DJP: Tidak Semua Pemilik NIK Wajib Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum paham terkait kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor, menegaskan tidak semua masyarakat yang memiliki NIK harus bayar pajak.

“Gunanya NIK itu adalah kan Nomor ya nomor untuk kita membayar pajak melaporkan pajak. Nah, jadi kalau orang punya NIK apakah otomatis dia pasti bayar pajak? saya bisa jawab tidak,” kata Neilmaldrin Noor, seperti dikutip dari Merdeka.com dalam Podcast Cermati – Eps.8 Lapor SPT Tahunan: Bisa Pake NIK, Kamis (9/2/2023).

Apabila seseorang sudah memiliki penghasilan tapi termasuk dalam PTKP, maka tidak dikenakan pajak. Artinya, tidak semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki NIK wajib bayar pajak.

“Kalau dia punya NIK dan dia dewasa kemudian dia punya penghasilan tapi itu pun penghasilannya misalnya di bawah penghasilan ya tidak kena pajak itu ya nggak bayar pajak. Jadi, NIK belum pasti belum tentu harus bayar pajak. Jadi, nggak bener tuh yang diributkan,” tegasnya.

Adapun DJP mengingatkan, wajib pajak segera memvalidasi NPWP menjadi NIK sebelum 1 Januari 2024. Untuk NPWP lama masih berlaku digunakan hingga 31 Desember 2023. Sebelumnya, DJP memang telah memvalidasi secara otomatis, namun masih diperlukan validasi lanjutan dari wajib pajak yang bersangkutan.

“Kemarin ada yang mengatakan NPWP kenapa gak DJP aja yang memvalidasi otomatis, tapi ini tuh pemadanan atau updating, kita juga sudah melakukan validasi tetapi inikan dua nomor yang berbeda tadinya NIK jadi NPWP, awalnya dua nomor ini gak connect, kita mau connect-kan masing-masing itu ada informasinya,” ujarnya.

Cara Validasi NIK

1. Masuk ke laman DJP Online di https://djponline.pajak.go.id/account/login.

2. Lalu login ke laman DJP Online tersebut dengan memasukkan NPWP, beserta kata sandi, dan kode keamanan (captcha) yang tersedia.

3. Setelah berhasil login, masuk ke menu utama “Profil”.

4. Nanti dalam laman Profil tersebut akan menunjukkan status validitas data utama yang Anda miliki, apakah anda ‘Perlu Dimutakhirkan’ atau ‘Perlu Dikonfirmasi’. Status ini menandakan, bahwa Anda perlu melakukan validasi NIK.

5. Dalam halaman menu ‘Profil’ akan terdapat ‘Data Utama’ dan akan menemukan kolom NIK/NPWP (16 digit). Di dalam kolom tersebut, Anda harus memasukkan NIK yang berjumlah 16 digit.

6. Apabila sudah selesai klik ‘Validasi’.

7. Selanjutnya sistem akan mencoba melakukan validasi data dengan yang tercatat di Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Jika data valid, maka sistem akan menampilkan notifikasi informasi bahwa data telah ditemukan. Lalu, klik ‘Ok’ pada notifikasi itu.

8. Kemudian tekan tombol “Ubah Profil”.

9. Terakhir, Anda juga bisa melengkapi bagian data KLU dan anggota keluarga. Apabila telah selesai dan tervalidasi, maka Anda sudah dapat menggunakan NIK untuk melakukan login ke DJP Online. (bl)

 

 

Harga Emas Antam Naik Rp 5.000 Per Gram

IKPI, Jakarta: Harga emas Antam hari ini (09/02/23) kembali naik sebesar Rp 5.000. Harga emas di butik emas LM Graha Dipta Pulo Gadung ukuran 1-gram menjadi Rp 1.033.000 per batang setelah kenaikan drastis kemarin. Penguatan emas Antam sejalan dengan naiknya harga emas dunia.

Sementara itu, harga pembelian kembali atau buyback emas Antam ditetapkan Rp 918 ribu per gram. Harga tersebut juga naik Rp 5.000 dari perdagangan sebelumnya.

Harga emas Antam yang diperjual-belikan beragam dari segi ukurannya. Agar lebih jelasnya, simak data harga emas hari ini.

Kenaikan emas Antam sejalan dengan menguatnya harga emas dunia. Pada penutupan perdagangan Selasa (7/2/2023), emas kembali menorehkan kinerja yang optimis ditutup dengan kenaikan tipis sebesar 0,1% pada posisi US$ 1.875,51 per troy ons.

Menurut analis High Ridge Futures, David Meger, penguatan harga emas disebabkan oleh keyakinan pasar bahwa The Federal Reserve akan melakukan pelonggaran kebijakan moneternya.

Akhir pekan lalu, harga emas sempat tertekan setelah data tenaga kerja AS tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, harga emas kembali naik perlahan setelah Chairman The Fed, Jerome Powell, mengatakan bahwa pergerakan harga di AS menuju disinflasi pada Selasa (7/2/2023).

Meger juga memprediksi bahwa harga emas akan terus mengalami rebound. Ia menyatakan bahwa titik support harga emas saat ini berada dalam kisaran US$ 1.850-1.870 per troy ons dan masih terlihat adanya pembelian yang cukup besar dalam jangka pendek.

Sementara itu, Rupert Rowling, analis dari Kinesis Money, juga mengatakan bahwa salah satu penopang pergerakan harga emas adalah pembelian dalam jumlah besar oleh bank sentral, seperti China, India, dan Turki.

Data dari World Gold Council menunjukkan bahwa pembelian emas oleh bank sentral dunia menembus 28-ton pada Desember 2022 dan menembus 1.136-ton pada tahun 2022. Angka tersebut melonjak 152% dibandingkan tahun 2021 dan menjadi pembelian tertinggi sejak 1967 atau 55 tahun terakhir.

Dengan demikian, pembelian emas oleh bank sentral memegang peran penting dalam mempengaruhi harga emas di pasar global.

Selain itu gejolak kondisi Rupiah juga mempengaruhi harga emas Antam. Dalam dua hari terakhir, tupiah yang sempat melemah lebih dari 1,7% terhadap dolar AS akhirnya berhasil bangkit dan menguat sebesar 0,3% ke posisi Rp 15.095/US$.

Ini menunjukkan stabilisasi mata uang nasional Indonesia terhadap mata uang utama dunia. Ketika terjadi gejolak, investor seringkali membeli aset safe haven seperti emas untuk melindungi nilai investasi mereka yang pada akhirnya menyebabkan harga emas naik, sebagai hasil dari permintaan yang meningkat. (bl)

 

Ini Penghitungan Pajak Suami-Istri Setelah Bercerai

IKPI, Jakarta: Umumnya, pasangan yang sudah menikah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tunggal. Jika sebelumnya istri memiliki NPWP sendiri, maka ia perlu mengajukan permohonan penghapusan NPWP untuk kemudian mengikuti NPWP suami dalam urusan administrasi perpajakan di Indonesia.

