Celios Usulkan PPN Turun Jadi 9%, Klaim Bisa Dongkrak Ekonomi Nasional

IKPI, Jakarta: Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) mendorong pemerintah untuk memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% mulai Juni 2025. Usulan ini diyakini bisa memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa penurunan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa lebih terjangkau sehingga mendorong masyarakat untuk lebih banyak berbelanja. “Dengan PPN 9%, daya beli meningkat, konsumsi ikut terkerek, dan itu berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Ia juga menekankan bahwa meski tarif pajak turun, pendapatan negara tidak otomatis merosot. Sebaliknya, menurut Bhima, potensi penerimaan bisa tetap positif karena akan tergantikan oleh meningkatnya penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) seperti PPh badan dan PPh 21.

Lebih lanjut, Bhima menyebut sektor industri pengolahan terutama yang fokus pada pasar domestik akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari pemangkasan tarif ini. Ia mengingatkan bahwa sekitar seperempat penerimaan pajak berasal dari sektor tersebut.

“Beberapa negara telah lebih dulu menurunkan tarif PPN sebagai strategi dorong konsumsi, seperti Vietnam yang menurunkan PPN dua persen hingga 2026. Jerman dan Irlandia juga menerapkan hal serupa pascapandemi,” tambahnya.

Tak hanya soal PPN, Celios juga menyoroti pentingnya menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk meningkatkan penghasilan riil masyarakat. Menurut Bhima, saat ini PTKP sebesar Rp4,5 juta per bulan sudah tidak relevan, dan idealnya dinaikkan menjadi Rp7–8 juta per bulan agar kelas menengah bisa ikut terdorong daya belinya.

Bhima menilai paket stimulus ekonomi yang baru saja diluncurkan pemerintah yang mencakup diskon transportasi dan bantuan sosial senilai Rp24,44 triliun masih belum cukup untuk menggerakkan konsumsi secara luas, apalagi tanpa insentif fiskal seperti pemangkasan tarif listrik dan relaksasi pajak.

“Gejala pelemahan ekonomi sudah tampak dari deflasi Mei 2025, terutama pada kelompok makanan dan peralatan rumah tangga. Ini bukan sekadar efek pasca-Lebaran, tapi sinyal melemahnya permintaan,” ujarnya.

Menurut Bhima, jika tidak ada langkah cepat dan komprehensif, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di semester kedua 2025 bisa meningkat. Oleh karena itu, Celios mendesak agar insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPN dan perluasan PTKP segera dijadikan bagian dari kebijakan fiskal nasional. (alf)

 

Pemerintah Gelontorkan Rp 430 Miliar untuk Subsidi Tiket Pesawat Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan stimulus fiskal guna mendongkrak sektor transportasi udara dan menjaga daya beli masyarakat. Kali ini, anggaran sebesar Rp 430 miliar disiapkan untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 6% bagi tiket pesawat kelas ekonomi.

Kebijakan insentif ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang pernah diterapkan selama periode mudik Lebaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) ini diharapkan mampu menekan harga tiket dan meningkatkan mobilitas masyarakat.

“Diskon tiket pesawat yang kita berikan saat Lebaran lalu akan kita terapkan kembali. Kali ini, PPN sebesar 6% untuk tiket pesawat ekonomi akan ditanggung oleh pemerintah,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Senin (2/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, dana tersebut ditargetkan dapat memberikan manfaat bagi sekitar enam juta penumpang. Dengan adanya subsidi ini, masyarakat diharapkan dapat merasakan penurunan harga tiket tanpa membebani maskapai penerbangan.

“Kami berharap kebijakan ini bisa membuat harga tiket lebih terjangkau dan mendorong peningkatan jumlah penumpang,” jelasnya.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mempercepat pemulihan sektor transportasi dan pariwisata, dua bidang yang sempat terpukul akibat pandemi dan tekanan ekonomi global.

Program PPN DTP untuk tiket pesawat ini akan berlaku untuk rute domestik dan hanya berlaku untuk kelas ekonomi, sehingga menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan dukungan harga. (alf)

 

PER-11/PJ/2025 Perluasan Kewajiban Pemotongan PPh

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang dikenai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan ini dituangkan dalam PER-11/PJ/2025, yang mulai berlaku menggantikan ketentuan lama.

