KPP Pratama Surakarta Buka Layanan Pojok Pajak Hingga Malam

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surakarta memperluas akses layanan dengan membuka Pojok Pajak di Kelurahan Gilingan, Kota Surakarta. Layanan ini beroperasi setiap hari mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WIB, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak (WP) yang ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk individu maupun badan usaha setelah pulang bekerja.

Kepala KPP Pratama Surakarta, Herry Wirawan, menjelaskan bahwa penambahan waktu layanan sore hingga malam ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak yang tidak dapat mengurus administrasi SPT pada jam kerja reguler. Dengan adanya Pojok Pajak, WP dapat lebih fleksibel dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

“Layanan ini termasuk aktivasi atau permintaan kembali Electronic Filing Identification Number (EFIN), permohonan perubahan data Wajib Pajak, hingga asistensi dalam pengisian dan pelaporan SPT Tahunan. Kami memastikan semua layanan tersedia hingga WP selesai melaporkan SPT mereka,” ungkap Herry dalam keterangan tertulis yang diterima oleh media, Rabu (19/2/2025).

Penyediaan layanan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi WP dalam menghadapi kebijakan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait implementasi Multi-Factor Authentication (MFA) yang berlaku sejak 2025. Setiap WP diwajibkan untuk memverifikasi identitas mereka melalui nomor handphone atau email untuk mengakses laman pajak.go.id. Langkah ini diambil untuk menjaga kerahasiaan data WP dan mencegah terjadinya pencurian akun.

Selain layanan di Pojok Pajak, KPP Pratama Surakarta juga memberikan informasi kepada WP melalui WhatsApp Blast mengenai jadwal layanan Pojok Pajak di kelurahan atau wilayah lainnya. Herry mengimbau kepada seluruh masyarakat agar segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan, yaitu 31 Maret untuk WP orang pribadi dan 30 April untuk WP badan. Keterlambatan pelaporan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda, yakni Rp 100 ribu untuk WP orang pribadi dan Rp 1 juta untuk WP badan.

Salah satu Wajib Pajak, Rahayu, menyampaikan apresiasinya terhadap layanan Pojok Pajak. “Saya selalu memanfaatkan layanan Pojok Pajak di kelurahan untuk melaporkan SPT Tahunan pribadi saya, bahkan untuk TK Aisyiyah 41 Tegalharjo,” ujar Rahayu.

Layanan Pojok Pajak ini diharapkan dapat mempermudah WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa mengganggu rutinitas harian mereka, serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelaporan SPT Tahunan tepat waktu.(alf)

DPD akan Panggil Dirjen Pajak Terkait Penurunan Laporan Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Nawardi mengungkapkan rencana untuk memanggil Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, setelah adanya penurunan signifikan dalam laporan faktur pajak akibat penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Rencana pemanggilan tersebut disampaikan Nawardi usai rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Senayan, Jakarta. Dalam rapat tersebut, Nawardi menanyakan masalah terkait sistem Coretax, namun ia menyatakan bahwa hingga saat ini penjelasan lebih lanjut dari Menteri Keuangan belum diterima, sehingga Komite IV berencana untuk mendalami masalah ini lebih lanjut dengan mengundang Dirjen Pajak.

“Saya ingin memperdalam persoalan ini. Yang pasti, ke depannya kami akan mengundang Dirjen Pajak,” ujar Nawardi kepada wartawan, Selasa (18/2/2025).

Nawardi juga mengungkapkan bahwa penurunan laporan faktur pajak tersebut berdampak langsung pada penerimaan negara. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, target penerimaan dari pengumpulan faktur pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai Rp 50 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 172 triliun.

“Faktur pajak yang diterbitkan tahun ini jauh berkurang. Pada tahun lalu, jumlah faktur yang masuk mencapai 60 juta, namun tahun ini hanya 20 juta faktur,” ungkap Nawardi. Penurunan tersebut diduga terkait dengan masalah pada penerbitan faktur dalam sistem Coretax.

