Pengusaha Penunggak Rp 21 Miliar Disandera, DJP Tegaskan Penegakan Hukum Tegas dan Profesional

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II mengambil langkah tegas terhadap seorang pengusaha asal Jakarta Utara berinisial MW, yang tercatat memiliki tunggakan pajak hingga Rp 21,15 miliar. Tindakan penyanderaan atau gijzeling dilakukan oleh KPP Pratama Cikarang Selatan sebagai upaya terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh namun tidak juga membuahkan hasil.

MW, yang diketahui merupakan komisaris sekaligus pemegang saham PT SI, dijemput petugas pajak langsung di kediamannya di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada Kamis (11/12/2025). Ia kemudian menjalani rangkaian proses penyanderaan sesuai prosedur, termasuk pemeriksaan kesehatan dan serah terima dengan lembaga pemasyarakatan.

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II, Dasto Ledyanto, menegaskan bahwa penyanderaan dilakukan secara hati-hati, profesional, dan sepenuhnya berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku.

“Gijzeling selalu menjadi langkah terakhir setelah seluruh proses penagihan ditempuh. Kami menjunjung tinggi kepastian hukum, kehati-hatian, dan profesionalisme dalam setiap tindakan penegakan hukum,” ujar Dasto, dalam keterangannya dikutip, Jumat (12/12/2025).

Sebelum langkah ekstrem ini diterapkan, petugas KPP Pratama Cikarang Selatan telah menjalankan seluruh mekanisme penagihan mulai dari Surat Teguran, imbauan, pemanggilan, hingga Surat Paksa. Berbagai tindakan penagihan aktif juga telah dilakukan, seperti pemblokiran dan penyitaan rekening, pemindahbukuan saldo, serta pencegahan ke luar negeri sejak 2023–2024.

Data administrasi DJP menunjukkan bahwa tunggakan MW telah muncul sejak 2021, lalu bertambah seiring terbitnya surat ketetapan pajak untuk tahun 2022 dan 2023. Dengan total kewajiban yang tidak dilunasi mencapai Rp 21.158.307.240, MW dinilai tidak beriktikad baik dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tindakan gijzeling dilakukan setelah Juru Sita Pajak menerima izin resmi dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, serta berkoordinasi dengan Bareskrim Polri dan Kanwil Pemasyarakatan DKI Jakarta.

Dalam prosesnya, MW dijemput di rumahnya, dibacakan Surat Perintah Penyanderaan, kemudian dibawa ke RS Harum Sisma Medika untuk memastikan kondisi kesehatannya layak menjalani masa penyanderaan. Setelah dinyatakan sehat, MW dipindahkan ke Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu.

Serah terima dengan pihak lapas dilakukan tertib pada pukul 02.00 WIB. Sesuai PP No. 137 Tahun 2000, masa penyanderaan dapat berlangsung maksimal enam bulan dan dapat diperpanjang enam bulan lagi bila utang belum diselesaikan.

DJP menegaskan bahwa tujuan gijzeling bukan semata-mata memberikan efek jera, tetapi juga memastikan bahwa utang pajak yang sangat besar tersebut dapat segera dilunasi.

Harapannya, melalui tindakan penegakan hukum ini, kewajiban MW sebesar Rp 21,15 miliar beserta biaya penagihan dapat segera dipenuhi sehingga penerimaan negara dapat kembali optimal. (alf)

Gilman Pradana Klaim IPO Perkuat Transparansi Fiskal dan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam webinar kolaborasi IKPI–AEI yang dihadiri ratusan peserta, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia, Gilman Pradana Nugraha, menyampaikan klaim kuat bahwa langkah perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) bukan hanya memperluas akses pendanaan, tetapi juga mendorong transparansi fiskal dan memperketat kepatuhan pajak secara signifikan.

