Pemerintah Belum Terapkan Pajak Karbon, Menkeu Sebut Masih Utamakan Isu Perubahan Iklim

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan masih menunggu waktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon. Menurutnya, isu perubahan iklim terus diarusutamakan dalam rumusan kebijakan di seluruh kementerian/lembaga dan juga pemerintah daerah.

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan terus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen fiskal dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim. Dalam hal ini, pajak karbon tengah disiapkan oleh pemerintah.

“Salah satunya adalah melalui pajak karbon yang sedang disiapkan. Juga, mekanisme Transisi Energi (ETM) harus terus berjalan,” ujar Sri Mulyani dalam unggahan di instagram pribadinya @smindrwati, Minggu (12/2/2023).

Sri Mulyani menegaskan, isu perubahan iklim merupakan permasalahan bersama dan permasalahan dunia. Untuk itu, perlu tata kelola dan komitmen global untuk menyelesaikannya.

Pentingnya isu tersebut, Sri Mulyani menerima kunjungan perwakilan Climate Overshoot Commission (COC) Pascal Lamy dan juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pada Jumat (10/2/2023) guna membahas pasar karbon global.

Menurut COC, G20 memiliki kapasitas mengatur framework dari pasar global ini. Namun hal ini sangat bergantung pada fokus negara tuan rumah. Bagi Indonesia sendiri, Sri Mulyani bilang, Indonesia diuntungkan dengan adanya potensi energi terbarukan yang masif dan beragam.

“Saya dan COC sepakat, seluruh progres aksi iklim yang dilaksanakan tidak boleh berjalan mundur,” katanya.

Sebagai informasi, pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax), terakhir penerapan pajak karbon yang sedianya diterapkan pada Juli tahun 2022 kembali ditunda. Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya pada tahun 2022.

Sejatinya, pajak karbon bakal diterapkan pada April 2022. Namun, kebijakan itu ditunda dan rencananya bakal berlaku pada Juli 2022. Namun sayangnya, kebijakan ini kembali molor dan belum jelas kapan akan diterapkan. (bl)

 

Dari Tas Hingga Saham Wajib Dilaporkan Pada SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Tidak lama lagi, masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2022 bagi orang pribadi atau karyawan maupun wajib pajak badan akan berakhir. Semua harta yang dimiliki atau diperoleh pun sepanjang tahun itu pun harus dilaporkan.

“Pada prinsipnya semua harta dilaporkan dalam SPT,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (13/2/2023).

Seluruh harta yang dilaporkan ini pun tidak ada minimal nilainya. Mulai dari uang tunai, sepeda, handphone, rumah, saham bahkan utang wajib dilaporkan di SPT. Tak terkecuali berbagai macam produk investasi yang telah menjadi aset wajib pajak.

Semua harta yang dimiliki wajib dilaporkan untuk melihat kewajaran perhitungan pajak dari penghasilan para wajib pajak. Ia pun menekankan harta yang dilaporkan tidak akan dikenakan kembali pajaknya.

“Aset NFT maupun aset digital lainnya wajib dilaporkan di SPT Tahunan dengan menggunakan nilai pasar tanggal 31 Desember pada tahun pajak tersebut,” ujar Neilmaldrin.

Berikut daftar harta yang harus dilaporkan dalam SPT:

1. Kas dan setara kas

– uang tunai

– tabungan

– giro

– deposito

– dan setara kas lainnya.

2. Piutang

3. Investasi

– saham

– obligasi

– surat utang

– reksadana

– instrumen derivatif

– penyertaan modal dalam perusahaan tertutup dan terbuka

– investasi lainnya, seperti kripto dan NFT

4. Alat transportasi

– sepeda

– sepeda motor

– mobil

– dan alat transportasi lainnya.

5. Harta bergerak lainnya

– logam mulia

– batu mulia

– barang seni dan antik

– kapal pesiar

– pesawat terbang

– peralatan elektronik (seperti PC, laptop, dan smartphone, PS5)

– furnitur

– tas

– harta bergerak lainnya.

6. Harta tidak bergerak

– tanah

– rumah

– ruko

– apartemen

– kondominium

– gudang

– harta tidak bergerak lainnya (bl)

Sebanyak 231 Mahasiswa se-Jaktim Jadi Relawan Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur (Kanwil DJP Jaktim) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meggelar kegiatan Pembekalan dan Pengukuhan Relawan Pajak secara hybrid pada Rab 8 Februari 2023.

Dalam kegiatan ini, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur Muhammad Ismiransyah M. Zain mengaku sangat bangga dengan para mahasiswa yang secara sukarela mau menjadi Relawan Pajak.

“Ini menunjukkan bahwa kalian peduli dan memiliki rasa cinta terhadap Tanah Air Indonesia,” tegas Muhammad Ismiransyah M. Zain dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip dari Liputan6.com, Jumat (10/2/2023).

Kegiatan Pembekalan dan Pengukuhan Relawan Pajak ini diselenggarakan hybrid. Untuk luring diselenggarkaan di Aula Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur dan daring menggunakan zoom meeting.

Dalam Kegiatan dihadiri oleh 231 Relawan Pajak dan dosen pendamping dari 14 perguruan tinggi di Jakarta Timur.

Perguruan tinggi yang berpartisipasi dalam program Relawan Pajak di Jakarta Timur antara lain Universitas Negeri Jakarta, Universitas Bina Sarana Informatika, Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Universitas Darma Persada, Universitas Mpu Tantular, dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

Selain itu juga Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Swadaya, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Rawamangun, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tunas Nusantara, Institut Bisnis Nusantara, Institut Bisnis dan Multimedia ASMI, Institut STIAMI, dan Kalbis Institute.

