Bank Dunia: Coretax dan TER Penyebab Turunnya Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI. Jakarta: Bank Dunia memperingatkan potensi penurunan penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2025, sebelum pulih secara bertahap pada 2026 dan 2027. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 yang dirilis pada Senin (23/6/2025), rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan hanya sebesar 9,9% pada 2025. Angka ini turun dari 10,1% pada 2024 dan 10,3% pada 2023, serta melanjutkan tren penurunan dari level 10,4% pada 2022.

Pemulihan rasio pajak baru diperkirakan terjadi pada 2026, kembali ke level 10,3%, dan meningkat tipis menjadi 10,5% pada 2027. “Pendapatan pajak pun menurun sebesar 0,6% dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” tulis Bank Dunia dalam laporan rutinnya, ‘Indonesia Economic Prospects’ edisi Juni 2025, dikutip, Senin (23/6/2025).

Bank Dunia mengidentifikasi dua kategori penyebab utama penurunan ini: tekanan sementara dan tantangan struktural.

Sejumlah kebijakan baru dan kendala administratif menjadi faktor sementara yang menekan penerimaan. Salah satunya adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax sejak Januari 2025 yang mengalami gangguan teknis pada tahap awal. Hal ini menyebabkan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak, yang berdampak pada tertundanya penerimaan negara.

Selain itu, penerapan sistem tarif baru untuk pemotongan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP), atau yang dikenal sebagai tarif TER, juga berdampak pada cash flow penerimaan. Kelebihan pembayaran pada 2024 menyebabkan lonjakan pengembalian pajak (refund) di awal 2025.

Dari sisi struktural, Bank Dunia menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor komoditas mentah. Turunnya harga komoditas global menekan basis penerimaan pajak, sekaligus menunjukkan rapuhnya kontribusi sektor manufaktur dan industri bernilai tambah tinggi dalam struktur ekonomi nasional.

Pelemahan daya beli masyarakat turut menjadi kontributor utama menurunnya kinerja penerimaan. “Permintaan domestik yang lebih rendah berdampak pada penerimaan pajak dan bukan pajak,” tulis laporan tersebut.

Bank Dunia juga mencatat sejumlah kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Salah satunya adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pada 2025 namun belum terealisasi, sehingga potensi pendapatan tambahan yang telah diasumsikan dalam APBN gagal dikumpulkan.

Tak hanya itu, pengalihan dividen BUMN langsung ke lembaga pengelola investasi, Danantara, membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini menyusut sekitar 0,4% dari PDB per tahun. Sebagai upaya kompensasi, pemerintah diketahui menaikkan tarif royalti tambang pada April 2025.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai penyesuaian, Bank Dunia menekankan perlunya perbaikan struktural dan penguatan basis pajak jangka panjang agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi komoditas atau kebijakan sesaat.

Dengan potensi shortfall yang membayangi, Bank Dunia menilai tahun 2025 akan menjadi ujian berat bagi kebijakan fiskal Indonesia. Konsistensi reformasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan dari sektor bernilai tambah dipandang krusial untuk memastikan keberlanjutan fiskal di masa depan. (alf)

 

Pengembang Minta Pemerintah Perpanjang PPN DTP Rumah Hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta pemerintah untuk memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 100% untuk pembelian rumah hingga akhir tahun ini. Harapan itu disampaikan langsung kepada Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait.

Sekretaris Jenderal Apersi, Deddy Indrasetiawan, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyampaikan secara resmi usulan perpanjangan kepada pemerintah. “Mudah-mudahan awal Juli kita dapat kabar baik. Harapannya PPN DTP 100% bisa diperpanjang sampai Desember 2025,” ujar Deddy di Kantor Apersi, Jumat (20/6/2025).

Tak hanya itu, Ketua Umum Apersi, Djunaidi Abdillah, bahkan mengusulkan agar kebijakan pembebasan PPN dapat diberlakukan secara penuh selama satu tahun. Menurutnya, kepastian kebijakan sangat krusial bagi pelaku usaha di sektor perumahan. “Kalau hanya per setengah tahun, pengembang jadi ragu untuk mulai bangun rumah. Padahal membangun rumah ready stock butuh waktu setidaknya enam bulan,” ujarnya.

