Hayo Belajar Isi SPT Pakai Coretax, DJP Sediakan Simulator

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengajak wajib pajak tak lagi bingung saat musim lapor SPT Tahunan tiba. Lewat inovasi baru, DJP resmi merilis simulator terpandu yang bisa dijajal kapan saja sebagai latihan sebelum pelaporan resmi.

Simulator ini dapat diakses melalui laman https://spt-simulasi.pajak.go.id/ dengan login memakai NIK/NPWP 16 digit serta password standar P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh. Di dalamnya, DJP menyiapkan dua menu utama: SPT dan Pembayaran.

Meski sederhana, fitur ini cukup komplet untuk berlatih. Wajib pajak orang pribadi bisa langsung mencoba membuat konsep SPT, sedangkan wajib pajak badan dapat mengakses simulasi dengan skenario usaha perdagangan beromzet di bawah Rp50 miliar. DJP sudah menyiapkan konsep SPT yang bisa langsung diedit melalui fitur impersonate akun.

Namun, penting diingat, konsep SPT tahunan di sistem Coretax hanya akan tersedia setelah tahun pajak berakhir. Artinya, wajib pajak dengan pembukuan Januari–Desember baru bisa membuat SPT 2025 pada awal 2026. Karena itulah simulator ini diluncurkan lebih awal, agar masyarakat bisa belajar dan terbiasa dengan sistem digital sebelum waktunya tiba.

Dengan adanya simulator ini, DJP berharap wajib pajak makin siap, tidak salah langkah, dan bisa lebih cepat saat pelaporan sebenarnya. (alf)

 

Peneliti LPEM UI: Timpangnya Tarif Rokok Hambat Target Penerimaan Cukai

IKPI, Jakarta:Peneliti LPEM FEB UI, Vid Adrison, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan cukai rokok Indonesia. Ia menilai struktur tarif yang terlalu kompleks dan timpang membuat target penerimaan negara mustahil tercapai.

“Coba lihat, tarif rokok golongan satu 65% lebih tinggi dibanding golongan dua. Akibatnya apa? Perokok tinggal pindah dari rokok Rp37 ribu ke Rp23 ribu. Sama-sama ngebul, rasanya mirip, tapi jauh lebih murah. Jadi penerimaan pasti jeblok. Gak perlu jadi orang pinter untuk tahu ini bakal gagal,” ujarnya dalam forum diskusi perpajakan IKPI, Jumat (26/9/2025).

Vid menilai pemerintah seharusnya tidak kaget ketika target penerimaan cukai tidak tercapai pada 2023 dan 2024. “Kalau 2025 juga meleset, jangan heran. Gap tarif antar golongan terlalu besar. Itu undangan terbuka bagi konsumen untuk pindah merek. Dan kalau sudah pindah, penerimaan turun drastis,” katanya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa ketergantungan negara terhadap cukai rokok terlalu berisiko. Kontribusinya bisa mencapai 14% dari total penerimaan pajak.

“Artinya, satu industri punya power luar biasa besar. Pemerintah jadi sulit mengendalikan konsumsi. Kalau cukai meleset, APBN bisa terguncang,” ungkap Vid.

Ia menegaskan, penyederhanaan struktur tarif mutlak dilakukan. “Tarif harus dibuat sederhana, tanpa celah lompatan antar golongan. Kalau tidak, penerimaan cukai akan terus meleset dan shadow economy dari industri rokok justru makin subur,” pungkasnya. (bl)

 

Vaudy Starworld Ajak Anggotanya Aktivasi Akun Coretax Sekarang, IKPI Harus Jadi Garda Terdepan Edukasi

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mengajak seluruh anggotanya untuk melakukan aktivasi akun Coretax. Dalam surat resminya bernomor S-307/PP IKPI/IX/2025, Vaudy mengimbau agar seluruh anggota IKPI segera melakukan aktivasi akun Coretax serta membuat Kode Otorisasi (KO) atau Sertifikat Digital (SD) demi mendukung pelaporan SPT Tahunan 2025 yang kini sudah bertransformasi ke sistem digital penuh.

“Jangan tunda-tunda! Aktivasi Akun Coretax dan pembuatan KO/SD adalah kunci untuk bisa menandatangani dan mengirimkan dokumen pajak secara resmi dan elektronik. Ini bukan hanya teknis, ini soal legitimasi dan kepatuhan,” tegas Vaudy dalam suratnya.

