Pemerintah Pertimbangkan Penerapan Pajak Kekayaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai membuka peluang untuk menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai upaya memperkuat penerimaan negara dan menciptakan keadilan sosial. Meski demikian, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa wacana tersebut masih membutuhkan proses panjang serta kajian mendalam sebelum dapat diimplementasikan.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menyampaikan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap pentingnya pajak kekayaan, namun penetapan jenis pajak baru memerlukan tahapan yang hati-hati dan tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa.

“Kita punya arah ke sana, tetapi pengenalan pajak baru bukan perkara sederhana. Butuh waktu, riset, dan tentu saja diskusi publik yang inklusif,” ujar Yon dalam sebuah diskusi bertajuk “Keadilan Pajak dan Reformasi Fiskal’ yang digelar di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Yon menegaskan bahwa regulasi pajak kekayaan nantinya harus melalui proses legislasi karena dikategorikan sebagai jenis pajak baru. Ini berarti pembahasan bersama DPR RI dan penyesuaian dalam Undang-Undang Perpajakan menjadi syarat mutlak.

“Kalau hari ini kita ingin kenakan pajak, lalu besok langsung bikin aturannya, tentu tidak bisa seperti itu. Kita butuh kajian cost-benefit analysis dan melihat beban pajak yang sudah ada,” tambahnya.

Isu pajak kekayaan sendiri terus menjadi sorotan dalam forum-forum internasional sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun di Indonesia, wacana ini masih berada dalam tahap eksplorasi dan diskursus publik.

Dalam forum yang sama, Yenti Nurhidayat dari Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) mendorong agar pemerintah tidak hanya mempertimbangkan, tetapi juga segera menindaklanjuti penerapan pajak kekayaan sebagai salah satu alternatif penyumbang penerimaan negara.

“Mereka yang berada di puncak piramida ekonomi menikmati berbagai fasilitas dan akses istimewa dari negara. Sudah saatnya kontribusi mereka juga diatur melalui skema pajak yang lebih adil,” kata Yenti.

Mengutip laporan yang dirilis oleh PRAKARSA dan FPBI, pajak kekayaan diusulkan dikenakan pada individu dengan aset bersih di atas US$ 10 juta atau sekitar Rp 155 miliar. Tarif yang diusulkan bersifat progresif, antara 1% hingga 2%, dengan cakupan aset yang luas, termasuk tabungan, saham, logam mulia, hingga warisan dan hibah.

Diperkirakan terdapat sekitar 4.600 orang Indonesia yang masuk dalam kategori wajib pajak kekayaan ini. Dengan estimasi tersebut, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan bisa mencapai Rp 54 triliun hingga Rp 155 triliun untuk satu kali pengenaan.

Langkah menuju penerapan pajak kekayaan ini menandai titik awal diskusi serius tentang keadilan fiskal di Indonesia. Pemerintah pun ditantang untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan dengan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan ekonomi nasional. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak DJP Jakarta Pusat Tembus Rp35,84 Triliun hingga April 2025

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Pusat menunjukkan kinerja impresif hingga 30 April 2025. Tercatat total penerimaan mencapai Rp35,84 triliun atau setara dengan 32,33% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp110,85 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, mengungkapkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) mendominasi kontribusi penerimaan dengan angka Rp24,71 triliun atau 42,59% dari target. “Pertumbuhan penerimaan secara tahunan mencapai 7,26% dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Selain PPh, sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) turut menyumbang Rp7,81 triliun atau 15,05% dari target. Sementara itu, pos Pajak Lainnya mencatatkan capaian luar biasa sebesar Rp3,28 triliun, melampaui target sebesar Rp75,95 miliar setara dengan 4.323,84% dari target.

Eddi menjelaskan bahwa lonjakan pada Pajak Lainnya disebabkan oleh penerimaan signifikan dari jenis pajak tertentu yang sebelumnya ditargetkan konservatif. “Ini mencerminkan adanya aktivitas ekonomi tertentu yang melonjak tajam dan berhasil ditangkap sistem administrasi perpajakan,” imbuhnya.