Mengacu pada Pasal 16 ayat (2) peraturan tersebut, dua kelompok orang pribadi kini ditetapkan sebagai pemotong PPh, yaitu:

• Orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, dan

• Orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha.

Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyelenggarakan pembukuan. Dengan kata lain, kewajiban pemotongan tidak berlaku bagi pelaku usaha atau profesional yang masih menggunakan pencatatan sederhana.

Terdapat dua jenis pajak yang wajib dipotong:

• PPh Pasal 23 atas sewa selain tanah dan/atau bangunan, dengan tarif 2% dari jumlah bruto.

• PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan, dikenakan tarif 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.

Setiap pemotongan PPh tersebut harus dibuktikan dengan penerbitan Bukti Potong Unifikasi, sebagai dokumen formal pelaporan.

Dengan berlakunya PER-11/2025, maka dua ketentuan sebelumnya KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996 resmi dicabut. Sebelumnya, subjek pemotong PPh terbatas pada profesi tertentu, seperti akuntan, dokter, notaris, dan pengusaha dengan pembukuan. Kini, cakupannya mencakup lebih banyak pelaku ekonomi perorangan.

Aturan ini menjadi sinyal bahwa DJP tengah memperluas basis pemungutan PPh secara sistematis, termasuk dari sektor-sektor informal yang telah memiliki kapasitas administrasi memadai. (alf)

 

 

Layanan “Kemenkeu Satu” Hadir di Bandara Kualanamu, Gabungkan Pajak dan Bea Cukai dalam Satu Loket

IKPI, Jakarta: Inovasi layanan publik kembali diwujudkan oleh Kementerian Keuangan melalui peluncuran loket “Kemenkeu Satu” di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang. Layanan ini menjadi terobosan baru karena mengintegrasikan berbagai pelayanan fiskal dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam satu titik layanan terpadu di kawasan bandara.

 

Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I, Arridel Mindra, menjelaskan bahwa keberadaan loket ini bertujuan memperluas akses masyarakat terhadap informasi dan layanan perpajakan serta kepabeanan. “Loket ini bukan sekadar tempat mengurus tax refund atau pelaporan barang bawaan, tetapi juga menjadi pusat edukasi fiskal bagi penumpang yang belum familiar dengan kewajiban perpajakan lintas negara,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).

 

Selain memberikan kemudahan bagi wisatawan asing untuk mengklaim pengembalian pajak (VAT refund), layanan ini juga mencakup pelaporan barang bernilai tinggi seperti perhiasan, pelaporan re-impor barang, hingga deklarasi uang tunai dalam jumlah besar. Di sisi kepabeanan, loket ini juga melayani pelaporan ekspor barang yang dikenai bea keluar, termasuk komoditas strategis seperti sawit, kayu, nikel, dan logam lainnya.

 

Arridel menambahkan, kehadiran layanan ini merupakan hasil kolaborasi antara KPP Pratama Lubuk Pakam, KPPBC TMP B Kualanamu, dan pengelola bandara. “Kolaborasi ini menekan biaya operasional sekaligus memperkuat citra pelayanan fiskal yang modern dan terintegrasi. Penumpang juga dimudahkan dengan informasi digital lewat banner elektronik yang tersedia di area bandara,” tuturnya.

 

Menariknya, layanan ini menjadi yang pertama di Indonesia yang menyatukan pelayanan DJP dan DJBC secara fisik di lokasi bandara internasional. Hal ini menunjukkan arah baru reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang tidak hanya menekankan pada penerimaan negara, tetapi juga pada kemudahan akses layanan publik.

 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara telah meresmikan layanan “Kemenkeu Satu” ini pada Minggu (1/6/2025). Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dalam menghadirkan layanan yang efisien dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.

 

“Ini bukti bahwa reformasi birokrasi di Kemenkeu juga berfokus pada pelayanan yang mudah dijangkau dan relevan bagi publik,” ujarnya.

Dengan hadirnya layanan “Kemenkeu Satu”, Bandara Kualanamu kini tidak hanya menjadi gerbang internasional Sumatera Utara, tetapi juga contoh nyata integrasi layanan fiskal yang progresif dan berpihak pada masyarakat. (alf)

 

 

DJP Terbitkan SE Terkait Pemberlakuan MLI atas P3B Indonesia–Armenia

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Surat Edaran No. SE-03/PJ/2025 sebagai pemberitahuan mengenai berlakunya Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (MLI) atas Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Armenia. Surat edaran tersebut mengatur mengenai waktu mulai berlaku (entry into force), waktu efektif penerapan (entry into effect), serta ketentuan pokok yang diubah melalui MLI terhadap P3B kedua negara.

“Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memastikan implementasi ketentuan dalam konvensi atas P3B Indonesia–Armenia dapat dilakukan secara tertib dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tulis SE-03/PJ/2025, tersebut dikutip Selasa (3/6/2025).

Artinya, berdasarkan edaran tersebut, MLI mulai berlaku untuk Indonesia sejak 1 Agustus 2020 dan untuk Armenia sejak 1 Januari 2024. Adapun efektivitas MLI terhadap pajak yang bersifat withholding di negara sumber atas pembayaran ke subjek pajak luar negeri (SPLN) berlaku sejak 1 Januari 2025 untuk kedua negara.

Sementara itu, pengaturan MLI yang menyangkut jenis pajak lainnya mulai berlaku efektif di Indonesia pada 1 Januari 2026, dan di Armenia pada 28 Mei 2025.

Selain menjelaskan waktu pemberlakuan, SE-03/PJ/2025 juga memuat pokok-pokok ketentuan dalam P3B yang dimodifikasi melalui MLI, serta melampirkan naskah sintesis dalam bahasa Inggris. Naskah tersebut bertujuan membantu pihak-pihak terkait memahami dampak penerapan konvensi terhadap isi perjanjian bilateral.

Sebagai konteks, MLI adalah instrumen internasional yang memungkinkan negara-negara menyesuaikan perjanjian pajaknya secara simultan tanpa harus melakukan negosiasi bilateral secara terpisah. Dengan MLI, proses revisi perjanjian pajak menjadi lebih efisien dalam mencegah penghindaran pajak dan mengurangi potensi pajak berganda.

Indonesia sendiri telah meratifikasi MLI sejak 2019 melalui Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2019, di mana sejumlah P3B termasuk perjanjian dengan Armenia ditetapkan sebagai Covered Tax Agreement (CTA) yang dapat dimodifikasi melalui MLI.

Langkah DJP ini sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam memperkuat sistem perpajakan internasional yang lebih adil, transparan, dan modern. (alf)

 

Trump Terjepit Dua Putusan, Kebijakan Tarif Disebut Langgar Hukum

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah menghadapi tekanan hukum serius setelah dua pengadilan federal menyatakan bahwa kebijakan tarif impornya melanggar batas kewenangan presiden. Pemerintah kini meminta Pengadilan Banding AS untuk menangguhkan putusan tersebut, dengan alasan potensi kerugian terhadap negosiasi dagang yang sedang berlangsung.

Putusan pertama, yang keluar dari Pengadilan Perdagangan Internasional di Manhattan pada 28 Mei, menyatakan bahwa tarif impor yang diberlakukan Trump tidak sah secara hukum. Sehari kemudian, Hakim Distrik AS Rudolph Contreras di Washington, D.C. menjatuhkan putusan serupa, menilai bahwa kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).

Kebijakan tarif ini sebelumnya digunakan Trump sebagai respons terhadap dugaan keterlibatan negara-negara seperti China, Meksiko, dan Kanada dalam memfasilitasi masuknya fentanil ke AS, tuduhan yang telah dibantah keras oleh ketiga negara tersebut.

Meskipun putusan Contreras hanya menghentikan pungutan tarif terhadap dua penggugat, yaitu produsen mainan edukatif Learning Resources Inc. dan hand2mind, isi putusannya berdampak luas. Hakim menegaskan bahwa IEEPA sama sekali tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk memberlakukan tarif sebuah pernyataan yang mengguncang pondasi hukum kebijakan dagang Trump.

Departemen Kehakiman dikutip dari Reuters, Selasa (3/4/2025) dalam mosi daruratnya memperingatkan bahwa putusan ini melemahkan kemampuan Presiden Trump untuk menggunakan tarif sebagai alat tawar-menawar dalam perundingan dagang global.

Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengantongi jeda sementara terhadap putusan pengadilan pertama, yang memungkinkan tarif tetap diberlakukan selama proses banding berlangsung.

Empat pejabat tinggi termasuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Perwakilan Dagang Jamieson Lee Greer telah menyerahkan pernyataan tertulis kepada hakim sebelum keputusan dijatuhkan. Mereka menyatakan bahwa pencabutan tarif dapat membahayakan keamanan nasional dan menurunkan daya tawar AS dalam puluhan negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung.

