DJP Jatim Sita Rp31,5 Miliar Aset Penunggak Pajak 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan hukum perpajakan dengan menggelar Pekan Sita Serentak di wilayah Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanakan serempak oleh tiga Kantor Wilayah DJP, yaitu Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III, sejak 28 Juli hingga 1 Agustus 2025.

Pekan Sita Serentak ini merupakan bagian dari strategi penagihan aktif untuk mengamankan penerimaan negara dari Wajib Pajak yang menunggak. Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, mengungkapkan bahwa kegiatan ini menyasar penunggak pajak yang tidak kooperatif, meski telah diberikan berbagai pendekatan persuasif.

“Penyitaan ini adalah langkah hukum yang harus ditempuh setelah upaya persuasif tidak membuahkan hasil. Ini bukan hanya soal menagih, tapi mengingatkan bahwa kewajiban pajak adalah bentuk konkret partisipasi dalam membangun negara,” kata Vita, melalui keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (2/8/2025).

Dalam kegiatan ini, sebanyak 217 aset milik 164 penunggak pajak berhasil disita. Nilai tunggakan pajak dari para wajib pajak tersebut mencapai Rp219,7 miliar, sementara nilai estimasi dari aset yang disita mencapai Rp31,5 miliar. Proses penyitaan dilakukan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) berdasarkan hasil penelusuran aset (asset tracing) yang sah secara hukum.

Tindakan penyitaan ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 yang mengatur tata cara pelaksanaan penagihan pajak melalui Surat Paksa.

Meski tegas, DJP tetap mengedepankan prinsip humanis. Vita menegaskan bahwa penyitaan bukan akhir dari proses: “Kami tetap membuka pintu bagi wajib pajak yang ingin menyelesaikan kewajibannya. Jika pembayaran dilakukan sebelum aset dilelang, maka aset tersebut bisa dikembalikan,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum ini penting untuk membangun budaya patuh pajak di tengah masyarakat. “Imbauan saja tidak cukup. Kepatuhan perlu ditegakkan dengan konsisten agar rasa keadilan dalam sistem perpajakan tetap terjaga,” ujarnya.

Kanwil DJP Jawa Timur II memastikan bahwa pendekatan yang digunakan tetap seimbang, antara edukasi, pelayanan prima, dan tindakan hukum yang proporsional. Dengan langkah ini, DJP berharap dapat membangun kesadaran kolektif bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban, tapi juga bentuk nyata kontribusi untuk negeri. (alf)

 

Mengintip Daftar Negara dengan Tarif Pajak Tertinggi di Dunia

IKPI, Jakarta: Pajak merupakan nadi pembangunan. Dari sinilah negara membiayai rumah sakit, pendidikan, infrastruktur, hingga perlindungan sosial bagi masyarakat. Tapi tahukah Anda bahwa besaran tarif pajak di setiap negara sangat bervariasi?

Beberapa negara memilih tarif rendah demi menarik investasi asing, sementara lainnya menetapkan tarif tinggi demi menjamin kesejahteraan sosial warganya. Menariknya, negara-negara dengan tarif pajak tertinggi justru kerap menjadi contoh sukses dalam penyelenggaraan layanan publik yang efisien dan merata.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut daftar delapan negara dengan tarif pajak tertinggi di dunia pada 2024–2025:

1. Pantai Gading – 60%

Negara Afrika Barat ini memegang rekor tarif pajak penghasilan individu tertinggi di dunia, yakni 60%. Meski tergolong negara berkembang, Pantai Gading memanfaatkan pajak sebagai instrumen pembangunan—memperluas listrik desa, memperbaiki jalan, hingga mendanai layanan kesehatan. Pemerintahnya terus berbenah untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari pajak benar-benar kembali ke rakyat.

2. Finlandia – 56,95%

Negara Nordik ini menjadi simbol keberhasilan negara kesejahteraan. Warga Finlandia menikmati pendidikan gratis hingga universitas, layanan kesehatan tanpa biaya langsung, serta jaminan sosial komprehensif. Tingginya tarif pajak justru dipandang sebagai investasi bersama demi menciptakan masyarakat yang setara dan aman secara ekonomi.

