Ini Skema Pemotongan PPh 21 untuk Dana Pensiun

IKPI, Jakarta: Penarikan dana pensiun, merupakan subjek pemotong pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Rumus dan cara penghitungannya pun telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 yang telah disahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mulai berlaku pada 1 Januari 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan, skema baru yang menggunakan tarif efektif rata-rata atau TER ini merupakan skema untuk mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 saja, bukan sebagai bentuk tarif pajak baru.

“Oleh karena itu tata caranya disederhanakan sehingga nanti akan lebih mempermudah,” kata Dwi saat ditemui di kantornya dalam media briefing, Jakarta, dikutip Selasa (9/1/2024)

Dalam ketentuannya, pembayar uang pensiun berkala seperti Dapen, BPJSTK, Taspen, dan Asabri sebagai subjek pemotong. Dasar pengenaan pajaknya ialah penghasilan bruto dengan tarif Pasal 17 UU PPh untuk per masa pajak.

Dalam Pasal 17 UU PPh itu, penghasilan setahun sampai dengan Rp 60 juta sebesar 5%, di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta 15%, Rp 250 juta sampai Rp 500 juta 25%, Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar 30%, dan di atas Rp 5 miliar 35%.

Adapun rumus terbarunya bagi pegawai menarik uang pada Dana Pensiun Pasal 17 x Penghasilan Bruto, sedangkan yang lama ialah Pasal 17 x Penghasilan Bruto (kumulatif). Berikut ini contoh pemotongannya dalam PMK 168/2023.

Tuan Q bekerja sebagai Pegawai Tetap pada PT J. Tuan Q menerima atau memperoleh gaji sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per bulan. PT J telah mengikutsertakan pegawainya dalam program pensiun yang diselenggarakan Dana Pensiun DEF yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Iuran pensiun yang dibayarkan ke Dana Pensiun DEF ditanggung oleh PT J sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per bulan sedangkan yang dibayar sendiri oleh Tuan Q melalui PT J adalah sebesar Rpl00.000,00 (seratus ribu rupiah) per bulan.

Pada bulan April 2024, Tuan Q memerlukan dana untuk persiapan masa pensiun dan melakukan penarikan uang manfaat pensiun dari Dana Pensiun DEF sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pada bulan Juni 2024, Tuan Q kembali melakukan penarikan uang manfaat pensiun sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penarikan uang manfaat pensiun yang dilakukan oleh Tuan Q dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan jumlah bruto uang manfaat pensiun yaitu sebagai berikut:

a. atas penarikan uang manfaat pensiun pada bulan April 2024, besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebesar 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00.

b. atas penarikan uang manfaat pensiun pada bulan Juni 2024, besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebesar 5% x Rp15.000.000,00 = Rp750.000,00.

Catatan:

1. Dana Pensiun DEF memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Tuan Q sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) pada bulan April 2024 dan Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) pada bulan Juni 2024, serta membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Tuan Q.

2. Tuan Q wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Dana Pensiun DEF dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024.

3. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh Dana Pensiun DEF sebesar Rp1.750.000,00 (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) merupakan kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 Tuan Q.

Ingin Tahu Tarif PPh 21 yang Harus Dibayarkan? Ini Penghitungan Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Metode penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 orang pribadi telah memanfaatkan skema tarif efektif rata-rata atau TER per 1 Januari 2024.

Metode penghitungan PPh Pasal 21 itu menjadikan rumus perhitungan PPh bulanan Januari-November 2023 menjadi hanya penghasilan bruto sebulan dikalikan dengan tarif efektif bulanan.

Barulah pada Desember atau masa pajak terakhir rumusnya kembali normal, yakni penghasilan bruto setahun dikurangi biaya jabatan/pensiun dikurangi iuran pensiun dikurangi zakat atau sumbangan keagamaan wajib yang dibayar melalui pemberi kerja dikurangi pendapatan tidak kena pajak baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh, untuk mendapat nilai PPh Pasal 21 setahun.