Sementara itu, pihak penggugat menyatakan akan terus melawan segala upaya pemerintah untuk membatalkan keputusan pengadilan. Mereka menegaskan bahwa kebijakan tarif Trump tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyulitkan pelaku usaha kecil yang tak punya sumber daya untuk menanggung lonjakan biaya impor.

Dengan banding yang kini berada di tangan Pengadilan Banding Sirkuit D.C., arah masa depan kebijakan dagang Trump dipertaruhkan. Hasil putusan dapat menjadi penentu apakah tarif masih bisa digunakan sebagai instrumen kekuasaan presiden atau justru dibatasi secara hukum untuk pertama kalinya dalam sejarah modern AS. (alf)

 

Tarif Bunga Sanksi dan Imbalan Pajak Juni 2025 Ada Penurunan Tipis, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menetapkan tarif bunga bulanan sebagai dasar penghitungan sanksi administratif dan pemberian imbalan bunga perpajakan untuk periode 1—30 Juni 2025. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1/MK/EF/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu.

Regulasi ini merupakan tindak lanjut dari KMK Nomor 488/KMK.010/2021 sebagaimana telah diubah terakhir dengan KMK Nomor 169 Tahun 2025. Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa tarif bunga berlaku penuh selama satu bulan dan menjadi dasar perhitungan sanksi maupun imbalan dalam proses administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Dalam ketentuan terbaru, pemerintah melakukan penyesuaian ringan terhadap tarif bunga sanksi administratif. Salah satu contohnya adalah pada permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 19 ayat 1–3 UU KUP), di mana tarif imbalan bunga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan, turun tipis dari 0,58 persen di bulan Mei.

Penyesuaian juga terjadi pada pelanggaran terkait pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT atau pembetulan oleh Wajib Pajak (Pasal 8 ayat 2 dan 2a, serta Pasal 9 ayat 2a dan 2b), yang kini dikenakan bunga 0,99 persen per bulan, dibanding 1,00 persen pada bulan sebelumnya.

Berikut rincian tarif bunga sanksi lainnya untuk Juni 2025:

• Pasal 8 ayat (5) (pengungkapan sukarela setelah pemeriksaan): 1,41% (sebelumnya 1,42%)

• Pasal 13 ayat (2) dan (2a) (penerbitan SKP): 1,82% (turun dari 1,83%)

• Pasal 13 ayat (3b) (hasil pemeriksaan ulang): 2,24% (sedikit turun dari 2,25%)

Meski penurunannya relatif kecil, tren ini mencerminkan adanya stabilisasi dalam kebijakan fiskal serta kondisi pasar bunga yang lebih terkendali.

Imbalan Bunga Pajak Tetap di Angka 0,57 Persen

Sementara itu, tarif imbalan bunga untuk Wajib Pajak juga ditetapkan sebesar 0,57 persen per bulan. Tarif ini berlaku apabila terjadi keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh otoritas pajak, serta dalam kasus tertentu yang diatur dalam UU KUP.

Berikut skema imbalan bunga sesuai ketentuan:

• Pasal 11 ayat (3): Imbalan diberikan bila DJP terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak lebih dari satu bulan.

• Pasal 17B ayat (3): Berlaku untuk keterlambatan penerbitan SKPLB.

• Pasal 17B ayat (4): Diberikan jika proses hukum atas dugaan tindak pidana pajak tidak berlanjut ke penuntutan.

• Pasal 27B ayat (4): Imbalan diberikan setelah Wajib Pajak memenangkan upaya hukum berupa keberatan, banding, atau peninjauan kembali.

Penetapan tarif bunga ini menjadi instrumen fiskal penting yang tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga mendorong kepatuhan pajak secara adil dan transparan. (alf)

 

Pemerintah Batalkan Diskon Listrik 50%, Fokus Tambah Bantuan Langsung dan Subsidi Transportasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi membatalkan rencana pemberian potongan tarif listrik sebesar 50% untuk periode Juni dan Juli 2025. Keputusan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat tingkat menteri yang digelar di Istana Kepresidenan Jakarta.

“Program diskon tarif listrik tak dapat dilaksanakan karena proses penganggarannya tidak bisa dikejar tepat waktu,” ujar Sri Mulyani, Senin (2/6/2025).

