“International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”

Press Release Pengurus Pusat IKPI
5 Agustus 2022

Tentang : International tax law class dengan topik Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea

Akses terhadap informasi keuangan sangat dibutuhkan oleh otoritas perpajakan suatu negara untuk mengetahui sekaligus mengawasi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Namun upaya memperoleh informasi keuangan tersebut terhambat oleh undang-undang kerahasiaan perbankan (bank secrecy) yang diberlakukan untuk melindungi data nasabah di lembaga-lembaga keuangan. Perlindungan kerahasiaan bank memberi peluang besar bagi orang-orang super kaya untuk menghindari pajak secara illegal, karena mereka sangat mudah memobilisasi dana mereka di berbagai insitusi keuangan di luar negeri khususnya di negara-negara dengan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan pajak sama sekali. Orang-orang kaya tersebut menggerus basis pengenaan pajak di negara mereka berdomisili dengan cara menggesernya ke luar negeri dengan tarif pajak rendah.

Penghindaran pajak yang dilindungi oleh undang-undang domestik tentang kerahasiaan bank menjadi perhatian serius berbagai negara di dunia terutama negara-negara yang terdampak berat terhadap penerimaan pajak di negara mereka. Pada tahun 2009, pimpinan negara-negara yang tergabung dalam G20 bersepakat untuk bersama-sama mengakhiri dan tidak lagi memberi toleransi terhadap kerahasiaan bank dan bertekad untuk mengambil tindakan kepada negara-negara yang menolak bekerjasama, termasuk negara-negara sorga pajak.

Pada bulan September 2009, Indonesia menjadi anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum). Forum ini merupakan badan internasional dengan anggota terdiri dari 165 negara yang dibentuk untuk penerapan standar internasional atas transparansi pajak dan  pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara.

Selanjutnya pada tanggal 15 Juni 2015, Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) di Kantor Pusat OECD di Paris, Perancis, yang mulai membuka lembaran baru era keterbukaan informasi untuk perpajakan di Indonesia. Hal ini juga menjadi pembuka bagi Indonesia untuk masuk kedalam skema AEOI (Automatic Exchange of Information) dengan lebih dari 50 negara Dunia.

Memasuki era keterbukaan informasi ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan-peraturan untuk mendukung hal tersebut yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, lalu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018.

Penerapan keterbukaan informasi ini sangat penting bagi Indonesia karena apabila tidak menerapkannya, maka Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang “Non-Cooperative Jurisdictions”. Dengan bergabung AEOI, Indonesia dapat mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan pengelakan Pajak, Indonesia dapat memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang akurat dari lebih dari 50 negara di dunia.

Edukasi dari era keterbukaan informasi dan pertukaran data antar negara ini perlu dan harus terus disosialisasikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas agar pemahaman menyeluruh atas adanya skema ini dapat diterima dengan baik tanpa ada resistensi dari masyarakat dan dengan penuh kesadaran agar dapat patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Harapan kedepan dengan semakin terbukanya informasi, Direktorat Jenderal Pajak dapat bersinergi secara positif dengan Wajib Pajak, dan tingkat kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak dapat meningkat dengan sendirinya. Jika Pemerintah benar-benar dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang melindungi hak dari Wajib Pajak, serta pemanfaatan dari data yang terbuka tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengedukasi, mendidik, serta meningkatkan pengetahuan wajib pajak atas implikasi-implikasi yang dapat terjadi apabila tidak patuh.

Sebagai Asosiasi konsultan pajak pertama dan terbesar/terbanyak anggotanya di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indonesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI melalui Departemen Hubungan Internasional dengan dukungan dari Asosiasi Perpajakan Jepang, China dan Korea mengundang perwakilannya untuk menjadi narasumber pada “International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparency; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”. Tujuan seminar ini adalah untuk saling bertukar informasi bagaimana penerapan Tax Transparency and Automatic Exchange of Information di masing-masing negara.

Seminar kali ini adalah semacam pemanasan sebelum nanti bertempat di Bali bulan November 2022 akan diadakan seminar perpajakan internasional yang akan melibatkan lebih banyak lagi narasumber dari negara-negara  yang tergabung dalam Asia Oceania Tax Consultant’s Association (AOTCA). Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan AOTCA 2022 General Meeting and International Tax Conference yang kedua kalinya setelah yang pertama pada tahun 2011.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.

 

Humas PP IKPI

 

PRESS RELEASE Jakarta, 03 Juni 2022

Berita

Penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning) agresif yang dilakukan dengan memanfaatkan celah dan perbedaan peraturan perpajakan berbagai negara/yurisdiksi untuk menggeser keuntungan ke negara/yurisdiksi lainnya yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah.

OECD dan G20 memotori usaha bersama dalam skala global untuk mengatasi mencegah dan mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Upaya tersebut dikenal dengan BEPS Project.

Sebagai bagian dari BEPS Project, pada bulan Desember 2021, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menerbitkan publikasi The Pillar Two Model Rules yang disebut juga dengan GloBe Rules sebagai tindak lanjut kesepakatan 137 negara anggota Inclusive Work pada bulan Oktober 2021 untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif 15% yang akan diberlakukan terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan secara konsolidasi di atas EUR750 juta. Selanjutnya pada bulan Maret 2022, Sekretariat OECD juga mempublikasikan Commentary atas GloBe Rules tersebut.

Penerapan pajak minimum global tersebut akan berdampak pada kebijakan pemberian insentif perpajakan di Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri yaitu berupa tax holiday, tax allowance dan super deduction, karena pemberian insentif cenderung  menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional yang memperoleh insentif tidak membayar pajak dalam kurun waktu tertentu atau membayar pajak dibawah tarif pajak efektif sebesar 15%. Hal ini berakibat pada perusahaan induknya berkedudukan di negara/yurisdiksi lain wajib membayar pajak atas selisih atau kekurangan dari tarif 15% pajak minimum global. Akhirnya perusahaan multinasional di Indonesia tidak dapat menikmati insentif yang diberikan pemerintah Indonesia yang dari semula diberikan untuk menarik investasi. Oleh karena itu, dengan berlakunya nanti pajak minimum global, pemerintah perlu mengkaji ulang karena pemberian insentif menjadi tidak efektif.

Berhubung pajak minimum global akan diberlakukan pada awal Januari 2023, maka negara-negara anggota Inclusive Framework yang akan menerapkan aturan pajak global minimum diminta untuk mengadopsi aturan tersebut dalam ketentuan domestiknya dalam tahun 2022. Penerapan Pajak Minimum Global bukan merupakan keharusan. Namun jika suatu negara memilih untuk ikut menerapkan GloBe Rules, maka pengaturannya dalam ketentuan domestik negara tersebut wajib mengikuti petunjuk yang diterbitkan oleh OECD/G20 Inclusive Framework dalam GloBe Rules termasuk Commentary nya.

Pasal 32A UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP) memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (BEPS). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut penerapan pajak minimum global dapat diwujudkan  dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan penjabaran yang lebih teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai asosiasi konsultan terkemuka di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indoesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI dengan dukungan dari Alumni Belgia di Indonesia – mengundang Prof. Luc De Broe – Professor in International Tax Law pada KU Leuven (“Katholieke Universiteit of Leuven – Belgia”) menjadi narasumber pada “international tax law class” dengan topik “Global Minimum Taxation; Theory, Policy and Application – Sharing From Belgium Experiences”.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas  terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses website kami di https://ikpi.or.id/ atau melalui email di sekretariat@ikpi.or.id.

 

 

Media Kontak
Ronsi B. Daur
Kabid Humas Eksternal IKPI
Email: ronsibdaur73@gmail.com
Phone: 62 812-9989-557

Bagikan Berita Ini

Menteri Keuangan Beri Penghargaan ke Sejumlah Pendukung Reformasi Perpajakan

Majalahpajak.net, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pemangku kepentingan yang dinilai telah memberikan kontribusi untuk mendukung reformasi perpajakan. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Sri Mulyani menuturkan, pemerintah tidak mungkin membangun sistem perpajakan yang baik tanpa dukungan para stakeholders, baik yang mewakili pengusaha, lembaga internasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Bank Indonesia (BI).

“Semuanya memberikan kontribusi penting. Insyaallah tahun ini (penerimaan pajak) akan melewati target lagi, tapi kita enggak jemawa,” ungkap Sri Mulyani di acara perayaan Hari Pajak, yang diselenggarakan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, (19/7).

Sementara itu, Suryo Utomo bilang, “Kami memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pemangku kepentingan yang dinilai telah memberikan sumbangsih luar biasa kepada DJP selama ini, khususnya dalam reformasi perpajakan.”

Seperti diketahui, saat ini DJP tengah menjalankan Reformasi Perpajakan Jilid III yang berfokus pada lima hal, meliputi bidang organisasi; sumber daya manusia (SDM); teknologi informasi dan basis data; proses bisnis; serta peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam hal teknologi informasi dan basis data, DJP sedang membangun Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax yang nantinya mengintegrasikan seluruh proses bisnis dan data. Core tax akan menjadi rumah baru bagi seluruh data yang telah dan akan tersedia. Core tax menampung 2,7 miliar data ILAP, data-data traksaksional dari Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), data automatic exchange of information (AEOI) dari pelbagai negara dan data perbankan maupun pemerintah daerah. Kemudian, pada pilar peraturan perundang-undangan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mengamanahkan penyelenggaraan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak karbon, dan sebagainya.