Setelah itu, nilai PPh Pasal 21 setahun itu menjadi pengurang dari PPh Pasal 21 yang sudah dipotong selain masa pajak terakhir untuk mendapatkan nilai akhir PPh Pasal 21 masa pajak terakhir, yang harus dibayarkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Jadi mudah hitungnya, yang ribet sekali saja dalam setahun. Jadi dari Januari-November dimudahkan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti di kantornya, Jakarta, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (9/1/2024).

Untuk tarif efektif bulanan, disusun dalam tabel berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan. Dwi mengatakan, tarif ini telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau Penghasilan Tidak Kena Pajak yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Dalam tabel itu akan disusun ke bawah jenis status PTKP seperti Tidak Kawin, Kawin, Kawin dan Pasangan bekerja. Kemudian disusun ke samping jumlah tanggungan dengan simbol TK/0 – TK/3, K/0 – K/3, serta K/I/0 – K/I/3. Sedangkan nominalnya untuk TK/0 sebesar Rp 54 juta, K/0 Rp 58,5 juta, dan K/I/0 Rp 108 juta.

Dengan demikian, tarif ini akan menjadi pengali satu-satunya dari total pendapatan bruto dalam sebulan selain Desember 2023.

Berikut ini daftar lengkap tarifnya per kategori sesuai status perkawinan dan tanggungan per penghasian bruto.

1. Kategori TER A

PTKP: Tidak Kawin dan Tak Ada Tanggungan (TK/0); TK/1; K/0 dengan penghasilan bruto:

Rp 5.400.001 s.d. 5.650.000 tarifnya 0,25%

Rp 5.650.001 s.d. 5.950.000 tarifnya 0,50%

Rp 5.950.001 s.d. 6.300.000 tarifnya 0,75%

Rp 6.300.001 s.d. 6.750.000 tarifnya 1,00%

Rp 6.750.001 s.d. 7.500.000 tarifnya 1,25%

Rp 7.500.001 s.d. 8.550.000 tarifnya 1,50%

Rp 8.550.001 s.d. 9.650.000 tarifnya 1,75%

Rp 9.650.001 s.d. 10.050.000 tarifnya 2,00%

Rp 10.050.001 s.d. 10.350.000 tarifnya 2,25%

Rp 10.350.001 s.d. 10.700.000 tarifnya 2,50%

Rp 10.700.001 s.d. 11.050.000 tarifnya 3,00%

Rp 11.050.001 s.d. 11.600.000 tarifnya 3,50%

Rp 11.600.001 s.d. 12.500.000 tarifnya 4,00%

Rp 12.500.001 s.d. 13.750.000 tarifnya 5,00%

Rp 13.750.001 s.d. 15.100.000 tarifnya 6,00%

Rp 15.100.001 s.d. 16.950.000 tarifnya 7,00%

Rp 16.950.001 s.d. 19.750.000 tarifnya 8,00%

Rp 19.750.001 s.d. 24.150.000 tarifnya 9,00%

Rp 24.150.001 s.d. 26.450.000 tarifnya 10,00%

Rp 26.450.001 s.d. 28.000.000 tarifnya 11,00%

Rp 28.000.001 s.d. 30.050.000 tarifnya 12,00%

Rp 050.001 s.d. 32.400.000 tarifnya 13,00%

Rp 32.400.001 s.d. 35.400.000 tarifnya 14,00%

Rp 35.400.001 s.d. 39.100.000 tarifnya 15,00%

Rp 39.100.001 s.d. 43.850.000 tarifnya 16,00%

Rp 43.850.001 s.d. 47.800.000 tarifnya 17,00%

Rp 47.800.001 s.d. 51.400.000 tarifnya 18,00%

Rp 51.400.001 s.d. 56.300.000 tarifnya 19,00%

Rp 56.300.001 s.d. 62.200.000 tarifnya 20,00%

Rp 62.200.001 s.d. 68.600.000 tarifnya 21,00%

Rp 68.600.001 s.d. 77.500.000 tarifnya 22,00%

Rp 77.500.001 s.d. 89.000.000 tarifnya 23,00%

Rp 89.000.001 s.d. 103.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 103.000.001 s.d. 125.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 125.000.001 s.d. 157.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 157.000.001 s.d. 206.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 206.000.001 s.d. 337.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 337.000.001 s.d. 454.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 454.000.001 s.d. 550.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 550.000.001 s.d. 695.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 695.000.001 s.d. 910.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 910.000.001 s.d. 1.400.000.000 tarifnya 33,00%

