DPR: Moratorium Cukai Lindungi Jutaan Pekerja Industri Tembakau, Fiskal Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menahan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada 2026 menuai apresiasi dari DPR. Kebijakan tersebut dinilai mampu memberi ruang napas bagi industri hasil tembakau (IHT) sekaligus menjaga stabilitas penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, langkah Purbaya merupakan sinyal perubahan atas pendekatan fiskal yang selama ini dianggap terlalu membebani sektor tembakau. Menurutnya, keputusan untuk tidak menaikkan cukai adalah bentuk respons pemerintah terhadap tekanan yang dialami industri.

“Yang menjadi angin segar adalah apa yang disampaikan oleh Pak Purbaya, yaitu mengenai tidak dinaikkannya cukai rokok, sebagai respons kebijakan atas permasalahan di industri hasil tembakau selama ini,” kata Misbakhun, Rabu (5/11/2025).

Ia menilai IHT selama ini terbukti menjadi salah satu penopang fiskal paling stabil. Namun, kebijakan bertubi-tubi dianggap membuat ruang tumbuh industri semakin sempit dan justru tidak optimal dalam menyetor penerimaan ke kas negara. Karena itu, moratorium cukai dinilai sebagai momentum memperbaiki arah fiskal.

“Kalau kita serius ingin menyelesaikan ini secara fundamental, harus kemudian secara bersama-sama kita duduk dalam satu meja, mumpung Pak Purbaya ini memberikan harapan baru,” tegasnya.

Jutaan Pekerja Tergantung pada IHT

Misbakhun mengingatkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor tembakau tidak bisa hanya melihat sisi penerimaan. Ada aspek ketenagakerjaan dan sosial ekonomi yang harus dijaga. Ia menyebut, sekitar enam juta orang menggantungkan penghidupan pada industri ini, belum termasuk keluarga mereka.

“Enam juta orang terlibat aktif di industri ini. Itu belum termasuk keluarga. Ini aspek yang tidak bisa diabaikan,” ujar Misbakhun.

Dari sisi riset, ekonom senior Indef Tauhid Ahmad menyebut moratorium cukai justru berpotensi menjaga penerimaan negara dengan risiko penurunan yang relatif kecil. Berdasarkan perhitungan lembaganya, penerimaan CHT bahkan masih berpeluang mencapai sekitar Rp231 triliun meski tarif tidak naik.

“Kami melakukan simulasi. Kalau tidak naik atau moratorium, penerimaan kami hitung tetap bisa di Rp231 triliun,” kata Tauhid.

Ia menegaskan kenaikan tarif selama ini sering berakibat kontraproduktif karena mendorong maraknya rokok ilegal. Ketika daya beli masyarakat tidak sejalan dengan kenaikan tarif, konsumen beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai.

“Data menunjukkan, kenaikan tarif justru mendorong rokok ilegal semakin tinggi. Karena daya beli tidak sebanding dengan tarif, masyarakat mencari rokok lebih murah—even yang tanpa cukai,” jelasnya.

Tauhid mencatat peredaran rokok ilegal naik dari 4,9% pada 2020 menjadi 6,9% pada 2023. Tren ini bukan hanya menekan penerimaan negara, tapi juga melahirkan aktivitas ekonomi tersembunyi yang tidak tercatat dalam PDB.

Indef menilai pemerintah perlu memperlakukan IHT sebagai sektor ekonomi nyata yang menyerap tenaga kerja besar. Kebijakan fiskal ke depan tidak hanya berfokus pada pengendalian konsumsi, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan industri dan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat.

Dengan moratorium cukai pada 2026, pemerintah disebut membuka ruang bagi kebijakan fiskal yang lebih proporsional—menghasilkan penerimaan, menjaga tenaga kerja, sekaligus mengurangi pasar gelap tembakau. (alf)

Kemenkeu Wajibkan Kementerian dan Lembaga Kebut Belanja APBN 2026 di Kuartal I

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan belanja negara pada tahun anggaran 2026 akan dieksekusi lebih cepat. Pemerintah mewajibkan kementerian dan lembaga (K/L) dengan alokasi anggaran besar mengeksekusi mayoritas belanjanya sejak kuartal pertama. Langkah ini diambil untuk mempercepat perputaran ekonomi dan menjaga momentum pertumbuhan awal tahun.