Ada beberapa kategori penghargaan yang diberikan. Pertama, Kategori Pemangku Kepentingan yang Memberikan Dukungan Secara Tugas dan Fungsi kepada DJP, diberikan kepada:

Polisi Republik Indonesia (Polri).
Kejaksaan Agung (Kejagung).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PPATK
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB)
Kementerian Investasi (Kemenves)/Badan Koordinasi dan Penaman Modal (BKPM),
Kedua, Kategori ILAP Terbaik diberikan kepada:

Ditjen Administrasi Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Barat.
Ditjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
OJK
BI
Bapenda DKI Jakarta.
Ketiga, Kategori Penghargaan Reformasi Perpajakan Bidang Sumber Daya Manusia (Capacity Building) diberikan untuk:

World Bank.

Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ).
Australlian Tax Office (ATO).
Asian Development Bank (ADB).
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
National Tax Service of Korea (NTS).
National Tax Agency (NTA) Jepang.
Japan International Cooperation Agency (JICA).
International Monetary Fund (IMF).

Keempat, Kategori Bidang Informasi Dan Teknologi diberikan kepada:

Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Australia Indonesia Partnership for Economic Development (PROSPERA).
Agence Francaise de Developpement (AFD).
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil).
Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Kelima, penghargaan Kategori Bidang Regulasi dipersembahkan kepada:

International Belasting Documentatie Bureau (IBFD).
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Kepada Majalah Pajak, Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan memaknai penghargaan ini sebagai salah satu pemantik bagi IKPI untuk terus berperan aktif memberi masukan kepada DJP, khususnya terkait regulasi.

“Karena kami tidak hanya sekadar followers melainkan juga memberikan masukan dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan regulasi. Pada penyusunan UU HPP, UU tentang Cipta Kerja. Kita ada forum group discussion, kemudian ketika kami diundang, pemerintah minta masukan kepada kami. Masukan kami direkam untuk kemudian dianalisis dan diimplementasikan,” ungkap Ruston yang ditemui usai pemberian penghargaan.

Pada saat penyelenggaraan PPS, IKPI secara masif menyosialisasikannya kepada Wajib Pajak.

“Hasilnya luar biasa, Rp 61 triliun (Pajak Penghasilan/PPh yang dihimpun dari PPS). Saya pastikan IKPI sangat berperan, karena kita 6 ribu (anggota IKPI) memberi edukasi, membawa klien kita, satu klien (per satu anggota) saja berapa banyak?. Seminggu sebelum PPS selesai, kita masih laksanakan sosialisasi yang dihadiri oleh lebih dari tiga ribu orang. Maka, penghargaan ini menjadi semangat bagi IKPI agar bisa lebih berperan dalam reformasi perpajakan,” ungkap Ruston.

Saat ini IKPI tengah mengajukan beberapa usulan terkait beberapa kebijakan, diantaranya perihal konsensus pajak minimum global 15 persen dan kepastian hukum mengenai joint operation.

“Kami tidak setuju dengan pajak minimum global karena penerapannya belum tentu cocok untuk kita, mungkin itu cocok di luar negeri. Karena Indonesia juga pernah menerapkan PPh final, jadi saya kira (pajak minimum global) tidak sesuai konsep pemajakan asas keadilan. Karena yang adil itu kalau untung bayar (pajak), kalau rugi enggak bayar. Kalau pajak minimum global mau untung mau rugi, ya harus bayar,” ujar Ruston.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Shinta Kamdani. Ia berterima kasih kepada DJP atas penghargaan yang diberikan. Sejatinya, upaya reformasi perpajakan dilakukan bersama-sama, baik dari sisi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga pelaku usaha.

“Semoga upaya kita melakukan reformasi perpajakan ke depannya bisa berjalan lebih baik. Sejauh ini antara DJP dengan kami sudah baik sekali, baik KADIN Indonesia maupun APINDO sudah menjalin hubungan yang sangat baik. Kita menjalin hubungan yang sangat strategis dengan DJP. Keterbukaan komunikasi mereka (DJP) selalu mengajak kami bersama-sama menyampaikan (pandangan) objektif, kebijakan-kebijakan, termasuk UU HPP,” ungkap Shinta kepada Majalah Pajak.

 

sumber berita : https://majalahpajak.net/menteri-keuangan-beri-penghargaan-ke-sejumlah-pendukung-reformasi-perpajakan/

Adaptasi dan Inovasi Penyeimbang

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, IKPI ingin terus berinovasi dan beradaptasi dengan kepentingan zaman dalam menjalankan perannya sebagai perantara (intermediaries) Wajib Pajak dan DJP.

MAJALAHPAJAK.NET – Tidak hanya sebagai pelopor, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merupakan organisasi profesi konsultan pajak satu-satunya di Indonesia sejak 27 Agustus 1965 hingga diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111 tahun 2014. PMK yang mengatur tentang konsultan pajak ini membuka kesempatan bagi pendirian asosiasi konsultan pajak lainnya.

Seiring menuanya usia, ketangguhan IKPI semakin teruji. Pun dengan perkembangan jumlah anggota yang terus bertumbuh hingga lebih dari 6000 orang, serta sinergi yang semakin luas baik antar anggota maupun dengan para stakeholder seperti asosiasi pengusaha, perguruan tinggi, dan otoritas.

IKPI juga terus melakukan modernisasi administrasi baik itu kesekretariatan dan kebendaharaan. Salah satu terobosannya adalah aplikasi IKPI Smart yang semakin memudahkan berbagai urusan anggotanya mulai dari pendaftaran anggota, bayar iuran, pendaftaran Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL), dan klaim kredit PPL. Di sisi lain, IKPI punya peran sentral sebagai anggota panitia penyelenggara sertifikasi konsultan pajak.

Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan mengatakan, salah satu inovasi IKPI termutakhir adalah pengaplikasian sistem artificial intelligence (AI) dalam penyelenggaraan ujian sertifikasi konsultan pajak (USKP). Sistem ini memungkinkan peserta mengikuti USKP dari rumah masing-masing secara daring—sehingga lebih efisien, dengan tetap memastikan pelaksanaannya berjalan aman dan bisa diandalkan.

“Kami menggunakan artificial intelligence yang bisa mendeteksi gerak wajah, mata, dan gerak-gerik yang tidak biasa sebagai instrumen pengawasan pada waktu ujian berlangsung. Menurut saya sistem yang kami jalankan ini baru satu-satunya, dan saya bangga, karena itu juga menjadi penghematan biaya bagi peserta,” kata Ruston kepada Majalah Pajak, Rabu (29/6).

Ruston menyebut, IKPI tak ingin hanya berperan sebagai media penyosialisasi peraturan perpajakan, tapi juga lebih terlibat dalam diskusi perumusan aturan perpajakan, sehingga bisa memberikan manfaat yang maksimal berdasarkan pengetahuan serta pengalaman dalam menjalankan praktik sebagai konsultan pajak.

Saat suatu aturan telah ditetapkan, IKPI juga menjadi penyeimbang antara pemerintah dengan Wajib Pajak (WP), dengan melakukan focus group discussion dan memberikan berbagai usulan kepada DJP.

“DJP pasti enggak sembarangan mengeluarkan aturan. Tapi yang namanya peraturan, dikejar waktu, bisa saja ada yang terlewat. Nah, kamilah yang berperan—kira-kira kalau peraturan ini diterapkan bisa menimbulkan dispute atau enggak?” jelasnya.

Menurutnya, seorang konsultan pajak harus punya pemahaman yang mumpuni, melewati uji kompetensi yang ditunjukkan dengan pemilikan sertifikat agar jadi kuasa yang andal untuk WP. Syarat ini, seyogianya juga diterapkan kepada kuasa yang bukan berasal dari konsultan pajak.

“Kami perlu menjaga martabat profesi kami yang notabene membantu WP dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya dan sekaligus menjadi mitra DJP dalam meningkatkan kepatuhan WP. Bayangkan, kalau ada orang yang enggak kompeten jadi kuasa. Kalau kita lihat dari sisi perlindungan konsumen, WP berhak atas pelayanan atau kuasa yang kompeten,” ujar pengagum Profesor R. Mansury ini.

Ia juga bilang, konsultan pajak harus mampu beradaptasi, menganalisis, serta menginterpretasi suatu aturan baru agar bisa menjelaskan kepada klien— terutama jika kebijakan itu belum terbit aturan turunannya. Ruston berharap pemerintah dapat mengeluarkan peraturan bersamaan dengan aturan pelaksanaannya dan melakukan sosialisasi sebelum undang-undang dikeluarkan.

Di momen Hari Pajak tahun ini, Ruston mengusulkan DJP bekerja sama dengan berbagai pihak untuk membuat film yang menarik, yang menyelipkan pesan perpajakan tanpa menggurui—dan diputar secara gratis.

“Mungkin orang akan ingat, ‘Wah, ini Hari Pajak—nonton gratis.’ Jadi, orang mulai terangsang untuk bayar pajak,” tutup Ruston.

 

sumber berita : https://majalahpajak.net/adaptasi-dan-inovasi-penyeimbang/

PRESS RELEASE Jakarta, 03 Juni 2022

Berita

Penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning) agresif yang dilakukan dengan memanfaatkan celah dan perbedaan peraturan perpajakan berbagai negara/yurisdiksi untuk menggeser keuntungan ke negara/yurisdiksi lainnya yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah.

OECD dan G20 memotori usaha bersama dalam skala global untuk mengatasi mencegah dan mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Upaya tersebut dikenal dengan BEPS Project.

Sebagai bagian dari BEPS Project, pada bulan Desember 2021, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menerbitkan publikasi The Pillar Two Model Rules yang disebut juga dengan GloBe Rules sebagai tindak lanjut kesepakatan 137 negara anggota Inclusive Work pada bulan Oktober 2021 untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif 15% yang akan diberlakukan terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan secara konsolidasi di atas EUR750 juta. Selanjutnya pada bulan Maret 2022, Sekretariat OECD juga mempublikasikan Commentary atas GloBe Rules tersebut.

