Elon Musk Ledek RUU Pajak Trump: ‘Kekejian Menjijikkan’ yang Picu Utang Raksasa

IKPI, Jakarta: Miliarder teknologi Elon Musk kembali menjadi sorotan publik setelah melontarkan kritik tajam terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak dan Belanja yang digagas oleh mantan Presiden Donald Trump. Dalam sebuah unggahan bernada pedas di platform X, CEO Tesla tersebut menyebut RUU itu sebagai “kekejian yang menjijikkan” dan memperingatkan bahwa langkah tersebut akan memperburuk defisit anggaran federal secara signifikan.

“Saya minta maaf, tetapi saya tidak tahan lagi. RUU belanja Kongres ini sangat besar, keterlaluan, dan penuh omong kosong. Malulah pada mereka yang memilihnya Anda tahu Anda salah,” tulis Musk dalam sebuah posting di platform media sosialnya X, dikutip dari Reuters, Rabu (4/6/2025).

RUU tersebut bertujuan memperpanjang pemotongan pajak tahun 2017, yang pernah menjadi tonggak legislatif utama Trump. Selain itu, rancangan tersebut juga mencakup peningkatan anggaran untuk sektor militer dan keamanan perbatasan.

Namun, laporan dari Congressional Budget Office (CBO) memperkirakan bahwa pengesahan undang-undang ini akan meningkatkan utang nasional AS sebesar US$ 3,8 triliun, menjadi total US$ 36,2 triliun. DPR sebelumnya telah meloloskan RUU ini dengan selisih tipis, sementara Senat berencana mengajukan versi revisi bulan depan, yang dikenal dengan nama “One Big Beautiful Bill Act.”

Pernyataan Musk disambut hangat oleh sejumlah senator Partai Republik yang dikenal konservatif dalam hal fiskal. Mereka menyuarakan kekhawatiran serupa, yang berpotensi menghambat kelanjutan proses legislasi di Senat.

Senator Steve Daines, anggota Komite Keuangan dari Partai Republik, mengonfirmasi bahwa pihaknya akan bertemu dengan Trump di Gedung Putih untuk membahas penyempurnaan insentif pajak bisnis dalam RUU tersebut.

Pernyataan Musk kali ini menjadi ujian terhadap pengaruh politiknya yang terus berkembang. Seminggu sebelumnya, ia mundur dari jabatannya sebagai pejabat khusus di Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), di mana ia sempat mereformasi sejumlah lembaga federal, meski gagal mencapai target penghematan besar-besaran.

Musk, yang pada pemilu lalu menggelontorkan hampir US$ 300 juta untuk mendukung kampanye Trump dan Partai Republik, kini berencana menarik diri dari keterlibatan politik aktif dan kembali fokus pada perannya sebagai CEO Tesla.

Sementara itu, pihak Gedung Putih enggan menanggapi secara detail. Juru bicara Karoline Leavitt menyatakan bahwa Presiden Trump tetap teguh pada pendiriannya.

“Presiden tahu di mana posisi Elon Musk dalam RUU ini. Namun itu tidak akan mengubah pendiriannya. Ini adalah RUU besar dan indah, dan dia akan terus mendukungnya,” ujar Leavitt. (alf)

 

Kanwil DJP Jaksus Soroti Fitur Restitusi dan Penundaan Utang di Coretax

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus (Kanwil DJP Jaksus) terus memperluas edukasi mengenai sistem administrasi pajak terbaru, Coretax Administration System (CTAS). Dalam kegiatan sosialisasi bersama puluhan dosen dan staf Cyber University, fokus perhatian tertuju pada dua fitur strategis dalam Coretax, kemudahan pengajuan restitusi pajak dan penundaan pembayaran utang pajak.

Rektor Cyber University, Gunawan Witjaksono, menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif DJP. Menurutnya, pemahaman akan sistem perpajakan yang baru sangat penting bagi kalangan akademisi, mengingat mereka turut berperan mencetak generasi sadar pajak.

“Transformasi digital di bidang pajak perlu dipahami secara komprehensif, termasuk prosedur restitusi dan kebijakan penagihan yang kini berbasis teknologi,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).

Sesi pelatihan yang dipandu oleh tim penyuluh pajak Kanwil DJP Jaksus, Dendi Amrin, Yoyon Hardhianto, dan Hargo Nugroho menggali berbagai aspek teknis sistem Coretax. Namun, yang paling menyita perhatian peserta adalah pemaparan seputar pengajuan restitusi pajak secara daring serta mekanisme penundaan pembayaran utang pajak yang kini dapat diajukan tanpa tatap muka langsung.