Gilman menegaskan bahwa menjadi perusahaan terbuka mengharuskan entitas usaha membangun tata kelola yang jauh lebih disiplin dibandingkan saat masih tertutup. Audit laporan keuangan, pengawasan publik, pengaturan free float, hingga kewajiban pengungkapan informasi berkala membuat perusahaan tidak memiliki ruang untuk mengelola pajak secara longgar. “Begitu perusahaan menjadi Tbk, setiap angka harus bisa dipertanggungjawabkan. Laporan keuangan dan laporan pajak harus selaras,” tegasnya.

Menurut Gilman, salah satu dampak terbesar IPO adalah munculnya transparansi fiskal yang tidak hanya melindungi investor, namun juga memperkuat basis pemajakan nasional. Perusahaan terbuka harus menyajikan laporan keuangan yang audited, mematuhi PSAK, menjalani review ketat dari auditor, OJK, dan Bursa, hingga memastikan rekonsiliasi fiskal tidak menimbulkan potensi sengketa di masa depan. “IPO memaksa perusahaan membangun budaya kepatuhan. Pajak adalah bagian paling fundamental dari itu,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam proses pra-IPO, konsultan pajak memainkan peran sentral. Mulai dari tax diagnostic, pemeriksaan kepatuhan historis, analisis risiko pajak, hingga pembersihan potensi eksposur yang dapat menggagalkan pendaftaran emiten. “Tidak ada investor yang mau membeli saham perusahaan dengan masalah pajak yang belum diselesaikan. Perpajakan menjadi parameter awal due diligence,” kata Gilman.

Menurutnya, perusahaan yang lolos IPO adalah perusahaan yang memenuhi standar tertinggi dari sisi governance dan fiskal. Hal ini pada akhirnya menciptakan dampak sistemik: meningkatnya penerimaan negara dari PPh transaksi saham, PPh dividen, dan PPh Badan perusahaan Tbk yang tata kelolanya semakin baik. “Pasar modal yang kuat memperkuat fiskal negara. IPO memperbaiki perilaku pajak perusahaan,” ucapnya.

Gilman menilai bahwa kenaikan jumlah investor dari 1,2 juta menjadi 19 juta dalam satu dekade terakhir membawa perubahan besar pada ekosistem fiskal Indonesia. Aktivitas pasar modal menjadi jalur baru bagi penerimaan pajak yang sebelumnya tidak tersedia ketika perusahaan masih tertutup. Transparansi yang semakin luas menciptakan disiplin fiskal tidak hanya pada perusahaan, tetapi juga pada investor.

Meski tahun 2025 disebut sebagai tahun penuh ketidakpastian akibat perubahan kebijakan dan transisi pemerintahan, Gilman tetap optimistis bahwa tahun 2026 akan menjadi momentum percepatan IPO yang lebih berkualitas—lebih transparan, lebih patuh pajak, dan lebih siap bersaing dalam pasar global. “IPO bukan hanya mekanisme pendanaan. IPO adalah mekanisme penegakan disiplin fiskal perusahaan,” tegasnya. (bl)

Webinar IKPI–EAI Ungkap Tantangan Pajak Menuju IPO: Michael Paparkan Risiko, Insentif, dan Kewajiban Pembukuan Perusahaan

IKPI, Jakarta: Ratusan peserta mengikuti webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (EAI) dengan antusias. Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan, yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan tersebut memaparkan secara rinci hubungan erat antara kesiapan perpajakan dan keberhasilan Initial Public Offering (IPO). 

Ia menegaskan bahwa banyak perusahaan cenderung fokus pada pencarian pendanaan, padahal aspek perpajakan sering menjadi faktor penentu bagi auditor, underwriter, dan regulator pasar modal.

Dalam penjelasannya, Michael menggambarkan bahwa proses go public harus dimulai dari kesadaran bahwa perusahaan akan memasuki lingkungan bisnis dengan standar transparansi yang sangat tinggi. Penilaian nilai perusahaan oleh appraisal, kesiapan struktur organisasi, SOP, hingga kejelasan alur transaksi seluruhnya menjadi bagian dari rangkaian due diligence. 