“Strategi untuk 2026, khususnya APBN, harus makin dini realisasi belanjanya. Kami akan memastikan K/L dengan anggaran besar merealisasikan mayoritas belanja pada kuartal I,” tegas Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, dalam acara Economic Outlook: Tahun 2026, Tahun Ekspansi di Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Target Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen dalam jangka pendek. Tahun ini, proyeksi pertumbuhan berada di kisaran 5,2 persen. Sementara itu, ekonomi nasional pada kuartal III 2025 tumbuh 5,04 persen dan diharapkan meningkat menjadi 5,5 persen pada kuartal IV.

“Kami berharap sentimen positif terus terbangun dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat di akhir 2025, sehingga bisa berlanjut di kuartal pertama 2026,” ujar Febrio.

Untuk memastikan akselerasi ekonomi pada 2026 berjalan sesuai target, pemerintah menyiapkan tiga fokus utama penggerak perekonomian:

1. Penguatan kebijakan fiskal.

2. Stabilitas dan dukungan sektor keuangan.

3. Perbaikan iklim investasi.

Dari sisi pendanaan, Kemenkeu menempatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.

Meski demikian, Febrio menegaskan percepatan belanja negara saja tidak cukup. Keseimbangan antarsektor diperlukan agar pertumbuhan tidak timpang.

“Kalau mesin fiskal dan sektor keuangan hidup tetapi iklim usaha tidak membaik, maka pertumbuhan akan timpang. Oleh karena itu, tiga-tiganya harus berjalan seimbang. Ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara kementerian dan lembaga,” jelasnya.

Kemenkeu menegaskan koordinasi lintas instansi akan diperkuat untuk memastikan belanja negara, penyaluran kredit, dan aktivitas usaha dapat tumbuh seiring. (alf)

Bank Dunia: Insentif Pajak Salah Sasaran Bisa Pangkas Peluang Kerja di Asia Timur-Pasifik

IKPI, Jakarta: Bank Dunia kembali mengirim sinyal keras kepada negara-negara di Asia Timur dan Pasifik. Dalam East Asia and Pacific Economic Update: Jobs edisi Oktober 2025, lembaga internasional itu menegaskan bahwa strategi fiskal yang tidak tepat sasaran, terutama dalam pemberian insentif pajak, justru dapat mempersempit kesempatan kerja di kawasan.

Laporan dibuka dengan gambaran optimistis: pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara Asia Timur dan Pasifik masih bertahan di atas rerata global. Namun kabar baik itu tidak berlangsung panjang. Bank Dunia memprediksi laju ekonomi akan melandai pada akhir 2025 dan semakin melemah sepanjang 2026, seiring turunnya aktivitas produksi dan konsumsi.

Di titik inilah kebijakan fiskal menjadi sorotan. Banyak negara, termasuk Indonesia, dinilai terlalu bergantung pada langkah-langkah jangka pendek yang tidak menopang pertumbuhan berkelanjutan. Dampaknya bukan hanya ke penerimaan negara, tetapi juga langsung ke pasar kerja.

“Pajak dan subsidi yang tidak tepat sasaran dapat merugikan peluang kerja. Pembebasan insentif pajak dapat menyebabkan tarif pajak efektif lebih tinggi pada tenaga kerja, dibandingkan modal yang komplementer dengan teknologi otomatisasi,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut.

Tak hanya insentif fiskal, kebijakan perdagangan domestik maupun internasional juga bisa mengubah struktur ketenagakerjaan. Masalah lain muncul ketika iklim usaha tidak ramah bagi perusahaan baru. Iklim usaha yang tertutup mengurangi pilihan pekerja, mempersempit ruang lahirnya pelaku usaha baru, dan tentu saja menghambat penciptaan lapangan kerja.