Meskipun Coretax dipandang sebagai sistem pembayaran pajak digital yang canggih dan menjanjikan, Nawardi menekankan perlunya segera dilakukan perbaikan agar sistem ini tidak mengganggu penerimaan negara lebih lanjut. “Jangan sampai Coretax tidak digunakan sama sekali, apalagi sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 13 Februari 2025, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti melaporkan bahwa jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan sepanjang Januari 2025 tercatat sebesar 52,5 juta faktur. Sementara pada Februari 2025, jumlah faktur yang diterbitkan hanya mencapai 6,91 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46,9 juta faktur pada Januari dan 6,20 juta faktur pada Februari telah divalidasi atau disetujui.

Dengan penurunan yang signifikan ini, Komite IV DPD berharap pemerintah dapat segera mengatasi masalah teknis yang ada dalam penerapan Coretax agar target penerimaan negara dapat tercapai tanpa hambatan. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 15/2025, Berikan Kepastian Hukum Proses Pemeriksaan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan peraturan terkait pemeriksaan pajak, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan terpisah.

Dalam peraturan tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa diterbitkannya PMK ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. PMK 15 Tahun 2025 ini mengatur penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak guna menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 yang dikutip Rabu (19/2/2025).

Jenis Pemeriksaan Pajak

PMK ini memberikan rincian mengenai jenis-jenis pemeriksaan pajak yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksaan spesifik.

1. Pemeriksaan Lengkap
Merupakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak secara menyeluruh pada seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dengan pendekatan yang mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus
Pemeriksaan ini berfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang diuji secara lebih mendalam.

3. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan yang dilakukan secara sederhana dan terfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan, data, atau kewajiban perpajakan lainnya.

Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK ini mencakup berbagai jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak tertentu. Pemeriksaan juga bisa mencakup satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pemeriksaan dapat dilakukan untuk tujuan lainnya, seperti penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan tersebut.

Dengan diterbitkannya PMK 15 Tahun 2025 ini, diharapkan proses pemeriksaan pajak dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, memberikan kejelasan bagi wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (alf)

“IKPI Gathering Partnership 2025”: DJP Tekankan Pentingnya Peran Konsultan Pajak dalam Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam mendukung kepatuhan wajib pajak. Hal ini disampaikan dalam acara “IKPI Gathering Partnership 2025” yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Dalam sambutannya, Dwi mengapresiasi kerja sama yang terjalin antara DJP dan IKPI. Menurutnya, konsultan pajak memiliki peran krusial dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pendampingan dalam memahami kewajiban perpajakan mereka.

“Kami mengapresiasi kerja sama yang selama ini telah terjalin dengan baik. Konsultan pajak tidak hanya berperan dalam membantu wajib pajak memenuhi kewajibannya, tetapi juga dalam menyampaikan hak-hak wajib pajak secara seimbang,” ujar Dwi .

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa DJP terus berupaya meningkatkan kualitas layanan perpajakan dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk asosiasi profesi seperti IKPI. Sosialisasi dan edukasi yang masif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional.

“Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk partisipasi kita dalam pembangunan. Banyak fasilitas yang kita nikmati hari ini, seperti pendidikan dan infrastruktur, bersumber dari pajak yang kita bayarkan,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar dalam menjalankan profesinya, para konsultan pajak selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Dwi menegaskan bahwa DJP akan terus meningkatkan pengawasan terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Sekadar informasi, “IKPI Gathering Partnership 2025” ini dihadiri oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, sejumlah ketua departemen, serta para anggota dan mitra IKPI dari berbagai daerah.

Hadir juga pada kesempatan tersebut, 206 asosiasi usaha dan asosiasi di sektor keuangan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara DJP dan konsultan pajak dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. (bl)

Indonesia Berpeluang Batalkan Pajak Minimum Global 15%, Airlangga: Kita Ikuti Trump 2.0

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan bahwa Indonesia bisa saja batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini berkaitan dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menolak kebijakan tersebut.

