global sebagai respons awal.

Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif tambahan atas produk asal China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sebagai balasan, Beijing juga melonggarkan beban tarif untuk barang-barang dari AS, dari 125 persen menjadi hanya 10 persen.

Langkah ini sontak membawa angin segar ke pasar global. Nilai tukar dolar AS menguat signifikan, sementara bursa saham dari Asia hingga Eropa menghijau. Investor menyambut baik sinyal redanya ketegangan antara dua kekuatan ekonomi yang selama ini mengguncang rantai pasok dunia.

“Ini adalah hasil nyata dari diplomasi ekonomi yang solid. Kedua pihak berhasil menjaga kepentingan nasionalnya tanpa membiarkan dunia terseret lebih dalam ke jurang ketidakpastian,” ujar Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam konferensi pers bersama delegasi China, Senin (12/5/2025) waktu setempat.

Bessent menegaskan bahwa AS akan terus mengejar perdagangan yang lebih seimbang, seraya menyebut langkah ini sebagai “permulaan dari restrukturisasi tarif yang lebih rasional.” Ia juga mengungkapkan bahwa penyesuaian tarif ke depan akan difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti semikonduktor, farmasi, dan baja.

Sementara itu, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menegaskan bahwa kedua negara kini berkomitmen untuk menghindari “decoupling” atau pemisahan ekonomi secara total. “Tarif ekstrem seperti sebelumnya tak ubahnya embargo terselubung. Kita semua menginginkan perdagangan, bukan pengucilan,” tegasnya.

Selama bertahun-tahun, perang tarif antara AS dan China telah menekan arus perdagangan global, memicu PHK massal di berbagai negara, dan menimbulkan kekhawatiran akan stagnasi ekonomi. Nilai perdagangan yang terdampak bahkan mencapai US$600 miliar atau sekitar Rp9.600 triliun, dengan asumsi kurs Rp16 ribu per dolar AS.

Kesepakatan ini muncul tak lama setelah Presiden Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih dan kembali menggencarkan tarif tinggi terhadap produk-produk asal China. Pertemuan di Jenewa menjadi pembicaraan tatap muka pertama antara pejabat senior kedua negara sejak Trump kembali menjabat.

Walau belum mencakup seluruh sektor perdagangan, kesepakatan ini dianggap sebagai langkah awal yang penting menuju stabilisasi hubungan ekonomi global.

“Ini bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari diplomasi yang lebih masuk akal,” kata Bessent menutup pernyataannya. (alf)

 

 

Industri Kripto Sumbang Rp 1,2 Triliun Pajak hingga Maret 2025

IKPI, Jakarta: Dunia kripto di Indonesia bukan lagi sekadar tren sesaat. Terbukti, hingga kuartal I 2025, industri ini telah menyumbang penerimaan pajak negara sebesar Rp 1,2 triliun. Angka ini menunjukkan pesatnya pertumbuhan sektor aset digital sekaligus sinyal bahwa kripto telah menjadi bagian penting dalam sistem ekonomi nasional.

Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa kontribusi tersebut terdiri dari dua komponen utama: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan kripto di platform exchanger sebesar Rp 560,61 miliar, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri dari pembelian kripto sebesar Rp 642,17 miliar.

Jika dirinci berdasarkan tahun, sumbangan pajak dari sektor kripto tercatat sebesar Rp 246,45 miliar pada 2022, Rp 220,83 miliar pada 2023, melonjak tajam ke Rp 620,4 miliar pada 2024, dan mencapai Rp 115,1 miliar hanya dalam tiga bulan pertama 2025.

Dari total pajak kripto tersebut, Indodax salah satu platform investasi kripto terbesar di Indonesia menyumbang Rp 463,2 miliar selama periode 2023 hingga Maret 2025. Ini berarti, hampir 39 persen dari total penerimaan pajak kripto berasal dari perusahaan yang dipimpin Oscar Darmawan.

