IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai memetik hasil dari langkah penagihan aktif terhadap para pengemplang pajak. Hingga 19 November 2025, sebanyak 104 penunggak pajak telah melakukan pembayaran cicilan utang dengan total mencapai Rp 11,48 triliun, menambah kekuatan penerimaan negara di penghujung tahun.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa proses penagihan tidak berhenti hanya pada penyetoran awal. Pemerintah akan terus mengawal sisa kewajiban para penunggak hingga lunas, termasuk membeberkan usia tunggakan masing-masing wajib pajak kepada DPR.
“Kami akan sampaikan secara detail, termasuk usia utangnya,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin, 24 November 2025.
Menurut Bimo, 104 wajib pajak tersebut merupakan bagian dari 201 penunggak terbesar di Indonesia. Pemerintah menempuh berbagai langkah persuasif maupun represif melalui penagihan aktif, penyitaan aset, pemblokiran rekening, hingga pembekuan izin usaha jika diperlukan.
Upaya tersebut dilakukan tidak hanya oleh DJP, melainkan melalui sinergi antara jajaran eselon I Kemenkeu, lembaga jasa keuangan, dan aparat penegak hukum. Untuk kasus yang tersangkut perkara hukum, DJP berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, termasuk Jamdatun dan Badan Pemulihan Aset, guna memastikan proses hukum dan pemulihan kerugian negara berjalan bersamaan.
Pemerintah menargetkan Rp 50–60 triliun dari sekitar 200 pengemplang pajak. Untuk tahun 2025, realisasi yang diincar berada di kisaran Rp 20 triliun, sehingga penagihan akan terus digencarkan hingga akhir tahun.
Bimo juga menegaskan bahwa pelaksanaan penegakan hukum tidak hanya menyasar wajib pajak yang masih tercatat aktif, agar tidak memunculkan anggapan “berburu di kebun binatang.” DJP dipastikan memperluas basis pajak melalui penguatan data, digitalisasi platform perpajakan, dan pelacakan transaksi elektronik.
Ia menambahkan, pendekatan multi-doors akan diterapkan untuk kasus berat, menggabungkan pidana perpajakan, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang guna memberikan efek jera yang lebih kuat. (alf)
IKPI, Bogor: Ketua IKPI Cabang Depok, Hendra Damanik, menegaskan bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) justru akan membuka babak baru kemudahan layanan perpajakan, baik bagi konsultan pajak maupun wajib pajak. Hal tersebut ia sampaikan di hadapan puluhan peserta seminar PPL & Outing IKPI Cabang Depok yang digelar di Citra Cikopo, Bogor, pada Minggu (23/11/2025).
Kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sekaligus outing yang berlangsung selama tiga hari, 21–23 November 2025, menjadi agenda tahunan IKPI Cabang Depok. Tidak hanya sebagai ruang peningkatan kompetensi, agenda ini juga dirancang untuk memperluas wawasan, bertukar pikiran, mempererat silaturahmi, hingga menjadi wadah relaksasi bagi para peserta.
“Di hari pertama kami mengadakan rapat anggota untuk mendengarkan masukan dan kritik sebagai evaluasi dan rencana satu tahun ke depan,” ujar Hendra.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
Hari kedua dilanjutkan dengan PPL yang mengangkat tema besar digitalisasi administrasi perpajakan. Materi utama dibawakan oleh Agustina Mappadang bertajuk “Transformasi Layanan SPT Tahunan melalui Coretax: Strategi Menuju Pelaporan yang Lebih Akurat dan Terintegrasi”. Hendra menyebut tema tersebut sangat relevan karena Coretax kini menjadi fondasi baru administrasi DJP.
“Coretax akan sangat memengaruhi cara kita membantu wajib pajak melaporkan SPT. Anggota harus paham bagaimana sistem ini bekerja dan risikonya, karena mekanisme pelaporan ke depan semakin menuntut keakuratan,” jelas Hendra.