“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam Indonesia Economic Summit by IBC di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Sebelumnya, Indonesia telah menetapkan kebijakan pajak minimum global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Aturan ini mengacu pada kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung lebih dari 140 negara. Penerapan kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku untuk tahun pajak 2025, mengikuti jejak lebih dari 40 negara lainnya.

Namun, keputusan Donald Trump untuk menarik AS dari kesepakatan ini berpotensi mengubah peta kebijakan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa langkah AS tersebut akan berdampak luas.

“Karena AS negara terbesar dunia, pasti akan berdampak ke seluruh dunia. Tapi masalah taxation maupun tarif, kita lihat Presiden Trump berlakukan policy-policy yang sudah dan telah dijanjikan, dan kita akan terus perbaiki serta perkuat resiliensi perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, belum lama ini.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia tetap berupaya menciptakan iklim investasi yang kompetitif dengan mengoptimalkan kebijakan tax holiday dan tax allowance. Airlangga pun mengajak para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, sebelumnya menegaskan bahwa pajak minimum global bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak melalui tax haven. “Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangan tertulis, baru-baru ini.

Pajak minimum global telah diperjuangkan selama lima tahun terakhir sebagai langkah untuk mencegah praktik “race to the bottom” dalam tarif pajak. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan multinasional dengan omzet global minimal 750 juta Euro untuk membayar pajak minimal 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Kini, dengan dinamika global yang dipengaruhi oleh kebijakan AS, Indonesia tampaknya masih mempertimbangkan langkah selanjutnya terkait implementasi aturan ini. (alf)

 

Indonesia Berpotensi Tambah Penerimaan Pajak Rp 3-8 Triliun dari Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerapan pajak minimum global sesuai kesepakatan Pilar Dua dapat menambah penerimaan negara antara Rp 3 triliun hingga Rp 8 triliun. Namun, angka tersebut bergantung pada kebijakan serupa yang diterapkan oleh negara lain.

“Kalau berdasarkan asesmen kita, rangenya Rp 3 triliun sampai Rp 8 triliun (tambahan penerimaan),” ujar pegawai Direktorat Perpajakan Internasional, Frans Hans, dalam webinar yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2/2025).

Frans menjelaskan bahwa potensi penerimaan ini akan terjadi jika negara lain tidak menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Jika negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework menerapkan QDMTT secara serentak, maka dampak penerimaan tambahan dari kebijakan ini akan menjadi netral.

Sekadar informasi, pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 31 Desember 2024.

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya global yang telah diinisiasi selama lima tahun terakhir untuk mencegah praktik “race to the bottom”, di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak demi menarik investasi.

Dengan pajak minimum global, perusahaan multinasional yang memiliki omzet konsolidasi global minimal €750 juta diwajibkan membayar pajak sekurang-kurangnya 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif, sekaligus memastikan perusahaan multinasional berkontribusi secara adil terhadap penerimaan negara. (alf)

 

Pemerintah Beri Insentif PPN DTP Pembelian Rumah, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) bagi pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025.

Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi @ditjenpajakri, insentif ini diberikan dengan beberapa syarat, antara lain harga jual rumah maksimal Rp 5 miliar, rumah memiliki kode identitas, merupakan rumah baru dalam kondisi siap huni, dan pertama kali diserahkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) developer.

Besaran Insentif PPN DTP

Insentif PPN DTP dibedakan berdasarkan waktu penyerahan rumah:

• 100% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Januari – 30 Juni 2025.

• 50% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Juli – 31 Desember 2025.

Namun, insentif ini hanya berlaku untuk bagian harga jual hingga Rp 2 miliar. Jika harga rumah lebih dari Rp 2 miliar, maka insentif hanya diberikan untuk batas maksimal tersebut.