“IPO bukan sekadar melepas saham. Semua aktivitas perusahaan dari sepuluh tahun ke belakang akan dibuka dan diperiksa,” ujarnya.

Michael juga menguraikan berbagai ketentuan perpajakan yang berlaku bagi perusahaan publik. Tarif PPh Badan sebesar 22% dapat diturunkan 3% apabila perusahaan memenuhi persyaratan jumlah dan penyebaran kepemilikan saham publik. Ia menjelaskan bahwa tarif pajak atas transaksi saham di Bursa Efek Indonesia ditetapkan 0,1% dari nilai bruto penjualan, sementara penawaran perdana dikenai tambahan 0,5%. Perbedaan perlakuan pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan luar negeri juga menjadi perhatian karena investor pasar modal tidak selalu berasal dari domestik.

Pemaparan Michael berlanjut pada isu pembukuan sebagai aspek paling rawan. Ia menegaskan bahwa Pasal 28 UU KUP mewajibkan perusahaan menyimpan catatan, dokumen, dan pembukuan selama 10 tahun. Kesalahan kecil seperti penamaan akun, penggolongan biaya yang tidak dapat dikurangkan, serta ketidaksesuaian antara laporan keuangan dan SPT dapat menjadi temuan dalam proses tax due diligence. Menurutnya, konsultan pajak memegang peran penting untuk memastikan laporan komersial dan laporan fiskal dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Michael juga menyinggung penerapan Coretax yang meningkatkan keterbukaan data. Sistem baru ini memungkinkan DJP mengakses rangkaian informasi yang sebelumnya tidak terintegrasi, termasuk data keuangan perbankan. “Dengan Coretax, perusahaan harus benar-benar disiplin. Semua ketidaktepatan bisa langsung terlihat,” tegasnya.

Menutup paparannya, Michael menekankan bahwa IPO adalah proses strategis yang membutuhkan kesiapan panjang, bukan keputusan sesaat. Ia menilai bahwa kerja sama dan edukasi antara IKPI dan EAI sangat penting untuk memastikan perusahaan yang ingin go public memahami kewajiban fiskal, risiko yang mungkin muncul, dan manfaat yang bisa diperoleh dari keterbukaan pada pasar modal. 

“Ketika tata kelola dan pajak beres, perusahaan bukan hanya siap masuk bursa, tetapi juga mampu tumbuh lebih sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)

AEI Sebut Insentif Pajak Jadi Magnet Baru IPO

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif AEI, Gilman Pradana Nugraha, mengungkapkan betapa strategisnya peran insentif pajak dalam mendorong perusahaan melantai di bursa. Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan pemerintah kini menjadi “magnet baru” yang mampu menarik minat perusahaan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO). Hal itu dikatakannya dalam webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) yang dihadiri ratusan peserta, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Gilman menjelaskan bahwa salah satu keuntungan terbesar bagi perusahaan yang resmi berstatus Tbk adalah kesempatan memperoleh penurunan tarif PPh Badan sebesar 3%. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang mampu memenuhi syarat free float minimal 40 persen angka yang disebut Gilman cukup menantang namun memberikan manfaat fiskal yang sangat nyata. “Insentif ini menghemat biaya perusahaan secara langsung. Dan penghematan itu bisa dikonversi menjadi kapasitas ekspansi,” ujarnya.

Gilman menegaskan bahwa di tengah biaya permodalan yang tinggi dan tingkat suku bunga yang fluktuatif, perusahaan kini semakin melihat IPO sebagai opsi pendanaan yang lebih efisien. Tidak hanya karena potensi dana besar dari publik, tetapi juga karena adanya fasilitas perpajakan yang memperkecil beban keuangan perusahaan secara struktural. “IPO bukan sekadar membuka kepemilikan. IPO hari ini adalah strategi fiskal,” katanya.

