KPP Pratama Surakarta Buka Layanan Pojok Pajak Hingga Malam

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surakarta memperluas akses layanan dengan membuka Pojok Pajak di Kelurahan Gilingan, Kota Surakarta. Layanan ini beroperasi setiap hari mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WIB, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak (WP) yang ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk individu maupun badan usaha setelah pulang bekerja.

Kepala KPP Pratama Surakarta, Herry Wirawan, menjelaskan bahwa penambahan waktu layanan sore hingga malam ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak yang tidak dapat mengurus administrasi SPT pada jam kerja reguler. Dengan adanya Pojok Pajak, WP dapat lebih fleksibel dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

“Layanan ini termasuk aktivasi atau permintaan kembali Electronic Filing Identification Number (EFIN), permohonan perubahan data Wajib Pajak, hingga asistensi dalam pengisian dan pelaporan SPT Tahunan. Kami memastikan semua layanan tersedia hingga WP selesai melaporkan SPT mereka,” ungkap Herry dalam keterangan tertulis yang diterima oleh media, Rabu (19/2/2025).

Penyediaan layanan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi WP dalam menghadapi kebijakan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait implementasi Multi-Factor Authentication (MFA) yang berlaku sejak 2025. Setiap WP diwajibkan untuk memverifikasi identitas mereka melalui nomor handphone atau email untuk mengakses laman pajak.go.id. Langkah ini diambil untuk menjaga kerahasiaan data WP dan mencegah terjadinya pencurian akun.

Selain layanan di Pojok Pajak, KPP Pratama Surakarta juga memberikan informasi kepada WP melalui WhatsApp Blast mengenai jadwal layanan Pojok Pajak di kelurahan atau wilayah lainnya. Herry mengimbau kepada seluruh masyarakat agar segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan, yaitu 31 Maret untuk WP orang pribadi dan 30 April untuk WP badan. Keterlambatan pelaporan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda, yakni Rp 100 ribu untuk WP orang pribadi dan Rp 1 juta untuk WP badan.

Salah satu Wajib Pajak, Rahayu, menyampaikan apresiasinya terhadap layanan Pojok Pajak. “Saya selalu memanfaatkan layanan Pojok Pajak di kelurahan untuk melaporkan SPT Tahunan pribadi saya, bahkan untuk TK Aisyiyah 41 Tegalharjo,” ujar Rahayu.

Layanan Pojok Pajak ini diharapkan dapat mempermudah WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa mengganggu rutinitas harian mereka, serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelaporan SPT Tahunan tepat waktu.(alf)

DPD akan Panggil Dirjen Pajak Terkait Penurunan Laporan Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Nawardi mengungkapkan rencana untuk memanggil Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, setelah adanya penurunan signifikan dalam laporan faktur pajak akibat penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Rencana pemanggilan tersebut disampaikan Nawardi usai rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Senayan, Jakarta. Dalam rapat tersebut, Nawardi menanyakan masalah terkait sistem Coretax, namun ia menyatakan bahwa hingga saat ini penjelasan lebih lanjut dari Menteri Keuangan belum diterima, sehingga Komite IV berencana untuk mendalami masalah ini lebih lanjut dengan mengundang Dirjen Pajak.

“Saya ingin memperdalam persoalan ini. Yang pasti, ke depannya kami akan mengundang Dirjen Pajak,” ujar Nawardi kepada wartawan, Selasa (18/2/2025).

Nawardi juga mengungkapkan bahwa penurunan laporan faktur pajak tersebut berdampak langsung pada penerimaan negara. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, target penerimaan dari pengumpulan faktur pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai Rp 50 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 172 triliun.

“Faktur pajak yang diterbitkan tahun ini jauh berkurang. Pada tahun lalu, jumlah faktur yang masuk mencapai 60 juta, namun tahun ini hanya 20 juta faktur,” ungkap Nawardi. Penurunan tersebut diduga terkait dengan masalah pada penerbitan faktur dalam sistem Coretax.

Meskipun Coretax dipandang sebagai sistem pembayaran pajak digital yang canggih dan menjanjikan, Nawardi menekankan perlunya segera dilakukan perbaikan agar sistem ini tidak mengganggu penerimaan negara lebih lanjut. “Jangan sampai Coretax tidak digunakan sama sekali, apalagi sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 13 Februari 2025, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti melaporkan bahwa jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan sepanjang Januari 2025 tercatat sebesar 52,5 juta faktur. Sementara pada Februari 2025, jumlah faktur yang diterbitkan hanya mencapai 6,91 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46,9 juta faktur pada Januari dan 6,20 juta faktur pada Februari telah divalidasi atau disetujui.