Pada 2023, Indodax membayar pajak sebesar Rp 91,47 miliar. Angkanya melonjak ke Rp 283,94 miliar pada 2024, dan Rp 87,79 miliar pada kuartal pertama tahun ini.

Menurut Oscar, pencapaian ini mencerminkan bahwa kripto telah masuk dalam ranah ekonomi resmi dan bukan lagi dianggap sebagai industri pinggiran.

“Fakta bahwa industri ini telah menyumbang lebih dari Rp 1 triliun dalam pajak menunjukkan bahwa kripto bukan lagi industri biasa,” ujar Oscar dalam siaran persnya, Selasa (13/5/2025).

Ia menyebut, keberhasilan tersebut tak lepas dari sinergi positif antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat yang semakin melek terhadap potensi teknologi blockchain.

Bitcoin Sentuh Rekor Baru

Di sisi pasar, harga Bitcoin kembali menembus angka psikologis USD 100.000, sebuah pencapaian yang menurut Oscar merupakan hasil dari gabungan sentimen positif dan faktor fundamental yang kuat. Ia menyebut, keputusan Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga di level 4,5 persen memberi dorongan besar terhadap pasar kripto global.

Namun, Oscar menekankan pentingnya pendekatan jangka panjang dalam berinvestasi kripto. Strategi seperti Dollar Cost Averaging (DCA) dinilai lebih aman di tengah fluktuasi pasar.

“Investor tidak boleh terbawa euforia sesaat. Yang terpenting adalah memahami karakteristik aset dan hanya bertransaksi di exchanger resmi,” pesannya.

Melihat kontribusi besar dari industri ini, Oscar berharap pemerintah dapat menyusun kebijakan yang lebih progresif dan mendukung inovasi. Menurutnya, regulasi yang ideal adalah yang mampu melindungi konsumen tanpa mengekang pertumbuhan teknologi.

“Saat industri sudah patuh membayar pajak dan menjalankan kewajiban KYC serta AML, maka pemerintah juga perlu memberikan ruang bagi inovasi dan mendorong kolaborasi lintas sektor,” pungkasnya. (alf)

 

 

Dorong Konsumsi Kelas Menengah, Apindo Usul Pemerintah Naikkan Batas PTKP

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada pemerintah untuk menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai langkah strategis mendorong konsumsi masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah. Usulan ini muncul menyusul lesunya daya beli masyarakat meski berbagai insentif pajak telah digelontorkan.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menilai insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor padat karya memang positif, namun belum memberikan dorongan berarti terhadap konsumsi. Menurutnya, solusi yang lebih berdampak adalah menaikkan batas PTKP agar beban pajak masyarakat kelas menengah berkurang.

“Apapun bentuk insentifnya pasti ada nilainya. Tapi sebaiknya kita perbesar ruang belanja kelas menengah dengan meningkatkan PTKP mereka,” ujar Bob, yang juga menjabat Direktur Administrasi dan Corporate External TMMIN, dikutip Selasa (13/5/2025).

Saat ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/2016, PTKP untuk individu lajang tanpa tanggungan masih berada di angka Rp54 juta per tahun atau sekitar Rp4,5 juta per bulan. Bob menilai angka tersebut sudah saatnya dievaluasi, mengingat perubahan kebutuhan dan kondisi ekonomi pascapandemi.

Ia juga menyoroti perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2025 yang berkontribusi terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya. Sementara itu, konsumsi pemerintah justru terkontraksi 1,38%.

“Kelas menengah ini kontribusinya besar terhadap konsumsi nasional, tapi mereka tidak menerima bantuan sosial. Jadi kalau tidak diberi ruang lewat kebijakan fiskal, konsumsi mereka cenderung stagnan,” jelas Bob.