3. Jepang – 55,95%

Menghadapi penuaan populasi dan beban pensiun yang besar, Jepang menetapkan tarif pajak penghasilan tinggi demi menopang sistem sosial. Dengan tambahan PPh Badan 30,6% dan PPN 10%, Jepang berhasil membiayai asuransi kesehatan nasional dan program pensiun publik, menjadikannya salah satu model negara maju dengan jaring pengaman sosial paling luas.

4. Denmark – 55,9%

Denmark dikenal sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia, dan itu tak lepas dari sistem pajak progresifnya. Dari layanan kesehatan hingga transportasi publik, hampir seluruh kebutuhan dasar warganya ditanggung negara. Tak hanya itu, mahasiswa perguruan tinggi pun menerima tunjangan hidup dari negara.

5. Austria – 55%

Austria menjalankan sistem pajak progresif untuk mendanai layanan publik dan subsidi sosial. Pendidikan, asuransi kesehatan, hingga program bantuan untuk disabilitas dan lansia dibiayai dari penerimaan pajak. Dengan PPh Badan 24% dan PPN 20%, negara ini memprioritaskan jaminan sosial sebagai hak dasar.

6. Belgia – 53,7%

Meski dikenal memiliki sistem pajak yang kompleks, Belgia menawarkan infrastruktur dan layanan publik berkualitas tinggi. Sistem kereta cepat, rumah sakit canggih, hingga tunjangan sosial berbasis pendapatan membuat warga merasa terjamin. Pajak tinggi pun dianggap sepadan dengan manfaat yang diterima.

7. Swedia – 50%

Pernah menyentuh 61,86% pada 1996, tarif PPh Swedia kini berada di angka 50%. Namun layanan yang diterima warga—dari pendidikan dan kesehatan gratis, cuti melahirkan panjang, hingga subsidi pengasuhan anak—menjadikannya salah satu negara dengan sistem sosial terbaik di dunia.

8. Belanda – 49%

Belanda membuktikan bahwa tarif tinggi bukan penghalang kemajuan. Transportasi modern, sistem kesehatan terintegrasi, serta pendidikan terjangkau jadi hasil dari sistem perpajakan yang efisien dan digital. Pemerintahnya terus mendorong transparansi agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di tengah upaya reformasi perpajakan, Indonesia masih menerapkan tarif yang relatif rendah. Pajak penghasilan orang pribadi berada di kisaran 5%–30%, bergantung pada penghasilan.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga April 2025 mencapai Rp557,1 triliun turun 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menyikapi hal ini, pemerintah menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru pada 23 Mei 2025.

Reformasi pun terus didorong, termasuk melalui core tax system yang bertujuan meningkatkan efisiensi, memperluas basis pajak, dan menumbuhkan kepatuhan sukarela.

Meski tarif belum setinggi negara maju, Indonesia menempatkan transparansi, akuntabilitas, dan pemerataan manfaat sebagai fondasi reformasi perpajakan ke depan. (alf)

 

China Pertegas Aturan Kredit Pajak bagi Investor Asing yang Lakukan Reinvestasi Dividen

IKPI, Beijing: Pemerintah China kembali menunjukkan komitmennya dalam menarik investasi asing melalui kebijakan fiskal yang lebih ramah. Administrasi Perpajakan Negara (State Taxation Administration/STA) resmi merilis panduan teknis pelaksanaan insentif pajak penghasilan badan bagi investor asing yang melakukan reinvestasi dividen di dalam negeri.

Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari insentif pajak yang sebelumnya diumumkan oleh otoritas keuangan, perpajakan, dan perdagangan China.

Dalam skemanya, investor asing yang menginvestasikan kembali dividen dari perusahaan-perusahaan berbasis di China ke proyek domestik dapat menikmati kredit pajak sebesar 10 persen atas Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).

Fasilitas pajak ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2025 hingga 31 Desember 2028. Tak hanya memberikan keringanan langsung, kebijakan ini juga memungkinkan sisa kredit yang belum dimanfaatkan untuk dibawa ke periode pajak berikutnya.

Selain itu, investor yang berasal dari negara dengan perjanjian pajak bilateral bersama China berpeluang mendapatkan tarif lebih rendah sesuai kesepakatan internasional yang berlaku.