Dengan penurunan yang signifikan ini, Komite IV DPD berharap pemerintah dapat segera mengatasi masalah teknis yang ada dalam penerapan Coretax agar target penerimaan negara dapat tercapai tanpa hambatan. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 15/2025, Berikan Kepastian Hukum Proses Pemeriksaan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan peraturan terkait pemeriksaan pajak, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan terpisah.

Dalam peraturan tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa diterbitkannya PMK ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. PMK 15 Tahun 2025 ini mengatur penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak guna menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 yang dikutip Rabu (19/2/2025).

Jenis Pemeriksaan Pajak

PMK ini memberikan rincian mengenai jenis-jenis pemeriksaan pajak yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksaan spesifik.

1. Pemeriksaan Lengkap
Merupakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak secara menyeluruh pada seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dengan pendekatan yang mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus
Pemeriksaan ini berfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang diuji secara lebih mendalam.

3. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan yang dilakukan secara sederhana dan terfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan, data, atau kewajiban perpajakan lainnya.

Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK ini mencakup berbagai jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak tertentu. Pemeriksaan juga bisa mencakup satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pemeriksaan dapat dilakukan untuk tujuan lainnya, seperti penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan tersebut.

Dengan diterbitkannya PMK 15 Tahun 2025 ini, diharapkan proses pemeriksaan pajak dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, memberikan kejelasan bagi wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (alf)

“IKPI Gathering Partnership 2025”: DJP Tekankan Pentingnya Peran Konsultan Pajak dalam Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam mendukung kepatuhan wajib pajak. Hal ini disampaikan dalam acara “IKPI Gathering Partnership 2025” yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Dalam sambutannya, Dwi mengapresiasi kerja sama yang terjalin antara DJP dan IKPI. Menurutnya, konsultan pajak memiliki peran krusial dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pendampingan dalam memahami kewajiban perpajakan mereka.

“Kami mengapresiasi kerja sama yang selama ini telah terjalin dengan baik. Konsultan pajak tidak hanya berperan dalam membantu wajib pajak memenuhi kewajibannya, tetapi juga dalam menyampaikan hak-hak wajib pajak secara seimbang,” ujar Dwi .

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa DJP terus berupaya meningkatkan kualitas layanan perpajakan dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk asosiasi profesi seperti IKPI. Sosialisasi dan edukasi yang masif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional.

“Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk partisipasi kita dalam pembangunan. Banyak fasilitas yang kita nikmati hari ini, seperti pendidikan dan infrastruktur, bersumber dari pajak yang kita bayarkan,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar dalam menjalankan profesinya, para konsultan pajak selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Dwi menegaskan bahwa DJP akan terus meningkatkan pengawasan terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Sekadar informasi, “IKPI Gathering Partnership 2025” ini dihadiri oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, sejumlah ketua departemen, serta para anggota dan mitra IKPI dari berbagai daerah.

Hadir juga pada kesempatan tersebut, 206 asosiasi usaha dan asosiasi di sektor keuangan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara DJP dan konsultan pajak dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. (bl)

Foto: “IKPI Partnership Gathering 2025”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar acara “Partnership Gathering IKPI Tahun 2025” sebagai upaya untuk mempererat hubungan antar pemangku kepentingan dalam ekosistem perpajakan Indonesia.

Acara yang berlangsung di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025) dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), 206 asosiasi usaha dan asosiasi sektor keuangan serta para profesional di bidang perpajakan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Ketum Vaudy Starworld Buka “IKPI Partnership Gathering 2025” Perkuat Ekosistem Perpajakan Indonesia

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar acara “Partnership Gathering IKPI Tahun 2025” sebagai upaya untuk mempererat hubungan antar pemangku kepentingan dalam ekosistem perpajakan Indonesia. Acara yang berlangsung di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025) dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), asosiasi usaha, serta para profesional di bidang perpajakan.

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan dalam acara yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh IKPI. Ia berharap kegiatan ini dapat menjadi agenda tahunan yang rutin dilaksanakan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/BayuLegianto)

Membangun Ekosistem Perpajakan yang Berkeadilan

Vaudy menegaskan bahwa ekosistem perpajakan Indonesia terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi, termasuk wajib pajak, pengusaha, pemerintah, asosiasi usaha dan profesi, serta konsultan pajak seperti IKPI. Interaksi antar elemen ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, efisien, dan adil.

