Trump Tolak Tawaran Tarif Nol dari India: Sudah Terlambat

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melontarkan kritik tajam terhadap India terkait isu tarif perdagangan. Ia mengungkapkan bahwa New Delhi baru saja menawarkan penghapusan bea masuk untuk produk asal AS, menyusul kenaikan tarif besar yang diberlakukan Washington atas ekspor India.

Namun, menurut Trump, langkah itu datang terlalu lambat. “Mereka sekarang menawarkan pemangkasan tarif hingga nol, tetapi sudah terlambat. Seharusnya mereka sudah melakukannya bertahun-tahun yang lalu,” ujarnya melalui akun Truth Social, dikutip Reuters, Selasa (2/9/2025).

Kedutaan Besar India di Washington hingga kini belum memberikan tanggapan atas pernyataan tersebut. Pernyataan keras Trump muncul bertepatan dengan agenda Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang tengah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di China. Forum itu dipandang strategis, terutama karena China mendorong terciptanya tatanan ekonomi dan keamanan global baru yang lebih berpihak pada negara-negara berkembang atau Global South.

Ketegangan dagang kedua negara semakin tajam setelah AS menetapkan bea masuk hingga 50% terhadap sejumlah produk asal India. Sebelumnya, tarif hanya berada di kisaran 25%. Trump menegaskan kenaikan tersebut diberlakukan karena India tetap melanjutkan pembelian minyak dari Rusia, kebijakan yang dianggap bertentangan dengan sikap Washington. Tarif tambahan ini resmi berlaku mulai 27 Agustus lalu.

Langkah saling balas tarif itu menimbulkan tanda tanya besar mengenai masa depan hubungan perdagangan AS-India. Para pengamat menilai, meski India menawarkan relaksasi bea masuk, respons dingin dari Trump menunjukkan tensi bilateral masih jauh dari kata reda. (alf)

Presiden Trump: “Tanpa Tarif, AS Bisa Jadi Negara Dunia Ketiga”

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melontarkan peringatan keras setelah pengadilan banding federal menyatakan sebagian besar kebijakan tarif yang ia terapkan melanggar hukum. Trump menegaskan, pencabutan tarif bisa menyeret AS jatuh ke posisi “negara dunia ketiga”.

Putusan yang keluar pada Jumat lalu menyatakan Trump menyalahgunakan kewenangan darurat untuk menetapkan tarif. Menurut pengadilan, hanya Kongres yang berhak menetapkan kebijakan sepenting itu. Meski demikian, pengadilan tidak langsung membatalkan aturan, melainkan memberi waktu hingga pertengahan Oktober bagi pemerintah untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Trump yang meluncurkan tarif sejak April, menuding mitra dagang AS tidak adil dalam menciptakan keseimbangan perdagangan. Tarif yang dikenakan berkisar 10% hingga 41% mulai berlaku sejak 7 Agustus, mencakup berbagai negara termasuk Kanada, Meksiko, dan China, serta sebagian besar mitra dagang AS lainnya.

Dalam unggahan di platform Truth Social, Trump mengklaim kebijakan tersebut berhasil menarik investasi besar. “Lebih dari 15 triliun dolar telah diinvestasikan di Amerika, sebuah rekor. Sebagian besar investasi ini terjadi berkat tarif,” tulisnya. Ia menegaskan, jika keputusan pengadilan dibiarkan, “hampir semua investasi itu akan hilang dan Amerika akan kehilangan kejayaannya.”

Namun, kebijakan tarif Trump memang tidak luput dari kritik. Sejumlah anggota parlemen menilai kebijakan itu justru bisa merugikan ekonomi domestik. Para ekonom juga memperingatkan risiko resesi jika tensi perdagangan global terus meningkat.

Putusan pengadilan mencakup dua jenis tarif: tarif timbal balik terhadap banyak mitra dagang, serta tarif khusus untuk Kanada, Meksiko, dan China dengan dalih memerangi perdagangan narkoba. Adapun tarif terhadap baja, aluminium, dan otomotif asing tetap berlaku karena diberlakukan lewat payung hukum berbeda.