Dikutip dari Xinhua, Sabtu (2/8/2025), dalam pemberitahuannya, STA menjelaskan bahwa laba yang dialokasikan untuk meningkatkan modal terdaftar, menyetor tambahan modal, atau memperkuat cadangan modal perusahaan akan dianggap sebagai reinvestasi yang memenuhi syarat.

Aturan ini turut mengatur secara rinci berbagai aspek teknis, mulai dari definisi periode kepemilikan saham oleh investor asing, metode kalkulasi kredit pajak, hingga prosedur klaim yang harus ditempuh oleh wajib pajak asing.

Langkah ini menegaskan arah kebijakan China dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, khususnya bagi pemodal asing yang ingin menanamkan kembali keuntungannya ke sektor riil. Data STA sebelumnya menunjukkan bahwa sepanjang 2024, tren reinvestasi asing dengan skema penangguhan pajak tumbuh signifikan menandakan respons positif terhadap kebijakan insentif yang ditawarkan pemerintah. (alf)

 

IKPI Pengda Kepri dan Kanwil DJP Kepulauan Riau Perkuat Sinergi Lewat FGD

IKPI, Batam: Dalam rangka memperkuat sinergi antara Konsultan Pajak dan otoritas perpajakan, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Kepulauan Riau menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kepulauan Riau, Kamis (31/7/2025). Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pejabat DJP Kepri serta para kepala seksi dari berbagai KPP di wilayah tersebut.

Ketua IKPI Pengda Kepri, Ing Ing Cindy Eva, menegaskan bahwa FGD ini merupakan forum penting untuk menyamakan persepsi antara konsultan pajak dan DJP dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. “Tujuan dari FGD ini adalah untuk mempermudah dan memperlancar pekerjaan kami sebagai konsultan pajak. Jika pekerjaan kami lancar, maka target penerimaan pajak tentu akan lebih mudah tercapai,” ujarnya, Sabtu (2/7/2025).

Ing Ing juga menekankan bahwa sebagai organisasi profesi, IKPI memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk terus aktif terlibat dalam pembentukan kebijakan perpajakan yang adil dan transparan. “Kami tidak hanya berperan sebagai pendamping Wajib Pajak, tetapi juga sebagai mitra strategis DJP dalam menjaga kepatuhan perpajakan,” tambahnya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Kepulauan Riau)

Dalam diskusi tersebut, sejumlah topik penting dibahas, mulai dari urgensi surat kuasa dalam proses klarifikasi, program edukasi awal oleh P2Humas kepada Wajib Pajak (preliminary SP2DK), hingga mekanisme penanganan SP2DK, SP3P2DK, dan SP2. Pembahasan ini ditujukan untuk memperjelas prosedur dan mencegah potensi miskomunikasi di lapangan.

Turut hadir dalam FGD ini, Kepala Kanwil DJP Kepri Imanul Hakim, bersama jajaran pejabat eselon III dan IV, termasuk Rizal Fahmi (Kabid Pemeriksaan dan Penagihan), Benny Parlauangan Sialagan (Kabid Keberatan dan Banding), serta Delfi Azraaf (Kabid Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas). Selain itu, para kepala kantor dan kepala seksi dari KPP Pratama Batam Utara, Madya Batam, Batam Selatan, Bintan, dan Tanjung Balai Karimun juga hadir dalam pertemuan ini.

Menurut Ing Ing, FGD ini sekaligus menjadi momentum memperkuat kolaborasi dan membuka ruang dialog antara praktisi pajak dan otoritas, demi sistem perpajakan yang lebih akuntabel dan efisien di Kepulauan Riau.

“Konsultasi dan komunikasi dua arah seperti ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Kami harap kegiatan ini menjadi agenda rutin,” ujarnya.

Pesan dari Kanwil DJP Kepri

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Kepri, Imanul Hakim menyampaikan pentingnya membangun kerja sama strategis antara DJP dan konsultan pajak, khususnya dalam mendorong peningkatan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela dan berkelanjutan. Ia memperkenalkan sejumlah pejabat baru di lingkungan DJP Kepri yang diharapkan mampu menjadi jembatan koordinasi aktif dalam kolaborasi dengan mitra eksternal seperti IKPI.

Imanul menegaskan, sinergi yang telah terjalin ini tidak cukup hanya di tataran formal, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata seperti kegiatan edukasi bersama, dialog rutin, dan penyelesaian masalah teknis secara kolaboratif di lapangan.