Faktor-faktor yang memengaruhi ekosistem perpajakan antara lain kebijakan fiskal, sistem administrasi pajak, kepatuhan wajib pajak, serta dukungan dari berbagai pihak. Dengan membangun sistem yang baik, diharapkan penerimaan pajak negara dapat meningkat, kepatuhan pajak semakin tinggi, serta tax ratio dapat ditingkatkan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam acara ini, IKPI juga menghadirkan narasumber dari Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan paparan mengenai tiga topik utama, yaitu implementasi coretax, pemeriksaan pajak, serta pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak. Vaudy menekankan pentingnya edukasi perpajakan dalam meningkatkan pemahaman wajib pajak terkait hak dan kewajiban mereka di tengah perubahan regulasi yang dinamis.

“Administrasi perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment, sehingga wajib pajak dituntut untuk memahami berbagai regulasi yang ada. Di sinilah peran tax intermediaries menjadi sangat penting dalam membantu meningkatkan kepatuhan pajak,” ujar Vaudy.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 

Penandatanganan Kerja Sama Strategis

Selain sesi paparan, acara ini juga menjadi momen bersejarah dengan adanya penandatanganan kerja sama antara IKPI dengan beberapa pihak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), dan Alumni Penabur Indonesia (ALP). Ruang lingkup kerja sama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari edukasi perpajakan kepada masyarakat, konsultasi perpajakan, pelatihan, hingga publikasi karya ilmiah.

Kerja sama ini diharapkan dapat mendukung terbentuknya ekosistem perpajakan yang lebih baik, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mendorong peningkatan tax ratio di Indonesia.

Harapan ke Depan

Vaudy berharap melalui kolaborasi dan sinergi antara otoritas pajak, wajib pajak, konsultan pajak, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkeadilan.

“Dengan terciptanya ekosistem perpajakan yang prudent dan berkeadilan, kita dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, yang pada akhirnya akan meningkatkan tax ratio nasional,” ujarya. (bl)

IKPI Soroti Tantangan Implementasi KEP-54/PJ/2025, Minta Perpanjangan Waktu dan Kepastian Transisi

IKPI, Jakarta: Setelah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 54/PJ/2025 pada 12 Februari 2025, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik kebijakan tersebut. Namun, IKPI juga mengajukan beberapa masukan agar pelaksanaan kebijakan ini lebih optimal dan tidak membebani Wajib Pajak (WP).

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyampaikan bahwa meskipun kebijakan ini merupakan langkah solutif bagi WP yang mengalami kendala dalam menggunakan coretax system, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.

“Kami menghargai adanya alternatif dalam penerbitan Faktur Pajak, tetapi ada aspek teknis dan administratif yang harus diperbaiki agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya.

Salah satu kendala yang disoroti adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Dengan KEP-54/PJ/2025 yang baru terbit pada 12 Februari, WP yang harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari memiliki waktu yang sangat terbatas. IKPI mengusulkan agar batas waktu diperpanjang hingga 25 bulan berikutnya untuk memberi kelonggaran bagi WP yang masih mengalami kendala teknis. IKPI juga meminta agar Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dapat berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025.

Menurut Pino, penutupan sistem e-Nofa per 1 Januari 2025 membuat banyak WP tidak sempat mengajukan NSFP sebelum kebijakan baru diterapkan. “Banyak WP yang tidak memiliki NSFP karena e-Nofa sudah ditutup, sementara di sisi lain mereka kesulitan mengunggah Faktur Pajak di coretax. Sebaiknya ada kebijakan transisi agar NSFP bisa berlaku surut untuk dua bulan pertama ini,” ujarnya.

Terkait implementasi kebijakan, IKPI menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas agar semua pihak memahami perubahan ini. Berdasarkan rilis DJP, penerbitan Faktur Pajak melalui e-Faktur Desktop tidak berlaku untuk beberapa kategori, seperti penjualan kepada turis asing, PPN Ditanggung Pemerintah, dan PKP yang baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2025. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan jika tidak disosialisasikan dengan baik.

Selain itu, IKPI menyoroti perlunya masa transisi yang cukup sebelum seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. “Jika nanti semua WP harus kembali menggunakan coretax, harus ada waktu transisi yang cukup agar mereka bisa menyesuaikan diri,” kata Pino.

IKPI juga meminta kejelasan apakah WP dapat menggunakan coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda. “Misalnya, apakah WP diperbolehkan menggunakan coretax untuk Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Jika tidak diperbolehkan, maka harus ada solusi agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaporan,” jelasnya.

