Pergantian Pejabat DJP: 19 Nama Baru Ditugaskan Benahi Coretax dan Layanan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 19 pejabat baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jumat (13/6/2025). Dalam arahannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa para pejabat ini memiliki tanggung jawab penting dalam menyukseskan pembenahan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya Coretax.

“Perbaiki sistem Coretax yang sedang kita bangun, jalankan, dan yakinkan sistem ini mampu melayani Wajib Pajak secara mudah, sekaligus memperkuat fungsi DJP dalam menghimpun penerimaan negara secara efisien, akuntabel, dan adil,” ujar Sri Mulyani saat pelantikan.

Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang menjadi tulang punggung reformasi digital DJP. Pemerintah berharap sistem ini mampu meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan perpajakan.

Sri Mulyani juga mendorong seluruh jajaran DJP untuk terus memperkuat organisasi, tata kelola, dan sumber daya manusia—baik dari sisi struktur maupun fungsi. Menurutnya, tantangan DJP ke depan bukan hanya soal target penerimaan, tetapi juga kepercayaan publik.

Berikut daftar lengkap 19 pejabat DJP yang baru dilantik:

1. Sigit Danang Joyo – Sekretaris Direktorat Jenderal

2. Heri Kuswanto – Direktur Peraturan Perpajakan II

3. Arif Yuniar – Direktur Pemeriksaan dan Penagihan

4. Etty Rachmiyanthi – Direktur Keberatan dan Banding

5. Rosmauli – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas

6. Belis Siswanto – Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDA

7. Neilmaldrin Noor – Direktur Intelijen Perpajakan

8. Retno Sri Sulistyani – Kepala Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

9. Dwi Astuti – Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II

10.Aim Nursalim Saleh – Kepala Kanwil DJP Banten

11. Teguh Budiharto – Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah II

12. Samingun – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I

13. Untung Supardi – Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III

14. Hermiyana – Kepala Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara

15. Samon Jaya – Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara

16. Edward H. Sianipar – Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

17. Kindy Rinaldy Syahrir – Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi

18. Mukhammad Faisal Artjan – Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM

19. Poltak Maruli J.L. Hutagaol – Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pelantikan ini menjadi bagian dari penguatan struktur DJP di tengah upaya modernisasi perpajakan. Dengan komposisi baru ini, diharapkan Coretax benar-benar menjadi fondasi kuat untuk sistem pajak Indonesia yang transparan, profesional, dan terpercaya. (bl)

Akuntansi Benteng Pertahanan Wajib Pajak Dalam Kasus Pemeriksaan Pajak

Literasi akuntansi di Indonesia masih tergolong rendah, sebagaimana terlihat dari pengalaman saya mengajar mata kuliah akuntansi di beberapa universitas di Jakarta. Bahkan, banyak mahasiswa jurusan akuntansi merasa bahwa disiplin ilmu ini merupakan tantangan yang berat.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Akuntansi membutuhkan ketelitian tinggi dan keterampilan berhitung di atas rata-rata.

2. Diperlukan daya nalar yang kuat serta kemampuan abstraksi untuk memahami standar akuntansi yang rigid.

3. Logika yang baik menjadi faktor krusial dalam penerapan konsep akuntansi dengan benar.

Tidak mengherankan bahwa untuk diterima masuk ke program studi akuntansi di universitas negeri terkemuka, seperti UI, UGM, UNDIP, UNPAD, UNAIR & UB (layer pertama) membutuhkan nilai UTBK yang tinggi, umumnya di atas 700, sehingga hanya kandidat dengan kecerdasan akademik unggul yang dapat diterima.

Terbatasnya Lulusan Akuntansi Berkualitas dan Dampaknya

Sehubungan daya tampung mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi unggulan sangat terbatas, akibatnya jumlah lulusan relatif sedikit dan kebanyakan dari lulusan tersebut langsung direkrut oleh perusahaan besar. Akibatnya, perusahaan kecil dan menengah tidak kebagian, sehingga mereka terpaksa harus merekrut lulusan akuntansi dari universitas layer dua dan seterusnya, yang secara relatif kualitas akademiknya lebih rendah dibandingkan lulusan dari universitas layer pertama.

Konsekuensi dari keterbatasan tenaga akuntansi berkualitas antara lain:

1. Proses pencatatan keuangan yang tidak memenuhi standar, mengakibatkan laporan keuangan yang kurang kredibel dan reliabel.