Kontribusi terbesar terhadap penerimaan April 2025 berasal dari tiga sektor utama: perdagangan (Rp3,66 triliun), industri pengolahan (Rp1,89 triliun), dan jasa perusahaan (Rp1,65 triliun). Secara bulanan, penerimaan neto April melonjak 32,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertumbuhan pesat ini turut ditopang oleh peningkatan kinerja sistem Coretax yang semakin stabil. “Peningkatan performa layanan ini sangat membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,” kata Eddi.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak dari seluruh Kanwil DJP di Jakarta hingga akhir April 2025 mencapai Rp421,87 triliun atau 27,54% dari target nasional. Rinciannya meliputi PPh Non-Migas sebesar Rp206,02 triliun (23,83%), PPN sebesar Rp80,65 triliun (14,09%), PPh Migas sebesar Rp9,08 triliun (14,45%), serta PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp126,06 triliun atau 396,98% dari target.

Menariknya, dibandingkan dengan bulan Maret 2025, terjadi lonjakan penerimaan sebesar 210,76 persen pada April. Hal ini mencerminkan keberhasilan akselerasi pemungutan PPh dan PPN serta pengaruh positif dari reformasi sistem administrasi perpajakan melalui Coretax. (alf)

 

 

Siap untuk Diperiksa? Pahami PMK 15/2025 dan Siapkan Strateginya!

Perubahan lanskap bidang perpajakan, kembali mengalami pembaruan yang signifikan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025). Regulasi ini menggantikan sejumlah peraturan lama dan menyatukan ketentuan tata cara pemeriksaan pajak, termasuk PBB, dalam satu aturan komprehensif.

Latar Belakang PMK 15/2025

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memastikan kepatuhan pajak Wajib Pajak (WP). Namun, selama ini pengaturannya tersebar di berbagai regulasi seperti PMK 17/PMK.03/2013 dan PMK 256/PMK.03/2014. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 menuntut harmonisasi serta penyederhanaan prosedur, yang akhirnya dituangkan dalam PMK 15 Tahun 2025.

PMK 15/2025 memperkuat prinsip kepastian hukum, proporsionalitas, serta pengawasan yang profesional, sekaligus memberikan pedoman baku terhadap hak dan kewajiban para pihak (DJP maupun WP).

Urgensi PMK 15/2025 dalam Reformasi Pajak Nasional

PMK 15/2025 tidak hadir dalam ruang hampa. Ia merupakan kelanjutan dari reformasi administrasi pajak nasional yang berbasis pada transparansi, otomatisasi, dan pengawasan berbasis risiko. Dalam konteks global, Indonesia juga berupaya memenuhi standar kepatuhan internasional seperti OECD Tax Administration dan BEPS Action Plan. Oleh karena itu, PMK ini menjadi instrumen penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya kuat, tetapi juga kredibel.

Kehadiran Pemeriksaan sebagai Alat Evaluasi

Bagi sebagian besar WP, pemeriksaan dianggap sebagai bentuk ‘hukuman’. Padahal dalam self assessment system, pemeriksaan adalah bagian penting untuk memastikan pelaporan yang dilakukan benar dan sesuai ketentuan. Melalui PMK 15/2025, pendekatan pembinaan lebih ditekankan, di mana proses pemeriksaan bertujuan membangun pemahaman, bukan sekedar koreksi fiskal.

Pemeriksaan dan Prinsip Risk-Based Audit

Salah satu terobosan penting dalam PMK 15/2025 adalah pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (risk based audit). WP yang dianggap berisiko tinggi akan lebih mungkin terpilih untuk diperiksa. Ini menuntut WP untuk tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga membangun profil kepatuhan yang baik melalui data yang transparan dan laporan yang akurat.

Klasifikasi Pemeriksaan: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

Pasal 2 ayat (2) PMK 15/2025 membagi pemeriksaan menjadi 3 (tiga) tipe:

1. Pemeriksaan Lengkap : menguji seluruh pos SPT secara mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus : hanya terhadap satu atau beberapa pos dalam SPT.

3. Pemeriksaan Spesifik : atas pos tertentu secara sederhana.

Poin-poin penting:

1. Jangka waktu pengujian:

– Pemeriksaan Lengkap : semula 6 bulan menjadi 5 bulan.

– Pemeriksaan Terfokus : semula 4 bulan menjadi 3 bulan.

– Pemeriksaan Spesifik : semula 2 bulan menjadi 1 bulan. (10 hari kerja untuk kondisi tertentu)

Pembatasan waktu ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan dan menghindari ketidakpastian yang berkepanjangan.

