Aspek Perpajakan Transaksi Debt to Equity Swap 

Secara umum, sumber permodalan suatu perusahaan berasal dari dua instrumen utama, yaitu setoran modal dari pemegang saham dan pinjaman dari kreditur. Untuk memahami kedua sumber permodalan tersebut secara lebih mendalam, penting untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaannya.

Pemahaman ini akan membantu dalam menentukan posisi masing-masing instrumen dalam laporan posisi keuangan (neraca), yang pada gilirannya berimplikasi pada kewajiban perpajakan yang timbul dari transaksinya.

Perbedaan Modal dan Utang dalam Perspektif Akuntansi:

• Setoran Modal Pemegang Saham

Dalam laporan posisi keuangan, setoran modal diklasifikasikan dalam kelompok ekuitas dengan akun seperti “modal saham disetor” (paid-in capital). Pemegang saham umumnya memiliki dua tujuan utama dari perspektif motif keuntungan finansial:

• Dividen, yaitu bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham. Jumlah dividen biasanya ditentukan dalam satuan Rupiah per lembar saham, dan nilainya sangat tergantung pada kinerja keuangan perusahaan setiap tahunnya.

• Capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh ketika harga pasar saham perusahaan lebih tinggi dari nilai bukunya.

• Pinjaman dari Kreditur

Pinjaman dicatat sebagai kewajiban pada neraca dengan nama akun seperti “utang jangka panjang” (long-term payables). Sebagai kewajiban, perusahaan berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman disertai bunga dalam jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati. Imbalan ini dikenal sebagai bunga pinjaman.

Persamaan antara Modal dan Utang:

Kedua instrumen memiliki kesamaan utama, yaitu sama-sama meningkatkan kas perusahaan. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai kegiatan operasional maupun ekspansi usaha.

Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan nilai tambah yang pada akhirnya akan tercermin dalam bentuk laba perusahaan di laporan keuangan.

Dividen dan Capital Gain

Pemegang saham yang menyetorkan tambahan modal ke dalam perusahaan umumnya mengharapkan imbal hasil dalam bentuk dividen dan capital gain. Kedua jenis imbal hasil ini memiliki perlakuan perpajakan yang berbeda, dengan rincian sebagai berikut:

• Pajak atas Dividen

• Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOP DN), Dividen yang diterima dari perusahaan dalam negeri dikenakan PPh Final sebesar 10%. Namun, dividen tersebut dapat dikecualikan sebagai objek pajak apabila seluruhnya diinvestasikan kembali di Indonesia, sesuai ketentuan PP No. 9 Tahun 2021 dan PMK No. 18/PMK.03/2021.

• Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, Dividen yang diterima dari dalam negeri tidak dikenakan PPh dan termasuk kategori non-objek pajak, tanpa kewajiban reinvestasi.

• Wajib Pajak Luar Negeri, Dividen dikenai PPh Pasal 26 sebesar 20% yang bersifat final. Tarif ini dapat lebih rendah apabila terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara domisili penerima dividen.

• Pajak atas Capital Gain

Ketentuan perpajakan atas capital gain dibedakan berdasarkan jenis perusahaan:

• Capital Gain dari Perusahaan Privat, Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: dikenakan tarif pajak progresif sesuai lapisan penghasilan & Untuk Wajib Pajak Badan: dikenakan tarif tunggal (single tariff) sesuai tarif umum PPh Badan.

• Capital Gain dari Perusahaan Publik, Tidak dibedakan antara wajib pajak orang pribadi dan badan. Capital gain atas transaksi saham di bursa dikenai PPh Final sebesar 0,01% dari harga jual saham (bukan dari selisih capital gain-nya).

Imbalan atas Investasi Kreditur dan Aspek Perpajakannya

Kreditur yang menyalurkan dananya kepada perusahaan dalam bentuk pinjaman tentu mengharapkan imbal hasil berupa bunga. Secara sederhana, bunga atas pinjaman dapat dianalogikan sebagai “ongkos” yang harus dibayar oleh pihak peminjam atas pemanfaatan dana milik pihak lain—mirip seperti penumpang yang membayar tarif taksi untuk mencapai tujuannya.

Dalam analogi ini, kendaraan taksi hanya dapat digunakan oleh penumpang yang membayar ongkos; demikian pula, perusahaan sebagai peminjam memperoleh manfaat eksklusif dari dana pinjaman, dan karena itu berkewajiban memberikan imbalan kepada kreditur dalam bentuk bunga.

Dari sisi perpajakan, perlakuan atas bunga pinjaman dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan asal pemberi pinjaman:

• Pinjaman dari Lembaga Perbankan, Bunga yang dibayarkan oleh perusahaan kepada bank tidak dikenakan PPh Pasal 23. Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

• Pinjaman dari Non-Perbankan, Bunga atas pinjaman yang berasal dari pihak selain bank dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan, dan bersifat dipotong di sumber oleh pihak peminjam.

