Fahri Hamzah Dukung Terciptanya UU Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014–2019 Fahri Hamzah, menyatakan dukungannya untuk mewujudkan terciptanya Undang-Undang Konsultan Pajak di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang baik tentang konsultan pajak, nantinya profesi/organisasi yang menaungi profesi ini bisa berkembang yang kemudian bisa mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas. Maka, itu akan mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara secara lebih luas.

“Prinsipnya saya menyambut baik ikhtiar dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsultan Pajak yang memang sangat dibutuhkan secara nasional,” kata Fahri dalam acara Webinar yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok dengan tema ‘Mimpi dan Realita UU Konsulatan Pajak’, Kamis (13/10/2022).

Lebih lanjut Fahri mengatakan, saat ini pendapatan negara terbesar atau sekitar 70% berasala dari pajak. Tahun ini, pendapatan negara dari sektor pajak tercatat lebih dari Rp 2.000 triliun dan itu adalah angka yang sangat besar.

Dengan demikian lanjut Fahri, jika pendapatan pajak sebegitu penting bagi perekonomian Indonesia dan khususnya bagi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka sudah seharusnya penataan sistem yang memungkinkan negara bisa mengambil untung dari kegiatan ekonomi masyarakat melalui pajak itu harus difasilitasi.

“Selama ini dengan sistem peradilan pajak yang agak monolitik dan posisi masyarakat dalam hal ini swasta yang kurang didamping oleh konsutan pajak, itu pasti mencipatakan ketimpangan pada penerimaan negara. Jadi kalau negara bisa memfasilitasi dengan adanya perlindungan atau regulasi yang baik tentang konsultan pajak, dan nanti konsultan pajaknya berkembang, maka nanti mereka (konsultan) akan mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas, dan itu mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara juga secara lebih luas,” kata Fahri.

Hal senada dikatakan Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan. Menurutnya, peran konsultan pajak di Indonesia belum semaksimal di negara lain seperti Jepang. Penyebabnya, keberadaan dan peran konsultan pajak di Indonesia belum diwadahi undang-undang.

Menurutnya, profesi konsultan pajak di Jepang sudah dipayungi undang-undang tersendiri sejak tahun 1942. Oleh karena itu IKPI terus memperjuangkan hadirnya UU Konsultan Pajak.

Selain itu lanjut Ruston, IKPI juga melakukan hubungan dan kerja sama dengan organisasi profesi konsultan pajak dari negara-negara anggota Asia Oceania Tax Consultant Asociation (AOTCA) khususnya Jepang dan Korea Selatan yang profesi konsultan pajaknya sudah tertib.

“Kami secara proaktif senantiasa memberikan masukan kepada DPR yang telah berinisiatif menyampaikan usulan RUU Konsultan Pajak. Sayangnya, kini usulan itu hilang bagai ditelan bumi, padahal di tahun 2014, RUU Konsultan Pajak sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tapi kami akan berjuang lagi agar RUU itu bisa kembali dibahas di DPR,” kata Ruston.

Dikatakannya, dengan UU Konsultan Pajak maka impian konsultan pajak menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) akan terwujud dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menyatakan sangat mendukung untuk terciptanya UU Konsultan Pajak. Dukungan nyata tersebut akan diberikan Hikmahanto, salah satunya dengan bersama-sama menyusun naskah akademik dengan rekan-rekan di Fakultas Hukum UI.

“Biasanya jika naskah akademik disusun oleh akademisi dan asosiasi, ini akan menjadi nilai plus untuk pertimbangan DPR dan pemerintah untuk dilakukan pembahasan di DPR,” kata Hikmahanto.

Namun demikian kata dia, sebenarnya ada kabar baik dari draft RUU yang sudah pernah masuk dalam jadwal Prolegnas Prioritas di DPR. Artinya, tidak ada pihak terutama dari pemerintah dan DPR yang menolak kehadiran naskah akademik dan RUU tentang Konsultan Pajak ini.

“Karena kalau misalnya ada penolakan, nah itu yang agak repot. Karena ketika kita membuat RUU berikut naskah akademiknya, itu hanya diperbolehkan lewat tangan pemerintah atau DPR,” kata dia.

Ketua IKPI Cabang Depok Nuryadin Rahman, menyatakan terima kasih atas dukungan akademisi dan politisi untuk terbentuknya UU Konsultan Pajak tersebut. Dengan dukungan itu, IKPI menyatakan kembali bersemangat dan akan kembali menyusun ulang naskah akademik untuk kemudian disosialisasikan kepada para stakeholder.

“Kami (IKPI) akan membuka diri untuk mewujudkan terciptanya UU Konsultan Pajak yang sudah bertahun-tahun hilang dari daftar Prolegnas DPR. Untuk itu, kami akan merangkul berbagai kalangan untuk menyusun atau membahas kembali naskah akademik tersebut,” katanya. (Sumber berita: https://rri.co.id/jakarta/nasional/59110/fahri-hamzah-dukung-terciptanya-uu-konsultan-pajak)

Penerimaan Pajak Hingga Agustus 2022 Capai Rp1.171,8 triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan mencatat kinerja penerimaan pajak hingga Agustus 2022 mengalami normalisasi dengan capaian sebesar Rp1.171,8 triliun. Dengan angka pertumbuhan positif Januari sampai Agustus 58,1%, realisasi penerimaan telah mencapai 78,9% dari target penerimaan pajak dalam Perpres 98 Tahun 2022.

“Walaupun secara agregat pertumbuhan penerimaan sampai Agustus 2022 masih sangat baik, tapi jika dilihat pertumbuhan per bulannya secara year on year, penerimaan pajak mengalami normalisasi setelah pertumbuhan yang sangat tinggi pada Juni akibat PPS (Program Pengungkapan Sukarela),” kata Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo di acara Media Briefing DJP, Selasa (4/10/2022).

Menurut Suryo, pertumbuhan per bulan (YoY) pada Juni 2022 sebesar 80,4%, kemudian 61,8% pada Juli 2022, dan kini 53,0% pada Agustus 2022. Tren ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir 2022 sejalan meningkatnya basis penerimaan di akhir tahun 2021.

Sementara itu, tercatat rincian dari total penerimaan pajak berasal dari Rp661,5 triliun PPh non migas (88,3% target), Rp441,6 triliun PPN & PPnBM (69,1% target), Rp55,4 triliun PPh migas (85,6% target), dan Rp13,2 triliun PBB dan pajak lainnya (40,0% target).

Dikatakan Suryo, seluruh jenis pajak mengalami pertumbuhan neto kumulatif dominan positif. PPh 21 tumbuh 21,4%, PPh 22 Impor tumbuh 149,2%, PPh Orang Pribadi tumbuh 11,2%, PPh Badan tumbuh 131,5%, PPh 26 tumbuh 17,2%, PPh Final tumbuh 77,1%, PPN Dalam Negeri tumbuh 41,2%, dan PPN Impor tumbuh 48,9%.

