Mari Elka: Pemerintah Belum Siap Terapkan Pajak Karbon, Fokus SRUK dan ETS Dulu

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menegaskan bahwa penerapan pajak karbon belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Meski instrumen ini diyakini mampu memperkuat pasar karbon dan mendorong perusahaan menurunkan emisi melalui pembelian kredit karbon, pemerintah menilai fondasi mekanisme pasar karbon nasional masih perlu diperkuat.

Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu, menjelaskan bahwa saat ini pemerintah memilih memprioritaskan penguatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan pengembangan pasar karbon sukarela atau Voluntary Carbon Market (VCM). Langkah ini dinilai penting untuk membangun dinamika perdagangan karbon sebelum kebijakan berbasis kewajiban seperti pajak karbon atau Emission Trading Scheme (ETS) diterapkan secara penuh.

“Supaya Voluntary Carbon Market bisa jalan dulu. Setelah itu, baru kita mulai bicara Carbon Tax, ETS, atau instrumen kepatuhan lainnya,” kata Mari Elka seusai menghadiri Rapat Koordinasi Dewan Pengarah Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi GRK, Senin (8/12/2025).

Ia menekankan bahwa keputusan mengenai waktu penerapan pajak karbon sepenuhnya berada di ranah Kementerian Keuangan. Namun demikian, ia membuka peluang bahwa kebijakan tersebut tetap dapat diberlakukan di masa mendatang.

“Tidak menutup kemungkinan itu (pajak karbon) di kemudian hari. Tapi tampaknya kita mulai dengan ETS dulu, karena sektor perindustrian sudah menyiapkan rencana untuk menjalankan ETS,” ujarnya.

ETS sendiri merupakan mekanisme penetapan batas total emisi gas rumah kaca pada sektor industri tertentu. Perusahaan yang melebihi batas emisi wajib membeli izin tambahan dari perusahaan lain yang emisinya berada di bawah kuota. Kementerian Perindustrian tengah memfinalisasi regulasi mengenai batas emisi tersebut.

Selain ETS, pemerintah juga mempercepat pembangunan Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) yang ditargetkan rampung pada Maret 2026. SRUK akan menjadi tulang punggung pencatatan dan penilaian seluruh transaksi unit karbon di Indonesia.

“Makanya SRUK itu penting. Tanpa standar yang jelas dan dapat diakui secara nasional maupun internasional, perdagangan karbon kita akan sulit berkembang,” jelas Mari Elka.

SRUK merupakan sistem yang mengelola data dan informasi unit karbon dalam kerangka penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Setiap transaksi atau pergerakan unit karbon nantinya wajib tercatat dalam sistem tersebut sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.

Dengan fokus pada NEK, ETS, dan SRUK, pemerintah berharap pasar karbon Indonesia dapat berjalan lebih solid sebelum kebijakan pajak karbon benar-benar diterapkan. (alf)

Importir Balpres Ilegal Diburu, Purbaya: “SPT-nya Nol Terus, Kita Hajar dari Pajak!”

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan pernyataan keras terkait maraknya importir pakaian bekas ilegal (balpres) yang selama ini mengabaikan kewajiban perpajakan namun gencar menentang kebijakan pemerintah dalam pemberantasan thrifting ilegal.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (8/12/2025) Purbaya mengungkap bahwa pihaknya telah mengidentifikasi sejumlah pelaku impor ilegal pakaian bekas yang kerap bersuara lantang di media sosial. Namun setelah ditelusuri, para pelaku tersebut justru tercatat tidak pernah membayar pajak.

“Yang ribut-ribut di medsos tentang balpres, kami dapat namanya, kami investigasi. Ternyata banyak dari mereka enggak bayar pajak. SPT-nya nol terus. Saya datangi orangnya untuk suruh bayar,” kata Purbaya.

Ia menegaskan bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah seharusnya datang dari pihak yang juga taat aturan. Namun berdasarkan data lima tahun terakhir, banyak importir balpres ilegal melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan status nihil meski memiliki aktivitas usaha yang signifikan.

“SPT-nya nol, nol, nol lima tahun berturut-turut. Ada yang selalu nihil padahal punya gudang besar. Jangan main-main dengan pemerintah. Kalau mereka menyerang tapi untuk menutupi kejahatannya, saya hajar dari pajak,” tegasnya.