Sebagai langkah perlindungan bagi WP, IKPI mengusulkan agar DJP menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak secara otomatis menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan akibat kendala coretax system. “Jika hal ini tidak bisa dihentikan, setidaknya perlu ada mekanisme yang mempercepat penghapusan STP akibat kendala teknis yang tidak disebabkan oleh kelalaian WP,” katanya.

IKPI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan ini agar kebijakan perpajakan semakin mendukung kepatuhan dan kemudahan bagi WP dalam menjalankan kewajibannya. (bl)

Sistem Coretax Masih Bermasalah, IKPI Bali Nusra Minta Solusi ke DJP

IKPI, Denpasar: Kendala dalam sistem Coretax menjadi salah satu topik utama dalam audiensi yang dilakukan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Bali Nusra dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Jumat (14/2/2025), para pengurus IKPI ini menyampaikan berbagai permasalahan teknis yang mereka hadapi akibat sistem yang masih belum sepenuhnya stabil.

Coretax merupakan bagian dari Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan melalui digitalisasi yang lebih terintegrasi, sehingga dapat mempermudah wajib pajak dalam melakukan kewajibannya serta memperkuat sistem administrasi perpajakan di Indonesia.

Namun, dalam praktiknya, implementasi Coretax masih menghadapi sejumlah kendala yang menghambat proses administrasi pajak, baik bagi wajib pajak maupun konsultan pajak yang membantu mereka.

Kendala Teknis dan Hambatan Integrasi

Ketua IKPI Pengda Bali Nusra – I Kadek Agus Ardika, mengungkapkan bahwa berbagai laporan dari anggota IKPI menunjukkan bahwa masalah utama dalam sistem ini terletak pada proses integrasi dengan berbagai basis data pemerintah. “Coretax harus terhubung dengan berbagai sistem, seperti data dari Dukcapil dan Administrasi Hukum Umum (AHU). Sayangnya, sinkronisasi ini masih belum berjalan optimal, menyebabkan kendala dalam pelaporan dan administrasi pajak,” ujarnya dalam pertemuan tersebut.

Agus Ardika juga menjelaskan bahwa banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengakses sistem Coretax karena seringnya terjadi gangguan teknis, seperti lambatnya proses verifikasi data dan ketidaksesuaian informasi yang muncul dalam sistem. “Kami menerima banyak keluhan dari konsultan pajak dan wajib pajak terkait error pada sistem, seperti data yang tidak terbaca, kesalahan verifikasi, serta sistem yang tidak responsif pada jam-jam sibuk,” katanya.

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Kanwil DJP Bali Darmawan, mengakui bahwa memang terdapat sejumlah kendala dalam implementasi sistem ini. “Kami memahami kesulitan yang dihadapi oleh wajib pajak dan konsultan pajak akibat masalah dalam sistem Coretax. DJP terus melakukan perbaikan secara bertahap agar sistem ini dapat berjalan lebih optimal,” ujarnya.

Darmawan menambahkan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan tim teknis dan pusat pengembangan sistem di DJP untuk mempercepat penyelesaian berbagai gangguan yang terjadi. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar dalam implementasi Coretax adalah memastikan bahwa sistem dapat berfungsi secara efisien tanpa mengganggu kelancaran proses administrasi pajak yang sedang berjalan.

Dampak terhadap Konsultan Pajak dan Wajib Pajak

Permasalahan dalam sistem Coretax tidak hanya berdampak pada wajib pajak, tetapi juga pada para konsultan pajak yang menjadi perantara utama dalam membantu pelaporan pajak. Agus Ardika menegaskan bahwa konsultan pajak memerlukan kejelasan dan solusi cepat atas permasalahan yang terjadi agar mereka dapat memberikan layanan yang maksimal kepada klien mereka.

“Kami mengharapkan adanya komunikasi yang lebih terbuka antara DJP dan para konsultan pajak terkait perkembangan sistem ini. Selain itu, perlu ada solusi konkret untuk mengatasi kendala yang masih berulang agar tidak mengganggu proses pelaporan pajak,” katanya.

Ia juga menyoroti perlunya pelatihan dan pendampingan yang lebih intensif bagi wajib pajak serta konsultan pajak agar mereka dapat memahami cara kerja sistem ini dengan lebih baik. “Banyak wajib pajak yang masih kesulitan dalam menggunakan sistem Coretax karena kurangnya sosialisasi dan pelatihan. DJP perlu meningkatkan upaya edukasi agar tidak terjadi kebingungan dalam implementasi sistem ini,” tambahnya.