2. Penguasaan standar akuntansi lemah, padahal standar akuntansi yang menjadikan laporan keuangan menjadi lebih berharga.

3. Kesalahan dalam pelaporan pajak, khususnya dalam penyusunan koreksi fiskal.

Urgensi Pembukuan Akurat dalam Pemeriksaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP, jumlah pajak terutang harus ditetapkan berdasarkan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi. Jika pembukuan tidak akurat, pemeriksa pajak berhak menetapkan pajak terutang berdasarkan perhitungan sendiri, dan hal ini berpotensi meningkatkan risiko bagi wajib pajak dalam bentuk beban pajak menjadi tidak efisien, atau beban pajak tidak tepat.

Oleh karena itu, wajib pajak harus menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini penting, untuk memastikan wajib pajak patuh terhadap regulasi perpajakan. Kepatuhan wajib pajak mengakibatkan laporan keuangan menjadi transparan, akuntabel sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pemeriksaan pajak akibat adanya permohonan restitusi, sering ditemukan perbedaan total penjualan dalam laporan laba rugi dan SPT PPN. Perbedaan ini akan memicu pertanyaan dari pemeriksa pajak, karena perbedaan timbul pasti akibat adanya sesuatu hal yang tidak sesuai standar akuntansi atau peraturan perpajakan.

Melihat kondisi ini, pemeriksa pajak biasanya akan menguji dan memvaliditasi pembukuan dengan cara mengajukan pertanyaan sederhana seperti berikut ini:

1. Berapa jumlah penjualan yang sebenarnya? Apakah sesuai dengan SPT PPN atau laporan laba rugi?

2. Jika wajib pajak tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, hal ini mengindikasikan bahwa pembukuan dan SPT ada masalah.

3. Ketidakmampuan menjelaskan perbedaan antara laporan keuangan dan SPT PPN dapat menjadi dasar bagi pemeriksa pajak untuk mempertanyakan kebenaran klaim restitusi pajak tersebut?

Situasi ini sering terjadi dalam praktik. Oleh karena itu, literasi akuntansi staf perpajakan perusahaan harus menjadi perhatian pengurus perusahaan, karena kalau tidak diperhatikan, artinya ada kesengajaan pengurus perusahaan untuk tidak bertanggungjawab terhadap aset perusahaan.

Studi Kasus: Dilema Laporan Keuangan yang Meragukan dalam Pengajuan Restitusi PPN.

Sebagai ilustrasi, PT XYZ adalah perusahaan properti yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak awal berdiri tahun 2022. Dalam dua tahun pertama, PT XYZ tidak memiliki penjualan sehubungan dengan properti yang dimilikinya sedang dalam proses konstruksi, sehingga belum bisa disewakan dan konsekwensinya tidak ada penjualan dan tidak bisa menerbitkan Faktur Pajak Keluaran. Sementara itu, sejak awal berdirinya perusahaan, tetap menerima Faktur Pajak Masukan atas pengeluaran yang dibayarkan kepada kontraktornya, akibatnya terjadilah PPN lebih bayar Rp30.000.000.000,-.

Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa proses pembukuan PT XYZ tidak disusun sesuai dengan kaidah atau standar akuntansi yang berlaku umum, misalnya tidak terdapat dokumen pengeluaran kas berupa bukti transfer, invoice dan faktur pajak terkait. Selain itu, terdapat perhitungan beban tidak berlandaskan kontrak atau berita acara penerimaan pekerjaan yang jelas, sehingga pertanggungjawaban aset perusahaan menjadi tidak jelas dan lengkap. Semua kejadian ini, diakibatkan oleh karena staff akuntansi yang bertanggungjawab menjalankan proses akuntansi tidak memahami konsekwensi logis dan hukum atas keteledorannya.

Selanjutnya, ketika melihat dan menimbang jumlah PPN lebih bayar tersebut, Direktur Keuangan menghadapi dilema: dimana, jika pemeriksaan pajak kelak hanya mengakui pajak lebih bayar sebesar Rp20 miliar, dengan demikian, perusahaan akan mencatatkan kerugian Rp10 miliar. Kondisi ini pasti mengakibatkan implikasi yang sangat besar dan konsekwensinya berat terhadap Direktur Keuangan, karena mentriger adanya pertanyaan kritis dari pemegang saham perusahaan.

