Menkeu Tegaskan Tak Ada Pembentukan BPN dan Pilih Genjot Penerimaan Lewat Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) maupun menambah jenis pajak baru. Fokus utama bendahara negara era Presiden Prabowo Subianto itu adalah mendorong pertumbuhan ekonomi agar otomatis mendongkrak penerimaan pajak.

“Belum, belum saya pikirkan (pembentukan BPN). Saya belum tahu. Pada dasarnya, belum disentuh,” ujar Purbaya usai rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan, Selasa (16/9/2025).

Purbaya menilai penyisiran pos-pos penerimaan seperti pajak dan bea cukai lebih penting untuk memastikan tidak ada kebocoran. Menurut perhitungannya, setiap kenaikan 0,5 persen pertumbuhan ekonomi bisa menghadirkan tambahan pajak lebih dari Rp100 triliun.

“Kalau rasio pajak terhadap PDB tetap, setiap kenaikan 0,5 persen dari pertumbuhan ekonomi, saya akan dapat pajak tambahan sekitar Rp100 triliun lebih,” jelasnya.

Sejak dilantik 8 September, Purbaya langsung melakukan gebrakan dengan melepas Rp200 triliun dari saldo anggaran lebih (SAL) di Bank Indonesia ke lima bank nasional. Langkah itu ditujukan untuk mengatasi seretnya uang beredar (M0) dan menghidupkan kembali aktivitas ekonomi.

Rinciannya, BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. “Dengan saya taruh Rp200 triliun di bank, ekonomi diharapkan bergerak, dan pada akhirnya pendapatan pajak ikut naik. Bukan lewat intensifikasi atau ekstensifikasi, tapi lewat pertumbuhan ekonomi,” tegas Purbaya. (alf)

 

Menkeu Purbaya Sisir Penerimaan Pajak Jumbo untuk Tutup Kebocoran

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menaruh perhatian besar pada penerimaan pajak yang berkontribusi signifikan terhadap kas negara. Ia menegaskan akan melakukan penyisiran untuk memastikan tidak ada kebocoran dalam penerimaan pajak jumbo tersebut.

“Belum ada indikasi, tapi saya akan sisir pendapatan yang besar-besar. Apakah ada bolong atau tidak, nanti akan kita perbaiki secepatnya,” kata Purbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025).

Pernyataan itu disampaikan setelah Purbaya mendatangi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Jakarta Selatan. Ia menyebut inspeksi langsung penting dilakukan agar dirinya dapat melihat kesiapan jajaran pegawai pajak di lapangan. “Saya ingin tahu staf saya di pajak seperti apa. Dengan kedatangan saya, semoga bisa memberi semangat baru,” ujarnya.

Selain meninjau internal DJP, Purbaya juga bertemu Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar. Pertemuan tersebut membahas teknis penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank umum. “Pertanyaannya, banknya siap atau tidak? OJK akan membantu memonitor, dan tanggapannya positif,” jelasnya.

Langkah penyisiran pajak besar dan koordinasi lintas lembaga ini menandai strategi awal Purbaya sebagai menkeu baru. Fokusnya bukan hanya menutup potensi kebocoran penerimaan negara, tetapi juga memastikan stabilitas sistem keuangan melalui pengelolaan dana jumbo di sektor perbankan. (alf)

 

 

 

 

Vaudy Starworld Tegaskan Konsultan Pajak Harus Jadi Penengah yang Tumbuhkan Kepatuhan

IKPI, Jakarta: Peran konsultan pajak di Indonesia semakin strategis di tengah kompleksitas regulasi dan rendahnya kepatuhan wajib pajak. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa konsultan pajak bukan sekadar penyedia jasa, melainkan penengah antara fiskus dan wajib pajak.

