Shadow Economy Disebut Bisa Jadi Jalan Keluar Stagnasi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Stagnasi penerimaan pajak di tengah kebutuhan belanja negara yang terus meningkat membuat pemerintah dituntut mencari terobosan baru. Salah satu jalannya adalah dengan menyasar shadow economy atau ekonomi bayangan yang selama ini belum tergarap maksimal.

Hal ini ditegaskan oleh Dodik Samsu Hidayat, Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP, saat menjadi panelis dalam diskusi panel Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025). Acara tersebut dihadiri ratusan peserta baik secara luring maupun daring.

“Shadow economy itu bukan sesuatu yang kecil. Data terakhir menyebutkan nilainya sekitar 8,7 persen dari PDB. Kalau ini bisa digarap, penerimaan pajak bisa melonjak jauh lebih tinggi dari capaian saat ini yang baru 54 persen dari target,” kata Dodik.

Ia menyebutkan bahwa rendahnya kepercayaan publik menjadi salah satu penyebab maraknya aktivitas ekonomi di luar sistem. Banyak pelaku usaha memilih tidak mendaftar atau melaporkan pajak karena merasa terbebani sekaligus tidak percaya uang pajak dipakai untuk kepentingan rakyat.

Meski demikian, Dodik optimistis DJP kini berada di jalur yang tepat. Penerapan pajak digital, regulasi atas kripto, dan kerja sama lintas lembaga seperti dengan BPN, Samsat, hingga Dukcapil lewat pemadanan NIK–NPWP dinilainya akan semakin mempersempit ruang bagi shadow economy.

“Kalau semua data ini bisa diintegrasikan, DJP bisa mengawasi hampir setiap aktivitas ekonomi. Mulai dari izin usaha, properti, kendaraan bermotor, hingga transaksi digital. Itu artinya peluang shadow economy untuk bersembunyi semakin kecil,” jelasnya.

Namun Dodik mengingatkan, tantangan terbesar justru ada pada kualitas sumber daya manusia. “Data besar tanpa kemampuan analisis tidak akan berguna. DJP harus memperkuat kapasitas pemeriksa pajak, memanfaatkan AI, dan menyiapkan sistem komputer yang mumpuni untuk mengolah data. Kalau itu terpenuhi, shadow economy bisa jadi booster penerimaan pajak,” tegasnya.

Ia meyakini bahwa keberanian menargetkan ekonomi bayangan akan menentukan masa depan perpajakan Indonesia. “Kalau hanya pakai cara biasa, hasilnya pasti biasa. Tapi kalau kita berani melangkah lebih jauh, shadow economy bisa jadi jalan keluar dari stagnasi penerimaan,” kata Dodik. (bl)

 

Mendorong Kepatuhan Pajak UMKM di Era Digital  

Di Indonesia, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering disebut sebagai “urat nadi” perekonomian. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%, dengan jumlah unit usaha lebih dari 65 juta. Tidak hanya itu, UMKM juga menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Artinya, keberadaan UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, dalam konteks perpajakan, UMKM masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Meski jumlahnya masif, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak belum sebanding dengan perannya dalam perekonomian. Di sinilah tantangan sekaligus peluang hadir: bagaimana mendorong kepatuhan pajak UMKM di tengah arus digitalisasi yang kian masif.

Banyak pelaku UMKM yang belum memahami kewajiban perpajakan secara utuh. Pajak sering dipersepsikan sebagai beban tambahan, bukan kewajiban hukum yang sekaligus berfungsi sosial. Sejak terbitnya PP 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Final untuk UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet, pemerintah sebenarnya sudah berupaya menyederhanakan mekanisme pemajakan.

Namun, peraturan ini juga membatasi jangka waktu penggunaan tarif final (3 tahun untuk badan berbentuk PT, 4 tahun untuk CV/Firma, dan 7 tahun untuk orang pribadi). Setelah jangka waktu berakhir, UMKM wajib beralih ke sistem pembukuan dengan tarif normal. Transisi inilah yang sering membuat UMKM “tergelincir” dalam kepatuhan.

Meski Ditjen Pajak (DJP) sudah meluncurkan berbagai inovasi seperti e-Billing, e-Filing, dan e-Form, tidak semua pelaku UMKM melek digital. Bagi sebagian pengusaha kecil, mengisi laporan SPT secara daring bisa jadi lebih menakutkan dibanding mengurus operasional bisnis sehari-hari.

Dan sebagian pelaku UMKM merasa pajak yang mereka bayarkan tidak memberikan manfaat langsung. Padahal, infrastruktur jalan, subsidi energi, hingga program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi, sebagian besar dibiayai dari pajak. Kurangnya narasi publik membuat hubungan antara pajak dan UMKM terasa renggang.