Transaksi Debt to Equity Swap:

Transaksi Debt to Equity Swap merupakan mekanisme konversi utang menjadi saham, yang umumnya dilakukan ketika perusahaan mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman.

Dalam kondisi ini, perusahaan dapat menawarkan kepada kreditur untuk mengubah statusnya dari pemberi pinjaman menjadi pemegang saham.

Dengan perubahan status tersebut, kewajiban perusahaan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman dianggap selesai. Sebagai gantinya, kreditur memperoleh hak sebagai pemegang saham, termasuk potensi imbal hasil berupa dividen dan capital gain.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Debt to Equity Swap:

• Penilaian Kembali Kewajiban, Menghitung ulang nilai utang perusahaan kepada kreditur, termasuk denda atas keterlambatan pembayaran pokok dan bunga, guna memperoleh nilai kewajiban yang akurat.

• Penilaian Nilai Saham Perusahaan, Untuk perusahaan publik: merujuk pada harga pasar saham di bursa dan Untuk perusahaan privat: menggunakan pendekatan seperti discounted free cash flow atau metode penilaian lainnya yang lazim digunakan.

• Penentuan Rasio Konversi, Setelah nilai utang dan harga saham disepakati, dilakukan konversi dengan membagi total nilai utang dengan harga per lembar saham untuk menentukan jumlah saham yang akan diterbitkan kepada kreditur.

• Pencatatan Akuntansi, Secara akuntansi, transaksi ini mengubah klasifikasi utang menjadi bagian dari ekuitas dalam laporan posisi keuangan.

Aspek Perpajakan dalam Transaksi Debt to Equity Swap

Transaksi debt to equity swap berpotensi menimbulkan konsekuensi perpajakan, baik bagi debitur maupun kreditur. Berikut penjabaran atas potensi kewajiban pajak yang dapat timbul:

• Penilaian Jumlah Utang

Dalam proses konversi utang menjadi saham, terdapat dua kemungkinan perubahan nilai utang:

• Penambahan Nilai Utang, jikalau hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai utang yang dikonversi lebih besar dari nilai sebelumnya, maka terdapat tambahan piutang bagi kreditur. Tambahan ini dianggap sebagai penghasilan bagi kreditur dan dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebaliknya, bagi debitur, selisih tersebut dapat dianggap sebagai kerugian yang dapat dibebankan secara fiskal, sehingga berpotensi mengurangi PPh terutang pada tahun berjalan.

• Pengurangan Nilai Utang, jikalau nilai utang yang dikonversi lebih rendah dari nilai tercatat sebelumnya, maka debitur memperoleh keuntungan dari penghapusan utang. Keuntungan ini merupakan objek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh, dan wajib dilaporkan serta dikenakan pajak penghasilan.

• Penilaian Nilai Saham

Dalam proses konversi, saham yang diterbitkan kepada kreditur juga harus dinilai secara wajar:

• Nilai Saham Lebih Tinggi dari Nilai Buku, jikalau hasil valuasi menunjukkan bahwa nilai saham lebih tinggi dari nilai buku, maka terdapat capital gain bagi pemegang saham. Capital gain ini merupakan objek PPh Final sebesar 10%, sesuai ketentuan yang berlaku untuk perusahaan privat.

• Nilai Saham Lebih Rendah dari Nilai Buku, jika nilai saham lebih rendah dari nilai buku, maka selisih tersebut dianggap sebagai disagio dan dicatat langsung sebagai pengurang ekuitas. Karena tidak memengaruhi laporan laba rugi, maka tidak menimbulkan implikasi perpajakan.

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan memiliki utang kepada kreditur sebesar Rp1.000.000.000. Setelah dilakukan negosiasi dan penilaian, disepakati bahwa utang akan dikonversi menjadi saham perusahaan privat. Harga saham hasil valuasi ditetapkan Rp10.000 per lembar, sehingga perusahaan akan menerbitkan 100.000 lembar saham kepada kreditur. Tidak terdapat selisih nilai utang dan nilai saham yang dikonversi.