Apindo menilai, dengan meningkatnya PTKP, kelas menengah akan memiliki lebih banyak ruang untuk belanja, yang ujungnya bisa berdampak positif pada penerimaan negara, khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini juga dinilai lebih tepat sasaran dibandingkan insentif yang cenderung dinikmati kelompok pendapatan atas.

“Ekonomi kita selama ini trickle down, insentif seringkali menyasar kelompok atas. Sekarang saatnya pikirkan insentif untuk kelas menengah,” tambah Bob.

Sebagai informasi, pemerintah telah menjalankan insentif PPh 21 DTP bagi sektor padat karya selama tahun 2025 melalui PMK 10/2025. Namun, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I hanya mencapai 4,87%, melambat dari capaian kuartal sebelumnya sebesar 5,02%. (alf)

 

 

 

 

Ini Rumus Hitung Angsuran PPh Pasal 25 di PMK 81/2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menyempurnakan mekanisme penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024. Ketentuan terbaru ini membawa angin segar sekaligus tantangan baru bagi berbagai jenis Wajib Pajak.

Salah satu sorotan utama terletak pada Pasal 226, yang menegaskan bahwa angsuran PPh Pasal 25 akan dihitung berdasarkan PPh terutang tahun sebelumnya, dikurangi sejumlah kredit pajak seperti PPh Pasal 21, 22, 23, dan kredit pajak luar negeri, lalu dibagi 12 bulan.

Namun, skema ini tidak berlaku bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak yang tercatat di bursa, serta pelaku usaha orang pribadi tertentu. Artinya, kelompok ini wajib menggunakan perhitungan khusus yang telah ditentukan.

Lebih lanjut, Pasal 227 memberikan pengaturan khusus bagi Wajib Pajak bank. Dasar penghitungan angsuran untuk sektor perbankan didasarkan pada laporan keuangan yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk laporan laba rugi dan posisi keuangan. Penghasilan neto yang dijadikan dasar juga dikecualikan dari penghasilan luar negeri dan yang dikenai pajak final.

Menariknya, bagi bank yang memiliki kerugian fiskal yang dapat dikompensasi, kerugian tersebut wajib dikurangkan dari penghasilan neto sebelum menghitung angsuran PPh Pasal 25.

Dampak terhadap pelaku usaha cukup signifikan

Dengan metode yang lebih presisi dan berbasis laporan keuangan terkini, sistem ini dinilai lebih mencerminkan kondisi riil usaha, namun di sisi lain menuntut kepatuhan dan akurasi tinggi dalam pelaporan keuangan.

Dengan diberlakukannya PMK ini, Ditjen Pajak berharap dapat meningkatkan efektivitas pengumpulan PPh dan mengurangi potensi kekeliruan perhitungan angsuran tahunan. Wajib Pajak pun diimbau untuk menyesuaikan sistem dan strategi pelaporan pajaknya mulai sekarang. (alf)

 

 

Ubah Alamat Email di Sistem Pajak Kini Semudah 3 Langkah, Ini Caranya!

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempermudah Wajib Pajak yang ingin mengganti alamat e-mail terdaftar. Kini, perubahan dapat dilakukan langsung melalui sistem Coretax hanya dalam tiga langkah sederhana.

Tiga Langkah Praktis Ubah Email di Coretax

Tak perlu repot datang ke kantor pajak, berikut ini panduan singkat untuk mengubah alamat e-mail secara daring:

1. Masuk ke sistem Coretax;

2. Akses menu “Portal Saya”, lalu pilih “Informasi Umum”, klik “Edit”, kemudian masuk ke “Detail Kontak”;

3. Masukkan alamat e-mail baru, pastikan datanya benar, lalu klik “Simpan”. Jangan lupa centang pernyataan dan klik submit.