Ia juga mengungkapkan bahwa insentif pajak tak hanya berlaku bagi perusahaan, tetapi juga bagi pendiri atau pemegang saham individu. Setelah perusahaan menjadi Tbk, founder yang menjual sahamnya dikenakan tarif pajak final hanya 0,5%. Menurut Gilman, hal ini membuat banyak perusahaan keluarga yang sebelumnya enggan membuka struktur kepemilikan kini mulai melirik pasar modal. “Banyak perusahaan besar yang masih privat karena tidak merasa perlu pendanaan. Tapi insentif pajak memberi alasan baru untuk mempertimbangkan IPO,” jelasnya.

Gilman kemudian menggambarkan besarnya potensi pasar modal saat ini. Nilai transaksi harian yang mencapai hampir Rp17 triliun, jumlah investor yang melonjak menjadi 19 juta, serta indeks yang terus mencetak rekor baru menjadi bukti bahwa minat publik terhadap pasar modal berada pada titik tertinggi. Fenomena ini menciptakan peluang besar bagi perusahaan yang ingin mengakses dana publik sekaligus menikmati insentif perpajakan.

Namun, ia mengingatkan bahwa setiap perusahaan yang ingin memperoleh manfaat fiskal harus mempersiapkan struktur tata kelola dan kepatuhan pajak dengan serius. Mulai dari kesiapan laporan keuangan yang audit-ready hingga rekonsiliasi fiskal yang tidak menyimpan risiko. “Insentif pajak hanya berlaku bagi yang siap. Perusahaan harus bersih, teratur, dan transparan,” tegasnya.

Gilman menilai bahwa setelah melewati tahun politik dan berbagai penyesuaian regulasi, tahun 2026 akan menjadi momentum bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan insentif perpajakan dalam kerangka IPO. “Magnet IPO hari ini bukan hanya kapitalisasi pasar, tetapi juga efisiensi pajak yang semakin atraktif,” pungkasnya. (bl)

Kolaborasi IKPI–EAI Kupas Proses IPO: Michael Tekankan Kesiapan Pajak sebagai Penentu Kelancaran Go Public

IKPI, Jakarta: Webinar kolaborasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Asosiasi Emiten Indonesia (EAI) yang diikuti ratusan peserta menghadirkan penjelasan komprehensif mengenai proses Initial Public Offering (IPO). Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan yang menjadi salah satu pembicara, menyampaikan bahwa keputusan untuk menjadi perusahaan terbuka harus disertai persiapan menyeluruh, mulai dari nilai perusahaan, tata kelola, hingga kepatuhan perpajakan.

Dalam paparannya, Michael menjelaskan lima alasan utama mengapa perusahaan memilih untuk go public, yaitu akses pendanaan yang lebih mudah, peningkatan nilai perusahaan, penguatan citra korporasi, keberlanjutan usaha, serta insentif perpajakan bagi emiten. Ia menekankan bahwa kesuksesan IPO tidak hanya ditentukan oleh prospek bisnis, tetapi juga oleh ketertiban administrasi internal perusahaan. Penilaian bisnis dan aset oleh lembaga appraisal menjadi fondasi untuk menentukan valuasi awal sebelum saham dilepas kepada publik. 

“Appraisal akan menentukan nilai bisnis dan aset. Semakin baik nilainya, semakin kuat posisi perusahaan saat memasuki pasar,” ujar Michael.

Pada aspek perpajakan, Michael menilai bahwa banyak perusahaan belum memahami bahwa setiap ketidaksesuaian pada pembukuan dan SPT masa lalu bisa menjadi hambatan besar dalam proses go public. Ia mengingatkan bahwa fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebesar 3% bukan diberikan secara otomatis, tetapi harus memenuhi syarat kepemilikan publik minimum 40% dan dimiliki setidaknya 300 pihak yang masing-masing tidak menguasai lebih dari 5% saham. 