Di sisi lain, Maruarar Sirait atau Ara mengonfirmasi telah mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar insentif PPN DTP 100% tetap diberlakukan hingga akhir 2025. “Saya sudah sampaikan usulan ke Menteri Keuangan. Ini hasil masukan dari para pengembang yang perlu kita pertimbangkan,” kata Ara di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Ara menjelaskan bahwa keberlanjutan insentif PPN DTP akan berkontribusi besar terhadap percepatan pertumbuhan sektor properti dan daya beli masyarakat. “Kita ingin menjaga momentum. Kalau bisa terus 100% ya kita perjuangkan,” tegasnya.

Sekadar informasi, pemerintah saat ini menetapkan skema insentif PPN DTP 100% untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar berlaku dari Januari hingga Juni 2025. Mulai Juli hingga Desember, insentif dikurangi menjadi 50%. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efek berganda dan penciptaan lapangan kerja di sektor konstruksi dan perumahan. (alf)

 

Efisiensi PPN Indonesia Masih Rendah, AMRO Dorong Reformasi Ambang Batas dan Pengecualian Pajak

IKPI, Jakarta: ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengkritisi performa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan. Dalam laporan terbarunya, AMRO menilai rendahnya efisiensi PPN nasional dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang terlalu luas dan ambang batas registrasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dinilai terlalu tinggi.

“Efisiensi PPN Indonesia tetap rendah dibandingkan beberapa negara tetangga, terutama karena banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan,” tulis AMRO dalam laporan yang dikutip Senin (22/6/2025).

Efisiensi tersebut diukur melalui rasio C-efficiency—perbandingan antara penerimaan aktual PPN dengan potensi maksimalnya. Data AMRO mencatat, Indonesia hanya mampu mencatat C-efficiency sebesar 46,3% selama pandemi 2019–2020, turun dari rata-rata 53,4% pada periode 2014–2019.

Meskipun tren meningkat sejak 2021 seiring pemulihan ekonomi, performa Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Thailand dan Vietnam.

“Rendahnya C-efficiency juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan PPN belum dimanfaatkan secara optimal, baik karena pengecualian pajak maupun kelemahan dalam sistem pemungutan,” ujar AMRO.

Lebih lanjut, AMRO menggarisbawahi membengkaknya belanja perpajakan pemerintah yang diproyeksikan mencapai Rp445,5 triliun pada 2025 atau setara 1,83% dari PDB. Angka ini meningkat 11,4% dibanding tahun sebelumnya. Dari total tersebut, insentif PPN menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp265,6 triliun atau sekitar 1% dari PDB.

Selain itu, ambang batas omzet tahunan untuk wajib registrasi PKP yang ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar (sekitar US$315.100) turut dinilai sebagai penghambat perluasan basis pajak. Bandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina yang memberlakukan batas jauh lebih rendah, bahkan di bawah US$55.000.

Meskipun kebijakan ini awalnya ditujukan untuk mendorong UMKM dan mempermudah kepatuhan pajak, praktiknya kerap dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menghindari kewajiban PPN dengan cara sengaja membatasi omzet.

“Ambang batas yang tinggi justru mendorong pelaku usaha menjaga pendapatan mereka di bawah Rp4,8 miliar. Ini mempersempit basis pajak dan memperlambat pertumbuhan bisnis,” tambah AMRO.

Sebagai solusi, AMRO merekomendasikan agar Indonesia melakukan reformasi menyeluruh terhadap kebijakan pengecualian PPN dan mempertimbangkan penurunan ambang batas registrasi PKP.

“Menurunkan ambang batas akan memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara secara keseluruhan,” tulis lembaga riset tersebut. (alf)

 

Kepastian Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% Tunggu Jadwal Pembahasan Antarkementerian

IKPI, Jakarta: Pengusaha sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih harus bersabar menanti kejelasan soal perpanjangan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Hingga akhir semester I/2025, aturan resmi yang menjadi dasar hukum perpanjangan insentif tersebut belum juga diterbitkan pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 masih berjalan. Fokus utama revisi tersebut adalah memperpanjang masa berlaku tarif PPh Final 0,5% bagi WP OP UMKM, yang sejatinya telah berakhir pada akhir 2024.

“Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” kata Bimo, dikutip Minggu (22/6/2025).

Ia tidak merinci kapan jadwal pembahasan akan digelar, maupun target waktu penyelesaian revisi regulasi tersebut. Melalui PP 55/2022, UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun mendapat fasilitas PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto, yang berlaku selama maksimal tujuh tahun bagi WP OP, sejak pertama kali terdaftar sebagai wajib pajak.

