PMK 81/2024, Digitalisasi Perpajakan: Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Secara Elektronik

IKPI, Jakarta: Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, mengeluarkan aturan baru terkait tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang dituangkan dalam Pasal 11 hingga Pasal 14. Peraturan ini menegaskan penggunaan dokumen elektronik dalam proses administrasi perpajakan.

Pasal 11 di PMK ini menjelaskan bahwa Menteri, Direktur Jenderal Pajak, dan pejabat tertentu memiliki kewenangan menerbitkan keputusan elektronik.

Keputusan ini meliputi:

1. Surat Tagihan Pajak (STP).

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

5. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

6. Dokumen lain seperti surat keberatan, pengurangan sanksi, atau pembetulan.

Semua dokumen elektronik ini dilengkapi dengan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau Segel Elektronik tersertifikasi yang memiliki kekuatan hukum setara dengan dokumen fisik.

Di Pasal 12 mengatur mekanisme pengiriman dokumen kepada wajib pajak, yaitu:

1. Dokumen elektronik dikirimkan melalui akun wajib pajak, email resmi, atau dalam bentuk fisik jika diminta oleh wajib pajak.

2. Tanggal pengiriman elektronik dianggap sebagai tanggal resmi pengiriman dan penerimaan dokumen.

3. Dalam hal terdapat lebih dari satu saluran pengiriman, tanggal yang berlaku adalah yang tercatat lebih dahulu.

Pasal 13 berbunyi untuk mendukung pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara elektronik, Menteri Keuangan dapat bekerja sama dengan:

1. Instansi pemerintah lain.

2. Lembaga, asosiasi, atau pihak swasta.

Kerja sama ini mencakup:

1.Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2.Konfirmasi status wajib pajak.

3.Penyelenggaraan faktur pajak elektronik.

4.Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) elektronik.

Terakhir yakni Pasal 14 menegaskan Menteri Keuangan dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk:

1. Menunjuk Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.

2. Melakukan perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga.

3. Melimpahkan kewenangan lebih lanjut kepada pejabat di Direktorat Jenderal Pajak.

Penerapan dokumen elektronik ini diharapkan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem perpajakan. Dengan adanya digitalisasi, wajib pajak juga dapat mengakses layanan dengan lebih mudah dan cepat. (alf)

Mulai 2024 Kemenkeu Resmi Naikkan Cukai Hasil Tembakau hingga Rokok Elektrik

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar rata-rata 10% mulai awal tahun 2024. Kenaikan ini juga mencakup tarif rokok elektrik sebesar rata-rata 15% dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HTPL) sebesar 6%. Kebijakan ini merupakan bagian dari regulasi multiyears yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 dan 192 Tahun 2022.

Kebijakan ini bertujuan mendukung pengendalian konsumsi, menjaga keberlangsungan industri, meningkatkan penerimaan negara, serta memberantas peredaran rokok ilegal. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menjelaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan 17 juta pita cukai baru untuk memenuhi kebutuhan 2024.

Selain itu, pengawasan terhadap rokok ilegal akan terus diperketat. Hingga Oktober 2023, Bea Cukai telah menindak peredaran 641 juta batang rokok dengan pita cukai palsu, yang sebagian besar ditemukan di Jawa Timur.

“Penerapan kebijakan ini mempertimbangkan aspek pengendalian konsumsi sekaligus upaya untuk terus meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan negara,” ujar Askolani.

Ia menambahkan, berdasarkan studi, pemberantasan rokok ilegal mampu meningkatkan produksi resmi hingga 5,3% dan kontribusi penerimaan negara sebesar 0,3%.

Selain itu, dalam PMK Nomor 143/PMK/2023, diatur bahwa sedikitnya 50% dari penerimaan pajak rokok harus digunakan untuk mendukung program kesehatan masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, kebijakan ini telah dirancang sejak 2022 dan akan berlaku tahunan hingga 2027. “Setiap tahun, kenaikan rata-rata 15% untuk rokok elektrik dan 6% untuk HTPL akan terus diberlakukan selama lima tahun ke depan,” kata Sri Mulyani.