Jurnal Akuntansi

• Saat penghapusan utang

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

[Penghapusan utang karena dikonversi menjadi saham, mengubah klasifikasi dari liabilitas menjadi ekuitas]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih rendah dari nilai buku, misalnya menjadi Rp.900 Juta, sehingga terdapat keuntungan sebesar Rp.100 Juta bagi debitur

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.   900.000.000

Cr. Pendapatan Lain-lain Rp.   100.000.000

[Keuntungan dari penghapusan sebagian utang dicatat sebagai pendapatan lain-lain dan menjadi objek PPh]

• Jikalau nilai valuasi saham lebih tinggi dair nilai buku, misalnya menjadi Rp.1.100.000.000, sehingga kreditur memberikan tambahan investasi sebesar Rp.100.000.000

Dr. Utang – Kreditur ABC Rp.1.000.000.000

Dr. Kas Rp.   100.000.000

Cr. Modal Saham – Kreditur ABC Rp.1.100.000.000

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Laos Selaraskan UU Pajak Penghasilan dengan Standar Internasional

IKPI, Jakarta: Pemerintah Laos terus memperkuat komitmennya dalam membangun sistem keuangan negara yang transparan dan berdaya saing melalui langkah besar dengan merevisi Undang-Undang Pajak Penghasilan. Revisi ini menjadi bagian dari strategi reformasi fiskal menyeluruh yang dirancang untuk menutup celah hukum, meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak, dan menyelaraskan sistem perpajakan nasional dengan standar internasional.

Langkah tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Laos, Santiphab Phomvihane, dalam sidang Majelis Nasional pada Selasa (24/6/2025).

Ia menegaskan bahwa perubahan ini merupakan bagian penting dari upaya modernisasi hukum perpajakan, sejalan dengan kebutuhan ekonomi Laos yang semakin kompleks dan terhubung dengan dinamika global.

“Kerangka hukum perpajakan kita harus mampu menjawab tantangan masa depan. Amandemen ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan kepercayaan publik terhadap sistem pajak,” ujar Santiphab.

Menurut laporan resmi Kementerian Keuangan Laos yang dirilis keesokan harinya (25/6), fokus revisi tidak hanya terletak pada penyesuaian teknis terhadap praktik perpajakan global, tetapi juga pada penguatan sistem administrasi dan pengawasan pajak di dalam negeri.

Reformasi ini dipandang strategis dalam memperkokoh fondasi fiskal nasional, sekaligus mempersiapkan Laos menghadapi transisi menuju ekonomi yang lebih mandiri dan kompetitif. Pemerintah berharap dengan harmonisasi regulasi internasional, Laos dapat memperluas jalinan kerja sama global serta meningkatkan minat investor asing melalui sistem perpajakan yang kredibel dan akuntabel.

Undang-undang hasil revisi nantinya akan menjadi landasan utama dalam mengelola penerimaan negara, sekaligus simbol dari tekad pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang stabil dan transparan.

Langkah ini pun mendapat sorotan positif dari berbagai pihak, terutama pelaku ekonomi dan komunitas internasional, yang menilai inisiatif tersebut sebagai bagian dari komitmen Laos untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

Lelang Aset Sitaan, Kanwil DJP Jakbar Raih Rp840 Juta

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat (Kanwil DJP Jakbar) sukses meraup Rp840 juta dari hasil lelang 12 aset sitaan penunggak pajak dalam gelaran Lelang Bersama Barang Sitaan Pajak Kanwil DJP se-Jakarta Raya yang berlangsung di Aula Chakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP Jakarta, pada Selasa (25/6/2025).

Barang-barang yang dilelang meliputi mobil, alat berat, sepeda motor, dan peralatan elektronik, yang sebelumnya disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakbar. Aset tersebut merupakan bagian dari 19 barang sitaan yang dilelang secara serentak oleh seluruh Kanwil DJP se-Jakarta Raya dengan total nilai mencapai Rp2,9 miliar.

Kepala Kanwil DJP Jakbar, Farid Bachtiar, menegaskan bahwa lelang ini merupakan bagian dari strategi Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) penagihan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. “Hingga Mei 2025, capaian realisasi PKM masih di angka 31,7 persen. Oleh karena itu, perlu langkah penagihan yang lebih terukur, masif, dan berdampak nyata terhadap kepatuhan,” ujar Farid dalam keterangan resminya, Kamis (26/6/2025).

Farid mengungkapkan, Kanwil DJP se-Jakarta Raya mengemban target penerimaan dari kegiatan lelang senilai Rp11 triliun atau 52 persen dari total target nasional sebesar Rp20 triliun. Untuk mengejar target tersebut, kegiatan lelang bersama akan digelar dua kali setahun, dengan pelaksanaan berikutnya direncanakan pada November 2025.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, turut mengapresiasi inisiatif ini. Ia menyebut, penyelenggaraan lelang bersama seperti ini membuat proses lebih fokus dan efisien dalam penggunaan sumber daya. “Inisiatif ini luar biasa. Selain efektif dalam menekan tax gap, lelang bersama juga memperkuat sinergi antarunit DJP,” katanya.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Jakarta, Dodok Dwi Handoko, menambahkan bahwa pelaksanaan lelang kini makin modern dan terbuka berkat sistem digital yang terus diperbarui. Ia menjelaskan, proses lelang dilakukan sepenuhnya secara daring melalui situs lelang.go.id dengan mekanisme open bidding yang transparan dan efisien.