Simulasi Penghitungan Insentif

Untuk memahami skema insentif ini, berikut beberapa contoh penghitungannya:

• Wibi membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan penyerahan pada Februari 2025. Karena harga rumah di bawah Rp 2 miliar dan penyerahan dilakukan dalam semester pertama 2025, ia berhak mendapatkan 100% PPN DTP sebesar: 12% x 11/12 x Rp 500 juta = Rp 55 juta

• Naya membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Maret 2025. Karena harga rumah melebihi Rp 2 miliar, insentif hanya diberikan untuk bagian Rp 2 miliar. Dengan skema 100% PPN DTP, insentif yang diperoleh sebesar: 12% x 11/12 x Rp 2 miliar = Rp 220 juta

• Cenna membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Oktober 2025. Karena transaksi dilakukan di semester kedua 2025, ia hanya mendapatkan 50% PPN DTP dari bagian Rp 2 miliar. Maka, insentif yang didapat: 50% x (12% x 11/12 x Rp 2 miliar) = Rp 110 juta

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mendorong daya beli masyarakat terhadap properti serta mendukung sektor perumahan di Indonesia. (alf)

IKPI Jakarta Barat dan UNTAR Kolaborasi Perkuat Edukasi Pajak 

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Barat Teo Takismen, menegaskan pentingnya edukasi pajak dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak di Indonesia. Dalam seminar bertema “Coretax dan Pelaporan PPh Orang Pribadi 2024” yang digelar bersama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanagara (UNTAR), di Kampus UNTAR Grogol, Jakarta Barat, baru-baru ini.

Teo menegaskan bahwa IKPI berkomitmen untuk terus memberikan pelatihan dan pendampingan terkait perpajakan, baik kepada mahasiswa, maupun masyarakat luas.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Kerja Sama Berkelanjutan untuk Edukasi Pajak

Teo menyampaikan bahwa kerja sama antara IKPI dan UNTAR bukanlah hal baru. Kedua pihak telah lama menjalin sinergi dalam bidang edukasi perpajakan, termasuk penyelenggaraan pelatihan bagi akademisi dan masyarakat umum.

“Harapan kerja sama ini adalah mengedukasi, baik dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, maupun UNTAR. Kami juga membantu memberikan pendidikan pajak, mengedukasi mahasiswa, dan memberikan konsultasi kepada masyarakat jika dibutuhkan,” ujar Teo di Jakarta, Senin (17/2/2025).

Ia juga menambahkan bahwa IKPI secara aktif mengadakan berbagai program pelatihan, seperti Training for Trainer (ToT), serta membuka layanan konsultasi pajak yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Program ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman wajib pajak mengenai berbagai aspek perpajakan, termasuk tata cara pelaporan pajak yang benar.

“Sebelumnya, kami pernah membuka beberapa meja konsultasi pajak, di mana masyarakat bisa datang langsung untuk bertanya tentang pajak pribadi maupun pajak badan. Sayangnya, animo masyarakat masih perlu ditingkatkan, karena saat itu jumlah peserta yang datang masih tergolong sedikit,” tambahnya.

Lebih lanjut ia menegaskan, salah satu topik utama yang dibahas dalam seminar adalah implementasi Coretax, yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 1 Januari 2025. Sistem ini dikembangkan untuk mendigitalisasi dan mengotomatisasi administrasi perpajakan, dengan tujuan meningkatkan transparansi serta mengurangi risiko kesalahan dalam pelaporan pajak.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNTAR, Prof. Sawidji Widoatmodjo, mengungkapkan bahwa meskipun sistem ini bertujuan untuk mempermudah wajib pajak, masih banyak pertanyaan mengenai dampaknya.

“Semoga dalam seminar ini kita mendapatkan penjelasan yang lebih jelas dari para profesional IKPI. Apakah dengan Coretax kita akan membayar pajak lebih banyak atau lebih sedikit? Jika tidak menggunakan Coretax, apakah ada sanksinya? Hal-hal ini perlu kita pahami bersama,” ujar Prof. Sawidji.