Penerapan pajak minimum global tersebut akan berdampak pada kebijakan pemberian insentif perpajakan di Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri yaitu berupa tax holiday, tax allowance dan super deduction, karena pemberian insentif cenderung  menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional yang memperoleh insentif tidak membayar pajak dalam kurun waktu tertentu atau membayar pajak dibawah tarif pajak efektif sebesar 15%. Hal ini berakibat pada perusahaan induknya berkedudukan di negara/yurisdiksi lain wajib membayar pajak atas selisih atau kekurangan dari tarif 15% pajak minimum global. Akhirnya perusahaan multinasional di Indonesia tidak dapat menikmati insentif yang diberikan pemerintah Indonesia yang dari semula diberikan untuk menarik investasi. Oleh karena itu, dengan berlakunya nanti pajak minimum global, pemerintah perlu mengkaji ulang karena pemberian insentif menjadi tidak efektif.

Berhubung pajak minimum global akan diberlakukan pada awal Januari 2023, maka negara-negara anggota Inclusive Framework yang akan menerapkan aturan pajak global minimum diminta untuk mengadopsi aturan tersebut dalam ketentuan domestiknya dalam tahun 2022. Penerapan Pajak Minimum Global bukan merupakan keharusan. Namun jika suatu negara memilih untuk ikut menerapkan GloBe Rules, maka pengaturannya dalam ketentuan domestik negara tersebut wajib mengikuti petunjuk yang diterbitkan oleh OECD/G20 Inclusive Framework dalam GloBe Rules termasuk Commentary nya.

Pasal 32A UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP) memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (BEPS). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut penerapan pajak minimum global dapat diwujudkan  dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan penjabaran yang lebih teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai asosiasi konsultan terkemuka di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indoesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI dengan dukungan dari Alumni Belgia di Indonesia – mengundang Prof. Luc De Broe – Professor in International Tax Law pada KU Leuven (“Katholieke Universiteit of Leuven – Belgia”) menjadi narasumber pada “international tax law class” dengan topik “Global Minimum Taxation; Theory, Policy and Application – Sharing From Belgium Experiences”.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas  terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses website kami di https://ikpi.or.id/ atau melalui email di sekretariat@ikpi.or.id.

 

 

Media Kontak
Ronsi B. Daur
Kabid Humas Eksternal IKPI
Email: ronsibdaur73@gmail.com
Phone: 62 812-9989-557

Bagikan Berita Ini

PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM DALAM PENGENAAN PPN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI

3x4 (2)

Berita

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

A. Pendahuluan

Pemakaian sendiri atau private use pada umumnya diklasifikasikan sebagai penyerahan yang dikenakan PPN dalam mekanisme pemungutan PPN. Alan Tait juga mendefinisikan penyerahan yang salah satunya adalah pemakaian sendiri. Diklasifikasikannya pemakaian sendiri sebagai penyerahan sesungguhnya suatu hal yang logis dalam rangka memelihara tercapainya tujuan PPN sebagai pemajakan atas konsumsi yang menggunakan mekanisme kredit pajak. Dengan diperkenankannya PPN yang dibayar kepada Pemasok sebagai kredit pajak atau Pajak Masukan (selanjutnya disingkat dengan PM), maka pemakaian sendiri mau tidak mau harus dikenakan PPN. Jika tidak dikenakan PPN, terjadilah konsumsi barang/jasa tanpa membayar PPN yang mana hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya PM-nya sudah dikreditkan (atau bahkan sudah direstitusi) namun tidak ada Pajak Keluarannya.

Meskipun pencegahan konsumsi (berupa pemakaian sendiri) tanpa membayar PPN dapat juga ditempuh dengan cara tidak boleh dikredirkannya PM terkait dengan pemakaian sendiri, namun dalam prakteknya alternatif memilah PM yang terkait dan yang tidak terkait dengan pemakaian sendiri lebih sulit ketimbang alternatif mengenakan PPN atas pemakaian sendiri.. Demikianlah, negara-negara yang menerapkan PPN sebagai Pajak Konsumsinya pada umumnya menjadikan pemakaian sendiri sebagai salah satu obyek PPN, seperti juga Indonesia. Sejak awal (sejak UU No. 8 Tahun 1983) sampai dengan UU terbaru (UU No. 11 Tahun 2020) pemakaian sendiri merupakan salah satu hal yang dianggap sebagai penyerahan, sehingga pemakaian sendiri atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan (merupakan obyek) PPN.

Isu PPN atas pemakaian sendiri meliputi definisi pemakaian sendiri, Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) dan tentang Faktur Pajaknya . Isu-isu tersebut akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di Indonesia. Di samping itu tentu akan diuraikan persoalan-persoalan yang terkandung pada isu-isu tersebut. Penulis berharap sedikitnya tulisan ini akan memperkaya  pengetahuan Pembaca tentang perlakuan PPN atas pemakaian sendiri dan persoalan-persoalannya.

B. Isi

Definisi pemakaian sendiri menurut UU PPN yang pertama dan kedua (UU No. 8 Tahun 1983 dan UU No. 11 Tahun 1994) adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan. Selanjutnya menurut UU PPN ketiga sampai UU kelima (UU No. 11 Tahun 2020) definisi pemakaian sendiri menjadi pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Kedua definisi tersebut pada hakekatnya tidak berbeda, yang mana yang terakhir hanya lebih mempertegas bahwa walaupun bukan hasil produk sendiri, ,tetap atas pemakaian sendirinya merupakan obyek PPN. Pemakaian sendiri pada kegiatan usaha yang berbentuk perdagangan barang akan mudah

menjustifikasi telah terjadinya konsumsi barang. Sebaliknya, pada kegiatan usaha berbentuk produksi yang terdiri lebih dari satu tahapan akan dijumpai kemungkinan terjadinya pemakaian sendiri atas hasil dari kegiatan pada suatu tahap untuk kegiatan tahap berikutnya. Atas pemakaian sendiri seperti ini memunculkan pertanyaan, apakah sudah harus dikenakan PPN atau belum?

Pada awal berlakunya UU PPN pernah diterbitkan SE-09/1985 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri terutang PPN dengan DPP Harga Jual, namun diperkenankan untuk mengurangkan bagian labanya. Selain itu, atas pemakaian sendiri tidak perlu dibuat Faktur Pajak dan sebagai gantinya cukup dibuatkan catatan “pemakaian sendiri” pada Buku Penjualannya. Selanjutnya pada tahun 1990 diterbitkan SE-12/1990 yang menegaskan bahwa pemakaian sendiri untuk keperluan tahapan produksi berikutnya tidak perlu dipungut PPN. Akhirnya pada tahun 1991 diterbitkanlah SE-01/1991 yang secara tegas membuat pembedaan pemakaian sendiri menjadi pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (contoh: Pabrikan Minuman menggunakan minuman hasil produksinya untuk karyawannya) dan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif (contoh: Pabrikan Truck menggunakan Truck hasil produksinya untuk mengangkut spare part dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli).  Atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dikenakan PPN (dibayar Pajak keluaran) namun tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dibayar Pajak Keluaran, namun sekaligus dapat dikreditkan.

Pada era UU PPN yang kedua (UU PPN Tahun 1994) dan ketiga (UU PPN Tahun 2000) diterbitkan Kep. Dirjen. No.87/2002 yang diedarkan dengan SE-04/2002 yang mempertegas definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, DPP-nya serta tentang Faktur Pajaknya. Menurut Kep. Dirjen. tersebut, definisi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan. Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan sehingga tidak terutang PPN. DPP-nya adalah Harga Jual/Nilai Penggantian dikurangi Laba Kotor. Faktur Pajaknya tetap harus dibuat, tanpa membedakan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atau bukan.


 1. Alan A. Tait, Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), 87.

 2. OECD Report, Taxing Consumption (Paris: OECD, 1988), 170

 3. Definisi Pemakaian Sendiri dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1A pada semua UU PPN

Pada era UU PPN yang keempat (UU PPN tahun 2009) ketentuan tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Merujuk kepada Pasal 19 UU PPN tahun 2009, hal ini nampaknya lebih tertib hukum dibanding sebelumnya yang langsung diatur oleh Kep. Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak. Ketentuannya diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) dan Pasal 19 ayat (2) beserta penjelasannya. Aturannya dinyatakan serta diberikan contoh secara jelas, dan kusus untuk pemakaian sendiri untuk tujuan produktif lebih dirinci perlakuannya sebagai berikut:

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:

1)

Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.

2)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

Contoh Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

1)

Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

2)

Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

3)

Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Contoh Pemakaiaan sendiri untuk tujuan produktif namun untuk penyerahan yang tidak terutang PPN adalah Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk kendaraan angkutan umumnya atau untuk kendaraan ambulance klinik di perusahaan.

Ketentuan tentang tidak diperlukannya pembuatan Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang diperuntukan pada kegiatan terutang PPN diatur dalam Pasal 19 ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa maksud ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kemudahan administrasi Pengusaha yang bersangkutan, mengingat sekiranya dipungut PPN,  tetap saja menjadi Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Secara teori dan administrasi pemungutan pajak, ketentuan tersebut patut diapresiasi, karena teori pengkreditan PPN tetap dilaksanakan dengan benar dan ketentuan administrasinya memenuhi asas kesederhanaan yang memberikan kenyamanan Pengusaha (convenience dan ease administration).

Sungguhpun demikian, ditinjau dari segi tertib hukum, ternyata ketentuan pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 (yang pada dasarnya hanya merupakan penegasan dan perincian dari ketentuan Kep. Dirjen No. 87/2002 yang “bibit”-nya adalah SE-12/1990) mengandung persoalan-persoalan.