Ajukan Langsung ke Kantor Pajak

Jika lebih nyaman secara luring, Wajib Pajak juga bisa mengajukan perubahan e-mail melalui KPP atau KP2KP. Langkah-langkahnya:

Isi formulir perubahan data yang tersedia di kantor pajak atau unduh dari pajak.go.id;

Kirim formulir lewat pos, jasa ekspedisi, atau kurir;

Bisa juga melalui layanan Kring Pajak (1500200) atau live chat di situs resmi DJP.

Tak Hanya Email, Data Ini Juga Bisa Diubah

Selain alamat e-mail, DJP juga membuka ruang bagi Wajib Pajak untuk mengajukan perubahan data lainnya seperti:

Identitas Wajib Pajak tanpa perubahan bentuk badan hukum;

Alamat tempat kedudukan atau usaha selama masih dalam wilayah kerja KPP yang sama;

Jenis kegiatan usaha;

Struktur permodalan atau kepemilikan (untuk badan hukum);

Koreksi kesalahan tulis pada data administrasi DJP;

Perbedaan data antara dokumen resmi dan database DJP terkait bentuk badan usaha.

Dengan kemudahan ini, diharapkan Wajib Pajak semakin aktif memperbarui data demi tertib administrasi perpajakan. (alf)

 

 

.

 

 

Dirjen Pajak Klaim Permintaan Kode Otorisasi dan OTP di Coretax Kini Lebih Cepat

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengungkapkan perkembangan signifikan dalam penanganan berbagai insiden teknis pada sistem digital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, baru-baru ini. Salah satu isu yang berhasil ditangani secara tuntas adalah keterlambatan pengiriman One Time Password (OTP) dan error pada permintaan Kode Otorisasi DJP.

Dalam paparannya, Suryo menyampaikan bahwa hingga 10 Februari 2025, DJP mencatat sekitar 1.041 kasus terkait error permintaan Kode Otorisasi. Permasalahan ini disebabkan oleh bug pada modul pemrosesan sistem tanda tangan elektronik. Namun, berkat perbaikan teknis oleh vendor, jumlah kasus serupa yang tercatat pada 1-6 Mei 2025 menurun drastis menjadi hanya 3 kasus.

“Seluruh perbaikan telah diselesaikan. Saat ini, pengiriman OTP sudah sesuai standar, yakni di bawah lima menit,” ujar Suryo.

Sebelumnya, keterlambatan OTP sempat terjadi akibat lonjakan trafik dari provider layanan SMS dan email. DJP pun telah melakukan koordinasi intensif dengan para penyedia layanan untuk mengatasi hal ini.

Selain itu, permasalahan dalam penunjukan penanggung jawab (PIC) akun WP Badan dan fitur impersonate juga mengalami perbaikan drastis. Dari total 3.281 kasus yang tercatat hingga Februari, hanya tersisa 41 kasus yang dilaporkan selama awal Mei. DJP pun mendorong edukasi dan pemutakhiran data WP Badan agar sejalan dengan data Ditjen AHU.

Isu lain yang tak luput dari perhatian adalah latensi tinggi dalam penerbitan faktur pajak akibat error saat upload dan proses tanda tangan elektronik. “Latensi sistem sebelumnya mencapai 9,8 detik. Kini, setelah perbaikan, hanya 0,3 detik,” terang Suryo.

Perbaikan-perbaikan ini, menurut Suryo, merupakan bagian dari komitmen DJP dalam reformasi perpajakan yang berkelanjutan dan peningkatan pelayanan berbasis digital. (bl)

 

 

 

 

IKPI Kembalikan Tata Kelola Organisasi: Ketua Umum Tegaskan Prosedur Teken PKS

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya ketertiban dalam pelaksanaan kerjasama dengan pihak ketiga. Dalam Surat Edaran Nomor SE-02/PP.IKPI/2025 yang dikeluarkan pada 5 Mei 2025, Vaudy menggarisbawahi bahwa hanya pihak-pihak tertentu dalam struktur organisasi yang sah untuk menandatangani perjanjian dengan pihak luar IKPI seperti perjanjian kerja sama (PKS).