Ia juga menyoroti bahwa dalam transisi menuju sistem baru ini, masih terdapat ketidakpastian mengenai bagaimana wajib pajak harus beradaptasi.

“Kementerian Keuangan memang sudah mempromosikan sistem ini, tapi sepertinya penerapannya belum bisa berjalan sepenuhnya pada tahun pajak 2025. Kemungkinan akan ada masa transisi dengan dua sistem berjalan bersamaan,” jelasnya.

Pentingnya Kesadaran Pajak di Masyarakat

Lebih lanjut, Prof. Sawidji juga membahas pentingnya kesadaran pajak sebagai bagian dari kewajiban warga negara. Ia menyinggung bahwa di negara-negara seperti Jerman, pajak yang tinggi memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat, seperti layanan kesehatan dan pendidikan gratis.

“Di Indonesia, kita masih dalam proses menuju ke arah tersebut. Mungkin suatu saat pajak bisa langsung terpotong tanpa perlu isi SPT lagi, seperti di beberapa negara maju,” ujarnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa transparansi dan pemahaman yang lebih baik mengenai perpajakan sangat diperlukan agar masyarakat tidak merasa terbebani dengan sistem baru yang diterapkan.

IKPI dan UNTAR Perkuat Sinergi ke Depan

Ke depan, IKPI dan UNTAR akan terus memperkuat sinergi dalam meningkatkan edukasi pajak di Indonesia. Selain pelatihan dan seminar, mereka juga berencana untuk mengembangkan riset-riset akademik yang dapat memberikan masukan bagi kebijakan perpajakan nasional.

“Kami berharap kerja sama ini bisa berkembang lebih jauh, tidak hanya dalam bidang pelatihan tetapi juga penelitian dan pengajaran. Dengan demikian, kita bisa bersama-sama meningkatkan profesionalisme di dunia perpajakan serta memberikan manfaat bagi masyarakat luas,” kata Prof. Sawidji.

Dengan adanya edukasi yang lebih luas, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami kewajiban pajaknya dan menghindari risiko sanksi akibat ketidaktahuan. IKPI dan UNTAR pun optimistis bahwa sinergi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan efisien di Indonesia. (bl)

DJP Catatkan Penerimaan Pajak Rp 33,39 Triliun dari Usaha Ekonomi Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai total Rp 33,39 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini berasal dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), fintech (P2P lending), dan transaksi kripto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Senin (17/2/2025) menjelaskan bahwa penerimaan tersebut berasal dari beberapa sumber pajak, yakni:

– PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) Rp 26,12 triliun
– Pajak Kripto Rp 1,19 triliun
– Pajak Fintech (P2P Lending) Rp 3,17 triliun
– Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,90 triliun.

Rincian Penerimaan Pajak PMSE

Penerimaan pajak dari sektor PMSE menjadi yang terbesar, dengan jumlah mencapai Rp 26,12 triliun. Jumlah ini dikumpulkan dari 181 pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan data DJP, setoran PPN PMSE tersebar dalam beberapa tahun, dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 731,4 miliar (tahun 2020)
– Rp 3,90 triliun (tahun 2021)
– Rp 5,51 triliun (tahun 2022)
– Rp 6,76 triliun (tahun 2023)
– Rp 8,44 triliun (tahun 2024)
– Rp 774,8 miliar (tahun 2025, hingga Januari).

Penerimaan Pajak Kripto

Dwi juga mencatatkan penerimaan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp 1,19 triliun. Angka ini diperoleh dari transaksi penjualan kripto di exchanger, yang menyumbang penerimaan pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp 560,55 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 634,24 miliar. Penerimaan ini tersebar dari tahun 2022 hingga 2025 dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 246,45 miliar (tahun 2022)
– Rp 220,83 miliar (tahun 2023)
– Rp 620,4 miliar (tahun 2024)
– Rp 107,11 miliar (tahun 2025).