AI untuk Membantu, Bukan Menggantikan
Di sela rangkaian kegiatan, Hendra memperkenalkan sebuah terobosan baru dari IKPI Cabang Depok: AI Assistant Hallo Tax Indonesia, sebuah platform berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan untuk membantu konsultan pajak dan wajib pajak memahami regulasi perpajakan secara lebih cepat, akurat, dan efisien.
Menurutnya, sejumlah tantangan menjadi dasar dibangunnya platform tersebut, mulai dari kompleksitas regulasi yang terus berubah, tingginya jumlah wajib pajak, keterbatasan layanan, hingga tingkat kepatuhan UMKM yang masih rendah.
“Hallo Tax menawarkan kombinasi teknologi AI, data resmi, dan edukasi pajak Indonesia. Dan ini adalah layanan yang belum tersedia pada platform lain saat ini,” ujar Hendra.
Namun, ia menekankan bahwa kehadiran AI ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran konsultan pajak.
“AI berfungsi sebagai asisten riset, mempercepat pemahaman aturan, menjawab pertanyaan dasar, dan membantu edukasi. Tapi analisis mendalam, penyusunan strategi pajak, pendampingan pemeriksaan, dan advisory tetap memerlukan tenaga profesional. AI = efisiensi, konsultan = kepakaran.
Jadi Hallo Tax memperkuat, bukan menggantikan, karena prinsipnya kreativitas milik Manusia, bukan AI.,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Hallo Tax dijadwalkan melakukan peluncuran resmi pada awal tahun 2026, sebagai bagian dari komitmen IKPI Cabang Depok untuk menghadirkan inovasi yang dapat memperkuat ekosistem profesi konsultan pajak di era digital.
Hallo Tax dijadwalkan akan melakukan peluncuran resmi pada awal tahun 2026, sebagai bagian dari komitmen IKPI Cabang Depok untuk menghadirkan inovasi yang dapat memperkuat ekosistem profesi konsultan pajak di era digital.
Hendra berharap para anggota IKPI Depok dapat memanfaatkan Hallo Tax untuk meningkatkan kualitas layanan, mengoptimalkan waktu kerja, dan meminimalkan upaya manual dalam mencari referensi regulasi yang sering kali membutuhkan energi tambahan.
Belajar, Santai, dan Membangun Keakraban
Selain memperkaya wawasan perpajakan, suasana outing dibuat hangat dan santai melalui berbagai kegiatan penyegar pikiran. Setelah penyampaian materi PPL, peserta menikmati gala dinner, BBQ kambing guling, hingga hiburan organ tunggal.
“Alhamdulillah peserta senang bisa relaksasi sejenak, BBQ-an, nyanyi santai bareng. Kalau peserta senang, kami panitia ikut senang,” ungkap Hendra.
Di hari ketiga sebelum kembali ke sesi seminar, seluruh peserta diajak mengikuti fun games bertema golf: Nearest To The Pin, Nearest To The Line, dan One Chip One Putt, yang disambut meriah peserta.
Materi terakhir PPL dibawakan oleh Nurhidayat dengan topik “Mitigasi Risiko atas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak”, yang menurut Hendra sangat dibutuhkan karena risiko pemeriksaan kini meningkat seiring integrasi data DJP.
Penutupan kegiatan berlangsung penuh keakraban, dan Hendra menyampaikan alasan pemilihan lokasi pelatihan.
“Citra Cikopo memberikan suasana yang nyaman dan kondusif untuk belajar sekaligus membangun keakraban. Semangat kebersamaan ini yang ingin kita jaga,” ujarnya. (bl)
IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat bersiap melaksanakan “Lelang Eksekusi” atas belasan aset sitaan milik penunggak pajak. Agenda ini dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 26 November 2025 dan seluruh proses dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id, sehingga bisa diikuti masyarakat dari berbagai daerah tanpa harus hadir secara fisik.
Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menegaskan bahwa pelaksanaan lelang merupakan tindak lanjut dari penelusuran dan penyitaan aset atas wajib pajak yang menunggak kewajiban. Barang-barang yang akan dilelang berasal dari hasil penagihan aktif di tujuh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah koordinasi wilayah Jakarta Barat.