“Penegasan ini untuk memastikan adanya kepastian hukum dan tertib administrasi di tubuh IKPI,” ujar Vaudy, Selasa (13/5/2025).

Dalam edaran tersebut, ditegaskan bahwa penandatanganan PKS antara IKPI dan pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum, setelah mendapat masukan dan persetujuan tertulis dari Ketua Departemen Hukum. Persetujuan itu harus dituangkan dalam Lembar Persetujuan PKS yang ditandatangani oleh ketiganya.

Namun demikian, Vaudy membuka ruang bagi desentralisasi dengan memberikan opsi kuasa kepada pengurus daerah dan cabang. Ketua

Pengurus Daerah atau Ketua Pengurus Cabang, bersama dengan sekretaris masing-masing, dapat menandatangani PKS sepanjang telah mendapat persetujuan sesuai prosedur.

Ia juga meminta kepada seluruh pengurus daerah dan cabang periode 2024–2029 yang telah menandatangani PKS agar segera melaporkan dan menyerahkan salinan dokumen kepada Sekretaris Umum.

Langkah tegas ini dinilai sebagai bentuk komitmen IKPI dalam menjaga integritas organisasi serta memastikan semua kerjasama dijalankan secara akuntabel. (bl)

Memahami Hubungan Antara Tax Buoyancy Dan Tax Ratio di Indonesia

Sebagai seorang konsultan pajak, apalagi anggota asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia (IKPI), maka konsultan pajak pasti terlihat langsung dalam dinamika fiskal nasional, karena kita bersentuhan langsung dengan penerimaan pajak itu sendiri, dalam hal ini sebagai WP dan sekaligus sebagai pendamping WP. Walaupun kita tidak menentukan kebijakan fiskal, namun kita wajib memahami betapa pentingnya indikator perpajakan yang tepat dalam mengukur efektifitas kebijakan fiskal suatu negara.

Ada dua indikator utama yang biasa para ahli perpajakan pakai yaitu tax ratio dan tax buoyancy. Keduanya bukan sekedar angka semata, melainkan cerminan dari kualitas sistem perpajakan suatu negara dan sejauh mana sistem perpajakan tersebut mampu menopang Pembangunan nasional, utamanya mencapai Indonesia emas tahun 2045.

Dalam artikel ini, penulis mencoba mengulas hubungan antara tax buoyancy dan tax ratio Indonesia selama lima tahun terakhir, serta membahas faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena yang selama ini didengungkan hanya rendahnya Tax Ratio saja tanpa menyinggung Tax Buoyancy, diharapkan artikel ini dapat memperkaya diskusi di lingkungan asosiasi dan menjadi referensi bagi agenda reformasi fiskal yang lebih inklusif.

Definisi Singkat Tax Ratio (TR) dan Tax Buoyancy (TB)

Tax Ratio (TR) adalah persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mencerminkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional. Sedangkan Tax Buoyancy seberapa responsive penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, Jika nilai TB > 1, menunjukkan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih tinggi dari PDB, begitu juga sebaliknya.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa setelah lonjakan positif pada Tahun 2021-2022, tren tax buoyancy mengalami penurunan hingga 2024, sementara tax ratio cenderung stagnan di kisaran 10%.

Hubungan Antara Tax Buoyancy dan Tax Ratio :

Secara konseptual, tax buoyancy yang tinggi akan mendahului kenaikan tax ratio. Jika tax buoyancy tinggi, saat perekonomian tumbuh dan system pajak mampu menangkap pertumbuhan tersebut, maka penerimaan pajak juga ikut terdongkrak. Namun Ketika tax buoyancy menurun, seperti kasus tahun 2023 sd 2024, maka tax ratio sulit meningkat meskipun PDB naik. Artinya rendahnya tax buoyancy menjadi penghambat structural terhadap pencapaian tax ratio yang lebih tinggi.