Untuk penerimaan sektoral, seluruh sektor utama tumbuh positif ditopang oleh kenaikan harga komoditas, pemulihan ekonomi, serta bauran kebijakan (phasing-out insentif fiskal, UU HPP, dan kompensasi bahan bakar minyak).

“Beberapa sektor dengan kontribusi terbesar yaitu industri pengolahan 29,7% tumbuh 49,4%, perdagangan 23,7% tumbuh 66,3%, jasa keuangan dan asuransi 10,9% tumbuh 15,2%, pertambangan 8,9% tumbuh 233,8%, dan sektor konstruksi dan real estate 4,1% tumbuh 10,0%,” ujarnya.

Suryo juga merinci perkembangan penerimaan yang terkait UU HPP, yaitu:

  1. PPN Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE), pelaku usaha PMSE yang sudah ditunjuk sebagai pemungut sebanyak 127 perusahaan dan berhasil mengumpulkan penerimaan PPN sebesar Rp8,17 triliun. Jumlah tersebut berasal dari setoran tahun 2020 Rp730 miliar, setoran tahun 2021 Rp3,9 triliun, dan setoran tahun 2022 Rp3,54 triliun.
  2. Pajak Fintech yang mulai berlaku 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan di bulan Juni 2022, PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp74,44 miliar dan PPh 26 yang diterima wajib pajak luar negeri atau BUT sebesar Rp32,81 miliar.
  3. Pajak Kripto yang berlaku mulai 1 Mei 2022 dan dibayarkan di bulan Juni 2022, PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui penyelenggara PMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp60,76 miliar dan PPN dalam negeri atas pemungutan oleh nonbendahara sebesar Rp65,99 miliar.
  4. Dampak penyesuaian tarif PPN mulai 1 April 2022, penambahan penerimaan PPN sebesar Rp1,96 triliun pada April 2022, Rp5,74 triliun pada Mei 2022, Rp6,25 triliun pada Juni 2022, Rp7,15 triliun pada Juli 2022, dan 7,28 triliun pada Agustus 2022.

Selain tentang penerimaan, beberapa perkembangan terkini seputar perpajakan juga disampaikan oleh Dirjen Pajak. Proses penguatan ekonomi terus diakselerasi dengan APBN melalui program PEN. Namun, bukan dari insentif perpajakan PEN. Insentif perpajakan akan tetap ada untuk program lainnya.

Sekadar diketahui, realisasi insentif pajak disampaikan sebagai berikut, insentif dunia usaha (PMK-3/2022) Rp1,46 triliun oleh 4.625 wajib pajak, insentif PPnBM DTP kendaraan bermotor (PMK-5/2022) Rp387,46 miliar dari 4 penjual, insentif PPN DTP rumah (PMK-6/2022) Rp197,41 miliar dengan 9.397 pembeli, serta insentif permanen di UU HPP, yaitu perubahan lapisan tarif PPh OP Rp1,21 triliun dan pengembalian pendahuluan PPN dipercepat Rp8,29 triliun.

Terkait batas waktu repatriasi PPS yang telah berakhir pada 30 September 2022, DJP menindaklanjuti pelaksanaan pascaPPS, termasuk repatriasi dan investasi melalui tindakan pengawasan dan penegakan hukum sesuai amanah UU HPP.

“Kami akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengawasi realisasi komitmen repatriasi, investasi, dan holding repatriasi dan investasi. Saat ini, petunjuk pelaksanaan masih dalam proses pembahasan akhir,” kata Suryo. (bl)

IKPI Sebut Konsultan Pajak di Indonesia Butuh Payung Hukum Kuat

IKPI, Jakarta: Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan menyatakan, peran konsultan pajak di Indonesia belum semaksimal di negara lain seperti Jepang. Penyebabnya, keberadaan dan peran konsultan pajak di negara ini belum diwadahi undang-undang.

Menurutnya, profesi konsultan pajak di Jepang sudah dipayungi undang-undang tersendiri sejak tahun 1942. Oleh karena itu IKPI terus memperjuangkan hadirnya UU Konsultan Pajak.

Selain itu lanjut Ruston, IKPI juga melakukan hubungan dan kerja sama dengan organisasi profesi konsultan pajak dari negara-negara anggota Asia Oceania Tax Consultant Asociation (AOTCA) khususnya Jepang dan Korea Selatan yang profesi konsultan pajaknya sudah tertib.

“Kami secara proaktif senantiasa memberikan masukan kepada DPR yang telah berinisiatif menyampaikan usulan RUU Konsultan Pajak. Sayangnya, kini usulan itu hilang bagai ditelan bumi, padahal di tahun 2014, RUU Konsultan Pajak sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas. Tapi kami akan berjuang lagi agar RUU itu bisa kembali dibahas di DPR,” kata Ruston dalam acara Webinar yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok dengan tema ‘Mimpi dan Realita UU Konsultan Pajak’, Kamis (13/10/2022).

Dikatakannya, dengan UU Konsultan Pajak maka impian konsultan pajak menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) akan terwujud dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menyatakan, sangat mendukung untuk terciptanya UU Konsultan Pajak. Dukungan nyata tersebut akan diberikan Hikmahanto, salah satunya dengan bersama-sama menyusun naskah akademik dengan rekan-rekan di Fakultas Hukum UI.

“Biasanya jika naskah akademik disusun oleh akademisi dan asosiasi, ini akan menjadi nilai plus untuk pertimbangan DPR dan pemerintah untuk dilakukan pembahasan di DPR,” kata Hikmahanto.

Namun demikian kata dia, sebenarnya ada kabar baik dari draft RUU yang sudah pernah masuk dalam jadwal Prolegnas Prioritas di DPR. Artinya, tidak ada pihak terutama dari pemerintah dan DPR yang menolak kehadiran naskah akademik dan RUU tentang Konsultan Pajak ini.

“Karena kalau misalnya ada penolakan, nah itu yang agak repot. Karena ketika kita membuat RUU berikut naskah akademiknya, itu hanya diperbolehkan lewat tangan pemerintah atau DPR,” kata dia.

Ketua IKPI Cabang Depok Nuryadin Ramhman menyatakan, terima kasih atas dukungan akademisi dan politisi untuk terbentuknya UU Konsultan Pajak tersebut. Dengan dukungan itu, IKPI menyatakan kembali bersemangat dan akan kembali menyusun ulang naskah akademik untuk kemudian disosialisasikan kepada para stakeholder.

“Kami (IKPI) akan membuka diri untuk mewujudkan terciptanya UU Konsultan Pajak yang sudah bertahun-tahun hilang dari daftar Prolegnas DPR. Untuk itu, kami akan merangkul berbagai kalangan untuk menyusun atau membahas kembali naskah akademik tersebut,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014–2019 Fahri Hamzah, menyatakan dukungannya untuk mewujudkan terciptanya Undang-Undang Konsultan Pajak di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang baik tentang konsultan pajak, nantinya profesi/organisasi yang menaungi profesi ini bisa berkembang yang kemudian bisa mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas. Maka, itu akan mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara secara lebih luas.

“Prinsipnya saya menyambut baik ikhtiar dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konsultan Pajak yang memang sangat dibutuhkan secara nasional,” kata Fahri.

