Trump Desak Eropa Hukum India dan China dengan Tarif 100% atas Minyak Rusia

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melontarkan tekanan baru terhadap Uni Eropa (UE). Ia mendesak blok tersebut untuk memberlakukan tarif hingga 100% terhadap India dan China atas pembelian minyak dari Rusia. Menurut Trump, langkah itu akan mempersempit sumber pendanaan Moskow dan memaksa Presiden Vladimir Putin menghentikan perang di Ukraina.

“Trump ingin UE lebih tegas terhadap India dan China, dua pembeli utama minyak Rusia, demi menutup jalur pendanaan perang Putin,” ungkap seorang sumber yang mengetahui isi pertemuan, dikutip dari Financial Times, Rabu (10/9/2025).

Washington sendiri siap mengikuti jejak serupa jika Eropa bergerak. Saat ini, AS sudah mengenakan tarif tambahan 25% atas impor dari India, sehingga total bea masuk mencapai 50%. Namun, New Delhi mengecam kebijakan itu sebagai tindakan yang “tidak adil, tidak beralasan, dan tidak masuk akal.”

Data menunjukkan ketergantungan India dan China pada minyak Rusia terus meningkat. Perdagangan India dengan Rusia melonjak hingga US$68,7 miliar (Rp 1.126.500 triliun) per Maret 2025, hampir enam kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Sementara itu, China masih menjadi pembeli terbesar minyak Rusia dan sejauh ini berhasil menghindari tarif sekunder setelah mencapai kesepakatan yang menurunkan bea produk-produk ekspornya ke AS menjadi 30%.

Desakan Trump datang setelah pertemuannya dengan Putin di Alaska bulan lalu gagal menghasilkan terobosan nyata bagi perdamaian Ukraina. Meski mengaku ada sedikit kemajuan, Trump mengakui proses masih jauh dari kata final.

Alih-alih mereda, Putin justru semakin mempererat hubungan dengan Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi dalam forum Organisasi Kerja Sama Shanghai di Beijing pekan lalu.

Trump sendiri mencoba menjaga hubungan hangat dengan Modi. Dalam unggahannya di X, ia menyebut, “Modi adalah teman yang sangat baik. Saya yakin tidak akan ada kesulitan untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang sukses.”

Namun, jalur diplomasi Washington dengan Beijing tampak lebih berliku. Kunjungan negosiator perdagangan China, Li Chenggang, ke Washington akhir Agustus lalu hanya menghasilkan sedikit kemajuan dan belum membuka jalan bagi kesepakatan yang lebih besar. (alf)

 

Ekonom Minta Menkeu Purbaya Fokus Tingkatkan Kepatuhan Pajak, Bukan Tarif

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa diminta memberi perhatian serius terhadap upaya optimalisasi penerimaan negara. Peningkatan kepatuhan wajib pajak dinilai bisa menjadi prioritas utama dibanding menaikkan tarif pajak yang berpotensi menekan aktivitas usaha.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menegaskan bahwa strategi memperluas basis pajak dan mendorong kepatuhan akan lebih efektif dalam jangka panjang.

“Prioritas penerimaan terletak pada kepatuhan dan basis pajak, bukan menaikkan tarif secara luas,” ujar Syafruddin, Rabu (10/9/2025).

Menurutnya, langkah konkret dapat dilakukan melalui integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hingga data perizinan. Ia juga mendorong perluasan implementasi e-invoicing dan analitik risiko untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

“Lakukan audit berbasis data lintas instansi serta spending review atas belanja pajak, agar insentif benar-benar produktif,” tambahnya.

Tak hanya sektor perpajakan, Syafruddin juga menilai Menkeu perlu memperkuat pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui tata kelola sumber daya alam (SDA) yang transparan, serta memastikan dividen BUMN berbasis kinerja.

Ia mengingatkan pentingnya kesiapan Indonesia dalam mengadopsi agenda pajak global Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0, agar hak pemajakan tidak hilang ke negara lain.

“Rasio pajak Indonesia yang masih sekitar 10 persen PDB menunjukkan ruang besar untuk mengerek kepatuhan dan memperluas basis tanpa mengguncang aktivitas usaha,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam serah terima jabatan di Kementerian Keuangan pada Selasa (9/9/2025), Purbaya menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang tidak terjebak pada pandangan sempit. Ia meminta jajaran Kemenkeu membiasakan diri dengan budaya diskusi terbuka, sekaligus menghindari ‘echo chamber’ atau lingkaran diskusi internal yang terlalu homogen.