“Versi terbaru Portal Lelang Indonesia kami hadirkan dengan fitur yang lebih ramah pengguna dan responsif. Ini memudahkan masyarakat dan pelaku usaha untuk mengikuti proses lelang dari mana saja,” jelas Dodok.

Untuk bisa ikut serta, calon peserta harus memiliki akun yang sudah terverifikasi dan menyetorkan uang jaminan paling lambat sehari sebelum lelang. Pemenang ditentukan secara otomatis oleh sistem berdasarkan penawaran tertinggi, dan diwajibkan melunasi seluruh kewajiban maksimal lima hari kerja setelah pengumuman. (alf)

 

IKPI–UI Sepakat Dorong Profesionalisme Konsultan Pajak Lewat Pendidikan

IKPI, Depok: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Universitas Indonesia (UI) resmi menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) strategis dalam bidang pendidikan program pascasarjana. Kolaborasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang perpajakan melalui jalur pendidikan tinggi yang terstruktur dan berstandar akademik tinggi.

Penandatanganan dilakukan pada acara Studium Generale oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld dan Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, serta disaksikan langsung oleh Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Prof. Dr. Retno Kusumastuti Hardjono, di Gedung Balai Purnomo Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (26/6/2025).

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Sejumlah pengurus pusat IKPI nampak turut hadir mendampingi ketua umum antara lain Ketua Departemen Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) Benny Wibowo dan Ketua Departemen Hukum Ratna Febrina.

Perkuat Kompetensi Anggota Lewat Pendidikan Tinggi

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan bagian dari langkah strategis organisasi dalam menjawab tantangan profesi konsultan pajak yang semakin kompleks.

“Profesi konsultan pajak dihadapkan pada tantangan yang terus berkembang, baik secara regulasi, teknologi, maupun ekspektasi masyarakat. Melalui kerja sama ini, kami ingin anggota IKPI memiliki bekal akademik yang kuat, agar mereka mampu memberikan layanan profesional yang lebih komprehensif, kredibel, dan berintegritas,” ujar Vaudy.

Ia menambahkan, program pascasarjana ini juga akan membuka ruang bagi para anggota untuk memahami isu-isu perpajakan dari sudut pandang administrasi publik, tata kelola kebijakan fiskal, dan strategi pembangunan nasional secara lebih mendalam.

Program Pascasarjana yang Relevan dan Fleksibel

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam kerja sama ini, Fakultas Ilmu Administrasi UI akan membuka akses pendidikan program Magister Ilmu Administrasi yang dirancang khusus untuk anggota IKPI. Program ini tidak hanya mengedepankan pendekatan teoretis, tetapi juga menyentuh aspek praktis yang relevan dengan dunia profesi perpajakan.

Kurikulum dirancang untuk mendukung:

• Fleksibilitas waktu kuliah, yang disesuaikan dengan kesibukan anggota yang sudah aktif bekerja;

• Keseimbangan antara teori dan praktik, melalui pendekatan studi kasus, analisis kebijakan, dan pemahaman administratif;

• Pemahaman sistemik, terhadap peran perpajakan dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan ekonomi.

Manfaat Nyata Bagi Anggota IKPI

Melalui perjanjian kerja sama ini, anggota IKPI akan memperoleh banyak manfaat strategis, di antaranya:

• Peningkatan kredensial akademik dari institusi pendidikan tinggi ternama;

• Kemampuan analitis dan strategis yang lebih tajam dalam menyikapi regulasi dan kebijakan perpajakan;

• Akses terhadap jejaring akademik dan profesi, termasuk kemungkinan kolaborasi riset atau publikasi ilmiah;

• Penguatan integritas dan profesionalisme, sejalan dengan prinsip kode etik profesi konsultan pajak.

Lebih lanjut Vaudy menegaskan, adapun ruang lingkup perjanjian ini adalah pelaksanaan program belajar di Universitas Indonesia bagi anggota IKPI yang telah memenuhi persyaratan dan dinyatakan lulus sebagai mahasiswa baru pada Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Tahun Akademik 2025/2026.

“Jadi persyaratan administrasi perkuliahan tetap harus ditempuh, karena itu merupakan syarat formal,” ujarnya.

Sinergi Dunia Akademik dan Profesi

Dalam sambutannya, Prof. Heri Hermansyah, menegaskan bahwa dirinya tidak menginginkan adanya kerja sama yang hanya dilakukan di atas kertas (seremonial).

Ia menginnginkan, adanya implementasi nyata dari setiap perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh Universitas Indonesia.