Dengan ketentuan itu, pelaku usaha yang terdaftar pada 2018 sudah mencapai batas waktu tujuh tahun pada akhir 2024, dan wajib beralih ke sistem pembukuan serta tarif umum PPh pada tahun pajak 2025. Namun, pada akhir tahun lalu, pemerintah sempat menyampaikan secara lisan bahwa masa berlaku insentif tersebut akan diperpanjang. Hanya saja, hingga kini belum ada regulasi teknis yang mengukuhkan kebijakan itu.

Tak hanya soal perpanjangan waktu, revisi PP 55/2022 juga disebut-sebut akan memperluas cakupan penerima insentif. Jika sebelumnya hanya berlaku bagi WP OP, ke depan insentif serupa rencananya akan diberikan kepada WP Badan berbentuk koperasi, CV, firma, PT, dan badan usaha milik desa, selama omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

Insentif ini merupakan bagian dari belanja perpajakan atau tax expenditure pemerintah, yang nilainya cukup signifikan. Pada 2024, belanja perpajakan jenis Pajak Penghasilan tercatat mencapai Rp129,8 triliun. Tahun ini, angkanya diperkirakan naik menjadi Rp138,6 triliun, dan pada 2025 melonjak ke Rp144,7 triliun.

Ketidakpastian regulasi ini membuat banyak pelaku UMKM kebingungan dalam menyusun strategi perpajakan untuk tahun berjalan. Di sisi lain, percepatan kejelasan aturan dinilai penting agar pelaku usaha tidak terjebak dalam ketidakpastian fiskal, sembari tetap menjaga keberlanjutan fiskal negara.

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mempertanyakan langkah pemerintah yang belum juga membuahkan hasil terkait revisi beleid tersebut.

“Kan ini harus ada perubahan di PP, karena ditetapkan di awal di PP. Nah sekarang PP-nya belum terbit. Bagaimana dengan pembayaran 0,5% itu PPh final?.. Wajib Pajak jadi ragu-ragu. Saya mau bayar, pakai yang mana? 0,5% atau normal?” ujar Vaudy di Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025). (alf)

 

PP 28/2025 Tegaskan OSS sebagai Gerbang Utama Insentif Pajak Investasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Regulasi ini menegaskan kembali peran strategis sistem Online Single Submission (OSS) sebagai kanal utama pengajuan berbagai insentif perpajakan bagi pelaku usaha dan investor.

Melalui PP 28/2025, OSS tidak hanya menjadi sistem untuk mengurus perizinan usaha berbasis risiko, tetapi juga menyediakan subsistem fasilitas penanaman modal. Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 235 ayat (1) menjelaskan bahwa subsistem tersebut dapat diakses menggunakan hak akses tertentu oleh pelaku usaha atau instansi terkait.

Dalam praktiknya, sistem OSS kini mencakup fitur pengajuan berbagai insentif strategis, antara lain:

• Pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan dalam rangka pembangunan atau pengembangan industri;

• Pembebasan bea masuk atas impor barang modal untuk proyek pembangkitan listrik bagi kepentingan umum;

• Fasilitas bea masuk untuk kegiatan pertambangan sesuai kontrak karya;

• Tax holiday bagi industri pionir;

• Tax allowance untuk investasi di sektor atau wilayah tertentu;

• Super deduction vocational, yakni pengurangan penghasilan bruto untuk program vokasi, pemagangan, dan pelatihan berbasis kompetensi;

• Super deduction R&D, untuk kegiatan litbang di dalam negeri;

• Investment allowance, berupa pengurangan penghasilan neto atas investasi di industri padat karya.

Langkah ini disebut sebagai bentuk one gate policy dalam pelayanan insentif fiskal. “Investor tidak lagi perlu berpindah kanal atau platform. Semuanya bisa dilakukan lewat OSS, yang sudah terintegrasi dengan peraturan teknis seperti PMK 130/2020 dan PMK 69/2024,” kata aturan tersebut.

Sebagai catatan, integrasi fitur insentif perpajakan ke dalam OSS sejatinya bukan hal baru. Namun, PP 28/2025 memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dan memperluas jangkauan fasilitas, sejalan dengan upaya pemerintah menciptakan iklim investasi yang ramah dan efisien.

Sistem OSS kini memiliki tujuh subsistem utama, yaitu: pelayanan informasi, persyaratan dasar, perizinan berusaha, kemitraan, pengawasan, pengawasan berbasis risiko, serta fasilitas penanaman modal.