“Kita tidak boleh naif. Jangan sampai fokus pada isu kecil yang justru menghambat kebijakan strategis. Biasakan berdiskusi dengan berbagai pihak dan manfaatkan perkembangan teknologi untuk mendapatkan wawasan baru,” kata Purbaya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang tepat hanya bisa lahir jika kementerian mampu membaca tantangan global secara jernih. Mulai dari perlambatan ekonomi, ketegangan geopolitik, perubahan iklim, hingga percepatan teknologi yang membawa risiko sekaligus peluang bagi Indonesia.

“Peran Kementerian Keuangan dalam merancang kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan sangat krusial,” katanya. (alf)

 

LPPI: Rasio Pajak Indonesia Masih Tertinggal, Reformasi Menjadi Keharusan

IKPI, Jakarta: Lembaga Pemerhati Pajak Indonesia (LPPI) menyoroti stagnasi rasio pajak Indonesia yang masih bertahan di kisaran 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang mencapai 19–20%. Kondisi ini dinilai sebagai tanda bahwa reformasi sistem perpajakan tidak bisa lagi ditunda. Sorotan itu mengemuka dalam deklarasi pembentukan LPPI sekaligus diskusi publik yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H. Amro dan Staf Ahli Jaksa Agung, Masyhudi di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Ketua Umum LPPI, Harianto Minda, menegaskan bahwa rendahnya rasio pajak menjadi masalah serius, terutama saat belanja perpajakan (tax expenditure) pada 2024 mencapai Rp362,5 triliun atau setara 1,73% PDB.

“Efektivitas belanja perpajakan ini masih dipertanyakan dalam mendukung pembangunan maupun investasi produktif,” ujar Harianto.

Ia juga menyinggung tingkat kepatuhan pajak badan usaha yang baru menyentuh 6% serta maraknya praktik penghindaran pajak agresif yang menggerus penerimaan negara.

Sejalan dengan itu, Anggota DPR Fauzi H. Amro menekankan pentingnya membangun sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel. “Pajak adalah instrumen utama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Keadilan fiskal hanya bisa terjamin bila hak-hak wajib pajak benar-benar dilindungi negara,” ungkapnya. Ia menyatakan dukungan penuh atas berdirinya LPPI sebagai pengawas independen.

Dari perspektif hukum, Masyhudi menilai pengawasan masyarakat sangat penting demi menjaga integritas aparatur perpajakan. Ia mengingatkan kembali sejumlah kasus yang mencoreng kredibilitas sektor ini, mulai dari kebijakan retribusi daerah yang tidak berdasar hingga kasus besar seperti Rafael Alun. “Kami mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melalui LPPI untuk saling mengawasi,” tegasnya.

Sementara itu, Abdul Ghofur menyoroti potensi optimalisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perhutanan, perkebunan, pertambangan, dan sektor lain (PBB P5L). Menurutnya, penerapan PBB P5L yang transparan dan akuntabel mampu menopang pembangunan nasional sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.

Dengan berbagai masukan itu, LPPI menegaskan komitmennya menjadi mitra kritis pemerintah dalam memperkuat fondasi fiskal Indonesia, sekaligus mendorong agar pajak benar-benar menjadi instrumen keadilan sosial. (alf)

 

Pergantian Menkeu Disebut Momentum Tuntaskan Ketimpangan Pajak Industri Ekstraktif

IKPI, Jakarta: Pergantian kursi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa dinilai bisa menjadi momentum penting dalam arah baru reformasi perpajakan nasional. Organisasi Transisi Bersih mendorong pemerintah lebih serius menggali potensi penerimaan dari industri ekstraktif, khususnya nikel dan batu bara, yang selama ini dianggap terlalu longgar diberi insentif.

Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menegaskan bahwa penerimaan negara dari sektor tersebut jauh lebih besar dan adil ketimbang terus menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang langsung menekan daya beli masyarakat.

“Kalau PPN dinaikkan ke 12%, tambahan penerimaan negara secara kumulatif masih lebih kecil dibanding ekstensifikasi pajak dari nikel dan batu bara. Potensinya berkali-kali lipat lebih besar,” ujar Rahman, Selasa (9/9/2025).