Pasalnya, sistem perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Namun, ada kejadian dimana pasangan suami istri ini memilih untuk hidup terpisah berdasarkan putusan hakim (cerai). Ketika sebelumnya NPWP suami istri sudah bergabung, lantas bagaimana aturan perpajakannya setelah mereka memutuskan untuk bercerai?

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan NPWP suami istri yang sebelumnya tergabung tersebut harus dipisahkan, dengan kata lain istri perlu membuat NPWP baru.

“Pada intinya, NPWP sebelumnya itu adalah NPWP suami, dan istri digabungkan di dalamnya. Pada saat bercerai, NPWP awal digunakan oleh suami, sedangkan istri perlu NPWP baru/menggunakan NIK-nya sendiri,” terang Neil seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (8/2/2023).

Melansir dari laman resmi DJP yakni pajak.go.id, terdapat tiga ketentuan perpajakan yang diberlakukan ketika suami istri dengan NPWP tergabung memutuskan untuk berpisah, diantaranya:

1. Pembuatan NPWP baru

Seorang istri yang memilih untuk bercerai dengan suaminya, setelah memiliki kepastian hukum dalam jangka waktu satu bulan istri harus mendaftarkan diri untuk melakukan aktivasi NIK menjadi NPWP. Aktivasi NIK dapat dilakukan dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.

2. Pelaporan SPT

Dalam pelaporan SPT Tahunan pada tahun terjadinya perceraian, penghasilan yang dilaporkan berupa penghasilan setelah perceraian. Adapun ketentuan pelaporan SPT penghasilan sampai dengan terjadinya perceraian masih dilaporkan dalam SPT Tahunan suami. Namun di tahun berikutnya, seluruh penghasilan istri baru dilaporkan dalam SPT Tahunan miliknya.

3. Penghitungan PTKP

Ketika sudah bercerai, terjadi perubahan ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi suami dan istri. PTKP mereka berubah menjadi status Tidak Kawin (TK), kemudian dapat ditambah dengan tanggungan jumlah tanggungan yang sebenarnya dan diperkenankan.

Seperti diketahui, Status pernikahan akan berpengaruh terhadap besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikenakan pada seseorang. PTKP merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenakan pajak, itu artinya jika penghasilan seseorang tidak melebihi PTKP maka ia tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Baca: Nah! Ini Beda Lapor SPT Tahunan Saat ‘Single’ dan ‘Married’
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 101/PMK.010/2016, adapun besaran PTKP yaitu:

1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak kawin (TK/0) sebesar Rp54.000.000

2. Tambahan untuk wajib pajak kawin (K/0) sebesar Rp4.500.000

3. Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami (TK/0) sebesar Rp54.000.000

4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp4.500.000

Dengan ketentuan di atas, berikut simulasi perhitungan pajak bagi pasangan yang berpisah. Simulasi ini dikutip dari artikel berjudul “Perhitungan Pajak Wanita Kawin” pada laman pajak.go.id:

Suami menjalankan usaha sebagai pengacara dan istri usaha salon di Jakarta. Keduanya berpisah berdasarkan keputusan hakim pada tanggal 31 Mei 2017. Mereka mempunyai 2 orang anak dan berdasarkan keputusan hakim, hak asuh anak suami dan istri masing-masing 1 orang.

Penghasilan suami dan istri diketahui sebagai berikut:

Suami (satu tahun pajak) sejumlah Rp 1 miliar

Istri :

* 1/1/2017 – 31/5/2017 sejumlah Rp 300.000.000

* 1/6/2017 – 31/12/2017 sejumlah 500.000.000

Setelah berpisah, istri melakukan pendaftaran NPWP pada tanggal 5 Juni 2017. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa istri yang telah berpisah wajib mendaftarkan NPWP paling lambat satu bulan setelah tanggal keputusan hakim. Karena istri sudah mempunyai NPWP pada bulan Juni 2017, maka wajib melaporkan SPT Tahunan dengan penghitungan sebagai berikut:

 

Dividen Bisa Bebas Pajak Asal Diinvestasikan

IKPI, Jakarta: Setelah memberlakukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan. Termasuk, soal dividen bebas pajak.

Beberapa peraturan itu mulai dari Peraturan Pemerintah No. 9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha hingga Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Salah satu yang diatur dalam kedua beleid tersebut adalah dikecualikannya dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri dari objek PPh. Meski demikian, tidak serta-merta dividen tersebut bebas pajak. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar dividen yang diterima WP OP dalam negeri bebas pajak. Apa saja itu?

Dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, agar WP OP bebas pajak, dividen harus diinvestasikan. Investasinya juga tidak bisa sembarangan, yaitu harus dalam bentuk investasi tertentu. Setidaknya, ada 12 bentuk investasi tertentu yang diatur. Mulai dari penyertaan modal, surat berharga, investasi keuangan pada bank persepsi, investasi infrastruktur, hingga investasi pada sektor riil.

Kemudian, investasi harus dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Singkatnya, investasi harus dilakukan paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.

Selain itu, ada jangka waktu investasi yang mesti dipenuhi. Lamanya minimal tiga tahun pajak terhitung sejak tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Jadi, selama jangka waktu tersebut, investasi tidak boleh dialihkan, kecuali dialihkan ke bentuk investasi lain yang diatur di Pasal 34 dan Pasal 35 PMK-18/PMK.03/2021.

Kabar baiknya, ada beberapa jenis instrumen investasi yang tidak menyulitkan. Di antaranya, emas batangan 99,99%, saham, dan tabungan. Jadi, kalau dividen yang diterima dibelikan emas batangan 99,99%, dibelikan saham kembali, atau bahkan didiamkan begitu saja dalam rekening tabungan di bank, itu sudah memenuhi kriteria investasi. Artinya, dividen tersebut bebas pajak.

Setelah investasi, ada hal lain yang mesti dilakukan, yaitu menyampaikan laporan realisasi investasi. Itu harus dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Penyampaian laporan tersebut juga harus dilakukan secara berkala sampai dengan tahun ketiga sejak tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Singkatnya, laporan realisasi investasi harus disampaikan setiap tahun selama jangka waktu investasi, paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.

Selain dilaporkan di laporan realisasi investasi, dividen juga wajib dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan agar bebas pajak. Itu dilaporkan pada bagian Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak di pos Penghasilan Lainnya yang Tidak Termasuk Objek Pajak.

Selanjutnya, investasi atas dividen yang diterima juga wajib dilaporkan di SPT Tahunan. Itu dilaporkan pada bagian Harta pada Akhir Tahun.

Dividen yang tidak diinvestasikan atau diinvestasikan, tetapi tidak memenuhi kriteria investasi, tidak memenuhi ketentuan pelaporan realisasi investasi, atau tidak dilaporkan di SPT Tahunan, tetap terutang PPh Final. Bedanya, kini, PPh Final atas dividen tersebut harus disetor sendiri, tidak seperti sebelumnya yang dipotong oleh pemberi penghasilan atau KSEI (PT Kustodian Sentral Efek Indonesia).