2. Jangka waktu Tanggapan wajib Pajak terhadap SPHP:

Semula 7 (tujuh) hari kerja dan dapat diperpanjang 3 (tiga) hari kerja sehingga menjadi 10 (sepuluh) hari kerja, menjadi maksimal 5 (lima) hari kerja tanpa ada lagi perpanjangan waktu.

Perubahan ini bertujuan mempercepat proses pemeriksaan dan memberikan kepastian hukum, namun juga menuntut wajib pajak untuk lebih siap dan responsif dalam menyiapkan tanggapan atas hasil pemeriksaan.

3. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) dan Pelaporan

Semula 2 (dua) bulan menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja.

PAHP adalah tahap akhir dalam proses pemeriksaan pajak di mana wajib pajak dan petugas pajak membahas hasil pemeriksaan sebelum diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

Kriteria Pemeriksaan: Siapa yang Bisa Diperiksa?

– WP mengajukan : restitusi atau menyampaikan SPT lebih bayar.

– WP menyampaikan SPT : Rugi.

– WP mendapat : pengembalian pendahuluan.

– WP tidak menyampaikan : SPOP PBB.

– Terdapat indikasi : kurang bayar PBB berdasarkan data hasil analisis DJP.

– Adanya data konkret dari DJP : faktur pajak/bukti potong PPh yang tidak dilaporkan.

Khususnya, Pasal 4 ayat (1) huruf l menjadi sorotan karena memperkenalkan konsep data konkret yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan tanpa melalui proses panjang, misalnya adanya transaksi dari pihak ketiga yang tidak diakui oleh WP dalam SPT.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

PMK 15/2025 ini menggaris bawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dengan memperkuat posisi WP dalam proses pemeriksaan.

WP berhak untuk:

– Mengetahui : alasan dan tujuan pemeriksaan.

– Menghadiri : Pembahasan Temuan Sementara dan Pembahasan Akhir.

– Menghadirkan : saksi atau ahli dalam proses pembahasan.

– Mengajukan : keberatan terhadap hasil koreksi, dan bila tidak ada kesepakatan, WP dapat meminta pembahasan lanjutan melalui forum Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

Namun, PMK juga mewajibkan WP untuk kooperatif, seperti memberikan akses terhadap buku, catatan, data elektronik, dan membantu kelancaran proses pemeriksaan.

Standar Pemeriksaan: Profesional dan Terukur

PMK 15/2025 juga memuat ketentuan Standar Pemeriksaan yang terbagi menjadi:

1. Standar Umum Pemeriksaan, menekankan integritas, kompetensi, dan independensi pemeriksa.

2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, mengharuskan adanya dokumentasi, pembuktian yang kuat, dan pelaksanaan sesuai metode yang sah.

3. Standar Pelaporan, mewajibkan penyusunan laporan pemeriksaan berdasarkan kertas kerja yang rapi dan sistematis.

Tujuannya adalah memastikan hasil pemeriksaan tidak semata menjadi “alat koreksi fiskal”, tetapi benar-benar berdasar hukum dan bukti.

Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Strategi agar WP dapat menghadapi pemeriksaan pasca PMK 15/2025 secara efektif:

1. Evaluasi Internal Kepatuhan Pajak

WP disarankan melakukan self assessment system terhadap pelaporan pajak, metode pembukuan, dan dokumentasi transaksi, khususnya transaksi afiliasi dan potensi risiko transfer pricing.

2. Penguatan Dokumentasi & Data Elektronik

Pemeriksaan saat ini tidak hanya menyoal dokumen fisik, tetapi juga melibatkan akses data elektronik, sehingga WP perlu memastikan sistem IT dan arsip digital mereka memadai dan mudah diakses.

3. Koordinasi dengan Kuasa Pajak Sejak Awal

Kuasa atau konsultan pajak sebaiknya dilibatkan sejak awal, terutama dalam menentukan strategi komunikasi dan klarifikasi atas temuan sementara.

4. Manfaatkan Hak Pembahasan dan QA Forum

WP didorong aktif menggunakan hak untuk membahas hasil pemeriksaan, dan jika perlu, mengajukan pembahasan ke Quality Assurance agar koreksi sepenuhnya adil dan proporsional.