Pedagang Thrifting Minta Jalan Keluar: Legalkan Impor dan Siap Bayar Pajak

Di tengah ketegangan tersebut, pedagang pakaian bekas mengeluhkan dampak larangan impor yang membuat mereka kesulitan mendapatkan barang. Ketua Aliansi Pedagang Pakaian Bekas Indonesia, WR Rahasdikin, menilai pemerintah seharusnya mempertimbangkan legalisasi impor agar pelaku usaha bisa memberi kontribusi fiskal secara resmi.

Rahasdikin menilai sektor pakaian bekas berpotensi menjadi sumber penerimaan pajak baru yang cukup besar, apalagi pemerintah sedang menjajaki tambahan basis pajak.

“Kalau pemerintah butuh pemasukan pajak, ini kesempatan pajak baru. Pajak impor pakaian bekas bisa setara target pajak e-commerce yang Rp10 triliun,” ujarnya dalam RDP di Komisi VI DPR, Selasa (2/12/2025).

Ia pun mengusulkan struktur pungutan yang lebih terukur jika impor pakaian bekas dilegalkan. Selain bea masuk 7,5% dari CIF, PPN 11%, serta PPh Pasal 22 sebesar 7,5%, pihaknya meminta adanya pajak impor pakaian bekas tambahan sebesar 7,5%–10%.

“Kami mengusulkan pajak impor pakaian bekas 7,5% sampai 10%. Mudah-mudahan Komisi VI menyetujui,” tambahnya.

Pemerintah Serius Menghadang Importir Ilegal

Kementerian Keuangan memastikan akan terus memperketat pengawasan terhadap aktivitas impor pakaian bekas ilegal yang dinilai merugikan industri tekstil dalam negeri dan menciptakan praktik dagang tidak sehat. Temuan terkait nihilnya pembayaran pajak pelaku impor ilegal ini, menurut Purbaya, menjadi bukti bahwa sebagian pihak yang menolak kebijakan pemerintah justru tidak menjalankan kewajiban dasarnya sebagai pelaku usaha.

Polemik antara regulator dan pelaku thrifting ini diperkirakan akan terus menghangat, terutama karena adanya perbedaan pandangan: pemerintah yang ingin menutup pintu bagi balpres ilegal, dan pedagang yang berharap legalisasi agar bisa berkontribusi lewat skema pajak yang jelas. (alf)

Di Tengah Kejatuhan Bitcoin, Manuver Pajak Ini Justru Menguntungkan

IKPI, Jaarta: Pasar kripto memasuki awal Desember 2025 dengan tekanan berat. Harga Bitcoin yang selama ini menjadi barometer pasar aset digital sempat anjlok hingga 6% pada perdagangan Senin (1/12/2025). Meski kini pulih ke kisaran US$ 93.000, nilainya masih sekitar 25% di bawah rekor tertinggi mendekati US$ 125.000 pada Oktober lalu. 

Aset digital lainnya seperti Ether dan Solana juga belum menunjukkan tren pemulihan, bahkan mencatatkan imbal hasil negatif selama setahun terakhir. Namun, di balik kejatuhan harga tersebut, investor kripto di Amerika Serikat justru mendapatkan peluang strategis untuk mengurangi beban pajak mereka. 

Otoritas pajak AS (IRS) mengizinkan investor menggunakan kerugian atas aset yang dijual untuk mengimbangi keuntungan investasi lain maupun pendapatan kena pajak. Strategi ini dikenal sebagai tax-loss harvesting, dan menjadi semakin relevan ketika pasar kripto sedang melemah.

Akuntan publik tersertifikasi sekaligus pendiri MiklosCPA, Miklos Ringbauer, mengatakan bahwa kondisi pasar seperti saat ini dapat dimanfaatkan sebelum tutup tahun. “Jika Anda memiliki kesempatan untuk menurunkan pendapatan kena pajak, itu selalu menguntungkan. Kripto berada pada posisi unik yang memungkinkan hal itu dilakukan,” ujarnya, dikutip CNBC International, Senin (8/9/2025). 

Ia mengingatkan bahwa aturan perpajakan kripto cukup teknis sehingga investor tetap perlu berkonsultasi dengan profesional pajak.

Keunikan kripto terletak pada statusnya yang diperlakukan IRS sebagai properti, bukan sekuritas. Klasifikasi ini membuat kripto tidak terikat Wash-Sale Rule, yaitu aturan yang melarang investor menjual aset merugi dan membeli kembali aset yang sama dalam jangka waktu 30 hari untuk tujuan pajak. Pada saham, aturan ini berlaku ketat. Pada kripto setidaknya hingga saat ini aturan tersebut tidak berlaku.