“Lelang ini menjadi bentuk penegakan hukum pajak yang tegas, efektif, dan terukur. Aset yang telah disita akan ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara,” jelas Farid. Menurutnya, langkah itu menunjukkan konsistensi pemerintah dalam memastikan keadilan fiskal serta meningkatkan kedisiplinan wajib pajak.
Lelang Eksekusi Serentak, Transparan, dan Terbuka untuk Umum
Kegiatan ini diselenggarakan bersamaan di seluruh Kanwil DJP se-Jakarta, di bawah koordinasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta. Kanwil DJP Jakarta Barat akan melelang 17 objek barang bergerak, seluruhnya dijual dalam kondisi “apa adanya”, sehingga peserta bisa menilai barang secara transparan dan objektif.
Sistem open bidding online diterapkan untuk memberikan keadilan dan keterbukaan dalam menentukan pemenang lelang. Peserta cukup melakukan registrasi dan mengikuti penawaran secara real time di platform lelang.go.id, tanpa harus datang ke kantor pemerintah.
Langkah digitalisasi lelang ini diharapkan bukan hanya memberikan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga memperkuat integritas dan akuntabilitas proses penyelesaian piutang pajak.
Lelang menjadi salah satu instrumen penting dalam rangkaian penagihan aktif utang pajak. Farid menegaskan bahwa penegakan hukum seperti ini penting untuk memastikan keadilan dalam sistem perpajakan, di mana wajib pajak patuh tidak terbebani akibat ulah mereka yang tidak memenuhi kewajiban.
Selain berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak, hasil lelang nantinya langsung masuk ke kas negara sebagai kontribusi terhadap pembiayaan pembangunan dan program pemerintah.
“Kami berharap tindakan ini mampu memberikan efek jera kepada penunggak pajak dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melaksanakan kewajiban perpajakan,” kata Farid.
Dengan berbagai upaya penegakan hukum, edukasi, dan pemanfaatan teknologi, DJP menargetkan terciptanya ekosistem perpajakan yang lebih sehat, transparan, dan berkeadilan. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, angkat bicara terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak atas bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dilakukan secara berulang. Menurutnya, kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat ini sudah berada sepenuhnya pada pemerintah daerah.
“PBB itu secara undang-undang sudah diserahkan ke daerah. Jadi soal kebijakan, tarif, kenaikan dasar, maupun pengenaan semuanya menjadi kewenangan daerah,” ujar Bimo saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Meski PBB berada di ranah pemda, Bimo memastikan pihaknya tidak menutup dialog dengan MUI. Ia menjelaskan, apa yang disoroti MUI lebih dekat dengan skema PBB-P2 atau PBB Perdesaan dan Perkotaan, bukan PBB sektor lainnya yang masih ditangani Direktorat Jenderal Pajak.
“Kami sebenarnya sudah berdiskusi sebelumnya dengan MUI. Nanti kita akan tabayun lagi karena yang dimaksud itu PBB-P2 — perdesaan, perkotaan, pemukiman — itu di daerah. Di DJP hanya PBB terkait kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan,” paparnya.
Fatwa MUI Soal Keadilan Pajak
Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan fatwa bertajuk Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang menjadi tempat tinggal tidak layak dikenai pajak berulang, terutama dalam konteks kenaikan PBB yang dinilai tidak proporsional hingga membuat masyarakat resah.
“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof Ni’am melalui situs resmi MUI.
Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menambahkan, dalam perspektif hukum Islam, objek pajak seharusnya dikenakan terhadap harta yang produktif dan tidak tergolong kebutuhan pokok. Karena itu, pungutan terhadap sembako, rumah tinggal, serta tanah tempat dihuni dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan tujuan pajak.