“Konsultan pajak itu seperti penerjemah sekaligus mediator. Kami menjembatani pengusaha dan perusahaan yang sibuk dengan urusan bisnis agar tidak salah memahami aturan yang terus berubah. Fungsi kami bukan hanya administratif, tapi juga membangun kepatuhan,” ujar Vaudy dalam Seminar Perpajakan Nasional Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Ia mencontohkan, banyak kasus di mana kepatuhan wajib pajak meningkat signifikan setelah menggunakan jasa konsultan. “Ada yang tadinya enggan melapor, begitu didampingi konsultan justru lebih disiplin. Karena kami hadir bukan untuk menghindari pajak, tapi memastikan kewajiban terpenuhi dengan benar,” tambahnya.

Dari 7.599 konsultan pajak berizin di Indonesia, mayoritas atau 6.832 orang bernaung di bawah IKPI. Hal ini, menurut Vaudy, menjadi bukti dominasi dan kepercayaan yang besar terhadap asosiasi yang kini berusia 60 tahun itu. “Kode etik kami sangat ketat. Jadi, kepercayaan publik adalah hal utama bagi konsultan pajak,” tegasnya.

Selain sumber daya manusia, Vaudy menyoroti pentingnya dukungan teknologi. Ia menilai kehadiran Cortex sebagai sistem terpadu yang menyatukan e-Faktur, DJP Online, hingga layanan pengawasan pajak dalam satu aplikasi, merupakan lompatan menuju smart taxation.

“Meski awalnya banyak kendala, Cortex adalah masa depan. Efisiensi meningkat, baik bagi wajib pajak maupun konsultan,” jelasnya.

Tak kalah penting adalah hadirnya Taxpayer Charter, yang Vaudy sebut sebagai simbol keseimbangan. “Selama ini wajib pajak merasa hanya dituntut kewajibannya. Dengan Taxpayer Charter, otoritas pajak juga diingatkan punya kewajiban melayani dengan adil dan transparan. Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan,” katanya.

Vaudy juga mengajak agar semua pihak dalam ekosistem perpajakan pemerintah, otoritas, wajib pajak, konsultan, hingga akademisi berkolaborasi. “Pajak bukan semata soal penerimaan. Pajak adalah cerminan kepercayaan antara rakyat dengan negara. Konsultan pajak hadir di tengah untuk memastikan jembatan kepercayaan itu tetap terbangun,” ujarnya. (bl)

Ketum IKPI: Satu Dekade Tax Ratio Mandek, Target 15 Persen Jadi Ujian Berat

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mengingatkan pemerintah agar realistis dalam menetapkan target rasio pajak (tax ratio) 15,01 persen sebagaimana dicanangkan Presiden sebagaimana tertuang dalam Buku II Nota Keuangan APBN 2026. Pasalnya, dalam 10 tahun terakhir, tax ratio Indonesia tidak pernah menembus angka 11 persen.

“Sejak 2015 sampai 2024, tax ratio kita stagnan. Angka paling tinggi tidak lebih dari 10,76 persen di tahun 2015, bahkan pernah anjlok ke 8 persen saat awal pandemi COVID-19 tahun 2020. Tahun lalu saja hanya 10,18 persen,” kata Vaudy dalam paparannya sebagai panelis di Seminar Perpajakan Nasional Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menurutnya, problem mendasar terletak pada kepatuhan wajib pajak yang masih rendah. Dari total 85 juta pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hanya 19 juta yang berkewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Namun, realisasi pelaporan SPT 2024 hanya 14 juta atau sekitar 71 persen.

“Angka ini menandakan gap kepatuhan yang serius. Jangan-jangan mayoritas yang melapor hanya kelompok pegawai yang sudah dipotong otomatis, sementara pelaku usaha banyak yang abai,” tegasnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy juga menyinggung faktor lain yang menurunkan moral pajak (tax morale), yakni inefisiensi penggunaan anggaran negara dan praktik korupsi. “Bagaimana wajib pajak bisa patuh kalau mereka melihat uang pajak yang susah payah mereka setorkan dipakai tidak semestinya? Jalan baru diperbaiki, dibongkar lagi. Itu inefisiensi dan menimbulkan kekecewaan,” ujarnya.