Transformasi digital di bidang perpajakan sebenarnya membuka ruang baru. Layanan Coretax Administration System, yang kini sedang diimplementasikan secara bertahap oleh DJP, diharapkan mampu menyederhanakan administrasi perpajakan, meningkatkan integrasi data, serta mempermudah wajib pajak termasuk UMKM.

Selain itu, kehadiran aplikasi pembukuan sederhana berbasis mobile (misalnya SiApik dari OJK atau software akuntansi lokal) memberi kemudahan bagi UMKM untuk mencatat transaksi. Jika pencatatan rapi, maka pelaporan pajak otomatis lebih mudah.

Di sisi lain, digitalisasi juga melahirkan ekosistem baru. UMKM yang berjualan melalui marketplace, e-commerce, atau menggunakan layanan payment gateway, secara tidak langsung mulai “tercatat” dalam sistem formal. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang Pajak atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) misalnya, mempertegas posisi pajak dalam ekonomi digital. Bagi UMKM, kondisi ini bisa dilihat sebagai peluang. Digitalisasi memaksa usaha kecil untuk lebih tertib administrasi, dan pada saat yang sama membuka pintu bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan yang lebih tepat sasaran.

Strategi Mendorong Kepatuhan

1.       Edukasi yang Membumi

Materi sosialisasi pajak sering kali masih terlalu teknis. Padahal, pelaku UMKM butuh penjelasan sederhana dan langsung pada inti. Misalnya: “Omzet Rp10 juta sebulan, maka pajak finalnya Rp50 ribu.” Narasi praktis seperti ini lebih mudah dipahami dibanding paparan panjang yang penuh pasal.

2.       Pendampingan dan Kolaborasi

DJP tidak bisa berjalan sendiri. Peran konsultan pajak, asosiasi profesi, hingga komunitas UMKM sangat penting untuk menjadi jembatan komunikasi. Pendampingan dari hulu ke hilir—dari pencatatan sederhana hingga penyusunan SPT—akan membuat UMKM merasa didukung, bukan sekadar ditagih kewajiban.

3.       Insentif Pajak yang Tepat

Insentif seperti pengurangan tarif, pembebasan sementara, atau kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM patuh bisa menjadi “wortel” yang efektif. Contoh nyata adalah insentif PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku di masa pandemi melalui PMK 44/PMK.03/2020. Program ini terbukti membantu cashflow UMKM sekaligus mendorong kepatuhan pelaporan.

4.       Teknologi yang Ramah UMKM

Tidak semua UMKM membutuhkan aplikasi canggih. Aplikasi ringan, gratis, dan bisa diakses lewat ponsel jauh lebih ramah. DJP bisa menggandeng startup lokal untuk menciptakan solusi sederhana yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha kecil.

5.       Membangun Kepercayaan

Kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan sanksi. Ia tumbuh dari rasa percaya. Transparansi penggunaan pajak, publikasi proyek pembangunan yang didanai pajak, hingga program afirmasi khusus UMKM bisa menjadi cara efektif menumbuhkan kepercayaan.

Ke depan, kepatuhan pajak UMKM akan sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu kemudahan sistem dan kepercayaan publik. Sistem yang sederhana dan digital-friendly akan menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost). Sementara, kepercayaan yang kuat akan mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Jika dua hal ini berjalan beriringan, kita bisa membayangkan dampak besarnya.

Dari 65 juta UMKM, katakanlah 50% rutin melaporkan dan membayar pajak dengan omzet rata-rata Rp300 juta setahun. Dengan tarif 0,5%, potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun mencapai Rp97,5 triliun. Angka yang bukan main-main, setara hampir 20% dari target penerimaan PPh Non-Migas di beberapa tahun terakhir.

Mendorong kepatuhan pajak UMKM di era digital bukan sekadar soal menambah penerimaan negara. Ini adalah bagian dari membangun budaya baru, budaya tertib administrasi, gotong royong modern, dan kepercayaan antara negara dan warganya. UMKM tumbuh karena ekosistem yang sehat, di antaranya infrastruktur, akses keuangan, dan kebijakan afirmatif. Semua itu dibiayai oleh pajak. Sebaliknya, negara butuh kontribusi UMKM untuk memperkuat fondasi fiskal. Keduanya saling membutuhkan.

Oleh karena itu, kepatuhan pajak UMKM di era digital harus dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi sosial. Investasi yang akan memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, sekaligus memastikan bahwa pertumbuhan yang kita capai bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Investasi atau Tarif Tinggi? Jepang–Korsel Didesak Trump Bayar Rp15.003 Triliun

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menggunakan kebijakan tarif impor sebagai senjata tekanan ekonomi. Washington meminta Jepang dan Korea Selatan menyetor investasi jumbo senilai total US$900 miliar atau sekitar Rp15.003 triliun (kurs Rp16.670/US$).