Persoalan hukum dari perlakuan PPN atas pemakaian sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah sebagaimana diuraikan dalam Uji Materiil oleh KADIN kepada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 yang dikabulkan oleh MA dengan Putusan Nomor 64 P/HUM/2013. Secara ringkas Uji Materiil KADIN dapat diuraikan bahwa persoalan hukum yang pertama adalah bahwa pembedaan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif tidak diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pembedaan tersebut dianggap menyimpang dari materi yang diatur dalam UU PPN, sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan karenanya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri dalam PP No. 1 Tahun 2012 cacat hukum. Persoalan Hukum yang kedua adalah bahwa alasan tidak dipungutnya PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tidak sesuai dengan ketentuan fasilitas PPN yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Dinyatakan oleh KADIN bahwa alasan kemudahan administrasi Pengusaha pada ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN. Persoalan hukum yang ketiga adalah tidak diharuskannya membuat Faktur Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012. Menurut KADIN ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN yang mengharuskan atas setiap penyerahan BKP/JKP dibuatkan Faktur Pajak. Putusan MA atas Uji Materiil oleh KADIN tentang persoalan-persoalan tersebut dikabulkan dengan pernyataan bahwa ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tidak berlaku umum.

Dengan adanya Putusan MA tersebut seharusnya ketentuan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Biasanya apabila ada Putusan MA yang membatalkan Peraturan yang diterbitkan Pemerintah, Pemerintah menerbitkan aturan yang menyesuaikan dengan Putusan tersebut. Faktanya sampai saat ini aturan PPN atas pemakaian sendiri yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 tetap belum diubah, bahkan dengan terbitnya PP No. 9 Tahun 2021 (yang sebagian mengubah PP No. 1 Tahun 2012) ada satu hal yang menarik, yaitu ketentuan Pasal 19 ayat (2) PP No. 1 Tahun 2012 dihapuskan. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut (tentang tidak perlu dibuatnya faktur pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya), berarti walaupun tidak dipungut PPN, PKP yang melakukan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya tetap harus buat Faktur Pajak. Akibatnya kemudahan administrasi yang sebelumnya dituju, menjadi tidak tercapai.

Satu persoalan hukum lainnya terkait dengan PPN atas pemakaian sendiri adalah ketentuan belum dianggapnya pemakaian sendiri sebagai penyerahan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 18 Tahun 2021 mengenai ketentuan PKP yang belum melakukan penyerahan dalam hubungannya dengan kewajiban membayar Kembali PPN yang telah dikreditkan/dikembalikan.  Ketentuan ini menimbulkan persoalan, karena pemakaian sendiri menurut UU PPN terutang PPN sehingga harus dibayar Pajak Keluarannya (kecuali atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang terkait dengan kegiatan proses produksi atau kegiatan produksi selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 jo PP No. 9 Tahun 2021). Dengan belum dianggapnya sebagai penyerahan, maka dalam hal terjadi pemakaian sendiri dan PKP tersebut tidak melakukan penyerahan sampai batas waktu yang ditentukan, maka terjadilah konsumsi yang dibayar PPN-nya dua kali, yaitu pertama dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dan kedua dari Pajak Keluaran yang harus diperhitungkan/dibayar.

C. Simpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan PPN memberlakukan PPN atas pemakaian sendiri secara hati-hati dan terukur, meskipun pada awalnya belum terpola.  Hal ini ditunjukan dengan adaanya pembedaan perlakuan atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif dan produktif, bahkan untuk yang bertujuan produktifpun dibedakan lagi dari sifat penyerahannya (terutang PPN atau tidak). Walaupun demikian perlakuan PPN atas kegiatan pemakaian sendiri ternyata masih menyisakan persoalan-persoalan hukum sebagaimana dikemukakan oleh KADIN dan Uji Materiil ke MA.

Untuk itu dengan ini disarankan Pemerintah dan DPR segera membuat aturan baru yang lebih memenuhi kaidah hukum tanpa terlepas dari pemenuhan teori PPN yang tepat, serta pemenuhan asas kemudahan administrasi. Sesungguhnya saat ini ada satu kesempatan terbuka luas untuk melakukan hal tersebut yaitu pada saat pembentukan UU KUP baru dalam waktu dekat nanti. Caranya adalah memindahkan ketentuan PPN atas pemakaian sendiri sesuai dengan ketentuan PP No. 1 Tahun 2012 ke Undang-Undang. Dengan cara itulah maka persoalan-persoalan hukum seperti yang diuraikan di atas menjadi sirna.

Khusus tentang ketentuan belum diakuinya pemakaian sendiri sebagai penyerahan pada kasus PKP belum melakukan penyerahan yang diatur dalam PMK No.18 Tahun 2021, kiranya dapat diubah PMK-nya dengan tidak diwajibkannya membayar kembali Pajak Masukan terkait dengan pemakaian sendiri.


 

3x4 (2)

Nama                                    :    Bambang Pratiknyo

NRA                                    :   003244

Anggota IKPI Cabang         :    Bekasi

Sekilas tentang Penulis       :    Tax Manager DSH Tax Consulting

 

Bagikan Berita Ini

Reformasi Pajak telah Selamatkan Indonesia

Reformasi Pajak telah Selamatkan Indonesia

Mochamad Soebakir Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Tahun 2003, ia purnatugas setelah hampir 41 tahun bekerja sebagai pegawai pajak. Namun, hingga kini ia belum pensiun berkiprah.

Perjalanan kariernya yang panjang di bidang perpajakan sejak menjadi abdi negara di Inspeksi Pajak Semarang, Kantor Djawatan Pajak tahun 1963 hingga saat ini masih aktif memegang amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) membuat figur Mochamad Soebakir begitu melekat dan dikenal luas sebagai “orang pajak”.

Sebenarnya pada 1 Oktober 2003 ia telah purnatugas setelah hampir 41 tahun mengabdi dengan pangkat terakhir IV-E dan pernah menduduki berbagai jabatan penting di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai dari kepala kantor pajak, kepala kantor wilayah, direktur, hingga sekretaris DJP. Pengalaman dan keahliannya yang masih dibutuhkan oleh negara sehingga Menteri Keuangan Boediono kala itu tidak memperbolehkannya untuk “istirahat”.

“Setelah pensiun, empat hari kemudian saya ditugaskan sebagai penasihat Dirjen Pajak di era Hadi Purnomo dan Darmin Nasution. Setelah Pak Darmin pensiun, baru saya disetujui untuk lepas,” ungkap Soebakir dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak secara virtual, Jumat (11/06).

Selama menjadi Penasihat Dirjen, ia diperbolehkan untuk menjalankan tugas sebagai konsultan pajak dan sejak 2003 namanya juga tercatat sebagai anggota IKPI. Kemudian diserahi tanggung jawab sebagai Ketua Departemen Pendidikan Internal IKPI dan sekarang menjadi Ketua Umum IKPI untuk dua periode (2014-2024).

“Jadi, saya menjalankan tugas sebagai pegawai pajak selama 40 tahun, kemudian 5,5 tahun sebagai penasihat dirjen. Sedangkan sebagai konsultan pajak selama 18 tahun,” jelasnya.

Momentum reformasi

Dalam suatu kesempatan ketika menjabat sebagai kepala seksi, ia diperbantukan pada pertemuan perpajakan internasional SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) di tahun 1981 yang dihadiri berbagai negara dan Indonesia sebagai tuan rumah. Kegiatan itu dinilai sukses dan mencatatkan namanya sebagai pegawai yang berkompeten.

Pemerintah mengirimnya ke Amerika Serikat (AS) awal tahun 1982 untuk mengikuti program singkat dalam rangka tugas belajar. Kemudian pada 1983, pemerintah memberi tugas di Kantor Pusat DJP karena akan ada reformasi pajak.

Ia turut terlibat dalam proses reformasi pajak mulai awal sampai terbentuk undang-undang selaku anggota Tim Reformasi Perpajakan I khusus untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pada Reformasi Pajak II tahun 1993, ia dipindah dari Bali ke Kantor Pusat untuk kembali dilibatkan di Tim Reformasi Pajak Khusus UU PPN dan KUP.

Berlanjut ke Reformasi Pajak ketiga, Soebakir ditunjuk sebagai Wakil Ketua Tim UU KUP. Ketika itu jabatannya sebagai Kakanwil V Jakarta Raya Dua. Seiring berjalannya waktu, ia diangkat sebagai Direktur PPN dan PTLL. Akhirnya ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi PPN.

Reformasi Pajak merupakan momentum penting bagi sejarah Indonesia. Soebakir menuturkan, jumlah penerimaan pajak waktu itu berdasarkan official assessment atau sebelum Reformasi Pajak 1983 kurang dari separuh penerimaan Bea dan Cukai. Kala itu Indonesia masih memiliki kekayaan sumber daya alam dari minyak bumi yang menjadi penyumbang APBN terbesar. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1983. Pada 1984 harga minyak yang ditentukan oleh pasar internasional mulai turun bahkan di tahun 1985 anjlok secara drastis dari sekitar 40 dollar AS menjadi hanya 16 dollar AS.

Pertamina sebagai BUMN yang bergerak di sektor pertambangan minyak tentu sangat terdampak karena saat itu Indonesia sebagai eksportir minyak. Beruntungnya pemerintah sudah melakukan Reformasi Pajak sebelum harga minyak anjlok dan tak lagi menjadi andalan ekspor.

Seiring penerapan sistem self-assessment, sejak 1984 penerimaan pajak mulai naik. Pemerintah sudah memandang jauh ke depan sehingga mampu mengambil kebijakan yang tepat. Saat ini pajak bahkan menjadi penopang utama APBN.