Selain itu, perusahaan publik memiliki mekanisme khusus dalam perhitungan angsuran PPh Pasal 25 yang harus berbasis laporan triwulanan. Michael menyoroti pentingnya pembukuan yang akurat selama 10 tahun karena seluruh dokumen tersebut akan diuji melalui proses tax due diligence. Kesalahan dasar seperti chart of accounts yang tidak konsisten, jurnal yang tidak sinkron dengan laporan keuangan, atau ketidaktepatan pemisahan penghasilan final dan non-final kerap menjadi temuan utama yang dapat menghambat proses IPO. 

Ia menegaskan bahwa perpajakan bersifat rule based, sehingga setiap unsur dalam laporan keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan ketika dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang PPh maupun KUP.

Dalam penjelasannya, Michael juga memaparkan dampak implementasi sistem inti administrasi perpajakan Coretax yang membuat seluruh data perusahaan semakin transparan, termasuk keterhubungan dengan perbankan. “Sekarang tidak ada lagi ruang untuk inkonsistensi data. Laporan keuangan, transaksi, hingga pembukuan semuanya terhubung dalam satu ekosistem,” tegasnya. 

Selain itu, transaksi saham di bursa, baik oleh badan maupun orang pribadi, dikenai pajak 0,1% dari nilai bruto penjualan dan tambahan 0,5% khusus saat IPO perdana.

Michael mengingatkan bahwa IPO bukan hanya aksi korporasi, tetapi juga ujian kepatuhan total. Ia berharap edukasi yang diberikan IKPI dan EAI mampu membantu perusahaan bersiap lebih matang sebelum melangkah ke Bursa Efek Indonesia. 

“IPO itu proses panjang. Jika fondasi pajaknya kuat, perusahaan akan jauh lebih percaya diri di mata investor,” ujarnya. (bl)

Dirjen Pajak Soroti Sulitnya Memajaki Minerba dan Sawit

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan bahwa sektor mineral dan batu bara (minerba) serta sawit masih menjadi tantangan terbesar dalam penerimaan negara. Pernyataan itu ia sampaikan dalam acara Kolaborasi Optimal Menuju Pajak Adil dan Konsisten Episode 2—Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba yang disiarkan melalui YouTube Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025).

Bimo mengungkapkan bahwa problem klasik ini sudah ia temui sejak pertama kali berkarier di Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2002. Dua dekade berlalu, kesulitannya tetap sama: memastikan pemilik usaha ekstraktif memenuhi kewajiban pajak secara adil dan konsisten.

“Sejak 2002 saya bekerja di pajak itu, selalu sektor strategis yang dikejar-kejar pajaknya dan enggak rampung-rampung sampai hari ini, sektor minerba dan sawit,” tegasnya.

Sebagai industri yang mengolah kekayaan alam dalam jumlah besar, Bimo menilai seharusnya minerba dan sawit menjadi penyumbang utama penerimaan negara. Namun ia menyinggung bahwa praktik pemanfaatan sumber daya alam justru belum sepenuhnya mencerminkan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menempatkan kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama pengelolaan kekayaan negara.

“Betapa sebenarnya value added belum bisa kami secure. ESDM, DJP, DJSEF, pemerhati, akademisi, dan konsultan ini PR kita bersama,” kata Bimo.

Menurutnya, masih banyak celah tata kelola fiskal yang menyebabkan negara tidak memperoleh nilai tambah optimal dari sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor Indonesia tersebut.

Bimo juga menyoroti hubungan erat industri ekstraktif dengan para high net worth individual (HNWI) atau kelompok orang super kaya di Indonesia. Ia menyebut pemungutan pajak terhadap kelompok ini masih membutuhkan pembenahan serius, terutama menyangkut transparansi dan pelaporan yang akurat.