IKPI, lanjut Vaudy, menilai salah satu solusi jangka panjang antara lain adalah pembatasan penggunaan uang tunai. Menurutnya, mayoritas kasus korupsi di Indonesia selalu melibatkan uang kartal. “Kalau transaksi di atas seratus juta wajib non-tunai, praktik suap dan sogokan akan jauh lebih sulit dilakukan. Ini harus menjadi terobosan kebijakan,” katanya.

Meski tantangan besar, Vaudy menekankan bahwa pajak tetap tulang punggung keuangan negara. Rata-rata kontribusi pajak terhadap pendapatan negara mencapai 82 persen per tahun. Namun, untuk mengerek tax ratio menuju 15 persen, dibutuhkan ekosistem perpajakan yang sehat, regulasi yang konsisten, dan kepercayaan publik yang lebih kuat.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Tanpa perbaikan sistem, target itu akan sulit dicapai. Yang paling penting adalah membangun trust. Karena trust adalah bahan bakar kepatuhan pajak,” pungkasnya. (bl)

Perekonomian Indonesia Setelah 80 Tahun Kemerdekaan

Delapan dekade ini penulis jadi teringat sebuah lagi yang syairnya sangat enak dan melankolis lagu yang berjudul Ibu Pertiwi yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Salah satu lirik yang relevan dengan kondisi perekonomian saat ini yaitu “kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati”.

Kondisi saat ini perekonomian Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Penulis beranggapan, perlambatan perekonomian terutama dikuartal pertama, karena didorong dengan penurunan daya beli masyarakat kelas menengah, stagnasi pendapatan dan perlambatan investasi. juga pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 42.385 pekerja di tahun 2025.

Tekanan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, ditambah kebijakan fiskal yang mungkin mengurangi daya beli, sampai dengan bulan Juli 2025 inflasi terus merangkak naik sampai dengan 2,7 %.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) dari 10 persen ke 11 persen (warisan dari pemerintahan lama , nyaris naik menjadi 12 persen namun dibatalkan di pemerintahan baru ) membuat daya beli masyarakat mengalami penurunan karena harga barang naik, mengingat sifat PPN yang melekat pada harga barang yang dikomsumsi masyarakat.

Bahkan timbul isu yang mewacanakan dan menuai polemik pekerja seks komersial (PSK) akan dikenakan pajak penghasilan, padahal dalam hukum ketenaga kerjaan profesi PSK tidak diakui dalam hukum ketenaga kerjaan Indonesia.

Persoalan pajak memiliki peranan yang siginikan dalam ekonomi makro, Arthur Laffer ekonom yang mengembangkan teori Kurva Laffer menjelaskan bagaimana tarif pajak yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas perekonomian sehingga bermuara pada menurunya pendapatan pajak. Ibnu Khaldun ahli ekonomi abad ke-14 menjelaskan pentingnya mempertimbangkan kapasitas daya beli rakyat, karena pajak yang tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Indonesia mungkin dapat belajar dengan negara tetangga Malaysia yang memiliki kultur yang mirip dan serumpun dengan kita. Malaysia baru merdeka di tahun 1957 sekitar 68 tahun, Indonesia lebih tua sedikit dari Malaysia. Namun jika kita membandingkan pendapatan perkapita Malaysia 14.423 US $ (peringkat ke-67 didunia) dan Indonesia 5.248 US $ (peringkat ke-122 didunia).

Inflasi di Malaysia 1%, pertahun Indonesia mencapai 3,2 persen pertahun. Jumlah pengganguran pertahun 2025 di Indonesia 7,28 juta orang sedangkan di Malaysia 525.900 orang. Indonesia memang memiliki penduduk yang jauh lebih banyak 285 juta jiwa sedangkan Malaysia hanya 36 juta jiwa penduduk Malaysia, namun mengukur kesejahteraan penduduknya dapat dilihat dari pendapatan perkapita Malaysia yang jauh lebih baik dari kita.