“Saya mengapresiasi kebijakan pemerintah. Karena tanpa Tax Reform 1983, mungkin utang Indonesia jumlahnya lebih banyak lagi. Sekarang penerimaan bea cukai jauh di bawah pajak,” urainya.

Penanganan pandemi

Terkait Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengantisipasi dampak pandemi, ia menilai langkah pemerintah dalam pemberian insentif sudah tepat dan menunjukkan kepedulian terhadap kondisi perekonomian terutama masyarakat yang paling terdampak. Menurutnya, langkah pemerintah ini perlu didukung.

Pemerintah telah memberikan insentif pajak di tahap pertama dalam rangka PEN sampai akhir 2020. Kemudian pada Februari 2021 muncul peraturan menteri keuangan (PMK) berikutnya untuk meneruskan program insentif pajak. Sedangkan di Januari 2021 tidak ada aturan yang diterbitkan maupun kegiatan sosialisasi pendahuluan untuk PMK Nomor 9 yang terbit di Februari 2021 yang memberikan keringanan sampai Juni 2021.

Namun, Soebakir menyayangkan kurangnya sosialisasi atas peraturan yang diterbitkan, sehingga banyak masyarakat tidak mengetahui dan akhirnya tidak terserap dengan optimal. Padahal, pemerintah sudah beriktikad baik untuk membantu masyarakat melalui program insentif pajak. PMK yang terbit pada 1 Februari 2021 juga bersamaan waktunya dengan pelaporan SPT. Padahal, untuk mendapatkan insentif harus memenuhi persyaratan salah satunya melaporkan omzet.

Soebakir juga menyoroti penetapan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) yang harus sama dengan KLU tahun 2019 sebagai syarat untuk bisa mengajukan permohonan insentif. KLU yang tidak sama membutuhkan waktu 3 sampai 4 bulan untuk pengurusannya. Oleh karena waktunya mendadak, jelas Soebakir, tidak ada kesempatan lagi dan akibatnya insentif yang disediakan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Ia mengatakan, situasi pandemi saat ini sungguh luar biasa. Untuk itu perlu ditangani dengan cara-cara luar biasa pula dan tidak setengah-setengah.

“IKPI usulkan jangan jadikan KLU sebagai syarat. Itu benar-benar menunda kesempatan untuk dapat insentif. Akibatnya yang memanfaatkan insentif ini tidak maksimal,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pemberian insentif pajak terkait Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi yang ditanggung pemerintah. Insentif ini jarang yang mengambil karena bukan untuk jasa konstruksi secara luas melainkan hanya pada Proyek Percepatan Peningkatan Prasarana Air dan Irigasi.

“Yang menjalankan proyek prasarana air dan irigasi itu sedikit. Kenapa tidak jasa konstruksi semuanya, asalkan yang padat karya,”ujarnya.

Makna Hari Pajak

Memperingati Hari Pajak pada 14 Juli 2021, Soebakir mengajak masyarakat untuk menghargai jasa para pejuang kemerdekaan. Salah satu tokoh yang berperan penting adalah Radjiman Wedyodiningrat yang pertama kali mencetuskan kata pajak dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebelum akhirnya disampaikan dalam Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dan ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.

Ia mengingatkan, pajak dipungut oleh negara dari uang rakyat. Oleh karenanya,  uang yang diambil dari kantong rakyat harus masuk ke kas negara.

“Pejabat pajak berkewajiban membina Wajib Pajak agar mereka taat pajak. Karena ketika bisnisnya rugi mereka hanya dibantu sekadar dibebaskan pajaknya. Tapi kalau untung, sekian persen harus masuk kas negara,” tegasnya.

Bagikan Berita Ini

Menyoal Kewajiban PPh Badan Atas Nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation)

Berita

Pendahuluan

Tulisan saya dengan judul Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Konstruksi yang dimuat di media ORTax ini tiga belas tahun tahun lalu, tepatnya 27 Juli 2007 menyimpulkan bahwa perlakuan perpajakan JO melalui beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tidak konsisten satu sama lain. Ketidakpastian terjadi dalam hal penentuan wajib tidaknya suatu bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), apakah berpatokan pada hakekat atau keadaan nyata dari transaksi (substance) atau pada isi (form) dari kontrak perjanjian antara JO dengan pihak pemberi kerja (pemilik proyek) atau sebaliknya.

Lima tahun kemudian sejak penulisan artikel tersebut, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN sehingga lebih memberi kepastian di mana dalam hal apakah JO diwajibkan sebagai PKP atau tidak, yang utama dilihat adalah hakekat atau substansi siapa pihak yang nyata-nyata melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak kepada Pemberi Kerja atau Pemilik Proyek, apakah atas nama JO atau atas nama masing-masing anggota JO, bukan pada isi atau bentuk formal kontrak/perjanjian kerja. Dengan kata lain dalam kaitannya dengan Pengukuhan PKP, PP 1 Tahun 2012 pada dasarnya menerapkan asas materiil (substance over form).

Pengertian Joint Operation selama ini masih mengacu pada surat penegasan Dirjen Pajak No.                             S-323/PJ.42/1989 di mana bentuk JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dan penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Surat ini juga menegaskan bahwa bentuk penggabungan atau kerja sama operasi tersebut bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pemberian NPWP terhadap suatu joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan PPN dan pemotongan Pajak Penghasilan antara lain PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2).  

Bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan terindikasi dari terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selanjutnya berdasarkan S-251/PJ.313/1999 ditegaskan bahwa SE-44/PJ./1994 tersebut juga dapat diberlakukan untuk pemecahan bukti pemotongan PPh Final bagi anggota JO.

Selain itu, SE-30/PJ/2013 yang mencabut SE-80/PJ./2009 menyatakan bahwa dalam hal terdapat Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO. SE ini jelas membuktikan bahwa ketentuan yang diberlakukan adalah JO tidak mempunyai kewajiban PPh Badan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 memberikan contoh bahwa dalam hal terdapat perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dengan pemilik tanah, penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing, bukan kewajiban JO.

Pengenaan PPh pada anggota JO, bukan pada JO itu sendiri, juga diterapkan di negara lain seperti Filipina untuk JO yang melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam hal ini JO diperlakukan seperti halnya partnership di Amerika Serikat yaitu sebagai “pass- through entity”.

PER-04/PJ/2020 terkait JO

Terdapat ketentuan baru yang terbit tanggal 13 Maret 2020 yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang mencabut PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-02/PJ/2018, serta mencabut juga beberapa Perdirjen lainnya yang terkait.

Meskipun tujuan penerbitan PER-04/PJ/2020 tersebut sebagaimana tercantum dalam konsideransnya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP, ternyata Peraturan Dirjen Pajak ini juga mengatur (regeling) kewajiban PPh Badan atas nama JO.

Secara ringkas, terkait dengan kewajiban PPh Badan JO,  PER-04/PJ/2020 mengatur sebagai berikut:

1. JO termasuk dalam pengertian Badan

PER-04/PJ/2020 ini memperluas definisi Badan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU KUP, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh dan Pasal 1 angka 13 UU PPN di mana Peraturan Dirjen Pajak tersebut secara eksplisit menambahkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk dalam pengertian Badan. Definisi Badan menurut PER-04/PJ/2020 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Definisi tersebut juga berbeda dengan definisi Badan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang merupakan salah satu dasar hukum terbitnya PER-04/PJ/2020 di mana dalam PMK tersebut kerja sama operasi (joint operation) sama sekali tidak disebut sebagai yang termasuk dalam bentuk badan lainnya. JO termasuk sebagai bentuk badan lainnya dari pengertian Badan hanya terkait dengan kewajiban untuk pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN, tidak dalam konteks PPh Badan.

Pertanyaan muncul dari perspektif ketentuan peraturan perundang-undangan, apakah peraturan setingkat Peraturan Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk memperluas atau menafsirkan sendiri definisi Badan yang tercantum dalam UU?

Berdasarkan Bab II A Lampiran II Angka 198 dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 diatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Namun Angka 213 dari Lampiran II UU tersebut menegaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. Selanjutnya Angka 214 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. Faktanya tidak terdapat pendelegasian dimaksud ke Perdirjen baik dari peraturan setingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan.

JO sendiri terbentuk dari adanya perjanjian diantara para anggotanya dalam rangka melaksanakan kegiatan bersama untuk mendapatkan keuntungan dan bukan merupakan badan hukum tersendiri (rechtspersoon) sebagaimana halnya ventura bersama (joint venture) yang berbentuk Peseroan Terbatas (PT). Bagaimana bentuk dari sebuah JO sesungguhnya tidak jelas diatur dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang di Indonesia sehingga sering menimbulkan masalah dalam persoalan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Jika JO diartikan sebagai perkumpulan yang tidak berbadan hukum, maka seyogianya termasuk dalam salah satu perkumpulan yang tidak berbadan hukum yaitu: persekutuan perdata, persekutuan firma  atau persekutuan komanditer (Chidir Ali, 2005).

Mahkamah Agung pada kasasi satu perkara kepailitan Nomor 01 K/N/1999 dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa dengan penggunaan nama bersama dua badan hukum dalam suatu Joint Operation, maka kerja sama operasi tersebut dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang. Sementara itu dalam perkara kepailitan No. 42/Pailit/PN.Niaga Jakarta Pusat, mantan Hakim Agung M.Yahya Harahap sebagai Ahli dalam persidangan berpendapat bahwa Joint Operation dapat dikategorikan sebagai Persekutuan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUH Perdata (Christian Frank Sinatra, 2012).

Pengkategorian JO baik sebagai Firma maupun Persekutuan Perdata adalah sebatas pertimbangan hukum Hakim Agung dan pendapat Ahli dalam perkara tersebut, tidak dengan sendirinya dapat mengikat publik, kecuali jika hal tersebut diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

2. Definisi JO mengadopsi PSAK 66

PER-04/PJ/2020 memberikan definisi baru terhadap Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yaitu pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).