Beberapa pengurus IKPI lainnya yang hadir dalam pertemuan tersebut juga menyampaikan keluhan mengenai dampak dari gangguan sistem ini terhadap kepatuhan pajak klien. “Kami terus mengajak klien membayar pajak tepat waktu, tetapi karena sistem sering bermasalah, kami justru kesulitan dalam mengakses layanan perpajakan. Ini bisa berdampak pada denda atau sanksi administratif yang sebenarnya bukan kesalahan kami,” ujar salah satu pengurus.

Meskipun terdapat berbagai kendala dalam implementasi Coretax, IKPI Bali Nusra tetap berharap bahwa sistem ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi administrasi perpajakan di Indonesia. Agus Ardika menegaskan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan DJP untuk memastikan kelancaran implementasi sistem ini dan mengawal setiap perbaikan yang dilakukan.

“DJP harus memastikan bahwa setiap perbaikan yang dilakukan benar-benar memberikan dampak positif bagi wajib pajak dan konsultan pajak. Kami berharap adanya solusi yang lebih cepat dan efektif sehingga implementasi Coretax dapat berjalan lebih baik di masa depan,” kata Agus Ardika.

Selain itu, DJP juga berjanji akan terus mengadakan sesi konsultasi dan sosialisasi kepada wajib pajak serta konsultan pajak agar mereka dapat memahami perkembangan terbaru terkait sistem ini. Dengan komunikasi yang lebih terbuka dan perbaikan yang terus dilakukan, diharapkan sistem Coretax dapat benar-benar menjadi solusi yang meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan di Indonesia.

Hadir pada pertemuan tersebut adalah perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:

(bl)

Indonesia Berpeluang Batalkan Pajak Minimum Global 15%, Airlangga: Kita Ikuti Trump 2.0

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan bahwa Indonesia bisa saja batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini berkaitan dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menolak kebijakan tersebut.

“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam Indonesia Economic Summit by IBC di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Sebelumnya, Indonesia telah menetapkan kebijakan pajak minimum global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Aturan ini mengacu pada kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung lebih dari 140 negara. Penerapan kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku untuk tahun pajak 2025, mengikuti jejak lebih dari 40 negara lainnya.

Namun, keputusan Donald Trump untuk menarik AS dari kesepakatan ini berpotensi mengubah peta kebijakan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa langkah AS tersebut akan berdampak luas.

“Karena AS negara terbesar dunia, pasti akan berdampak ke seluruh dunia. Tapi masalah taxation maupun tarif, kita lihat Presiden Trump berlakukan policy-policy yang sudah dan telah dijanjikan, dan kita akan terus perbaiki serta perkuat resiliensi perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, belum lama ini.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia tetap berupaya menciptakan iklim investasi yang kompetitif dengan mengoptimalkan kebijakan tax holiday dan tax allowance. Airlangga pun mengajak para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, sebelumnya menegaskan bahwa pajak minimum global bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak melalui tax haven. “Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangan tertulis, baru-baru ini.

Pajak minimum global telah diperjuangkan selama lima tahun terakhir sebagai langkah untuk mencegah praktik “race to the bottom” dalam tarif pajak. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan multinasional dengan omzet global minimal 750 juta Euro untuk membayar pajak minimal 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Kini, dengan dinamika global yang dipengaruhi oleh kebijakan AS, Indonesia tampaknya masih mempertimbangkan langkah selanjutnya terkait implementasi aturan ini. (alf)

 

Indonesia Berpotensi Tambah Penerimaan Pajak Rp 3-8 Triliun dari Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerapan pajak minimum global sesuai kesepakatan Pilar Dua dapat menambah penerimaan negara antara Rp 3 triliun hingga Rp 8 triliun. Namun, angka tersebut bergantung pada kebijakan serupa yang diterapkan oleh negara lain.

“Kalau berdasarkan asesmen kita, rangenya Rp 3 triliun sampai Rp 8 triliun (tambahan penerimaan),” ujar pegawai Direktorat Perpajakan Internasional, Frans Hans, dalam webinar yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2/2025).

Frans menjelaskan bahwa potensi penerimaan ini akan terjadi jika negara lain tidak menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Jika negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework menerapkan QDMTT secara serentak, maka dampak penerimaan tambahan dari kebijakan ini akan menjadi netral.

Sekadar informasi, pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 31 Desember 2024.

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya global yang telah diinisiasi selama lima tahun terakhir untuk mencegah praktik “race to the bottom”, di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak demi menarik investasi.

Dengan pajak minimum global, perusahaan multinasional yang memiliki omzet konsolidasi global minimal €750 juta diwajibkan membayar pajak sekurang-kurangnya 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif, sekaligus memastikan perusahaan multinasional berkontribusi secara adil terhadap penerimaan negara. (alf)

 

en_US