DJP Ungkap 27 Penunggak Pajak Besar Pailit, 5 Alami Krisis Likuiditas

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkap perkembangan terbaru dari operasi penagihan terhadap 200 wajib pajak besar yang selama ini menunggak kewajiban pajak mereka. Dari hasil pemetaan terkini, 27 wajib pajak dinyatakan pailit, sementara 5 lainnya mengalami kesulitan likuiditas sehingga statusnya dinyatakan macet.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, dari total potensi tunggakan sekitar Rp 60 triliun, pemerintah sejauh ini telah berhasil merealisasikan penerimaan sebesar Rp 7,21 triliun.

“Data terakhir Rp 7,216 triliun (yang sudah ditagih). Jadi ada penambahan Rp 216 miliar dari laporan sebelumnya,” ujar Bimo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Dari hasil penelusuran DJP, 91 wajib pajak telah melakukan pembayaran atau mengangsur kewajibannya. Sementara sebagian lainnya masih dalam tahap penagihan lanjutan. Empat wajib pajak kini berada di bawah pengawasan aparat penegak hukum, dan 59 lainnya tengah diproses lebih lanjut oleh otoritas pajak.

DJP juga telah menempuh sejumlah langkah tegas, di antaranya pelacakan aset (asset tracing) terhadap 5 wajib pajak, pencegahan ke luar negeri terhadap 9 beneficial owner, serta penyanderaan (gijzeling) terhadap 1 wajib pajak yang dianggap tidak kooperatif.

Meski sejumlah wajib pajak telah jatuh pailit, Bimo menegaskan DJP tidak akan menghentikan upaya penagihan. Aset dan potensi pembayaran yang masih tersisa akan tetap ditelusuri melalui kurator atau mekanisme hukum lain.

“Kami tetap optimistis penagihan bisa terus meningkat. Dari hasil Rapimnas, target penagihan dari 200 pengemplang pajak ini bisa mencapai Rp 20 triliun hingga akhir tahun, meskipun sebagian mengalami kesulitan likuiditas dan meminta restrukturisasi utangnya diperpanjang,” jelasnya.

Bimo menegaskan, langkah-langkah ini menjadi bagian dari komitmen DJP untuk memastikan keadilan dan kepatuhan pajak. “Yang menunggak akan kami kejar, baik yang masih aktif maupun yang sudah pailit. Tidak ada pengecualian,” tegasnya. (alf)

Dirjen Pajak Optimis Kantongi Rp 20 Triliun dari 200 Pengemplang Pajak hingga Akhir 2025

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menargetkan bisa mengumpulkan Rp 20 triliun dari total Rp 60 triliun tunggakan milik 200 wajib pajak besar pengemplang hingga akhir tahun 2025.

Target itu disampaikan Bimo saat menjawab pertanyaan langsung Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait kemampuan penagihan piutang pajak besar negara dalam rapat di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

“Dari hasil Rapimnas, sekitar Rp 20 triliun bisa kami kejar. Namun sebagian wajib pajak masih kesulitan likuiditas dan meminta perpanjangan restrukturisasi utang,” ujar Bimo.

Hingga pertengahan Oktober ini, Ditjen Pajak telah berhasil menagih Rp 7,21 triliun dari total tunggakan tersebut, naik Rp 216 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Bimo menjelaskan, dari 200 pengemplang besar itu, 91 wajib pajak sudah mulai mencicil kewajibannya, sementara 5 wajib pajak dinyatakan macet karena kesulitan likuiditas.

Sisanya, 27 wajib pajak telah berstatus pailit, 4 tengah berada di bawah pengawasan aparat penegak hukum, 5 dalam tahap penelusuran aset, 9 masuk daftar pencegahan bepergian ke luar negeri, dan 1 wajib pajak sudah disandera (gijzeling).

“Yang sudah kami lakukan pencegahan terhadap beneficial owner ada sembilan, satu dalam proses penyanderaan, dan 59 lainnya sedang kami tindak lanjuti,” ungkap Bimo.