Trump bersikeras tarif adalah instrumen vital untuk melindungi manufaktur, memangkas defisit, dan mengamankan syarat perdagangan yang lebih adil. Bahkan, ia baru-baru ini menggandakan tarif untuk India hingga 50% dengan tuduhan membantu Rusia membeli minyak, serta mengancam langkah serupa terhadap China.

“Tanpa tarif, masa depan kita suram,” tegas Trump. “Amerika bisa kehilangan kekuatannya, dan itulah yang sedang diperjuangkan pengadilan kiri radikal.” (alf)

 

Rupiah Menguat Tipis, Dipengaruhi Ketidakpastian Tarif Dagang Trump

IKPI, Jakarta: Nilai tukar rupiah menutup perdagangan Selasa (2/9/2025) dengan penguatan tipis seiring meningkatnya ketidakpastian global, khususnya terkait tarif perdagangan yang diberlakukan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menjelaskan bahwa dinamika terbaru di AS memberi dorongan bagi rupiah. “Ketidakpastian meningkat setelah pengadilan banding pekan lalu menyatakan tarif perdagangan Trump ilegal,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip, Selasa (2/9/2025).

Meski begitu, Ibrahim menekankan bahwa tarif tersebut masih bisa berlaku hingga pertengahan Oktober. Trump sendiri disebut berencana menggugat putusan tersebut ke Mahkamah Agung. “Situasi ini menimbulkan keraguan terhadap arah kebijakan dagang AS, yang otomatis memengaruhi sentimen pasar,” tambahnya.

Pada penutupan perdagangan, rupiah menguat 5 poin atau 0,03 persen ke level Rp16.414 per dolar AS dibandingkan posisi sehari sebelumnya Rp16.419 per dolar AS. Sementara kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga mencatat penguatan, berada di Rp16.418 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.463 per dolar AS.

Menurut Ibrahim, ketidakpastian tarif dagang AS membuka peluang renegosiasi dengan sejumlah mitra utama Washington. “Apabila ada keputusan yang membatalkan tarif tersebut, maka pemerintah AS akan dipaksa mencari kesepakatan baru,” ujarnya.

Selain faktor perdagangan, pasar juga mencermati prospek kebijakan moneter AS. CME FedWatch Tool mencatat peluang 85 persen The Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini.

Padahal, data inflasi PCE (Personal Consumption Expenditure) Juli menunjukkan harga masih stagnan namun tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2 persen. Kondisi ini dinilai semakin memperkuat ekspektasi pemangkasan suku bunga demi menopang ekonomi AS. (alf)

 

 

 

 

 

Politisi Partai Golkar Ingatkan Publik: Jangan Ikut Seruan “Stop Bayar Pajak”

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbhakun mengimbau masyarakat tetap menjalankan kewajibannya membayar pajak di tengah merebaknya seruan “Stop Bayar Pajak” yang ramai di media sosial. Gelombang protes yang meluas di sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir dinilai berisiko menggerus kepatuhan fiskal.

Seruan itu muncul setelah mencuat rencana kenaikan tunjangan anggota DPR, yang memicu kekecewaan publik terhadap pengelolaan uang negara. Tidak sedikit warganet yang menggaungkan tagar #stopbayarpajak sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.

“Pajak harus tetap dibayar. Itu kewajiban kita kepada negara,” tegas Misbhakun saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2025).

Legislator Partai Golkar itu menyayangkan ajakan menolak pajak, karena menurutnya, konsekuensinya justru akan merugikan masyarakat luas.

Ia mencontohkan, sebagian besar belanja negara bergantung pada penerimaan pajak, mulai dari gaji tenaga pendidik, pegawai negeri, buruh hingga pembiayaan pendidikan dan pembangunan infrastruktur.

“Kalau pajak dihentikan, siapa yang akan membayar gaji guru, dosen, dan buruh? Pajak itu bagian dari ketaatan kita dalam bernegara,” jelasnya.

Ledakan di Media Sosial

Fenomena seruan “Stop Bayar Pajak” pertama kali viral sejak Kamis (28/8/2025), usai akun Instagram @storyrakyat_ dan @bem_si mengunggah poster protes dengan tagar #stopbayarpajak. Unggahan itu menuai lebih dari 1,5 juta tanda suka, 45,5 ribu komentar, dan dibagikan ulang oleh lebih dari 356 ribu pengguna hingga Selasa sore.