Kenaikan tarif cukai ini diharapkan dapat memberikan efek positif, baik dari sisi kesehatan masyarakat maupun penerimaan negara. Pemerintah juga menegaskan komitmennya untuk terus memantau dan menindak tegas peredaran rokok ilegal. (alf)

Di Tengah Seruan Boikot, DJP Komitmen Optimalisasi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berkomitmen untuk memaksimalkan penerimaan pajak meskipun muncul seruan boikot bayar pajak terkait penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa pihaknya tidak akan menanggapi secara langsung seruan tersebut, namun menegaskan pentingnya penerimaan pajak bagi pembiayaan berbagai program pemerintah.

“Pemanfaatan pajak akan kembali dirasakan oleh masyarakat, untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai program lainnya,” ujar Dwi kepada media, Selasa (24/12/2024).

Menurutnya, meskipun ada penolakan dan seruan boikot, Ditjen Pajak akan terus bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku dan berupaya untuk mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah disetujui oleh pemerintah dan DPR, ditargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.490,91 triliun. Dalam rincian tersebut, target penerimaan pajak konsumsi melalui PPN Dalam Negeri dan PPN Impor diperkirakan mencapai Rp917,79 triliun, meningkat 18,2% dibandingkan dengan target PPN pada tahun 2024 yang sebesar Rp776,2 triliun.

Sementara itu, pajak penghasilan (PPh), yang merupakan kontributor utama penerimaan pajak, diperkirakan akan mencapai Rp1.209 triliun, dengan PPh Non-Migas yang menjadi penyumbang terbesar, yaitu Rp1.146 triliun.

Pemerintah juga menargetkan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp230,09 triliun dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar Rp3,8 triliun pada 2025. Namun, seruan penolakan terhadap kenaikan tarif PPN 12% terus bermunculan.

Di platform change.org, lebih dari 178.000 orang telah menandatangani petisi yang menolak kenaikan tersebut. Di media sosial, seruan boikot juga disuarakan oleh beberapa pengguna, termasuk @salam4jari, yang menyatakan bahwa jika PPN dipaksakan naik menjadi 12%, maka masyarakat harus melakukan boikot terhadap pembayaran pajak. Cuitannya telah mendapatkan banyak perhatian dengan lebih dari 7.300 kali dibagikan dan 18.000 like.

Meski demikian, Ditjen Pajak tetap berkomitmen untuk memastikan penerimaan pajak yang optimal, guna mendukung keberlanjutan berbagai program pembangunan yang manfaatnya akan langsung dirasakan oleh masyarakat. (alf)

PMK 81/2024, Transformasi Digital dalam Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan 

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, Bab 3 dari Pasal 3-10, menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Transformasi ini diwujudkan melalui peraturan baru yang menegaskan pelaksanaan perpajakan secara elektronik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Menurut peraturan tersebut, pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara elektronik dapat dilakukan melalui beberapa kanal utama:

1. Portal Wajib Pajak

2. Aplikasi atau laman terintegrasi dengan sistem administrasi DJP

3. Contact Center DJP

Namun, dalam situasi tertentu seperti gangguan teknis, infrastruktur yang belum tersedia, atau kondisi bencana, wajib pajak diperbolehkan melaksanakan kewajiban perpajakan secara langsung atau melalui layanan pos, ekspedisi, dan kurir ke kantor pajak terkait.

DJP menyediakan akun elektronik bagi setiap Wajib Pajak (WP). Akun ini dapat diaktifkan melalui Portal Wajib Pajak atau langsung di kantor pajak. Aktivasi memerlukan validasi alamat email dan nomor telepon seluler.

Untuk penandatanganan dokumen elektronik, WP wajib menggunakan Tanda Tangan Elektronik (tersertifikasi atau tidak tersertifikasi) yang dikelola oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang telah diakui oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dokumen Elektronik Setara dengan Dokumen Kertas

Dokumen elektronik yang telah ditandatangani dan disampaikan melalui kanal yang ditentukan dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum setara dengan dokumen kertas. Bukti penerimaan akan diterbitkan setelah dokumen diterima dan direkam oleh sistem administrasi DJP.