Relawan Pajak Tahun 2023 ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa tetapi juga dosen dari perguruan tinggi tersebut.(bl)

IKPI Tunjukan Perannya Sebagai Mitra Strategis Pemerintah

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus menunjukan peran pentingnya dalam mendukung pemerintah, khususnya sebagai mitra strategis yang membantu pemerintah dalam melaksanakan pemungutan pajak serta sosialisasi berbagai aturan perpajakan kepada wajib pajak.

Pada 6 Februari 2023, IKPI bersama dengan tiga asosiasi konsultan pajak lainnya memenuhi undangan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Timur. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyatakan berterima kasih atas peran konsultan pajak di mana ini menjadi salah satu sebab tercapainya target penerimaan pajak di seluruh Kanwil DJP, bahkan angkanya di atas 100%.

Ketua IKPI Cabang Jakarta Timur Sundara Ichsan, yang hadir dalam pertemuan itu mengungkapkan ada poin menarik yang disampaikan Kanwil DJP Jakarta Timur. Mereka meminta masukan dari asosiasi Konsultan Pajak, terutama dalam meningkatkan peranan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) didalam pembayaran pajak .

“Ada pendapat dari salah satu ketua asosiasi konsultan pajak, yaitu P3KPI yang mengusulkan agar Kanwil DJP mengadakan Kerja sama dengan asosiasi – asosiasi dari UMKM tersebut, seperti asosiasi pedagang pasar, asosiasi kuliner dan banyak lagi,” kata Sundara, Jumat (10/2/2023).

Selain itu lanjut Sundara, Kanwil DJP telah berusaha untuk bekerja sama dengan KADIN Jakarta Timur untuk mengadakan Kerja sama dalam menyosialisasikan peraturan di bidang perpajakan.

“Kami IKPI Cabang Jakarta Timur selama ini sudah bekerja sama dalam sosialisasi peraturan perpajakan, seperti PPS di tahun 2022, dan sosialisasi penerapan NIK sebagai NPWP serta pelaporan SPT OP pribadi yang akan dilaksanakan tanggal 23 Februari 2023,” katanya.

Di tahun 2022 kata dia, IKPI Cabang Jakarta Timur juga melakukan kolaborasi dalam pelaksanaan seminar / PPL yang diselenggarkan oleh IKPI Jakarta Timur, di mana tim Kanwil DJP Jakarta Timur sebagai narasumber.

Pernyataan senada juga disampaikan Ketua Bidang Komunikasi dan Hubungan Dengan Lembaga/Instansi/Asosiasi, Departemen Humas, IKPI, Louis Jordan Panggabean. Menurutnya, dalam pertemuan yang terlihat sangat akrab tersebut kepada empat asosiasi yang hadir Kanwil DJP Jakarta Timur berterima kasih atas peran dan bantuan konsultan pajak yang terus mengajak wajib pajak untuk patuh akan kewajibannya.

Menurut Jordan, edukasi konsultan pajak terhadap para wajib pajak dirasakan betul manfaatnya oleh pemerintah. Ini salah satu penyebab tercapainya target penerimaan pajak, dan semakin tingginya angka kepatuhan wajib pajak dari tahun ke tahun.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jakarta Timur Muhammad Ismiransyah M. Zain mengungkapkan, pertemuan ini dilakukan untuk meningkatkan sinergi dan kerja sama antara otoritas dengan asosiasi konsultan pajak dalam meningkatkan kepatuhan pajak.

Adapun empat asosiasi konsultan pajak itu, yakni Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I), Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (PERKOPPI), dan Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI).

“Pada era bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) ini, kita mulai dengan yang baik. Minta bantuan asosiasi untuk mengajak Wajib Pajak lebih patuh dalam pembayaran dan pelaporan pajaknya,” kata Ismiransyah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/2/2023).

Di sisi lain, dia mengapresiasi seluruh pihak atas sinergi yang telah terbina selama ini. Peran asosiasi konsultan pajak memiliki peran besar dalam membantu wajib pajak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini merupakan amanah dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2014 tentang Konsultan Pajak.

Dia juga menilai, kehadiran konsultan pajak semakin penting karena pada tahun 2023 pemerintah menargetkan defisit anggaran pada APBN 2023 mencapai di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Hadir juga dalam pertemuan tersebut, Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan (DP3) Kanwil DJP Jaktim Dessy Eka Putri; Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Sugeng Satoto; Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan (PPIP) Sandra Buana; Kepala Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian (PEP) Ardhie Permadi; Kepala Bidang Keberatan, Banding, dan Pengurangan (KBP) Yulius Yulianto; dan Kepala Seksi Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Lilis Maryati. (bl)

DJP: Tidak Semua Pemilik NIK Wajib Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum paham terkait kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor, menegaskan tidak semua masyarakat yang memiliki NIK harus bayar pajak.

“Gunanya NIK itu adalah kan Nomor ya nomor untuk kita membayar pajak melaporkan pajak. Nah, jadi kalau orang punya NIK apakah otomatis dia pasti bayar pajak? saya bisa jawab tidak,” kata Neilmaldrin Noor, seperti dikutip dari Merdeka.com dalam Podcast Cermati – Eps.8 Lapor SPT Tahunan: Bisa Pake NIK, Kamis (9/2/2023).