Ia menegaskan bahwa perkembangan teknologi dan integrasi data antarinstansi kini menjadi amunisi kuat bagi otoritas pajak untuk menilai kepatuhan wajib pajak secara lebih presisi.

“Sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan. Terkadang wajib pajak mungkin merasa kita enggak punya akses pada data tersebut, sehingga di SPT-nya tidak dimasukkan,” ujarnya.

Dorong Reformasi Tata Kelola dan Keterbukaan Data

Bimo meyakini bahwa penguatan basis data, kerja sama lintas otoritas, serta peningkatan integritas sistem perpajakan menjadi kunci untuk menutup tax gap di sektor ekstraktif. Dirinya menegaskan bahwa tantangan besar ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh DJP, tetapi memerlukan kolaborasi semua pihak.

Dengan tekanan publik terhadap transparansi dan penerimaan negara yang semakin besar, Bimo menegaskan komitmennya untuk mendorong reformasi perpajakan yang mampu memastikan kekayaan alam Indonesia benar-benar kembali untuk kemakmuran rakyat. (alf)

Bea Keluar Emas Resmi Berlaku: Purbaya Tegaskan Aturan Baru untuk Jaga Cadangan Nasional

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meresmikan kebijakan baru yang mengatur ekspor komoditas emas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan ini menandai babak baru tata kelola mineral berharga nasional, sebab setiap produk emas yang diekspor kini resmi dikenakan bea keluar.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menegaskan kewenangannya untuk memungut tarif ekspor emas. “Terhadap barang ekspor berupa emas dapat dikenakan Bea Keluar,” bunyi Pasal 2 PMK 80/2025, dikutip Kamis (11/12/2025).

Alasan Kuat di Balik Kebijakan Baru

Purbaya menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan langkah strategis untuk mengamankan cadangan emas nasional yang terus menurun. Padahal, Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan emas terbesar keempat di dunia.

“Cadangan bijih emas kita menunjukkan tren menurun, sementara kebutuhan dalam negeri meningkat seiring pengembangan ekosistem bullion bank,” ujar Purbaya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025).

Situasi global juga menjadi pertimbangan. Harga emas dunia melesat hingga US$ 4.076,6 per troy ons pada November 2025, yang berpotensi mendorong ekspor berlebihan jika tidak diatur.

Landasan Hukum: Pasal 2A UU Kepabeanan

Penerapan bea keluar emas berlandaskan Pasal 2A Undang-Undang Kepabeanan, yang mengatur bahwa bea keluar digunakan untuk:

Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, Melindungi kelestarian sumber daya alam, Mengantisipasi lonjakan harga komoditas ekspor tertentu di pasar internasional, Menjaga stabilitas harga di dalam negeri.

Purbaya menegaskan bahwa seluruh tujuan tersebut relevan dengan kondisi emas Indonesia saat ini.

Dorong Hilirisasi dan Penguatan Ekosistem Bullion Bank

Lebih jauh, bea keluar emas dirancang untuk mendorong:

Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri emas, Pemenuhan kebutuhan emas domestik bagi ekosistem bullion bank, Optimalisasi pengawasan transaksi emas, Peningkatan penerimaan negara.

“Bea keluar ini diperlukan untuk memastikan suplai emas di dalam negeri tetap tersedia dan dapat mendorong hilirisasi yang memberi manfaat ekonomi lebih besar,” tegas Purbaya.

Dengan diberlakukannya PMK 80/2025, pemerintah berharap tata kelola emas nasional semakin kuat, pasokan domestik terjaga, dan industri hilir mampu tumbuh lebih cepat di tengah momentum kenaikan harga emas global. (alf)

IKPI Pengda DKJ Kunjungi Kanwil DJP Jakpus, Bahas Tantangan Coretax 2026

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Khusus Jakarta (DKJ) melakukan kunjungan silaturahmi ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat (Jakpus), Rabu (10/12/2025). Rombongan yang dipimpin Ketua Pengda DKJ, Tan Alim, disambut langsung oleh Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat Eddi Wahyudi bersama jajaran pimpinan.