Definisi tersebut tampaknya merujuk pada definisi Operasi Bersama dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 66 Pengaturan Bersama yang mengadopsi IFRS 11 Joint Arrangement tentang Operasi Bersama dan Ventura Bersama menggantikan PSAK 39 (Akuntansi Kerjasama Operasi) serta PSAK 12 (Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama). PSAK 66 mengatur pencatatan Aset, Liabilitas, Pendapatan dan Biaya dilakukan oleh anggota JO masing-masing berdasarkan porsinya. JO sendiri tidak menyelenggarakan pembukuan tersendiri terpisah dari pembukuan anggotanya.

Sementara itu Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini) mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 (sekarang tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21 melainkan hanya SPT Masa), JO wajib melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman bahwa Laporan Keuangan adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa JO wajib menyelenggarakan pembukuan, meskipun bukan untuk tujuan penghitungan dan pelaporan PPh Badan atas nama JO. JO yang diwajibkan pembukuan dalam hal ini adalah JO yang melakukan penyerahan BKP/JKP atas nama JO, sering disebut dengan JO Administratif, sehingga JO wajib memotong dan memungut PPh (potput) serta wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk memungut PPN.

3. Pemenuhan kewajiban PPh Badan atas JO

Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2020 mengatur bahwa NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) diatur bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:

a. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;

b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau

c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf a dari PER-04/PJ/2020 cukup mengagetkan karena mengacu pada surat-surat penegasan dari DJP sebelumnya, Surat Edaran, maupun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan usaha kerja sama, JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan tetapi hanya mempunyai kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh serta pemungutan PPN dalam hal JO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama JO (administratif JO). Apakah memperluas definisi Badan dengan mencantumkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk sebagai badan lainnya dan memberi definisi baru terhadap JO dengan mengadopsi definisi Operasi Bersama dalam PSAK 66 lalu dengan sendirinya mengakibatkan JO menjadi wajib PPh Badan?

Berhubung butir a Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 di atas menyebutkan bahwa pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka rujukannya tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Namun, selama ini satu-satunya ketentuan terkait Pajak Penghasilan yang pernah diterbitkan sehubungan dengan JO adalah SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak, termasuk  S-323/PJ.42/1989 yang  menegaskan bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan.

Sebagaimana yang berlaku di dalam praktik, baik oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, joint operation bukan merupakan subjek PPh Badan. Jika seandainya JO dianggap sebagai subjek PPh Badan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan bukti potong PPh yang oleh SE-44/PJ./1994 harus atas nama anggota JO atau dipecah menjadi atas nama anggota JO jika bukti potongnya masih atas nama JO? Pertanyaan lain juga timbul dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 yang mengatur bahwa dalam hal ada kerja sama antara perusahaan  pengembang dengan pemilik tanah, maka penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama, bukan kewajiban JO. Apakah ketentuan-ketentuan tersebut menjadi batal? Tentu tidaklah sesuai dengan hierarki perundang-undangan jika ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengatur lain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Mengacu pada asas preferensi dalam hukum lex superior derogat legi inferiori, seharusnya peraturan yang tingkatannya secara hierarki lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.

Kesimpulan

PER-04/PJ/2020 tidak hanya mengatur petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP namun juga mengatur pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation). Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut perlu ditinjau kembali karena tidak sinkron dengan ketentuan lainnya terkait pemajakan penghasilan yang diperoleh dari bentuk JO sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Ketentuan pemajakan penghasilan yang diperoleh melalui bentuk Kerja Sama Operasi hendaknya dituangkan secara tegas dan pasti dalam bentuk peraturan yang sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan hierarki sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019. Selain menyangkut objek dan tarif, pembebanan pajak kepada masyarakat Wajib Pajak juga terkait erat dengan penentuan subjek sehingga seyogianya diatur dengan peraturan setingkat Undang-undang. Hal ini sesuai amanat Pasal 23A UUD Negara RI 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.

Nama Penulis                  :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Anggota IKPI Cabang     :    Jakarta Selatan

Tentang Penulis               :    Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

Bagikan Berita Ini

Dinamika Perlakuan PPN Atas Hasil Pertanian Di Indonesia

Berita

Bambang Pratiknyo, NRA: 3244

Pemungutan PPN atas penyerahan barang-barang hasil pertanian merupakan bidang yang memerlukan perhatian khusus dan harus dilakukan secara hati-hati. Bidang pertanian di sini meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, perburuan dan penangkaran. Kekhususan dan kehati-hatian dibutuhkan dalam pemungutan PPN, karena pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak sedikit kegiatannya dilakukan oleh orang-orang yang cenderung tidak melakukan pembukuan yang mana hal ini merupakan persoalan spesial dalam pengadministrasian PPN. Terlebih lagi, sudah dimaklumi bahwa pertanian di banyak negara sulit ditangani dan sensitif dari segi politik.[1]

[1] Tait, Alan: Value Added-International Practices and Problems, IMF, Washington D.C., 1988, hal. 141-142

Tentu saja pertanian sangat terkait dengan makanan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang biasanya diberikan fasilitas perpajakan baik pembebasan, dikenakan PPN dengan tarif 0% atau tarif rendah/khusus atau bahkan tidak dikenakan PPN.  Pemberian fasilitas-fasilitas dalam PPN sendiri membutuhkan kecermatan atau kehati-hatian, mengingat semua itu terkait dengan tujuan ideal PPN yaitu menekan pajak atas pajak (cascading effect) yang dapat mendistorsi netralitas, menekan regresifitas tarif tetapi tetap dalam bingkai kecukupan penerimaan negara serta kesederhanaan administrasinya.

Dengan demikian mengetahui perlakuan PPN atas barang hasil pertanian di Indonesia menjadi suatu hal yang penting dan menarik. Dinyatakan penting karena meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto hanya sekitar 13%[1] tetapi sektor pertanian menyangkut kehidupan rakyat banyak. Disebut menarik disebabkan kecenderungan ketidaksederhanaan perlakuannya terkait dengan tujuan PPN seperti disebutkan di atas. Untuk itu di bawah ini disajikan uraian mengenai perlakuan PPN atas barang hasil pertanian di Indonesia. Guna lebih memahami perlakuannya, maka penyajiannya tidak hanya tentang perlakuan berrdasarkan ketentuan yang saat ini berlaku, melainkan juga meliputi perlakuannya secara historis sejak UU PPN berlaku.

[1] Data tahun 2011, 2015 dan 2019 dari BPS yang disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal dalam Media Briefing dalam kanal Youtube Kamis 6 Agustus 2020.

Perlakuan PPN atas Barang hasil Pertanian di awal UU PPN berlaku

Pada awal PPN diberlakukan yang mana didasarkan oleh UU No.8 Tahun 1983, Barang Kena Pajak (BKP) hanya mencakup barang hasil pengolahan (pabrikasi). Akibatnya barang hasil pertanian yang tidak diolah lebih lanjut tidak termasuk BKP. Kegiatan memetik hasil pertanian,atau memelihara hewan dan menangkap atau memelihara ikan serta mengeringkan atau menggarami makanan dinyatakan oleh UU bukan sebagai kegiatan menghasilkan sehingga hasilnya bukan merupakan BKP. Termasuk yang dinyatakan sebagai kegiatan memetik hasil pertanian,atau memelihara hewan dan menangkap atau memelihara ikan serta mengeringkan atau

[1] Tait, Alan: Value Added-International Practices and Problems, IMF, Washington D.C., 1988, hal. 141-142
[2]Data tahun 2011, 2015 dan 2019 dari BPS yang disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal dalam Media Briefing dalam kanal Youtube Kamis 6 Agustus 2020.

menggarami makanan menurut Peraturan Pemerintah Pelaksanaan UU PPN (PP No. 22 Tahun 1985) adalah :

  1. Kegiatan menuai, memungut, mengupas, membersihkan, menyortir, menguliti, merajang, memotong, merangkai, mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.
  2. Kegiatan memelihara, menangkap, menyortir, menguliti, memotong, memerah atau mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil peternakan, perikanan dan hasil laut lainnya baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.

Bahkan oleh PP tersebut dinyatakan bahwa  definisi pengolahan tidak termasuk kegiatan menuai, mengupas padi atau kacang-kacangan, mengupas dan membersihkan kapuk/kapas dari kulit/biji dan hati kapuk/kapas; memotong dan menguliti kayu bulat, atau hewan menjadi daging segar dalam bentuk potongan kecil dan besar baik dibekukan atau tidak, atau buah kopi menjadi biji kopi; merangkai bunga atau buah segar; membersihkan, mengupas, mengeringkan dan menggarami udang, kodok, ikan dan hasil laut lainnya atau hasil pertanian sepanjang dilakukan tidak melalui proses memasak; menyortir dan merajang tembakau, bwang dan cengkeh.