lebih Rp 1.400.000.000 tarifnya 34,00%

2. Kategori TER B

PTKP: TK/2 dan K/1; TK/3 dan K/2

sampai dengan Rp 6.200.000 tarifnya 0,00%

Rp 6.200.001 s.d. 6.500.000 tarifnya 0,25%

Rp 6.500.001 s.d. 6.850.000 tarifnya 0,50%

Rp 6.850.001 s.d. 7.300.000 tarifnya 0,75%

Rp 7.300.001 s.d. 9.200.000 tarifnya 1,00%

Rp 9.200.001 s.d. 10.750.000 tarifnya 1,50%

Rp 10.750.001 s.d. 11.250.000 tarifnya 2,00%

Rp 11.250.001 s.d. 11.600.000 tarifnya 2,50%

Rp 11.600.001 s.d. 12.600.000 tarifnya 3,00%

Rp 12.600.001 s.d. 13.600.000 tarifnya 4,00%

Rp 13.600.001 s.d. 14.950.000 tarifnya 5,00%

Rp 14.950.001 s.d. 16.400.000 tarifnya 6,00%

Rp 16.400.001 s.d. 18.450.000 tarifnya 7,00%

Rp 18.450.001 s.d. 21.850.000 tarifnya 8,00%

Rp 21.850.001 s.d. 26.000.000 tarifnya 9,00%

Rp 26.000.001 s.d. 27.700.000 tarifnya 10,00%

Rp 27.700.001 s.d. 29.350.000 tarifnya 11,00%

Rp 29.350.001 s.d. 31.450.000 tarifnya 12,00%

Rp 31.450.001 s.d. 33.950.000 tarifnya 13,00%

Rp 33.950.001 s.d. 37.100.000 tarifnya 14,00%

Rp 100.001 s.d. 41.100.000 tarifnya 15,00%

Rp 41.100.001 s.d. 45.800.000 tarifnya 16,00%

Rp 45.800.001 s.d. 49.500.000 tarifnya 17,00%

Rp 49.500.001 s.d. 53.800.000 tarifnya 18,00%

Rp 53.800.001 s.d. 58.500.000 tarifnya 19,00%

Rp 58.500.001 s.d. 64.000.000 tarifnya 20,00%

Rp 64.000.001 s.d. 71.000.000 tarifnya 21,00%

Rp 71.000.001 s.d. 80.000.000 tarifnya 22,00%

Rp 80.000.001 s.d. 93.000.000 tarifnya 23,00%

Rp 93.000.001 s.d. 109.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 109.000.001 s.d. 129.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 129.000.001 s.d. 163.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 163.000.001 s.d. 211.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 211.000.001 s.d. 374.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 374.000.001 s.d. 459.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 459.000.001 s.d. 555.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 555.000.001 s.d. 704.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 704.000.001 s.d. 957.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 957.000.001 s.d. 1.405.000.000 tarifnya 33,00%