“Hambatan masuk bagi perusahaan baru dapat mengurangi pilihan bagi pekerja dan menghambat munculnya peluang bagi pekerja baru,” tegas Bank Dunia.

Reformasi SDM dan Infrastruktur

Untuk mencegah perlambatan ekonomi semakin menekan pasar kerja, Bank Dunia merekomendasikan reformasi berbasis pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur. Fokus utamanya adalah menghapus hambatan masuk industri dan menumbuhkan persaingan usaha yang sehat.

“Reformasi harus berfokus pada penghapusan hambatan masuk dan persaingan, sehingga perusahaan dapat dinamis, produktif, berkembang, dan menciptakan peluang kerja baru. Kebijakan perlu membantu individu dan perusahaan mengantisipasi perkembangan masa depan dengan memastikan kesesuaian keterampilan dan peluang,” tulis laporan tersebut.

Rekomendasi Bank Dunia ini bukan tanpa alasan. Dalam laporan terpisah beberapa bulan lalu, Indonesia menjadi salah satu perhatian utama terkait menurunnya rasio pajak terhadap PDB. Sepanjang satu dekade terakhir, rasio pajak RI turun 2,1 persen. Bahkan pada 2021 angkanya hanya menyentuh 9,1 persen terhadap PDB—terendah di dunia.

Di kawasan Asia Tenggara, capaian ini tertinggal jauh dari negara lain:

• Kamboja: 18%

• Malaysia: 11,9%

• Filipina: 15,2%

• Thailand: 15,7%

• Vietnam: 14,7%

Bank Dunia juga mengingatkan bahwa kebijakan fiskal perlu berhati-hati. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, berpotensi menekan konsumsi dan justru melemahkan kepatuhan pajak jika basis pemajakan tidak diperluas secara efektif. (alf)

Akses Coretax DJP Kini Lebih Aman, Wajib Pajak Diminta Aktifkan 2FA untuk Cegah Kebocoran Data

IKPI, Jakarta: Seiring kian masifnya penggunaan sistem Coretax Direktorat Jenderal Pajak (DJP), isu keamanan data menjadi perhatian serius. DJP menegaskan bahwa perlindungan informasi pribadi wajib pajak bukan sekadar fitur tambahan, tetapi keharusan untuk mencegah penyalahgunaan akses oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Selain menjaga kerahasiaan password dan email yang terdaftar, DJP mendorong wajib pajak menyalakan fitur verifikasi dua langkah (Two-Factor Authentication/2FA) sebagai lapisan keamanan tambahan. Fitur ini diyakini mampu menutup celah kebocoran data maupun upaya peretasan akun.

Berikut langkah mengaktifkan 2FA di Coretax DJP:

1. Login ke akun Coretax DJP.

2. Pilih menu Portal Saya → Profil Saya.

3. Pada halaman Informasi Detail, klik Verifikasi Dua Langkah.

4. Lanjutkan ke Konfigurasi Autentikasi Dua Faktor dan pilih tombol Aktifkan 2FA Hari Ini!, kemudian tentukan metode melalui Authentication App agar proses lebih cepat dan aman.

5. Scan barcode yang muncul di layar menggunakan aplikasi autentikator, lalu masukkan kode verifikasi 6 digit untuk layanan eTaxIndonesia.

6. Jika berhasil, sistem akan menampilkan notifikasi Success.

Setelah fitur ini aktif, setiap kali wajib pajak login ke Coretax DJP, sistem akan otomatis meminta kode verifikasi 6 digit dari aplikasi autentikator atau email terdaftar.

Penerapan 2FA menjadi salah satu langkah penting DJP untuk menciptakan ekosistem perpajakan digital yang lebih aman, dipercaya, dan terhindar dari praktik pencurian data. Dengan keamanan yang semakin kuat, layanan digital DJP diharapkan semakin nyaman digunakan dan mendorong kepatuhan wajib pajak. (alf)

Di Hadapan Purbaya, DPD Minta Arah Fiskal Lebih Berani: “APBN Harus Hidup!”