Apabila seseorang sudah memiliki penghasilan tapi termasuk dalam PTKP, maka tidak dikenakan pajak. Artinya, tidak semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki NIK wajib bayar pajak.

“Kalau dia punya NIK dan dia dewasa kemudian dia punya penghasilan tapi itu pun penghasilannya misalnya di bawah penghasilan ya tidak kena pajak itu ya nggak bayar pajak. Jadi, NIK belum pasti belum tentu harus bayar pajak. Jadi, nggak bener tuh yang diributkan,” tegasnya.

Adapun DJP mengingatkan, wajib pajak segera memvalidasi NPWP menjadi NIK sebelum 1 Januari 2024. Untuk NPWP lama masih berlaku digunakan hingga 31 Desember 2023. Sebelumnya, DJP memang telah memvalidasi secara otomatis, namun masih diperlukan validasi lanjutan dari wajib pajak yang bersangkutan.

“Kemarin ada yang mengatakan NPWP kenapa gak DJP aja yang memvalidasi otomatis, tapi ini tuh pemadanan atau updating, kita juga sudah melakukan validasi tetapi inikan dua nomor yang berbeda tadinya NIK jadi NPWP, awalnya dua nomor ini gak connect, kita mau connect-kan masing-masing itu ada informasinya,” ujarnya.

Cara Validasi NIK

1. Masuk ke laman DJP Online di https://djponline.pajak.go.id/account/login.

2. Lalu login ke laman DJP Online tersebut dengan memasukkan NPWP, beserta kata sandi, dan kode keamanan (captcha) yang tersedia.

3. Setelah berhasil login, masuk ke menu utama “Profil”.

4. Nanti dalam laman Profil tersebut akan menunjukkan status validitas data utama yang Anda miliki, apakah anda ‘Perlu Dimutakhirkan’ atau ‘Perlu Dikonfirmasi’. Status ini menandakan, bahwa Anda perlu melakukan validasi NIK.

5. Dalam halaman menu ‘Profil’ akan terdapat ‘Data Utama’ dan akan menemukan kolom NIK/NPWP (16 digit). Di dalam kolom tersebut, Anda harus memasukkan NIK yang berjumlah 16 digit.

6. Apabila sudah selesai klik ‘Validasi’.

7. Selanjutnya sistem akan mencoba melakukan validasi data dengan yang tercatat di Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Jika data valid, maka sistem akan menampilkan notifikasi informasi bahwa data telah ditemukan. Lalu, klik ‘Ok’ pada notifikasi itu.

8. Kemudian tekan tombol “Ubah Profil”.

9. Terakhir, Anda juga bisa melengkapi bagian data KLU dan anggota keluarga. Apabila telah selesai dan tervalidasi, maka Anda sudah dapat menggunakan NIK untuk melakukan login ke DJP Online. (bl)

 

 

Ini Penghitungan Pajak Suami-Istri Setelah Bercerai

IKPI, Jakarta: Umumnya, pasangan yang sudah menikah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tunggal. Jika sebelumnya istri memiliki NPWP sendiri, maka ia perlu mengajukan permohonan penghapusan NPWP untuk kemudian mengikuti NPWP suami dalam urusan administrasi perpajakan di Indonesia.

Pasalnya, sistem perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Namun, ada kejadian dimana pasangan suami istri ini memilih untuk hidup terpisah berdasarkan putusan hakim (cerai). Ketika sebelumnya NPWP suami istri sudah bergabung, lantas bagaimana aturan perpajakannya setelah mereka memutuskan untuk bercerai?

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan NPWP suami istri yang sebelumnya tergabung tersebut harus dipisahkan, dengan kata lain istri perlu membuat NPWP baru.

“Pada intinya, NPWP sebelumnya itu adalah NPWP suami, dan istri digabungkan di dalamnya. Pada saat bercerai, NPWP awal digunakan oleh suami, sedangkan istri perlu NPWP baru/menggunakan NIK-nya sendiri,” terang Neil seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (8/2/2023).

Melansir dari laman resmi DJP yakni pajak.go.id, terdapat tiga ketentuan perpajakan yang diberlakukan ketika suami istri dengan NPWP tergabung memutuskan untuk berpisah, diantaranya:

1. Pembuatan NPWP baru

Seorang istri yang memilih untuk bercerai dengan suaminya, setelah memiliki kepastian hukum dalam jangka waktu satu bulan istri harus mendaftarkan diri untuk melakukan aktivasi NIK menjadi NPWP. Aktivasi NIK dapat dilakukan dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.

2. Pelaporan SPT

Dalam pelaporan SPT Tahunan pada tahun terjadinya perceraian, penghasilan yang dilaporkan berupa penghasilan setelah perceraian. Adapun ketentuan pelaporan SPT penghasilan sampai dengan terjadinya perceraian masih dilaporkan dalam SPT Tahunan suami. Namun di tahun berikutnya, seluruh penghasilan istri baru dilaporkan dalam SPT Tahunan miliknya.

3. Penghitungan PTKP

Ketika sudah bercerai, terjadi perubahan ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi suami dan istri. PTKP mereka berubah menjadi status Tidak Kawin (TK), kemudian dapat ditambah dengan tanggungan jumlah tanggungan yang sebenarnya dan diperkenankan.