lebih dari Rp 1.405.000.000 tarifnya 34,00%

3. Kategori TER C

PTKP : K/3

sampai dengan Rp 6.600.000 tarifnya 0,00%

Rp 6.600.001 s.d. 6.950.000 tarifnya 0,25%

Rp 6.950.001 s.d. 7.350.000 tarifnya 0,50%

Rp 7.350.001 s.d. 7.800.000 tarifnya 0,75%

Rp 7.800.001 s.d. 8.850.000 tarifnya 1,00%

Rp 8.850.001 s.d. 9.800.000 tarifnya 1,25%

Rp 9.800.001 s.d. 10.950.000 tarifnya 1,50%

Rp 10.950.001 s.d. 11.200.000 tarifnya 1,75%

Rp 11.200.001 s.d. 12.050.000 tarifnya 2,00%

Rp 12.050.001 s.d. 12.950.000 tarifnya 3,00%

Rp 12.950.001 s.d. 14.150.000 tarifnya 4,00%

Rp 14.150.001 s.d. 15.550.000 tarifnya 5,00%

Rp 15.550.001 s.d. 17.050.000 tarifnya 6,00%

Rp 17.050.001 s.d. 19.500.000 tarifnya 7,00%

Rp 19.500.001 s.d. 22.700.000 tarifnya 8,00%

Rp 22.700.001 s.d. 26.600.000 tarifnya 9,00%

Rp 26.600.001 s.d. 28.100.000 tarifnya 10,00%

Rp 28.100.001 s.d. 30.100.000 tarifnya 11,00%

Rp 30.100.001 s.d. 32.600.000 tarifnya 12,00%

Rp 32.600.001 s.d. 35.400.000 tarifnya 13,00%

Rp 35.400.001 s.d. 38.900.000 tarifnya 14,00%

Rp 38.900.001 s.d. 43.000.000 tarifnya 15,00%

Rp 43.000.001 s.d. 47.400.000 tarifnya 16,00%

Rp 47.400.001 s.d. 51.200.000 tarifnya 17,00%

Rp 51.200.001 s.d. 55.800.000 tarifnya 18,00%

Rp 55.800.001 s.d. 60.400.000 tarifnya 19,00%

Rp 60.400.001 s.d. 66.700.000 tarifnya 20,00%

Rp 66.700.001 s.d. 74.500.000 tarifnya 21,00%

Rp 74.500.001 s.d. 83.200.000 tarifnya 22,00%

Rp 83.200.001 s.d. 95.600.000 tarifnya 23,00%

Rp 95.600.001 s.d. 110.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 110.000.001 s.d. 134.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 134.000.001 s.d. 169.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 169.000.001 s.d. 221.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 221.000.001 s.d. 390.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 390.000.001 s.d. 463.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 463.000.001 s.d. 561.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 561.000.001 s.d. 709.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 709.000.001 s.d. 965.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 965.000.001 s.d. 1.419.000.000 tarifnya 33,00%

lebih dari Rp 1.419.000.000 tarifnya 34,00%

 

 

Pemprov DKI Respon Protes Pengusaha Klub Malam tentang Pajak Hiburan

IKPI, Jakarta: Provinsi DKI Jakarta merespons protes pengacara kondang Hotman Paris Hutapea yang mengeluhkan kelab malam Cs kena pajak 40 persen-75 persen.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Lusiana Herawati mengatakan pihaknya hanya mengikuti arahan pemerintah pusat. Arahan itu tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

“Pajak hiburan (diskotek Cs) sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 range-nya antara 40 persen-75 persen. DKI menetapkan dalam peraturan daerah (perda) yang baru tarifnya 40 persen,” kata Lusi seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (9/1/2024).

“Protes ke pemerintah pusat. Kalau kami di daerah hanya menjalankan UU Nomor 1 Tahun 2022 dan perda yang lama sudah tidak berlaku lagi,” sambungnya.

Lusi mengatakan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, live musik dengan disc jockey (DJ), dan sejenisnya mulanya dipatok 25 persen oleh Pemprov DKI. Sedangkan panti pijat serta mandi uap atau spa dipajaki 35 persen.

Aturan tersebut tertuang dalam Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan.

Namun, Lusi menegaskan tarif lama itu sudah tak berlaku lagi. Ia menyebut DKI kini mematok pajak 40 persen untuk dua kelompok tersebut, di mana aturannya berlaku efektif per 5 Januari 2024.

Meski begitu, ada peluang tarif tersebut turun kembali dari 40 persen ke 25 persen. Syaratnya, rancangan undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) mesti disahkan DPR RI dan diteken presiden.

Dalam draf RUU DKJ disebutkan range pajak hiburan untuk kelompok diskotek Cs berkisar antara 25 persen-75 persen.

“Makanya kita lagi mengusulkan di RUU DKJ. Sepanjang belum disahkan UU DKJ, kita harus ikut UU Nomor 1 Tahun 2022. Iya (kalau UU DKJ sah tarif pajak hiburan diskotek Cs tetap 25 persen),” tegas Lusi.

Terpisah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengatakan tarif pajak hiburan merupakan kewenangan pemerintah daerah.