IKPI, Jakarta; Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung mendesak arah kebijakan fiskal nasional diperkuat agar lebih berani dan produktif. Menurutnya, APBN tidak boleh hanya menjadi dokumen administrasi, tetapi harus menjadi mesin penggerak ekonomi yang hidup di daerah.

Hal itu disampaikan Tamsil dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI di Kompleks Parlemen, Senin (3/11/2025), yang turut dihadiri Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menilai langkah awal Purbaya sudah menunjukkan keberpihakan pada daerah dan sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo.

“Arsitektur APBN adalah cerminan moral kekuasaan. Kami melihat gebrakan Pak Purbaya memperbesar keberpihakan anggaran ke daerah dan langsung ke rakyat. Itu langkah yang hidup dan produktif,” kata Tamsil.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa hasilnya sangat bergantung pada kemampuan daerah memanfaatkan ruang fiskal yang diberikan. Daerah, kata dia, tidak boleh hanya menjadi penerima dana, tetapi harus mampu mengubahnya menjadi pertumbuhan ekonomi.

“Daerah memerlukan supervisi dan bimbingan, bukan hanya transfer. Setiap rupiah harus menghidupkan ekonomi rakyat, bukan sekadar menutup beban administratif,” ujarnya.

Tamsil juga menyinggung inovasi pembiayaan seperti municipal bond sebagai solusi agar daerah mampu membiayai pembangunan secara mandiri dan akuntabel. Menurutnya, daerah yang kredibel secara fiskal seharusnya diberi keleluasaan untuk membangun tanpa selalu bergantung pada APBN.

“Keadilan fiskal bukan soal membagi uang, tapi membagi kesempatan untuk tumbuh. Ketika fiskal pusat kuat dan daerah berdaya, kemakmuran nasional tumbuh dari akar,” tegasnya.

Mewakili DPD, ia memastikan dukungan terhadap langkah Kemenkeu, namun tetap mengawal agar keberanian fiskal benar-benar menumbuhkan kemandirian daerah.

Sementara itu, Purbaya mengatakan belum dapat memaparkan banyak detail lantaran raker tersebut merupakan pertemuan pertamanya bersama DPD. Ia menegaskan bahwa pemerintah berupaya memastikan anggaran digunakan maksimal, termasuk realokasi dana yang tidak terserap agar bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat.

“Saya baru mau mulai diskusi dengan DPD, jadi belum bisa cerita banyak. Yang jelas, kami pastikan anggaran bekerja,” kata Purbaya. (alf)

Perbaikan Coretax Berlanjut, Dirjen Pajak Tinjau Pelayanan di KPP Pratama Makassar Utara

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melakukan inspeksi mendadak ke KPP Pratama Makassar Utara untuk melihat langsung bagaimana pelayanan pajak berjalan setelah sistem Coretax diterapkan. Bukan hanya memeriksa alur layanan, ia sengaja meminta Wajib Pajak menyampaikan pengalaman mereka tanpa perantara.

Dalam pertemuan itu, sejumlah Wajib Pajak mengungkapkan kesan dan kendala teknis ketika menggunakan sistem baru tersebut. Bimo menegaskan bahwa Coretax dirancang untuk menyederhanakan administrasi pajak, bukan menambah kerumitan.

“Coretax itu fondasi baru pelayanan pajak modern. Tujuannya membuat proses lebih efisien, akurat, dan transparan,” ujar Bimo, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2025).

Kepada para pegawai, Bimo mengingatkan bahwa modernisasi sistem tidak akan berarti tanpa sikap pelayanan yang benar. Ia menekankan bahwa ukuran pelayanan bukan hanya kecepatan melayani, tetapi juga etika dan ketulusan petugas dalam membantu masyarakat.

Ia mengatakan setiap interaksi antara petugas pajak dan Wajib Pajak menjadi cerminan integritas institusi.