Menurutnya, strategi pajak selama ini justru menimbulkan ketimpangan. Warga kecil harus menanggung kenaikan PPN dan pajak daerah, sementara industri besar serta individu superkaya kerap menikmati fasilitas seperti tax holiday, pembebasan bea masuk, hingga subsidi energi besar-besaran.

Dalam kasus nikel, Rahman menyoroti dampak kebijakan larangan ekspor bijih mentah yang diikuti insentif untuk pembangunan smelter. Hasil riset Transisi Bersih mencatat kapasitas smelting nikel melonjak 15 kali lipat dalam tujuh tahun, dari 200.000 ton pada 2016 menjadi lebih dari 3 juta ton pada 2023, bahkan berpotensi menembus 5,5 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Lonjakan produksi ini justru menimbulkan surplus yang menekan harga global sekaligus mempercepat terkurasnya cadangan nikel nasional.

“Akibat insentif berlebihan, keuntungan besar justru mengalir ke investor asing. Rakyat malah harus menanggung beban lingkungan dan sosial,” tegasnya.

Transisi Bersih menilai inilah saat yang tepat bagi Menkeu Purbaya untuk berani mengubah arah kebijakan fiskal. Bukan lagi sekadar “memanen di kebun binatang” dengan memajaki konsumsi masyarakat, melainkan berani masuk ke “belantara” sektor ekstraktif yang menyimpan potensi besar bagi penerimaan negara. (alf)

 

Pemkab Kotim Jemput Bola, Sediakan Layanan Pajak Keliling

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak kendaraan bermotor. Tahun ini, Bapenda bersama Samsat dan Satlantas menghadirkan layanan jemput bola melalui mobil pajak keliling yang langsung turun ke kecamatan.

Kepala Bapenda Kotim, Ramadansyah, mengatakan program ini merupakan solusi agar masyarakat tidak lagi harus jauh-jauh datang ke Sampit hanya untuk membayar pajak. Selama ini, banyak warga di pelosok terbebani biaya transportasi yang justru lebih besar dibandingkan nilai pajaknya.

“Kalau pajaknya Rp200 ribu tapi ongkos ke Sampit bisa sampai Rp500 ribu, tentu memberatkan. Karena itu, kami sediakan mobil layanan keliling untuk memudahkan masyarakat,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).

Saat ini baru ada satu unit mobil layanan keliling yang dioperasikan oleh Samsat. Namun, Pemkab Kotim berencana menambah armada agar jangkauan pelayanan semakin luas. Langkah ini diharapkan mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) melalui dana bagi hasil pajak kendaraan bermotor.

Selain itu, Bapenda juga melakukan pendataan ulang kendaraan bermotor di tiap kecamatan. Pendataan ini memberi kesempatan bagi warga untuk melaporkan kendaraan yang sudah tidak layak pakai, sehingga tidak lagi dikenai pajak.

“Kalau kendaraan sudah rusak total dan tidak digunakan lagi, sebaiknya dilaporkan. Kalau tidak, pajaknya tetap berjalan dan menambah piutang,” tegas Ramadansyah.

Dengan strategi jemput bola dan pendataan ulang tersebut, Pemkab Kotim optimistis kesadaran masyarakat membayar pajak akan meningkat, sekaligus memperkuat penerimaan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor. (alf)

 

 

 

 

 

idEA Minta Waktu Transisi Penerapan Pajak E-Commerce

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta pemerintah memberi masa transisi bagi marketplace sebelum menerapkan skema pemungutan pajak e-commerce yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37 Tahun 2025.

Ketua Umum idEA, Hilmi Adrianto, menegaskan seluruh platform lokapasar siap mengikuti kebijakan pemerintah. Namun, menurutnya, kesiapan teknis tiap marketplace harus diperhitungkan agar implementasi berjalan lancar.

“Kita semua akan patuh, hanya saja penerapannya tentu memerlukan persiapan teknis dari masing-masing platform, dan hal itu semoga bisa diakomodasi,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Hilmi menyebutkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka ruang dialog dengan idEA, dan asosiasi siap mendukung pelaksanaan aturan tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) PMK 37/2025 dijelaskan, marketplace yang ditunjuk DJP wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang mulai bulan berikutnya setelah penetapan.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menekankan bahwa tujuan kebijakan ini bukan untuk mengejar tambahan penerimaan negara semata, melainkan meningkatkan kepatuhan dan mempermudah administrasi perpajakan.

“Dampaknya lebih kepada kerangka kepatuhan dan penyederhanaan administrasi, bukan sekadar rupiah yang masuk,” jelasnya.