OSS juga wajib digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga pusat, pemerintah daerah, pengelola kawasan ekonomi khusus, hingga pelaku usaha besar maupun kecil. (alf)

 

 

Italia Pangkas Pajak Karya Seni Jadi 5%, 

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia resmi memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan karya seni dari 22% menjadi hanya 5%. Kebijakan ini diharapkan menjadi angin segar bagi sektor seni yang selama ini tertinggal dibanding negara tetangga di Eropa.

“Penurunan ini adalah keputusan bersejarah. Tarif PPN atas karya seni akhirnya turun menjadi 5% dari sebelumnya 22%,” kata Menteri Kebudayaan Italia, Alessandro Giuli, seperti dikutip dari ft.com, Senin (23/6/2025).

Menurut Giuli, keputusan ini bukan semata soal fiskal, tetapi merupakan langkah strategis untuk memulihkan daya saing dunia seni Italia. Ia menekankan bahwa seni merupakan bagian integral dari identitas nasional, dan sudah saatnya negara hadir untuk mendukung pelaku seni mulai dari galeri, pedagang karya seni, hingga seniman dan akademisi.

“Dengan penurunan PPN, kita menciptakan peluang baru bagi ekosistem seni untuk tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Langkah ini muncul setelah desakan kuat dari komunitas seni. Sebelumnya, lebih dari 500 seniman mengirim surat terbuka kepada Perdana Menteri Giorgia Meloni, meminta agar tarif PPN disesuaikan dengan standar Eropa. Mereka menilai PPN tinggi selama ini membuat karya seni Italia kalah bersaing di pasar internasional.

Dalam surat tersebut, para seniman memperingatkan bahwa tanpa reformasi pajak, Italia terancam menjadi “gurun kebudayaan”. Apalagi, negara-negara seperti Jerman dan Prancis sudah lebih dulu menurunkan PPN untuk seni: 7% di Jerman dan 5,5% di Prancis untuk karya yang dijual langsung oleh senimannya.

Sebenarnya, rencana penurunan PPN telah muncul sejak Februari 2025, namun sempat tertunda akibat kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan dianggap sebagai “hadiah” bagi kalangan elit.

Kini, dengan resmi diberlakukannya tarif baru, pemerintah berharap seni tak lagi dilihat sebagai simbol kemewahan, melainkan sebagai motor penggerak budaya dan ekonomi kreatif.

“Italia tak boleh kalah dalam hal yang menjadi napas jiwanya sendiri,” pungkas Giuli. (alf)

 

 

DJP Kaltimtara: Penerimaan Neto Turun Tajam, Pajak Lain Tumbuh 655%

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) mencatat realisasi penerimaan pajak bruto sebesar Rp11,31 triliun hingga Mei 2025. Meskipun terlihat impresif, angka ini ternyata mengalami kontraksi 5,80% dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Kaltimtara, Teddy Heriyanto, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak secara neto bahkan menyusut lebih tajam, yakni 48,61%, dengan realisasi hanya Rp5,03 triliun. Penurunan ini menandai tantangan serius yang dihadapi otoritas pajak di wilayah tersebut dalam menjaga stabilitas penerimaan di tengah dinamika ekonomi yang berubah cepat.

“Penerimaan pajak kami masih ditopang oleh beberapa jenis pajak utama seperti PPh Non-Migas, PPN, PPnBM, serta PBB,” kata Teddy dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).

PPh Non-Migas secara bruto tercatat tumbuh 10,55% menjadi Rp5,58 triliun. Namun, kenyataannya tidak seindah angka bruto tersebut. Dari sisi neto, pajak ini justru terkontraksi 51,37% menjadi Rp2,5 triliun, menunjukkan adanya tantangan besar dalam pengembalian pajak atau restitusi yang meningkat tajam.

Sementara itu, penerimaan bruto dari PPN dan PPnBM menyumbang Rp5,4 triliun, tetapi juga mengalami penurunan 17,16%. Penurunan lebih dalam terlihat pada penerimaan neto yang anjlok hingga 57,63%, hanya mencapai Rp1,9 triliun.

Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga ikut melemah. Tercatat sebesar Rp0,225 triliun secara bruto (turun 47,49%) dan Rp0,207 triliun secara neto (turun 51,36%).