DJP mengatakan pajak hiburan dipungut langsung oleh pemerintah kabupaten/kota.

“Pajak hiburan itu adalah wewenang pemerintah daerah,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti, dikutip dari Antara.

“Jadi, itu sudah mutlak, kalau sesuai dengan UU HKPD, tidak diatur oleh pemerintah pusat. Itu adalah memang sepenuhnya kewenangan pemda,” tegasnya.

CNNIndonesia.com telah berupaya menghubungi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu yang berkoordinasi dengan pemda soal UU HKPD untuk menjelaskan urgensi tarif pajak hiburan 40 persen-75 persen. Kendati, pihak DJPK belum menjawab hingga berita ini tayang.

Sementara itu, protes Hotman Paris dilayangkan secara terbuka melalui akun Instagram pribadinya @hotmanparisofficial pada Sabtu (6/1). Ia mengunggah tangkapan layar dari UU HKPD soal pajak kelab malam hingga spa. (bl)

DJP Tegaskan Pajak Hiburan Kewenangan Pemda

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan pajak hiburan merupakan kewenangan pemerintah daerah (pemda) bukan pemerintah pusat.

“Pajak hiburan itu adalah wewenang pemerintah daerah,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (9/1/2024).

Pernyataannya tersebut merespons cuitan pengacara kondang Hotman Paris. Melalui akun Instagram pribadinya, Hotman Paris menyoroti besaran pajak hiburan yang berada dalam rentang 40 persen hingga 75 persen. Menurut dia, besaran tersebut berpotensi mengancam kelangsungan industri pariwisata di Indonesia.

Sementara itu, Dwi menjelaskan pajak hiburan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, yang pajaknya dibayarkan oleh konsumen sehingga pelaku usaha hanya memungut pajak yang telah ditetapkan.

“Jadi, itu sudah mutlak, kalau sesuai dengan UU HKPD, tidak diatur oleh pemerintah pusat. Itu adalah memang sepenuhnya kewenangan pemda,” ujar Dwi.

Diketahui, pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah.

Dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (15/12/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh terutama didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.

Adapun penerimaan pajak daerah hingga November 2023 tercatat sebesar Rp212,26 triliun atau tumbuh 3,8 persen secara tahunan dari sebelumnya Rp204,51 triliun. (bl)

DJP Ungkap 219.593 Wajib Pajak Sudah Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan 219.593 wajib pajak (WP) sudah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2023 per 8 Januari 2024.

“Sampai hari ini, sudah 219.593 wajib pajak yang sudah menyampaikan SPT, terdiri dari orang pribadi (OP) 208.997 dan badan 10.596,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (9/1/2024).

Batas waktu pelaporan SPT untuk wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2024, sementara untuk wajib pajak badan pada 30 April 2024.

Dwi mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT, baik secara daring maupun luring.

DJP juga akan mengirimkan email ke wajib pajak pada Februari mendatang sebagai bentuk pengingat agar wajib pajak memenuhi kewajiban dalam melaporkan SPT tahunan.

Adapun sistem pelaporan pada SPT kali ini masih menggunakan sistem pelaporan yang berlaku sebelumnya. Sebab, sistem inti perpajakan (core tax system) yang sedang dipersiapkan DJP baru akan berlaku pada 1 Juli 2024.

“Sebentar lagi kita akan pakai core tax, tapi saat ini SPT masih pakai sistem yang sama seperti tahun lalu,” ujar Dwi.

Sementara progres pengembangan sistem inti perpajakan kini tengah berada pada tahap habituasi untuk pengujian sebelum diimplementasikan.

DJP memastikan sistem perpajakan baru yang akan diterapkan nantinya sudah dalam kondisi kesiapan yang memadai.

“Untuk sekarang prosesnya masih terus berlanjut, sekarang masih jalan terus habituasi. Mudah-mudahan nanti pertengahan tahun bisa segera kami implementasikan. Kita terus bekerja keras supaya ini sesuai dengan jadwal yang ditetapkan,” tutur dia.

Core tax system atau pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) bertujuan untuk mengoptimalkan layanan dan pengawasan terhadap para wajib pajak.