CPA Marianela Collado menjelaskan, “Anda bisa merealisasikan kerugian, lalu membeli kembali aset yang sama seketika. Ini salah satu aspek unik kripto.” Kondisi ini memberi ruang manuver yang cukup besar bagi investor jangka panjang. Mereka bisa menjual contoh aset Bitcoin atau Ether yang sedang merugi, mencatat kerugian yang dapat mengurangi beban pajak, lalu langsung membeli kembali untuk mempertahankan posisi pasar mereka.

Adapun mekanisme tax-loss harvesting bekerja melalui beberapa langkah: investor merealisasikan kerugian dengan menjual aset yang nilainya turun; kerugian tersebut digunakan untuk mengimbangi keuntungan dari aset lain; jika kerugian lebih besar dibanding keuntungan, hingga US$ 3.000 dapat digunakan untuk mengurangi pendapatan kena pajak; selebihnya dapat dibawa ke tahun pajak berikutnya tanpa batas waktu. Semua kerugian harus direalisasikan sebelum 31 Desember 2025 untuk dapat dihitung dalam tahun pajak berjalan.

Meskipun celah perpajakan ini legal dan sering dimanfaatkan, para ahli memperingatkan bahwa status regulasi kripto di AS tidak berhenti berubah. Kongres dan regulator tengah mempertimbangkan perubahan kebijakan yang dapat mengklasifikasikan kripto sebagai sekuritas, yang akan membuat Wash-Sale Rule turut berlaku dan menutup ruang manuver yang dinikmati investor saat ini.

Sejauh aturan belum berubah, strategi tax-loss harvesting menjadi salah satu langkah paling menarik bagi investor kripto yang ingin memaksimalkan kerugian di tengah pasar yang sedang tertekan. Di saat harga Bitcoin dan aset digital lain terpukul, justru ada peluang bagi investor untuk merapikan portofolio sekaligus menekan beban pajak tahunannya. (alf)

KPP Badora Hadirkan “One Stop Services Hub”, Wajib Pajak Kini Lebih Mudah Konsultasi

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) meresmikan ruang layanan dan konsultasi baru di lantai 1 gedung KPP Badora, Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Rabu (26/11). Ruang yang diberi nama “Badora One Stop Services Hub” ini dibuka langsung oleh Kepala KPP Badora, Natalius, dikutip Senin (8/12/2025).

Dalam peresmian tersebut, Natalius menyampaikan bahwa pembaruan fasilitas menjadi langkah strategis untuk memperkuat kualitas layanan perpajakan sekaligus mendukung optimalisasi penerimaan negara. Ia berharap fasilitas baru yang lebih modern dan representatif dapat meningkatkan kenyamanan wajib pajak serta mendorong kepatuhan yang lebih baik.

Ruang layanan baru ini merupakan hasil revitalisasi Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) lama yang sebelumnya berada di lokasi yang sama. Setelah TPT KPP Badora dipindahkan ke TPT Terintegrasi di KPP PMA Dua tahun lalu, ruang lama kemudian dirancang ulang sebagai pusat konsultasi dan ruang temu wajib pajak. Dengan perubahan ini, wajib pajak kini dapat berkonsultasi tanpa harus naik ke lantai atas.

Fasilitas yang tersedia dirancang untuk lebih akomodatif, mulai dari ruang konsultasi wajib pajak, tiga ruang rapat untuk konseling dan pembahasan hasil pemeriksaan, hingga infrastruktur ramah disabilitas. Interiornya didominasi warna putih dan coklat muda, memberi kesan bersih, modern, dan profesional. Renovasi juga mencakup ruang Seksi Pelayanan yang berada di area belakang.

Seorang wajib pajak bernama Garda Budiman turut memberikan kesan positif saat mengunjungi fasilitas baru tersebut. Ia menilai ruangan terlihat jauh lebih modern, bersih, dan nyaman digunakan untuk berdiskusi. Garda berharap peningkatan kualitas layanan seperti ini dapat terus dipertahankan.