Mengapa Tax Buoyancy Indonesia Cenderung Menurun ?

Terdapat sejumlah faktor struktural dan teknis yang menyebabkan tax buoyancy Indonesia cenderung menurun, antara lain :

1. Basis Pajak Yang Sempit, artinya jumlah potensi wajib pajak belum tergali dengan maksimal, hal ini dapat dijelaskan dengan masih tingginya porsi sektor informal dalam perekonomian, sehingga Pemerintah kesulitan untuk menjangkau sektor tersebut, selain itu masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dari kalangan menengah ke atas yang mengakibatkan system pajak tidak mencerminkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh.

2. Volatilitas Sumber Penerimaan, artinya penerimaan pajak masih tergantung kepada komoditas-komoditas primer, dimana harga komoditas tersebut cenderung mengalami volatilitas yang tinggi, misalnya batu bara, sawit, nikel, dsbnya.

3. Insentif Pajak Yang Masif, insentif pajak yang terlalu tinggi kadang bermata dua, di satu sisi bertujuan untuk merangsang sektor-sektor tertentu, namun insentif pajak tersebut pasti akan menggerus penerimaan negara, untuk itu perlu titik keseimbangan antara insentif fiskal yang diberikan tergantikan dengan potensi pajak yang lainnya.

4. Kepatuhan dan Kapasitas Administrasi Pajak, kemampuan administrasi fiskal yang bagus dalam mendeteksi setiap kecurangan akan mendorong Tingkat kepatuhan, dalam hal penggunakan teknologi digital akan memudahkan aparat pajak untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.

5. Ketidaksesuaian antara Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pajak, kadangkala peningkatan PDB bisa berasal dari sektor-sektor yang bukan penyumbang pajak utama, misalkan sektor pertanian maupun umkm informal tidak otomatis akan menyumbang penerimaan pajak. Dalam hal ini tugas Pemerintah untuk dapat mengintegrasikan sektor-sektor informal tersebut ke dalam bentuk formal.

Rekomendasi dan Saran :

Sebagai asosiasi professional di bidang perpajakan yang memiliki peran strategis dan penting dalam mendampingi wajib pajak, maka kita perlu juga memberikan usulan kepada Pemerintah untuk meningkat Tax Buoyancy dengan mendorong Langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perluasan basis pajak melalui pendekatan berbasis data yang terintegrasi secara cepat dan efektif yang melibatkan lintas Lembaga.

2. Penguatan administrasi perpajakan berbasis teknologi, dalam hal ini system coretax merupakan Langkah yang tepat untuk dijalankan, hanya masih ada kendala-kendala yang bersifat teknis yang perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.

3. Rasionalisasi insentif fiskal agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tapi tidak menggerus penerimaan pajak.

4. Memberikan Pendidikan pajak sejak usia dini dengan meningkatkan kesadaran pentingnya kontribusi warga negara dalam membayar pajak, sehingga kepatuhan sukarela dapat tumbuh dan berkembang.

5. Berikan sosialisasi terus menerus mengenai alokasi pajak yang dipungut dan diberikan kembali kepada Masyarakat, sehingga Masyarakat merasa pajak yang dibayar oleh mereka kembali kepada Masyarakat.

6. Penerapan aturan perpajakan secara professional, berkepastian hukum dan adil, sehingga Wajib Pajak tidak merasa sudah benar namun masih tetap disalahkan dengan alasan yang mengada-ada (alasan target penerimaan pajak).

7. Penegakan hukum yang tegas namun terukur kepada mereka yang melakukan melakukan tax evasion.

Artikel ini ditulis sebagai bagian dari konstribusi anggota dalam menyambut perayaan 60 tahun Ikatan Konsultan Pajak Indonesia pada tahun 2025, dengan harapan dapat memperkuat posisi profesi sebagai mitra strategis dalam Pembangunan fiskal nasional.