Untuk menghindari risiko tersebut, Direktur Keuangan biasanya akan memilih untuk tidak mengajukan restitusi yang berimplikasi terhadap pemeriksaan, melainkan akan memilih jalur dengan cara mengklaim PPN lebih bayar secara bertahap melalui pengkreditan PPN lebih bayar hingga jumlahnya mencapai Rp10 miliar.

Disinilah pembuktian bahwa, Akutansi merupakan benteng pertahanan wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Dalam kasus ini, bilamana laporan keuangan yang dimiliki oleh PT XYZ reliable dan akuntabel, pasti Direktur Keuangan PT XYZ tidak ragu sedikitpun untuk melakukan restitusi PPN lebih bayar yang berimplikasi adanya pemeriksaan. Karena dengan bekal penerapan standar akuntansi yang benar, Direktur Keuangan akan berani fight mempertahakan kebenaran yang disajikan dalam laporan keuangan.

Kesimpulan: Akuntansi dan Pajak Harus Terintegrasi

Setiap pencatatan dalam pembukuan perusahaan memiliki dampak hukum dan harus dipertanggungjawabkan secara akurat. Oleh karena itu, akuntansi tidak dapat dianggap sebagai sekadar proses administrasi pencatatan transaksi yang bisa dimanipulasi sesuka hati anda.

Perusahaan harus memastikan bahwa individu yang bertanggung jawab dalam bidang akuntansi harus memiliki kompetensi teknis tinggi dan professional serta mampu mengintegrasikan aspek akuntansi dan perpajakan dalam laporan keuangan dan SPT Pajak.

Dampak Rendahnya Literasi Akuntansi terhadap Kepatuhan Pajak

Minimnya pemahaman akuntansi dapat mengakibatkan:

1. Kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan, yang berujung pada ketidaksesuaian dengan SPT pajak.

2. Lemahnya posisi wajib pajak saat pemeriksaan, sehingga lebih mudah menerima koreksi pajak yang berpotensi merugikan.

3. Kurangnya kontrol terhadap aspek krusial yang memastikan laporan keuangan sesuai dengan regulasi dan standar akuntansi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Perintis Reformasi Profesi Keuangan dan Pendukung Lahirnya UU Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpengalaman dan berdedikasi tinggi. Dr. Erawati, S.H., K.N., M.T. saat ini resmi menjabat sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan di Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kemenkeu. Penugasan ini diumumkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, menandai langkah lanjutan penguatan tata kelola profesi keuangan di Indonesia.

Sosok ceria dan pembawa energi positif ini lahir di Temanggung, 1 Maret 1971, Dr. Erawati telah meniti karier panjang di Kementerian Keuangan sejak 1997. Ia dikenal sebagai birokrat andal yang konsisten memperjuangkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dukungan aktif terhadap ide lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak—sebuah tonggak penting dalam sejarah regulasi perpajakan Indonesia.

UU Konsultan Pajak, Pilar Kepastian dan Integritas

Keberadaan Undang-Undang Konsultan Pajak sangat krusial untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi praktik profesi konsultan pajak di Indonesia. Selama ini, konsultan pajak berperan sebagai perantara (intermediaries) penting antara wajib pajak dan otoritas pajak, namun belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif. Hal ini kerap menimbulkan celah dalam pengawasan dan potensi pelanggaran etika profesional.

Melalui UU ini, batasan kewenangan, standar kompetensi, serta mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap konsultan pajak menjadi lebih jelas. Tidak hanya melindungi wajib pajak dari praktik jasa perpajakan yang tidak profesional, UU ini juga mendorong konsultan pajak untuk berperan lebih aktif dalam mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.

Bagi negara, hal ini berdampak langsung pada peningkatan kualitas penerimaan pajak dan kepastian hukum.

Rekam Jejak dan Prestasi

Dr. Erawati menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (1995), kemudian meraih gelar Magister Teknik di Institut Teknologi Bandung (2006), dan gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Keuangan Negara di UGM pada 2021. Perpaduan keilmuan hukum dan teknokratis menjadikannya figur unik dalam birokrasi fiskal.