Lebih lanjut Ing Ing menyampaikan apresiasi atas keterbukaan dan respons positif DJP Kepri terhadap keberadaan IKPI sebagai mitra strategis. Ia menegaskan komitmen IKPI untuk terus berperan aktif sebagai penghubung antara Wajib Pajak dan DJP dalam hal edukasi, konsultasi, dan pendampingan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Melalui forum FGD ini, ia berharap dapat menyusun rencana aksi bersama yang konkret untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pengawasan kepada Wajib Pajak di wilayah Kepulauan Riau. (bl)

DJP-ESDM Perkuat Sinergi Pajak: Targetkan Optimalisasi Penerimaan dari Tambang dan Migas

IKPI, Jakarta: Upaya optimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan dan migas memasuki babak baru. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memperkuat sinergi melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) strategis pada 31 Juli 2025.

Langkah ini tak hanya ditujukan untuk memperbaiki pengawasan dan kepatuhan perpajakan di sektor mineral, batu bara, dan migas, tetapi juga menjawab tantangan klasik yang selama ini menghambat efektivitas penerimaan negara dari sektor-sektor strategis tersebut.

“Penandatanganan PKS ini merupakan milestone yang sudah kami nantikan sejak awal tahun. Ini bukan hanya soal penandatanganan, tetapi komitmen bersama untuk memperkuat fondasi fiskal negara,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Bimo menjelaskan, kerja sama ini lahir dari kebutuhan akan pertukaran data yang lebih terintegrasi dan real-time antara DJP, Ditjen Minerba, dan SKK Migas. Tujuannya, meningkatkan efektivitas pengawasan serta menumbuhkan kepatuhan sukarela para pelaku usaha pertambangan dan migas.

Tak berhenti di pertukaran data, DJP juga akan menyiapkan insentif dan kemudahan perpajakan bagi pelaku usaha yang tunduk pada regulasi dan berada di bawah pembinaan Ditjen Minerba dan SKK Migas. Fasilitas tersebut menjadi bentuk timbal balik atas dukungan data dan koordinasi dari kedua institusi di bawah Kementerian ESDM.

Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyambut positif sinergi ini. “Kami sepakat bahwa penerimaan negara dari sektor minerba perlu terus ditingkatkan, dan itu hanya bisa dilakukan dengan kerja sama lintas lembaga. Kami juga siap menghadirkan pelaku usaha dalam konsinyering bersama DJP agar komunikasi dan pemahaman bisa lebih terbangun,” katanya.

Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya pengelolaan energi dan sumber daya mineral yang lebih efisien dan akuntabel. Ia menegaskan bahwa kerja sama ini mencakup berbagai aspek penting, mulai dari pemanfaatan Surat Keterangan Fiskal (SKF) dalam proses perizinan, pertukaran data, hingga penyusunan kontrak bagi hasil migas yang berkelanjutan.

“Sinergi seperti ini akan menjadi motor penggerak dalam menjaga keberlanjutan penerimaan negara dari sektor-sektor strategis,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

 

 

DJP Perkuat Integrasi Digital, NIK Jadi Senjata Baru Optimalkan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus mengakselerasi transformasi digital di bidang perpajakan. Salah satu langkah strategisnya adalah memperbarui kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dengan fokus pada integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam platform Digital ID.

“Dengan adanya Digital ID, variabel informasi dari tiap individu akan semakin kaya dan relevan bagi kepentingan optimalisasi penerimaan pajak,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam taklimat media di Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.

Digital ID, atau Identitas Kependudukan Digital, merupakan bentuk elektronik dari KTP yang dapat diakses melalui gawai. Identitas ini mengacu pada Permendagri Nomor 72 Tahun 2022 dan menyajikan data pribadi serta dokumen kependudukan dalam format digital yang lebih dinamis dan terintegrasi.

Bimo menyebutkan bahwa integrasi data tersebut merupakan bagian dari arsitektur besar e-government, sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Tak hanya itu, ia juga menyinggung peluncuran Payment ID oleh Bank Indonesia yang dijadwalkan pada 17 Agustus 2025. Menurutnya, inisiatif tersebut senafas dengan visi pemerintah dalam membangun sistem layanan publik yang saling terhubung, efisien, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

“Kolaborasi ini bukan hanya soal teknis perpajakan, tapi mencerminkan arah kebijakan nasional dalam memperkuat ekosistem digital,” tambah Bimo.