Pemerintah dan MUI kini berada pada jalur dialog. DJP menegaskan dukungannya terhadap diskusi yang bertujuan menciptakan sistem pajak yang berkeadilan, seraya menekankan bahwa perubahan mekanisme dan tarif PBB membutuhkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemegang kewenangan.
Dengan meningkatnya sensitivitas publik terhadap kenaikan PBB, komunikasi regulatif antara pusat, daerah, dan lembaga keagamaan diperkirakan menjadi faktor penting untuk memastikan kebijakan perpajakan dapat diterima masyarakat tanpa menghilangkan fungsi penerimaan negara. (alf)
IKPI, Jakarta: Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan perpajakan nasional mengalami penurunan pada Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyebutkan bahwa meski koreksinya tipis, pelemahan di sektor tersebut tetap menjadi perhatian pemerintah.
Bimo memaparkan bahwa penerimaan pajak dari sektor pertambangan per Oktober 2025 mencapai Rp205,7 triliun, turun 0,7% dibandingkan Rp207,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu membuat kontribusi sektor pertambangan melemah menjadi 11,4% terhadap total penerimaan pajak nasional.
“Kontribusi sektor pertambangan masih terbilang besar, namun memang mengalami penurunan ke angka 11,4%,” ujar Bimo, Senin (24/11/2025).
Migas Jadi Penyebab Terbesar
Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya subsektor minyak dan gas (migas). Kontribusi pajak subsektor tersebut terkoreksi 0,5% pada Oktober 2025. Dampaknya dipicu oleh penurunan harga minyak mentah dunia, di mana harga minyak jenis Brent turun sekitar 4%, sehingga memengaruhi kinerja perusahaan migas dan penerimaan pajaknya.
Selain itu, subsektor jasa penunjang pertambangan, nikel, dan batu bara juga mengalami perlambatan, meski tidak sedalam sektor migas. Di sisi lain, subsektor pertambangan nonmigas masih mampu tumbuh 2,2%, sehingga turut meredam penurunan secara keseluruhan.
Meski pertambangan melemah, kontribusi dari sektor ekonomi lainnya justru menunjukkan tren positif. Sektor pengolahan, yang menjadi penyumbang pajak terbesar secara nasional, tumbuh 2,3% hingga mencatatkan penerimaan Rp502,3 triliun per Oktober 2025. Sementara sektor aktivitas keuangan berhasil mencatatkan pertumbuhan 5,1% dengan nilai penerimaan mencapai Rp207,5 triliun.
Kenaikan dua sektor tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas penerimaan pajak di tengah perlambatan sektor pertambangan. (alf)
IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa sistem perpajakan nasional harus diarahkan kembali pada prinsip keadilan dan kemampuan wajib pajak. Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan beban pajak progresif yang semakin tinggi telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan dapat menjauhkan sistem perpajakan dari tujuan kesejahteraan.
“MUI merekomendasikan agar beban perpajakan dikaji ulang, khususnya pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar,” ujar Asrorun dalam Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pemerintah sering melakukan penyesuaian pajak tanpa analisis mendalam mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Ia menyoroti beberapa jenis pajak yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
“Kemendagri dan pemerintah daerah harus mengevaluasi aturan berbagai pajak yang sering kali dinaikkan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,” tegasnya.
Asrorun mengingatkan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat kepada negara, sehingga pemerintah harus memastikan bahwa wajib pajak tidak diperlakukan sebagai objek semata, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan.
Ia menambahkan, keadilan pajak bukan hanya soal tarif, tetapi juga penggunaan anggaran. Pemerintah diminta memperkuat pengelolaan kekayaan negara, dan memastikan penerimaan perpajakan kembali kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang nyata.
“Pemerintah harus mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak mafia pajak demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
MUI menekankan bahwa reformasi perpajakan bukan sekadar teknis fiskal, tetapi termasuk dimensi etika pengelolaan negara. Ketika kepercayaan publik terbangun melalui penggunaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran, kepatuhan pajak akan meningkat secara alami. (alf)
IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pajak berkeadilan dalam Munas XI untuk menegaskan batasan moral dan etis dalam memungut pajak, terutama setelah banyak masyarakat mengeluhkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tagihan pajak hunian. Fatwa ini menjadi sinyal kuat agar kebijakan fiskal nasional tidak membebani kebutuhan pokok rakyat.