Ia menegaskan, transformasi besar menuju layanan Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menandai era baru digitalisasi perpajakan nasional. Seluruh wajib pajak baik orang pribadi maupun badan wajib melakukan aktivasi akun melalui laman resmi https://coretax.pajak.go.id, dan mengikuti panduan dari leaflet resmi DJP.

Vaudy juga menekankan bahwa IKPI mendukung penuh inisiatif digitalisasi pemerintah dan meminta seluruh anggotanya tidak menunggu hingga deadline.

“Kita harus jadi garda terdepan dalam memastikan klien kita siap menghadapi sistem baru ini. Kalau terlambat aktivasi, jangan salahkan sistem kalau SPT tak bisa terkirim,” tambahnya.

Tak lupa, juga Vaudy mengingatkan bahwa KO/SD berfungsi layaknya tanda tangan digital resmi, yang kini menjadi syarat mutlak untuk pengiriman dokumen perpajakan. Tanpa aktivasi dan kode ini, wajib pajak bisa dipastikan tidak menyampaikan laporan.

Bagi anggota IKPI yang mengalami kesulitan dalam proses aktivasi, mereka bisa langsung menghubungi Kring Pajak di nomor 1500 200

“Coretax sudah di depan mata, jangan sampai gigit jari di hari H. Ayo aktifkan sekarang, atau siap-siap panik di kemudian hari” tegasnya. (bl)

Shadow Economy Capai Rp1.600 Triliun: “Kalau Bisa Ditangkap, Negara Tinggal Metik Pajak”

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, membeberkan fakta mencengangkan soal besarnya nilai shadow economy di Indonesia yang mencapai Rp1.600 triliun. Menurutnya, jika ekonomi bayangan ini bisa ditarik masuk ke sistem pajak, negara tidak perlu bersusah payah mencari sumber penerimaan baru.

Hal ini disampaikan Dodik saat berbicara dalam diskusi panel yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025). Diskusi berlangsung hybrid dengan ratusan peserta hadir secara langsung maupun daring.

“Dulu, Kementerian Keuangan pernah menghitung potensi tax gap dari shadow economy itu Rp1.600 triliun. Menteri bahkan pernah bilang, jangan muluk-muluk, Rp300 triliun saja yang bisa kita tarik sudah cukup. Itu realistis, asal data bisa dikelola dengan baik,” ungkap Dodik.

Ia menjelaskan, selama ini DJP sudah mulai masuk ke sektor-sektor yang sebelumnya tidak terjamah. Misalnya marketplace, platform pesan-antar makanan, perdagangan kripto, hingga fintech. Menurutnya, data dari platform-platform besar itu bisa menjadi amunisi baru bagi DJP untuk memperluas basis pajak.

“Ambil contoh sederhana. Di aplikasi pesan-antar makanan, semua ada, dari warung kaki lima sampai restoran besar. Kalau data order itu bisa ditangkap DJP, tidak ada lagi alasan pelaku usaha untuk berkelit. Semua omzet bisa tercatat dan masuk ke sistem,” tegas Dodik.

Menurutnya, shadow economy tumbuh subur karena dua hal, yakni enggannya pelaku usaha membayar pajak, dan rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah. “Mereka merasa terbebani pajak, sekaligus ragu apakah uang yang mereka bayar akan benar-benar kembali ke masyarakat. Nah, di sinilah peran DJP untuk membangun kepercayaan,” katanya.

Dodik menekankan, jika data bisa dikonsolidasikan dengan baik, ekonomi bayangan yang selama ini luput akan menjadi mesin penerimaan baru. “Kalau sudah masuk sistem, negara tinggal metik pajak. Potensinya nyata, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya,” kata Dodik. (bl)

Shadow Economy Global Masih Rata-Rata sekitar 16%, Rianto Abimail Ingatkan Indonesia Jangan Abai

IKPI, Jakarta: Fenomena shadow economy atau ekonomi bayangan kembali menjadi sorotan dalam diskusi panel bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar secara hybrid di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025).

Dalam forum tersebut, Rianto Abimail, Pengurus Pusat IKPI sekaligus panelis, memaparkan hasil penelitian global yang menunjukkan bahwa aktivitas shadow economy masih mendominasi perekonomian di berbagai negara, meskipun tren jangka panjangnya menurun.

“Menurut riset Prof. Patrick Schneider dan Dr. Alban Aslan, rata-rata shadow economy di 31 negara Eropa pada 2022 masih berada di angka 17% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini memang turun dibandingkan dekade sebelumnya, tapi tetap mengkhawatirkan,” ungkap Rianto.