DJP dan Dukcapil sendiri telah menandatangani pembaruan perjanjian kerja sama (PKS) pada 29 Juli 2025. PKS ini mencakup tiga pilar utama: validasi NIK, pemutakhiran data kependudukan, dan layanan face recognition untuk memperkuat administrasi dan pengawasan pajak.

“Ini bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Kami ingin sistem perpajakan yang tidak hanya kuat dari sisi pengawasan, tetapi juga unggul dalam memberikan layanan publik yang cepat, pasti, dan murah,” tegas Bimo.

Meski biasanya diperbarui tiap tiga tahun, kali ini jangka waktu PKS diperpanjang menjadi lima tahun sebagai bentuk komitmen jangka panjang.

Dengan dukungan teknologi dan sinergi antarlembaga, DJP optimistis langkah ini akan memperkuat pondasi pajak digital di Indonesia dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara berkelanjutan. (alf)

 

IKPI DKJ Sambangi Tiga KPP LTO Sekaligus, Perkuat Hubungan Strategis Konsultan dan Otoritas Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah DKJ terus memperkuat sinergi dengan otoritas pajak melalui serangkaian kunjungan silaturahmi ke tiga Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar (LTO) pada Selasa, (30/7/2025).

Kunjungan berturut-turut dilakukan ke KPP LTO II, III, dan IV oleh delegasi IKPI DKJ yang dipimpin oleh Tan Alim (ketua), Hery Juwana (Ketua Bidang Humas), Yeni Halim, Daniel Mulia, dan Humala Napitupulu. Mereka didampingi perwakilan pengurus cabang seperti Sahata S (Ketua Jakarta Selatan), Franky F (Ketua Jakarta Utara), Suryani (Ketua Pusat), serta Gunardi dan Apriyanto (cabang Bekasi).

Silaturahmi ke KPP LTO IV

(Foto: DOK. IKPI Pengurus Daerah DKJ)

Pada pagi harinya, kunjungan telah diawali ke KPP LTO IV dan diterima langsung oleh Kepala Kantor Bai Nur Hidayat serta jajaran pengawas. Diskusi berfokus pada optimalisasi komunikasi antara pemeriksa pajak dan konsultan, guna mencegah potensi miskomunikasi dalam penanganan kasus perpajakan.

Silaturahmi ke KPP LTO II

Dicerifakan Hery, rombongan IKPI DKJ disambut oleh Kepala KPP LTO II, Yanu Asmadi, beserta Kasie Pengawasan dan Supervisor Fungsional Pemeriksa. Dialog berlangsung hangat dengan pembahasan seputar tantangan kepatuhan pajak dan peran strategis konsultan pajak dalam mendampingi wajib pajak besar secara profesional.

Silaturahmi ke KPP LTO III

(Foto: DOK. IKPI Pengurus Daerah DKJ)

Selanjutnya, rombongan melanjutkan kunjungan ke KPP LTO III dan bertemu dengan Kepala Kantor, Bapak Budi Christiadi, bersama Kasie Pengawasan. Pertemuan ini menjadi ajang berbagi pandangan tentang pengawasan yang berbasis data dan pentingnya pemahaman bersama terhadap perubahan regulasi perpajakan.

Hery menegaskan, bahwa rangkaian kunjungan ini merupakan bagian dari komitmen IKPI untuk menjaga hubungan harmonis dan konstruktif dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), khususnya di lingkungan Wajib Pajak Besar.

“Silaturahmi ini bukan sekadar seremonial, tapi langkah konkret untuk membangun kesepahaman yang kokoh antara konsultan pajak dan DJP dalam mendukung iklim perpajakan yang adil dan transparan,” ungkap Hery.

Menurutnya, IKPI Pengda DKJ berkomitmen untuk terus hadir sebagai mitra kritis sekaligus kolaboratif dalam meningkatkan kepatuhan pajak, dengan tetap menjunjung kode etik profesi dan asas keadilan fiskal. (bl)

 

Arifin Halim Tegaskan Kepatuhan Pajak Harus Berbasis Keadilan dan Administrasi yang Sederhana

IKPI, Jakarta: Kepatuhan pajak yang adil dan berkelanjutan hanya bisa tercapai bila sistem perpajakan dibangun & diimplementasikan di atas asas keadilan dan kemudahan administratif. Hal ini ditegaskan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Arifin Halim dalam Focus Group Discussion (FGD) bersubtema “Faktor dan Solusi Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak yang Berkeadilan” yang digelar secara daring dan terbuka untuk umum oleh IKPI pada Rabu (30/7/2025).