Selalu ada jalan keluar dari sebuah persoalan, karena seperti pepatah dimana ada kemauan pasti ada jalan keluar (where there’s a will, there is a way). Jalan keluar untuk membenarkan perekonomian akan dapat dicapai asalkan kita semua baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama terus berupaya berfikir dan bekerja keras untuk membenahi persoalan ekonomi yang terjadi saat ini dan tentunya selalu dengan kebijakan-kebijakan yang ramah bisnis dan pro-rakyat.

Semoga 80 tahun Indonesia merdeka bisa membawa kebaikan buat kita semua rakyat semesta. Salam dan Doa.

Penulis adalah Anggota Departemen Litbang IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

Inovasi Hijau, Warga Isbon Bondowoso Bayar PBB Pakai Sampah

IKPI, Jakarta: Warga Perumahan Istana Bondowoso (Isbon), Kelurahan Badean, Kecamatan Bondowoso, memiliki cara unik dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Melalui program Bajak Sawah atau Bayar Pajak dengan Sampah, sejumlah kepala keluarga kini bisa menukar sampah anorganik menjadi rupiah untuk melunasi kewajiban pajaknya.

Program ini digagas bersama Bank Sampah Isbon Ceria. Warga menabung sampah anorganik seperti kardus dan botol sebulan sekali, kemudian nilainya dikonversi ke rupiah. Hasil tabungan langsung digunakan pengurus bank sampah untuk membayar PBB.

“Kalau hasil tabungan belum cukup, dianggap sebagai utang sampah yang bisa dilunasi bulan berikutnya. Rata-rata PBB warga lebih dari Rp50 ribu,” kata pengurus Bank Sampah Isbon Ceria, Dedi Dwi Yanto, Minggu (14/9/2025).

Saat ini, 60 dari 100 kepala keluarga di perumahan tersebut telah menjadi nasabah bank sampah. Sampah anorganik dihargai Rp1.000–Rp1.500 per kilogram.

Ketua RT 36 RW 07, Rahmat Hidayat atau Hans, menambahkan bahwa pengelolaan sampah juga menghasilkan produk lain, seperti pupuk organik cair (POC) seharga Rp15 ribu per botol 500 ml dan lilin aromaterapi seharga Rp20 ribu. Produk lilin bahkan sudah dipasarkan ke sejumlah hotel di Bondowoso.

Hans menyebut sebagian pupuk dipakai Kelompok Wanita Tani (KWT) setempat untuk merawat pepaya, sayuran, dan tanaman melalui program Kateisme. Edukasi pengelolaan sampah juga diberikan kepada anak-anak agar terbiasa memilah sejak dini.

Warga berharap pemerintah daerah dapat memberikan dukungan berupa pelatihan, edukasi, dan fasilitas pengelolaan, karena selama ini bank sampah masih dijalankan secara swadaya dengan memanfaatkan rumah warga. (alf)

 

 

 

 

 

Menteri Era Presiden SBY Sebut Lemahnya Rasio Pajak karena Lemah Administrasi

IKPI, Jakarta: Mantan Menteri Perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Mari Elka Pangestu, menilai rendahnya rasio pajak Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh kecilnya penerimaan negara, melainkan karena lemahnya administrasi dan struktur perpajakan.

Dalam paparannya di 42nd Indonesia Update Conference, Jumat (12/9/2025), Mari yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengatakan fokus kebijakan perpajakan selama ini lebih menitikberatkan pada mengejar target pendapatan ketimbang membangun kepatuhan wajib pajak.

“Kalau targetnya hanya pendapatan, itu ibarat berburu di kebun binatang. Petugas pajak mengejar wajib pajak yang sama, memberi sanksi, lalu membiarkan mereka berproses di pengadilan,” ujar Mari.

Ia menambahkan, struktur perpajakan Indonesia masih belum efisien. Besarnya sektor informal mempersempit basis pajak, ditambah dengan berbagai pengecualian yang membebani sistem. Salah satu contoh adalah ambang batas omzet usaha kecil Rp4,8 miliar per tahun, jauh lebih tinggi dari rata-rata banyak negara lain.