Yon menambahkan, tarif PPh 22 yang dikenakan hanya 0,5 persen dan bukan merupakan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme. Jika sebelumnya pedagang wajib menyetor dan melaporkan sendiri, kini kewajiban tersebut dipungut langsung oleh platform.

“Harapannya, merchant justru lebih mudah karena tidak perlu setor dan lapor sendiri,” kata Yon. (alf)

 

 

 

 

 

Jemmi Sutiono: AOTCA Tawarkan Ilmu, Relasi, dan Perspektif Global bagi Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jemmi Sutiono, menegaskan pentingnya keterlibatan anggota dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) Conference yang tahun ini akan berlangsung di Nepal. Menurutnya, manfaat mengikuti AOTCA bukan hanya soal materi, melainkan bersifat intangible dan berjangka panjang.

“Kalau bicara keuntungan, jelas bukan dalam arti finansial. Justru AOTCA itu memberikan nilai tambah berupa ilmu pengetahuan perpajakan internasional, kesempatan bertukar pemikiran, serta jejaring profesional lintas negara,” ujar Jemmi, Rabu (10/9/2025).

(Foto: DOK. Pribadi)

Ia menjelaskan, konferensi ini memungkinkan konsultan pajak mempelajari regulasi perpajakan di berbagai negara anggota AOTCA. Dari sana, peserta bisa bertukar informasi mengenai perkembangan bisnis, usaha klien, hingga tren investasi lintas negara.

“Dengan berkenalan dan menjalin relasi, kelak ketika ada kebutuhan informasi atau kolaborasi, jaringan ini akan sangat membantu. Karena kita terkoneksi dengan asosiasi resmi di negara anggota,” tambahnya.

Jemmi yang telah tiga kali menghadiri AOTCA di Hong Kong, Bali, dan Jepang, menilai pengalaman tersebut membuka wawasan baru. Selain ilmu, peserta juga membangun relasi dengan konsultan pajak dari berbagai negara seperti Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Filipina, Malaysia, Hongkong, Tiongkok, hingga Sri Lanka dan India.

(Foto: DOK. Pribadi)

“Event internasional seperti ini mendorong anggota untuk keluar dari lingkup lokal, menuju perspektif global. Manfaatnya mungkin tidak langsung terasa, tapi pembelajaran dan koneksi yang didapat akan berguna di masa depan,” jelasnya.

Sebagai bagian dari penguatan organisasi, Jemmi juga mengingatkan bahwa saat ini Ketua Umum IKPI Periode sebelumnya, Ruston Tambunan, tengah menjabat sebagai Presiden AOTCA.

“Ini momentum penting bagi Indonesia. Jadi mari kita dukung dengan berpartisipasi aktif. AOTCA adalah jembatan bagi konsultan pajak Indonesia untuk berkontribusi secara internasional,” ujarnya. (bl)

Calon Hakim Agung Usul Bentuk Kamar Pajak di MA

IKPI, Jakarta: Hakim Pengadilan Pajak yang juga calon hakim agung, Budi Nugroho, mengusulkan pembentukan Kamar Pajak di Mahkamah Agung (MA). Usulan itu ia sampaikan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI, Senayan, Selasa (9/9/2025).

Menurut Budi, Kamar Pajak perlu berdiri sendiri karena hukum pajak memiliki karakteristik berbeda dengan hukum administrasi. “Kalau perkara pajak tidak ditangani dengan perspektif hukum pajak, bisa muncul putusan yang keliru,” jelasnya.

Ia mencontohkan asas dalam hukum administrasi, presumptio iustae causa, yang menyatakan setiap keputusan pejabat dianggap benar sampai dibuktikan salah. Jika asas itu dipakai mentah-mentah dalam sengketa pajak, lanjut Budi, negara justru berisiko rugi karena keputusan aparat bisa dibatalkan hanya karena cacat prosedur.

Budi juga menyinggung potensi praktik mafia pajak. Ia menilai ada aparat yang bisa saja sengaja membuat penetapan keliru demi kepentingan tertentu. “Penetapan itu bisa lemah, tapi tetap dipajang sebagai temuan triliunan. Itu bisa jadi pola mafia pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, hukum pajak bersifat sui generis alias unik, sehingga hakim wajib mencari kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formal.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyinggung kembali kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo saat bertanya soal pola mafia pajak. Ia berharap para calon hakim agung berani mengungkap sekaligus mencari solusi agar praktik serupa tidak berulang.