Manfaat lain dari core tax system yakni terciptanya sebuah sistem yang terintegrasi sehingga mengurangi beban pekerjaan manual, mendorong lebih produktif, serta adanya peningkatan kapabilitas pegawai. (bl)

 

Pengusaha Minta Pemerinta Tinjau Ulang Pajak Kripto

IKPI, Jakarta: CEO Indodax Oscar Darmawan menilai aturan mengenai pajak kripto perlu ditinjau ulang guna memaksimalkan pertumbuhan industri kripto di Indonesia.

“Indonesia membutuhkan sebuah trigger atau pemicu untuk merangsang pertumbuhan industri kripto di Indonesia. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan melakukan peninjauan kembali besaran nominal pajak kripto di Indonesia,” kata Oscar, seperti dikutip dari AntaraNews.com, Senin (8/1/2024).

Dia menjelaskan saat ini terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang dikenakan di Indonesia, yaitu pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,10 persen, PPN sebesar 0,11 persen, dan tambahan 0,02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring.

Selain itu, jika bertransaksi menggunakan stablecoin seperti USDT, akan dikenakan penggandaan pajak.

Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, lanjut dia, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia.

Oleh sebab itu, CEO perusahaan jual beli aset kripto itu menilai kebijakan yang ada saat ini memberikan beban finansial yang sangat berat bagi para investor kripto. Total jumlah pajak yang harus disetorkan setiap bulan bahkan melebihi pendapatan pelaku industri.

“Apalagi jika dibandingkan dengan pajak di industri saham, nominal pajak di industri kripto saat ini tidak seimbang. Pajak saham totalnya hanya 0,1 persen. Maka dari itu, lebih baik jika para investor di Indonesia dibebaskan dari besaran PPN, seperti di industri saham,” ujar dia.

Oscar juga menjelaskan exchange asing yang beroperasi di Indonesia saat ini seharusnya bisa dikenakan pajak triliunan rupiah, tapi tidak pernah ditagih oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sementara industri kripto domestik perlu membayar pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang sekarang.

Menurut dia, hal itu menciptakan ketidakadilan bagi industri kripto dan memicu terjadinya capital outflow dari industri kripto Indonesia.

Padahal, tahun ini banyak momentum penting bagi industri kripto, salah satunya halving day bitcoin.

Secara historis, momentum tersebut dapat mendorong pertumbuhan aset kripto di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hal itu disebabkan harga harga bitcoin dan aset kripto lainnya selalu mengalami kenaikan signifikan pada momentum halving day. Maka dari itu, banyak orang yang tertarik berinvestasi pada aset kripto sehingga kinerja industri kripto turut terdongkrak.

“Saya berharap adanya peraturan pajak ini tidak menjadi penghambat untuk mendorong pertumbuhan industri kripto di Indonesia,” kata dia.

 

Ini Bunyi Aturan PBJT yang Dikeluhkan Hotman Paris

IKPI, Jakarta: Hotman Paris mengomentari besaran Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Pengacara kondang ini diketahui sebagai salah satu pemilik bisnis hiburan seperti diskotek dan Atlas Beach Club di Bali.

Aturan PBJT tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Besaran PBJT atas jasa hiburan ditetapkan paling rendah 40%, dan paling tinggi 75%.

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen),” bunyi pasal 58 ayat 2 Undang-Undang tersebut, dikutip Sabtu (6/1/2024).

Isi pasal tersebut lantas diposting Hotman Paris di Instagram pribadinya @hotmanparisofficial. Ia menilai besaran pajak sebesar 40% sampai 75% bisa mengancam kelangsungan industri pariwisata Indonesia.

“What? 40 s.d 75 persen pajak?? What?? OMG. (Kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam),” tulis Hotman Paris.

Pajak yang diprotes Hotman Paris merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. PBJT sendiri dibayarkan oleh konsumen atas barang/jasa tertentu.

Dikutip dari Pasal 4 ayat 2, berikut jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota:

a. PBB-P2

b. BPHTB

c. PBJT

d. Pajak Reklame;

C. PAT

f. Pajak MBLB

g. Pajak Sarang Burung Walet

h. Opsen PKB

i. Opsen BBNKB.