Sektor fintech (P2P lending) juga menunjukkan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak, yang tercatat sebesar Rp 3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 720,74 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun.

Pajak atas Transaksi Pengadaan Barang/Jasa

Selain itu, DJP juga mencatatkan penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang tercatat sebesar Rp 2,90 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.

Dwi menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, DJP berencana menggali potensi penerimaan pajak lainnya dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, DJP berharap sektor ini dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (alf)

PMK 10/2025 Diberlakukan, Ini Klasifikasi Industri dan Karyawan Penerima Insentif PPh 21 DTP!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, yang mengatur pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk karyawan dengan penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan di sektor-sektor usaha tertentu. Keputusan ini diambil untuk memberikan dukungan kepada sektor industri yang terdampak oleh kondisi ekonomi global maupun domestik.

Berdasarkan PMK tersebut, insentif ini hanya dapat dinikmati oleh karyawan atau pegawai yang memiliki penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau setara dengan Rp500 ribu per hari. Pemberian insentif ini hanya berlaku untuk karyawan yang bekerja di sektor industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit.

Industri yang Berhak Mendapatkan Insentif PPh 21 DTP
Berikut adalah klasifikasi lapangan usaha yang dapat menikmati insentif PPh 21 DTP berdasarkan PMK Nomor 10 Tahun 2025:

1.Industri Persiapan Serat Tekstil
2.Industri Pemintalan Benang
3.Industri Pemintalan Benang Jahit
4.Industri Pertenunan
5.Industri Kain Tenun Ikat
6.Industri Bulu Tiruan Tenunan
7.Industri Penyempurnaan Benang
8.Industri Penyempurnaan Kain
9.Industri Pencetakan Kain
10.Industri Batik
11.Industri Kain Rajutan
12.Industri Kain Sulaman
13.Industri Bulu Tiruan Rajutan
14.Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Rumah Tangga
15.Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman
16.Industri Bantal dan Sejenisnya
17.Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman
18.Industri Karung Goni
19.Industri Karung Bukan Goni
20.Industri Barang Jadi Tekstil Lainnya
21.Industri Karpet dan Permadani
22.Industri Tali
23.Industri Barang dari Tali
24.Industri Kain Pita (Narrow Fabric)
25.Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri
26.Industri Non Woven (Bukan Tenunan)
27.Industri Kain Ban
28.Industri Kapuk
29.Industri Kain Tulle dan Kain Jaring
30.Industri Tekstil Lainnya YTDL
31.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Tekstil
32.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit
33.Penjahitan dan Pembuatan Pakaian Sesuai Pesanan
34.Industri Perlengkapan Pakaian dari Tekstil
35.Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit
36.Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Berbulu
37.Industri Pakaian Jadi Rajutan
38.Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir
39.Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya
40.Industri Pengawetan Kulit
41.Industri Penyamakan Kulit
42.Industri Pencelupan Kulit Bulu
43.Industri Kulit Komposisi
44.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Pribadi
45.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Teknik/Industri

Insentif PPh 21 DTP ini mulai berlaku pada masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan utama dari insentif ini adalah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya tertentu, yang sangat terdampak oleh kondisi ekonomi saat ini. Dengan insentif ini, diharapkan para pekerja dapat lebih mudah menghadapi kondisi ekonomi yang penuh tantangan, terutama dengan adanya kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi 12% per Januari 2025.

Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak, Sri Mulyani menjelaskan bahwa latar belakang diterbitkannya PMK ini adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di sektor industri padat karya. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah kebijakan kenaikan tarif PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

“Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu. Dengan insentif PPh 21 DTP, kami berharap dapat membantu meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas perekonomian,” ujar Sri Mulyani.

Insentif ini diharapkan dapat meringankan beban para pekerja, serta mendukung pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.(bl)

id_ID