Seperti diketahui, Status pernikahan akan berpengaruh terhadap besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikenakan pada seseorang. PTKP merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenakan pajak, itu artinya jika penghasilan seseorang tidak melebihi PTKP maka ia tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Baca: Nah! Ini Beda Lapor SPT Tahunan Saat ‘Single’ dan ‘Married’
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 101/PMK.010/2016, adapun besaran PTKP yaitu:

1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak kawin (TK/0) sebesar Rp54.000.000

2. Tambahan untuk wajib pajak kawin (K/0) sebesar Rp4.500.000

3. Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami (TK/0) sebesar Rp54.000.000

4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp4.500.000

Dengan ketentuan di atas, berikut simulasi perhitungan pajak bagi pasangan yang berpisah. Simulasi ini dikutip dari artikel berjudul “Perhitungan Pajak Wanita Kawin” pada laman pajak.go.id:

Suami menjalankan usaha sebagai pengacara dan istri usaha salon di Jakarta. Keduanya berpisah berdasarkan keputusan hakim pada tanggal 31 Mei 2017. Mereka mempunyai 2 orang anak dan berdasarkan keputusan hakim, hak asuh anak suami dan istri masing-masing 1 orang.

Penghasilan suami dan istri diketahui sebagai berikut:

Suami (satu tahun pajak) sejumlah Rp 1 miliar

Istri :

* 1/1/2017 – 31/5/2017 sejumlah Rp 300.000.000

* 1/6/2017 – 31/12/2017 sejumlah 500.000.000

Setelah berpisah, istri melakukan pendaftaran NPWP pada tanggal 5 Juni 2017. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa istri yang telah berpisah wajib mendaftarkan NPWP paling lambat satu bulan setelah tanggal keputusan hakim. Karena istri sudah mempunyai NPWP pada bulan Juni 2017, maka wajib melaporkan SPT Tahunan dengan penghitungan sebagai berikut:

 

Dividen Bisa Bebas Pajak Asal Diinvestasikan

IKPI, Jakarta: Setelah memberlakukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan. Termasuk, soal dividen bebas pajak.

Beberapa peraturan itu mulai dari Peraturan Pemerintah No. 9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha hingga Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Salah satu yang diatur dalam kedua beleid tersebut adalah dikecualikannya dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri dari objek PPh. Meski demikian, tidak serta-merta dividen tersebut bebas pajak. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar dividen yang diterima WP OP dalam negeri bebas pajak. Apa saja itu?

Dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, agar WP OP bebas pajak, dividen harus diinvestasikan. Investasinya juga tidak bisa sembarangan, yaitu harus dalam bentuk investasi tertentu. Setidaknya, ada 12 bentuk investasi tertentu yang diatur. Mulai dari penyertaan modal, surat berharga, investasi keuangan pada bank persepsi, investasi infrastruktur, hingga investasi pada sektor riil.

Kemudian, investasi harus dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Singkatnya, investasi harus dilakukan paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.

Selain itu, ada jangka waktu investasi yang mesti dipenuhi. Lamanya minimal tiga tahun pajak terhitung sejak tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Jadi, selama jangka waktu tersebut, investasi tidak boleh dialihkan, kecuali dialihkan ke bentuk investasi lain yang diatur di Pasal 34 dan Pasal 35 PMK-18/PMK.03/2021.

Kabar baiknya, ada beberapa jenis instrumen investasi yang tidak menyulitkan. Di antaranya, emas batangan 99,99%, saham, dan tabungan. Jadi, kalau dividen yang diterima dibelikan emas batangan 99,99%, dibelikan saham kembali, atau bahkan didiamkan begitu saja dalam rekening tabungan di bank, itu sudah memenuhi kriteria investasi. Artinya, dividen tersebut bebas pajak.

Setelah investasi, ada hal lain yang mesti dilakukan, yaitu menyampaikan laporan realisasi investasi. Itu harus dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Penyampaian laporan tersebut juga harus dilakukan secara berkala sampai dengan tahun ketiga sejak tahun pajak dividen diterima atau diperoleh. Singkatnya, laporan realisasi investasi harus disampaikan setiap tahun selama jangka waktu investasi, paling lambat 31 Maret tahun berikutnya.

Selain dilaporkan di laporan realisasi investasi, dividen juga wajib dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan agar bebas pajak. Itu dilaporkan pada bagian Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak di pos Penghasilan Lainnya yang Tidak Termasuk Objek Pajak.

Selanjutnya, investasi atas dividen yang diterima juga wajib dilaporkan di SPT Tahunan. Itu dilaporkan pada bagian Harta pada Akhir Tahun.

Dividen yang tidak diinvestasikan atau diinvestasikan, tetapi tidak memenuhi kriteria investasi, tidak memenuhi ketentuan pelaporan realisasi investasi, atau tidak dilaporkan di SPT Tahunan, tetap terutang PPh Final. Bedanya, kini, PPh Final atas dividen tersebut harus disetor sendiri, tidak seperti sebelumnya yang dipotong oleh pemberi penghasilan atau KSEI (PT Kustodian Sentral Efek Indonesia).

Penyetoran wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak dividen diterima atau diperoleh. Penyetorannya menggunakan kode akun pajak (KAP) 411128-PPh Final dan kode jenis setoran (KJS) 419-Ps 17 (2c) Penghasilan Dividen utk OP Dalam Negeri. Jika telah mendapat validasi berupa nomor transaksi penerimaan negara (NTPN), penyetoran tersebut juga dianggap sebagai pelaporan SPT Masa PPh. (bl)

 

DJP Kalseteng Serahkan Tersangka dan Barang Bukti Pidana Perpajakan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalseteng) menyerahkan seorang pengusaha berinisial KS kepada Kejaksaan Negeri Banjarmasin.