Penyetoran wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak dividen diterima atau diperoleh. Penyetorannya menggunakan kode akun pajak (KAP) 411128-PPh Final dan kode jenis setoran (KJS) 419-Ps 17 (2c) Penghasilan Dividen utk OP Dalam Negeri. Jika telah mendapat validasi berupa nomor transaksi penerimaan negara (NTPN), penyetoran tersebut juga dianggap sebagai pelaporan SPT Masa PPh. (bl)

 

DJP Kalseteng Serahkan Tersangka dan Barang Bukti Pidana Perpajakan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalseteng) menyerahkan seorang pengusaha berinisial KS kepada Kejaksaan Negeri Banjarmasin.

Seperti dikutip dari situs resmi Ditjen Pajak, Rabu (8/2/2023), penyerahan tersangka tersebut juga menyertakan barang bukti dan harta kekayaannya yang telah disita terkait proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Berkas perkaranya telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan pada tanggal 16 Desember 2022.

Tersangka KS melalui CV AWN, diduga telah melakukan dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Secara lebih rinci, modus yang dilakukan adalah, pertama, tidak seluruhnya melaporkan omset/penyerahan maupun perolehan/pembelian pada SPT Masa PPN CV AWN masa Januari 2018 sampai dengan Desember 2018.

Kedua, melaporkan SPT Masa PPN secara rutin dengan status nihil dan lebih bayar kompensasi agar terhindar dari sanksi denda terlambat pelaporan, dan bertujuan untuk menunda pembayaran dan/atau tidak membayar pajak (PPN) yang seharusnya dibayar ke Kas Negara.

Perbuatan tersangka KS melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan diperkirakan sebesar Rp 372,8 juta.

Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Kalselteng Budi Susila menyampaikan bahwa peristiwa ini hendaknya menjadi perhatian dan peringatan kepada para wajib pajak agar menjalankan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dengan benar, lengkap, dan jelas.

Budi juga berharap penegakan hukum yang secara tegas diterapkan pada kasus ini dapat menghasilkan efek jera bagi wajib pajak.

“Seluruh wajib pajak diingatkan untuk tidak mudah tergiur dengan tawaran penggunaan faktur pajak dari pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengurangi pajak yang seharusnya dibayar, sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi dan kontribusi wajib pajak dapat ditingkatkan guna menunjang kemandirian pembiayaan pembangunan nasional menuju Indonesia maju,” kata Budi. (bl)

Telaah atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pajak Penghasilan atas Imbalan Natura/Kenikmatan

oleh : Bambang Pratiknyo

Aturan pelaksanaan tentang perlakuan PPh atas Imbalan Natura/Kenikmatan akhirnya  diterbitkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (selanjutnya disingkat dengan PP No.5 Tahun 2022). Dari segi waktu penerbitannya yang di penghujung tahun 2022 memang agak disayangkan mengingat berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan pemajakan atas natura/kenikmatan sudah berlaku sejak 1 Januari 2022. Namun demikian setidaknya pemenuhan kewajiban perpajakan tahun 2022 masih ada waktu 3 sampai 4 bulan ke depan.

Sudah tentu aturan ini sangat ditunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, baik Pemberi Imbalan (Pemberi Kerja) maupun Penerima Imbalan (Pegawai), karena jika hanya mendasarkan pada ketentuan UU HPP, pemajakan atas natura/kenikmatan masih diliputi ketidak-jelasan. 

Pemahaman atas kejelasan yang diberikan oleh PP No. 5 Tahun 2022 sangat penting. Untuk itu di bawah ini diuraikan telaah atas perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan berdasarkan PP tersebut. Telaah dilakukan meliputi aspek Obyek Pajak, Penilaian dan Implikasi bagi Pemberi Kerja.

A. Objek Pajak Imbalan Natura/Kenikmatan

Seperti diketahui, objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan dibuat dengan pendekatan negative list yang mana objek pajaknya adalah yang tidak dikecualikan. Imbalan natura/kenikmatan yang dikecualikan diperjelas oleh PP No. 55 tahun 2022 yang penulis sajikan dengan tabel :

Penjelasan atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari huruf a sampai c pada dasarnya tidak berbeda dengan penegasan yang pernah diberikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum UU HPP, yaitu PMK No.167/PMK.03/2018.

Terkait dengan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai terdapat persoalan mengenai perlakuan atas makanan/minuman yang dikonsumsi dari kupon yang dikonsumsi bukan di tempat kerja oleh Pegawai selain bagian pemasaran, transportasi dan dinas luar lainnya? Berdasarkan ketentuan tekstual, maka atas kasus tersebut tetap tidak dikecualikan, alias kena pajak.

Jika benar demikian, dapat dinyatakan bahwa ketentuan ini kurang adil, dan karenanya hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan. Khusus tentang bahan makanan/minuman dengan batasan nilai tertentu yang dikecualikan sebagai objek pajak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ketentuan natura/kenikmatan di daerah tertentu tidak terdapat persoalan, malahan khusus tentang pengangkutan pegawai tidak lagi dibatasi hanya untuk penugasan pertama dan pada saat berakhirnya penugasan. Dengan demikian kenikmatan berupa fasilitas pengangkutan sehari-hari ke dan dari tempat kerja di daerah tertentu menjadi objek pajak yang dikecualikan. 

Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga pada umumnya mengacu kepada penegasan dalam PMK No.167/PMK.03/2018. Hal yang membedakan dalam PP No.55 Tahun 2022 adalah ditambahkannya kata “Kesehatan” selain keamanan dan keselamatan kerja. Untuk itu PP No. 55 tahun 2022 mengecualikan natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional” meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima Pegawai beserta anggota keluarganya berdasarkan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan antara lain berupa alat pendeteksi virus pandemi dan/atau vaksin beserta sarana penunjangnya.

Namun demikian terkait dengan Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan ini masih menyisakan persoalan, yaitu kalimat “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bagaimana Wajib Pajak mengetahui tentang “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”? Akibatnya jika ternyata ada natura/kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan yang tidak diwajibkan oleh kementerian/Lembaga, maka pengecualiannya menjadi gugur. Termasuk dalam hal ini adalah fasilitas antar jemput pegawai yang mana sesungguhnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-220/PJ/2002 bukan merupakan objek pajak tanpa mengaitkan dengan kewajiban dari kementerian/lembaga.

Selain itu, pakaian seragam bagi pekerja di Bank atau perusahaan lainnya yang tidak terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja tentu saja masih menjadi persoalan tersendiri apabila tidak diwajibkan oleh kementerian/lembaga. Oleh karena itu hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan melalui penegasan oleh Pemerintah.