Langkah agresif ini menunjukkan keseriusan Ditjen Pajak dalam menagih piutang negara dari para pengemplang besar, sekaligus menguji efektivitas strategi penegakan hukum pajak menjelang akhir tahun fiskal 2025. (alf)

Aktivasi Coretax Masih Seret, Baru 2,6 Juta Wajib Pajak Siap Lapor SPT

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih menghadapi tantangan besar dalam implementasi Sistem Inti Administrasi Pajak atau Coretax, menjelang penerapan penuh untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2025. Hingga pertengahan Oktober 2025, baru 2,6 juta wajib pajak yang mengaktivasi akun Coretax dari total target 14 juta wajib pajak di seluruh Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, jumlah tersebut terdiri atas 2,05 juta wajib pajak orang pribadi dan 550 ribu wajib pajak badan.

“Masih jauh dari target. Padahal, seluruh pelaporan SPT tahun depan akan dilakukan sepenuhnya melalui sistem Coretax,” ujar Bimo di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Dari total wajib pajak orang pribadi yang telah aktivasi, baru 1,2 juta yang memperoleh kode otorisasi dan sertifikat elektronik dua elemen penting sebagai tanda tangan digital dalam sistem Coretax.

“Kalau belum punya sertifikat elektronik, wajib pajak belum bisa menandatangani SPT secara digital di sistem,” jelasnya.

Meski angka aktivasi masih rendah, Bimo memastikan kesiapan infrastruktur Coretax untuk menghadapi masa pelaporan SPT Tahunan 2025. Sesuai ketentuan, batas waktu pelaporan SPT bagi wajib pajak orang pribadi adalah akhir Maret 2026, sementara untuk wajib pajak badan hingga akhir April 2026.

DJP disebut telah melakukan berbagai langkah percepatan, mulai dari program edukasi dan konseling pajak, hingga simulasi pelaporan SPT untuk memastikan transisi berjalan mulus.

“Simulator untuk SPT badan sudah bisa diakses, sementara simulator untuk orang pribadi sedang kami siapkan. Bulan ini, sekitar 20 ribu pegawai DJP akan melakukan stress test serentak untuk menguji kestabilan sistem,” papar Bimo.

Ia menekankan pentingnya partisipasi aktif wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi agar tidak terkendala menjelang tenggat pelaporan.

“Jangan tunggu akhir-akhir. Aktivasi sekarang, supaya nanti pelaporan SPT bisa lancar tanpa hambatan,” imbaunya.

Dengan langkah-langkah tersebut, DJP optimistis tingkat aktivasi Coretax akan terus meningkat seiring meningkatnya kesadaran dan kesiapan digital para wajib pajak di seluruh Indonesia. (alf)

Tak Ada Pembentukan BPN, Purbaya Fokus Benahi Pajak dan Cukai di Bawah Kemenkeu

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan belum berencana membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Ia memilih untuk memperkuat pembenahan internal di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang saat ini masih berada di bawah naungan Kementerian Keuangan.

“Untuk sementara kayaknya enggak akan dibangun. Pajak dan bea cukai akan tetap di Kemenkeu, dan saya akan membawahi sendiri. Jadi itu bagian saya, pajak dan bea cukai,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Purbaya mengungkapkan, keputusan tersebut merupakan arahan langsung dari Presiden, yang menugaskannya untuk memperbaiki kinerja aparat pajak dan bea cukai guna mendongkrak penerimaan negara tanpa perlu membentuk lembaga baru.

Menurutnya, fokus utama pemerintah saat ini adalah melanjutkan reformasi birokrasi dan menutup kebocoran penerimaan, sekaligus memperkuat kedisiplinan aparatur fiskal di lapangan.

“Kita akan melakukan berbagai reform, termasuk menutup kebocoran-kebocoran yang ada dan lebih mendisiplinkan pegawai bea cukai dan pajak,” tegasnya.