Pada kesemptan itu, Tan Alim memperkenalkan struktur kepengurusan pengurus daerah dan cabang yang hadir yang dilanjutkan oleh Eddi Wahyudi yang juga memperkenalkan jajaran Kanwil kepada rombongan IKPI sebelum memasuki diskusi terkait kesiapan menghadapi implementasi Coretax 2026, yang akan mulai digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan 2025.

(Foto: Istimewa)

Dalam dialog tersebut, Eddi menyampaikan bahwa program kerja IKPI untuk tahun 2026 akan beririsan dengan transformasi sistem DJP. Ia menjelaskan bahwa DJP dan relawan pajak baru saja melakukan stress test pelaporan SPT, dan hasilnya dinilai cukup berhasil. Karena itu, ia berharap konsultan pajak turut membantu mengawal kelancaran operasional Coretax. DJP, tambahnya, siap memberikan pendampingan jika dibutuhkan.

Eddi menegaskan bahwa DJP kini lebih menitikberatkan penggunaan teknologi informasi sebagai tulang punggung administrasi pajak. Efisiensi menjadi salah satu hasil nyata, di mana penggunaan kertas kini tinggal kurang dari 30 persen dibandingkan sebelumnya.

(Foto: Istimewa)

Ia juga menyampaikan pentingnya sinkronisasi data dan teknologi antara wajib pajak, DJP, dan konsultan pajak, mengingat potensi edukasi perpajakan masih sangat besar.
Menurut Eddi, apabila sistem berjalan efektif, kualitas pelaporan SPT Tahunan dan tingkat kepatuhan wajib pajak akan meningkat signifikan. Penguasaan sistem oleh konsultan pajak juga diyakini mampu mempersempit tax gap di lapangan. Ia turut mencontohkan pengalaman Australian Tax Office (ATO) yang membutuhkan 15 tahun membangun sistem sejenis, namun Indonesia dinilainya bisa bergerak lebih cepat karena fondasi digital sudah lebih matang.

Dalam kesempatan tersebut, IKPI juga memberikan masukan melalui Santoso Aliwarga yang menyinggung perlunya evaluasi terhadap PMK 15, terutama menyangkut batas waktu penanganan SP2DK, pemeriksaan, dan keberatan. Menurutnya, penerapan aturan tersebut dapat menjadi tidak selaras dengan kesiapan Coretax yang masih dalam pengembangan. Karena itu IKPI menilai revisi atau penyesuaian waktu implementasi penting untuk memastikan regulasi dan teknologi bergerak sejalan.

(Foto: Istimewa)

Hadir rombongan dari IKPI

Pengda DKJ
• Tan Alim
• Mardi D. Muljana
• Onny Ritonga
• Hery Juwana

Pengurus Cabang
• Suryani (Ketua Jakpus)
• Santoso Aliwarga (Jakpus)
• Heri Purwanto (Jakpus)
• Tri Muryani (Jakpus)
• Maykel Susanto (Jakpus)
• Edwin Setiadi (Jakpus)
• Rian Sumarta (Jakut)
• Sophia Rengganis (Jakbar)
(bl)

Restitusi Rp25 Triliun per Tahun, Menkeu Purbaya Sebut UU Ciptaker Tekan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa penerapan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah menekan penerimaan negara dari sektor batu bara. Perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak (BKP) membuat pemerintah harus menganggarkan restitusi PPN dalam jumlah yang sangat besar.

“Sejak batu bara menjadi BKP, industri bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah. Nilainya sekitar Rp25 triliun per tahun,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025).

Purbaya menjelaskan bahwa besarnya restitusi yang harus dibayarkan negara bahkan mengubah posisi penerimaan batu bara dari positif menjadi negatif. Meski biaya produksi perusahaan tambang terbilang tinggi, nilai restitusi yang diklaim industri jauh lebih besar daripada penerimaan pajak yang masuk.