Ia menambahkan, meski program ini urung dijalankan, pemerintah tetap berkomitmen memberikan bantuan langsung kepada masyarakat dalam bentuk stimulus ekonomi lainnya.

Sebelumnya, diskon tarif listrik sempat masuk dalam daftar enam program bantuan yang disiapkan pemerintah. Namun sebagai pengganti, pemerintah memutuskan untuk memperbesar skema Bantuan Subsidi Upah (BSU). Semula dirancang sebesar Rp150 ribu per bulan, BSU dinaikkan menjadi Rp300 ribu per bulan dan akan diberikan selama dua bulan kepada 17,3 juta pekerja serta 565 ribu guru honorer.

“Total bantuannya mencapai Rp600 ribu per orang,” jelas Sri Mulyani.

Dalam paket stimulus ekonomi terbaru, pemerintah juga memperluas bantuan di sektor transportasi. Beberapa insentif yang diberikan meliputi:

  1. Diskon tiket kereta api sebesar 30%
  2. Diskon tiket pesawat melalui kebijakan PPN ditanggung pemerintah sebesar 6%
  3. Potongan harga tiket kapal laut sebesar 50%

Seluruh program subsidi transportasi tersebut berlaku selama Juni dan Juli 2025 dengan total anggaran mencapai Rp940 miliar.

Tidak hanya itu, pemerintah turut memberikan diskon tarif tol sebesar 20% yang ditujukan kepada sekitar 110 juta pengendara. Program ini tidak menggunakan dana APBN, melainkan dikelola melalui kerja sama dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) berdasarkan surat edaran dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Estimasi anggaran untuk kebijakan ini mencapai Rp650 miliar.

Penebalan bantuan sosial juga masuk dalam skema stimulus. Pemerintah akan menyalurkan tambahan Rp200 ribu per bulan selama dua bulan bagi 18,3 juta penerima Kartu Sembako. Selain bantuan tunai, setiap penerima juga akan mendapat 10 kilogram beras per bulan, atau total 20 kilogram selama masa program.

Terakhir, dalam upaya melindungi pekerja di sektor padat karya, pemerintah memberikan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 50%. Program ini menyasar 2,7 juta pekerja dan berlaku selama enam bulan, lebih panjang dibandingkan empat stimulus lainnya yang hanya berlangsung dua bulan.

Dengan berbagai program ini, pemerintah berharap daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah dinamika ekonomi nasional dan global. (alf)

 

 

 

 

 

Penerimaan Pajak DJP Sumbar-Jambi Tembus Rp1,22 Triliun, Terkoreksi karena Kenaikan Restitusi

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Barat dan Jambi mencatatkan penerimaan pajak neto sebesar Rp1,22 triliun sepanjang periode Januari hingga April 2025. Realisasi ini menunjukkan penurunan sebesar 12,34 persen dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Kepala Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, Arif Mahmudin Zuhri, menyampaikan apresiasinya kepada para Wajib Pajak (WP) yang tetap menjalankan kewajiban perpajakan secara tertib di tengah tantangan yang ada.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh Wajib Pajak yang telah menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar,” ujar Arif dalam keterangan resminya diterima, Selasa (3/6/2025).

Menurut Arif, kontraksi penerimaan neto tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh lonjakan nilai restitusi pajak yang dibayarkan negara. Total pengembalian pajak melalui Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) meningkat sebesar Rp222,17 miliar atau naik 58,10 persen dibandingkan periode Januari–April 2024.

Meski demikian, secara bruto, penerimaan pajak di wilayah tersebut masih tumbuh positif. DJP mencatat kenaikan sebesar 2,87 persen untuk total penerimaan bruto dibandingkan dengan tahun lalu.

Beberapa jenis pajak mencatatkan pertumbuhan signifikan.

Penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi naik tajam sebesar 48,12 persen menjadi Rp79,72 miliar. Peningkatan juga terlihat pada PPh Pasal 25/29 Badan yang mencapai Rp440,04 miliar atau tumbuh 1,66 persen.

Salah satu lonjakan paling mencolok terjadi pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan serta sektor lainnya (P5L), yang meningkat drastis hingga 870,95 persen. Nilai penerimaan PBB P5L pada tahun ini mencapai Rp5,27 miliar, dibandingkan hanya Rp543,27 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Namun, tidak semua jenis pajak menunjukkan kinerja positif. Beberapa mengalami penurunan, seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Final, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri.