Hotman Paris Sebut Pajak Hiburan 40 Persen Bisa Matikan Usaha

IKPI, Jakarta: Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea mengeluhkan usaha jasa kesenian dan hiburan dikenakan pajak 40 persen.

Keluhan ini ia lontarkan melalui unggahan reels di akun Instagram miliknya @hotmanparisofficial, Sabtu (6/1/2024).

Hotman menilai pungutan pajak 40 persen untuk usaha jasa hiburan sangat tinggi. Menurut dia, tarif pajak tersebut dapat mematikan usaha. Ia juga mengajak para pelaku usaha hiburan lainnya untuk ikut protes mengenai hal ini.

“Apa ini benar!? Pajak 40 persen? Mulai berlaku Januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk,” tulis Hotman dalam unggahannya.

Dalam foto yang diunggah Hotman, terlihat aturan yang berisikan tarif pajak untuk masing-masing barang dan jasa.

Hotman secara khusus melingkari tarif pajak untuk jasa kesenian dan hiburan. Tertulis, “khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40 persen.”

Dalam aturan itu juga tertulis tarif pajak untuk makanan dan minuman sebesar 10 persen, jasa perhotelan 10 persen, dan jasa parkir 10 persen.

Selain dikenal sebagai pengacara terkenal, Hotman juga diketahui memiliki lini bisnis kelab malam. Hotman diketahui sebagai salah satu pemilik saham HW Group yang banyak memiliki sejumlah kelab malam.

Gerai kelab malam milik Hotman dan HW Grup pun semakin menggurita setelah bakal dibukanya The H Club.

“The H Club SCBD! Baru dan terbesar di Asia,” tulis Hotman Paris di Instagram. (bl)

 

Imbas Penerapan Pajak 40 Persen, Pemprov Bali Minta Balinese Spa Tak Digolongkan Sebagai Hiburan

IKPI, Jakarta: Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan pemerintah provinsi masih memperjuangkan Balinese Spa yang berpotensi hilang jika harus menerapkan pajak yang nilainya naik dari 15 persen menjadi 40 persen.

“Iya perjuangkan karena itu khas kita, kan Bali selalu menjadi destinasi terbaik untuk spa di dunia, itu yang akan kita jaga. Mengapa, karena ada kekhasannya dalam Balinese Spa itu,” kata Tjok Bagus seperti dikutip dari AntaraNews.com, Senin (8/1/2024).

Saat ini Dispar Bali sedang mengumpulkan kajian yang tepat mengenai posisi usaha spa, lantaran dalam aturan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) ada mandi uap/spa yang masuk dalam jasa hiburan sehingga pajaknya menjadi 40 persen.

“Masalah pajaknya oke lah belakangan, tapi ini kok sebagai penghibur gitu, kok dimasukkan sebagai hiburan. Spa ini kan sebetulnya kita melindungi Balinese Spa itu, takutnya terapis kita diambil orang luar nanti, jadi waktu wisatawan mau spa ke Bali malah tidak ada Balinese Spa,” ujar Tjok.

Kajian ini sendiri juga rencananya akan dibantu dikumpulkan oleh asosiasi pengusaha spa dan pariwisata, untuk selanjutnya didiskusikan bersama Pj Gubernur Bali dalam menentukan langkah selanjutnya.

Pejabat Pemprov Bali ini mengatakan idealnya usaha spa masuk dalam kategori kebugaran dan kesehatan, namun ketika masuk sebagai jasa hiburan keluhan juga masuk dari berbagai elemen seperti Indonesian Hotels and General Manager Association (IHGMA) dan Bali Spa and Wellness Association (BSWA).

Menurut mereka saat ini industri spa khususnya di Bali sedang mengembangkan spa berdasarkan etnografi, kekayaan atau tradisi dalam suatu daerah, dengan begitu diharapkan popularitasnya meningkat seperti Thai Massage dan Swedish Massage.

Dengan pajak yang tinggi selain terapis yang berpaling juga memberatkan pelaku usaha jika harus memotong keuntungannya atau memberatkan konsumen jika dibebankan ke konsumen.