5. Pahami Hak atas Penangguhan atau Penyegelan

Dalam kondisi tertentu, pemeriksa dapat melakukan penyegelan atau menangguhkan pemeriksaan. WP perlu memahami prosedurnya agar tidak dirugikan oleh tindakan yang tidak sesuai ketentuan.

Kesimpulan: Menuju Pemeriksaan yang Lebih Adil dan Profesional

PMK 15/2025 menjadi langkah maju dalam reformasi tata kelola perpajakan. Ia tidak hanya mengatur teknis pemeriksaan, tetapi juga memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi waktu.

Namun, di sisi lain, hal ini menuntut kesiapan lebih besar dari Wajib Pajak. Mereka harus tidak hanya patuh secara administratif, tetapi juga memiliki manajemen data yang baik dan pemahaman mendalam atas hak dan kewajibannya.

Bagi UMKM, PMK ini membuka peluang baru untuk mengelola perpajakan secara lebih baik. Adanya pemeriksaan spesifik berdurasi hanya 10 (sepuluh) hari menjadi bentuk adaptasi terhadap kemampuan administrasi WP skala kecil. Namun di sisi lain, UMKM tetap harus memahami bahwa pemeriksaan tetap dapat berujung sanksi jika ditemukan ketidaksesuaian yang signifikan.

WP perlu menyusun strategi jangka panjang yang meliputi konsistensi pelaporan, pembentukan tim pajak internal, pelatihan berkala, hingga penggunaan teknologi akuntansi modern. Konsultasi rutin dengan konsultan pajak juga menjadi kebutuhan strategis, bukan lagi sekadar solusi saat terjadi sengketa.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi (email: kadek_sumadi@yahoo.com)

Hariyasin (email: hariyasin29@yahoo.com)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DJP Perbarui Batas Waktu Unggah e-Faktur Lewat PER-11/2025: Tak Lagi Tanggal 15!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperpanjang batas waktu unggah faktur pajak elektronik (e-Faktur) berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Dalam aturan terbaru ini, pengusaha kena pajak (PKP) diberikan kelonggaran waktu hingga tanggal 20 bulan berikutnya untuk mengunggah e-Faktur, menggantikan batas sebelumnya yang jatuh pada tanggal 15 berdasarkan PER-03/PJ/2022 juncto PER-11/PJ/2022.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari penyesuaian implementasi sistem inti administrasi perpajakan (coretax system) yang tengah digalakkan DJP. Salah satu perubahan signifikan lainnya adalah penghapusan kewajiban permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP) sebelum pengunggahan e-Faktur. Kini, NSFP akan diberikan secara otomatis saat e-Faktur diunggah dan mendapat persetujuan dari DJP, selama unggahan dilakukan dalam rentang waktu yang ditentukan.

“Ini adalah bentuk penyederhanaan dan modernisasi proses administrasi perpajakan. Kami mendorong kepatuhan sekaligus memberikan ruang yang lebih rasional bagi PKP dalam mengelola pelaporan e-Faktur,” ujar seorang pejabat DJP yang tidak disebutkan namanya.

Ilustrasi Kasus

Ambil contoh kasus PT H, sebuah PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) pada 11 September 2025. Mereka membuat e-Faktur pada hari yang sama menggunakan modul e-Faktur dan mencantumkan tanggal faktur 11 September. Namun, pengunggahan baru dilakukan pada 14 Oktober 2025. Karena masih dalam batas waktu hingga 20 Oktober 2025, e-Faktur tersebut tetap disetujui DJP.

Sebaliknya, bila PT H baru mengunggah e-Faktur itu pada 21 Oktober 2025, maka DJP akan menolaknya. Alhasil, dokumen itu tidak dianggap sebagai faktur pajak yang sah.

Ketentuan Lama Masih Berlaku Terbatas

Meski aturan baru ini mulai berlaku, ketentuan dalam PER-03/PJ/2022 s.t.d.d. PER-11/PJ/2022 tetap diterapkan dalam konteks tertentu, terutama untuk PKP yang masih menggunakan e-Faktur client desktop atau host-to-host. Artinya, transisi ke sistem baru bersifat bertahap dan mempertimbangkan kesiapan teknologi para PKP.