Lebih lanjut Fahri mengatakan, saat ini pendapatan negara terbesar atau sekitar 70 persen berasal dari pajak. Tahun ini, pendapatan negara dari sektor pajak tercatat lebih dari Rp 2.000 triliun dan itu adalah angka yang sangat besar.

Dengan demikian lanjut Fahri, jika pendapatan pajak sebegitu penting bagi perekonomian Indonesia dan khususnya bagi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka sudah seharusnya penataan sistem yang memungkinkan negara bisa mengambil untung dari  kegiatan ekonomi masyarakat melalui pajak itu harus difasilitasi.

“Selama ini dengan sistem peradilan pajak yang agak monolitik dan posisi masyarakat dalam hal ini swasta yang kurang didamping oleh konsutan pajak, itu pasti mencipatakan ketimpangan pada penerimaan negara. Jadi kalau negara bisa memfasilitasi  dengan adanya perlindungan atau regulasi yang baik tentang konsultan pajak, dan nanti konsultan pajaknya berkembang, maka nanti mereka (konsultan) akan mendampingi kegiatan di masyarakat secara lebih luas, dan itu mempunyai efek langsung kepada pendapatan negara juga secara lebih luas,” kata Fahri. (Sumber berita: https://rm.id/baca-berita/nasional/144194/ikpi-sebut-konsultan-pajak-di-indonesia-butuh-payung-hukum-kuat)

Press Release HUT IKPI

PRESS RELEASE
Jakarta, 27 Agustus 2022

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebagai asosiasi profesi konsultan pajak dengan jumlah anggota Per tanggal 26 Agustus 2022 Sejumlah 6.175 Anggota, terdiri atas 4.846 Anggota Tetap, 1.312 Anggota Terbatas dan 17 Anggota Kehormatan yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, hari ini merayakan Hari Ulang Tahun IKPI ke-57

Perayaan HUT IKPI ke-57 diselenggarakan dalam 3(tiga) rangkaian acara, yakni:
Pada tanggal 21 Agustus 2022, IKPI menyelenggarakan Fun Walk IKPI di lokasi Taman Hutan Kota Kemayoran, Sunter, Jakarta Pusat, diikuti oleh 656 anggota yang datang dari berbagai cabang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
Pada tanggal 23 Agustus 2022, IKPI menyelenggaran Seminar Nasional di Grand Ball Room Hotel Pullman, Kemanggisan, Jakarta Barat secara hybrid, diikuti 1.461 Peserta; 601 Peserta secara luring dan 860 Peserta secara daring. Seminar dengan topik “Apa dan Bagaimana Setelah PPS (Program Pengungkapan Sukarela)”, menghadirkan pembicara dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Puncak perayaan dilakukan hari ini tanggal 27 Agustus 2022 bertepatan dengan hari jadi IKPI yang ke-57, HUT IKPI ke-57 dengan tema “Profesional Transparan Dinamis” diselenggarakan oleh Panitia yang berasal dari anggota IKPI dari berbagai cabang, dipimpin oleh Vaudy Starworld Ketua Departemen Pengembangan Profesional Berkelanjutan Pengurus Pusat-IKPI (PPL PP-IKPI), di Birawa Assembly Hall Hotel Bidakara, Jl. Jend. Gatot Subroto, Kav. Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Diikuti oleh seluruh Anggota IKPI secara daring dan oleh Pengurus Pusat, Pengurus Daerah, Pengurus Cabang dan Pengawas secara luring.

Tema HUT ke-57 kali ini membawa tema “Profesional Transparan dan Dinamis”, yang mempunyai makna : PROFESIONAL: IKPI akan terus menjalankan Visi dan Misi menjadikan IKPI sebagai asosiasi Konsultan Pajak yang mandiri dan professional, TRANSPARAN: IKPI memberi akses bagi anggota untuk memperoleh informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai oleh asosiasi dalam menjalankan roda organisasi, DINAMIS: IKPI akan terus maju dan tumbuh, dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan selalu bergerak mengikuti perkembangan perpajakan.

IKPI sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak yang telah menandatangani MOU pada tanggal 28 Februari 2018 tentang Kerjasama Sosialisasi, Edukasi dan Peningkatan Peran Profesi Konsultan Pajak Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia dalam Turut Serta Membangun Kesadaran dan Kepatuhan Masyarakat di Bidang Perpajakan, berkomitmen untuk terus berkontribusi secara aktif. Hal ini sejalan dengan tujuan IKPI yakni:

Menjaga keluhuran martabat serta meningkatkam mutu profesi Konsultan Pajak dalam rangka pengabdiannya kepada Bangsa dan Negara;
Mengawal dan mengupayakan agar pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan dan peraturan perpajakan berlaku dengan adil dan berkepastian hukum; dan
Fostering and strengthening the sense of friendship and sense of kinship between members to realize the unity and unity of members.

Dalam mewujudkan tujuan IKPI, IKPI telah melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya internal yakni untuk meningkatkan profesionalitas Anggota IKPI dengan menyelenggarakan kegiatan pengembangan professional berkelanjutan secara terus-menerus secara online dan offline, demikian juga edukasi kepada masyarakat, IKPI telah melakukan berbagai pelatihan secara langsung oleh Pengurus anggota yang terdaftar di Cabang IKPI diwilayah masing-masing seperti tata cara pengisian SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan serta seminar sosialisasi peraturan perpajakan yang diselenggarakan secara mandiri oleh IKPI dan/atau Bersama-sama dengan Direktort Jenderal Pajak (DJP), sosialisasi bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat wajib pajak sekaligus juga untuk mengajak masyarakat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Seiring dengan perjalan panjang IKPI dalam ekosistem perpajakan Indonesia, tahun ini IKPI menerima penghargaan dari Direktorat Jenderal Pajak yang diterima oleh Ketua Umum IKPI Bpk. Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax pada perayaan Hari Pajak yang diselenggarakan di Kantor Pusat DJP, Jakarta tanggal 19 Juli 2022 yang lalu, berupa Piagam Penghargaan yang diserahkan langsung oleh Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani dan berupa Plakat yang diserahkan oleh Direktur Jenderal Pajak Bpk Suryo Utomo sebagai Apresiasi dan Penghargaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada pemangku kepentingan yang dinilai telah memberikan kontribusi untuk mendukung reformasi perpajakan.
Sebagai Konsultan Pajak yang bersinggungan dengan pelayaan kepada masyarakat dan berkaitan dengan sumber utama penerimaan negara yakni penerimaan negara dibidang perpajakan, maka IKPI sangat membutuhkan payung hukum berupa Undang-Undang Konsultan Pajak yang saat ini telah masuk dalam Prolegnas di DPR sejak tahun 2015. Namun hingga kini belum terihat titik terang, oleh karena itu IKPI mendorong agar UU Konsultan Pajak menjadi perhatian Pemeritah dan DPRRI untuk memberikan payung hukum bagi Konsultan Pajak dalam menjalankan profesinya dan Wajib Pajak sebagai pengguna jasa Konsultan Pajak
IKPI melakukan kerja-kerja produktif, konsisten dan terus menerus untuk meningkatkan pelayanan kepada anggota dan masyarakat dengan mengembangkan media digital elektronik yang kami sebut dengan nama IKPI Smart yakni layanan IKPI berbasis web kepada anggota, sehingga anggota kami tidak mengalami kendala dalam memenuhi kewajibannya serta mendapatkan layanan yang real time. Demikian juga edukasi kepada masyarakat, kami tingkatkan dengan media komunikasi digital berbasis web dalam bentuk forum komunikasi, layanan probono, artikel, berita; media ini menjadi media edukasi bagi masyarakat dan anggota sekaligus juga media bagi Anggota IKPI untuk meningkatkan serta berbagi pengetahuan dan informasi kepada sesama Anggota IKPI dan sekaligus kepada masyarakat wajib pajak.
IKPI dalam HUT ke-57 ini terus dan terus berbenah, IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak mempunyai tanggung jawab moral dalam membantu penerintah menyadarkan wajib pajak untuk patuh kepada aturan yang berlaku dan saat yang bersamaan juga membantu wajib pajak untuk tidak dikenakan kewajiban perpajakan yang tidak seharusnya, mendudukkan wajib pajak dan pemerintah pada posisi yang seharusnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku adalah posisi intermediaris Konsultan Pajak.