Dengan demikian, sekalipun sudah ada proses mengubah bentuk, namun sepanjang mengubah bentuknya masih masuk kegiatan yang disebutkan dalam PP tersebut, maka barang hasil pengubahan bentuk dari kegiatan tersebut masih dikategorikan sebagai bukan BKP. Perlakuan seperti ini juga berarti bahwa hasil pertaniannya tidak membedakan antara hasil pertanian berupa kebutuhan pokok atau bukan yang mana seluruhnya merupakan bukan BKP, kecuali barang hasil pertanian yang telah diolah selain dari kegiatan sebagaimana disebut oleh PP No.22 Tahun 1985. Dengan tidak dikategorikan sebagai BKP, maka atas penyerahannya tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU PPN. Lebih jauh, hal ini berarti bahwa bagi Petani yang kegiatannya hanya menyerahkan barang hasil pertanian tidak perlu membuat SPT PPN (dengan kata lain Petani diposisikan berada di luar system PPN), dan inilah yang tampaknya merupakan salah satu tujuan barang hasil pertanian tidak dikategorikan sebagai bukan BKP.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 2 (UU No. 11 Tahun 1994)

Seiring dengan perubahan definisi BKP pada UU No. 11 Tahun 1994 yang meninggalkan konsep pabrikasi sebagai penentu BKP atau bukan, serta mengganti dengan konsep Negative List untuk Barang Tidak Dikenai Pajak[1], perlakuan PPN atas hasil pertanian pada UU No. 11 Tahun 1994 mulai memisahkan barang hasil pertanian untuk kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (selanjutnya disingkat dengan kebutuhan pokok) dan barang hasil pertanian bukan untuk kebutuhan pokok, meskipun keduanya masih diklasifikasikan sebagai Barang Tidak Dikenai Pajak sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 4A UU No. 11 tahun 1994.

Barang hasil pertanian yang merupakan barang kebutuhan pokok dalam Penjelasan hanya disebut Beras, tetapi dalam PP-50 Tahun 1994 disebutkan bahwa gabah, jagung, sagu, dan kedelai juga

[1] Berdasar Pasal 4A UU No. 11 Tahun 1994 jenis Barang Tidak Dikenai Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

[3] Berdasar Pasal 4A UU No. 11 Tahun 1994 jenis Barang Tidak Dikenai Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

merupakan kebutuhan pokok. Sedangkan barang hasil pertanian lainnya yang termasuk dalam barang yang tidak dikenai pajak menurut PP-50 Tahun 1994 adalah barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung, disadap langsung dari sumbernya. Rinciannya dimuat dalam Pasal 4 yang mendefinisikan barang hasil pertanian sedemikian luas dengan kalimat: “Hasil tanaman pertanian lainnya yang belum termasuk pada butir-butir yang disebutkan di atas”

Dengan demikian sekalipun definisi BKP dalam UU No. 11 Tahun 1994 tidak lagi menggunakan konsep barang pabrikasi untuk penentuan BKP, tetapi atas barang hasil pertanian  yang belum diolah secara signifikan tetap dikategorikan sebagai bukan BKP, sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN, dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 3 (UU No. 18 Tahun 2000)

Pada UU No. 18 Tahun 2000 mulailah barang hasil pertanian yang merupakan kebutuhan pokok dan yang bukan merupakan kebutuhan pokok dipisahkan perlakuan PPN-nya secara nyata. Barang hasil pertanian yang merupakan kebutuhan pokok tetap dikategorikan sebagai bukan BKP (tetap diatur dalam Pasal 4A UU PPN), sedangkan barang hasil pertanian yang bukan merupakan kebutuhan pokok menjadi BKP tetapi dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur berdasarkan Pasal 16B UU PPN.

Barang hasil pertanian yang merupakan barang kebutuhan pokok pada periode UU PPN ke tiga pada penjelasan UU langsung disebut beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai. Jenis barang-barang tersebut juga disebutkan lagi sebagai barang kebutuhan pokok pada PP-144 Tahun 2000.  Barang hasil pertanian lainnya dibebaskan berdasarkan PP-12 Tahun 2001 namun sebatas barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan, b. peternakan, perburuan, atau penangkapan, maupun penangkaran atau c. perikanan baik penagkapan atau budidaya.

Lebih lanjut dalam penjelasan PP tersebut dinyatakan bahwa barang hasil pertanian yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk hasil pemrosesannya yang dilakukan dengan cara: dikeringkan dengan cara dijemur atau cara lain, dirajang, diasinkan/diagram, dibekukan atau didinginkan, dipecah, dicuci atau disucihamakan, direndam, direbus, disayat, dikupas, dibelah, diperam digaruk, pemisahan dari kulit, atau biji atau pelepah, atau dikemas dengan cara yang sederhana untuk tujuan melindungi barang yang bersangkutan yang diserahkan oleh Petani atau Kelompok Petani.

Petani didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, atau penangkapan, penangkaran, penangkapan atau budidaya perikanan.  Dengan demikian barang hasil pertanian di luar kebutuhan pokok yang dibebaskan dari pengenaan PPN tidak lagi menyebutkan nama barangnya, melainkan hanya menyebutkan pengambilan dan pemrosesannya serta syarat penyerahannya, yaitu yang hanya dilakukan oleh Petani atau Kelompok Petani. Hal ini berarti bahwa sekalipun barang yang diserahkan adalah barang hasil pertanian selain barang kebutuhan pokok sebagaimana yang diuraikan di atas, namun apabila yang menyerahkan bukan Petani, maka tetap tidak dibebaskan dari pengenaan PPN.

Meskipun barang hasil pertanian sudah menjadi BKP dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, namun apabila Petani kegiatannya semata-mata melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut, maka Petani tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)[1]. Dalam hal Petani tersebut penjualannya melebihi Batasan Pengusaha Kecil, tentu ketentuan ini menajdi menyimpang dari ketentuan UU PPN yang mengatur bahwa  siapapun yang melakukan penyerahan BKP harus dikukuhkan sebagai PKP, kecuali Pengusaha Kecil. Selanjutnya atas penyerahan BKP oleh PKP harus dibuatkan Faktur Pajak. Jika atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, maka Fakturnya mencantumkan kode nomor seri khusus PPN dibebaskan serta dibubuhi keterangan PPN dibebaskan. Namun demikian, penyimpangan dari ketentuan UU PPN ini tentunya bertujuan untuk meringankan beban administrasi Petani yang memang patut dimaklumi mengingat kemampuan administrasi Petani cenderung rendah.

Selain itu, PP-12 Tahun 2001 juga tidak membebaskan impor barang hasil pertanian (sebagaimana hasil pemrosesan seperti diuraikan di atas) selain barang kebutuhan pokok oleh siapapun (termasuk oleh Petani atau Kelompok Tani. Di sini terlihat bahwa barang hasil pertanian dalam negeri selain barang kebutuhan pokok dilindungi (diproteksi), meskipun cara ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip netralitas PPN. Perlakuan pembebasan barang hasil pertanian selain yang merupakan kebutuhan pokok  sebagaimana diatur dalam PP-12 Tahun 2001 tetap berlangsung meskipun PP tersebut telah diubah dengan PP-43 Tahun 2002, dan PP-46 Tahun 2003.

Baru sejak 1 Januari 2007 melalui PP-7 Tahun 2007 atas impor  barang hasil pertanian selain yang merupakan kebutuhan pokok juga dibebaskan dari pengenaan PPN. Selain itu atas penyerahan di dalam negeri oleh bukan Petani atau bukan Kelompok Petani menjadi dibebaskan dari pengenaan PPN. Rincian barang hasil pertanian yang dibebaskan disebutkan secara detail pada Lampiran PP-7 Tahun 2007. Setelah diterbitkannya PP-7 Tahun 2007 ini ketentuan pengecualian menjadi PKP bagi Petani yang semata-mata hanya menyerahkan barang hasil pertanian dibatalkan oleh PMK No.11/PMK.03/2007. Nampaknya perubahan ini bertujuan untuk menyelaraskan dengan ketentuan UU PPN, meskipun upaya meringankan beban administrasi Petani menjadi ditinggalkan. Selanjutnya pada PP-31 Tahun 2007 tetap memberlakukan sama atas barang hasil pertanian sebagai barang strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan PPN.

Hal yang menarik pada periode UU PPN ketiga adalah mulai terjadinya kekurang-jelasan perlakuan PPN atas sebagian barang hasil pertanian apakah tidak kena PPN (bukan BKP karena barang kebutuhan pokok) atau dibebaskan dari pengenaan PPN karena barang strategis. Beras, Gabah dinyatakan oleh UU sebagai bukan BKP, sedangkan Padi oleh PP dinyatakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Terlebih lagi, atas penyerahan jagung yang mana jelas bahwa jagung dinyatakan sebagai barang kebutuhan pokok oleh UU, tetapi pada PP-7 Tahun 2007 juga dinyatakan sebagai barang strategis. Walaupun dualisme perlakuan ini bagi konsumen tidak berpengaruh secara keuangan (karena sama-sama tidak perlu membayar PPN), namun bagi pihak yang menyerahkan (Penjual) secara administratif dapat membingungkan. Ketika dinyatakan bukan BKP seharusnya si Penjual tidak perlu membuat Faktur Pajak. Ketika dinyatakan sebagai BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN, maka Penjual tetap harus membuat Faktur Pajak

[1] Diatur dalam Pasal 6 KMK No.155/KMK.03/2001 jo. KMK No.371/KMK.03/2003

[4] Diatur dalam Pasal 6 KMK No.155/KMK.03/2001 jo. KMK No.371/KMK.03/2003

dengan kode faktur 08. Kesalahan memperlakukan penyerahan barang tersebut  tentu berisiko. Jika seharusnya membuat faktur, namun apabila penjual beranggapan barang tersebut bukan BKP yang karenanya tidak membuat Faktur Pajak, maka si penjual akan dikenakan sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (suatu jumlah yang tidak sedikit). Dalam prakteknya akhirnya Penjual menentukan sendiri berdasarkan siapa pembelinya. Sekiranya dijual kepada Produsen untuk diproses produksi lebih lanjut, maka atas penyerahannya diperlakukan sebagai penyerahan yang dibebaskan PPN. Contoh: jika jagung dijual kepada Perusahaan Pembuat Pakan Ternak, maka diperlakukan sebagai penyerahan barang strategis yang PPN-nya dibebaskan. Sedangkan, apabila jagung dijual untuk dikonsumsi maka atas penyerahannya menjadi tidak dikenakan PPN.