Dengan diberlakukannya PER-11/2025, DJP berharap wajib pajak makin mudah dalam menjalankan kewajiban perpajakannya tanpa mengorbankan akurasi dan kepatuhan.(alf)

 

Dirjen Pajak Tegaskan Fokus Benahi Coretax dan Integritas SDM

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto menegaskan arah kebijakan perpajakan ke depan akan berfokus pada penguatan integrasi data dan sistem, khususnya optimalisasi sistem Coretax.

Tak hanya itu, Bimo juga menempatkan integritas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan sebagai pilar utama dalam reformasi perpajakan nasional.

“Fokus kita bukan hanya pada sistem, tapi juga pada manusianya dan integritas institusinya,” ujar Bimo usai rapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (27/5/2025).

Bimo menyampaikan bahwa dirinya kini tengah melakukan pemetaan terhadap berbagai persoalan dan isu strategis yang dihadapi Ditjen Pajak. Proses ini direncanakan berlangsung selama sebulan sebagai bagian dari masa transisi awal pascapelantikannya, sejalan dengan arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

“Detention period sampai Desember ini akan kita manfaatkan untuk mempercepat perbaikan performa Coretax. Kita ingin akselerasi benar-benar terasa,” tegas Bimo.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa hasil dari proses pemetaan tersebut nantinya akan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Presiden Prabowo Subianto sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun arah kebijakan fiskal jangka menengah.

“Mudah-mudahan dalam waktu kurang dari sebulan sudah bisa saya update ke rekan-rekan,” tambahnya.(alf)

 

Pemerintah Pangkas PPN Tiket Pesawat 6% Mulai Juni 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan stimulus untuk menggenjot konsumsi masyarakat jelang libur sekolah. Kali ini, insentif hadir dalam bentuk pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 6% untuk tiket pesawat, yang akan berlaku mulai 5 Juni hingga pertengahan Juli 2025.

Kebijakan ini diumumkan oleh Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dalam keterangan resminya pada Selasa (27/5/2025). Ia menyebut, langkah ini merupakan bagian dari strategi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II agar tetap berada di kisaran 5 persen.

“Insentif ini dirancang untuk memanfaatkan momentum libur sekolah dengan mendorong mobilitas masyarakat, menjaga daya beli, dan meningkatkan konsumsi dalam negeri,” ujar Susiwijono.

Rencana pemberian insentif tersebut telah melalui pembahasan mendalam dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri pada Jumat (23/5/2025). Rapat dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan dihadiri para menteri terkait serta pimpinan kementerian/lembaga. Seluruh program stimulus disepakati untuk mulai diterapkan pada 5 Juni 2025.

Tak hanya pembebasan PPN tiket pesawat, pemerintah juga menyiapkan sederet stimulus lain untuk mendorong sektor transportasi dan pariwisata. Diskon sebesar 30% akan diberikan untuk tiket kereta api dan 50% untuk angkutan laut selama dua bulan ke depan.

Sementara itu, tarif tol pun ikut dipangkas sebesar 20%, menyasar sekitar 110 juta pengendara. Skema diskon ini mengikuti pola yang sukses diterapkan pada masa mudik Natal-Tahun Baru (Nataru) dan Lebaran sebelumnya.

Dengan rangkaian insentif ini, pemerintah berharap lonjakan aktivitas ekonomi domestik dapat menjadi penopang utama dalam menjaga stabilitas pertumbuhan nasional di tengah dinamika global yang masih fluktuatif.(alf)

 

Kepada Lembaga Pemeringkat Internasional, Menkeu Tegaskan Komitmen Fiskal dan Optimisme Ekonomi Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerima kunjungan resmi dari lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S\&P) di kantor pusat Kementerian Keuangan, dikutip, Selasa (27/5/2025). Pertemuan ini menjadi ajang penting bagi pemerintah Indonesia untuk menegaskan komitmennya terhadap kebijakan fiskal yang hati-hati, kredibel, dan bertanggung jawab di tengah dinamika ekonomi global yang menantang.

Dalam diskusi tersebut, Menkeu memaparkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap kokoh meskipun dunia tengah menghadapi ketidakpastian. Ia menjelaskan berbagai kebijakan makroekonomi yang telah dan akan diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas, meningkatkan daya saing, dan mempercepat pertumbuhan yang inklusif.

“Kami menunjukkan bahwa Indonesia tetap berada di jalur yang tepat, dengan strategi pengendalian inflasi, penguatan sektor fiskal, serta akselerasi reformasi struktural,” ujar Sri Mulyani.