“International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”

Press Release Pengurus Pusat IKPI
5 Agustus 2022

Tentang : International tax law class dengan topik Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea

Akses terhadap informasi keuangan sangat dibutuhkan oleh otoritas perpajakan suatu negara untuk mengetahui sekaligus mengawasi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Namun upaya memperoleh informasi keuangan tersebut terhambat oleh undang-undang kerahasiaan perbankan (bank secrecy) yang diberlakukan untuk melindungi data nasabah di lembaga-lembaga keuangan. Perlindungan kerahasiaan bank memberi peluang besar bagi orang-orang super kaya untuk menghindari pajak secara illegal, karena mereka sangat mudah memobilisasi dana mereka di berbagai insitusi keuangan di luar negeri khususnya di negara-negara dengan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan pajak sama sekali. Orang-orang kaya tersebut menggerus basis pengenaan pajak di negara mereka berdomisili dengan cara menggesernya ke luar negeri dengan tarif pajak rendah.

Penghindaran pajak yang dilindungi oleh undang-undang domestik tentang kerahasiaan bank menjadi perhatian serius berbagai negara di dunia terutama negara-negara yang terdampak berat terhadap penerimaan pajak di negara mereka. Pada tahun 2009, pimpinan negara-negara yang tergabung dalam G20 bersepakat untuk bersama-sama mengakhiri dan tidak lagi memberi toleransi terhadap kerahasiaan bank dan bertekad untuk mengambil tindakan kepada negara-negara yang menolak bekerjasama, termasuk negara-negara sorga pajak.

Pada bulan September 2009, Indonesia menjadi anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum). Forum ini merupakan badan internasional dengan anggota terdiri dari 165 negara yang dibentuk untuk penerapan standar internasional atas transparansi pajak dan  pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara.

Selanjutnya pada tanggal 15 Juni 2015, Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) di Kantor Pusat OECD di Paris, Perancis, yang mulai membuka lembaran baru era keterbukaan informasi untuk perpajakan di Indonesia. Hal ini juga menjadi pembuka bagi Indonesia untuk masuk kedalam skema AEOI (Automatic Exchange of Information) dengan lebih dari 50 negara Dunia.

Memasuki era keterbukaan informasi ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan-peraturan untuk mendukung hal tersebut yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, lalu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018.

Penerapan keterbukaan informasi ini sangat penting bagi Indonesia karena apabila tidak menerapkannya, maka Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang “Non-Cooperative Jurisdictions”. Dengan bergabung AEOI, Indonesia dapat mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan pengelakan Pajak, Indonesia dapat memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang akurat dari lebih dari 50 negara di dunia.

Edukasi dari era keterbukaan informasi dan pertukaran data antar negara ini perlu dan harus terus disosialisasikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas agar pemahaman menyeluruh atas adanya skema ini dapat diterima dengan baik tanpa ada resistensi dari masyarakat dan dengan penuh kesadaran agar dapat patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Harapan kedepan dengan semakin terbukanya informasi, Direktorat Jenderal Pajak dapat bersinergi secara positif dengan Wajib Pajak, dan tingkat kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak dapat meningkat dengan sendirinya. Jika Pemerintah benar-benar dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang melindungi hak dari Wajib Pajak, serta pemanfaatan dari data yang terbuka tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengedukasi, mendidik, serta meningkatkan pengetahuan wajib pajak atas implikasi-implikasi yang dapat terjadi apabila tidak patuh.

Sebagai Asosiasi konsultan pajak pertama dan terbesar/terbanyak anggotanya di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indonesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI melalui Departemen Hubungan Internasional dengan dukungan dari Asosiasi Perpajakan Jepang, China dan Korea mengundang perwakilannya untuk menjadi narasumber pada “International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparency; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”. Tujuan seminar ini adalah untuk saling bertukar informasi bagaimana penerapan Tax Transparency and Automatic Exchange of Information di masing-masing negara.

Seminar kali ini adalah semacam pemanasan sebelum nanti bertempat di Bali bulan November 2022 akan diadakan seminar perpajakan internasional yang akan melibatkan lebih banyak lagi narasumber dari negara-negara  yang tergabung dalam Asia Oceania Tax Consultant’s Association (AOTCA). Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan AOTCA 2022 General Meeting and International Tax Conference yang kedua kalinya setelah yang pertama pada tahun 2011.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.

 

Humas PP IKPI

 

PRESS RELEASE Jakarta, 03 Juni 2022

News

Penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning) agresif yang dilakukan dengan memanfaatkan celah dan perbedaan peraturan perpajakan berbagai negara/yurisdiksi untuk menggeser keuntungan ke negara/yurisdiksi lainnya yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah.

OECD dan G20 memotori usaha bersama dalam skala global untuk mengatasi mencegah dan mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Upaya tersebut dikenal dengan BEPS Project.

Sebagai bagian dari BEPS Project, pada bulan Desember 2021, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menerbitkan publikasi The Pillar Two Model Rules yang disebut juga dengan GloBe Rules sebagai tindak lanjut kesepakatan 137 negara anggota Inclusive Work pada bulan Oktober 2021 untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif 15% yang akan diberlakukan terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan secara konsolidasi di atas EUR750 juta. Selanjutnya pada bulan Maret 2022, Sekretariat OECD juga mempublikasikan Commentary atas GloBe Rules tersebut.