“Jadi jangan hanya tandatangan, tetapi segera diimplementasikan perjanjian tersebut melalhi kegiatan nyata, sesuai dengan isi yang sudah disepakati,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. Retno Kusumastuti, menilai kolaborasi ini sebagai bentuk sinergi positif antara dunia akademik dan dunia profesi. “Kami merancang program ini untuk memenuhi kebutuhan praktisi, dengan tetap menjunjung tinggi mutu akademik. Tujuannya bukan hanya melahirkan lulusan, tetapi juga agen perubahan yang dapat berkontribusi bagi sistem perpajakan nasional,” ujarnya dalam acara tersebut.

Ia juga turut mengapresiasi kerja sama ini, dan berharap kolaborasi ini menjadi model bagi institusi pendidikan tinggi dalam menjalin hubungan dengan organisasi profesi secara produktif dan berkelanjutan.

IKPI Tegaskan Komitmen Jangka Panjang

Dengan penandatanganan kerja sama ini, IKPI menegaskan bahwa pendidikan tinggi adalah salah satu pilar utama dalam membangun konsultan pajak yang tangguh, andal, dan mampu berperan aktif dalam menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

“Ini adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya bermanfaat bagi individu anggota, tetapi juga bagi dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat luas,” ujar Vaudy. (bl)

IKPI Imbau Anggotanya Waspadai Dampak Pemblokiran Rekening DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengImbau kepada seluruh anggotanya di tengah intensifnya aksi pemblokiran rekening bank oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap wajib pajak penunggak di seluruh Indonesia.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, dalam pernyataannya, Kamis (26/6/2025), menekankan bahwa para konsultan pajak perlu segera melakukan langkah pengecekan dan antisipasi terhadap kondisi kepatuhan perpajakan kliennya.

Menurut Jemmi, hal ini sangat krusial untuk menghindari risiko terganggunya operasional bisnis akibat sanksi administratif yang diterapkan DJP.

“Langkah pemblokiran rekening oleh otoritas pajak tentu berdampak langsung terhadap aktivitas usaha wajib pajak. Oleh karena itu, kami mengimbau seluruh anggota IKPI untuk tidak menunda melakukan review kepatuhan pajak klien, serta memberikan edukasi dan pendampingan aktif agar risiko ini bisa diminimalkan sejak dini,” ujar Jemmi.

Dampak Serius Pemblokiran Rekening 

Pemblokiran rekening bank oleh DJP bukan sekadar tindakan administratif biasa. Sanksi ini dapat menimbulkan kerugian nyata dan luas bagi wajib pajak, terutama bagi pelaku usaha yang mengandalkan arus kas harian dalam kegiatan operasional. Beberapa dampak yang bisa timbul antara lain:

• Gangguan Arus Kas dan Transaksi Usaha

Ketika rekening bank diblokir, wajib pajak tidak bisa melakukan transaksi keuangan seperti pembayaran kepada vendor, gaji karyawan, ataupun pembelian bahan baku. Ini dapat menyebabkan keterlambatan produksi, pemutusan hubungan bisnis dengan mitra, hingga penurunan reputasi perusahaan.

• Risiko Dikenakan Denda Tambahan dan Bunga

Jika penunggakan pajak terus dibiarkan, selain pemblokiran, DJP juga dapat mengenakan sanksi berupa denda administrasi dan bunga keterlambatan. Beban finansial ini akan semakin membengkak dan mempersulit posisi keuangan perusahaan.

• Kesulitan Mendapat Pembiayaan dari Lembaga Keuangan

Wajib pajak yang mengalami pemblokiran rekening akan dinilai memiliki reputasi buruk di mata perbankan. Ini bisa menghambat akses terhadap kredit usaha atau pembiayaan modal kerja, yang krusial bagi pelaku UMKM maupun perusahaan skala menengah ke atas.

• Kerugian Reputasi dan Kepercayaan Mitra Usaha

Tindakan pemblokiran yang bersifat publik dapat diketahui oleh mitra bisnis atau klien, yang pada akhirnya menimbulkan persepsi negatif. Kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh dalam waktu singkat.

• Potensi Terhambatnya Tender dan Proyek Bisnis

Banyak proses pengadaan atau tender mensyaratkan tidak adanya masalah perpajakan. Pemblokiran rekening bisa menjadi sinyal negatif yang menggugurkan peluang wajib pajak untuk mengikuti berbagai tender, baik di sektor swasta maupun pemerintah.

Kolaborasi Strategis Antara Konsultan dan Wajib Pajak

Menghadapi kondisi tersebut, IKPI mendorong agar seluruh anggotanya bersikap proaktif, tidak hanya menunggu laporan tahunan atau momen pelaporan masa, tetapi secara aktif memonitor dan mengkomunikasikan potensi tunggakan kepada klien sejak awal.