Kepercayaan dari lembaga pemeringkat internasional seperti S\&P dinilai sangat penting untuk menjaga persepsi positif investor global terhadap Indonesia. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani menekankan bahwa stabilitas fiskal bukan hanya soal menjaga angka-angka, tetapi juga soal menciptakan ruang kebijakan yang adaptif dan berkelanjutan.

“Kepercayaan ini adalah modal besar bagi Indonesia. Ia memperkuat daya saing, menarik arus investasi, dan menciptakan iklim usaha yang sehat,” imbuhnya.

Kementerian Keuangan juga menyoroti transformasi digital perpajakan dan pengelolaan keuangan negara yang tengah dijalankan, sebagai bagian dari reformasi yang lebih luas. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam membangun sistem fiskal yang modern dan akuntabel.(alf)

BPK Beri WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah: Ingatkan Ketidaksesuaian Data Pajak

IKPI, Jakarta: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2024 kembali meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski menjadi bentuk apresiasi atas pengelolaan anggaran negara yang dinilai transparan, laporan tersebut juga memuat sejumlah temuan penting yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah.

Ketua BPK Isma Yatun menyebut, salah satu perhatian utama adalah adanya ketidaksesuaian data antara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang disampaikan oleh wajib pajak maupun pihak pemungut, dibandingkan dengan catatan yang tercatat dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah.

“Temuan kami menunjukkan bahwa perbedaan data penyetoran PPN dan PPh tidak dapat langsung terdeteksi oleh sistem perpajakan yang ada saat ini,” ujar Isma dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (27/5/2025).

Masalah ini menunjukkan perlunya penguatan sistem informasi perpajakan, khususnya dalam aspek konsolidasi dan validasi data secara otomatis untuk meningkatkan akurasi dan keandalan pelaporan pajak.

Tak hanya itu, BPK juga mencatat bahwa pengendalian terhadap belanja pegawai dan pengelolaan dana transfer ke daerah yang telah ditentukan penggunaannya masih belum sepenuhnya memadai. Selain itu, penyajian belanja dibayar di muka dinilai belum tersusun dengan optimal dan penyelesaiannya masih cenderung memakan waktu lama.

“Temuan-temuan ini perlu segera ditindaklanjuti. Efektivitas dan efisiensi pengelolaan APBN adalah fondasi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Isma.

Isma juga menyoroti perlunya peningkatan dalam penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah (CAL LKPP), terutama terkait pelaporan kinerja. Menurutnya, masih terdapat ruang perbaikan dalam aspek sumber daya manusia, metodologi, hingga pedoman penyusunan laporan agar dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap capaian dan dampak penggunaan anggaran negara.

“Informasi yang lebih komprehensif dari laporan kinerja ini akan menjadi dasar yang kuat dalam pengambilan kebijakan fiskal strategis ke depan,” tambahnya.

Dengan capaian WTP ini, pemerintah didorong untuk terus memperbaiki tata kelola, memperkuat integrasi sistem, dan memastikan setiap rupiah dari anggaran negara benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.(alf)

 

DJP Atur 13 Layanan Pajak Baru lewat PER-8/PJ/2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 yang secara khusus mengatur ketentuan baru dalam pemberian layanan administrasi perpajakan tertentu melalui sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system. Regulasi ini ditetapkan pada 21 Mei 2025 dan mulai berlaku sejak tanggal tersebut.

Langkah ini diambil sebagai respons atas kebutuhan penyesuaian regulasi administratif yang belum sepenuhnya tercakup dalam ketentuan teknis sebelumnya. Beberapa perdirjen maupun keputusan dirjen yang lama dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sistem coretax sehingga perlu diganti atau dicabut.

“Perlu menetapkan peraturan direktur jenderal pajak tentang ketentuan pemberian layanan administrasi perpajakan tertentu dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan,” demikian bunyi bagian pertimbangan PER-8/PJ/2025.

Regulasi ini mencakup 13 jenis layanan administrasi perpajakan, antara lain:

• Tata cara permohonan dan penerbitan Surat Keterangan Fiskal (SKF).

• Prosedur perubahan metode pembukuan atau tahun buku.

• Izin pembukuan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang dolar AS.

• Pengajuan dan penerbitan keputusan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam penggabungan atau akuisisi usaha.