Dari sisi sektoral, empat sektor ekonomi memberikan kontribusi utama terhadap penerimaan pajak di wilayah Sumbar dan Jambi. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran menjadi penyumbang tertinggi dengan Rp297,95 miliar.

Disusul oleh sektor Jasa Keuangan dan Asuransi yang tumbuh 4,75 persen menjadi Rp196,74 miliar. Sebaliknya, sektor Administrasi Pemerintahan dan sektor Industri Pengolahan mengalami penurunan kontribusi.

Berdasarkan jenis Wajib Pajak, penerimaan dari WP Orang Pribadi mengalami peningkatan signifikan sebesar 22,49 persen dengan total Rp165,47 miliar, naik dari Rp135,09 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, penerimaan dari WP Badan dan WP Pemungut justru mengalami penurunan.

Kanwil DJP menyatakan akan terus memperkuat edukasi dan pengawasan untuk memastikan kepatuhan dan optimalisasi penerimaan di tengah dinamika ekonomi saat ini. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Sumsel Melesat, PBB dan Ekspor CPO Jadi Pendorong Utama

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan negara di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) menunjukkan tren yang menggembirakan. Hingga April 2025, realisasi penerimaan perpajakan di Bumi Sriwijaya telah mencapai Rp1,69 triliun, atau setara 29,83% dari target APBN tahun ini. Capaian tersebut disampaikan dalam rapat pleno Forum Asset and Liability Committee (ALCo) di Sumsel kemarin, yang melibatkan seluruh instansi vertikal Kementerian Keuangan di provinsi ini.

Pertumbuhan penerimaan perpajakan yang mencakup pajak serta kepabeanan dan cukai mengalami peningkatan sebesar 1,03% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Salah satu motor utama pertumbuhan ini adalah lonjakan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis hingga 102,3%. Peningkatan signifikan ini ditopang oleh pembayaran dari sektor perkebunan yang menggeliat.

Di sisi lain, sektor kepabeanan dan cukai juga tak kalah bersinar. Total penerimaan tercatat sebesar Rp206,60 miliar, atau 80,05% dari target Rp258,09 miliar. Pertumbuhan tahunan sektor ini mencatatkan angka impresif sebesar 125,51%. Kontributor utama datang dari ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya yang melonjak seiring naiknya Harga Patokan Ekspor (HPE) dan volume ekspor yang bertumbuh 25,86%. Imbasnya, penerimaan bea keluar meroket hingga 620,44% dibandingkan tahun lalu.

Tak hanya pajak dan bea cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumsel juga menunjukkan performa kuat dengan capaian Rp899,61 miliar atau 37,40% dari target. Sebagian besar berasal dari Badan Layanan Umum (BLU) dengan kontribusi Rp532,32 miliar, sementara sisanya berasal dari pendapatan atas aset, piutang, dan lelang yang mencapai Rp367,29 miliar. Komponen ini tumbuh sebesar 15,76% dibandingkan periode sebelumnya.

Dalam aspek belanja negara, Sumsel telah merealisasikan anggaran sebesar Rp12,7 triliun atau 25,87% dari total pagu. Belanja pemerintah pusat didominasi oleh pembayaran gaji, tunjangan ASN, THR, serta honorarium dan lembur, yang secara keseluruhan menunjukkan tren positif. Belanja sosial seperti program ATENSI dari Kemensos serta bantuan pendidikan Kartu Indonesia Pintar Kuliah juga mengalami peningkatan.

Sementara itu, kinerja Transfer ke Daerah (TKD) turut memperkuat belanja publik di daerah. Dana Bagi Hasil (DBH) telah tersalurkan sebesar Rp2,51 triliun (22,65%), Dana Alokasi Umum (DAU) Rp4,46 triliun (31,84%), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Fisik sebesar Rp1,44 triliun (28,83%). Dana Desa mencatat penyaluran tertinggi di enam kabupaten dengan total Rp1,03 triliun atau 41,56% dari pagu, sementara Dana Insentif Daerah mencapai Rp4,51 miliar.

Kinerja fiskal Sumatera Selatan pada awal 2025 ini menjadi sinyal positif bagi pemulihan ekonomi daerah. Optimisme pun menguat, seiring dengan sinergi kebijakan dan dukungan fiskal dari pusat yang terus berjalan. (alf)

 

id_ID