Hal utama dan yang terpenting terkait dengan ketentuan objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan adalah ketentuan huruf e, yaitu natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Sangat pentingnya ketentuan ini karena selain berimplikasi kepada ketentuan huruf a, b dan c di atas juga menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan, yaitu mencegah kurangnya penerimaan negara dari pilihan pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai yang terkena tarif PPh yang lebih tinggi dari tarif PPh Pemberi Kerja.

Dengan PP No. 55 Tahun 2022 ternyata persoalan ini belum dituntaskan dan masih harus menunggu PMK. Meski demikian dalam PP No. 55 tahun 2022 arahnya sudah terindikasi, yaitu dengan adanya kriteria penerima penggantian. Dengan adanya kriteria penerima penggantian diharapkan penerima penggantian yang masih terkena tarif rendah tidak perlu dikenakan pajak atas penerimaan natura/kenikmatannya. Selain itu, kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (contoh klinik buat pekerja) sebaiknya juga dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan penulis pada artikel sebelumnya.  

B. Penilaian imbalan natura/kenikmatan

Dengan PP No.55 tahun 2022 masalah nilai imbalan natura/kenikmatan menjadi lebih jelas, yaitu bahwa untuk natura harus dinilai dengan nilai pasar, sedangkan untuk kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan. Walaupun lebih jelas, namun tentu saja ketentuan nilai pasar menimbulkan ketidakpastian, sebab nilai pasar menurut siapa yang akan dipakai. Apakah harus berdasarkan Penilai professional (valuer/appraisal) ? 

Oleh karena itu sudah tepat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 huruf c PP No. 55 Tahun 2022 yang mana mengatur bahwa masalah penilaian akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan nantinya penilaian diatur dalam Peraturan Menteri, maka seharusnya akan tercipta kepastian. Termasuk dalam hal ini adalah penilaian atas kenikmatan fasilitas klinik perusahaan yang apabila tidak dikecualikan (meski Penulis berharap dikecualikan) seharusnya dapat ditentukan secara adil, walau cenderung akan sulit ditentukan.

Demikian pula penilaian kenikmatan pemakaian kendaraan yang dimiliki perusahaan atau kendaraan yang disewa oleh perusahaan boleh jadi berbeda nilainya yang mana biaya atas kendaraan yang dimiliki perusahaan akan terdiri dari unsur depresiasi, Pajak Kendaraan Bermotor, asuransi, dan pemeliharaannya, sedangkan kendaraan yang disewa biayanya hanya sebesar nilai sewanya. Oleh karena itu sebaiknya dalam PMK nanti kasus seperti ini juga diatur.

C. Hubungan dengan PPh Pemberi Kerja

Aspek perlakuan pemajakan atas natura/kenikmatan tentu terkait dengan perlakuan biayanya bagi Pemberi kerja dan pemotongan pajaknya. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan perlakuannya menurut PP No.55 Tahun 2022 dan persoalan yang mungkin terjadi.

Meskipun pada Pasal 9 UU HPP biaya natura/kenikmatan bagi pekerja tidak lagi eksis, namun berdasarkan Pasal 32 C UU HPP, perlakuannya diatur lebih lanjut oleh PP No. 55 Tahun 2022 pada Pasal 23 ayat (2) yaitu bahwa biaya tersebut akan diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible) jika berkaitan dengan upaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M).

Sebelumnya, perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan adalah deductible jika taxable pada pegawai (sesuai dengan kaidah deductibility-taxability), begitu pula sebaliknya jika non-taxable pada pegawai maka non-deductible pada Pemberi kerja.

Dengan adanya tambahan batasan 3M di atas, apakah dimungkinkan terjadi imbalannya taxable tapi non-deductible bagi Pemberi Kerja karena bukan dalam rangka 3M?  Jika terjadi maka Negara dapat dua penerimaan pajak, yaitu dari Pemberi Kerja dan dari Pegawai. Hal ini menarik mengingat bingkisan hari raya dan fasilitas peribadatan dapat dinyatakan sebagai bukan biaya 3M. Lebih lanjut, tentu akan muncul pertanyaan apakah pemberian hadiah pernikahan, kelahiran atau santunan duka kematian kepada pekerja merupakan biaya 3M ?  

Terakhir, terkait dengan ketentuan tahun pajak atas natura/kenikmatan  bagi Pemberi kerja, objek pajak pada pegawai dan pemotongan PPh Pasal 21-nya dalam masa peralihan diatur perlakuannya diatur dalam Pasal 73 yaitu bahwa ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan sesuai UU HPP adalah :

a. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan

b. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Hal ini berarti bahwa pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2021 yang di dalamnya termasuk bulan-bulan tahun 2022 (contoh tahun buku Juli 2021 s.d. Juni 2022, Juni 2021 s.d. Mei 2022, Mei 2021 s.d. April 2022, April 2021 s.d. Maret 2022, Maret 2021 s.d. Februari 2022, atau Februari 2021 s.d. Januari 2022.) belum berlaku ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan  yang baru (masih berlaku ketentuan lama). Dengan kata lain atas penghasilan natura/kenikmatan dari Pemberi kerja pada tahun pajak 2021 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2022 belum merupakan objek pajak, meski diterima dalam bulan-bulan tahun 2022.

Konsekuensi logisnya, pada Januari 2022 s.d. Juni 2022 biaya natura/kenikmatan masih non-deductible bagi Pemberi kerja. Sejak dimulainya tahun pajak 2022 barulah perlakuan pemajakan yang baru berlaku. Jadi jika tahun bukunya Juli s.d. Juni tahun berikutnya, maka untuk tahun pajak 2022 yang dimulai sejak Juli 2022 s.d. Juni 2023 mulai berlaku ketentuan baru, yaitu bahwa natura/kenikmatan menjadi objek pajak mulai Juli 2022. 

Berbeda halnya pada kasus pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2022 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2021 (Agustus 2021 s.d. July 2022, September 2021 s.d. Agustus 2022, Oktober 2021 s.d. September 2022, November 2021 s.d. Oktober 2022, dan December 2021 s.d. Nopember 2022) yang mana ketentuan pemajakan baru berlaku mulai 1 Januari 2022. Sebagai konsekuensi logisnya, maka atas bulan-bulan tahun 2021 masih belum taxable pada pegawai dan belum deductible bagi Pemberi kerja.

Suatu hal yang menarik lainnya adalah bahwa ketentuan Pasal 73 juga mengatur bahwa kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas natura/kenikmatan bagi pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023, sekalipun atas natura/kenikmatan tersebut sudah menjadi objek pajak sejak 1 Januari 2022.

Dengan demikian atas penghasilan natura/kenikmatan yang sudah menjadi objek pajak sebelum 1 Januari 2023 harus dilaporkan/diperhitungkan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi (OP) Pegawai yang bersangkutan.

Hal ini secara administratif menimbulkan persoalan tersendiri, karena Pemberi kerja harus bisa menilai natura/kenikmatan yang diberikan untuk diinformasikan kepada pegawainya. Tentu saja persoalan ini tidak akan terpecahkan jika PMK-PMK terkait penilaian dan batasan serta jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan belum diterbitkan. 