• Penilaian kembali aktiva tetap untuk keperluan perpajakan.

• Permohonan pembebasan dari pemotongan PPh oleh pihak ketiga.

• Penerbitan SKB PPh Pasal 22 atas impor emas batangan untuk ekspor perhiasan.

• SKB pemotongan PPh atas bunga deposito dan diskonto SBI bagi dana pensiun.

• Pengecualian PPh atas pengalihan tanah/bangunan serta pembebasan PPh untuk hunian mewah di KEK pariwisata.

• Pemeriksaan bukti setor PPh terkait pengalihan hak tanah/bangunan.

• Surat keterangan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean atas impor barang.

• Pencabutan persetujuan pengenaan PPh hanya atas penghasilan dari Indonesia.

• Layanan pemenuhan syarat perpajakan bagi bakal calon kepala daerah.

DJP juga menegaskan bahwa seluruh produk layanan yang berkaitan dengan 13 layanan tersebut dan telah diterbitkan sejak 1 Januari 2025 tetap sah dan berlaku meskipun dikeluarkan sebelum PER-8/PJ/2025 ditetapkan. (alf)

 

Jual Saham di Indonesia, Investor Asing Wajib Bayar Pajak 5% dari Harga Jual

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali mempertegas komitmennya dalam menciptakan rezim perpajakan yang adil dan setara bagi seluruh pelaku ekonomi, termasuk investor asing. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, khususnya Pasal 238, yang mengatur pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari penjualan saham oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa atas penghasilan dari penjualan saham perusahaan di Indonesia yang diperoleh WPLN, dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Namun, yang menarik adalah cara penghitungan penghasilan neto tersebut.

Penghasilan neto diperkirakan sebesar 25% dari harga jual saham, sehingga tarif efektif yang dikenakan terhadap nilai transaksi penjualan saham menjadi 5% dari harga jual (20% x 25%). Skema ini memberikan kejelasan perhitungan pajak sekaligus penyederhanaan administrasi perpajakan atas transaksi yang bersifat lintas negara.

Ketentuan Final dan Tidak Dapat Dikreditkan

Penting untuk dicatat bahwa pemotongan PPh ini bersifat final. Artinya, pajak yang telah dibayarkan oleh investor asing atas penjualan saham tidak dapat dikreditkan kembali dalam perhitungan pajak lainnya.

Hal ini memberikan kepastian hukum sekaligus menyederhanakan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak luar negeri, karena mereka tidak lagi harus melaporkan penghasilan tersebut dalam sistem pajak Indonesia secara lebih lanjut.

Perlakuan Khusus bagi Negara Mitra P3B

Meskipun ketentuan ini berlaku umum bagi seluruh WPLN, terdapat pengecualian yang diatur dalam ayat (2) Pasal 238. Bagi WPLN yang berasal dari negara yang telah memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan jika hak pemajakan atas penghasilan tersebut berada di tangan Indonesia, sesuai isi perjanjian bilateral tersebut.

Artinya, investor dari negara-negara mitra P3B bisa mendapatkan pengurangan tarif atau bahkan pembebasan pajak, bergantung pada ketentuan dalam perjanjian yang bersangkutan. Hal ini memberikan fleksibilitas sekaligus mematuhi prinsip-prinsip perpajakan internasional yang berlaku.

Mendorong Kepatuhan dan Transparansi di Pasar Modal

Penerapan ketentuan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dari transaksi pasar modal, serta menutup celah penghindaran pajak yang selama ini mungkin dimanfaatkan melalui mekanisme offshore.

Selain itu, pengenaan tarif pajak yang final dan transparan ini juga diharapkan dapat memperkuat iklim investasi yang sehat dan adil, dengan mendorong investor asing untuk lebih memahami dan patuh terhadap ketentuan perpajakan domestik.

Dengan berlakunya PMK 81/2024, para pelaku pasar, konsultan pajak, dan investor asing diimbau untuk segera memahami dan menyesuaikan strategi transaksi saham mereka, khususnya dalam hal pelaporan dan penghitungan kewajiban pajak. Pengelola pasar modal dan kustodian juga perlu memastikan bahwa pemotongan PPh dilakukan sesuai ketentuan baru ini untuk menghindari potensi sanksi administrasi. (alf)

 

en_US