Penerapan pajak minimum global tersebut akan berdampak pada kebijakan pemberian insentif perpajakan di Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri yaitu berupa tax holiday, tax allowance dan super deduction, karena pemberian insentif cenderung  menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional yang memperoleh insentif tidak membayar pajak dalam kurun waktu tertentu atau membayar pajak dibawah tarif pajak efektif sebesar 15%. Hal ini berakibat pada perusahaan induknya berkedudukan di negara/yurisdiksi lain wajib membayar pajak atas selisih atau kekurangan dari tarif 15% pajak minimum global. Akhirnya perusahaan multinasional di Indonesia tidak dapat menikmati insentif yang diberikan pemerintah Indonesia yang dari semula diberikan untuk menarik investasi. Oleh karena itu, dengan berlakunya nanti pajak minimum global, pemerintah perlu mengkaji ulang karena pemberian insentif menjadi tidak efektif.

Berhubung pajak minimum global akan diberlakukan pada awal Januari 2023, maka negara-negara anggota Inclusive Framework yang akan menerapkan aturan pajak global minimum diminta untuk mengadopsi aturan tersebut dalam ketentuan domestiknya dalam tahun 2022. Penerapan Pajak Minimum Global bukan merupakan keharusan. Namun jika suatu negara memilih untuk ikut menerapkan GloBe Rules, maka pengaturannya dalam ketentuan domestik negara tersebut wajib mengikuti petunjuk yang diterbitkan oleh OECD/G20 Inclusive Framework dalam GloBe Rules termasuk Commentary nya.

Pasal 32A UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP) memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (BEPS). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut penerapan pajak minimum global dapat diwujudkan  dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan penjabaran yang lebih teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai asosiasi konsultan terkemuka di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indoesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI dengan dukungan dari Alumni Belgia di Indonesia – mengundang Prof. Luc De Broe – Professor in International Tax Law pada KU Leuven (“Katholieke Universiteit of Leuven – Belgia”) menjadi narasumber pada “international tax law class” dengan topik “Global Minimum Taxation; Theory, Policy and Application – Sharing From Belgium Experiences”.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas  terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses website kami di https://ikpi.or.id/ atau melalui email di sekretariat@ikpi.or.id.

 

 

Media Kontak
Ronsi B. Daur
Kabid Humas Eksternal IKPI
Email: ronsibdaur73@gmail.com
Phone: 62 812-9989-557

Bagikan Berita Ini

Menteri Keuangan Beri Penghargaan ke Sejumlah Pendukung Reformasi Perpajakan

Majalahpajak.net, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pemangku kepentingan yang dinilai telah memberikan kontribusi untuk mendukung reformasi perpajakan. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Sri Mulyani menuturkan, pemerintah tidak mungkin membangun sistem perpajakan yang baik tanpa dukungan para stakeholders, baik yang mewakili pengusaha, lembaga internasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Bank Indonesia (BI).

“Semuanya memberikan kontribusi penting. Insyaallah tahun ini (penerimaan pajak) akan melewati target lagi, tapi kita enggak jemawa,” ungkap Sri Mulyani di acara perayaan Hari Pajak, yang diselenggarakan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, (19/7).

Sementara itu, Suryo Utomo bilang, “Kami memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pemangku kepentingan yang dinilai telah memberikan sumbangsih luar biasa kepada DJP selama ini, khususnya dalam reformasi perpajakan.”

Seperti diketahui, saat ini DJP tengah menjalankan Reformasi Perpajakan Jilid III yang berfokus pada lima hal, meliputi bidang organisasi; sumber daya manusia (SDM); teknologi informasi dan basis data; proses bisnis; serta peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam hal teknologi informasi dan basis data, DJP sedang membangun Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax yang nantinya mengintegrasikan seluruh proses bisnis dan data. Core tax akan menjadi rumah baru bagi seluruh data yang telah dan akan tersedia. Core tax menampung 2,7 miliar data ILAP, data-data traksaksional dari Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), data automatic exchange of information (AEOI) dari pelbagai negara dan data perbankan maupun pemerintah daerah. Kemudian, pada pilar peraturan perundang-undangan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mengamanahkan penyelenggaraan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak karbon, dan sebagainya.

Ada beberapa kategori penghargaan yang diberikan. Pertama, Kategori Pemangku Kepentingan yang Memberikan Dukungan Secara Tugas dan Fungsi kepada DJP, diberikan kepada:

Polisi Republik Indonesia (Polri).
Kejaksaan Agung (Kejagung).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PPATK
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB)
Kementerian Investasi (Kemenves)/Badan Koordinasi dan Penaman Modal (BKPM),
Kedua, Kategori ILAP Terbaik diberikan kepada:

Ditjen Administrasi Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Barat.
Ditjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
OJK
BI
Bapenda DKI Jakarta.
Ketiga, Kategori Penghargaan Reformasi Perpajakan Bidang Sumber Daya Manusia (Capacity Building) diberikan untuk:

World Bank.

Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ).
Australlian Tax Office (ATO).
Asian Development Bank (ADB).
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
National Tax Service of Korea (NTS).
National Tax Agency (NTA) Jepang.
Japan International Cooperation Agency (JICA).
International Monetary Fund (IMF).

Keempat, Kategori Bidang Informasi Dan Teknologi diberikan kepada:

Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Australia Indonesia Partnership for Economic Development (PROSPERA).
Agence Francaise de Developpement (AFD).
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil).
Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Kelima, penghargaan Kategori Bidang Regulasi dipersembahkan kepada:

International Belasting Documentatie Bureau (IBFD).
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Kepada Majalah Pajak, Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan memaknai penghargaan ini sebagai salah satu pemantik bagi IKPI untuk terus berperan aktif memberi masukan kepada DJP, khususnya terkait regulasi.

“Karena kami tidak hanya sekadar followers melainkan juga memberikan masukan dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan regulasi. Pada penyusunan UU HPP, UU tentang Cipta Kerja. Kita ada forum group discussion, kemudian ketika kami diundang, pemerintah minta masukan kepada kami. Masukan kami direkam untuk kemudian dianalisis dan diimplementasikan,” ungkap Ruston yang ditemui usai pemberian penghargaan.

Pada saat penyelenggaraan PPS, IKPI secara masif menyosialisasikannya kepada Wajib Pajak.

“Hasilnya luar biasa, Rp 61 triliun (Pajak Penghasilan/PPh yang dihimpun dari PPS). Saya pastikan IKPI sangat berperan, karena kita 6 ribu (anggota IKPI) memberi edukasi, membawa klien kita, satu klien (per satu anggota) saja berapa banyak?. Seminggu sebelum PPS selesai, kita masih laksanakan sosialisasi yang dihadiri oleh lebih dari tiga ribu orang. Maka, penghargaan ini menjadi semangat bagi IKPI agar bisa lebih berperan dalam reformasi perpajakan,” ungkap Ruston.

Saat ini IKPI tengah mengajukan beberapa usulan terkait beberapa kebijakan, diantaranya perihal konsensus pajak minimum global 15 persen dan kepastian hukum mengenai joint operation.