Seperti dikutip dari situs resmi Ditjen Pajak, Rabu (8/2/2023), penyerahan tersangka tersebut juga menyertakan barang bukti dan harta kekayaannya yang telah disita terkait proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Berkas perkaranya telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan pada tanggal 16 Desember 2022.

Tersangka KS melalui CV AWN, diduga telah melakukan dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Secara lebih rinci, modus yang dilakukan adalah, pertama, tidak seluruhnya melaporkan omset/penyerahan maupun perolehan/pembelian pada SPT Masa PPN CV AWN masa Januari 2018 sampai dengan Desember 2018.

Kedua, melaporkan SPT Masa PPN secara rutin dengan status nihil dan lebih bayar kompensasi agar terhindar dari sanksi denda terlambat pelaporan, dan bertujuan untuk menunda pembayaran dan/atau tidak membayar pajak (PPN) yang seharusnya dibayar ke Kas Negara.

Perbuatan tersangka KS melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan diperkirakan sebesar Rp 372,8 juta.

Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Kalselteng Budi Susila menyampaikan bahwa peristiwa ini hendaknya menjadi perhatian dan peringatan kepada para wajib pajak agar menjalankan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dengan benar, lengkap, dan jelas.

Budi juga berharap penegakan hukum yang secara tegas diterapkan pada kasus ini dapat menghasilkan efek jera bagi wajib pajak.

“Seluruh wajib pajak diingatkan untuk tidak mudah tergiur dengan tawaran penggunaan faktur pajak dari pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengurangi pajak yang seharusnya dibayar, sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi dan kontribusi wajib pajak dapat ditingkatkan guna menunjang kemandirian pembiayaan pembangunan nasional menuju Indonesia maju,” kata Budi. (bl)

Telaah atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pajak Penghasilan atas Imbalan Natura/Kenikmatan

oleh : Bambang Pratiknyo

Aturan pelaksanaan tentang perlakuan PPh atas Imbalan Natura/Kenikmatan akhirnya  diterbitkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (selanjutnya disingkat dengan PP No.5 Tahun 2022). Dari segi waktu penerbitannya yang di penghujung tahun 2022 memang agak disayangkan mengingat berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan pemajakan atas natura/kenikmatan sudah berlaku sejak 1 Januari 2022. Namun demikian setidaknya pemenuhan kewajiban perpajakan tahun 2022 masih ada waktu 3 sampai 4 bulan ke depan.

Sudah tentu aturan ini sangat ditunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, baik Pemberi Imbalan (Pemberi Kerja) maupun Penerima Imbalan (Pegawai), karena jika hanya mendasarkan pada ketentuan UU HPP, pemajakan atas natura/kenikmatan masih diliputi ketidak-jelasan. 

Pemahaman atas kejelasan yang diberikan oleh PP No. 5 Tahun 2022 sangat penting. Untuk itu di bawah ini diuraikan telaah atas perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan berdasarkan PP tersebut. Telaah dilakukan meliputi aspek Obyek Pajak, Penilaian dan Implikasi bagi Pemberi Kerja.

A. Objek Pajak Imbalan Natura/Kenikmatan

Seperti diketahui, objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan dibuat dengan pendekatan negative list yang mana objek pajaknya adalah yang tidak dikecualikan. Imbalan natura/kenikmatan yang dikecualikan diperjelas oleh PP No. 55 tahun 2022 yang penulis sajikan dengan tabel :

Penjelasan atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari huruf a sampai c pada dasarnya tidak berbeda dengan penegasan yang pernah diberikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum UU HPP, yaitu PMK No.167/PMK.03/2018.

Terkait dengan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai terdapat persoalan mengenai perlakuan atas makanan/minuman yang dikonsumsi dari kupon yang dikonsumsi bukan di tempat kerja oleh Pegawai selain bagian pemasaran, transportasi dan dinas luar lainnya? Berdasarkan ketentuan tekstual, maka atas kasus tersebut tetap tidak dikecualikan, alias kena pajak.

Jika benar demikian, dapat dinyatakan bahwa ketentuan ini kurang adil, dan karenanya hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan. Khusus tentang bahan makanan/minuman dengan batasan nilai tertentu yang dikecualikan sebagai objek pajak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ketentuan natura/kenikmatan di daerah tertentu tidak terdapat persoalan, malahan khusus tentang pengangkutan pegawai tidak lagi dibatasi hanya untuk penugasan pertama dan pada saat berakhirnya penugasan. Dengan demikian kenikmatan berupa fasilitas pengangkutan sehari-hari ke dan dari tempat kerja di daerah tertentu menjadi objek pajak yang dikecualikan. 

Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga pada umumnya mengacu kepada penegasan dalam PMK No.167/PMK.03/2018. Hal yang membedakan dalam PP No.55 Tahun 2022 adalah ditambahkannya kata “Kesehatan” selain keamanan dan keselamatan kerja. Untuk itu PP No. 55 tahun 2022 mengecualikan natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional” meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima Pegawai beserta anggota keluarganya berdasarkan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan antara lain berupa alat pendeteksi virus pandemi dan/atau vaksin beserta sarana penunjangnya.

Namun demikian terkait dengan Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan ini masih menyisakan persoalan, yaitu kalimat “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bagaimana Wajib Pajak mengetahui tentang “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”? Akibatnya jika ternyata ada natura/kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan yang tidak diwajibkan oleh kementerian/Lembaga, maka pengecualiannya menjadi gugur. Termasuk dalam hal ini adalah fasilitas antar jemput pegawai yang mana sesungguhnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-220/PJ/2002 bukan merupakan objek pajak tanpa mengaitkan dengan kewajiban dari kementerian/lembaga.