Acara ini diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari konsultan pajak, pelaku usaha, hingga mahasiswa. FGD menjadi ajang diskusi terbuka dalam mencari solusi konkret untuk meningkatkan kepatuhan pajak secara adil di tengah tantangan ekonomi global.

Dalam pemaparannya, Arifin mengingatkan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan, membiayai pembangunan, serta meningkatkan kecerdasan, kesehatan masyarakat, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pajak harus dikelola secara adil dan transparan agar wajib pajak merasa memiliki andil dalam kemajuan bangsa.

Ia mengutip empat asas perpajakan menurut Adam Smith yang harus terus dipegang teguh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan: asas keadilan (equity), kepastian hukum (certainty), kemudahan pembayaran (convenience of payment ), dan efisiensi pemungutan (economic of collection efficiency).

Penyebab Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak

Arifin menyoroti sejumlah faktor utama yang menyebabkan kepatuhan pajak masih rendah, antara lain:

• Rumitnya administrasi perpajakan seperti pengisian faktur pajak dan bukti potong PPh,

• Peraturan perpajakan yang sering berubah dan membingungkan,

• Modul pelaporan SPT yang sering bermasalah atau berubah-ubah,

• Peraturan yang tidak sinkronisasi/ tidak harmonis, juga adanya kebijakan antarinstansi yang berujung pada multitafsir.

“Bayangkan, dalam perang dagang AS-Tiongkok tahun 2019, ada 33 perusahaan Tiongkok yang relokasi ke luar negeri, tapi tak satu pun yang memilih Indonesia. Yang memilih Vietnam ada 23 perusahaan dan 10 lainnya menyebar ke Kamboja, India, Malaysia, Mexiko, Serbia, dan Thailand. Ini indikasi penting: sistem & kepastian hukum perpajakan kita belum cukup menarik dan ramah investasi,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Arifin mengusulkan sejumlah solusi, di antaranya:

• Penyederhanaan faktur pajak, termasuk penerapan faktur gabungan dan batas waktu terbit akhir bulan, Penerbitan Faktur Pajak Gabungan yang saat ini hanya diperkenankan 1 dalam satu bulan kalender, perlu diberikan kemudahan untuk mendukung proses bisnis dengan diterbitkan sesuai kebutuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), agar proses bisnis PKP dalam penagihan piutang berjalan lebih lancar, misalnya diterbitkan FP Gabungan per hari atau untuk beberapa hari,

• Pelaporan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) bukan berdasarkan tanggal pendaftaran PEB, namun sesuai tanggal Shipped on Board.

• Penerbitan Faktur Pajak penganti tidak perlu membatalkan retur penjualan yang telah terjadi, karena pencatatan retur penjualan dapat saja terjadi di tahun pajak yang berbeda. Ini menambahkan keruwetan dalam pelaporan SPT Masa PPN,

• Penyederhanaan Bukti Pemotongan. Penerbitan Bukpot cukup dilakukan kepada lawan transaksi non-PKP, sedangkan untuk lawan transaksi PKP tidak perlu dipotong namun mereka menyetor sendiri dari omset mereka selama satu bulan/masa pajak berdasarkan Faktur Pajak yang telah mereka terbitkan.

• Regulasi yang agar tidak sering berubah-ubah, serta disusun secara sinkron dan harmonis dan adil bagi masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah,

• Besarnya PTKP juga perlu ditinjau kembali, khususnya untuk tambahan Wajib Pajak Kawin dan tanggungan, yang setiap tambahannya hanya sebesar Rp4,5juta setahun yang dirasa sangat minim untuk dapat memenuhi hidup standar yang paling minim sekalipun,