Meski begitu, masih ada secercah harapan dari kelompok pajak lainnya. Jenis pajak yang tidak masuk dalam kategori utama justru mencatat lonjakan luar biasa sebesar 653,7% secara bruto dengan realisasi Rp0,109 triliun. Dari sisi neto, pertumbuhannya bahkan mencapai 655,35% menjadi Rp0,108 triliun. Ini menjadi penanda bahwa ada potensi baru yang bisa digali lebih dalam oleh otoritas pajak.

Teddy menegaskan bahwa seluruh unit vertikal di bawah Kementerian Keuangan tetap solid dan aktif berkoordinasi dalam semangat “Kemenkeu Satu” untuk menjaga ketahanan fiskal dan memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat. Salah satu bentuk sinergi itu terlihat dalam pelaksanaan Rapat Koordinasi Asset Liability Committee (ALCO) Regional Kalimantan Timur dan Utara yang digelar baru-baru ini.

“Koordinasi lintas unit sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara penerimaan dan belanja negara. Kita harus saling mendukung, terutama di tengah tantangan fiskal yang semakin kompleks,” tutup Teddy. (alf)

 

Kanada Tetap Terapkan Pajak Digital, Siap Hadapi Tekanan Amerika Serikat

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kanada memastikan akan tetap memberlakukan pajak layanan digital (digital services tax/DST) mulai 30 Juni 2025, meskipun mendapat tekanan kuat dari Amerika Serikat dan pelaku industri teknologi global. Kebijakan ini akan dikenakan secara retroaktif sejak 2022 dan diperkirakan dapat mengumpulkan penerimaan hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp32 triliun (kurs Rp16.000 per dolar AS).

“Pajak layanan digital sudah disahkan Parlemen dan akan diterapkan. Ini adalah keputusan final,” tegas Menteri Keuangan Kanada François-Philippe Champagne saat berbicara kepada wartawan menjelang rapat kabinet di Gedung Parlemen, dikutip Sabtu (20/6/2025).

Pajak ini akan membebani perusahaan digital raksasa seperti Amazon, Google, Meta, Uber, dan Airbnb sebesar 3% atas pendapatan dari pengguna di Kanada. Objek pajaknya meliputi layanan periklanan digital, platform media sosial, pasar daring, dan penjualan data pengguna.

Ketegangan dengan AS Meningkat

Langkah berani Kanada ini memicu ketegangan baru dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Dalam surat kepada pemerintah Kanada, 21 anggota Kongres AS menyebut bahwa perusahaan Amerika akan menanggung hingga 90% dari total beban DST. Pemerintah AS pun mengancam akan mengambil langkah balasan, termasuk kebijakan yang bisa berdampak pada investasi dan dana pensiun warga Kanada.

Presiden Kamar Dagang Amerika di Kanada, Rick Tachuk, bahkan menyebut DST sebagai “provokasi” yang dapat menggagalkan perundingan perdagangan antara kedua negara. “Menjatuhkan pajak retroaktif seperti ini bukan strategi negosiasi, justru sebaliknya, ini memperkeruh suasana,” ujarnya.

Kamar Dagang Kanada pun turut mendesak agar pemerintah menunda penerapan DST demi menjaga hubungan dagang bilateral tetap kondusif. “Jika pemerintah bisa menyesuaikan tenggat waktu untuk tarif baja dan aluminium, mengapa tidak dengan pajak digital?” tanya Wakil Presiden Eksekutif Kamar Dagang Kanada, Matthew Holmes.

Namun bagi Champagne, DST bukan sekadar konflik dua negara. Ia menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari upaya global untuk menciptakan rezim pajak digital yang adil, seiring ketertinggalan sistem perpajakan internasional dalam menjangkau ekonomi digital lintas negara.

Pajak digital sejatinya telah menjadi janji kampanye Partai Liberal Kanada sejak Pemilu 2019. Namun, implementasinya tertunda karena negosiasi global yang dipimpin oleh OECD berjalan lambat. Kini, mengikuti langkah Prancis dan Inggris, Kanada memilih menempuh jalur unilateral demi memastikan keadilan fiskal.

Pemerintah Kanada memperkirakan DST akan menghasilkan pemasukan hingga CAD 7,2 miliar atau sekitar Rp86 triliun dalam lima tahun ke depan.

AS Tarik Diri dari Konsensus Global

Situasi semakin kompleks setelah Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari proses multilateral perumusan pajak digital. Menurut pakar hukum digital dari Universitas Ottawa, Michael Geist, kebijakan unilateral Kanada kini menjadi sasaran empuk tekanan politik Washington.