“Net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif,” tegasnya. Ia menyebut kondisi tersebut seperti memberikan subsidi tidak langsung kepada industri yang sebenarnya telah menikmati keuntungan ekspor. “Ini orang kaya, ekspor untungnya banyak, saya subsidi secara enggak langsung,” ucapnya.

Untuk mengoreksi distorsi fiskal tersebut, pemerintah kini menyiapkan kebijakan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas. Langkah ini, menurut Purbaya, tidak akan mengganggu daya saing industri di pasar global karena hanya mengembalikan situasi seperti sebelum UU Ciptaker diberlakukan. “Daya saing tidak akan berkurang karena hanya kembali seperti sebelum 2020, dan saat itu mereka tetap bisa bersaing,” katanya.

Purbaya menambahkan bahwa besarnya restitusi batu bara juga menjadi salah satu faktor utama penurunan penerimaan pajak tahun ini. “Makanya kenapa pajak saya tahun ini turun, karena bea restitusi cukup besar,” jelasnya. (alf)

DJP Kembali Imbau Wajib Pajak Waspada Penipuan Bermodus Coretax dan Pengalihan Akun Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan imbauan resmi melalui pengumuman PENG-50/PJ.09/2025 sebagai respons atas meningkatnya kasus penipuan yang mengatasnamakan DJP di tengah percepatan aktivasi akun Coretax DJP. Masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dan hanya memercayai informasi serta layanan melalui kanal resmi pemerintah.

Dalam imbauan tersebut, DJP menegaskan bahwa pelaku penipuan kini semakin agresif memanfaatkan proses aktivasi Coretax untuk mengelabui wajib pajak. Sejumlah modus yang kerap digunakan antara lain:

1. Menghubungi korban melalui telepon, pesan singkat, atau media digital sambil mengaku sebagai pihak DJP;

2. Menawarkan bantuan aktivasi Coretax, termasuk pembuatan kode otorisasi atau sertifikat elektronik (KO/SE), serta meminta akses ke akun wajib pajak;

3. Meminta OTP, kata sandi, atau passphrase dengan dalih proses migrasi data ke M-Pajak;

4. Mengirim tautan palsu yang menyerupai situs resmi DJP guna mencuri data atau mengakses perangkat wajib pajak.

DJP menekankan bahwa petugas resmi tidak pernah meminta OTP, kata sandi, passphrase, ataupun akses perangkat pribadi. Aktivasi akun hanya dilakukan melalui situs resmi Coretax, sementara informasi lengkap tersedia di https://t.kemenkeu.go.id/akuncoretax.

Sebagai langkah perlindungan, DJP mengimbau wajib pajak untuk menjaga kerahasiaan data pribadi, tidak membuka tautan yang mencurigakan, serta segera melaporkan setiap bentuk dugaan penipuan. Otoritas pajak menyediakan sejumlah kanal aduan, antara lain:

Kanal DJP:

• Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat

• Kring Pajak 1500200

• Email: pengaduan@pajak.go.id / informasi@pajak.go.id

• Akun X: @kring_pajak

• Situs pengaduan: https://pengaduan.pajak.go.id

• Live chat melalui www.pajak.go.id

Kanal Kementerian Komunikasi dan Digital:

• Pelaporan nomor telepon penipu: https://aduannomor.id

• Pelaporan tautan/konten/aplikasi penipuan: https://aduankonten.id

Kanal Penegak Hukum:

Masyarakat dapat melapor kepada kepolisian atau aparat hukum terkait jika menerima panggilan, pesan, atau tautan yang berindikasi penipuan.

DJP menutup imbauannya dengan mengingatkan bahwa kewaspadaan wajib pajak sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan akun perpajakan dan menjaga keamanan data di tengah proses modernisasi sistem pajak nasional. (alf)

id_ID