Langkah ini diharapkan mampu:

1. Meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan.

2. Meminimalkan potensi kesalahan dan kehilangan dokumen.

3. Mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, terutama bagi yang memiliki keterbatasan akses fisik.

Melalui regulasi ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendukung digitalisasi layanan perpajakan demi meningkatkan kepatuhan dan kenyamanan wajib pajak. (alf)

Pemerintah Perjelas Ketentuan Kredit Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PKM) Nomor 81 Tahun 2024, khususnya di Pasal 381 memperjelas ketentuan terkait pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP), Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean.

Ketentuan ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan pelunasan pajak berdasarkan ketetapan yang diterbitkan otoritas perpajakan.

Menurut peraturan tersebut, Pajak Masukan dapat dikreditkan sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, dengan syarat:

1. Ketetapan pajak diterbitkan khusus untuk Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP atau impor BKP.

2. PKP menyetujui seluruh hasil pemeriksaan terkait ketetapan pajak.

3. Seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar, termasuk pokok pajak dan sanksi administrasi, telah dilunasi.

4. Tidak ada upaya hukum atas ketetapan pajak, seperti pengajuan keberatan, banding, atau peninjauan kembali.

Pelunasan pajak dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi setoran pajak lainnya. Ketetapan pajak yang telah dilampiri SSP akan diperlakukan sebagai dokumen tertentu yang setara dengan Faktur Pajak, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PKP wajib melaporkan dokumen tersebut dalam SPT Masa PPN pada masa pelunasan pajak atau paling lambat tiga masa pajak setelahnya. Peraturan ini memberikan kemudahan dan transparansi dalam proses administrasi pajak, mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak secara nasional. (alf)

Pemerintah Diminta Maksimalkan Potensi Pajak Lain, Kenaikan PPN Dinilai Bebani Masyarakat

IKPI, Jakarta: Wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 menuai pro dan kontra. Meskipun kenaikan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), banyak pihak menilai langkah ini dapat membebani masyarakat dan menurunkan daya beli.

Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan PPN ini diharapkan dapat menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun. Namun, laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki opsi lain untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus membebani masyarakat kecil.

Potensi Pajak Alternatif

Dalam laporan yang dirilis pada Rabu (25/12/2024), Celios menyebut pemerintah bisa memanfaatkan berbagai instrumen pajak lain yang lebih progresif. Salah satunya adalah pajak orang kaya, yang menyasar harta kekayaan individu berpenghasilan tinggi di Indonesia. Potensi penerimaan dari kebijakan ini diperkirakan mencapai Rp 81,6 triliun.

Selain itu, penerapan pajak karbon yang selama ini hanya menjadi wacana juga dapat dioptimalkan. Pajak ini memiliki potensi penerimaan hingga Rp 69 triliun. Tak hanya itu, pajak windfall profit dari usaha yang mendapatkan keuntungan besar akibat kenaikan harga komoditas, seperti batu bara, juga menjadi opsi dengan potensi mencapai Rp 47 triliun.

“Pemerintah juga bisa memaksimalkan penerimaan dengan menerapkan pajak penghasilan (PPh) badan yang lebih progresif serta menutup kebocoran pajak, termasuk di sektor digital dan sawit, yang diklaim mencapai Rp 300 triliun,” tulis laporan Celios.

Celios menilai bahwa kenaikan PPN kurang adil karena secara langsung membebani masyarakat kecil. Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri, bahkan menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut dan mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan PPN.

“Semasa pemerintahan sebelumnya, penerbitan Perppu bukanlah hal yang langka. Terdapat delapan jenis Perppu yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir dengan berbagai alasan mendesak,” kata Zakiul.

Laporan Celios menggarisbawahi bahwa berbagai langkah progresif seperti pajak karbon, pajak orang kaya, dan windfall profit dapat memberikan penerimaan yang jauh lebih besar dibandingkan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini dinilai lebih adil dan tidak secara langsung membebani masyarakat kecil.

Dengan berbagai opsi yang ada, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto diharapkan mampu mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan penerimaan negara tanpa menimbulkan dampak negatif pada daya beli masyarakat. (alf)

Menkeu Sri Mulyani Sebut Tarif PPN 12% Indonesia Tergolong Rendah Dibandingkan Negara G-20

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa meskipun tarif PPN naik menjadi 12% pada tahun 2025, posisi tarif PPN Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan berbagai negara di dunia, baik di negara-negara berkembang, kawasan Asia Tenggara, maupun negara-negara G20.