Restitusi Lebih Cepat dan Transparan

Melalui fitur Taxpayer Account Management (TAM), Coretax memungkinkan Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi secara digital. Data pelaporan dan riwayat pembayaran otomatis tercatat dan tersinkronisasi, mempercepat proses verifikasi dan mengurangi interaksi manual yang selama ini menjadi kendala.

“Semua transaksi terekam di Buku Besar Wajib Pajak. Ini memungkinkan proses restitusi dilakukan lebih cepat, transparan, dan berbasis data. DJP tidak lagi harus menelusuri bukti satu per satu,” jelas Hargo dalam sesi penutupan materi.

 

Utang Pajak? Bisa Ajukan Penundaan Lewat Sistem

Coretax juga memperkenalkan inovasi penting dalam penegakan hukum pajak: sistem Automated Collection Notice. Dengan sistem ini, pemberitahuan penagihan diterbitkan otomatis berdasarkan data tunggakan yang tercatat. Namun demikian, Wajib Pajak tetap diberi ruang untuk mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak secara daring.

“Ini bukan semata-mata untuk menagih, tapi untuk mendorong kepatuhan sukarela. Wajib Pajak bisa mengatur sendiri pembayaran mereka, asalkan sesuai ketentuan dan diajukan lewat Coretax,” ungkap Hargo.

Coretax dan Masa Depan Administrasi Pajak

Selain membahas fitur-fitur teknis seperti registrasi NPWP berbasis NIK, pelaporan SPT dengan sistem prepopulated, dan pemanfaatan Taxpayer Portal, edukasi ini juga menegaskan arah baru transformasi digital DJP mengedepankan kenyamanan, kepastian hukum, dan efisiensi.

Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jaksus, Ani Natalia, berharap kegiatan seperti ini dapat terus menjembatani pemahaman antara DJP dan masyarakat, terutama dalam hal kebijakan yang berdampak langsung pada hak dan kewajiban perpajakan.

“Restitusi dan penagihan pajak bukan hanya urusan angka, tetapi juga kepercayaan. Coretax hadir untuk memastikan bahwa setiap proses bisa dilacak, diaudit, dan dipercaya oleh masyarakat,” kata Ani. (alf)

 

Dorong Hunian Vertikal, Fahri Hamzah Usul Pajak Tinggi Rumah Tapak dan Hapus Subsidi Pembeli

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menggulirkan dua usulan strategis demi memperlancar program ambisius Presiden Prabowo Subianto, pembangunan tiga juta unit rumah. Kedua gagasan tersebut menitikberatkan pada reformasi paradigma perumahan nasional, dari rumah tapak menuju hunian vertikal, serta perombakan skema subsidi perumahan.

Dalam Simposium Nasional Sumitronomics yang digelar di JS Luwansa, Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025), Fahri menyarankan agar pemerintah memberlakukan pajak tinggi terhadap pembangunan rumah tapak (landed house). Menurutnya, kebijakan ini akan mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal seperti apartemen dan rumah susun.

“Nanti yang bangun rumah tapak, pajaknya dinaikkan saja sampai dia tidak bisa tinggal di rumah tapak. Otomatis dia akan memilih rumah susun,” ujar Fahri di hadapan peserta simposium.

Ia menambahkan, “Di kota-kota besar dunia sudah tidak ada lagi rumah tapak. Kita harus hentikan pembangunan rumah tapak di perkotaan karena tanah kita semakin terbatas.”

Fahri menilai, Indonesia masih tertinggal dalam membangun budaya hunian vertikal. Oleh karena itu, Kementerian PKP tengah gencar mengkampanyekan transisi ini sebagai jawaban terhadap krisis keterjangkauan dan keterbatasan lahan.

Usulan kedua yang tak kalah kontroversial adalah penghapusan subsidi kepada pembeli rumah. Fahri berargumen bahwa subsidi di sisi permintaan (demand side) justru tidak efektif karena tidak mengatasi akar masalah: harga tanah yang terlalu tinggi.

“Kami mengusulkan agar subsidi untuk pembeli dihentikan. Yang harus disubsidi adalah tanahnya. Negara harus mengontrol dan menggunakan tanah miliknya untuk proyek perumahan rakyat,” kata Fahri.