Menurut studi Bank Dunia, rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 10 persen dari PDB, masih jauh dari target Presiden yang ingin mencapai 16 persen. Mari menilai peluang peningkatan tetap terbuka jika reformasi dijalankan.

“Dengan meningkatkan kepatuhan, potensi tambahan bisa mencapai 3,7 persen dari PDB. Jika ditambah reformasi kebijakan seperti memperluas basis pajak, menurunkan ambang batas UMKM, hingga pajak kekayaan, masih ada tambahan sekitar 2,7 persen,” jelasnya.

Mari juga menekankan pentingnya digitalisasi melalui GovTech untuk memperbaiki administrasi perpajakan dan menutup kebocoran penerimaan. (alf)

 

 

 

 

 

Eks Pejabat DJP Kembali Diperiksa KPK Terkait Dugaan Gratifikasi Rp 21,5 Miliar

IKPI, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus, Muhamad Haniv. Pemeriksaan dilakukan pada Senin (15/9/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, terkait dugaan penerimaan gratifikasi selama ia menjabat.

“Pemeriksaan hari ini masih dalam rangka mendalami dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi di lingkungan DJP Kementerian Keuangan,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.

Meski demikian, Budi belum memastikan apakah Haniv akan langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan.

Sebelumnya, Haniv juga sempat diperiksa pada Selasa (10/7/2025). Saat itu, ia bungkam dan memilih meninggalkan gedung KPK tanpa komentar meski dicecar wartawan, bahkan menembus derasnya hujan.

KPK menetapkan Haniv sebagai tersangka pada 12 Februari 2025. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan Haniv diduga menggunakan posisinya di DJP periode 2015–2018 untuk meminta uang kepada sejumlah pengusaha yang berstatus wajib pajak.

Menurut KPK, uang tersebut dipakai untuk menopang bisnis fashion milik anaknya. Haniv bahkan mengirim email berisi permintaan bantuan modal kepada beberapa pihak. Dari praktik itu, ia disebut menerima gratifikasi sebesar Rp 804 juta.

Namun temuan penyidik tak berhenti di situ. Selama menjabat, Haniv diduga juga menerima dana lain hingga total gratifikasi yang terkumpul mencapai Rp 21,5 miliar. Uang miliaran rupiah itu tidak dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya.

Atas perbuatannya, Haniv disangka melanggar Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terbukti, ia terancam hukuman pidana berat. (alf)

 

Presiden Korea Selatan Batalkan Rencana Pajak Capital Gain Saham

IKPI, Jakarta: Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung resmi membatalkan rencana penurunan ambang batas pajak capital gain saham setelah menuai penolakan luas dari investor ritel dan memicu gejolak pasar. Keputusan ini diumumkan Senin (15/9/2025), usai berbulan-bulan menghadapi tekanan dari basis pemilih yang selama ini menjadi pendukung utama Lee.

Rencana tersebut semula akan menurunkan ambang kepemilikan saham yang terkena pajak capital gain dari 5 miliar won menjadi 1 miliar won atau sekitar Rp11 miliar. Namun kebijakan itu justru menimbulkan kepanikan pada Agustus lalu, mendorong aksi jual besar-besaran yang menghapus miliaran dolar dari kapitalisasi pasar.

Pasar langsung menyambut baik langkah pembatalan itu. Indeks acuan Kospi sempat menguat 0,7% ke level tertinggi baru, melanjutkan reli yang sudah mengerek kenaikan sekitar 42% sepanjang tahun ini. Sentimen positif juga ditopang reformasi tata kelola korporasi serta optimisme global terhadap perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Pemerintah awalnya mempromosikan revisi pajak ini sebagai strategi memperkuat penerimaan negara di tengah tekanan eksternal, terutama kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Namun, kritik menyebut kebijakan tersebut kontraproduktif karena berisiko melemahkan kepercayaan investor dan menggerus gairah pasar saham domestik.