“Konsultan pajak bukan hanya penyusun laporan atau pengisi formulir. Mereka adalah mitra strategis yang harus mampu memberi peringatan dini kepada klien sebelum terkena tindakan tegas dari otoritas,” jelas Jemmi.

IKPI juga menegaskan komitmennya untuk terus meningkatkan kapasitas anggotanya agar mampu menghadapi perubahan iklim perpajakan nasional, termasuk kebijakan penegakan hukum yang semakin ketat. Sebagai asosiasi profesional terbesar dan tertua di Indonesia, IKPI berperan penting dalam menjembatani komunikasi antara wajib pajak dan otoritas, guna menciptakan iklim perpajakan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

“Jangan tunggu sampai rekening diblokir baru mencari solusi. Edukasi dan langkah preventif jauh lebih murah daripada mengobati dampaknya. Mari kita jaga kelangsungan usaha klien dengan memastikan mereka patuh pajak,” kata Jemmi. (bl)

Mendag Budi: Tarif Trump Belum Pasti, Indonesia Masih Negosiasi

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan bahwa hingga kini belum tercapai kesepakatan final antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif impor yang dirancang oleh Presiden AS Donald Trump.

“Belum ada kesepakatan soal tarif Trump,” ujar Budi usai menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan Global Australia Halal Certification di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).

Menurut Budi, proses negosiasi antara kedua negara masih berlangsung intens. “Sampai sekarang prosesnya masih berjalan. Belum ada bentuk finalnya seperti apa,” tegasnya.

Trump sebelumnya mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada 2 April 2025. Produk-produk ekspor asal Indonesia dikenai tarif tambahan sebesar 32 persen. Meski begitu, Trump memberikan jeda waktu 90 hari untuk membuka ruang dialog dan mencegah perang dagang terbuka. Masa penundaan itu akan berakhir pada 8 Juli mendatang.

Budi tak memungkiri bahwa tenggat waktu tersebut semakin dekat. Namun, ia tetap optimistis akan tercapai titik temu sebelum batas waktu habis. “Ya, pasti ada kesepakatan. Mudah-mudahan bisa segera rampung karena memang belum ada keputusan resmi dari Presiden Trump,” jelasnya.

Negosiasi yang mewakili Indonesia dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Sejak 17 April, tim Indonesia sudah melakukan rangkaian pertemuan dengan pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Perdagangan Howard Lutnick, Menteri Keuangan Scott Bessent, hingga pejabat USTR, Duta Besar Jamieson Greer.

Bahkan Airlangga sempat menyatakan bahwa kesepakatan bisa tercapai dalam waktu 60 hari. Dengan perhitungan itu, seharusnya kejelasan mengenai nasib tarif sudah terlihat sejak pertengahan Juni. Sayangnya, hingga akhir Juni belum ada kepastian dari pihak AS.

Ketidakpastian ini membuat para pelaku usaha di dalam negeri waswas. Jika tarif benar-benar diberlakukan mulai 8 Juli, maka beban ekspor Indonesia ke pasar Amerika akan meningkat drastis, menurunkan daya saing produk dalam negeri.

Pemerintah Indonesia masih menunggu sinyal positif dari Washington, sembari terus mendorong penyelesaian yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.(alf)

 

Pedagang di E-Commerce akan Dipungut Pajak, DJP Siapkan Aturannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya angkat bicara soal rencana pungutan pajak terhadap penjual atau merchant yang berjualan melalui platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengonfirmasi bahwa skema penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) tengah difinalisasi.

“Saat ini, ketentuan mengenai penunjukan platform e-commerce sebagai pihak pemungut Pajak Penghasilan (PPh) memang sedang dalam pembahasan kami bersama Kemenkeu,” ujarnya seperti dikutip, Kamis (26/6/2025).

Menurut Rosmauli, kebijakan ini bukanlah pajak baru, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring.

“Prinsipnya, ini hanya penyederhanaan mekanisme pembayaran pajak saja, bukan jenis pajak tambahan,” tegasnya.

Rencana ini mencuat setelah laporan Reuters mengungkap bahwa Indonesia berencana mewajibkan platform e-commerce untuk memungut dan menyetorkan pajak atas pendapatan pelapak sebesar 0,5%. Ketentuan ini akan berlaku untuk pedagang dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar segmen yang selama ini masuk kategori UMKM.

Angka 0,5% tersebut merujuk pada tarif PPh Final yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Artinya, para pelapak online yang sebelumnya membayar pajak secara mandiri akan dikenakan pemotongan langsung oleh platform tempat mereka berjualan.

