IKPI, Jakarta: Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menahan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada 2026 menuai apresiasi dari DPR. Kebijakan tersebut dinilai mampu memberi ruang napas bagi industri hasil tembakau (IHT) sekaligus menjaga stabilitas penerimaan negara.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, langkah Purbaya merupakan sinyal perubahan atas pendekatan fiskal yang selama ini dianggap terlalu membebani sektor tembakau. Menurutnya, keputusan untuk tidak menaikkan cukai adalah bentuk respons pemerintah terhadap tekanan yang dialami industri.
“Yang menjadi angin segar adalah apa yang disampaikan oleh Pak Purbaya, yaitu mengenai tidak dinaikkannya cukai rokok, sebagai respons kebijakan atas permasalahan di industri hasil tembakau selama ini,” kata Misbakhun, Rabu (5/11/2025).
Ia menilai IHT selama ini terbukti menjadi salah satu penopang fiskal paling stabil. Namun, kebijakan bertubi-tubi dianggap membuat ruang tumbuh industri semakin sempit dan justru tidak optimal dalam menyetor penerimaan ke kas negara. Karena itu, moratorium cukai dinilai sebagai momentum memperbaiki arah fiskal.
“Kalau kita serius ingin menyelesaikan ini secara fundamental, harus kemudian secara bersama-sama kita duduk dalam satu meja, mumpung Pak Purbaya ini memberikan harapan baru,” tegasnya.
Jutaan Pekerja Tergantung pada IHT
Misbakhun mengingatkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor tembakau tidak bisa hanya melihat sisi penerimaan. Ada aspek ketenagakerjaan dan sosial ekonomi yang harus dijaga. Ia menyebut, sekitar enam juta orang menggantungkan penghidupan pada industri ini, belum termasuk keluarga mereka.
“Enam juta orang terlibat aktif di industri ini. Itu belum termasuk keluarga. Ini aspek yang tidak bisa diabaikan,” ujar Misbakhun.
Dari sisi riset, ekonom senior Indef Tauhid Ahmad menyebut moratorium cukai justru berpotensi menjaga penerimaan negara dengan risiko penurunan yang relatif kecil. Berdasarkan perhitungan lembaganya, penerimaan CHT bahkan masih berpeluang mencapai sekitar Rp231 triliun meski tarif tidak naik.
“Kami melakukan simulasi. Kalau tidak naik atau moratorium, penerimaan kami hitung tetap bisa di Rp231 triliun,” kata Tauhid.
Ia menegaskan kenaikan tarif selama ini sering berakibat kontraproduktif karena mendorong maraknya rokok ilegal. Ketika daya beli masyarakat tidak sejalan dengan kenaikan tarif, konsumen beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai.
“Data menunjukkan, kenaikan tarif justru mendorong rokok ilegal semakin tinggi. Karena daya beli tidak sebanding dengan tarif, masyarakat mencari rokok lebih murah—even yang tanpa cukai,” jelasnya.
Tauhid mencatat peredaran rokok ilegal naik dari 4,9% pada 2020 menjadi 6,9% pada 2023. Tren ini bukan hanya menekan penerimaan negara, tapi juga melahirkan aktivitas ekonomi tersembunyi yang tidak tercatat dalam PDB.
Indef menilai pemerintah perlu memperlakukan IHT sebagai sektor ekonomi nyata yang menyerap tenaga kerja besar. Kebijakan fiskal ke depan tidak hanya berfokus pada pengendalian konsumsi, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan industri dan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat.
Dengan moratorium cukai pada 2026, pemerintah disebut membuka ruang bagi kebijakan fiskal yang lebih proporsional—menghasilkan penerimaan, menjaga tenaga kerja, sekaligus mengurangi pasar gelap tembakau. (alf)