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa pengenaan pajak tidak boleh dikenakan kepada sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Hal itu termasuk sembako, rumah tinggal, serta tanah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga.
“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang kita huni, tidak mencerminkan keadilan dan tujuan pajak,” kata Asrorun, pada Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, dalam perspektif syariat Islam, pajak hanya dipungut dari pihak yang memiliki kemampuan finansial. Ia menambahkan bahwa kemampuan ini dapat dianalogikan dengan ketentuan nisab zakat, yakni kepemilikan kekayaan setara dengan 85 gram emas. Standar tersebut dinilai dapat menjadi rujukan filosofis ketika pemerintah menentukan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau kriteria objek pajak.
Ia menegaskan bahwa fatwa tersebut bukan dimaksudkan untuk mendorong penolakan pembayaran pajak, melainkan mengharapkan penyempurnaan tata kelola perpajakan agar tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan masyarakat dan konstitusi.
“Masyarakat tetap wajib menaati pembayaran pajak bila digunakan untuk kemaslahatan umum,” ujarnya.
Melalui fatwa ini, MUI mendesak pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berpotensi tidak berkeadilan. Ia menyebut perlunya penyelarasan antara regulasi fiskal dan nilai kemaslahatan, termasuk mekanisme perlindungan bagi masyarakat menengah ke bawah dari potensi beban pajak yang berlebihan.
Selain fatwa pajak berkeadilan, Munas XI juga menghasilkan beberapa fatwa lain, di antaranya ketentuan mengenai rekening bank dormant, status saldo pada kartu elektronik yang hilang atau rusak, pedoman pengelolaan sampah di perairan untuk kemaslahatan publik, serta fatwa mengenai manfaat asuransi kematian dalam Asuransi Jiwa Syariah.
Kelima fatwa tersebut memperlihatkan komitmen MUI untuk merespons isu-isu sosial kontemporer melalui perspektif syariat dan kemaslahatan publik. (alf)
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Barat (Jakbar) menggelar kunjungan silaturahmi ke KPP Madya 2 Jakarta Barat dan KPP Pratama Kebon Jeruk 2 pada Jumat, 21 November 2025. Pertemuan terpusat di kantor KPP Madya 2 Jakarta Barat dan menjadi ruang dialog terbuka antara konsultan pajak dengan otoritas pajak untuk memperkuat kolaborasi di tengah dinamika perpajakan nasional.
Ketua IKPI Cabang Jakarta Barat, Teo Takismen, menegaskan bahwa langkah proaktif ini dilakukan agar komunikasi antara konsultan dan fiskus semakin harmonis, terlebih menjelang penerapan penuh pelaporan SPT Orang Pribadi dan Badan berbasis sistem Coretax untuk tahun pajak 2025 yang mulai dilaporkan pada 2026.
(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Barat)
“Sinergi konsultan pajak dan KPP sangat penting saat memasuki era Coretax. IKPI Jakarta Barat siap berkolaborasi, termasuk mendukung sosialisasi agar para wajib pajak mendapatkan informasi yang jelas, akurat, dan tidak menimbulkan kebingungan,” ujar Teo.
Pertemuan membicarakan sejumlah isu penting dan aktual dan dibahas secara terbuka, di antaranya:
• Tantangan teknis dan nonteknis dalam penggunaan aplikasi Coretax,
• Pencapaian target penerimaan negara,
• Pelayanan KPP terhadap wajib pajak,
• Hingga polemik pemanggilan wajib pajak dalam surat SP2DK dan cara berkomunikasi para Account Representative (AR) di lapangan.