Ia menyebut pendekatan ini dapat memangkas harga rumah hingga 40–50 persen. Selain itu, ia menyoroti perlunya efisiensi dalam proses perizinan yang selama ini membebani biaya konstruksi.

Tak hanya itu, Fahri mengungkap bahwa sejumlah investor asing telah menunjukkan minat untuk berpartisipasi dalam program tiga juta rumah. Sayangnya, ketidaksiapan pemerintah dalam menjawab pertanyaan dasar soal lokasi tanah menjadi hambatan utama.

“Banyak calon investor yang sudah siap, tapi saat ditanya tanahnya di mana, tidak ada yang bisa jawab. Sebab, Kementerian PKP saat ini belum memiliki otoritas atas penguasaan tanah,” katanya.

Untuk mengatasi kendala tersebut, Fahri mengaku tengah memperjuangkan kewenangan pengelolaan lahan agar dapat langsung dikendalikan oleh kementeriannya. Langkah ini dinilai krusial agar proyek perumahan nasional tidak terus-menerus terganjal oleh birokrasi sektoral. (alf)

 

 

Celios Usulkan PPN Turun Jadi 9%, Klaim Bisa Dongkrak Ekonomi Nasional

IKPI, Jakarta: Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) mendorong pemerintah untuk memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% mulai Juni 2025. Usulan ini diyakini bisa memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa penurunan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa lebih terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk lebih banyak berbelanja. “Dengan PPN 9%, daya beli meningkat, konsumsi ikut terkerek, dan itu berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Ia juga menekankan bahwa meski tarif pajak turun, pendapatan negara tidak otomatis merosot. Sebaliknya, menurut Bhima, potensi penerimaan bisa tetap positif karena akan tergantikan oleh meningkatnya penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) seperti PPh badan dan PPh 21.

Lebih lanjut, Bhima menyebut sektor industri pengolahan terutama yang fokus pada pasar domestik akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari pemangkasan tarif ini. Ia mengingatkan bahwa sekitar seperempat penerimaan pajak berasal dari sektor tersebut.

“Beberapa negara telah lebih dulu menurunkan tarif PPN sebagai strategi dorong konsumsi, seperti Vietnam yang menurunkan PPN dua persen hingga 2026. Jerman dan Irlandia juga menerapkan hal serupa pascapandemi,” tambahnya.

Tak hanya soal PPN, Celios juga menyoroti pentingnya menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk meningkatkan penghasilan riil masyarakat. Menurut Bhima, saat ini PTKP sebesar Rp4,5 juta per bulan sudah tidak relevan, dan idealnya dinaikkan menjadi Rp7–8 juta per bulan agar kelas menengah bisa ikut terdorong daya belinya.

Bhima menilai paket stimulus ekonomi yang baru saja diluncurkan pemerintah yang mencakup diskon transportasi dan bantuan sosial senilai Rp24,44 triliun masih belum cukup untuk menggerakkan konsumsi secara luas, apalagi tanpa insentif fiskal seperti pemangkasan tarif listrik dan relaksasi pajak.

“Gejala pelemahan ekonomi sudah tampak dari deflasi Mei 2025, terutama pada kelompok makanan dan peralatan rumah tangga. Ini bukan sekadar efek pasca-Lebaran, tapi sinyal melemahnya permintaan,” ujarnya.

Menurut Bhima, jika tidak ada langkah cepat dan komprehensif, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di semester kedua 2025 bisa meningkat. Oleh karena itu, Celios mendesak agar insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPN dan perluasan PTKP segera dijadikan bagian dari kebijakan fiskal nasional. (alf)

 

Pemerintah Gelontorkan Rp 430 Miliar untuk Subsidi Tiket Pesawat Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan stimulus fiskal guna mendongkrak sektor transportasi udara dan menjaga daya beli masyarakat. Kali ini, anggaran sebesar Rp 430 miliar disiapkan untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 6% bagi tiket pesawat kelas ekonomi.

Kebijakan insentif ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang pernah diterapkan selama periode mudik Lebaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) ini diharapkan mampu menekan harga tiket dan meningkatkan mobilitas masyarakat.

“Diskon tiket pesawat yang kita berikan saat Lebaran lalu akan kita terapkan kembali. Kali ini, PPN sebesar 6% untuk tiket pesawat ekonomi akan ditanggung oleh pemerintah,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Senin (2/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, dana tersebut ditargetkan dapat memberikan manfaat bagi sekitar enam juta penumpang. Dengan adanya subsidi ini, masyarakat diharapkan dapat merasakan penurunan harga tiket tanpa membebani maskapai penerbangan.