Selain itu, dikarenakan selama tahun 2022 Pemberi kerja belum melakukan pemotongan, maka sudah pasti bagi Pegawai penerima natura/kenikmatan akan mengalami kurang bayar dalam penghitungan PPh OP tahun 2022.

Selanjutnya akan juga muncul persoalan berikutnya, yaitu apakah dengan demikian akan muncul kewajiban angsuran PPh Pasal 25 setelah SPT OP tahun 2022 disampaikan? Masalahnya penghasilan natura/kenikmatan tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan tidak teratur, dan apabila dibayar PPh Pasal 25 maka akan terjadi lebih bayar pada SPT OP tahun 2023 (sebab sejak tahun 2023 atas natura tersebut sudah dilakukan pemotongan pajak oleh Pemberi kerja).

Persoalan ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya melalui penegasan oleh Pemerintah bahwa atas penghasilan natura/kenikmatan tahun 2022 tidak perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 25.

D. Simpulan dan Saran

PP No. 55 tahun 2022 sudah memperjelas hal-hal yang belum jelas sebelumnya, namun penjelasannya belum tuntas dan membutuhkan penuntasan melalui penerbitan PMK-PMK sebagaimana diamanatkan oleh PP tersebut.

Mengingat batas penyampaian SPT OP kian mendekat, maka penerbitan PMK sebelum batas waktu penyampaian SPT OP amat sangat disarankan. Tentu akan sangat lebih baik jika penerbitannya jauh sebelum batas waktu penyampaian SPT OP guna memberikan kecukupan waktu bagi Pemberi kerja melakukan penilaian dan bagi OP yang bersangkutan memperhitungkannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 003244

 

Ini Beda Lapor SPT Tahunan Saat Single dan Married

IKPI, Jakarta: Terdapat perbedaan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wanita kawin (istri) yang menggabungkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) suami dengan istri yang memiliki NPWP sendiri.

Apabila NPWP istri digabungkan dengan suami maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya merupakan urusan pihak suami.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor menjelaskan jika wanita kawin menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri (NPWP berbeda dengan suami), maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya dilakukan sendiri oleh wanita kawin.

“Namun jika wanita kawin menjalankan kewajiban perpajakan digabung dengan suami, maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya ada pada pihak suami,” papar Neil seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (8/2/2023).

Mengutip artikel berjudul “Yuk, Belajar Penghitungan Pajak Sebelum dan Sesudah Menikah” dari laman resmi pajak.go.id, penggabungan NPWP suami istri dilakukan karena sistem administrasi perpajakan di Indonesia melihat bahwa keluar merupakan satu entitas ekonomi.

Oleh karena itu, seorang istri yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, hak dan kewajiban perpajakannya wajib digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Namun, apabila istri memilih untuk tidak menggabungkan NPWP dengan suami bisa saja dilakukan. Itu artinya hak dan kewajiban perpajakan mereka juga akan ditanggung secara terpisah. Untuk mendaftar NPWP istri terpisah, istri perlu menyertakan surat pernyataan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta agar dapat membuat NPWP yang berbeda.

Lantas, apa yang membedakan kewajiban perpajakan seseorang dengan status menikah dan belum menikah?

Status pernikahan akan berpengaruh terhadap besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikenakan pada seseorang. PTKP merupakan batasan penghasil yang tidak dikenakan pajak, itu artinya jika penghasilan seseorang tidak melebihi TKP maka ia tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 101/PMK.010/2016, adapun besaran PTKP yaitu:

1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak kawin (TK/0) sebesar Rp54.000.000

2. Tambahan untuk wajib pajak kawin (K/0) sebesar Rp4.500.000

3. Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami (TK/0) sebesar Rp54.000.000

4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp4.500.000

Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, adapun perhitungan pengenaan PPh atas penghasilan dengan menggunakan tarif progresif yang mengacu pada pengurangan PTKP di atas, yakni

1. Sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) = 5% (lima persen)

2. Di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) = 15% (lima belas persen)

3. Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) = 25% (dua puluh lima persen)

4. Di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) = 30% (tiga puluh persen)

Mengutip contoh perbandingan perhitungan pajak dari artikel “Yuk, Belajar Penghitungan Pajak Sebelum dan Sesudah Menikah”, berikut perbandingan penghitungan PPh sebelum dan sesudah menikah:

1. Penghitungan PPh sebelum menikah

Sesuai dengan ketentuan mengenai PTKP, apabila seseorang belum menikah (TK/0) maka Penghasilan Tidak Kena Pajak nya sebesar Rp54.000.000,00. Contohnya apabila A memiliki penghasilan neto dalam satu tahun adalah Rp150.000.000,00 dan belum memiliki tanggungan, maka penghitungan PPh A adalah penghasilan neto (Rp150.000.000,00) dikurangi PTKP (Rp54.000.000,00), sehingga Penghasilan Kena Pajak (PKP) A adalah Rp96.000.000,00.

Selanjutnya Penghasilan Kena Pajak A dikenai tariff progresif, maka PPh terutangnya adalah (5%xRp50.000.000,00) + (15%xRp46.000.000,00) = Rp2.500.000,00 + Rp6.900.000,00 = Rp9.400.000,00. PPh yang terutang ini sudah dipotong oleh pemberi kerjanya, sehingga A hanya punya kewajiban untuk melaporkannya dalam SPT Tahunan dan tidak terdapat kekurangan pembayaran PPh.

2. Penghitungan PPh setelah menikah

Ketika sudah menikah pasangan suami-istri dapat memilih untuk menggabungkan atau memisahkan NPWP nya. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

a. NPWP suami-istri digabung

Contohnya A sebagai suami yang sudah menikah dengan Z sebagai istri, dan memiliki 2 anak. A memiliki penghasilan neto Rp200.000.000,00 setahun dan Z memiliki penghasilan neto Rp150.000.000,00 setahun.

PKP A adalah penghasilan neto Rp200 juta – PTKP (K/2) RP67,5 juta = Rp132,5 juta. Sehingga PPh terutangnya adalah Rp14.875.000,00. PPh terutang A telah dilakukan pemotongan oleh pemberi kerjanya, sehingga A tinggal melaporkannya saja di SPT Tahunannya dan tidak terdapat kurang bayar PPh.

Untuk penghitungan PPh Z adalah penghasilan neto Rp150 juta – PTKP (TK/0) Rp54 juta = Rp96 juta. Maka PPh terutangnya adalah Rp9.400.000,00. PPh Z juga sudah dipotong oleh pemberi kerjanya sehingga angka ini hanya dilaporkan di SPT Tahunan suami dan tidak terdapat kurang bayar PPh.