Dengan langkah itu, Purbaya optimistis target kenaikan tax ratio sekitar 0,5% pada tahun depan bisa tercapai, seiring mulai pulihnya aktivitas sektor riil.

“Ke depan saya harap tahun depan, dengan mulai hidupnya sektor riil, tax ratio-nya naik otomatis setengah persen. Itu bisa menambah income negara sekitar Rp110 triliun lebih. Mudah-mudahan itu terjadi,” tutur Purbaya.

Langkah Purbaya ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi internal akan menjadi motor utama peningkatan penerimaan negara, tanpa harus menambah struktur birokrasi baru. (alf)

Dampak Restitusi, Penerimaan Pajak hingga September Terkoreksi 3,2 Persen

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan penerimaan pajak bersih (neto) hingga September 2025 mencapai Rp1.295,28 triliun, atau turun 3,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.354,86 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, penurunan ini terutama dipicu oleh meningkatnya restitusi pajak, yaitu pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.

“Angka neto tahun ini Rp1.295,28 triliun, masih di bawah tahun lalu karena restitusi meningkat. Tapi justru ini berdampak positif karena uang itu kembali ke masyarakat dan dunia usaha,” ujar Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).

Ia menegaskan, restitusi bukanlah kerugian bagi negara, melainkan bentuk pengembalian hak wajib pajak yang seharusnya tidak terutang. Perputaran dana restitusi di masyarakat, menurutnya, membantu menopang likuiditas dan menjaga daya dorong ekonomi nasional.

“Uang yang dikembalikan lewat restitusi turut menggerakkan ekonomi karena beredar kembali di pasar,” imbuhnya.

Kinerja Bulanan Mulai Membaik

Meski secara tahunan menurun, penerimaan pajak neto September 2025 tumbuh sekitar 1 persen secara bulanan (month-to-month). Pada Agustus, realisasi penerimaan pajak tercatat Rp145,4 triliun, sedangkan pada September naik tipis seiring meningkatnya setoran dari sejumlah sektor usaha.

Secara rinci, realisasi pajak neto terdiri dari:

• PPh Badan sebesar Rp215,10 triliun (turun 9,4%),

• PPh Orang Pribadi Rp16,82 triliun (naik 39,8%),

• PPN dan PPnBM Rp474,44 triliun (turun 13,2%), dan

• PBB Rp19,50 triliun (naik 17,6%).

Penerimaan Bruto Justru Naik

Menariknya, sebelum dikurangi restitusi, penerimaan pajak bruto justru mencatat pertumbuhan positif. Hingga September, total bruto mencapai Rp1.619,20 triliun, naik dibandingkan Rp1.588,21 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

“Ini yang terus kita pantau. Harapannya, menjelang akhir tahun realisasi bruto makin kuat,” tutur Suahasil.

Adapun penerimaan bruto terbesar berasal dari PPh Badan yang mencapai Rp304,63 triliun (naik 6%), disusul PPh Orang Pribadi Rp16,90 triliun (naik 39,4%), PPN dan PPnBM Rp702,20 triliun (turun 3,2%), dan PBB Rp19,69 triliun (naik 18,4%).

Kemenkeu menilai, penurunan pajak neto akibat restitusi mencerminkan mekanisme fiskal yang sehat dan transparan. Restitusi menunjukkan bahwa kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak tetap tinggi, sementara aktivitas ekonomi tetap bergerak.

“Kita ingin penerimaan negara kuat, tapi ekonomi masyarakat juga sehat. Restitusi adalah bagian dari keseimbangan itu,” kata Suahasil.