“Kami berharap kebijakan ini bisa membuat harga tiket lebih terjangkau dan mendorong peningkatan jumlah penumpang,” jelasnya.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mempercepat pemulihan sektor transportasi dan pariwisata, dua bidang yang sempat terpukul akibat pandemi dan tekanan ekonomi global.

Program PPN DTP untuk tiket pesawat ini akan berlaku untuk rute domestik dan hanya berlaku untuk kelas ekonomi, sehingga menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan dukungan harga. (alf)

 

PER-11/PJ/2025 Perluasan Kewajiban Pemotongan PPh

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang dikenai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan ini dituangkan dalam PER-11/PJ/2025, yang mulai berlaku menggantikan ketentuan lama.

Mengacu pada Pasal 16 ayat (2) peraturan tersebut, dua kelompok orang pribadi kini ditetapkan sebagai pemotong PPh, yaitu:

• Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, dan

• Orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha.

Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyelenggarakan pembukuan. Dengan kata lain, kewajiban pemotongan tidak berlaku bagi pelaku usaha atau profesional yang masih menggunakan pencatatan sederhana.

Terdapat dua jenis pajak yang wajib dipotong:

• PPh Pasal 23 atas sewa selain tanah dan/atau bangunan, dengan tarif 2% dari jumlah bruto.

• PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan, dikenakan tarif 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.

Setiap pemotongan PPh tersebut harus dibuktikan dengan penerbitan Bukti Potong Unifikasi, sebagai dokumen formal pelaporan.

Dengan berlakunya PER-11/2025, maka dua ketentuan sebelumnya KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996 resmi dicabut. Sebelumnya, subjek pemotong PPh terbatas pada profesi tertentu, seperti akuntan, dokter, notaris, dan pengusaha dengan pembukuan. Kini, cakupannya mencakup lebih banyak pelaku ekonomi perorangan.

Aturan ini menjadi sinyal bahwa DJP tengah memperluas basis pemungutan PPh secara sistematis, termasuk dari sektor-sektor informal yang telah memiliki kapasitas administrasi memadai. (alf)

 

 

Layanan “Kemenkeu Satu” Hadir di Bandara Kualanamu, Gabungkan Pajak dan Bea Cukai dalam Satu Loket

IKPI, Jakarta: Inovasi layanan publik kembali diwujudkan oleh Kementerian Keuangan melalui peluncuran loket “Kemenkeu Satu” di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang. Layanan ini menjadi terobosan baru karena mengintegrasikan berbagai pelayanan fiskal dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam satu titik layanan terpadu di kawasan bandara.

 

Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I, Arridel Mindra, menjelaskan bahwa keberadaan loket ini bertujuan memperluas akses masyarakat terhadap informasi dan layanan perpajakan serta kepabeanan. “Loket ini bukan sekadar tempat mengurus tax refund atau pelaporan barang bawaan, tetapi juga menjadi pusat edukasi fiskal bagi penumpang yang belum familiar dengan kewajiban perpajakan lintas negara,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).

 

Selain memberikan kemudahan bagi wisatawan asing untuk mengklaim pengembalian pajak (VAT refund), layanan ini juga mencakup pelaporan barang bernilai tinggi seperti perhiasan, pelaporan re-impor barang, hingga deklarasi uang tunai dalam jumlah besar. Di sisi kepabeanan, loket ini juga melayani pelaporan ekspor barang yang dikenai bea keluar, termasuk komoditas strategis seperti sawit, kayu, nikel, dan logam lainnya.

 

Arridel menambahkan, kehadiran layanan ini merupakan hasil kolaborasi antara KPP Pratama Lubuk Pakam, KPPBC TMP B Kualanamu, dan pengelola bandara. “Kolaborasi ini menekan biaya operasional sekaligus memperkuat citra pelayanan fiskal yang modern dan terintegrasi. Penumpang juga dimudahkan dengan informasi digital lewat banner elektronik yang tersedia di area bandara,” tuturnya.

 

Menariknya, layanan ini menjadi yang pertama di Indonesia yang menyatukan pelayanan DJP dan DJBC secara fisik di lokasi bandara internasional. Hal ini menunjukkan arah baru reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang tidak hanya menekankan pada penerimaan negara, tetapi juga pada kemudahan akses layanan publik.

 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara telah meresmikan layanan “Kemenkeu Satu” ini pada Minggu (1/6/2025). Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dalam menghadirkan layanan yang efisien dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.

