IKPI, Jakarta: Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) mendorong pemerintah untuk memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% mulai Juni 2025. Usulan ini diyakini bisa memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa penurunan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa lebih terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk lebih banyak berbelanja. “Dengan PPN 9%, daya beli meningkat, konsumsi ikut terkerek, dan itu berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Ia juga menekankan bahwa meski tarif pajak turun, pendapatan negara tidak otomatis merosot. Sebaliknya, menurut Bhima, potensi penerimaan bisa tetap positif karena akan tergantikan oleh meningkatnya penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) seperti PPh badan dan PPh 21.
Lebih lanjut, Bhima menyebut sektor industri pengolahan terutama yang fokus pada pasar domestik akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari pemangkasan tarif ini. Ia mengingatkan bahwa sekitar seperempat penerimaan pajak berasal dari sektor tersebut.
“Beberapa negara telah lebih dulu menurunkan tarif PPN sebagai strategi dorong konsumsi, seperti Vietnam yang menurunkan PPN dua persen hingga 2026. Jerman dan Irlandia juga menerapkan hal serupa pascapandemi,” tambahnya.
Tak hanya soal PPN, Celios juga menyoroti pentingnya menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk meningkatkan penghasilan riil masyarakat. Menurut Bhima, saat ini PTKP sebesar Rp4,5 juta per bulan sudah tidak relevan, dan idealnya dinaikkan menjadi Rp7–8 juta per bulan agar kelas menengah bisa ikut terdorong daya belinya.
Bhima menilai paket stimulus ekonomi yang baru saja diluncurkan pemerintah yang mencakup diskon transportasi dan bantuan sosial senilai Rp24,44 triliun masih belum cukup untuk menggerakkan konsumsi secara luas, apalagi tanpa insentif fiskal seperti pemangkasan tarif listrik dan relaksasi pajak.
“Gejala pelemahan ekonomi sudah tampak dari deflasi Mei 2025, terutama pada kelompok makanan dan peralatan rumah tangga. Ini bukan sekadar efek pasca-Lebaran, tapi sinyal melemahnya permintaan,” ujarnya.
Menurut Bhima, jika tidak ada langkah cepat dan komprehensif, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di semester kedua 2025 bisa meningkat. Oleh karena itu, Celios mendesak agar insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPN dan perluasan PTKP segera dijadikan bagian dari kebijakan fiskal nasional. (alf)