Demikian dikatakan Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, yang disiarkan virtual di saluran YouTube, Perekonomian RI, dikutip Rabu (25/12/2024).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejumlah negara berkembang memiliki tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Misalnya:

1. Brasil dengan tarif PPN sebesar 17% dan rasio pajak mencapai 24,67%.

2. Afrika Selatan dengan tarif PPN 15% dan rasio pajak 21,4%.

3. India dengan tarif PPN 18% dan rasio pajak 17,3%.

4. Turki memiliki tarif PPN sebesar 20% dengan rasio pajak 16%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia yang saat ini menetapkan tarif PPN 11% berada di urutan kedua tertinggi setelah Filipina (12%).

Dengan kenaikan tarif menjadi 12%, Indonesia akan sejajar dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan.

Di bawah Indonesia, ada Malaysia yang menetapkan tarif PPN 10%, Singapura 9%, serta Thailand 7%.

Berikut adalah daftar tarif PPN di berbagai negara pada tahun 2024 berdasarkan data Kementerian Keuangan:

1. Italia: 22%

2. Argentina: 21%

3. UK: 20%

4. Turki: 20%

5. Rusia: 20%

6. Prancis: 20%

7. Jerman: 19%

8. India: 18%

9. Brasil: 17%

10. Meksiko: 16%

11. Saudi Arabia: 15%

12. Afrika Selatan: 15%

13. China: 13%

14. Filipina: 12%

15. Indonesia: 11% (akan naik menjadi 12% pada 2025)

16. Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Australia, Kanada: 10%

17. Singapura: 9%

18. Thailand: 7%

Dampak Kenaikan PPN

Kenaikan tarif PPN ini diproyeksikan memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak pemerintah untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, kenaikan ini juga berpotensi memengaruhi harga barang dan jasa, yang dapat berdampak pada daya beli masyarakat.

Pemerintah diharapkan dapat mengelola kebijakan ini dengan baik, termasuk memberikan subsidi atau insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengurangi dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi rumah tangga. (alf)

Praimplementasi, Wajib Pajak Sudah Bisa Akses Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuka kesempatan bagi wajib pajak untuk mencoba login ke sistem Coretax mulai Selasa ini. Langkah ini merupakan bagian dari tahap praimplementasi yang berlangsung hingga 31 Desember 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP Dwi Astuti, menjelaskan bahwa tahap praimplementasi bertujuan untuk memberi waktu kepada wajib pajak mempersiapkan diri sebelum penerapan penuh pada Januari 2025.

“Harapannya, saat implementasi nanti, wajib pajak tidak menemui kesulitan dalam penggunaan aplikasi,” kata Dwi, di Jakarta, Selasa (24/12/2024).

Diungkapkannya, wajib pajak yang telah memiliki akun DJP Online dapat mengakses Coretax DJP melalui tautan https://www.pajak.go.id/coretaxdjp/. Untuk login, wajib pajak perlu memasukkan ID Pengguna (NIK atau NPWP), sandi DJP Online, kode captcha, dan mengklik tombol “Log in”.

Sedangkan bagi yang belum memiliki akun, mereka dapat melakukan pendaftaran melalui https://ereg.pajak.go.id/login.

Menurut Dwi, selama masa praimplementasi, DJP mengingatkan wajib pajak untuk berhati-hati dalam menjalani prosedur, terutama terkait informasi yang diterima melalui email atau SMS.

“Pastikan respons yang diterima berasal dari DJP. Jika ragu, segera hubungi kami melalui saluran komunikasi resmi,” ujar Dwi.

DJP juga mengimbau agar wajib pajak menjaga kerahasiaan data perpajakan mereka.

Dwi menambahkan bahwa pada tahap praimplementasi ini, fitur yang dapat diakses masih terbatas. Fitur lengkap Coretax DJP baru dapat diakses setelah sistem diluncurkan pada Januari 2025.

Untuk informasi lebih lanjut, termasuk panduan penggunaan Coretax DJP, wajib pajak dapat mengunjungi https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/.