 

“Ini bukti bahwa reformasi birokrasi di Kemenkeu juga berfokus pada pelayanan yang mudah dijangkau dan relevan bagi publik,” ujarnya.

Dengan hadirnya layanan “Kemenkeu Satu”, Bandara Kualanamu kini tidak hanya menjadi gerbang internasional Sumatera Utara, tetapi juga contoh nyata integrasi layanan fiskal yang progresif dan berpihak pada masyarakat. (alf)

 

 

DJP Terbitkan SE Terkait Pemberlakuan MLI atas P3B Indonesia–Armenia

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Surat Edaran No. SE-03/PJ/2025 sebagai pemberitahuan mengenai berlakunya Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (MLI) atas Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Armenia. Surat edaran tersebut mengatur mengenai waktu mulai berlaku (entry into force), waktu efektif penerapan (entry into effect), serta ketentuan pokok yang diubah melalui MLI terhadap P3B kedua negara.

“Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memastikan implementasi ketentuan dalam konvensi atas P3B Indonesia–Armenia dapat dilakukan secara tertib dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tulis SE-03/PJ/2025, tersebut dikutip Selasa (3/6/2025).

Artinya, berdasarkan edaran tersebut, MLI mulai berlaku untuk Indonesia sejak 1 Agustus 2020 dan untuk Armenia sejak 1 Januari 2024. Adapun efektivitas MLI terhadap pajak yang bersifat withholding di negara sumber atas pembayaran ke subjek pajak luar negeri (SPLN) berlaku sejak 1 Januari 2025 untuk kedua negara.

Sementara itu, pengaturan MLI yang menyangkut jenis pajak lainnya mulai berlaku efektif di Indonesia pada 1 Januari 2026, dan di Armenia pada 28 Mei 2025.

Selain menjelaskan waktu pemberlakuan, SE-03/PJ/2025 juga memuat pokok-pokok ketentuan dalam P3B yang dimodifikasi melalui MLI, serta melampirkan naskah sintesis dalam bahasa Inggris. Naskah tersebut bertujuan membantu pihak-pihak terkait memahami dampak penerapan konvensi terhadap isi perjanjian bilateral.

Sebagai konteks, MLI adalah instrumen internasional yang memungkinkan negara-negara menyesuaikan perjanjian pajaknya secara simultan tanpa harus melakukan negosiasi bilateral secara terpisah. Dengan MLI, proses revisi perjanjian pajak menjadi lebih efisien dalam mencegah penghindaran pajak dan mengurangi potensi pajak berganda.

Indonesia sendiri telah meratifikasi MLI sejak 2019 melalui Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2019, di mana sejumlah P3B termasuk perjanjian dengan Armenia ditetapkan sebagai Covered Tax Agreement (CTA) yang dapat dimodifikasi melalui MLI.

Langkah DJP ini sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam memperkuat sistem perpajakan internasional yang lebih adil, transparan, dan modern. (alf)

 

Trump Terjepit Dua Putusan, Kebijakan Tarif Disebut Langgar Hukum

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah menghadapi tekanan hukum serius setelah dua pengadilan federal menyatakan bahwa kebijakan tarif impornya melanggar batas kewenangan presiden. Pemerintah kini meminta Pengadilan Banding AS untuk menangguhkan putusan tersebut, dengan alasan potensi kerugian terhadap negosiasi dagang yang sedang berlangsung.

Putusan pertama, yang keluar dari Pengadilan Perdagangan Internasional di Manhattan pada 28 Mei, menyatakan bahwa tarif impor yang diberlakukan Trump tidak sah secara hukum. Sehari kemudian, Hakim Distrik AS Rudolph Contreras di Washington, D.C. menjatuhkan putusan serupa, menilai bahwa kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

Kebijakan tarif ini sebelumnya digunakan Trump sebagai respons terhadap dugaan keterlibatan negara-negara seperti China, Meksiko, dan Kanada dalam memfasilitasi masuknya fentanil ke AS, tuduhan yang telah dibantah keras oleh ketiga negara tersebut.

Meskipun putusan Contreras hanya menghentikan pungutan tarif terhadap dua penggugat, yaitu produsen mainan edukatif Learning Resources Inc. dan hand2mind, isi putusannya berdampak luas. Hakim menegaskan bahwa IEEPA sama sekali tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk memberlakukan tarif sebuah pernyataan yang mengguncang pondasi hukum kebijakan dagang Trump.