Dengan tren penerimaan bruto yang meningkat dan aktivitas ekonomi yang pulih, pemerintah optimistis realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2025 akan terus membaik. (alf)

IKPI Denpasar Komitmen Dukung DJP Kejar Target Pajak Akhir Tahun

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

IKPI, Denpasar: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Denpasar, Made Sujana, menegaskan komitmen anggota IKPI untuk bersinergi dengan KPP Pratama Denpasar Barat dalam menggenjot kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara di sisa tiga bulan terakhir tahun 2025.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam rapat bertema “Sinergi Bersama: Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak” yang digelar di KPP Pratama Denpasar Barat, Senin (13/10/2025). Pertemuan itu membahas capaian penerimaan pajak yang baru mencapai Rp850 miliar atau 61% dari target Rp1,37 triliun, serta strategi bersama menghadapi triwulan terakhir tahun fiskal.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

“Kami di IKPI Denpasar tidak ingin hanya menjadi penonton. Para konsultan pajak punya tanggung jawab moral membantu DJP memastikan wajib pajak patuh, bukan sekadar lapor formalitas,” ujar Made Sujana, Rabu (15/10/2025).

Menurutnya, kolaborasi dengan otoritas pajak bukan hanya soal compliance check, tetapi juga bagaimana edukasi dan pendampingan bisa dilakukan secara humanis agar wajib pajak merasa terbantu, bukan ditekan.

“Kami akan dorong anggota untuk aktif membantu penyelesaian SP2DK, pendampingan pelaporan SPT, dan memberikan edukasi langsung kepada wajib pajak. Target pajak bukan hanya angka, tapi cerminan sinergi yang nyata,” tambahnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

Sementara itu, pihak KPP Pratama Denpasar Barat menegaskan fokus pengawasan pada dua hal: pembayaran pajak masa (PPM) dan kepatuhan material (PKM). Keduanya menjadi kunci agar realisasi penerimaan pajak bisa digenjot menjelang penutupan tahun anggaran.

Dalam rapat tersebut, KPP juga memaparkan sejumlah langkah strategis, termasuk pemanfaatan data lintas instansi, penyusunan program monitoring dan evaluasi, serta penerbitan berbagai nota dinas untuk memperkuat tindak lanjut di lapangan.

Kerja sama antara KPP dan IKPI Denpasar ini diharapkan dapat menjadi model kolaborasi ideal antara fiskus dan profesi konsultan pajak di daerah lain.

“Denpasar harus jadi contoh bagaimana kepercayaan dan sinergi bisa memperkuat kepatuhan pajak. Kalau semua pihak bergerak bersama, target penerimaan bukan hal yang mustahil,” ujarnya. (bl)

IKPI Tangsel – Dinas Pariwisata Komitmen Tingkatkan Literasi Pajak dan Penguatan Ekonomi Kreatif

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tangerang Selatan)

IKPI, Tangsel:  Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Tangerang Selatan Rully Erlangga beserta jajaran pengurus melakukan audiensi dengan Kepala Dinas Pariwisata Kota Tangerang Selatan, Heru Sudarmanto, di Kantornya, Selasa (14/10/2025).

Audiensi ini bertujuan memperkuat kerja sama strategis antara organisasi profesi konsultan pajak dan pemerintah daerah melalui program bertajuk “Peningkatan Literasi Pajak dan Penguatan Ekonomi Kreatif Sektor Pariwisata Tahun 2025.”

Dalam pertemuan tersebut, Rully menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak di kalangan pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif.

“Kami melihat banyak pelaku usaha di sektor pariwisata yang berpotensi besar mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun masih menghadapi tantangan dalam memahami kewajiban perpajakan. Melalui kerja sama ini, IKPI Tangsel siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam memberikan edukasi dan pendampingan profesional,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tangerang Selatan)

Kepala Dinas Pariwisata Tangsel Heru Sudarmanto menyambut baik inisiatif ini dan menilai langkah IKPI Tangsel sejalan dengan komitmen pemerintah kota untuk memperkuat sektor pariwisata sebagai penggerak ekonomi lokal.

“Kami menyambut positif kerja sama ini. Edukasi perpajakan menjadi aspek penting agar pelaku usaha pariwisata tidak hanya kreatif, tetapi juga patuh dan berkontribusi optimal terhadap PAD Kota Tangerang Selatan,” ungkap Heru.