Geist menilai, perusahaan teknologi AS yang punya akses kuat ke Gedung Putih kemungkinan akan mendorong penghapusan DST sebagai syarat dalam negosiasi dagang. Hal senada disampaikan Meredith Lilly, profesor dari Universitas Carleton. Ia memperingatkan bahwa aturan lain seperti Undang-Undang Streaming Daring Kanada juga berpotensi menjadi target penolakan AS.

Meski pasar Kanada bukan yang terbesar bagi raksasa teknologi AS, pengaruh politik yang menyertai tekanan dari Kongres dan Gedung Putih membuat posisi Kanada menjadi semakin rumit. Namun sejauh ini, Ottawa tetap bergeming.

“Siapa pun yang mengambil keuntungan dari pasar Kanada, harus ikut membayar kewajibannya secara adil,” kata Champagne. (alf)

 

 

 

AMRO Dorong Indonesia Percepat Reformasi Pajak dan Perkuat Belanja Produktif

IKPI, Jakarta: Lembaga riset ekonomi regional, ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya mobilisasi pendapatan dan merasionalisasi belanja negara guna menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Minggu (22/6/2025), AMRO menekankan bahwa reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan perlu dipercepat untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara.

“Kebijakan pajak dan reformasi administrasi harus dimajukan untuk meningkatkan pendapatan,” tulis AMRO dalam pernyataannya.

AMRO mengapresiasi upaya efisiensi anggaran yang telah dilakukan pemerintah, termasuk pemangkasan belanja yang dinilai tidak esensial dan perbaikan dalam penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran. Efisiensi ini, menurut AMRO, membuka ruang fiskal yang lebih luas untuk pembiayaan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, serta program mitigasi perubahan iklim.

Salah satu langkah fiskal yang juga disorot adalah rencana pemerintah melakukan skema debt switch atas surat utang negara yang diterbitkan selama masa pandemi. Kebijakan ini dianggap strategis jika dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan selaras dengan stabilitas fiskal-moneter.

“Upaya harus diperkuat sehubungan dengan keterlibatan investor obligasi dan pendalaman pasar obligasi,” tulis AMRO.

Di sisi struktural, AMRO menekankan perlunya akselerasi reformasi ekonomi untuk mendorong diversifikasi dan peningkatan produktivitas. Hilirisasi sumber daya alam harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas sektor pertanian, manufaktur, dan jasa terutama pariwisata sebagai pendorong penciptaan lapangan kerja.

Penguatan kapasitas pemerintahan daerah juga dinilai krusial untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah. Dalam hal ini, peluncuran Lembaga Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada tahun 2025 dinilai sebagai inisiatif strategis. Namun, AMRO mengingatkan pentingnya rencana investasi yang kredibel untuk membangun kepercayaan investor.

Untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI), AMRO mendorong Indonesia untuk memperkuat rantai pasok lokal, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, memperbaiki infrastruktur, serta menciptakan iklim regulasi yang mendukung kegiatan usaha.(alf)

 

 

 

 

PER-51/PJ/2009 Resmi Dicabut: Aturan Natura Diperbarui

IKPI, Jakarta: Peraturan Dirjen Pajak PER-51/PJ/2009 resmi dicabut seiring terbitnya PER-8/PJ/2025 pada 21 Mei 2025. Beleid lawas tersebut sebelumnya menjadi pedoman teknis untuk pemberian kupon makan dan natura tertentu yang bisa diakui sebagai pengurang penghasilan bruto pemberi kerja.

PER-51/PJ/2009 merupakan turunan dari PMK 83/2009 dan mengatur secara rinci:

• Besaran kupon makan/minum yang bisa diberikan kepada pegawai yang tidak dapat mengakses fasilitas makan di kantor,

• Penetapan daerah tertentu terkait pemberian natura, dan

• Batasan sarana serta fasilitas yang diperbolehkan.

Dalam praktiknya, aturan ini memungkinkan pengusaha mengurangi beban pajak dengan tetap memberikan manfaat bagi pekerja, sepanjang nilainya wajar. Misalnya, nilai kupon makan dinilai wajar apabila tidak melebihi biaya penyediaan makan di kantor.

Namun, relevansi PER-51 mulai tergerus dengan hadirnya regulasi baru seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PP 50/2022, dan PMK 66/2023. Kini, seluruh ketentuan mengenai natura telah diatur ulang secara lebih komprehensif, membuat PER-51 tidak lagi relevan dengan kerangka regulasi terkini. (alf)

id_ID