“Mulai sekarang lawan dengan #stopbayarpajak. Rakyat sengsara, aparat dan pejabat sejahtera,” demikian bunyi salah satu unggahan yang memicu reaksi luas.

Meskipun demikian, Misbhakun menekankan bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan sebaiknya disalurkan lewat jalur aspirasi yang konstitusional, bukan dengan mengabaikan kewajiban pajak.

“Kalau ada yang tidak setuju, sampaikan melalui mekanisme demokrasi. Jangan sampai merugikan negara dan masyarakat sendiri,” tutupnya. (alf)

 

 

Tak Hanya Senjata, Kuda Kavaleri TNI Juga Dapat Fasilitas Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali memberikan insentif fiskal, kali ini bukan untuk industri atau sektor usaha, melainkan bagi pasukan kavaleri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Melalui aturan baru, Kementerian Keuangan menanggung penuh pajak pertambahan nilai (PPN) atas pengadaan kuda kavaleri beserta perlengkapan pendukungnya.

Fasilitas pajak ini berlaku mulai 25 Agustus hingga 31 Desember 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, keputusan tersebut diambil untuk mendukung kesiapan alat pertahanan dan mendayagunakan kuda kavaleri yang hingga kini masih berperan penting dalam operasi maupun upacara kenegaraan.

Namun, fasilitas ini tidak berlaku sembarangan. Pengusaha yang memasok kuda dan perlengkapan kavaleri wajib membuat faktur pajak serta laporan realisasi dengan keterangan khusus “PPN ditanggung pemerintah sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2025”. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka PPN tetap menjadi beban pengusaha.

Adapun daftar barang yang mendapat fasilitas cukup panjang, mulai dari kuda batalyon kavaleri, pelana upacara, tali kekang, sanggurdi logam, hingga perlengkapan perawatan seperti sikat kuku, sisir logam, obat dan suplemen kuda. Bahkan, kandang kuda portable, seragam penunggang, serta perlengkapan latihan upacara juga masuk dalam daftar.

Secara keseluruhan, lebih dari 40 jenis barang pendukung kuda kavaleri dibebaskan dari PPN. Kebijakan ini menegaskan bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor pertahanan tidak sebatas pada persenjataan modern, tetapi juga pada kesiapan pasukan tradisional yang masih menjadi bagian penting dari wajah militer Indonesia. (alf)

 

 

 

 

 

Bapenda DKI: Mobil Lebih dari Satu Belum Tentu Kena Pajak Progresif

IKPI, Jakarta: Pemilik mobil lebih dari satu belum tentu otomatis dikenakan pajak progresif. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta menegaskan, aturan ini hanya berlaku bagi kendaraan yang tercatat atas nama pribadi dan tidak digunakan untuk kepentingan usaha.

“Pajak progresif punya dasar hukum yang jelas. Sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2024, pada Pasal 7 diatur bahwa yang terkena pajak progresif adalah kendaraan dengan kepemilikan orang pribadi,” kata Humas Bapenda DKI Jakarta, Herlina Ayu, Senin (1/9/2025).

Dalam beleid tersebut, tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditetapkan secara bertingkat: 2% untuk kendaraan pertama, 3% untuk kendaraan kedua, 4% untuk kendaraan ketiga, 5% untuk kendaraan keempat, dan 6% untuk kepemilikan kelima dan seterusnya.

Namun, terdapat pengecualian bagi kendaraan yang digunakan untuk usaha maupun operasional tertentu. Pasal 7 ayat (2) menyebut, kendaraan angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, serta kendaraan untuk kepentingan sosial dan keagamaan dikenakan tarif hanya 0,5%. Sementara kendaraan milik badan usaha dikenakan tarif tetap 2% tanpa skema progresif.

“Untuk kendaraan usaha memang tidak dikenakan pajak progresif, tetapi tetap ada tarif khusus yang harus dibayarkan. Sedangkan untuk badan usaha, tarifnya flat 2 persen,” tambah Herlina.