Departemen Kehakiman dikutip dari Reuters, Selasa (3/4/2025) dalam mosi daruratnya memperingatkan bahwa putusan ini melemahkan kemampuan Presiden Trump untuk menggunakan tarif sebagai alat tawar-menawar dalam perundingan dagang global.

Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengantongi jeda sementara terhadap putusan pengadilan pertama, yang memungkinkan tarif tetap diberlakukan selama proses banding berlangsung.

Empat pejabat tinggi termasuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Perwakilan Dagang Jamieson Lee Greer telah menyerahkan pernyataan tertulis kepada hakim sebelum keputusan dijatuhkan. Mereka menyatakan bahwa pencabutan tarif dapat membahayakan keamanan nasional dan menurunkan daya tawar AS dalam puluhan negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung.

Sementara itu, pihak penggugat menyatakan akan terus melawan segala upaya pemerintah untuk membatalkan keputusan pengadilan. Mereka menegaskan bahwa kebijakan tarif Trump tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyulitkan pelaku usaha kecil yang tak punya sumber daya untuk menanggung lonjakan biaya impor.

Dengan banding yang kini berada di tangan Pengadilan Banding Sirkuit D.C., arah masa depan kebijakan dagang Trump dipertaruhkan. Hasil putusan dapat menjadi penentu apakah tarif masih bisa digunakan sebagai instrumen kekuasaan presiden atau justru dibatasi secara hukum untuk pertama kalinya dalam sejarah modern AS. (alf)

 

Tarif Bunga Sanksi dan Imbalan Pajak Juni 2025 Ada Penurunan Tipis, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menetapkan tarif bunga bulanan sebagai dasar penghitungan sanksi administratif dan pemberian imbalan bunga perpajakan untuk periode 1—30 Juni 2025. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1/MK/EF/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu.

Regulasi ini merupakan tindak lanjut dari KMK Nomor 488/KMK.010/2021 sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK Nomor 169 Tahun 2025. Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa tarif bunga berlaku penuh selama satu bulan dan menjadi dasar perhitungan sanksi maupun imbalan dalam proses administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Dalam ketentuan terbaru, pemerintah melakukan penyesuaian ringan terhadap tarif bunga sanksi administratif. Salah satu contohnya adalah pada permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 19 ayat 1–3 UU KUP), di mana tarif imbalan bunga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan, turun tipis dari 0,58 persen di bulan Mei.

Penyesuaian juga terjadi pada pelanggaran terkait pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT atau pembetulan oleh Wajib Pajak (Pasal 8 ayat 2 dan 2a, serta Pasal 9 ayat 2a dan 2b), yang kini dikenakan bunga 0,99 persen per bulan, dibanding 1,00 persen pada bulan sebelumnya.

Berikut rincian tarif bunga sanksi lainnya untuk Juni 2025:

• Pasal 8 ayat (5) (pengungkapan sukarela setelah pemeriksaan): 1,41% (sebelumnya 1,42%)

• Pasal 13 ayat (2) dan (2a) (penerbitan SKP): 1,82% (turun dari 1,83%)

• Pasal 13 ayat (3b) (hasil pemeriksaan ulang): 2,24% (sedikit turun dari 2,25%)

Meski penurunannya relatif kecil, tren ini mencerminkan adanya stabilisasi dalam kebijakan fiskal serta kondisi pasar bunga yang lebih terkendali.

Imbalan Bunga Pajak Tetap di Angka 0,57 Persen

Sementara itu, tarif imbalan bunga untuk Wajib Pajak juga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan. Tarif ini berlaku apabila terjadi keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh otoritas pajak, serta dalam kasus tertentu yang diatur dalam UU KUP.

Berikut skema imbalan bunga sesuai ketentuan:

• Pasal 11 ayat (3): Imbalan diberikan bila DJP terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak lebih dari satu bulan.

• Pasal 17B ayat (3): Berlaku untuk keterlambatan penerbitan SKPLB.

• Pasal 17B ayat (4): Diberikan jika proses hukum atas dugaan tindak pidana pajak tidak berlanjut ke penuntutan.

• Pasal 27B ayat (4): Imbalan diberikan setelah Wajib Pajak memenangkan upaya hukum berupa keberatan, banding, atau peninjauan kembali.

Penetapan tarif bunga ini menjadi instrumen fiskal penting yang tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga mendorong kepatuhan pajak secara adil dan transparan. (alf)

 

id_ID