Dengan adanya praimplementasi ini, DJP berharap wajib pajak dapat lebih siap dan lancar saat sistem Coretax diterapkan secara penuh pada tahun depan, menyusul upaya digitalisasi dan penyederhanaan sistem perpajakan di Indonesia. (alf)

Menteri Desa: Kenaikan PPN untuk Kepentingan Rakyat dan Pembangunan Desa

IKPI, Jakarta: Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto menegaskan bahwa kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen bertujuan untuk kepentingan rakyat, khususnya untuk mempercepat pembangunan di desa-desa. Yandri menyampaikan hal tersebut usai meluncurkan Program Pemuda Pelopor Desa di Kantor Desa Nagrak Utara, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Selasa (24/12/2024).

Menurut Yandri, untuk membangun Indonesia secara merata, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan, termasuk anggaran yang memadai. Ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh anggaran tersebut, salah satunya melalui pemasukan dari pajak, dan kenaikan PPN sudah melalui kajian mendalam bersama para ahli serta mempertimbangkan dampak positifnya.

“PPN yang dinaikkan ini bukan untuk kepentingan pemerintah, melainkan untuk kepentingan rakyat, dan manfaatnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat desa,” ujar Yandri. Ia juga menegaskan bahwa anggaran yang diperoleh dari pajak akan digunakan untuk membangun infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, air bersih, pendidikan, dan fasilitas lainnya yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Yandri menambahkan, masyarakat perdesaan adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini, karena dengan adanya pemasukan yang lebih besar, pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di desa-desa, dapat tercapai lebih cepat. Ia berharap, dalam beberapa tahun mendatang, tidak ada lagi desa yang berstatus tertinggal.

“Anggaran dari pajak ini sangat penting untuk mempercepat pembangunan di desa, termasuk desa yang masih belum dialiri listrik atau kekurangan akses lainnya. Kenaikan PPN ini bukan untuk memberatkan, tetapi untuk membahagiakan masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, Yandri juga mengajak masyarakat untuk mendukung kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto dalam memakmurkan rakyat. Kebijakan kenaikan PPN ini merupakan bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Tahun 2021 yang telah disepakati dalam rapat paripurna DPR RI pada 7 Oktober 2021.

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap desa-desa di Indonesia akan lebih makmur dan mandiri, serta tercapai pemerataan pembangunan yang lebih adil.(alf)

PLN: Hanya Pelanggan di Atas 6.600 VA yang Terkena PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Penetapan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Salah satu sektor yang terdampak oleh kenaikan tarif PPN adalah tarif listrik, meskipun tidak semua golongan daya listrik akan dikenakan perubahan tersebut.

Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan bahwa PPN 12% akan dikenakan kepada pelanggan PLN yang memiliki daya listrik lebih dari 6.600 VA, yang mencakup sekitar 400 ribu pelanggan. “PPN untuk tarif listrik dikenakan hanya kepada pelanggan rumah tangga kami atau pelanggan terkaya dari desil yang ada dalam struktur pelanggan kami,” ujar Darmawan di Jakarta baru-baru ini.

Namun, pembebasan PPN 12% akan tetap berlaku bagi pelanggan PLN dengan daya listrik di bawah 6.600 VA. Selain itu, pemerintah juga memberikan kebijakan diskon listrik 50% bagi pelanggan dengan daya terpasang antara 450 VA hingga 2.200 VA.

Diskon ini akan berlaku untuk 81,4 juta pelanggan PLN yang terdiri dari berbagai golongan daya, yakni 24,6 juta pelanggan dengan daya 450 VA, 38 juta pelanggan dengan daya 900 VA, 14,1 juta pelanggan dengan daya 1.300 VA, dan 4,6 juta pelanggan dengan daya 2.200 VA.

Darmawan menjelaskan bahwa kebijakan ini menyasar sekitar 97% dari total pelanggan rumah tangga PLN, yang diperkirakan mencapai 84 juta pelanggan.

Diskon 50% ini akan berlaku selama dua bulan pertama tahun 2025, yaitu Januari dan Februari, untuk membantu meringankan beban pelanggan.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menciptakan keseimbangan antara penerimaan pajak yang lebih tinggi dan perlindungan kepada sebagian besar konsumen listrik di Indonesia. (alf)

id_ID