• Perlu tetap memperlakukan penghasilan seorang istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja (PT BH) yang mendapat 2 bukpot 1721, yaitu 1721-A1 karena sumber pembayaran dari non APBN, dan 1721-A2 yang sumber pembayaran dari APBN, ini terjadi di Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT BH), bila tidak diperlakukan sebagai penghasilan final maka akan berimplikasi keluarga dosen tersebut akan mengalami kurang bayar PPh yang cukup besar bagi ukuran mereka dan ini akan berpotensi menurunkan semangat dosen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,

• PPh UMKM perlu dipertimbangkan untuk tetap memakai tarif final dengan mengunakan 2 tarif, tarif awal 7 tahun pertama (bagi OP) dengan tarif 0,5% dan tahun berikutnya dengan tarif yang lebih besar dari 0,5%,

• Untuk argo dapat menggunakan tarif UMKM agar dimulai saat menjalankan usaha UMKM dan tidak dari sejak memiliki NPWP, hal ini agar memberikan keadilan bagi karyawan yang akhirnya kelak memilih menjalankan usaha UMKM, mereka juga perlu ditopang untuk bisa menjalankan usaha,

• Modul pelaporan SPT yang bebas bug dan diimplementasikan bertahap. Bisa mencontoh implementasi e-Faktur yang berjalan lancar,

• SP2DK sebaiknya dikirim setelah tenggat pelaporan SPT berakhir, agar memberi ruang yang cukup bagi WP menyelesaikan kewajiban SPT Tahunannya.

Arifin menyampaikan, memang tidak semua orang membayar pajak penghasilan (PPh) karena PPh dikenai bila penghasilan orang tersebut telah di atas PTKP, dimana PTKP adalah besaran bagi yang berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara normal/layak. Namun hampir semua orang membayar PPN. Bahkan seorang pengemispun membayar PPN. Oleh karena itu PTKP perlu ditinjau ulang agar dapat meningkatkan daya beli masyarakat golongan bawah. Ini juga akan mengurangi stunting bila daya beli masyarakat bawah meningkat guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ia juga menekankan perlunya tenggak waktu perberlakuan suatu peraturan, akan lebih baik bila waktu pemberlakuan regulasi dipilih waktu yang tepat, misalnya Juli tahun berikutnya, agar dunia usaha bisa menyesuaikan diri. Pemberlakuan regulasi dalam periode Januari sampai dengan April tentu menambah beban kerja karena wajib pajak sedang menyampaikan SPT Tahunan.

Menurut Arifin, investor dan wajib pajak sejatinya hanya membutuhkan tiga hal: kepastian hukum perpajakan, beban administrasi yang ringan, dan kenyamanan dalam menjalankan usaha, sehingga bisa focus untuk meningkatkan persaingan bisnis dan merebut pasar.

Bila tiga faktor itu terpenuhi, investasi akan tumbuh, omzet perusahaan lokal meningkat, dan multiplier efek ekonomi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.

Calon Hakim Agung di Kamar Tata Usaha Negara (khusus pajak) ini juga menyampaikan pandangan filosofisnya: “Sumber daya alam kita melimpah, dan kita diberkahi alam yang indah. Namun untuk mengelola semua itu, kita butuh sistem perpajakan yang adil, efisien, dan berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.”

Arifin juga mengajak agar kita semua mendukung pajak untuk Indonesia maju dan masyarakat sejahtera.

Sekadar informasi, FGD ini merupakan bagian dari komitmen IKPI untuk terus mengedukasi publik dan mendorong reformasi perpajakan yang lebih adil dan inklusif di Indonesia. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemerintah Revisi Aturan Pajak Kripto, PPN Dihapus tapi PPh Final Tetap Berlaku

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan tiga regulasi baru yang mengatur perlakuan perpajakan atas transaksi aset kripto. Ketentuan tersebut tertuang dalam tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru, yakni PMK Nomor 50 Tahun 2025, PMK Nomor 53 Tahun 2025, dan PMK Nomor 54 Tahun 2025. Ketiganya ditetapkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.

Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut atas perubahan status hukum aset kripto yang kini tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas, melainkan sebagai aset keuangan digital, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK).

“Dengan perubahan status tersebut, aset kripto kini dipersamakan dengan surat berharga dan oleh karena itu, tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli dalam keterangan tertulisnya dikutip, Jumat (1/8/2025).

Inti Pengaturan dalam Tiga PMK

• PMK Nomor 50/2025 mengatur PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.