Wacana ini memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi administrasi. Di sisi lain, para pelaku usaha online khawatir akan dampak langsung terhadap margin usaha mereka.

Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang agar lebih memudahkan pelaku usaha dan bukan untuk membebani. Dengan platform sebagai pemungut, UMKM tidak lagi perlu melaporkan dan menyetor pajak secara terpisah.

DJP bersama Kementerian Keuangan saat ini terus melakukan harmonisasi regulasi dan koordinasi teknis dengan para pelaku industri digital. Jika disepakati, aturan ini akan menjadi langkah signifikan dalam transformasi sistem perpajakan di era ekonomi digital. (alf)

 

Wamenkeu Beberkan Strategi Tutup Tax Gap Rp1.300 Triliun, Coretax dan Royalti Jadi Andalan

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mencari terobosan untuk menutup jurang penerimaan pajak atau tax gap yang kini diperkirakan mencapai Rp1.300 triliun. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengungkapkan bahwa nilai tax gap itu membengkak akibat banyaknya sektor yang dibebaskan dari kewajiban pajak, seperti pendidikan dan makanan.

“Kalau berdasarkan perhitungan awal, sebetulnya tax gap hanya sekitar Rp800 triliun. Tapi karena banyak sektor yang tidak dikenakan pajak, nilainya membesar hingga Rp1.300 triliun,” ujar Thomas dalam Energy Transition Summit Asia di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Thomas menambahkan, pembatalan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen juga berdampak signifikan terhadap potensi penerimaan negara. Menurutnya, keputusan itu membuat negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp71 triliun.

Meski demikian, pemerintah tidak tinggal diam. Salah satu langkah strategis yang diandalkan adalah implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax.

“Memang kami dengar dari pelaku usaha bahwa Coretax masih belum optimal. Tapi ini sistem baru dan kami proyeksikan dapat meningkatkan rasio penerimaan pajak sekitar 2 persen,” jelasnya.

Tak hanya mengandalkan digitalisasi perpajakan, pemerintah juga mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor sumber daya alam. Kementerian Keuangan menggandeng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengoptimalkan royalti dari berbagai komoditas.

“Tahun ini, target kami Rp100 triliun dulu. Kami percaya ini bisa dicapai. Kami terus bekerja keras menggali potensi yang bisa mempersempit tax gap,” ujar Thomas.

Dalam APBN 2025, target penerimaan perpajakan dipatok sebesar Rp2.183,9 triliun. Hingga akhir Mei, realisasi penerimaan pajak bruto telah mencapai Rp895,77 triliun, sedangkan pajak neto tercatat Rp683,26 triliun atau 31,2 persen dari target tahunan.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut bahwa kinerja penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif meski terjadi perlambatan usai puncak pembayaran pada Maret–April.

“Secara siklus, Mei memang cenderung menurun dibanding bulan sebelumnya. Namun secara tahunan, bruto masih tumbuh 5,2 persen,” kata Anggito dalam paparan APBN KiTA, Selasa (17/6/2025). (alf)

 

Bersama IKPI, Teguh Mengawal Masa Depan Perpajakan Indonesia

IKPI, Jakarta: Catur Rini Widosari, sosok perempuan tangguh, cerdas dan ramah yang telah menuntaskan pengabdiannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kini memasuki babak baru sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Meski telah purnabakti dari jabatan struktural, komitmen Catur untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia tidak surut, bahkan justru semakin matang dan strategis.

Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di DJP, Catur adalah contoh nyata dari aparatur yang tidak hanya menyelesaikan tugas administratif, tapi juga aktif membentuk arah dan fondasi kebijakan perpajakan modern di Indonesia. Dalam berbagai penugasannya, ia konsisten menempatkan kepatuhan sukarela, keadilan fiskal, dan kualitas pelayanan publik sebagai prioritas utama.

Rekam Jejak dan Kepemimpinan Strategis

Catur menapaki jenjang karier birokrasi fiskal dari level teknis hingga pucuk pimpinan regional. Ia pernah menjabat sebagai:

  • Kepala Subdirektorat Dampak Kebijakan pada Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Utara II
  • Kepala Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung
  • Kepala Kanwil DJP Banten
  • Direktur Keberatan dan Banding
  • Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III (jabatan terakhir sebelum pensiun)

Dalam perjalanannya, Catur dikenal sebagai pemimpin yang menekankan penguatan basis data, efektivitas pengawasan, dan sinergi fiskal pusat-daerah. Ia mendorong penggunaan compliance risk management (CRM) dalam sistem pengawasan pajak, serta turut menyusun kebijakan berbasis dampak (policy impact-based) guna memastikan regulasi perpajakan tetap kontekstual dan adil.