“Kami tidak setuju dengan pajak minimum global karena penerapannya belum tentu cocok untuk kita, mungkin itu cocok di luar negeri. Karena Indonesia juga pernah menerapkan PPh final, jadi saya kira (pajak minimum global) tidak sesuai konsep pemajakan asas keadilan. Karena yang adil itu kalau untung bayar (pajak), kalau rugi enggak bayar. Kalau pajak minimum global mau untung mau rugi, ya harus bayar,” ujar Ruston.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Shinta Kamdani. Ia berterima kasih kepada DJP atas penghargaan yang diberikan. Sejatinya, upaya reformasi perpajakan dilakukan bersama-sama, baik dari sisi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga pelaku usaha.

“Semoga upaya kita melakukan reformasi perpajakan ke depannya bisa berjalan lebih baik. Sejauh ini antara DJP dengan kami sudah baik sekali, baik KADIN Indonesia maupun APINDO sudah menjalin hubungan yang sangat baik. Kita menjalin hubungan yang sangat strategis dengan DJP. Keterbukaan komunikasi mereka (DJP) selalu mengajak kami bersama-sama menyampaikan (pandangan) objektif, kebijakan-kebijakan, termasuk UU HPP,” ungkap Shinta kepada Majalah Pajak.

 

sumber berita : https://majalahpajak.net/menteri-keuangan-beri-penghargaan-ke-sejumlah-pendukung-reformasi-perpajakan/

Adaptasi dan Inovasi Penyeimbang

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, IKPI ingin terus berinovasi dan beradaptasi dengan kepentingan zaman dalam menjalankan perannya sebagai perantara (intermediaries) Wajib Pajak dan DJP.

MAJALAHPAJAK.NET – Tidak hanya sebagai pelopor, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merupakan organisasi profesi konsultan pajak satu-satunya di Indonesia sejak 27 Agustus 1965 hingga diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111 tahun 2014. PMK yang mengatur tentang konsultan pajak ini membuka kesempatan bagi pendirian asosiasi konsultan pajak lainnya.

Seiring menuanya usia, ketangguhan IKPI semakin teruji. Pun dengan perkembangan jumlah anggota yang terus bertumbuh hingga lebih dari 6000 orang, serta sinergi yang semakin luas baik antar anggota maupun dengan para stakeholder seperti asosiasi pengusaha, perguruan tinggi, dan otoritas.

IKPI juga terus melakukan modernisasi administrasi baik itu kesekretariatan dan kebendaharaan. Salah satu terobosannya adalah aplikasi IKPI Smart yang semakin memudahkan berbagai urusan anggotanya mulai dari pendaftaran anggota, bayar iuran, pendaftaran Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL), dan klaim kredit PPL. Di sisi lain, IKPI punya peran sentral sebagai anggota panitia penyelenggara sertifikasi konsultan pajak.

Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan mengatakan, salah satu inovasi IKPI termutakhir adalah pengaplikasian sistem artificial intelligence (AI) dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi konsultan pajak (USKP). Sistem ini memungkinkan peserta mengikuti USKP dari rumah masing-masing secara daring—sehingga lebih efisien, dengan tetap memastikan pelaksanaannya berjalan aman dan bisa diandalkan.

“Kami menggunakan artificial intelligence yang bisa mendeteksi gerak wajah, mata, dan gerak-gerik yang tidak biasa sebagai instrumen pengawasan pada waktu ujian berlangsung. Menurut saya sistem yang kami jalankan ini baru satu-satunya, dan saya bangga, karena itu juga menjadi penghematan biaya bagi peserta,” kata Ruston kepada Majalah Pajak, Rabu (29/6).

Ruston menyebut, IKPI tak ingin hanya berperan sebagai media penyosialisasi peraturan perpajakan, tapi juga lebih terlibat dalam diskusi perumusan aturan perpajakan, sehingga bisa memberikan manfaat yang maksimal berdasarkan pengetahuan serta pengalaman dalam menjalankan praktik sebagai konsultan pajak.

Saat suatu aturan telah ditetapkan, IKPI juga menjadi penyeimbang antara pemerintah dengan Wajib Pajak (WP), dengan melakukan focus group discussion dan memberikan berbagai usulan kepada DJP.

“DJP pasti enggak sembarangan mengeluarkan aturan. Tapi yang namanya peraturan, dikejar waktu, bisa saja ada yang terlewat. Nah, kamilah yang berperan—kira-kira kalau peraturan ini diterapkan bisa menimbulkan dispute atau enggak?” jelasnya.

Menurutnya, seorang konsultan pajak harus punya pemahaman yang mumpuni, melewati uji kompetensi yang ditunjukkan dengan pemilikan sertifikat agar jadi kuasa yang andal untuk WP. Syarat ini, seyogianya juga diterapkan kepada kuasa yang bukan berasal dari konsultan pajak.

“Kami perlu menjaga martabat profesi kami yang notabene membantu WP dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya dan sekaligus menjadi mitra DJP dalam meningkatkan kepatuhan WP. Bayangkan, kalau ada orang yang enggak kompeten jadi kuasa. Kalau kita lihat dari sisi perlindungan konsumen, WP berhak atas pelayanan atau kuasa yang kompeten,” ujar pengagum Profesor R. Mansury ini.

Ia juga bilang, konsultan pajak harus mampu beradaptasi, menganalisis, serta menginterpretasi suatu aturan baru agar bisa menjelaskan kepada klien— terutama jika kebijakan itu belum terbit aturan turunannya. Ruston berharap pemerintah dapat mengeluarkan peraturan bersamaan dengan aturan pelaksanaannya dan melakukan sosialisasi sebelum undang-undang dikeluarkan.

Di momen Hari Pajak tahun ini, Ruston mengusulkan DJP bekerja sama dengan berbagai pihak untuk membuat film yang menarik, yang menyelipkan pesan perpajakan tanpa menggurui—dan diputar secara gratis.

“Mungkin orang akan ingat, ‘Wah, ini Hari Pajak—nonton gratis.’ Jadi, orang mulai terangsang untuk bayar pajak,” tutup Ruston.

 

sumber berita : https://majalahpajak.net/adaptasi-dan-inovasi-penyeimbang/

PRESS RELEASE Jakarta, 03 Juni 2022

News

Penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning) agresif yang dilakukan dengan memanfaatkan celah dan perbedaan peraturan perpajakan berbagai negara/yurisdiksi untuk menggeser keuntungan ke negara/yurisdiksi lainnya yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah.

OECD dan G20 memotori usaha bersama dalam skala global untuk mengatasi mencegah dan mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Upaya tersebut dikenal dengan BEPS Project.

Sebagai bagian dari BEPS Project, pada bulan Desember 2021, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menerbitkan publikasi The Pillar Two Model Rules yang disebut juga dengan GloBe Rules sebagai tindak lanjut kesepakatan 137 negara anggota Inclusive Work pada bulan Oktober 2021 untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif 15% yang akan diberlakukan terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan secara konsolidasi di atas EUR750 juta. Selanjutnya pada bulan Maret 2022, Sekretariat OECD juga mempublikasikan Commentary atas GloBe Rules tersebut.