KPP Badora merupakan unit vertikal DJP di bawah Kanwil DJP Jakarta Khusus yang menangani berbagai segmen wajib pajak, termasuk Bentuk Usaha Tetap, warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri, badan internasional dan pejabatnya, perwakilan negara asing, serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. (alf)

Mulai 2026, Prancis Kenakan Pajak Wisata Kapal Pesiar Rp290 Ribu per Penumpang

IKPI, Jakarta: Prancis bersiap menerapkan pajak baru bagi wisatawan kapal pesiar mulai tahun 2026. Setiap penumpang akan dikenai pungutan sebesar 15 euro, atau sekitar Rp 290 ribu, untuk setiap kali kapal pesiar bersandar di pelabuhan Prancis. Langkah ini menjadikan Prancis sebagai negara Eropa berikutnya yang memperketat regulasi sektor pelayaran wisata.

Kebijakan tersebut bergulir seiring meningkatnya perhatian terhadap dampak lingkungan dari industri kapal pesiar. Kota Cannes sudah lebih dulu mengambil langkah ekstrem dengan melarang kapal pesiar berkapasitas lebih dari 1.000 penumpang mulai 1 Januari mendatang. Sementara Nice membatasi maksimal 65 kunjungan kapal pesiar per tahun untuk mengurangi tekanan terhadap kota.

Senat Prancis telah memberi lampu hijau untuk rencana pajak ini. Senator Jean-Marc Delia menegaskan bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk menekan polusi, mencatat bahwa kapal pesiar di Eropa menghasilkan sekitar tujuh juta ton emisi CO₂ setiap tahun. Laporan organisasi Transport and Environment (T&E) bahkan menyebut jalur pelayaran Carnival menghasilkan lebih banyak emisi CO₂ pada 2023 dibandingkan emisi tahunan kota Glasgow.

Meski demikian, rencana itu belum sepenuhnya mulus. Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron menyatakan keberatan. Menteri Anggaran Amélie Montchalin menilai penerapan tarif sulit dibedakan antara kapal pesiar dan feri yang sama-sama melayani penumpang. Kini, rancangan tersebut menunggu pembahasan dan keputusan di Majelis Nasional, yang diperkirakan diumumkan akhir Desember.

Eropa Kian Ketat Atur Kapal Pesiar

Prancis bukan satu-satunya yang memperketat aturan bagi pelayaran wisata.

• Yunani telah menerapkan biaya ketahanan krisis iklim sebesar 5–20 euro, tergantung destinasi.

• Norwegia memberi kewenangan pemerintah kota menetapkan pajak pariwisata 3 persen bagi penumpang kapal pesiar.

• Amsterdam dan Lisbon juga menaikkan pajak turis dan pelayaran untuk mengatasi overtourism serta mendukung pembangunan kota.

Dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap emisi dan beban pariwisata massal, kebijakan Prancis menjadi bagian dari tren Eropa yang mendorong industri kapal pesiar berkontribusi lebih besar terhadap keberlanjutan lingkungan. (alf)

Melly Goeslaw Dukung LMKN Didanai APBN demi Perbaikan Tata Kelola Royalti Musisi

IKPI, Jakarta: Musisi senior sekaligus anggota Komisi X DPR, Melly Goeslaw, mendorong agar pendanaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan ini disampaikan Melly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu (6/12/2025).

Dalam forum tersebut, Melly secara terbuka menyampaikan kelelahan para pelaku industri musik terhadap ketidakpastian tata kelola royalti yang selama puluhan tahun dinilainya sulit diawasi. Menurutnya, pembiayaan LMKN oleh negara akan membuka ruang pengawasan yang lebih ketat dan mendorong transparansi.

“Sebagai pekerja seni, saya sudah lelah. Kalau ada hal yang mencurigakan di LMK atau LMKN, kami tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Karena itu saya setuju LMKN dibiayai APBN,” ujar Melly dalam pernyataannya di hadapan Baleg.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan negara melalui APBN memungkinkan adanya mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, termasuk potensi pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum jika terjadi penyimpangan.

“Kalau ada APBN, mungkin KPK bisa turun tangan. Jadi semua pihak akan berpikir dua kali kalau mau bermain curang,” tegasnya.

Melly menilai perbaikan sistem royalti adalah kebutuhan mendesak, bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga penghargaan terhadap perjalanan kreatif para musisi. Ia menekankan bahwa sistem yang ideal harus mampu melacak perolehan royalti secara real-time dan dapat dipahami dengan jelas oleh para pencipta lagu.

Menurut Melly, LMKN perlu memberikan edukasi yang lebih komprehensif kepada para pencipta mengenai sumber royalti, mekanisme distribusi, dan hak-hak yang melekat pada karya—terutama dalam era digital yang terus berkembang.