Selain berbicara dengan masyarakat, Bimo juga mengumpulkan para pegawai KPP dalam sesi pengarahan internal. Ia meminta seluruh jajaran menjaga profesionalisme dan membangun suasana kerja yang sehat agar pelayanan ke masyarakat dapat dilakukan dengan optimal.

Coretax Masih Dibenahi

Di sisi lain, pemerintah masih menggarap perbaikan teknis Coretax. Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa tim ahli IT eksternal terus menyempurnakan sistem tersebut.

Menurut Purbaya, sejumlah perbaikan telah meningkatkan kecepatan sistem, meski masih ditemukan gangguan dalam kasus-kasus tertentu.

“Percepatannya sudah terasa. Kalau dites beberapa menit tidak ada masalah, tapi kadang masih muncul error kecil. Artinya prosesnya belum sepenuhnya sempurna,” kata Purbaya.

Oktober lalu, tim IT mengutamakan dua hal: memperbaiki tampilan antarmuka agar lebih ramah pengguna dan memperkuat sistem keamanan siber. Hasil evaluasi awal menunjukkan keamanan Coretax sebelumnya berada pada level memprihatinkan.

“Sebelum diperbaiki, skor keamanan siber cuma 30 dari 100. Itu berarti sistem mudah diserang. Kita belum tahu penyebabnya, apakah trafik yang terlalu padat atau upaya mengganggu dari luar. Yang jelas, sekarang kami perketat dan terus kami upgrade,” ujarnya. (alf)

Purbaya Tegaskan APBN Bukan Cuma Bangun Infrastruktur, tapi Harus Bikin Rakyat Sejahtera

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh hanya menghasilkan proyek fisik atau pembangunan infrastruktur. Pemerintah, kata dia, ingin setiap belanja negara benar-benar kembali untuk menyejahterakan rakyat.

Dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025), Purbaya menyampaikan bahwa seluruh arah kebijakan fiskal dibangun melalui sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuan akhirnya jelas: pertumbuhan ekonomi harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

“Pada dasarnya sama, seluruh APBN, seluruh kegiatan pemerintah, DPR, DPD, tujuannya sama untuk membuat masyarakat kita semua jadi kaya,” ujarnya.

Menurutnya, keberhasilan ekonomi tidak boleh hanya diukur dari munculnya orang kaya baru, gedung besar, atau proyek raksasa. Jika sebagian besar rakyat masih tertinggal, maka pembangunan dianggap tidak berhasil.

“Kalau saya sendiri ya sudah kaya, tapi kan sebagian besar masyarakat kita nggak begitu. Itu bukan keberhasilan kalau yang kaya cuma sedikit,” tegasnya.

Sebagai sumber utama APBN, penerimaan pajak tetap menjadi fondasi belanja negara. Karena itu, setiap kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah diarahkan untuk mempersempit kesenjangan, meningkatkan layanan publik, serta menciptakan lapangan kerja di berbagai daerah.

Purbaya juga mengingatkan bahwa tujuan menyejahterakan rakyat sebenarnya sudah menjadi cita-cita sejak awal kemerdekaan. Namun, sepanjang perjalanan bangsa, arah itu tidak selalu berjalan optimal.

“Tujuan besar ini sudah ada sejak kemerdekaan. Tapi lama-lama tujuan itu tertutupi,” kata dia.

Ia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo memberi mandat agar ekonomi dibenahi secara menyeluruh. Sebelum reformasi dilakukan, Indonesia pernah berada dalam kondisi yang berpotensi membahayakan perekonomian.

“Saya ditugaskan oleh Presiden untuk membawa ekonomi ke arah yang lebih baik. Karena sebelumnya, tanpa disadari, kita sempat mengalami keadaan yang amat membahayakan negara,” terangnya.

Menurut Purbaya, infrastruktur tetap penting, namun hasil akhirnya harus mengangkat kesejahteraan rakyat.