Ia menambahkan, perbandingan antarnegara menunjukkan jurang yang cukup lebar. Swiss tercatat sebagai negara dengan shadow economy terendah yakni 5,6%, sementara Bulgaria berada di posisi tertinggi dengan 30%. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan fiskal dan kualitas kelembagaan berperan besar dalam mengendalikan aktivitas ekonomi bayangan.

Tak hanya Eropa, data global juga menegaskan bahwa shadow economy pada tahun 2023 masih bertahan di kisaran 11,8% hingga 19,3% dari PDB, tergantung pada metode pengukuran. Meski lebih rendah dibandingkan awal tahun 2000-an yang bisa menembus 26%, level ini dianggap masih rawan terhadap keberlanjutan fiskal.

“Shadow economy ibarat sisi gelap perekonomian yang selalu ada. Ia tidak bisa dihapus total, hanya bisa ditekan seminimal mungkin,” jelas Rianto dalam pemaparannya.

Menurutnya, kondisi ini harus menjadi alarm bagi Indonesia. Pasalnya, berbagai faktor yang memicu maraknya shadow economy juga masih terlihat jelas di dalam negeri, mulai dari tingginya tarif pajak, lemahnya efektivitas pemerintahan, lemahnya penegakan hukum, praktik korupsi, hingga tingginya tingkat pengangguran.

“Kalau tren global saja masih sekitar 16%, Indonesia tentu tidak boleh menutup mata. Kita berisiko mengalami kebocoran penerimaan pajak yang lebih besar jika shadow economy dibiarkan tanpa strategi pengawasan yang serius,” tegasnya.

Lebih jauh, Rianto menekankan bahwa penerimaan pajak Indonesia sangat bergantung pada kepatuhan wajib pajak yang terlihat fisik, namun perlu digali dari kepatuhan non fisik seperti kegiatan ekonomi melalui daring. Jika shadow economy tidak dikendalikan, beban fiskal akan semakin berat karena negara terpaksa menutup celah tersebut dengan utang.

Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah untuk:

1. Menyederhanakan aturan perpajakan agar tidak mendorong wajib pajak “kabur” ke sektor informal.

2. Mengoptimalkan teknologi digital dalam mendeteksi transaksi yang tidak tercatat.

3. Menguatkan koordinasi antar-lembaga, terutama dalam memerangi praktik ilegal seperti judi online dan narkoba yang menjadi bagian dari shadow economy.

“Pajak adalah tulang punggung APBN. Jika shadow economy tetap besar, maka kita akan kehilangan potensi penerimaan yang bisa membiayai pendidikan, kesehatan, dan pembangunan. Inilah kenapa Indonesia harus belajar dari pengalaman global,” tutup Rianto.(bl)

Pemberlakuan Pajak E-Commerce Tunggu Ekonomi Pulih dan UMKM Siap

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak kepada pedagang online lewat e-commerce resmi ditunda. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kebijakan tersebut belum akan dijalankan sampai situasi perekonomian nasional benar-benar stabil.

Purbaya menjelaskan, pemerintah masih berhati-hati agar kebijakan pajak tidak justru membebani pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belakangan ramai menyuarakan penolakannya.

“Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin (soal keberatan dari UMKM), ya kita tunggu dulu deh,” kata Purbaya dalam media briefing di kantornya, Jumat (26/9/2025).

Kebijakan yang semula dirancang untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari transaksi penjualan merchant di marketplace itu masih dalam tahap kajian. Pemerintah pun belum menentukan platform e-commerce mana saja yang nantinya bakal ditunjuk sebagai pemungut pajak.

Menurut Purbaya, pemerintah ingin memastikan arah kebijakan fiskal tetap sejalan dengan tujuan besar mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia menegaskan, kebijakan pajak tidak boleh justru menjadi rem bagi geliat ekonomi digital yang sedang tumbuh pesat.

“Kalau kebijakan mendorong perekonomian itu sudah kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti,” ujarnya.

Keputusan ini menandakan sikap kompromi pemerintah di tengah tarik menarik kepentingan antara optimalisasi penerimaan negara dan keberlangsungan usaha para pedagang online. Sembari menunggu waktu yang tepat, pemerintah akan terus memantau perkembangan ekonomi dan menyerap masukan dari pelaku usaha. (alf)

 

Purbaya Klaim Sudah Kumpulkan Rp5,1 Triliun dari 84 Penunggak Pajak Jumbo

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengklaim upaya pemerintah menagih pajak macet dari para pengusaha besar mulai berbuah hasil. Hingga September 2025, sebanyak 84 wajib pajak jumbo tercatat telah membayar atau mencicil kewajiban mereka dengan total nilai Rp5,1 triliun.