Selain itu, pakaian seragam bagi pekerja di Bank atau perusahaan lainnya yang tidak terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja tentu saja masih menjadi persoalan tersendiri apabila tidak diwajibkan oleh kementerian/lembaga. Oleh karena itu hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan melalui penegasan oleh Pemerintah.

Hal utama dan yang terpenting terkait dengan ketentuan objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan adalah ketentuan huruf e, yaitu natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Sangat pentingnya ketentuan ini karena selain berimplikasi kepada ketentuan huruf a, b dan c di atas juga menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan, yaitu mencegah kurangnya penerimaan negara dari pilihan pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai yang terkena tarif PPh yang lebih tinggi dari tarif PPh Pemberi Kerja.

Dengan PP No. 55 Tahun 2022 ternyata persoalan ini belum dituntaskan dan masih harus menunggu PMK. Meski demikian dalam PP No. 55 tahun 2022 arahnya sudah terindikasi, yaitu dengan adanya kriteria penerima penggantian. Dengan adanya kriteria penerima penggantian diharapkan penerima penggantian yang masih terkena tarif rendah tidak perlu dikenakan pajak atas penerimaan natura/kenikmatannya. Selain itu, kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (contoh klinik buat pekerja) sebaiknya juga dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan penulis pada artikel sebelumnya.  

B. Penilaian imbalan natura/kenikmatan

Dengan PP No.55 tahun 2022 masalah nilai imbalan natura/kenikmatan menjadi lebih jelas, yaitu bahwa untuk natura harus dinilai dengan nilai pasar, sedangkan untuk kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan. Walaupun lebih jelas, namun tentu saja ketentuan nilai pasar menimbulkan ketidakpastian, sebab nilai pasar menurut siapa yang akan dipakai. Apakah harus berdasarkan Penilai professional (valuer/appraisal) ? 

Oleh karena itu sudah tepat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 huruf c PP No. 55 Tahun 2022 yang mana mengatur bahwa masalah penilaian akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan nantinya penilaian diatur dalam Peraturan Menteri, maka seharusnya akan tercipta kepastian. Termasuk dalam hal ini adalah penilaian atas kenikmatan fasilitas klinik perusahaan yang apabila tidak dikecualikan (meski Penulis berharap dikecualikan) seharusnya dapat ditentukan secara adil, walau cenderung akan sulit ditentukan.

Demikian pula penilaian kenikmatan pemakaian kendaraan yang dimiliki perusahaan atau kendaraan yang disewa oleh perusahaan boleh jadi berbeda nilainya yang mana biaya atas kendaraan yang dimiliki perusahaan akan terdiri dari unsur depresiasi, Pajak Kendaraan Bermotor, asuransi, dan pemeliharaannya, sedangkan kendaraan yang disewa biayanya hanya sebesar nilai sewanya. Oleh karena itu sebaiknya dalam PMK nanti kasus seperti ini juga diatur.

C. Hubungan dengan PPh Pemberi Kerja

Aspek perlakuan pemajakan atas natura/kenikmatan tentu terkait dengan perlakuan biayanya bagi Pemberi kerja dan pemotongan pajaknya. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan perlakuannya menurut PP No.55 Tahun 2022 dan persoalan yang mungkin terjadi.

Meskipun pada Pasal 9 UU HPP biaya natura/kenikmatan bagi pekerja tidak lagi eksis, namun berdasarkan Pasal 32 C UU HPP, perlakuannya diatur lebih lanjut oleh PP No. 55 Tahun 2022 pada Pasal 23 ayat (2) yaitu bahwa biaya tersebut akan diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible) jika berkaitan dengan upaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M).

Sebelumnya, perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan adalah deductible jika taxable pada pegawai (sesuai dengan kaidah deductibility-taxability), begitu pula sebaliknya jika non-taxable pada pegawai maka non-deductible pada Pemberi kerja.

Dengan adanya tambahan batasan 3M di atas, apakah dimungkinkan terjadi imbalannya taxable tapi non-deductible bagi Pemberi Kerja karena bukan dalam rangka 3M?  Jika terjadi maka Negara dapat dua penerimaan pajak, yaitu dari Pemberi Kerja dan dari Pegawai. Hal ini menarik mengingat bingkisan hari raya dan fasilitas peribadatan dapat dinyatakan sebagai bukan biaya 3M. Lebih lanjut, tentu akan muncul pertanyaan apakah pemberian hadiah pernikahan, kelahiran atau santunan duka kematian kepada pekerja merupakan biaya 3M ?  

Terakhir, terkait dengan ketentuan tahun pajak atas natura/kenikmatan  bagi Pemberi kerja, objek pajak pada pegawai dan pemotongan PPh Pasal 21-nya dalam masa peralihan diatur perlakuannya diatur dalam Pasal 73 yaitu bahwa ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan sesuai UU HPP adalah :

a. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan

b. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Hal ini berarti bahwa pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2021 yang di dalamnya termasuk bulan-bulan tahun 2022 (contoh tahun buku Juli 2021 s.d. Juni 2022, Juni 2021 s.d. Mei 2022, Mei 2021 s.d. April 2022, April 2021 s.d. Maret 2022, Maret 2021 s.d. Februari 2022, atau Februari 2021 s.d. Januari 2022.) belum berlaku ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan  yang baru (masih berlaku ketentuan lama). Dengan kata lain atas penghasilan natura/kenikmatan dari Pemberi kerja pada tahun pajak 2021 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2022 belum merupakan objek pajak, meski diterima dalam bulan-bulan tahun 2022.