Sumber data :

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI)

a. Laporan APBN (Nota Keuangan Tahun 2019 sd 2024)

b. Laporan Kinerja DJP dan Statistik APBN

2. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

a. Statistik Pajak Tahunan

b. Paparan Hasil Reformasi Perpajakan dan Outlook Penerimaan

3. Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

a. Laporan Tax Ratio dan Evaluasi Kebijakan Fiskal

4. Badan Pusat Statistik (BPS)

a. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Tahunan

b. Pertumbuhan Ekonomi Ril dan Nominal

5. Laporan dan Kajian Eksternal

a. Laporan IMF Article IV Consultation Indonesia

b. OECD Revenue Statistics In Asia and the Pasific.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Tak Lagi Harus Direktur, Coretax Buka Jalan Baru Kelola Pajak Lewat Fitur PIC

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui platform digital Coretax. Sejak resmi diluncurkan awal tahun ini, sistem tersebut membawa sederet pembaruan besar, salah satunya adalah fitur Person In Charge (PIC) yang menjadi terobosan penting dalam pengelolaan kewajiban pajak Wajib Pajak Badan.

Sebelum adanya Coretax, hampir seluruh proses pelaporan dan administrasi perpajakan badan usaha terpusat pada direktur. Mulai dari pelaporan SPT, pembuatan bukti potong melalui E-Bupot, hingga penyusunan kode billing, semuanya harus dilakukan menggunakan akun pribadi direktur. Hal ini kerap menjadi tantangan, terutama di perusahaan dengan struktur operasional yang kompleks.

Kini, melalui fitur PIC, direktur perusahaan bisa menunjuk perwakilan dari Wajib Pajak Orang Pribadi baik karyawan internal maupun pihak eksternal yang dipercaya untuk membantu mengelola pelaporan pajak badan. PIC yang ditunjuk akan memiliki akun Coretax tersendiri, lengkap dengan username dan password unik, sehingga akses data menjadi lebih aman dan aktivitas pelaporan dapat dilakukan lebih efisien.

Proses Penunjukan PIC Harus Resmi dan Terverifikasi

Penunjukan PIC tidak bisa dilakukan sembarangan. Hanya direktur dari Wajib Pajak Badan yang berwenang mengajukan permohonan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat badan terdaftar. Setelah proses verifikasi identitas selesai, PIC dapat membuat akun Coretax melalui tahapan registrasi digital yang mencakup pengisian data pribadi, nomor telepon, email, serta verifikasi wajah. Sistem kemudian mengirimkan notifikasi untuk pembuatan kata sandi dan aktivasi akun.

Setelah login, PIC dapat memeriksa apakah nama badan usaha yang diwakilinya telah muncul di profil akunnya. Jika sudah, maka ia resmi menjadi perwakilan dalam administrasi pajak badan tersebut.

Peran PIC: Efisien, Tapi Tetap Terbatas

Meski PIC diberikan akses untuk melakukan berbagai fungsi pelaporan seperti pengisian dan penyampaian SPT, pembuatan dokumen pemotongan, hingga penyusunan tagihan namun wewenangnya tetap dibatasi. Penandatanganan SPT dan penerbitan faktur pajak, misalnya, hanya bisa dilakukan oleh direktur sebagai penanggung jawab utama.

Namun demikian, kehadiran PIC telah membawa perubahan nyata. Direktur kini tak harus menangani semua proses administratif secara langsung. Adanya lapisan pengecekan ganda oleh PIC dan direktur juga memperkuat kontrol internal dan menekan risiko kesalahan input data.

Dengan fitur ini, Coretax tak hanya sekadar mempermudah, tetapi juga menumbuhkan praktik tata kelola perpajakan yang lebih tertib dan kolaboratif. Sebuah langkah strategis yang mencerminkan semangat reformasi digital DJP menuju sistem perpajakan yang makin modern dan akuntabel. (alf)

 

id_ID