“Royalti itu bukan sekadar angka, tapi penghargaan atas waktu, perasaan, tenaga, dan kehidupan kami,” katanya menutup pernyataan. (alf)

Apindo Dorong Insentif Fiskal 2026 Difokuskan ke Padat Karya dan UMKM

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengarahkan insentif fiskal tahun depan kepada sektor-sektor yang terbukti paling terpukul sepanjang 2025. Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan industri padat karya dan UMKM mengalami pelemahan signifikan selama tahun ini, sehingga membutuhkan dukungan fiskal yang lebih terarah.

Dalam keterangannya dikutip, Minggu (7/12/2025), Shinta menilai insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance memiliki peran penting sebagai peredam gejolak ekonomi. Menurutnya, dua fasilitas itu memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri, terutama di fase awal investasi atau saat ekspansi masih menuntut kebutuhan modal yang besar. Karena itu, ia berharap insentif tahun depan diprioritaskan kepada sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja.

“Sepanjang 2025, sebagian besar sektor riil melemah, terutama industri padat karya. UMKM juga menghadapi tekanan serupa karena kemampuan ekspansinya terbatas. Padahal, keduanya adalah sumber penyerapan tenaga kerja terbesar,” ujar Shinta.

Shinta menilai insentif tidak cukup hanya diberikan kepada pelaku usaha, tetapi juga harus diarahkan untuk mengurangi tingginya struktur biaya yang menahan pemulihan ekonomi. Ia menyebut tiga komponen besar yang masih membebani dunia industri: suku bunga pinjaman, harga energi, dan biaya logistik. Jika biaya struktural ini tidak turun, kata dia, insentif yang disalurkan melalui APBN tidak akan mencapai dampak optimal.

Di sisi lain, Shinta mengingatkan bahwa insentif hanya akan efektif apabila diterapkan secara konsisten, mudah diakses, dan sejalan dengan perbaikan iklim usaha. Kepastian regulasi, proses perizinan yang efisien, dan penegakan hukum yang kuat menurutnya menjadi prasyarat dalam menarik investasi berkualitas. “Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, selective incentives yang dirancang dengan tepat adalah instrumen penting untuk mendapatkan investasi yang berkelanjutan,” tambah CEO Sintesa Group itu.

Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026 menunjukkan tren kenaikan belanja perpajakan sepanjang lima tahun terakhir. Nilainya naik dari Rp293 triliun pada 2021 menjadi Rp530,3 triliun pada 2025, atau melonjak 32,5% secara tahunan. Pada 2026, anggaran belanja perpajakan kembali meningkat menjadi Rp563,6 triliun. Porsi terbesar masih berasal dari PPN dan PPnBM serta PPh, dengan estimasi mencapai Rp343,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp371,9 triliun pada 2026.

Belanja perpajakan untuk mendorong investasi tercatat Rp84,3 triliun pada 2025 dan naik menjadi Rp84,7 triliun pada 2026. Sementara dukungan perpajakan bagi dunia bisnis meningkat dari Rp56,9 triliun menjadi Rp58,1 triliun pada periode yang sama.

Sebelumnya, dalam Media Gathering pada November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh insentif perpajakan. Evaluasi tersebut akan melibatkan BPKP dan lembaga penegak hukum seperti KPK, guna memastikan kebijakan tidak disalahgunakan dan tetap mampu mendorong penerimaan negara. “Perlu dilihat apakah proses bisnisnya sudah tepat, atau ada hal yang harus diperbaiki sehingga manfaat insentif bisa lebih optimal,” kata Bimo di Kanwil DJP Bali pada Selasa (25/11/2025). (alf)

Kemenkeu Siapkan Insentif Pajak untuk Aksi Korporasi BUMN

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah merampungkan kebijakan fiskal baru berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan memberikan keringanan pajak bagi BUMN yang melakukan aksi korporasi. Aturan ini ditargetkan terbit pada Desember 2025, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai mengikuti Rapat Dewan Pengawas Danantara di Jakarta Selatan, Jumat (5/12/2025).

Airlangga menekankan bahwa restrukturisasi dan konsolidasi berbagai BUMN, termasuk Pertamina, membutuhkan kepastian perpajakan agar proses merger, akuisisi, dan penataan ulang lainnya tidak menghambat kinerja perusahaan.

“Butuh penyesuaian PMK tentang perpajakan. Itu yang kita selesaikan, bukan hanya untuk Pertamina, tetapi keseluruhan proses BUMN,” ujarnya.