Penerapan pajak minimum global tersebut akan berdampak pada kebijakan pemberian insentif perpajakan di Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri yaitu berupa tax holiday, tax allowance dan super deduction, karena pemberian insentif cenderung  menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional yang memperoleh insentif tidak membayar pajak dalam kurun waktu tertentu atau membayar pajak dibawah tarif pajak efektif sebesar 15%. Hal ini berakibat pada perusahaan induknya berkedudukan di negara/yurisdiksi lain wajib membayar pajak atas selisih atau kekurangan dari tarif 15% pajak minimum global. Akhirnya perusahaan multinasional di Indonesia tidak dapat menikmati insentif yang diberikan pemerintah Indonesia yang dari semula diberikan untuk menarik investasi. Oleh karena itu, dengan berlakunya nanti pajak minimum global, pemerintah perlu mengkaji ulang karena pemberian insentif menjadi tidak efektif.

Berhubung pajak minimum global akan diberlakukan pada awal Januari 2023, maka negara-negara anggota Inclusive Framework yang akan menerapkan aturan pajak global minimum diminta untuk mengadopsi aturan tersebut dalam ketentuan domestiknya dalam tahun 2022. Penerapan Pajak Minimum Global bukan merupakan keharusan. Namun jika suatu negara memilih untuk ikut menerapkan GloBe Rules, maka pengaturannya dalam ketentuan domestik negara tersebut wajib mengikuti petunjuk yang diterbitkan oleh OECD/G20 Inclusive Framework dalam GloBe Rules termasuk Commentary nya.

Pasal 32A UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP) memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (BEPS). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut penerapan pajak minimum global dapat diwujudkan  dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan penjabaran yang lebih teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai asosiasi konsultan terkemuka di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indoesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI dengan dukungan dari Alumni Belgia di Indonesia – mengundang Prof. Luc De Broe – Professor in International Tax Law pada KU Leuven (“Katholieke Universiteit of Leuven – Belgia”) menjadi narasumber pada “international tax law class” dengan topik “Global Minimum Taxation; Theory, Policy and Application – Sharing From Belgium Experiences”.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas  terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses website kami di https://ikpi.or.id/ atau melalui email di sekretariat@ikpi.or.id.

 

 

Media Kontak
Ronsi B. Daur
Kabid Humas Eksternal IKPI
Email: ronsibdaur73@gmail.com
Phone: 62 812-9989-557

Bagikan Berita Ini

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM DALAM PENGENAAN PPN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI

3x4 (2)

News

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

A. Pendahuluan

Pemakaian sendiri atau private use pada umumnya diklasifikasikan sebagai penyerahan yang dikenakan PPN dalam mekanisme pemungutan PPN. Alan Tait juga mendefinisikan penyerahan yang salah satunya adalah pemakaian sendiri. Diklasifikasikannya pemakaian sendiri sebagai penyerahan sesungguhnya suatu hal yang logis dalam rangka memelihara tercapainya tujuan PPN sebagai pemajakan atas konsumsi yang menggunakan mekanisme kredit pajak. Dengan diperkenankannya PPN yang dibayar kepada Pemasok sebagai kredit pajak atau Pajak Masukan (selanjutnya disingkat dengan PM), maka pemakaian sendiri mau tidak mau harus dikenakan PPN. Jika tidak dikenakan PPN, terjadilah konsumsi barang/jasa tanpa membayar PPN yang mana hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya PM-nya sudah dikreditkan (atau bahkan sudah direstitusi) namun tidak ada Pajak Keluarannya.

Meskipun pencegahan konsumsi (berupa pemakaian sendiri) tanpa membayar PPN dapat juga ditempuh dengan cara tidak boleh dikredirkannya PM terkait dengan pemakaian sendiri, namun dalam prakteknya alternatif memilah PM yang terkait dan yang tidak terkait dengan pemakaian sendiri lebih sulit ketimbang alternatif mengenakan PPN atas pemakaian sendiri.. Demikianlah, negara-negara yang menerapkan PPN sebagai Pajak Konsumsinya pada umumnya menjadikan pemakaian sendiri sebagai salah satu obyek PPN, seperti juga Indonesia. Sejak awal (sejak UU No. 8 Tahun 1983) sampai dengan UU terbaru (UU No. 11 Tahun 2020) pemakaian sendiri merupakan salah satu hal yang dianggap sebagai penyerahan, sehingga pemakaian sendiri atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan (merupakan obyek) PPN.

Isu PPN atas pemakaian sendiri meliputi definisi pemakaian sendiri, Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) dan tentang Faktur Pajaknya . Isu-isu tersebut akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di Indonesia. Di samping itu tentu akan diuraikan persoalan-persoalan yang terkandung pada isu-isu tersebut. Penulis berharap sedikitnya tulisan ini akan memperkaya  pengetahuan Pembaca tentang perlakuan PPN atas pemakaian sendiri dan persoalan-persoalannya.

B. Isi

Definisi pemakaian sendiri menurut UU PPN yang pertama dan kedua (UU No. 8 Tahun 1983 dan UU No. 11 Tahun 1994) adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan. Selanjutnya menurut UU PPN ketiga sampai UU kelima (UU No. 11 Tahun 2020) definisi pemakaian sendiri menjadi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Kedua definisi tersebut pada hakekatnya tidak berbeda, yang mana yang terakhir hanya lebih mempertegas bahwa walaupun bukan hasil produk sendiri, ,tetap atas pemakaian sendirinya merupakan obyek PPN. Pemakaian sendiri pada kegiatan usaha yang berbentuk perdagangan barang akan mudah

menjustifikasi telah terjadinya konsumsi barang. Sebaliknya, pada kegiatan usaha berbentuk produksi yang terdiri lebih dari satu tahapan akan dijumpai kemungkinan terjadinya pemakaian sendiri atas hasil dari kegiatan pada suatu tahap untuk kegiatan tahap berikutnya. Atas pemakaian sendiri seperti ini memunculkan pertanyaan, apakah sudah harus dikenakan PPN atau belum?

Pada awal berlakunya UU PPN pernah diterbitkan SE-09/1985 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri terutang PPN dengan DPP Harga Jual, namun diperkenankan untuk mengurangkan bagian labanya. Selain itu, atas pemakaian sendiri tidak perlu dibuat Faktur Pajak dan sebagai gantinya cukup dibuatkan catatan “pemakaian sendiri” pada Buku Penjualannya. Selanjutnya pada tahun 1990 diterbitkan SE-12/1990 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri untuk keperluan tahapan produksi berikutnya tidak perlu dipungut PPN. Akhirnya pada tahun 1991 diterbitkanlah SE-01/1991 yang secara tegas membuat pembedaan pemakaian sendiri menjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (contoh: Pabrikan Minuman menggunakan minuman hasil produksinya untuk karyawannya) dan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (contoh: Pabrikan Truck menggunakan Truck hasil produksinya untuk mengangkut spare part dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli).  Atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dikenakan PPN (dibayar Pajak keluaran) namun tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dibayar Pajak Keluaran, namun sekaligus dapat dikreditkan.