“Reformasi ke depan harus lebih tajam dan bebas distorsi agar kesalahan yang sama tidak terulang,” ujar Hyosung Kwon, ekonom di Bloomberg Economics. Ia menilai keputusan Presiden Lee bukan hanya soal konsistensi kebijakan, tetapi juga menyingkap kelemahan struktur pajak yang selama ini meresahkan investor ritel.

Keputusan Lee sekaligus menegaskan pengaruh besar 14 juta investor ritel Korea Selatan, yang menyumbang sekitar dua pertiga dari transaksi harian di bursa. Pekan lalu, arus masuk modal asing ke Kospi bahkan mencapai titik tertinggi sejak 2013, dengan investor global memborong saham teknologi senilai 4 triliun won secara bersih.

Jung Eui-jung, Kepala Korea Stockholders Alliance, sejak awal menegaskan bahwa target Kospi 5.000 poin tidak akan sejalan dengan pengetatan pajak yang terlalu cepat. Menurutnya, penurunan ambang pajak justru berpotensi memicu gejolak sosial.

Ini bukan kali pertama investor ritel berhasil menggagalkan kebijakan perpajakan. Akhir 2024 lalu, partai penguasa juga membatalkan rencana pajak atas pendapatan investasi finansial setelah menghadapi gelombang penolakan serupa.

Bagi Presiden Lee, langkah mundur kali ini menjadi ujian awal dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan janji politik. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan sumber penerimaan baru untuk membiayai program kampanye dan menutup defisit. Namun di sisi lain, dukungan investor ritel dianggap vital untuk menjaga stabilitas pasar sekaligus ambisi Lee mendorong Kospi menembus level 5.000. (alf)

 

Serikat Pekerja Dorong Moratorium Cukai Rokok, Cegah PHK Massal

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tidak akan memberlakukan pajak baru pada 2026 sebagai langkah menjaga daya beli masyarakat. Namun, serikat pekerja menilai kebijakan tersebut perlu diperluas hingga mencakup penundaan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang berdampak besar terhadap industri padat karya.

Ketua Umum Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menegaskan moratorium kenaikan CHT selama tiga tahun dapat membantu menahan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tembakau. Ia mengingatkan bahwa kenaikan tarif cukai di tengah kondisi daya beli yang lemah berpotensi mempercepat krisis ketenagakerjaan.

“Kami meminta agar kebijakan di 2026 juga mencakup penghentian sementara kenaikan cukai rokok. Moratorium CHT akan menjadi penyangga di tengah melemahnya daya beli dan meningkatnya angka pengangguran,” ujar Sudarto, Senin (15/9/2025).

Selain serikat pekerja, pengamat fiskal juga menilai konsistensi pemerintah dalam menahan beban masyarakat perlu diimbangi dengan tata kelola penerimaan negara yang lebih baik. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Elizabeth Kusrini, menilai kebijakan ini sensitif terhadap risiko sosial, namun tetap harus menjaga target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Menahan tarif bukan berarti kebijakan pasif. Reformasi administrasi, penguatan basis data wajib pajak, hingga penindakan penghindaran pajak tetap harus dijalankan agar penerimaan negara tetap terjaga,” jelasnya.

Elizabeth mengingatkan, kontribusi CHT yang mencapai lebih dari 10% terhadap total penerimaan perpajakan membuat kebijakan ini tidak bisa diambil secara tergesa-gesa. Ia menilai penundaan kenaikan cukai dapat menjaga daya beli sekaligus menekan peredaran rokok ilegal yang merugikan negara.

Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan CHT pada 2024 mencapai lebih dari Rp230 triliun, menjadikannya salah satu penyumbang terbesar APBN. Namun, peredaran rokok ilegal yang nilainya ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah per tahun masih menjadi tantangan utama.

Dengan adanya dorongan moratorium CHT, pemerintah dihadapkan pada dilema antara menjaga stabilitas sosial-ekonomi melalui perlindungan pekerja dan daya beli masyarakat, atau tetap mengandalkan penerimaan fiskal dari sektor tembakau. (alf)

id_ID