Kariernya mencakup berbagai posisi strategis di Direktorat Jenderal Anggaran, termasuk Kepala Seksi Dukungan Teknis (2007), Kepala Subdirektorat Anggaran IC (2011), serta Kepala Subdirektorat Anggaran Sektor Pertanian, Kelautan dan Kehutanan (2016).

Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN (2019), dan terakhir, Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (2023).

Kini, sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan, Dr. Erawati diharapkan menjadi motor penggerak dalam memperkuat tata kelola profesi strategis seperti konsultan pajak, akuntan publik, aktuaris, dan penilai. Dengan pendekatan yang integratif dan berbasis regulasi yang kuat, ia membawa harapan akan hadirnya ekosistem profesi keuangan yang kredibel, beretika, dan berpihak pada kepentingan publik. (bl)

Lelang Aset Penunggak Pajak Digelar 25 Juni, DJP Jakarta Barat Siap Tawarkan 15 Barang Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan keseriusannya dalam menegakkan hukum perpajakan melalui aksi nyata. Kali ini, Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat akan menggelar lelang eksekusi atas aset hasil penyitaan dari para penunggak pajak, Rabu, 25 Juni 2025 mendatang. Lelang ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta dan akan dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id.

Sebanyak 15 barang bergerak dari berbagai jenis siap ditawarkan kepada publik. Mulai dari kendaraan roda dua dan roda empat, hingga alat berat dan perangkat medis, semua berasal dari delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat. Penyitaan dan lelang ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif utang pajak yang terus diintensifkan.

“Aset yang telah disita ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas dan terukur,” ujar DJP dalam keterangannya, Senin (15/6/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memulihkan penerimaan negara, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa penunggakan pajak tidak akan dibiarkan. DJP ingin menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kepatuhan dan memberikan efek jera bagi wajib pajak yang abai terhadap kewajibannya.

Lelang dilakukan secara transparan dan terbuka bagi masyarakat umum dengan sistem open bidding tanpa kehadiran fisik peserta. Penetapan pemenang dilakukan di hari yang sama.

Deretan Barang yang Akan Dilelang:

1. Toyota HILUX 2.46 DC 4X4 MT

2. Toyota Harrier 2.4 AT

3. Toyota Rush 1.5G M.T

4. Volvo XC90 2.9 T6 (2005)

5. Nissan X-Trail 2.5 ST A/T (2010)

6. Sepeda motor Honda Revo

7. Yamaha NMAX

8. Honda Vario 150 cc

9. Sepeda motor listrik Alessa

10. Honda Vario

11. Honda Beat

12. Sistem Video Integrasi Ruang Operasi

13. 5 unit Air Purifier Novaerus NV800

14. Forklift/Reach Truck

15. Truk Tronton (Tractor Head)

Ketentuan dan Mekanisme Lelang:

  1. Waktu pelaksanaan: Rabu, 25 Juni 2025 pukul 10.00–11.30 WIB
  2. Akses objek lelang: Dapat dilihat sejak pengumuman lelang
  3. Syarat peserta: Wajib memiliki akun terverifikasi di portal.lelang.go.id
  4. Jaminan lelang: Harus diterima efektif oleh KPKNL paling lambat H-1 melalui virtual account
  5. Penawaran: Dimulai dari nilai limit, dan peserta dapat mengajukan penawaran berulang
  6. Pembayaran pemenang: Pokok Lelang + Bea Lelang 3% dibayar maksimal 5 hari kerja setelah lelang

DJP mengimbau masyarakat untuk mengikuti lelang ini secara bijak dan memanfaatkan kesempatan memiliki barang bernilai dengan prosedur resmi yang sah. Selain itu, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga kontribusi nyata dalam membangun negara.

 

 

Utang Indonesia Tembus Rp7.000 Triliun, Bank Indonesia Pastikan Masih Aman

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$431,5 miliar atau sekitar Rp7.039,4 triliun per April 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,2 persen (year-on-year), meningkat dibandingkan Maret lalu yang tumbuh 6,4 persen.

Kenaikan ULN ini terutama berasal dari sektor pemerintah, dengan nilai mencapai US$208,8 miliar atau naik 10,4 persen secara tahunan. BI menjelaskan bahwa pertumbuhan utang tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta meningkatnya aliran dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, meski pasar keuangan global tengah diliputi ketidakpastian.