Ia berharap beleid tersebut rampung tepat waktu. “Kalau PMK-nya sih mudah-mudahan Desember ini selesai.”

Rencana tersebut selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penyederhanaan jumlah BUMN dari hampir 1.000 entitas menjadi sekitar 200 perusahaan aktif. Proses perampingan besar ini dipastikan memicu banyak aksi korporasi sehingga memerlukan dukungan fiskal yang terukur.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut insentif tersebut akan berlaku untuk jangka 3 hingga 4 tahun ke depan. Ia memastikan fasilitas ini bukanlah pengurangan kewajiban pajak atas transaksi restrukturisasi, tetapi mekanisme agar reorganisasi BUMN tidak menggerus potensi dividen.

“Nanti ada kerangka regulasi yang membuat BUMN lebih efisien dan merger-mergernya lebih ekonomis,” jelas Bimo.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa pembahasan antara Kemenkeu dan pemangku kepentingan terkait masih belum final. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya juga menegaskan bahwa setiap insentif hanya akan diberikan sepanjang sesuai koridor peraturan perundang-undangan.

Dengan penyusunan PMK yang memasuki tahap akhir, pemerintah berharap konsolidasi besar-besaran BUMN dapat berjalan lebih efisien tanpa memberikan tekanan berlebih pada penerimaan negara. (alf)

Pemerintah Tautkan Insentif Pajak dengan Agenda Pembersihan Pasar Modal dan Proteksi Industri

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”

Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.

“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini. 

Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.

Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang. 

“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.

Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.

Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.

Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.

Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)

Insentif Pajak Dinilai Bukan Lagi Soal Mengerek Investasi, Tetapi Menggeser Struktur Ekonomi ke Sektor Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Kebijakan insentif pajak yang selama ini kerap dibaca sebagai “biaya fiskal” kini mulai dilihat pemerintah sebagai instrumen untuk menggeser struktur ekonomi nasional menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tax holiday dan tax allowance tidak dapat lagi dipahami sekadar sebagai pengurang penerimaan jangka pendek, melainkan sebagai pendorong transformasi industri secara sistemik.

Pandangan ini muncul di tengah sorotan publik atas meningkatnya belanja perpajakan yang pada 2025 diproyeksikan menembus Rp530,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp563,6 triliun pada 2026. Dalam periode yang sama, tax ratio nasional tercatat memiliki gap rata-rata 6,4% terhadap PDB sepanjang 2016–2021, di mana 2,7% di antaranya berasal dari kebijakan fiskal berupa pengecualian dan insentif pajak.

“Dalam jangka panjang, insentif merupakan trade-off agar sektor penerima mampu menghasilkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli, dikutip Minggu (7/12/2025). 

Ia menekankan bahwa setiap insentif yang digelontorkan diarahkan untuk menciptakan efek berantai yang lebih besar daripada penerimaan pajak yang “hilang” di tahun berjalan.

Pergeseran cara pandang ini membuat pemerintah semakin fokus menyusun insentif yang terukur. Bukan lagi soal “menarik investasi sebanyak mungkin,” tetapi “menarik investasi yang paling efektif mendorong transformasi struktur ekonomi” mulai dari industri berteknologi tinggi, manufaktur yang berbasis ekspor berkelanjutan, hingga sektor yang mampu memasok kebutuhan domestik agar impor dapat ditekan.

Dalam konteks tersebut, meningkatnya belanja perpajakan justru mencerminkan upaya pemerintah melakukan intervensi pada titik-titik yang selama ini menjadi bottleneck produktivitas. Pada 2025, insentif untuk peningkatan investasi diprioritaskan sebesar Rp84,3 triliun dan meningkat menjadi Rp84,7 triliun pada 2026.

“Pertanyaan utamanya bukan lagi ‘berapa banyak penerimaan yang hilang?’ tetapi ‘berapa besar nilai tambah yang tercipta?’” ujar Rosmauli.

Namun, sejumlah ekonom menilai jika arah kebijakan ini konsisten, maka transformasi ekonomi yang lebih dalam dapat dicapai tanpa harus menunggu penyesuaian tarif atau regulasi baru. Pemerintah, sedang menggunakan insentif pajak sebagai “kemudi” untuk mengarahkan ulang ekonomi Indonesia ke sektor bernilai tinggi, bukan hanya sebagai “pengurang beban” dunia usaha. (alf)

id_ID