• PMK Nomor 53/2025 memuat perubahan ketentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak dan besaran tertentu PPN.

• PMK Nomor 54/2025 merupakan perubahan ketiga atas PMK Nomor 81/2024, yang menyesuaikan perpajakan dalam pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP).

Dalam beleid terbaru ini, istilah dan entitas baru juga diperkenalkan, seperti Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD) dan Bursa Aset Keuangan Digital. Transaksi dan layanan yang dikenai pajak juga diperinci, mencakup kegiatan perdagangan, penyediaan platform elektronik, dan jasa verifikasi oleh penambang aset kripto (mining).

Rosmauli menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah penambahan jenis pajak baru. “Ini adalah penyesuaian terhadap dinamika ekosistem keuangan digital. Tujuannya menciptakan kepastian hukum dan perlakuan pajak yang konsisten dengan karakter aset kripto saat ini,” jelasnya. (alf)

Agustina Mappadang: Pajak Bukan Pemaksaan, Tapi Kontrak Sosial Demi Kebaikan Bersama

IKPI, Jakarta: Pajak bukanlah bentuk pemaksaan negara, melainkan legitimasi sosial yang lahir dari kontrak sosial antara warga dan pemerintah. Demikian ditegaskan Agustina Mappadang, anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Membedah Keengganan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak: Penyebab dan Solusi”, yang digelar daring oleh IKPI, Rabu (30/7/2025).

FGD ini terbuka untuk umum dan diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari praktisi perpajakan, pelaku usaha, hingga mahasiswa.

Agustina mengurai pemahaman mendalam mengenai keengganan wajib pajak (WP) dari perspektif teori keadilan, psikologi, dan kepatuhan fiskal modern. Ia menggarisbawahi bahwa keberhasilan pemungutan pajak bukan hanya soal sanksi dan pemeriksaan, tetapi juga menyangkut kepercayaan, transparansi, dan keadilan dalam sistem perpajakan.

“Konsep pajak dalam negara modern bersandar pada prinsip utilitarianism menciptakan manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang,” ujarnya.

Ia juga menyinggung Slippery Slope Framework dari Kirchler, yang menjelaskan dua poros utama kepatuhan, kekuatan otoritas (enforcement) dan kepercayaan (trust).

Menurutnya, sistem perpajakan yang hanya menekankan penegakan hukum akan melahirkan enforced compliance, bukan kepatuhan sukarela yang berkelanjutan.

Enam Akar Masalah Enggan Bayar Pajak

Agustina memetakan beberapa penyebab utama keengganan WP, yaitu:

• Rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dan transparansi penggunaan pajak.

• Kurangnya pemahaman atas sistem dan kewajiban pajak.

• Beban pajak yang dianggap berat, terutama bagi sektor informal.

• Lemahnya penegakan hukum dan sanksi yang tidak konsisten.

• Norma sosial yang permisif terhadap ketidakpatuhan.

• Ketimpangan perlakuan antar sektor dan kelas ekonomi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Agustina mengajukan tujuh solusi strategis, antara lain:

• Optimalisasi teknologi Coretax untuk mendeteksi potensi pelanggaran secara dini.

• Penyederhanaan administrasi pajak dan perbaikan user experience sistem daring.

• Penerapan sanksi yang adil dan proporsional.

• Pemeriksaan berbasis risiko dengan audit trail yang transparan.

• Efisiensi penyelesaian sengketa melalui digitalisasi keberatan dan mediasi.

• Peningkatan literasi pajak berbasis nilai dan manfaat.

• Peran aktif konsultan pajak dalam mendampingi dan mendidik WP.

Ia juga mendorong agar dashboard wajib pajak segera diimplementasikan dalam sistem Coretax, agar WP bisa mengetahui status dan potensi risiko mereka secara mandiri.

“Kita harus bergeser dari paradigma menghukum ke paradigma membina. Kepatuhan yang berkelanjutan hanya akan tumbuh bila WP percaya sistemnya adil dan dapat diakses secara transparan,” tegas Agustina.

FGD ini menjadi bukti bahwa diskursus perpajakan tak lagi eksklusif bagi teknokrat, namun menjadi ranah publik yang perlu disuarakan oleh semua pihak. Pajak, pada akhirnya, adalah cerminan kualitas relasi antara negara dan warganya. (bl)

id_ID