Dari sisi pemanfaatannya, ULN pemerintah difokuskan untuk sektor-sektor strategis. Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 22,3 persen dari total utang pemerintah, disusul administrasi pemerintahan dan pertahanan (18,7 persen), jasa pendidikan (16,4 persen), konstruksi (12 persen), serta transportasi dan pergudangan (8,7 persen).

Sementara itu, ULN swasta tercatat sebesar US$194,8 miliar. Meski angkanya tetap besar, ULN swasta justru mengalami kontraksi 0,6 persen (yoy), melandai dari kontraksi 1 persen pada bulan sebelumnya.

Meski total utang meningkat, BI menegaskan posisi ULN Indonesia masih dalam kategori terkendali. Hal ini dikarenakan dominasi utang berjangka panjang. Tercatat, 99,9 persen dari total ULN pemerintah dan 76,9 persen dari ULN swasta merupakan utang jangka panjang, yang dinilai lebih aman bagi ketahanan eksternal negara.

BI memastikan akan terus memantau perkembangan ULN secara cermat guna menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung keberlanjutan pembiayaan pembangunan nasional. (alf)

 

 

Penerimaan PPN dan PPnBM Terkoreksi 19,6%, Restitusi Jadi Penyebab Utama

IKPI, Jakarta: Hingga April 2025, penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp175,7 triliun. Namun, capaian tersebut mengalami kontraksi tajam sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, meskipun terbatas untuk penyerahan barang mewah. Kebijakan ini semula diharapkan menjadi pendorong tambahan bagi penerimaan pajak konsumsi, namun realisasi di lapangan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif tersebut terhadap total penerimaan PPN dan PPnBM masih dalam tahap evaluasi lebih lanjut. Pihak otoritas fiskal berhati-hati dalam membaca tren karena sejumlah faktor eksternal mempengaruhi arus masuk pajak.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, turut menanggapi kondisi ini. Ia menyebut bahwa kontribusi kenaikan tarif PPN 12% terhadap barang mewah hanya menyumbang sedikit terhadap penerimaan nasional.

“Simulasi kami menunjukkan potensi tambahan penerimaan hanya sekitar Rp1,7 triliun. Pemerintah memproyeksikan hingga Rp3 triliun, tapi angka itu tetap belum cukup besar secara proporsional,” ujar Fajry, dikutip Minggu (15/6/2025).

Fajry menjelaskan bahwa faktor utama penurunan penerimaan bukan terletak pada lesunya konsumsi, melainkan ledakan klaim restitusi pajak pada awal tahun. Menurutnya, tren peningkatan restitusi PPN telah terjadi dalam dua tahun terakhir.

“Kondisinya mirip dengan tahun lalu. Saat restitusi PPN melonjak di awal tahun, penerimaan neto ikut tertekan. Ini murni karena pajak masukan yang besar, utamanya dari pembelian bahan baku,” jelasnya.

Fenomena yang disebut front loading ini terjadi ketika pelaku usaha melakukan pembelian besar-besaran bahan baku sebelum tren kenaikan harga atau ketidakpastian ekonomi. Tahun ini, ketidakpastian dipicu oleh situasi global pasca-terpilihnya Donald Trump dan memanasnya geopolitik.

Ia juga menyoroti bagaimana pengelolaan kas negara mempengaruhi pola restitusi. Di akhir 2024, beban belanja pemerintah meningkat tajam karena Pemilu dan Pilkada. Untuk menjaga likuiditas, sebagian besar restitusi ditunda pembayarannya dan baru dicairkan di awal 2025.

Meski demikian, ia tetap optimistis kondisi akan membaik seiring berjalannya waktu. “Pertumbuhan restitusi secara tahunan sudah mulai melandai. Artinya, tekanan terhadap penerimaan neto PPN dan PPnBM mulai berkurang di bulan-bulan berikutnya,” kata Fajry. (alf)

 

 

Pemkot Malang akan Kembali Berlakukan Pajak Kos 

IKPI, Jakarta: Setelah setahun kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 8 miliar per tahun akibat pembebasan pajak kos, Pemerintah Kota Malang mulai menggodok rencana untuk kembali mengenakan pajak atas bisnis kos-kosan. Langkah ini tengah dipertimbangkan seiring pesatnya pertumbuhan rumah kos (rukos) di kota tersebut.