Agenda Kegiatan Kolaboratif 2025–2026

Dalam audiensi tersebut juga dibahas rencana kegiatan yang tercantum dalam proposal kerja sama, antara lain:

1. Seminar dan Workshop Perpajakan bagi pelaku usaha hotel, restoran, kafe, travel, dan event organizer di wilayah Tangsel.

2. Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Pelatihan Digitalisasi Pajak, meliputi pengenalan sistem pelaporan pajak online serta tata cara administrasi perpajakan terkini.

3. Program Pendampingan dan Konsultasi Pajak bagi pelaku UMKM pariwisata untuk memahami kewajiban pajak secara benar.

4. Sinergi Data dan Advokasi Kebijakan, yaitu kolaborasi dalam pemetaan potensi pajak daerah berbasis pariwisata dan penyusunan rekomendasi kebijakan yang mendukung ekosistem ekonomi kreatif.

Rangkaian kegiatan tersebut akan dilaksanakan sepanjang tahun 2025–2026, dengan mekanisme pelaksanaan dan lokasi yang disepakati bersama antara Dinas Pariwisata dan IKPI Tangsel.

Sebagai tindak lanjut audiensi, kedua pihak sepakat untuk mempersiapkan Nota Kesepahaman (MoU) dan membentuk Tim Pelaksana Bersama yang akan merancang jadwal, teknis kegiatan, serta evaluasi keberlanjutan program.

Rully berharap kerja sama ini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan Tangerang Selatan sebagai kota pariwisata cerdas dan berdaya ekonomi kreatif tinggi, melalui tata kelola perpajakan yang edukatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. (bl)

Purbaya: Shadow Economy Tak Bisa Jadi Andalan Penerimaan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan gegabah dalam mengejar potensi penerimaan pajak dari shadow economy atau aktivitas ekonomi bawah tanah. Menurutnya, sektor tersebut secara sifat memang sulit terukur dan tidak dapat dijadikan dasar yang akurat untuk proyeksi penerimaan negara.

“Kalau namanya shadow, ya bayangan saja. Kalau bisa ditangkap, itu bukan shadow lagi, tapi underground economy. Bukan under lagi,” ujar Purbaya, Selasa (13/10/2025).

Purbaya menyebut, banyak lembaga kerap mengklaim potensi besar dari sektor ekonomi tersembunyi ini terhadap penerimaan pajak nasional. Namun ia menilai, sebagian besar perhitungan tersebut hanya bersifat spekulatif karena bersandar pada data yang tidak dapat diverifikasi secara langsung.

“Banyak yang bilang potensinya sekian, hitungannya segini. Saya tidak percaya. Namanya saja underground, ya pasti tidak bisa dihitung,” tegasnya.

Ia menilai, asumsi berlebihan mengenai potensi besar shadow economy justru bisa menimbulkan ekspektasi yang tidak realistis terhadap kemampuan negara memperluas basis pajak dalam waktu singkat.

“Saya akan hati-hati. Tidak realistis kalau menganggap shadow economy bisa langsung masuk ke ekonomi formal dalam waktu dekat,” jelasnya.

Meski begitu, Kementerian Keuangan tetap menaruh perhatian serius terhadap praktik ekonomi tersembunyi yang masih tinggi di sejumlah sektor strategis. Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, bahkan telah menegaskan bahwa pemerintah akan memperketat pengawasan di sektor dengan aktivitas shadow economy tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Sri Mulyani menekankan pentingnya strategi pengawasan yang lebih tajam dan berbasis data untuk menekan potensi kebocoran pajak dari aktivitas ekonomi ilegal tersebut.

Sebagai langkah konkret, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga telah menjalin kerja sama dengan Tim Satgas Khusus (Satgassus) Polri pada 17 Juni 2025. Kolaborasi ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penguatan sinergi, pertukaran data intelijen, serta penegakan hukum atas kegiatan ekonomi ilegal.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menjelaskan, kerja sama tersebut difokuskan pada sektor strategis seperti illegal fishing, illegal mining, illegal logging, dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi sumber daya alam (SDA) lainnya.