Konsekuensi logisnya, pada Januari 2022 s.d. Juni 2022 biaya natura/kenikmatan masih non-deductible bagi Pemberi kerja. Sejak dimulainya tahun pajak 2022 barulah perlakuan pemajakan yang baru berlaku. Jadi jika tahun bukunya Juli s.d. Juni tahun berikutnya, maka untuk tahun pajak 2022 yang dimulai sejak Juli 2022 s.d. Juni 2023 mulai berlaku ketentuan baru, yaitu bahwa natura/kenikmatan menjadi objek pajak mulai Juli 2022. 

Berbeda halnya pada kasus pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2022 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2021 (Agustus 2021 s.d. July 2022, September 2021 s.d. Agustus 2022, Oktober 2021 s.d. September 2022, November 2021 s.d. Oktober 2022, dan December 2021 s.d. Nopember 2022) yang mana ketentuan pemajakan baru berlaku mulai 1 Januari 2022. Sebagai konsekuensi logisnya, maka atas bulan-bulan tahun 2021 masih belum taxable pada pegawai dan belum deductible bagi Pemberi kerja.

Suatu hal yang menarik lainnya adalah bahwa ketentuan Pasal 73 juga mengatur bahwa kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas natura/kenikmatan bagi pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023, sekalipun atas natura/kenikmatan tersebut sudah menjadi objek pajak sejak 1 Januari 2022.

Dengan demikian atas penghasilan natura/kenikmatan yang sudah menjadi objek pajak sebelum 1 Januari 2023 harus dilaporkan/diperhitungkan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi (OP) Pegawai yang bersangkutan.

Hal ini secara administratif menimbulkan persoalan tersendiri, karena Pemberi kerja harus bisa menilai natura/kenikmatan yang diberikan untuk diinformasikan kepada pegawainya. Tentu saja persoalan ini tidak akan terpecahkan jika PMK-PMK terkait penilaian dan batasan serta jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan belum diterbitkan. 

Selain itu, dikarenakan selama tahun 2022 Pemberi kerja belum melakukan pemotongan, maka sudah pasti bagi Pegawai penerima natura/kenikmatan akan mengalami kurang bayar dalam penghitungan PPh OP tahun 2022.

Selanjutnya akan juga muncul persoalan berikutnya, yaitu apakah dengan demikian akan muncul kewajiban angsuran PPh Pasal 25 setelah SPT OP tahun 2022 disampaikan? Masalahnya penghasilan natura/kenikmatan tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan tidak teratur, dan apabila dibayar PPh Pasal 25 maka akan terjadi lebih bayar pada SPT OP tahun 2023 (sebab sejak tahun 2023 atas natura tersebut sudah dilakukan pemotongan pajak oleh Pemberi kerja).

Persoalan ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya melalui penegasan oleh Pemerintah bahwa atas penghasilan natura/kenikmatan tahun 2022 tidak perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 25.

D. Simpulan dan Saran

PP No. 55 tahun 2022 sudah memperjelas hal-hal yang belum jelas sebelumnya, namun penjelasannya belum tuntas dan membutuhkan penuntasan melalui penerbitan PMK-PMK sebagaimana diamanatkan oleh PP tersebut.

Mengingat batas penyampaian SPT OP kian mendekat, maka penerbitan PMK sebelum batas waktu penyampaian SPT OP amat sangat disarankan. Tentu akan sangat lebih baik jika penerbitannya jauh sebelum batas waktu penyampaian SPT OP guna memberikan kecukupan waktu bagi Pemberi kerja melakukan penilaian dan bagi OP yang bersangkutan memperhitungkannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 003244

 

Ini Beda Lapor SPT Tahunan Saat Single dan Married

IKPI, Jakarta: Terdapat perbedaan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wanita kawin (istri) yang menggabungkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) suami dengan istri yang memiliki NPWP sendiri.

Apabila NPWP istri digabungkan dengan suami maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya merupakan urusan pihak suami.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor menjelaskan jika wanita kawin menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri (NPWP berbeda dengan suami), maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya dilakukan sendiri oleh wanita kawin.

“Namun jika wanita kawin menjalankan kewajiban perpajakan digabung dengan suami, maka pelaporan SPT Tahunan dan kewajiban perpajakan lainnya ada pada pihak suami,” papar Neil seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (8/2/2023).

Mengutip artikel berjudul “Yuk, Belajar Penghitungan Pajak Sebelum dan Sesudah Menikah” dari laman resmi pajak.go.id, penggabungan NPWP suami istri dilakukan karena sistem administrasi perpajakan di Indonesia melihat bahwa keluar merupakan satu entitas ekonomi.

Oleh karena itu, seorang istri yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, hak dan kewajiban perpajakannya wajib digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Namun, apabila istri memilih untuk tidak menggabungkan NPWP dengan suami bisa saja dilakukan. Itu artinya hak dan kewajiban perpajakan mereka juga akan ditanggung secara terpisah. Untuk mendaftar NPWP istri terpisah, istri perlu menyertakan surat pernyataan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta agar dapat membuat NPWP yang berbeda.

Lantas, apa yang membedakan kewajiban perpajakan seseorang dengan status menikah dan belum menikah?