Pajak kos resmi ditiadakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang menghapus kategori pajak kos dari daftar pungutan daerah. Namun, perkembangan signifikan sektor kos-kosan mendorong Pemkot Malang untuk mencari celah hukum agar pungutan bisa diberlakukan kembali.

“Dua tahun terakhir ini bisnis rukos berkembang pesat, terutama di kawasan Lowokwaru. Tren rukos menawarkan fasilitas lebih lengkap dan keleluasaan bagi penghuni karena biasanya tanpa pemilik tinggal serumah,” ungkap Kepala Dinas Naker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, dikutip Senin (16/6/2025).

Melihat geliat sektor ini, Pemkot Malang berharap pemerintah pusat dapat memberikan keringanan atau opsi kebijakan agar pajak kos bisa kembali dipungut. Menurut Arif, tingginya pertumbuhan jumlah kos menjadikan sektor ini sumber pendapatan daerah yang layak dioptimalkan.

Sementara itu, DPRD Kota Malang melalui Komisi B menyatakan tengah membahas rencana ini bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Anggota Komisi B, Indra Permana, menilai sudah saatnya ada revisi regulasi lokal untuk mengakomodasi potensi tersebut. “Sebagai kota pendidikan, Malang harus memiliki formulasi kebijakan yang adil namun tetap produktif,” katanya.

Namun, Kepala Bapenda Kota Malang, Handi Priyanto, menegaskan bahwa pihaknya tetap mengacu pada ketentuan UU HKPD. Ia menyebutkan, selama aturan pusat belum berubah, pihaknya belum bisa melakukan pungutan pajak atas kos-kosan.

“Kami masih patuh pada regulasi yang ada. Pajak kos sebelumnya masuk kategori pajak hotel, dengan kriteria lebih dari 10 kamar dan sistem sewa bulanan,” jelasnya.

Dengan potensi penerimaan miliaran rupiah dan kondisi riil di lapangan yang mendukung, wacana pemungutan kembali pajak kos di Kota Malang kini menjadi salah satu isu strategis dalam penyusunan ulang regulasi perpajakan daerah. (alf)

 

PKP Pedagang Eceran Kini Bisa Buat Faktur Pajak 

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberi kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dalam pembuatan faktur pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang memperoleh fasilitas perpajakan.

Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) PER-11/PJ/2025, PKP pedagang eceran diperbolehkan membuat faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), khusus untuk transaksi yang mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah (DTP).

Dalam regulasi tersebut juga ditegaskan bahwa faktur pajak jenis ini dapat dilengkapi keterangan mengenai fasilitas yang diberikan, termasuk dasar hukum perpajakan yang mendasarinya. Artinya, transparansi informasi tetap dijaga meskipun format faktur disederhanakan.

Menariknya, PKP pedagang eceran tidak wajib mencantumkan identitas pembeli atau penerima jasa, serta tanda tangan pihak yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 huruf b dan g. Ketentuan ini berlaku khusus untuk penyerahan kepada konsumen akhir, di mana identitas pembeli cenderung tidak relevan untuk keperluan administratif perpajakan.

Meski bersifat ringkas, faktur pajak tersebut tetap harus memuat unsur minimum, yakni nama, alamat, dan NPWP pihak yang menyerahkan BKP atau JKP, jenis dan jumlah barang atau jasa, nilai transaksi, besaran PPN atau PPnBM yang dipungut, serta kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur.

Nama dan alamat pelaku usaha harus sesuai dengan data yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu, alamat kegiatan usaha juga dapat dicantumkan jika berbeda dengan alamat pengukuhan PKP.

Kemudahan ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan PKP eceran dalam pelaporan pajak serta memperlancar administrasi fiskal, khususnya pada transaksi retail yang berfrekuensi tinggi namun nilainya relatif kecil. (alf)

 

Anggota Berperan Aktif Dalam Memilih Logo HUT ke-60

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengajak seluruh anggotanya untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan logo resmi perayaan tersebut. Voting terbuka hingga 17 Juni 2025 pukul 23.59 WIB dan dilakukan secara online melalui tautan resmi panitia.

Ketua Panitia HUT, Nuryadin Rahman, menyampaikan pentingnya partisipasi anggota dalam menentukan simbol visual yang akan merepresentasikan perjalanan panjang organisasi. “Partisipasi Bapak/Ibu sangat berarti bagi kesuksesan acara ini,” ujarnya dalam pengumuman resmi kepada seluruh anggota, Senin (16/6/2025).