Di bawah kepemimpinannya, berbagai wilayah kerja DJP mengalami peningkatan dalam hal kepatuhan pajak, perluasan basis pajak (ekstensifikasi), serta perbaikan hubungan dengan stakeholder lokal seperti pemerintah daerah, pengusaha, dan akademisi.

Dari Otoritas ke Mitra Strategis

Keputusan Catur untuk bergabung dengan IKPI sebagai anggota kehormatan bukanlah sekadar bentuk penghargaan simbolik, melainkan bagian dari kelanjutan pengabdiannya untuk negeri. Dengan bergabung di IKPI, ia kini memiliki ruang yang lebih fleksibel untuk:

  • Mendorong profesionalisme dan etika konsultan pajak, terutama dalam menghadapi tantangan interpretasi aturan yang semakin kompleks
  • Menjadi penghubung strategis antara otoritas pajak dan profesi konsultan dalam semangat kolaborasi, bukan oposisi
  • Memberikan masukan kebijakan berdasarkan pengalaman empiris dan pemahaman mendalam terhadap sistem fiskal nasional
  • Membimbing generasi baru konsultan pajak melalui mentoring, pelatihan, dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan

Ia percaya, konsultan pajak adalah garda terdepan dalam membangun jembatan antara wajib pajak dan negara.

Menurutnya, Indonesia butuh profesi yang kuat, kredibel, dan beretika untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Komitmen Tanpa Seragam

Melepas jabatan struktural di DJP bukan berarti melepas tanggung jawab moral. Justru, dalam perannya saat ini, Catur melihat peluang yang lebih luas untuk menyuarakan nilai-nilai reformasi perpajakan secara independen dan lebih strategis.

Ia kini rutin berdiskusi dengan para pemangku kepentingan di luar pemerintahan: akademisi, pengusaha, asosiasi profesi, hingga media, untuk memastikan arah kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa.

Pajak adalah instrumen pembangunan, tapi juga alat keadilan. Walaupun sudah tidak menjabat sebagai birokrat, ia ingin tetap terlibat dalam memastikan sistem perpajakan Indonesia tidak kehilangan arah, tetap kuat secara administrasi, dan adil secara sosial.

Tentang Catur Rini Widosari

• Tanggal Lahir: 12 Desember 1967

• Pendidikan: Magister Ekonomi – Keuangan Publik & Kebijakan Pajak

• Penghargaan: Satyalancana Karya Satya

• Jabatan Terakhir: Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III

• Posisi Saat Ini: Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Kini, bersama IKPI, Catur Rini Widosari melanjutkan kiprah panjangnya sebagai penjaga integritas, penggerak profesionalisme, dan suara moral dalam sistem perpajakan Indonesia. Dari dalam maupun luar struktur birokrasi, api perjuangannya tetap menyala teguh mengawal masa depan perpajakan Indonesia. (bl)

DJP Blokir Serentak 3.443 Rekening Penunggak Pajak di Jawa Timur

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan aksi serentak penegakan hukum di bidang penagihan pajak melalui pemblokiran rekening Wajib Pajak pada 24–26 Juni 2025. Langkah ini dilakukan secara menyeluruh oleh seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III.

Diketahui, total terdapat 3.443 berkas penunggak pajak yang menjadi sasaran dalam operasi ini. Pemblokiran dilakukan terhadap rekening di 11 bank besar yang berkantor pusat di Jakarta dan Tangerang, sebagai tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang telah menerima surat teguran dan surat paksa, namun belum juga menyelesaikan kewajiban perpajakannya.

“Pemblokiran rekening ini merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan penagihan aktif yang telah didahului pendekatan persuasif. Ini adalah upaya terakhir setelah berbagai tahapan imbauan tidak diindahkan,” kata Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, mewakili seluruh Kanwil DJP di Jawa Timur, Agustin Vita Avantin, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/6/2025).

Ia menegaskan bahwa langkah pemblokiran telah sesuai dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak.

Tak hanya rekening bank, DJP juga menyasar aset keuangan lainnya milik penunggak pajak, seperti subrekening efek, polis asuransi, serta instrumen keuangan yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan.

Agustin mengimbau, untuk Wajib Pajak yang akunnya diblokir segera menghubungi KPP tempat terdaftar untuk klarifikasi dan penyelesaian utang. Fasilitas permohonan angsuran maupun penghapusan sanksi tetap tersedia sesuai ketentuan yang berlaku.

Melalui tindakan ini, DJP berharap bisa mendorong peningkatan kepatuhan sukarela, menjaga momentum penerimaan negara, serta memberikan kepastian hukum dengan tetap mengedepankan asas keadilan, kemanusiaan, dan efisiensi dalam pelaksanaan hukum perpajakan. (bl)

 

 

id_ID