“Ya tentu ini memang perlu kita kaji lagi karena sudah berupa undang-undang, mudah-mudahan bisa ada revisi dan sebagainya. Yang jelas ini spa mengapa harus dikategorikan sebagai hiburan itu yang saya masih belum tahu,” kata Kepala Dispar Bali.

Selanjutnya ketika Pemprov Bali sudah mengantongi kajian yang sesuai maka ada rencana Tjok Bagus mendiskusikan hal ini ke Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. (bl)

Ekonom Sebut Kenaikan Pajak Rokok Elektrik Sudah Tepat

IKPI, Jakarta: Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai, penetapan pajak dan cukai atas rokok elektrik sebesar 10 persen dan 15 persen oleh pemerintah merupakan langkah yang sudah tepat.

Aturan tersebut tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

“Ini demi equal playing field. Karena rokok konvensional sudah dikenakan pajak rokok, sudah seharusnya rokok elektrik dikenakan pajak rokok. Dan secara waktu, rokok elektrik sudah kelonggaran dalam implementasi. Seharusnya, ketika dikenakan cukai rokok, pajak rokok elektrik dikenakan namun pemerintah baru mengenakannya sekarang,” kata Fajry seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (5/1/2024).

Penetapan cukai rokok elektrik yang lebih tinggi dibandingkan cukai rokok tembakau juga dinilai lebih adil mengingat harga rata-rata rokok elektrik atau yang sering disebut vape relatif murah.

Pemerintah sendiri tetap mempertahankan tarif cukai hasil tembakau (CHT) serta pajak rokok tembakau sebesar 10 persen hingga 2024 ini. Hal itu telah ditetapkan melalui PMK No 191 Tahun 2022.

Kendati demikian, menurut Fajry seharusnya pemerintah harus tetap mengajak para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam merumuskan PMK terkait perubahan tarif cukai atau pajak atas industri rokok elektrik.

“Hanya saja, seharusnya pemerintah mengajak stakeholder seperti asosiasi dalam merumuskan kebijakan agar tidak ada penolakan atau menjadi gaduh di publik,” jelasnya.

Senada dengan Fajry, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono juga menilai penetapan tarif atas rokok elektrik dan pajak rokok elektrik sudah tepat. Dengan adanya aturan tersebut, maka diharapkan aspek pengendalian konsumsi dan penerimaan negara melalui cukai menjadi optimal.

“Secara sederhana, harga atas pembelian rokok yang harus ditanggung konsumen meningkat. Dengan demikian, diharapkan konsumsi masyarakat atas rokok menjadi turun atau dapat lebih dikendalikan,” tutur Prianto.

Prianto lanjut menjelaskan, dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pengenaan cukai dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan pajak rokok oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov). Keduanya merupakan bentuk pajak yang dapat memiliki minimal dua fungsi.

Fungsi pertama adalah untuk menambah penerimaan pemerintah sehingga pemerintah dapat melakukan redistribusi pajak tersebut berupa belanja pemerintah. Fungsi kedua adalah earmarking, yaitu penerimaan pajak tersebut digunakan untuk mengatasi secara khusus dampak negatif dari konsumsi rokok.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman saat konferensi pers Kinerja dan Realisasi APBN 2023 menyampaikan bahwa, pengenaan pajak atas rokok elektrik lebih menekankan tujuan memberikan keadilan daripada soal penerimaan negara.

“Pertimbangan utama dari penerapan pajak rokok elektrik itu bukan dari aspek penerimaan, tetapi lebih soal memberikan keadilan atau level of playing field,” kata Luky.

Dirinya mengungkapkan, penerimaan cukai rokok elektrik pada 2023 tercatat sebesar Rp1,75 triliun atau hanya 1 persen dari total penerimaan CHT dalam setahun. Artinya, jika tahun ini dipungut pajak rokok elektrik penerimaannya hanya sekitar Rp175 miliar.

Oleh sebab itu, sambung dia, pengenaan pajak rokok bukan soal penerimaan negara, melainkan memberikan keadilan lantaran rokok konvensional telah dikenakan pajak sejak 2014. (bl)

en_US