Dialog dua arah yang hangat dan santai ini mendapat apresiasi dari para peserta, karena dapat menjadi jembatan untuk menyamakan persepsi antara fiskus dan konsultan pajak sebagai mitra DJP
Hadir dari IKPI Cabang Jakarta Barat:
1. Ketua Cabang Teo Takismen, didampingi:
2. Irawaty — Bendahara,
3. Carolline — Wakil Sekretaris,
4. Devi Arista — Koordinator Bidang Sosial dan Keagamaan,
5. Suly — Anggota Bidang Sosial dan Keagamaan,
6. Wiwiek Budiarti — Anggota Bidang PPL dan Pendidikan.
Hadir juga pada pertemuan tersebut, dari Pengurus Daerah (Pengda) DKJ, anggota bidang Humas dan Kerja Sama, Daniel Mulia.
(Foto: DOK. IKPI Cabang Jakarta Barat)
Lebih lanjut Teo mengungkapkan, IKPI maupun KPP sama-sama menyampaikan terbuka untuk melakukan kegiatan lanjutan, terutama sosialisasi pelaporan SPT berbasis Coretax bagi wajib pajak di wilayah Jakarta Barat. Harapannya, kolaborasi ini dapat mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dan menciptakan iklim perpajakan yang lebih kondusif.
“Kami percaya bahwa kerja sama adalah kunci untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik,” kata Teo.
Ia berharap, pertemuan ini semakin memperkuat sinergi konsultan pajak dan fiskus sehingga pelayanan, edukasi dan pendampingan kepada masyarakat dapat berjalan lebih efektif dan berkesinambungan. (bl)
IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa baru yang mempertegas hubungan antara kewajiban zakat dan sistem perpajakan nasional. Melalui keputusan yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025), MUI menetapkan bahwa zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak kepada negara.
“Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam.
Asrorun menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan terobosan dalam konsep perpajakan nasional. Menurutnya, umat Islam yang telah menjalankan kewajiban keagamaan melalui pembayaran zakat seharusnya mendapatkan pengakuan dalam sistem fiskal negara.
“Ini terobosan baru untuk menjamin keadilan partisipatif. Masyarakat Muslim yang sudah berkontribusi melalui zakat semestinya mendapatkan pengurangan ketika memenuhi kewajiban pajaknya,” jelasnya.
Dalam ajaran Islam, zakat merupakan kewajiban moral dan hukum bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat harta. Dana zakat disalurkan kepada pihak yang berhak (mustahik), seperti fakir, miskin, dan kelompok penerima lainnya sesuai syariat.
Melalui fatwa tersebut, nilai zakat yang dibayarkan umat Islam akan dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak, sehingga pembayaran zakat dan pajak tidak lagi dipandang sebagai beban ganda.
Rekomendasi untuk Pemerintah
MUI juga mengharapkan fatwa ini menjadi rujukan kebijakan bagi pemerintah, khususnya dalam penyempurnaan regulasi perpajakan agar selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Asrorun menilai, arah kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berorientasi pada peningkatan kemakmuran rakyat melalui optimalisasi Pasal 33 UUD 1945 sejalan dengan nilai dasar fatwa ini.
“Pajak harus didedikasikan untuk kesejahteraan, bukan menambah beban orang yang justru memerlukan bantuan. Semangatnya di situ,” tambahnya.
Fatwa ini diperkirakan berpotensi:
• meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat Muslim,
• mendorong optimalisasi penyaluran zakat melalui lembaga resmi,
• memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan nilai keagamaan.
Keputusan ini juga diyakini dapat menghindarkan persepsi tumpang tindih antara pembayaran pajak dan zakat, sekaligus membuka ruang dialog antara pemerintah, MUI, dan otoritas fiskal mengenai implementasi teknis pada regulasi perpajakan ke depan. (alf)
IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Donald Trump tengah melakukan manuver penting di bidang perdagangan internasional dengan mempersiapkan sejumlah skema tarif alternatif apabila Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memutuskan mencabut kewenangan utama pemerintah dalam menerapkan tarif impor. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi agar kebijakan tarif tidak terhenti tiba-tiba dan tetap dapat diberlakukan untuk mengendalikan arus impor.