Dengan memahami aturan ini, para wajib pajak diharapkan dapat mengelola kewajiban pembayaran PKB secara lebih tepat. Hal ini juga menghindarkan kesalahpahaman, seolah semua pemilik mobil lebih dari satu pasti terkena pajak progresif. (alf)

 

 

 

 

Skema Bagi Hasil Pajak Karyawan Dirombak, Pemda Bakal Terima Sesuai Domisili Pekerja

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan perubahan besar dalam mekanisme pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan. Jika selama ini dana dibagi berdasarkan lokasi perusahaan atau pihak pemotong pajak, ke depan rencananya akan dihitung berdasarkan domisili pekerja.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyampaikan, skema baru ini sedang dalam tahap kajian. “Selama ini PPh 21 yang dipotong dan dibagihasilkan ke daerah mendasarkan diri pada lokasi pemotong. Nah, kami sedang melakukan exercise untuk menghitung berdasarkan domisili karyawan,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI, Selasa (2/9/2025).

Menurut Anggito, langkah ini bertujuan menciptakan rasa keadilan antardaerah. Dengan pembagian berbasis domisili, pemerintah daerah (pemda) akan menerima porsi DBH yang lebih mencerminkan jumlah penduduk pekerja di wilayahnya. “Mudah-mudahan lebih adil dan sejalan dengan aspirasi anggota DPD,” tambahnya.

Meski demikian, Anggito menegaskan bahwa skema ini hanya berlaku untuk DBH PPh 21 karyawan. Adapun untuk PPh Badan tetap mengikuti aturan lama, yakni tidak dibagihasilkan kepada daerah. “Pemungut di mana pun berada tidak akan memengaruhi pembagian DBH PPh Badan,” jelasnya.

Sebagai catatan, sesuai Pasal 2 PMK Nomor 202/PMK.07/2013, DBH PPh Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh 21 dibagikan sebesar 20% kepada daerah. Dari total itu, 8% dialokasikan ke provinsi dan 12% untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Dengan adanya rencana perubahan ini, peta distribusi DBH berpotensi mengalami pergeseran signifikan. Daerah dengan jumlah pekerja besar yang berdomisili namun bekerja di kota lain diprediksi akan lebih diuntungkan. (alf)

 

 

 

 

Demo Berkepanjangan Berpotensi Gerus Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Gelombang aksi demonstrasi yang meluas dalam beberapa hari terakhir diperkirakan tidak hanya mengganggu aktivitas perekonomian, tetapi juga dapat mengurangi penerimaan pajak negara.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai dunia usaha menjadi sektor paling terdampak dari stagnasi aktivitas akibat demonstrasi. Menurunnya produksi, terhambatnya distribusi, hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dipastikan akan mempersempit basis pajak yang bisa dipungut pemerintah.

“Penerimaan perpajakan pasti akan berkurang. Pertama, karena ekonomi melemah akibat demo yang berlarut. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan ikut menurun,” ujar Huda, Selasa (2/9/2025).

Menurutnya, pelemahan ekonomi akan langsung berimbas pada turunnya setoran pajak penghasilan badan, sementara melemahnya daya beli masyarakat akan menekan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN). “Orang akan menahan konsumsi karena situasi ke depan makin tidak pasti. Akibatnya, kepatuhan pajak juga berpotensi jatuh,” tambahnya.

Lebih jauh, Huda menekankan bahwa krisis kepercayaan publik menjadi ancaman serius bagi fiskal negara. Gelombang aksi yang dipicu ketidakadilan sosial menumbuhkan sinisme terhadap kebijakan pajak. “Masyarakat merasa terbebani pajak, sementara pengelolaan uang negara dianggap tidak transparan,” jelasnya.

Ia juga memperingatkan, bila tensi politik dan sosial tidak segera reda, maka pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini berisiko lebih rendah dari proyeksi lembaga internasional yang memperkirakan 4,7%. “Saya rasa realisasinya bisa jauh di bawah itu, kecuali pemerintah benar-benar memulihkan stabilitas. Kalau tidak, target optimistis pertumbuhan hampir mustahil tercapai,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

 

Sri Mulyani Pastikan 2026 Tanpa Pajak Baru, Fokus Tingkatkan Kepatuhan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada tahun 2026. Kendati demikian, target pendapatan negara tetap naik 9,8% menjadi Rp 3.147,7 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp 2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Sering kali muncul persepsi seolah-olah untuk meningkatkan pendapatan negara berarti harus menaikkan tarif pajak. Padahal, tidak ada kebijakan baru. Pajaknya tetap sama,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja virtual bersama DPD RI, Selasa (2/9/2025).