Anggota diberi kesempatan untuk memilih hingga lima desain logo terbaik dari sejumlah karya yang telah dipilih. Setiap desain dapat dinilai dengan skala 1 sampai 5, di mana 1 berarti tidak menarik dan 5 berarti sangat menarik.

Namun, satu orang hanya dapat melakukan voting satu kali, dan jika memilih lebih dari lima desain, maka hanya lima pilihan pertama yang akan dihitung.

Lima desain dengan suara terbanyak akan masuk ke tahap penilaian akhir oleh dewan juri. Logo pemenang akan ditetapkan oleh juri secara final dan tidak dapat diganggu gugat.

Voting dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/VotingLogo_HUTIKPI60

IKPI berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota demi memilih logo terbaik yang akan menjadi wajah perayaan 60 tahun kontribusi organisasi di bidang perpajakan nasional. (bl)

IKPI Siap Sukseskan AOTCA International Conference 2025 di Nepal

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam AOTCA International Tax Conference 2025 yang akan diselenggarakan di Kathmandu, Nepal pada 18–21 November 2025. Konferensi internasional ini mengangkat tema “The Evolution of Taxation Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals.”

Pernyataan kesiapan tersebut disampaikan oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Tjhai Fung Njit.

Ia menegaskan bahwa IKPI akan mengambil peran aktif dalam konferensi, baik sebagai peserta maupun kontributor dalam berbagai forum diskusi dan sesi presentasi. Keterlibatan ini dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya meningkatkan kiprah organisasi di tingkat internasional.

“Partisipasi dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 merupakan wujud komitmen IKPI untuk tampil sebagai organisasi konsultan pajak yang adaptif terhadap perubahan global serta terbuka terhadap kolaborasi lintas negara,” ujar Tjhai Fung Njit.

Sebagai anggota aktif AOTCA, IKPI memandang konferensi ini sebagai ajang penting untuk:

  • Meningkatkan eksistensi IKPI di kancah internasional
  • Membangun jejaring global bagi para anggota
  • Mengadopsi praktik terbaik dalam tata kelola perpajakan
  • Mendorong transformasi IKPI menjadi organisasi konsultan pajak kelas dunia
  • Konferensi ini juga akan mengangkat isu-isu krusial seputar perpajakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terdapat lima topik utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu:

1. Sejarah Evolusi Sistem Perpajakan di Negara Berkembang, yang akan menyoroti transformasi hukum pajak dari masa ke masa, serta dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan pembentukan negara.

2. Tantangan Implementasi Kebijakan Pajak di Negara Berkembang, terkait isu-isu seperti penghindaran pajak, sektor informal yang besar, kapasitas administrasi yang terbatas, dan intervensi politik.

3. Peran dan Cakupan Konsultan Pajak dalam Kepatuhan Pajak Global, yang meliputi peran konsultan pajak dalam membantu pelaku bisnis memenuhi kewajiban lintas negara, seperti BEPS, CRS, dan FATCA, dll

4. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Administrasi Pajak, terkait penggunaan teknologi seperti e-filing, blockchain, dan analitik data dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem pajak.

5. Tanggung Jawab Etis dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Negara Berkembang, yang menggali tantangan etika, keseimbangan antara kepentingan klien dan tanggung jawab sosial, tax planning serta peran konsultan pajak dalam mendorong keadilan pajak.

IKPI mendorong seluruh anggotanya untuk ikut serta dalam konferensi ini sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas individu dan kolektif.

Menurut Tjhai Fung Njit, AOTCA 2025 tidak hanya menjadi ajang pembelajaran, tetapi juga panggung penting untuk menunjukkan kualitas profesional konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

“Kami ingin mendorong partisipasi aktif anggota dalam sesi-sesi yang bersifat substantif, sehingga mereka dapat membawa pulang pengetahuan baru, memperluas perspektif, dan menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, IKPI menilai forum internasional seperti AOTCA Conference memiliki dampak positif terhadap pembaruan wawasan dan praktik konsultan pajak nasional dalam menghadapi perubahan regulasi global yang semakin kompleks.

“Ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas perpajakan internasional, sekaligus mempertegas peran IKPI sebagai organisasi profesi yang mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya. (bl)

en_US