Adapun keuntungan yang dirasakan pasangan menikah yang memilih NPWP suami istri digabung adalah PPh terutang suami dan istri tidak akan mengalami kurang bayar dan dianggap final.

b. NPWP suami-istri dipisah

Jika A dan Z memilih untuk memiliki NPWP terpisah, maka keduanya akan dikenakan PTKP K/I/2 sebesar Rp121.500.000,00. Untuk mengetahui PPh nya pertama-tama penghasilan A dan Z digabung sehingga total penghasilannya adalah Rp350.000.000,00. Kemudian PPh terutang gabungan A dan Z dihitung menggunakan tarif progresif (5%xRp50 juta) + (15%xRp178,5 juta) = Rp29.275.000.

Setelah didapatkan PPh terutang gabungan, kemudian A dan Z menghitung PPh terutang masing-masing. Untuk PPh terutang A adalah (Rp200 juta/Rp350 juta) x Rp29.275.000,00 = Rp16.728.571,00. Karena tempat bekerja A sudah memotong sebesar Rp14.875.000,00 maka PPh kurang bayar A adalah Rp1.853.571. PPh terutang kurang bayar ini nantinya dicicil setiap bulan di tahun berikutnya sebagai PPh Pasal 25.

Selanjutnya penghitungan PPh terutang Z adalah (Rp150 juta/Rp350 juta) x Rp29.275.000,00 = Rp12.546.429,00. Karena tempat bekerja Z sudah memotong sebesar Rp9.400.000, maka PPh kurang bayar Z adalah Rp3.146.429,00. PPh terutang kurang bayar ini nantinya dicicil setiap bulan di tahun berikutnya sebagai PPh Pasal 25.

Berdasarkan contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa apabila pasangan suami istri memilih untuk memisahkan NPWP mereka maka konsekuensinya adalah PPh terutang yang harus dibayarkan masing-masing pihak lebih besar. Untuk itu, pasangan suami istri memang dianjurkan agar menggabungkan NPWP mereka. (bl)

Diprotes Warga, Gibran Batalkan Kenaikan PBB Kota Solo

IKPI, Jakarta: Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka secara tiba-tiba mengurungkan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB). Dia sebelumnya mengaku pusing dengan target pendapatan asli daerah (PAD) Solo pada 2023 sebagai alasan untuk menaikkan PBB. Kenaikan tarif sebesar hampir tiga kali lipat itu pun kemudian diprotes warga.

“Lho penak toh tidak ada kenaikan, ditunda tidak ada kenaikan,” kata Gibran dikutip dari Republika.id seusai pertemuan dengan Fraksi PDIP di Puro Mangkunegaran, Solo, Selasa (7/2/2023).

Pada Jumat (3/2), Gibran mengatakan, kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) yang berarti menaikkan PBB dilakukan untuk mengejar target PAD Kota Solo. Di mana PAD Kota Solo tahun 2023 dinaikkan dari RP 740 miliar pada 2022 menjadi Rp 820 miliar tahun ini. “Kejar target (PAD), sini juga pusing targetnya tinggi,” kata dia.

Saat itu, Gibran menyebut, kenaikan NJOP yang tinggi juga akan diimbangi dengan stimulus yang tinggi. Menurut dia, kenaikan tersebut mengingat nilai tanah di Kota Solo akan terus naik karena banyaknya wisata yang dibangun.

“Solo ini sudah kota loh ya, nilai tanah pasti naik, apalagi yang rumahnya sekitar Solo Safari, Museum Pedaringan, sekitar Solo Technopark, sekitar Waterpark,” ujar dia pada Jumat pekan lalu.

Namun, tak sampai sepekan, Gibran mengurungkan rencananya itu setelah masyarakat Kota Solo protes. Keluhan tersebut dilayangkan warga melalui Unit Layanan Aduan Surakarta (ULAS). Sejak Jumat (3/2), banyak keluhan terkait kenaikan PBB yang disampaikan warga karena meroketnya NJOP dinilai tidak masuk akal.

Salah satu warga, Agustinus Adi Sri Tjahjono, yang tinggal di Kelurahan Gilingan mengeluhkan kenaikan PBB terjadi secara ugal-ugalan. Pasalnya, pada 2022 ia membayar PBB sebesar Rp 728.605 menjadi Rp 2.223.364 pada 2023.

Kendati demikian, Agustinus mengaku bahwa sudah lama tidak ada kenaikan pada PBB. Namun, dia kaget karena angkanya naik hampir tiga kali lipat. Ia juga menyebut kebijakan tersebut belum disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.

“Jangan mentang-mentang NJOP-nya tidak pernah naik, lalu dihajar pada 2023. Hitungannya juga tidak disosialisasikan dan tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Mohon bijaksana kalau menaikkan NJOP. Di angka Rp 800 ribuan lah. Kui sing pokro lan pantes (itu yang layak dan pantas),” tulisnya dilansir dari ULAS.

Keluhan sama juga disampaikan oleh Bernadette Sri Utami yang mempertanyakan kenaikan PBB yang luar biasa tersebut. Ia memahami kenaikan PBB setiap tahunnya. Namun, ia menyayangkan kenaikan yang ia sebut ugal-ugalan.

“Kenapa tagihan PBB untuk tahun 2023 ini naiknya luar biasa nggih? Saya yang semula Rp 900 ribuan, sekarang jadi Rp 3 juta lebih. Tentu itu sangat memberatkan. Kami sebenarnya maklum akan kenaikan-kenaikan tarif, tapi nyuwun tulung, jangan ugal-ugalan, Pak,” tulisnya.

Keluhan lainnya disampaikan Yocke karena kenaikan NJOP juga berdampak pada transaksi jual beli tanah yang dilaksanakan tahun sebelumnya. Ia mengatakan, ketika melakukan transaksi dengan kliennya pada 2022 nilai, NJOP Rp 1,6 miliar. Namun, tahun 2023 tagihan PBB 2023 NJOP-nya menjadi Rp 6 miliar.

“Saat ini sudah mengajukan permohonan banding untuk pajak BPHTB-nya di pemkot. Tapi, agak pesimis karena respons dari pemkot kemarin juga kurang bagus. Padahal jelas-jelas ada bukti lampiran PPJB, nilai jual beli di angka Rp 4,7 miliar tapi pajak harus bayar di angka NJOP Rp 6 miliar. Menurut saya, sangat tidak fair,” katanya.

Gibran berterima kasih atas keluhan dari para warga sehingga kenaikan tarif PBB menjadi ditunda. Namun, ia mengatakan setidaknya butuh waktu sepekan untuk melakukan pembaruan data. “Warga digawe penak kabeh, warga tidak perlu panik makasih semua untuk masukannya. Kita butuh seminggu untuk update database, ditunggu ya,” katanya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa tidak adanya kenaikan pada sektor PBB, Pemkot Solo akan memaksimalkan di sektor lain. “Target pendapatan (PAD) tetap 2023, (PBB) tarifnya 2022 targetnya 2023. PBB tetap maksimalkan, dari piutang lalu nanti pajak hiburan, restoran, hotel tetap kita maksimalkan,” katanya.