“Per September ini, terdapat 84 wajib pajak yang sudah melakukan pembayaran atau angsuran dengan total Rp5,1 triliun,” ujar Purbaya dalam taklimat media di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia menegaskan pemerintah akan terus mengejar para penunggak pajak jumbo yang jumlahnya mencapai 200 wajib pajak. Dari daftar itu, mayoritas merupakan perusahaan besar, sementara sisanya wajib pajak perorangan.

Target Rp60 Triliun Akhir Tahun

Purbaya menargetkan seluruh tunggakan yang nilainya diperkirakan Rp50–60 triliun bisa tuntas pada akhir 2025. “Kami kejar terus, sampai akhir tahun selesai. Mereka tidak bisa lari lagi,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025, ia sudah menyatakan bahwa pemerintah memiliki daftar 200 wajib pajak besar yang sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Tagihan dari kelompok ini dipandang bisa menjadi mesin tambahan penerimaan negara di tengah kebutuhan belanja yang kian besar.

Meski gebrakan Purbaya menuai apresiasi, sejumlah ekonom mengingatkan agar langkah penagihan dilakukan dengan hati-hati. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai tidak semua pengusaha dalam daftar memiliki likuiditas cukup untuk langsung melunasi kewajiban.

“Jika tak mampu membayar, jalan keluarnya bisa jadi penyitaan aset. Tapi banyak aset sudah diagunkan ke bank. Pemerintah bisa menghadapi sengketa hukum, bahkan memicu gelombang kebangkrutan dan PHK,” jelas Wijayanto.

Menurutnya, bila kondisi itu terjadi, dampaknya bisa merusak persepsi investor terhadap iklim usaha Indonesia. Karena itu, strategi penagihan tidak bisa seragam. “Harus adil, transparan, dan jangan tebang pilih. Kalau tidak, kredibilitas kebijakan akan dipertaruhkan,” tegasnya.

Dengan Rp5,1 triliun yang sudah masuk ke kas negara, pemerintah masih punya pekerjaan besar untuk mengejar sisa puluhan triliun dari para penunggak pajak jumbo. Purbaya kini tinggal membuktikan bahwa klaim keberhasilan awal itu dapat berlanjut menjadi tuntasnya seluruh tagihan hingga akhir tahun.(alf)

 

 

Pemerintah Tunjuk Samsung Jadi Pemungut Pajak Digital, Kontribusi Tembus Rp 41 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menunjuk Samsung Electronics Co., Ltd. sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia. Penunjukan ini berlaku mulai Agustus 2025, menegaskan peran perusahaan teknologi global dalam memperkuat penerimaan negara dari sektor digital.

Selain Samsung, tiga perusahaan lain juga bergabung sebagai pemungut PPN PMSE, yakni Blackmagic Design Asia Pte Ltd, PIA Private Internet Access, Inc., dan Neon Commerce Inc. Dengan tambahan tersebut, jumlah total pemungut PPN PMSE hingga Agustus 2025 mencapai 236 perusahaan. Namun, pemerintah juga mencabut satu penunjukan, yaitu TP Global Operations Limited.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa dari total pemungut yang ditunjuk, 201 perusahaan telah aktif memungut dan menyetorkan PPN PMSE.

“Dengan realisasi sebesar Rp 41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” tegas Rosmauli, Jumat (26/9/2025).

Sejak diberlakukan pada 2020, PPN digital menunjukkan tren pertumbuhan pesat. Penerimaan tercatat Rp 731,4 miliar pada 2020, melonjak ke Rp 3,90 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, serta Rp 8,44 triliun pada 2024. Hingga Agustus 2025 saja, setoran sudah mencapai Rp 6,51 triliun.

Jika digabung dengan sektor pajak digital lain seperti fintech, kripto, dan Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP), total kontribusi pajak digital menembus Rp 41,09 triliun per 31 Agustus 2025.

Pemerintah optimistis tren positif ini akan terus berlanjut seiring meluasnya basis pemungutan PPN PMSE, berkembangnya ekosistem digital, serta semakin matangnya sistem perpajakan berbasis teknologi. (alf)

 

 

Harga Mobil Bisa Turun, Pemerintah Kaji Diskon hingga 100% BBNKB

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi masyarakat yang berencana membeli kendaraan. Pemerintah tengah mengkaji kemungkinan pemberian diskon besar untuk Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), bahkan sampai opsi penghapusan 100 persen. Langkah ini digadang-gadang sebagai strategi baru untuk meringankan beban masyarakat sekaligus mendongkrak penjualan kendaraan di tengah daya beli yang melemah.