Uji kelayakan untuk 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc HAM akan berlangsung hingga 16 September 2025. Hasil akhir akan ditentukan melalui rapat pleno Komisi III. (alf)

 

 

Politisi PKS Ingatkan Bahaya Mafia Pajak Saat Uji Calon Hakim Agung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengingatkan soal bahaya mafia pajak dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung di Senayan, Selasa (9/9/2025). Ia menegaskan pentingnya independensi hakim dalam menangani perkara perpajakan yang menyangkut kepentingan bangsa.

Nasir menyoroti salah satu calon yang baru enam tahun bertugas di Pengadilan Pajak. Menurutnya, masa pengabdian itu masih terlalu singkat sehingga rawan dipengaruhi oleh Kementerian Keuangan.

“Dibutuhkan independensi, supaya hakim tidak mudah diintervensi dalam perkara pajak. Pajak itu jiwa bangsa, dan mafia pajak bisa membunuh jiwa bangsa,” tegasnya.

Politikus PKS tersebut juga mengaitkan fenomena mafia pajak dengan teori kontrak sosial. Menurutnya, praktik manipulasi pajak justru merusak legitimasi negara di mata rakyat. Ia mengingatkan kembali kasus besar seperti Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo yang mencederai kepercayaan publik.

“Masyarakat pernah dikejutkan oleh Gayus, lalu muncul Rafael Alun. Jangan-jangan masih banyak ‘Gayus’ lain, hanya saja belum ketahuan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nasir mempertanyakan realisasi penerimaan pajak yang tidak sebanding dengan potensi sesungguhnya. Ia menduga sebagian potensi tersebut justru tergerus praktik mafia.

“Jangan-jangan potensi kita 10, tapi hanya tercatat 3 atau 5, sisanya jadi bancakan,” katanya.

Ia juga menyinggung kebijakan tax amnesty yang menurutnya menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menggali potensi pajak, serta praktik penghindaran pajak lewat penyimpanan dana di luar negeri seperti dalam Panama Papers.

Tak hanya di pusat, masalah di daerah pun ikut disorot. Nasir mencontohkan banyak daerah kaya tambang tidak menikmati hasil pajaknya karena NPWP perusahaan tercatat di Jakarta.

“Daerah hanya dapat ampasnya saja. Ini tidak adil bagi fiskal daerah,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Nasir menekankan peran moral calon Hakim Agung. “Keputusan harus berdasar hukum dan keadilan, bukan semata aturan tertulis. Pajak bukan untuk bikin bingung atau bikin bangkrut, tapi untuk menyejahterakan rakyat,” katanya. (alf)

 

Ekonom Celios Dorong Menkeu Purbaya Tuntaskan Beban Pajak Masyarakat Menengah dan Bawah

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, perlu bergerak cepat menuntaskan persoalan yang membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Menurut Bhima, langkah awal yang penting bagi Purbaya adalah meringankan tekanan pajak maupun pungutan lain agar daya beli rumah tangga bisa kembali meningkat. “Semua beban berat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, harus segera diselesaikan. Kita butuh konsumsi rumah tangga naik,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Ia juga menyoroti efektivitas belanja perpajakan yang mencapai sekitar Rp530 triliun per tahun. Menurutnya, insentif fiskal seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun perlu dievaluasi ulang. “Apakah benar insentif itu tepat sasaran? Sudahkah mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja sesuai harapan?” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima mendorong Menkeu untuk melakukan audit atas perusahaan yang menerima keringanan pajak, memastikan laporan keuangan mereka akurat, serta kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja jelas. Selain itu, ia menekankan pentingnya inovasi dalam pengelolaan utang negara.

“Kita membayar bunga utang Rp800 triliun per tahun. Ke depan akan lebih berat, jadi perlu ada renegosiasi atau restrukturisasi yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” tuturnya.

Bhima juga menyinggung soal tata kelola internal di Kementerian Keuangan. Ia meminta Purbaya bersikap tegas terhadap praktik rangkap jabatan, khususnya di level wakil menteri. “Pejabat Kemenkeu yang masih menerima gaji dari BUMN lewat posisi rangkap tidak boleh dibiarkan. Itu masalah profesionalitas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, Bhima berharap kepercayaan pasar terhadap kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan bisa segera terbangun, sekaligus membawa arah kebijakan fiskal lebih berpihak pada masyarakat luas. (alf)

 

id_ID