Sementara, Ketua Fraksi PDIP YF Sukasno mengatakan masyarakat, bisa kembali tenang karena tarif PBB belum akan naik. Sukasno menjelaskan bahwa salah satu pertimbangan menunda kenaikan PBB adalah melihat kondisi masyarakat. “Masyarakat (agar) tenang. Jadi, Mas Wali mendengarkan masyarakat, rakyatnya tenang lagi, ndak ada pertimbangan lain,” ujar dia. (bl)

Laporkan SPT Pajak Palsu, Pengusaha di Bantul Dijatuhi Pidana Penjara

IKPI, Jakarta: Pengusaha swasta berinisial HP di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinyatakan vonis bersalah sebagai terdakwa pengemplang pajak. Perusahaannya dengan sengaja melaporkan SPT pajak tahunan yang isinya tidak benar sehingga mengakibatkan pajak kurang dibayar.

Hal itu berdasarkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bantul. Informasi dibagikan di Twitter resmi @DitjenPajakRI, dikutip Rabu (8/2/2023).

“Majelis Hakim PN Bantul menyatakan terdakwa HP terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dengan sengaja tidak melaporkan seluruh penghasilannya dalam SPT yang mengakibatkan pajak kurang dibayar,” tulisnya.

Atas perbuatannya, Majelis Hakim PN Bantul memvonis HP dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda sebesar dua kali jumlah pajak terutang yaitu senilai Rp 88.833.956.874.

“Jika terdakwa tidak membayar denda dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda miliknya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar denda,” tegasnya.

Jika terdakwa HP tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka diganti dengan pidana penjara selama satu tahun.

“DJP akan terus memberikan upaya keadilan perpajakan dalam bentuk penegakan hukum kepada para pengemplang pajak,” imbuhnya. (bl)

Tinjauan atas Penerapan Prinsip “Substance-Over-Form” Sebagai Aturan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak

Oleh: Nalphian Seotang 

A. Kondisi saat ini mengenai aturan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia 

Sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak telah dilengkapi dengan seperangkat aturan yang memberikan mereka kewenangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak. Seperangkat aturan tersebut tertuang di dalam Pasal 18 UU PPh. 

Seiring dengan perubahan UU PPh yang sudah dilakukan sebanyak tujuh kali sejak tahun 1983 hingga sekarang, ketentuan di dalam Pasal 18 pun turut berkembang. Ini berarti bahwa aturan penghindaran pajak berganda di Indonesia juga turut berkembang. Pada awalnya, Pasal 18 hanya terdiri dari 4 ayat. Sekarang, berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 18 terdiri dari 8 ayat. 

Mayoritas dari ketentuan di Pasal 18 UU PPh pun telah diatur lebih lanjut di dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seperti contohnya:

(i) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 169 Tahun 2015 tentang debt-to-equity ratio untuk keperluan perpajakan ;

(ii) Ketentuan Pasal 18 ayat (2) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 17 Tahun 2017 tentang deemed dividends dari controlled foreign corporations ; dan

(iii) Ketentuan Pasal 18 ayat (3) telah diatur lebih lanjut dalam seperangkat Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen Pajak terkait dengan transfer pricing.

Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak sudah bisa mengimplementasikan aturan-aturan tersebut di lapangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak karena telah ada aturan pelaksananya.

Namun, menarik untuk dicatat bahwa semua aturan di dalam ketentuan Pasal 18 UU PPh merupakan aturan-aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat spesifik, atau biasanya dikenal dengan sebutan specific anti-avoidance rule. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Aturan Pajak Penghasilan (PP No. 55 Tahun 2022) berlaku, sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia belum pernah memiliki aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum (general anti-avoidance rule). 

Aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia tersebut dikatakan bersifat spesifik, karena mereka hanya ditujukan untuk memberantas praktik penghindaran pajak spesifik yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu atau melalui skema transaksi tertentu. 

Terdapat rambu-rambu yang jelas di dalam aturan tersebut seperti mengenai apa saja yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan.  

Namun sayangnya, dalam beberapa kesempatan, aturan yang bersifat spesifik tidaklah efektif untuk memberantas atau mencegah praktik penghindaran pajak yang cenderung selalu berkembang. Direktur jJenderal pPajak tidak dapat mencegah praktik-praktik penghindaran pajak tersebut, karena mereka tidak dapat dijaring oleh unsur-unsur dalam aturan-aturan spesifik yang sudah ada. 

Perlunya aturan umum pencegahan penghindaran pajak 

Para penghindar pajak cenderung akan selalu mencoba mencari cara yang kreatif untuk mengakali aturan-aturan yang spesifik tersebut. Ironis, semakin jelas rambu-rambu itu disebutkan di dalam suatu aturan, maka semakin jelas juga bagi para penghindar pajak untuk menggambarkan mengenai kondisi-kondisi di mana perbuatan mereka nantinya tidak akan dianggap sebagai praktik penghindaran pajak karena telah melaksanakan sesuai konteks aturan yang ada.

Kondisi ini tentunya sangat dimanfaatkan para penghindar pajak, khususnya untuk terus menemukan cara bagaimana mereka harus mengakalinya. 

Mengingat kelemahan yang dimiliki oleh aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, maka diperlukan suatu aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum. Dalam hal ini, “umum” memiliki arti bahwa unsur-unsur yang menjadi pembentuk aturan tersebut tidaklah dirumuskan secara spesifik sehingga keberlakuannya lebih bisa luwes. Oleh sebab itu, melalui Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan wewenang tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 20 Desember 2022.

Dalam ketentuan tersebut, Direktur jJenderal Pajak diberikan wewenang untuk menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance-over-form). Wewenang ini dapat diterapkan ketika semua aturan spesifik penghindaran pajak tidak efektif untuk mencegah suatu praktik penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan bunyi ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022:

“Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”

Karena ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022 ini berpedoman hanya pada suatu prinsip dan berfungsi sebagai upaya terakhir (last resort) untuk mencegah penghindaran pajak ketika aturan-aturan yang bersifat spesifik tidak lagi efektif, ketentuan ini dapat disebut sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Kemudian, penerapan prinsip substance-over-form menjadi suatu norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagai aturan umum pencegahan, atau penghindaran pajak adalah hal yang menarik untuk ditinjau lebih lanjut. 

Perlu dicatat bahwa sebelum PP No. 55 Tahun 2022 berlaku, prinsip tersebut pernah diterapkan sebagai dasar penerapan manfaat yang diberikan oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa dalam hal substansi ekonomi suatu transaksi berbeda dengan bentuk hukumnya, maka penerapan P3B harus didasarkan pada substansi ekonominya. Namun, ketentuan tersebut khusus diberlakukan spesifik untuk penerapan P3B saja dan tidak dalam hal lainnya.  

Berikut ini adalah uraian tinjauan umum dari sudut pandang hukum atas penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak.