Asisten Deputi Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, Elektronika, dan Aneka (Ilmate) Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menyebutkan bahwa BBNKB bisa menjadi kunci agar harga kendaraan lebih terjangkau. “Kita minta potongan 50 persen untuk balik nama. Kalau dimungkinkan bebas 100 persen, 50 persen, atau bahkan lima persen, ini bisa jadi jurus baru agar harga jual kendaraan bisa turun,” ujarnya, Sabtu (27/9/2025).

Atong menegaskan bahwa saat ini beban pajak kendaraan cukup berat, mencapai hampir 40 persen dari harga jual. Angka itu merupakan gabungan dari BBNKB, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga tarif lainnya. “Karena itu, fokus paling realistis adalah BBNKB. Kalau PPN atau PPnBM harus lewat undang-undang, butuh waktu panjang. Sementara BBNKB lebih fleksibel untuk segera disesuaikan,” katanya.

Pemerintah menilai langkah ini bisa mengikuti jejak kebijakan untuk kendaraan listrik, yang sudah lebih dulu mendapat pengecualian pajak. Dalam UU Hubungan Keuangan Pemerintah Daerah (HKPD) serta Permendagri 7/2025, mobil listrik murni dikecualikan dari objek PKB dan BBNKB. “Kalau kendaraan berbasis energi terbarukan bisa digratiskan, tentu ada peluang untuk memberi keringanan pada kendaraan lain agar pasar kembali bergairah,” tambah Atong.

Meski begitu, ia menegaskan kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga. Pemerintah harus mencari formula paling tepat agar daya beli masyarakat pulih, industri otomotif tetap tumbuh, sekaligus tidak mengganggu penerimaan pajak daerah.

“Tujuan akhirnya sederhana: harga kendaraan lebih murah, pembeli berani belanja, dan industri bisa bergerak lagi,” pungkas Atong. (alf)

 

 

 

 

Ini Pesan Menkeu Purbaya Kepada Crazy Rich di Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan pesan tegas sekaligus sindiran halus kepada para konglomerat Indonesia yang kerap disebut crazy rich. Ia meminta kelompok masyarakat berpendapatan tinggi itu untuk lebih patuh membayar pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan tarif tertinggi 35%.

Menurut Purbaya, kepatuhan para wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar masih jauh dari harapan. Padahal, kontribusi mereka sangat menentukan keadilan sistem perpajakan sekaligus memperkuat kas negara.

“Yang penting mereka comply dulu sama aturan. Jangan kabur-kabur. Kalau mereka taat, kita pastikan tarif enggak dinaikkan lagi,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Purbaya menegaskan, pemerintah akan memberikan banyak keuntungan bila para orang kaya ini menjalankan kewajibannya. Mulai dari kepastian tarif yang stabil, peningkatan kualitas layanan perpajakan, hingga perlindungan dari intervensi aparat pajak.

“Kalau sudah bayar sesuai aturan, enggak akan diganggu lagi oleh aparat pajak. Itu janji saya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, Kementerian Keuangan akan membuka kanal khusus pengaduan langsung ke dirinya. Kanal ini bertujuan melindungi wajib pajak dari tindakan tidak profesional oknum petugas pajak.

“Nanti saya buka pengaduan langsung ke Menteri Keuangan. Tentu bukan saya sendiri yang baca, ada tim khusus yang memantau. Kalau ada aparat yang nakal, bisa segera saya tindak,” jelasnya.

Setoran Crazy Rich Masih Mini

Data Kemenkeu mencatat, setoran PPh 21 yang mayoritas berasal dari karyawan mencapai Rp 223,42 triliun per November 2024, setara dengan 13,2% penerimaan pajak nasional. Sebaliknya, kontribusi PPh Orang Pribadi, termasuk dari para crazy rich, hanya Rp 13,38 triliun atau 0,8% dari total penerimaan.

“Angka ini jelas menunjukkan jurang kepatuhan. Mereka yang penghasilannya besar justru setoran pajaknya sangat minim,” kata Purbaya.

Purbaya berikan peringatan keras, bahwa pemerintah tidak akan segan menindak pengemplang pajak, tetapi tetap siap memberikan kenyamanan bagi mereka yang taat.

“Pilihannya sederhana, bayar pajak sesuai aturan dan nikmati insentif, atau tetap main-main dan berhadapan dengan risiko hukum,” pungkasnya. (alf)

 

id_ID