Status pernikahan akan berpengaruh terhadap besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikenakan pada seseorang. PTKP merupakan batasan penghasil yang tidak dikenakan pajak, itu artinya jika penghasilan seseorang tidak melebihi TKP maka ia tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 101/PMK.010/2016, adapun besaran PTKP yaitu:

1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak kawin (TK/0) sebesar Rp54.000.000

2. Tambahan untuk wajib pajak kawin (K/0) sebesar Rp4.500.000

3. Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami (TK/0) sebesar Rp54.000.000

4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp4.500.000

Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, adapun perhitungan pengenaan PPh atas penghasilan dengan menggunakan tarif progresif yang mengacu pada pengurangan PTKP di atas, yakni

1. Sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) = 5% (lima persen)

2. Di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) = 15% (lima belas persen)

3. Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) = 25% (dua puluh lima persen)

4. Di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) = 30% (tiga puluh persen)

Mengutip contoh perbandingan perhitungan pajak dari artikel “Yuk, Belajar Penghitungan Pajak Sebelum dan Sesudah Menikah”, berikut perbandingan penghitungan PPh sebelum dan sesudah menikah:

1. Penghitungan PPh sebelum menikah

Sesuai dengan ketentuan mengenai PTKP, apabila seseorang belum menikah (TK/0) maka Penghasilan Tidak Kena Pajak nya sebesar Rp54.000.000,00. Contohnya apabila A memiliki penghasilan neto dalam satu tahun adalah Rp150.000.000,00 dan belum memiliki tanggungan, maka penghitungan PPh A adalah penghasilan neto (Rp150.000.000,00) dikurangi PTKP (Rp54.000.000,00), sehingga Penghasilan Kena Pajak (PKP) A adalah Rp96.000.000,00.

Selanjutnya Penghasilan Kena Pajak A dikenai tariff progresif, maka PPh terutangnya adalah (5%xRp50.000.000,00) + (15%xRp46.000.000,00) = Rp2.500.000,00 + Rp6.900.000,00 = Rp9.400.000,00. PPh yang terutang ini sudah dipotong oleh pemberi kerjanya, sehingga A hanya punya kewajiban untuk melaporkannya dalam SPT Tahunan dan tidak terdapat kekurangan pembayaran PPh.

2. Penghitungan PPh setelah menikah

Ketika sudah menikah pasangan suami-istri dapat memilih untuk menggabungkan atau memisahkan NPWP nya. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

a. NPWP suami-istri digabung

Contohnya A sebagai suami yang sudah menikah dengan Z sebagai istri, dan memiliki 2 anak. A memiliki penghasilan neto Rp200.000.000,00 setahun dan Z memiliki penghasilan neto Rp150.000.000,00 setahun.

PKP A adalah penghasilan neto Rp200 juta – PTKP (K/2) RP67,5 juta = Rp132,5 juta. Sehingga PPh terutangnya adalah Rp14.875.000,00. PPh terutang A telah dilakukan pemotongan oleh pemberi kerjanya, sehingga A tinggal melaporkannya saja di SPT Tahunannya dan tidak terdapat kurang bayar PPh.

Untuk penghitungan PPh Z adalah penghasilan neto Rp150 juta – PTKP (TK/0) Rp54 juta = Rp96 juta. Maka PPh terutangnya adalah Rp9.400.000,00. PPh Z juga sudah dipotong oleh pemberi kerjanya sehingga angka ini hanya dilaporkan di SPT Tahunan suami dan tidak terdapat kurang bayar PPh.

Adapun keuntungan yang dirasakan pasangan menikah yang memilih NPWP suami istri digabung adalah PPh terutang suami dan istri tidak akan mengalami kurang bayar dan dianggap final.

b. NPWP suami-istri dipisah

Jika A dan Z memilih untuk memiliki NPWP terpisah, maka keduanya akan dikenakan PTKP K/I/2 sebesar Rp121.500.000,00. Untuk mengetahui PPh nya pertama-tama penghasilan A dan Z digabung sehingga total penghasilannya adalah Rp350.000.000,00. Kemudian PPh terutang gabungan A dan Z dihitung menggunakan tarif progresif (5%xRp50 juta) + (15%xRp178,5 juta) = Rp29.275.000.

Setelah didapatkan PPh terutang gabungan, kemudian A dan Z menghitung PPh terutang masing-masing. Untuk PPh terutang A adalah (Rp200 juta/Rp350 juta) x Rp29.275.000,00 = Rp16.728.571,00. Karena tempat bekerja A sudah memotong sebesar Rp14.875.000,00 maka PPh kurang bayar A adalah Rp1.853.571. PPh terutang kurang bayar ini nantinya dicicil setiap bulan di tahun berikutnya sebagai PPh Pasal 25.

Selanjutnya penghitungan PPh terutang Z adalah (Rp150 juta/Rp350 juta) x Rp29.275.000,00 = Rp12.546.429,00. Karena tempat bekerja Z sudah memotong sebesar Rp9.400.000, maka PPh kurang bayar Z adalah Rp3.146.429,00. PPh terutang kurang bayar ini nantinya dicicil setiap bulan di tahun berikutnya sebagai PPh Pasal 25.

Berdasarkan contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa apabila pasangan suami istri memilih untuk memisahkan NPWP mereka maka konsekuensinya adalah PPh terutang yang harus dibayarkan masing-masing pihak lebih besar. Untuk itu, pasangan suami istri memang dianjurkan agar menggabungkan NPWP mereka. (bl)

en_US