Ia menjelaskan, strategi utama pemerintah adalah memperkuat kepatuhan pajak. Wajib pajak yang mampu dan memiliki kewajiban tetap harus taat, sementara kelompok masyarakat dengan kemampuan terbatas akan diberikan perlindungan.

Contohnya, kebijakan perpajakan bagi UMKM masih berlanjut. Usaha dengan omzet hingga Rp 500 juta dibebaskan dari PPh, sedangkan omzet di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar hanya dikenakan pajak final 0,5%. “Itu bentuk keberpihakan pemerintah, sebab bila mengikuti PPh Badan, tarifnya 22%,” jelas Sri Mulyani.

Selain itu, sejumlah sektor juga mendapatkan keringanan pajak, seperti pendidikan, kesehatan, serta masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 60 juta per tahun yang tidak dipungut PPh. Menurutnya, kebijakan tersebut mencerminkan prinsip gotong royong dalam menjaga penerimaan negara sekaligus melindungi kelompok rentan.

Dari sisi pelayanan, pemerintah menyiapkan penyempurnaan Coretax System, memperluas pertukaran data, hingga memastikan perlakuan yang sama antara transaksi digital dan non-digital. “Kita terus meningkatkan joint program, termasuk pengawasan berbasis data dan intelijen, agar lebih konsisten,” tegasnya. (alf)

 

 

 

 

 

Pemkab Badung Temukan 19 Ribu Lebih Potensi Wajib Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Program pendataan potensi pajak daerah yang digerakkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung membuahkan hasil di luar ekspektasi. Melalui Tim Terpadu Optimalisasi Pajak Daerah (TOPD), Badung berhasil mengidentifikasi 19.829 potensi wajib pajak baru dari hasil pemetaan lapangan.

Padahal, berdasarkan data awal Sistem Online Single Submission (OSS), jumlah izin usaha yang tercatat hanya 40.060. Setelah dilakukan pendataan serentak sejak Juli 2025 selama 45 hari, total usaha yang terdata mencapai 46.074 unit. Setelah melalui tahap quality control (QC), data yang tervalidasi berjumlah 42.294 usaha.

Rinciannya, sebanyak 8.588 usaha sudah terdaftar sebagai wajib pajak, 19.829 usaha teridentifikasi sebagai potensi baru, sementara 13.905 usaha belum masuk kategori potensial pajak.

Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa mengapresiasi capaian tersebut saat rapat finalisasi pendataan di Puspem Badung, Senin (1/9/2025).

“Kami bangga dengan dedikasi tim di lapangan. Hasil ini menunjukkan kerja keras yang nyata. Proses validasi dan penerbitan NPWPD/NOPD selanjutnya harus segera ditindaklanjuti, agar potensi pajak ini bisa benar-benar memberi kontribusi bagi daerah,” tegas Adi.

Ke depan, tahapan lanjutan yang akan dilakukan yakni validasi data, penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah/Nomor Objek Pajak Daerah (NPWPD/NOPD), penetapan nilai pajak, hingga proses penagihan.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Badung, Made Agus Aryawan, menegaskan pendataan TOPD berjalan sukses.

Menurutnya, ada empat poin penting dari hasil kegiatan ini. Pertama, realisasi pendataan tercapai 100 persen tepat waktu. Kedua, jumlah usaha yang terdata melampaui target awal. Ketiga, data yang masuk sudah melewati QC sehingga risiko kesalahan lebih kecil. Keempat, masih ada kendala teknis di lapangan, terutama karena sulit bertemu langsung dengan pemilik usaha, sehingga perlu validasi lanjutan sebelum NPWPD/NOPD diterbitkan.

Dengan hasil ini, Pemkab Badung optimistis optimalisasi pajak daerah dapat meningkatkan kemandirian fiskal sekaligus memperkuat sumber pendapatan asli daerah (PAD). (alf)

 

 

 

 

 

id_ID