  1. Tinjauan dari perspektif penegakan hukum 

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf a PMK 17 Tahun 2013, diatur bahwa temuan hasil pemeriksaan pajak harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Pada dasarnya, ketentuan di atas bertujuan untuk menjamin agar temuan-temuan pemeriksaan yang dikenakan oleh Direktur Jenderal Pajak harus didasarkan pada ketentuan yang jelas diatur secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hak-hak wajib pajak dapat dijamin. 

Kemudian, Direktur Jenderal Pajak dilarang untuk membuat temuan hasil pemeriksaan berdasarkan subjektivitas pemeriksa, termasuk berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Jadi, dengan berlakunya PP No. 55 Tahun 2022, prinsip substance-over-form tidak lagi merupakan prinsip yang bersifat tidak tertulis yang bisa dipertanyakan legalitasnya, jika digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar hukum dalam membuat temuan pemeriksaan. 

Dengan demikian, PP No. 55 Tahun 2022 memberikan landasan hukum yang tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga prinsip substance-over-form dapat digunakan sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. 

Dari sudut pandang penegakan hukum pajak, dengan diterapkannya prinsip substance-over-form menjadi norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Direktur Jjenderal pPajak seakan-akan diberikan “senjata terakhir” untuk bisa memberantas praktik penghindaran pajak yang dapat digunakan, khususnya mana kala aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak tidak lagi efektif untuk digunakan. 

Diharapkan dengan diberikannya kewenangan tambahan ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menciptakan level playing field untuk semua wajib pajak. Sehingga setiap wajib pajak nantinya akan membayar kewajibannya sesuai dengan proporsi yang adil dan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Jadi, idealnya tidak ada lagi wajib pajak yang membayar pajak lebih kecil dari yang seharusnya, karena memang itu yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, bukan karena mereka (wajib pajak) mampu merekrut ahli-ahli perpajakan dan itu bisa membantu untuk menghindar dari kewajibannya dan bahkan mengakali peraturan yang berlaku.

  1. Tinjauan dari perspektif kepastian hukum

Selain dari aspek penegakan hukum, terdapat juga aspek kepastian hukum yang layak untuk ditinjau terkait penerapan prinsip ini.

Di satu sisi, kejelasan perumusan unsur-unsur di dalam suatu norma tertulis adalah penting demi tercapainya kepastian hukum terkait penerapan norma tersebut. Karakteristik dari aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, yang menguraikan dengan rinci kondisi-kondisi seperti apa yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang dilarang, cenderung lebih bisa memenuhi tujuan kepastian hukum daripada aturan yang bersifat umum. 

Namun di sisi lain, dengan semakin jelas dirumuskannya unsur-unsur suatu norma tertulis, maka norma tersebut akan semakin kaku dan sulit untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal penghindaran pajak, aturan itu semakin kaku dan sulit untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang akan terus berkembang. 

Di sinilah letak diperlukannya aturan umum pencegahan penghindaran pajak, yang seharusnya lebih luwes untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.  

Sayangnya, sifat “umum” dan “luwes” dari aturan umum dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak patut diduga akan bervariasi nantinya ketika diimplementasikan. Terdapat kemungkinan bahwa (i) antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak yang lain, (ii) antara wajib pajak dengan petugas pajak, atau (iii) antara petugas pajak yang satu dengan petugas pajak yang lain akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda apakah suatu transaksi dapat dikatakan sebagai praktik penghindaran pajak berdasarkan prinsip substance-over-form. 

Oleh karena hal di atas, peraturan yang akan diterbitkan Menteri Keuangan untuk mengatur tata cara penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak adalah sangat penting. Peraturan tersebutlah yang seharusnya menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan mencegah Direktur Jenderal Pajak menyalahgunakan kewenangannya. 

Sebagaimana diatur oleh Pasal 44 PP No. 55 Tahun 2022, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak harus dilakukan dengan memperhatikan:

  1. Batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan;
  2. Kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak;
  3. Tahap pengujian formil dan materiil;
  4. Mekanisme penjaminan kualitas; dan/atau
  5. Perlindungan hak wajib pajak, serta penerapannya harus dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. 

Ketentuan-ketentuan tersebut akan dicakup dalam peraturan menteri keuangan. Diharapkan menteri keuangan dapat menerbitkan peraturan yang di satu sisi dapat menjamin kepastian hukum untuk wajib pajak, namun di sisi lain tidak menghilangkan sifat “umum” dari aturan ini agar efektif untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak yang cenderung terus berevolusi. 

  1. Tinjauan dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan

Poin terakhir yang layak untuk ditinjau adalah dari sudut pandang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Menarik untuk dicatat bahwa batang tubuh UU PPh sama sekali tidak menyebutkan mengenai pemberlakuan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Frasa “prinsip substance-over-form” hanya muncul pada penjelasan Pasal 18 UU PPh, dan penjelasan tersebut juga tidak menyebutkan penggunaan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan Pasal 18:

“Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya”.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  (UU P3), hierarki suatu undang-undang adalah lebih tinggi daripada hierarki suatu peraturan pemerintah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. 

Ini artinya materi muatan dari peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dari undang-undang yang menaunginya. 

Pasal 9 ayat (2) UU P3 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi jika diduga ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Berdasarkan hal di atas, patut untuk diteliti lebih lanjut apakah penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak di dalam PP No. 55 Tahun 2022 dapat dianggap bertentangan dengan UU PPh karena memuat norma yang lebih luas dari yang diatur dalam UU PPh, sehingga ketentuan itu seharusnya tidak memiliki daya keberlakuan. 

Jika memang demikian, terdapat risiko ketentuan tersebut akan dinyatakan tidak berlaku jika ketentuan itu diuji materikan di Mahkamah Agung. 

  1. Kesimpulan

Dengan demikian, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak membuka babak baru di dunia perpajakan Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, sebelumnya Indonesia belum pernah memiliki aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Maka, dengan diberlakukannya prinsip ini sebagai norma tertulis untuk mengecah praktik penghindaran pajak, Direktur jJenderal Pajak semakin diperkuat dengan diberikan landasan hukum yang jelas untuk menegakkan peraturan perpajakan. 

Namun demikian, kepastian hukum dari penerapan prinsip ini perlu juga dijaga. Peraturan yang nantinya akan diterbitkan oleh menteri keuangan menjadi krusial karena di dalam peraturan tersebut menteri keuangan harus menjaga keseimbangan atara wewenang Direktur Jenderal Pajak dan hak-hak wajib pajak. 

Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga agar wajib pajak mendapatkan kepastian hukum, dan di sisi lain peraturan ini diharapkan dapat merealisasikan agar pencegahan atau penghindaran pajak menjadi efektif tanpa adanya penyalahgunaan wewenang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Terakhir, terdapat aspek pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu diteliti lebih lanjut terkait penerapan prinsip substance-over-form tersebut di dalam PP No. 55 Tahun 2022, yakni apakah penerapan tersebut bertentangan dengan UU PPh. 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 002902.

id_ID