“Kolaborasi ini menitikberatkan pada penguatan sinergi dan penegakan hukum terhadap aktivitas ekonomi tersembunyi yang berpotensi merugikan penerimaan negara,” jelas Rosmauli (18/6/2025).

Langkah pemerintah ini menunjukkan bahwa meski Purbaya memilih bersikap realistis, upaya menertibkan ekonomi bawah tanah tetap berjalan. Bedanya, strategi yang ditempuh kini lebih berbasis pengawasan cerdas dan penegakan hukum terarah, bukan sekadar mengandalkan perhitungan spekulatif. (alf)

China Perketat Insentif Pajak Mobil Ramah Lingkungan, 40% Model PHEV Terancam Tersingkir

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah China akan memperketat aturan pemberian insentif pajak bagi kendaraan ramah lingkungan atau new energy vehicles (NEV) mulai 1 Januari 2026. Kebijakan baru ini menandai babak baru dalam industri otomotif Negeri Tirai Bambu, yang kini berfokus bukan hanya pada kuantitas produksi, tetapi juga pada efisiensi dan kemajuan teknologi.

Aturan tersebut diumumkan bersama oleh tiga lembaga penting Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi, Kementerian Keuangan, serta Administrasi Pajak Nasional dan akan mengubah peta persaingan produsen mobil listrik dan plug-in hybrid (PHEV) di China.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok, Cui Dongshu, menyebut kebijakan baru ini sebagai strategi “penyaringan alami” di tengah perkembangan pesat teknologi kendaraan listrik global.

“Kebijakan ini akan memacu riset dan pengembangan teknologi baru, sekaligus menyingkirkan produk yang sudah ketinggalan zaman,” ujarnya.

Tujuannya jelas, memperkuat posisi China sebagai pemimpin global kendaraan listrik dengan menuntut kualitas lebih tinggi. Produsen lokal kini ditantang untuk menghadirkan mobil yang lebih hemat energi, efisien, dan berdaya saing di pasar internasional.

Mulai 2026, setiap jenis kendaraan ramah lingkungan akan menghadapi standar baru yang jauh lebih ketat.

• Mobil listrik murni (BEV) wajib memenuhi ketentuan konsumsi energi baru berdasarkan standar nasional GB 36980.1–2025, yang diklaim 11% lebih efisien dibanding aturan sebelumnya.

• Mobil PHEV harus memiliki jarak tempuh minimal 100 km hanya dengan tenaga listrik lebih dari dua kali lipat dari standar lama yang hanya 43 km.

• Batas konsumsi bahan bakar juga dipangkas:

• Maksimal 70% dari batas standar untuk kendaraan berbobot di bawah 2.510 kg.

• Maksimal 75% untuk kendaraan yang lebih berat.

Kendaraan listrik dengan bobot di atas 3.500 kilogram pun akan memiliki ambang batas konsumsi energi tersendiri, agar tetap efisien sesuai kelasnya.

Dampak terbesar dari perubahan ini akan dirasakan oleh produsen PHEV, yang selama ini menikmati kelonggaran pajak cukup besar. Berdasarkan laporan CarNewsChina, sekitar 40% model PHEV saat ini belum memenuhi syarat baru—terutama terkait jarak tempuh listrik minimum.

Model-model tersebut terancam kehilangan status bebas pajak mulai 2026. Sebagai langkah antisipasi, produsen diberi waktu hingga 12 Desember 2025 untuk mendaftarkan ulang modelnya agar masuk katalog insentif 2026.

Bagi model lama yang gagal memenuhi standar baru, peluang terakhir adalah diskon besar-besaran di penghujung 2025 untuk menghabiskan stok.

Kebijakan baru ini bukan hanya soal pengetatan, tapi juga bagian dari strategi besar China untuk mempertahankan dominasinya dalam transisi energi bersih dunia. Dengan teknologi baterai yang terus berkembang dan investasi besar di sektor kendaraan listrik, pemerintah ingin memastikan hanya produk terbaik yang layak mendapat keringanan pajak.