Menurut laporan Bloomberg dikutip, Minggu (23/11/2025), Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengkaji berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan sebagai pengganti, termasuk Section 301 dan Section 122 dalam Trade Act, yang memungkinkan presiden menetapkan tarif secara unilateral. Meski demikian, cakupan keduanya dinilai lebih sempit dan proses penerapannya lebih lambat dibanding skema berbasis International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang saat ini digunakan Trump.
“Kami berharap hasilnya baik, tetapi jika tidak, kami selalu menemukan cara,” ujar Presiden Trump pekan lalu, menegaskan bahwa kebijakan tarif tetap menjadi fondasi strategi ekonomi pemerintahannya.
Rencana cadangan ini memuncak setelah sejumlah hakim Mahkamah Agung dalam sidang dengar pendapat terbaru menunjukkan keraguan terhadap legalitas tarif global berbasis IEEPA. Situasi tersebut memunculkan prediksi adanya potensi putusan yang tidak berpihak kepada pemerintahan Trump.
Kendati begitu, Gedung Putih menahan diri untuk menjelaskan langkah teknis yang tengah disiapkan. Juru bicara pemerintah, Kush Desai, hanya menegaskan bahwa Trump menggunakan kewenangan tarif darurat yang diberikan Kongres dan pemerintah yakin akan menang.
“Pemerintahan selalu mencari cara untuk mengatasi defisit perdagangan barang AS dan menghidupkan kembali sektor manufaktur sebagai komponen penting bagi keamanan nasional,” ujar Desai.
Mahkamah Agung belum memastikan kapan putusan akan dibacakan. Putusan dapat mempertahankan kewenangan tarif, mencabutnya, atau hanya membataskannya sebagian—menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha maupun mitra dagang AS.
Tarif Efektif Tembus 14,4 Persen
Bloomberg Economics memperkirakan tarif efektif atas impor AS saat ini mencapai 14,4 persen, dengan lebih dari separuhnya bersumber dari pungutan berbasis IEEPA. Jika IEEPA dibatalkan, sebagian besar tarif itu kemungkinan akan berpindah ke skema alternatif.
Sejumlah opsi cadangan bahkan sudah bergulir, termasuk investigasi Section 301 terhadap Brasil. Tarif Section 301 untuk sebagian barang impor China juga masih berlaku sejak masa jabatan pertama Trump, meski mekanisme ini umumnya membutuhkan proses investigasi mendalam sebelum dapat dijalankan.
Direktur National Economic Council Kevin Hassett menyatakan pemerintah memiliki banyak jalur untuk mempertahankan strategi tarif.
“Ada banyak cara agar kami dapat mengganti kebijakan yang berlaku dengan otoritas lain,” ujarnya.
Meskipun banyak pilihan tersedia, sebagian mekanisme memiliki keterbatasan. Section 122, misalnya, hanya memungkinkan tarif maksimal 15 persen selama 150 hari. Sementara Section 338 dalam Tariff Act secara teori dapat diterapkan, namun belum pernah digunakan dan diperkirakan akan memicu gugatan hukum baru jika dijalankan.
Mantan negosiator perdagangan Wendy Cutler bahkan menilai sejumlah kebijakan tarif terbaru Trump kemungkinan telah disiapkan sebagai rencana cadangan apabila IEEPA nantinya dinyatakan inkonstitusional.
Namun, perubahan tarif secara mendadak berisiko menimbulkan permasalahan administratif, termasuk kemungkinan pengembalian bea masuk yang telah dipungut.
“Jika tarif dibatalkan dan harus dihitung ulang, itu akan menjadi kekacauan besar,” ucap Scott Lincicome dari Cato Institute.
Ketidakpastian menjelang putusan Mahkamah Agung membuat pelaku usaha global bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan pengadaan impor. Negara-negara mitra dagang utama AS juga menunggu arah kebijakan baru, karena perubahan tarif diperkirakan akan memengaruhi rantai pasokan internasional. (alf)