Perlakuan PPN atas Hasil Pertanian Periode UU PPN ke 4 (UU No. 42 Tahun 2009)

UU No. 42 Tahun 2009 melalui Penjelasannya (Pasal 4A) menambah jenis barang Non-BKP dari barang-barang hasil pertanian yaitu:

  1. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  2. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  3. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  4. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  5. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

Dengan penambahan tersebut, maka dualisme perlakuan PPN atas penyerahan sebagian barang hasil pertanian menjadi bertambah, yaitu penyerahan daging, telur, susu, dan sayur-sayuran. Atas penyerahan barang-barang tersebut oleh UU (Penjelasannya) dinyatakan tidak kena PPN (karena bukan BKP), namun oleh PP-31 Tahun 2007 -yang belum dicabut ketika UU Baru diberlakukan-  dinyatakan dibebaskan dari pengenaan PPN.

Di tengah dualisme tersebut terjadilah peristiwa yang menarik yaitu adanya Uji Materil oleh Kadin kepada MA terkait dengan dibebaskannya penyerahan atas barang hasil pertanian. Kadin berpendapat bahwa seharusnya hanya atas barang kebutuhan pokok saja yang tidak dikenakan PPN. Selain barang kebutuhan pokok harusnya tidak boleh diberikan pembebasan PPN. Barang Pertanian yang bukan barang kebutuhan pokok menurut Kadin harusnya dikenakan PPN. Lebih lanjut Kadin beralasan bahwa dengan dibebaskannya barang hasil pertanian maka Perusahaan Perkebunan yang sekaligus sebagai produsen turunan hasil perkebunan (misalnya minyak sawit) akan mengalami tekanan persaingan karena atas PPN Masukan sehubungan dengan produksi hasil pertanian (yang akan digunakan dalam proses produksi berikutnya) menjadi tidak dapat dikreditkan sehingga menambah harga pokok produksi turunan/akhir barang hasil pertanian. MA akhirnya mengabulkan permohonan Kadin, sehingga atas penyerahan barang hasil pertanian selain barang kebutuhan pokok tidak dibebaskan PPN.[1]

[1] Putusan MA Nomor 70 P/HUM/2013

[5] Putusan MA Nomor 70 P/HUM/2013

Menyikapi adanya Putusan MA ini Pemerintah menerbitkan SE-24/PJ/2014 yang isinya :

  1. Barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN
  2. Barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN
  3. Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0%
  4. Sehubungan dengan huruf c di atas, maka Pengusaha (orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tersebut wajib memungut PPN dan untuk itu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Butir b sesungguhnya kurang sesuai dengan kenyataan, karena jagung termuat dalam Lampiran PP-31 Tahun 2007.

Setelah itu, uji materil terjadi lagi yaitu adanya permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penjelasan UU PPN yang membatasi jenis-jenis barang yang diklasifikasikan sebagai bahan kebutuhan pokok. Pemohon Uji Materil mempersoalkan tidak dimasukannya Ikan dan Kacang sebagai barang kebutuhan pokok dengan alasan barang tersebut menjadi lebih mahal akibat terkena PPN. Pemerintah sebagai Termohon mempertahankan bahwa atas Ikan dan Kacang sudah tidak terdampak PPN karena PPN-nya telah dibebaskan berdasarkan PP. MK akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan memutuskan bahwa Penjelasan UU PPN bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 sepanjang dimaknai bahwa barang kebutuhan pokok meliputi sebatas yang dinyatakan dalam Penjelasan.[1] Akibatnya atas ikan dan kacang harus dinyatakan sebagai barang kebutuhan pokokyang bukan BKP.

Sejiwa dengan persoalan dibatasinya barang kebutuhan pokok yang hanya disebutkan dalam PMK No. 116/PMK.10/2017, maka atas PMK tersebut juga diajukan Uji Materil ke Mahkamah Agung (MA) yang mempersoalkan tidak dimasukannya ikan, dan kacang-kacangan sebagai barang kebutuhan pokok. Sama halnya dengan MK, MA pun mengabulkan Uji Materil tersebut.[2]

[1] Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016

[2] Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018

[6] Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016 [7] Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018

Respon Pemerintah terhadap dikabulkannya Permohonan Uji Materil atas PMK No.116/PMK.10/2017 oleh MA adalah dengan dikeluarkannya PMK No. 99/2020 yang menyebutkan Ikan sebagai Barang Kebutuhan Pokok. Sungguhpun demikian pada PP-48 Tahun 2020 tentang PPN atas Penyerahan Barang Strategis ikan masih dinyatakan sebagai Barang Strategis. Dengan kata lain dualisme perlakuan antara tidak dikenakan PP (karena bukan BKP) dan dibebaskan PPN (karena BKP) tetap berlangsung. Demikian pula halnya jagung yang pada PMK No.99/2020 disebut sebagai barang kebutuhan pokok, namun di PP-48 Tahun 2020 dinyatakan sebagai BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.

Respon lanjutan dari dikabulkannya Uji Materil oleh Kadin terhadap PP-31 Tahun 2007 adalah dikeluarkannya PMK No.89/2020 yang mengatur tentang penggunaan nilai lain atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu (lagi-lagi Jagung termasuk di dalamnya). Nilai lain 10% sebagai DPP dapat dipilih oleh pihak yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu tersebut. Atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu oleh Pengusaha yang menggunakan nilai lain kepada Badan Usaha Industri yang melakukan pengolahan dilakukaan pemungutan PPN oleh Industri tersebut. Dengan ketentuan ini diharapkan kepentingan Pengusaha pembuat Minyak Kelapa Sawit yang juga mempunya kebun kelapa sawit dan kepentingan Pengusaha yang semata-mata pekebun kelapa sawit bisa terpenuhi keduanya. Bagi Pengusaha pembuat Minyak Kelapa Sawit yang juga mempunya kebun kelapa sawit tidak akan terkena tidak diakuinya pajak masukan atas perolehan barang terkait dengan produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, karena pemakaian sendiri TBS bagi produksi minyak kelapa sawit sebagai penyerahan kena pajak yang terutang pajak yang dilain pihak tergolong sebagai  pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sehingga tidak perlu pula dibuatkan faktur pajaknya sebagaimana diatur oleh PP-1 tahun 2012. Bagi Pengusaha yang hanya sebagai Pekebun barang hasil pertanian tertentu pada sisi lain tidak perlu direpotkan dengan kewajiban administratif pajak masukan, sebab daoat menggunakan nilai lain. Persoalannya adalah ketika Pekebun menyerahkan kepada Industri Pengolahan, maka pembayaran atas penyerahan tersebut dipungut PPN oleh Industri Pengolahan. Dengan terkena mekanisme pemungutan PPN maka tidak dipertimbangkan lagi apakah Pekebun tersebut Pengusaha Kecil atau bukan.

Simpulan

Dari uraian di atas terlihat bahwa Perlakuan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian mengalami dinamika yang tidak sederhana. Pada dua UU PPN yang pertama (ketika seluruh barang hasil pertanian masih dikategorikan sebagai bukan BKP) belum terjadi dualisme antara sebagian barang hasil pertanian sebagai bahan kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN dengan yang dibebaskan PPN. Sejak UU PPN ketiga sampai sekarang terjadilah dualisme tersebut. Selain itu luasnya kepentingan yang terjadi terkait dengan barang hasil pertanian juga memunculkan beberapa kali Uji Materil atas peraturan yang ada. Bahkan Lembaga Peradilan mengabulkan permohonan Uji-Uji Materil tersebut sehingga mau tidak mau Pemerintah harus mendesain ulang peraturan-peraturan yang sudah diterbitkan.

Bagikan Berita Ini

Tingkatkan Kepatuhan Pajak, Keberadaan UU Konsultan Pajak Dinilai Penting

Berita

Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Mochamad Soebakir menaruh harapan yang besar agar RUU tentang Konsultan Pajak yang diinisiasi Dewan perwakilan rakyat (DPR) dapat segera menjadi undang-undang. Karenanya, IKPI akan meminta dukungan kepada Pemerintah agar RUU ini bisa segera menjadi undang-undang.

“Langkah kami tidak hanya merangkul DPR saja, tetapi juga meminta dukungan kepada Pemerintah. Sebab kalau ditelusuri, Pemerintah yang nantinya paling besar mendapat buahnya. Ini bisa menggerakkan kepatuhan wajib pajak karena adanya kepastian hukum. Sebab ada ketegasan hukum bagi konsultan pajak dalam menjalankan tugasnya,” kata Soebakir di sela acara perayaan ulangtahun IKPI ke-55, di Jakarta, Jumat (28/8/2020).

Soebakir menegaskan, keberadaan Undang-Undang Konsultan Pajak bukan hanya untuk kepentingan IKPI, tetapi untuk kepentingan semua pihak, termasuk Wajib Pajak dan negara.

“Kami mengharapkan, Pemerintah saatnya lah mendukung. Sehingga harapannya sebelum periode DPR yang sekarang ini berakhir, RUU Konsultan Pajak sudah bisa menjadi undang-undang,” kata Soebakir.

Dengan jumlah anggota yang saat ini mencapai 5.068 di seluruh Indonesia, IKPI merupakan mitra Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan sosialisasi peraturan dan pembinaan terhadap Wajib Pajak. Kerja sama dilakukan melalui kegiatan bersama dalam bentuk seminar, sosialisasi, penelitian, dan lainnya.

“IKPI merupakan mitra Direktorat Jenderal Pajak dalam mendorong kesadaran, menambah pengetahuan dan meningkatkan kepatuhan masyarakat atau para Wajib Pajak,” kata Soebakir.

Bagikan Berita Ini
id_ID