Langkah ini diyakini akan membuat pasar otomotif China semakin kompetitif dan menjadi acuan global dalam standardisasi kendaraan ramah lingkungan. (alf)

Cegah Overtourism, Kyoto Naikkan Pajak Hotel Hingga 10 Kali Lipat

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Mulai Maret 2026, wisatawan yang berkunjung ke Kyoto, Jepang, harus siap merogoh kocek lebih dalam. Pemerintah kota yang dikenal dengan kuil kuno dan budaya tradisionalnya itu akan menaikkan pajak hotel hingga 10 kali lipat, langkah berani yang diambil untuk mengendalikan lonjakan wisatawan dan menjaga keberlanjutan pariwisata.

Kebijakan ini diumumkan setelah Jepang mencatat rekor 36,9 juta kunjungan turis asing sepanjang 2024, tertinggi sepanjang sejarah. Lonjakan tersebut membuat Kyoto menghadapi tantangan serius berupa overtourism, mulai dari kepadatan pengunjung di situs bersejarah, polusi, hingga tekanan pada infrastruktur publik.

Menurut laporan Euronews, Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang telah mengusulkan kenaikan pajak ini sejak Maret 2024. Ini merupakan revisi pertama sejak pajak akomodasi diberlakukan pada Oktober 2018.

Rincian Kenaikan Pajak

Saat ini, pajak akomodasi di Kyoto dibatasi maksimal 1.000 yen (sekitar Rp108.000) per malam. Namun setelah revisi berlaku:

• Hotel mewah: pajak naik menjadi 10.000 yen (sekitar Rp1 juta) per malam.

• Hotel menengah (tarif 50.000–99.999 yen): pajak 4.000 yen (sekitar Rp435.000).

• Hotel standar (tarif 20.000–49.999 yen): pajak 1.000 yen (Rp108.000).

• Hotel ekonomis (tarif 6.000–19.999 yen): pajak 400 yen (Rp44.000).

Dengan kebijakan baru ini, pendapatan pajak akomodasi Kyoto diperkirakan melonjak dari 5,2 miliar yen (Rp565 miliar) menjadi 12,6 miliar yen (Rp1,3 triliun) per tahun.

Namun, pemerintah menegaskan bahwa tujuan kebijakan ini bukan untuk menakuti wisatawan, melainkan memastikan mereka berkontribusi terhadap upaya menjaga keberlanjutan kota wisata.

“Pajak-pajak ini bukan untuk menghambat perjalanan, melainkan berinvestasi kembali pada hal-hal yang membuat kota menarik seperti pelestarian budaya, transportasi umum, dan manajemen pengunjung,” ujar Nicholas Smith, Direktur Digital Thomas Cook, dikutip dari Euronews, Selasa (14/10/2025).

Smith menambahkan, wisatawan kelas premium umumnya tidak keberatan membayar lebih selama mereka tahu kontribusinya digunakan untuk melestarikan destinasi dan meningkatkan pengalaman wisata.

Fokus pada Pariwisata Berkelanjutan

Pendapatan tambahan dari pajak hotel akan diarahkan untuk mendanai berbagai inisiatif, mulai dari pengembangan bus ekspres penghubung Stasiun Kyoto ke destinasi wisata, peningkatan fasilitas umum, hingga kampanye etika wisata agar turis lebih menghormati adat lokal.

Selain itu, dana pajak juga akan membantu pemerintah mengatasi masalah seperti kemacetan, polusi, dan kerusakan lingkungan, terutama di kawasan sensitif seperti Gunung Fuji.

Kebijakan ini menandai perubahan besar dalam pendekatan Jepang terhadap pariwisata. Setelah bertahun-tahun mengejar angka kunjungan tinggi, kini fokusnya beralih ke kualitas pengalaman dan keberlanjutan jangka panjang. (alf)

id_ID