“Saya selalu bilang, mari kita kaya bersama. Itu tujuan kita,” tutupnya. (alf)

DJP Siapkan Skema “Cooperative Compliance”, Awasi Pajak Perusahaan Besar Lewat Sistem Otomatis

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menyiapkan terobosan baru dalam strategi pengawasan wajib pajak besar. Mulai tahun depan, otoritas pajak akan menerapkan pendekatan cooperative compliance, sebuah konsep kemitraan berbasis kepercayaan dan transparansi antara DJP dan perusahaan besar untuk membangun sistem kepatuhan pajak yang lebih modern dan efisien.

Melalui skema ini, perusahaan akan diajak berkolaborasi membangun mekanisme pengendalian internal perpajakan sejak tahap awal transaksi hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Dengan demikian, potensi kesalahan atau ketidakpatuhan dapat diminimalkan jauh sebelum proses audit dilakukan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, menjelaskan bahwa konsep ini akan mengadopsi Tax Control Framework (TCF) yang terintegrasi dengan sistem teknologi informasi DJP. Melalui integrasi ini, setiap proses perpajakan perusahaan dapat diawasi secara otomatis, real-time, dan transparan.

“Kalau dulu kontrol itu hanya ada di ujung, seperti audit yang dilakukan setelah semuanya selesai. Dengan cooperative compliance, kontrol terjadi di setiap proses,” ujar Iwan dalam acara Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Selasa (4/11/2025).

Iwan menuturkan, pada tahap awal, pendekatan ini akan difokuskan pada perusahaan-perusahaan besar. Langkah ini diharapkan membuat pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) di DJP menjadi lebih efektif, karena petugas pajak dapat difokuskan pada sektor atau wajib pajak yang membutuhkan pengawasan lebih mendalam.

Lebih jauh, Iwan menegaskan bahwa manfaat cooperative compliance tidak hanya dirasakan oleh otoritas pajak, tetapi juga oleh dunia usaha. Dengan penerapan TCF, direksi dan manajemen perusahaan dapat memantau kepatuhan pajak internal mereka secara langsung, sehingga risiko pelanggaran atau kesalahan pelaporan bisa ditekan sejak dini.

“Cost of compliance akan semakin rendah, tapi tingkat kepatuhan justru meningkat,” ujarnya.

Untuk memastikan penerapan sistem ini berjalan optimal, DJP akan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi dan konsultan pajak, dalam mengembangkan platform TCF sepanjang tahun depan.

Langkah ini menandai babak baru dalam modernisasi sistem perpajakan nasional dari pendekatan berbasis pengawasan menjadi kemitraan yang mendorong kepatuhan sukarela dan transparansi jangka panjang. (alf)

Pemerintah Siapkan Sistem Canggih SPPTDLN, Era Baru Pajak Digital Lintas Negara Dimulai!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersiap membuka babak baru dalam pemungutan pajak di era digital. Melalui Sistem Pemungutan Pajak Transaksi Digital Luar Negeri (SPPTDLN), pemerintah ingin memastikan setiap transaksi digital lintas negara turut berkontribusi bagi penerimaan negara.

Langkah ini menandai pergeseran besar dari pendekatan manual ke sistem yang sepenuhnya otomatis dan berbasis data. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, menegaskan bahwa pola lama pemungutan pajak tak lagi relevan menghadapi ledakan ekonomi digital.

“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan manual. Kepatuhan pajak di era digital harus berbasis otomasi dan integrasi data,” ujar Iwan dalam acara Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Selasa (4/11/2025).

Setiap hari, jutaan transaksi bernilai kecil terjadi di berbagai platform e-commerce, aplikasi hiburan, dan layanan digital global. Karena itu, DJP tengah merancang mekanisme yang memungkinkan pemungutan pajak dilakukan langsung di sumbernya, tanpa menunggu pelaporan wajib pajak.

Melalui SPPTDLN, pemerintah akan beralih dari sistem self-assessment menuju pemungutan otomatis oleh platform digital utama, seperti e-commerce, agregator, dan payment gateway.

“Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah memberi kewenangan bagi Dirjen Pajak untuk menunjuk pemungut pajak. Nah, kini ekosistem digital akan kita uji dengan sistem baru ini,” tambah Iwan.

Namun, penunjukan pemungut pajak selama ini masih menemui kendala teknis—mulai dari proses klarifikasi data hingga belum meratanya perlakuan di antara pelaku usaha digital.

Untuk memperkuat implementasi, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2025 yang menunjuk PT Jalin Pembayaran Nusantara, anak usaha BUMN, sebagai pelaksana utama SPPTDLN.

PT Jalin akan bertugas menjalankan sandboxing atau uji coba sistem, memastikan keamanan data, melakukan pemungutan, serta memberikan dukungan teknis dan pemeliharaan sistem. Perusahaan ini juga diberi kewenangan menggandeng mitra dari dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi standar teknologi dan jangkauan operasional global.

Mitra pelaksana akan melalui tahapan seleksi ketat, termasuk uji teknis dan verifikasi administratif. Sebagai imbalan, PT Jalin akan menerima kompensasi berupa imbal jasa yang besarannya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah melalui rekomendasi tim koordinasi.

Kehadiran SPPTDLN diharapkan menjadi tonggak penting dalam menutup celah pajak ekonomi digital lintas negara serta memastikan pemerataan kewajiban pajak antara pelaku lokal dan global.

Meski begitu, pejabat DJP Melani menekankan bahwa sistem ini masih dalam tahap persiapan dan akan diimplementasikan secara bertahap.

“Kebijakan ini akan melalui tahapan panjang, mulai dari pengujian sistem, integrasi data, hingga penyesuaian regulasi. Tapi arah kita sudah jelas: digitalisasi pajak tak bisa ditunda lagi,” tegasnya.

Dengan SPPTDLN, Indonesia tak hanya menyesuaikan diri dengan era digital, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai salah satu negara pionir dalam pemungutan pajak digital lintas yurisdiksi di kawasan Asia. (alf)

Gelapkan Pajak, Direktur Perusahaan di Kalteng Dihukum Penjara dan Denda

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali menegaskan komitmennya menindak tegas pelanggaran perpajakan. Seorang direktur perusahaan berinisial AS, yang memimpin PT SB, divonis 9 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Palangka Raya karena terbukti melakukan penggelapan pajak.

Selain pidana kurungan, majelis hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp1,61 miliar kepada terdakwa. Jika denda tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda AS akan disita dan dilelang oleh jaksa penuntut umum. Apabila hasil lelang tidak mencukupi, maka pidana tersebut akan diganti dengan tiga bulan penjara tambahan.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng Syamsinar menyambut baik putusan tersebut.

“Kami mengapresiasi langkah majelis hakim yang telah memberikan putusan adil atas perkara ini. Penegakan hukum terhadap pelaku penggelapan pajak menjadi bukti keseriusan kami dalam menjaga kepatuhan wajib pajak,” ujar Syamsinar, Selasa (4/11/2025).

Kasus ini bermula dari hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP Kalselteng, yang menemukan bahwa AS dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap, serta tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut pada periode Januari 2018 hingga Desember 2019.

Perbuatan tersebut dinilai melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c, huruf d, dan/atau huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Akibat tindakan tersebut, negara mengalami kerugian sedikitnya Rp538 juta.

Syamsinar menegaskan, kasus ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi wajib pajak lainnya agar tidak main-main dengan kewajiban perpajakan.

“Penegakan hukum seperti ini bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi juga untuk memberikan efek jera dan membangun budaya patuh pajak di masyarakat,” tegasnya.

Langkah tegas Kanwil DJP Kalselteng ini menegaskan bahwa setiap bentuk penggelapan pajak akan ditindak tanpa pandang bulu, demi menjaga keadilan dan memastikan penerimaan negara tetap optimal untuk membiayai pembangunan. (alf)

id_ID