Pada era UU PPN yang kedua (UU PPN Tahun 1994) dan ketiga (UU PPN Tahun 2000) diterbitkan Kep. Dirjen. No.87/2002 yang diedarkan dengan SE-04/2002 yang mempertegas definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, DPP-nya serta tentang Faktur Pajaknya. Menurut Kep. Dirjen. tersebut, definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan sehingga tidak terutang PPN. DPP-nya adalah Harga Jual/Nilai Penggantian dikurangi Laba Kotor. Faktur Pajaknya tetap harus dibuat, tanpa membedakan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atau bukan.


 1. Alan A. Tait, Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), 87.

 2. OECD Report, Taxing Consumption (Paris: OECD, 1988), 170

 3. Definisi Pemakaian Sendiri dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1A pada semua UU PPN

Pada era UU PPN yang keempat (UU PPN tahun 2009) ketentuan tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Merujuk kepada Pasal 19 UU PPN tahun 2009, hal ini nampaknya lebih tertib hukum dibanding sebelumnya yang langsung diatur oleh Kep. Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak. Ketentuannya diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 19 ayat (2) beserta penjelasannya. Aturannya dinyatakan serta diberikan contoh secara jelas, dan kusus untuk pemakaian sendiri untuk tujuan produktif lebih dirinci perlakuannya sebagai berikut:

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:

1)

Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.

2)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

1)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

2)

Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Contoh Pemakaiaan sendiri untuk tujuan produktif namun untuk penyerahan yang tidak terutang PPN adalah Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk kendaraan angkutan umumnya atau untuk kendaraan ambulance klinik di perusahaan.

Ketentuan tentang tidak diperlukannya pembuatan Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang diperuntukan pada kegiatan terutang PPN diatur dalam Pasal 19 ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa maksud ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kemudahan administrasi Pengusaha yang bersangkutan, mengingat sekiranya dipungut PPN,  tetap saja menjadi Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Secara teori dan administrasi pemungutan pajak, ketentuan tersebut patut diapresiasi, karena teori pengkreditan PPN tetap dilaksanakan dengan benar dan ketentuan administrasinya memenuhi asas kesederhanaan yang memberikan kenyamanan Pengusaha (convenience dan ease administration).

Sungguhpun demikian, ditinjau dari segi tertib hukum, ternyata ketentuan pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 (yang pada dasarnya hanya merupakan penegasan dan perincian dari ketentuan Kep. Dirjen No. 87/2002 yang “bibit”-nya adalah SE-12/1990) mengandung persoalan-persoalan.

Persoalan hukum dari perlakuan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah sebagaimana diuraikan dalam Uji Materiil oleh KADIN kepada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 yang dikabulkan oleh MA dengan Putusan Nomor 64 P/HUM/2013. Secara ringkas Uji Materiil KADIN dapat diuraikan bahwa persoalan hukum yang pertama adalah bahwa pembedaan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif tidak diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pembedaan tersebut dianggap menyimpang dari materi yang diatur dalam UU PPN, sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan karenanya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri dalam PP No. 1 Tahun 2012 cacat hukum. Persoalan Hukum yang kedua adalah bahwa alasan tidak dipungutnya PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tidak sesuai dengan ketentuan fasilitas PPN yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Dinyatakan oleh KADIN bahwa alasan kemudahan administrasi Pengusaha pada ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN. Persoalan hukum yang ketiga adalah tidak diharuskannya membuat Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012. Menurut KADIN ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN yang mengharuskan atas setiap penyerahan BKP/JKP dibuatkan Faktur Pajak. Putusan MA atas Uji Materiil oleh KADIN tentang persoalan-persoalan tersebut dikabulkan dengan pernyataan bahwa ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tidak berlaku umum.

Dengan adanya Putusan MA tersebut seharusnya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Biasanya apabila ada Putusan MA yang membatalkan Peraturan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah menerbitkan aturan yang menyesuaikan dengan Putusan tersebut. Faktanya sampai saat ini aturan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tetap belum diubah, bahkan dengan terbitnya PP No. 9 Tahun 2021 (yang sebagian mengubah PP No. 1 Tahun 2012) ada satu hal yang menarik, yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 dihapuskan. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut (tentang tidak perlu dibuatnya faktur pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya), berarti walaupun tidak dipungut PPN, PKP yang melakukan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tetap harus buat Faktur Pajak. Akibatnya kemudahan administrasi yang sebelumnya dituju, menjadi tidak tercapai.

Satu persoalan hukum lainnya terkait dengan PPN atas pemakaian sendiri adalah ketentuan belum dianggapnya pemakaian sendiri sebagai penyerahan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 18 Tahun 2021 mengenai ketentuan PKP yang belum melakukan penyerahan dalam hubungannya dengan kewajiban membayar Kembali PPN yang telah dikreditkan/dikembalikan.  Ketentuan ini menimbulkan persoalan, karena pemakaian sendiri menurut UU PPN terutang PPN sehingga harus dibayar Pajak Keluarannya (kecuali atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 jo PP No. 9 Tahun 2021). Dengan belum dianggapnya sebagai penyerahan, maka dalam hal terjadi pemakaian sendiri dan PKP tersebut tidak melakukan penyerahan sampai batas waktu yang ditentukan, maka terjadilah konsumsi yang dibayar PPN-nya dua kali, yaitu pertama dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dan kedua dari Pajak Keluaran yang harus diperhitungkan/dibayar.

C. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan PPN memberlakukan PPN atas pemakaian sendiri secara hati-hati dan terukur, meskipun pada awalnya belum terpola.  Hal ini ditunjukan dengan adaanya pembedaan perlakuan atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif, bahkan untuk yang bertujuan produktifpun dibedakan lagi dari sifat penyerahannya (terutang PPN atau tidak). Walaupun demikian perlakuan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum sebagaimana dikemukakan oleh KADIN dan Uji Materiil ke MA.

Untuk itu dengan ini disarankan Pemerintah dan DPR segera membuat aturan baru yang lebih memenuhi kaidah hukum tanpa terlepas dari pemenuhan teori PPN yang tepat, serta pemenuhan asas kemudahan administrasi. Sesungguhnya saat ini ada satu kesempatan terbuka luas untuk melakukan hal tersebut yaitu pada saat pembentukan UU KUP baru dalam waktu dekat nanti. Caranya adalah memindahkan ketentuan PPN atas pemakaian sendiri sesuai dengan ketentuan PP No. 1 Tahun 2012 ke Undang-Undang. Dengan cara itulah maka persoalan-persoalan hukum seperti yang diuraikan di atas menjadi sirna.

Khusus tentang ketentuan belum diakuinya pemakaian sendiri sebagai penyerahan pada kasus PKP belum melakukan penyerahan yang diatur dalam PMK No.18 Tahun 2021, kiranya dapat diubah PMK-nya dengan tidak diwajibkannya membayar kembali Pajak Masukan terkait dengan pemakaian sendiri.


 

3x4 (2)

Nama                                    :    Bambang Pratiknyo

NRA                                    :   003244

Anggota IKPI Cabang         :    Bekasi

Sekilas tentang Penulis       :    Tax Manager DSH Tax Consulting

 

Bagikan Berita Ini
en_US