Rinciannya, Korea Selatan diminta menggelontorkan US$350 miliar, sementara Jepang US$550 miliar. Dana itu dijadikan syarat agar produk kedua negara bisa menikmati keringanan tarif impor di pasar AS, dari 25% menjadi 15%. Jika tidak, tarif tinggi tetap berlaku.

Korea Selatan Menolak

Seoul menilai permintaan tersebut mustahil dipenuhi. Penasihat Keamanan Nasional Wi Sung-lac menegaskan, pembayaran tunai sebesar US$350 miliar “secara objektif tidak realistis” dan bukan sekadar strategi negosiasi.

Perdana Menteri Kim Min-seok sebelumnya juga memperingatkan, tanpa adanya skema currency swapdengan Washington, investasi sebesar itu bisa menggerus cadangan devisa Korea Selatan hingga level berbahaya.

Jepang Hitung Ulang

Di sisi lain, Jepang menghadapi kewajiban menyiapkan US$550 miliar dalam 45 hari setelah Trump menunjuk proyek yang akan dibiayai. Dana tersebut harus berbentuk dolar AS dan ditempatkan di rekening khusus Washington.

Namun, Kepala Negosiator Perdagangan Jepang, Ryosei Akazawa, menegaskan lembaga pembiayaan seperti JBIC dan NEXI tidak akan menyalurkan dana ke proyek yang merugikan kepentingan nasional. Ia memperkirakan hanya 1–2% yang bisa berbentuk investasi langsung, sementara sisanya berupa pinjaman atau jaminan kredit.

Sanae Takaichi, kandidat kuat pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP), bahkan menyuarakan kemungkinan renegosiasi. “Kita harus berdiri teguh bila ada ketentuan yang tidak adil bagi Jepang,” tegasnya, dikutip Senin (29/9/2025).

Skema Trump menunjukkan bagaimana pajak perdagangan melalui tarif impor dijadikan alat tawar politik. Keringanan bea masuk hanya diberikan bila Jepang dan Korea Selatan bersedia menyetor dana investasi dalam jumlah raksasa.

Bagi kedua negara, ini berarti pilihan sulit: membayar dengan risiko beban fiskal yang sangat berat, atau menanggung tarif impor tinggi yang bisa melemahkan daya saing ekspor mereka di pasar AS.

Korea Selatan berharap ada jalan tengah saat KTT APEC di Gyeongju bulan depan. Sementara Jepang masih menunggu hasil pemilihan pemimpin baru LDP pada 4 Oktober, yang akan menentukan arah negosiasi berikutnya.

Siapa pun pemimpin baru Jepang, tugas pertamanya jelas: menentukan apakah Tokyo akan mengikuti skema Trump atau melawan tekanan pajak perdagangan terbesar dalam sejarah hubungan bilateral kedua negara. (alf)

Pajak E-Commerce Ditunda, UMKM Digital Dapat Kesempatan Bernapas Lega

IKPI, JAKARTA: Kabar gembira datang bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) digital. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi menunda penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi e-commerce. Keputusan ini disambut positif oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) yang menilai langkah tersebut membuka ruang adaptasi lebih luas bagi pelaku usaha.

“Penundaan ini menunjukkan pemerintah benar-benar mendengar masukan dari dunia usaha. Kebijakan pajak harus berjalan efektif tanpa menimbulkan beban berlebih, apalagi bagi pelaku yang masih berproses untuk tumbuh,” kata Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, dalam keterangan tertulis, Minggu (28/9/2025).

Menurut Budi, keputusan ini menjadi angin segar bagi ekosistem UMKM digital. Terlebih, pemerintah juga sedang menggulirkan stimulus besar melalui penempatan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara untuk mendorong konsumsi masyarakat. Sinergi keduanya diharapkan mampu menggerakkan ekonomi sekaligus menjaga penerimaan negara.

“Dengan adanya penundaan pajak dan tambahan likuiditas dari pemerintah, UMKM punya kesempatan bernapas lega. Momentum ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus memberi waktu bagi pelaku usaha digital agar lebih siap,” jelasnya.

Budi juga menekankan, proses penyusunan kebijakan ke depan tetap harus melibatkan dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku industri. Hal ini diperlukan agar desain kebijakan pajak yang lahir bisa lebih proporsional, berkeadilan, dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital.

“UMKM digital adalah tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Kebijakan yang tepat akan menjadi kunci agar mereka terus berkembang dan mampu bersaing,” pungkasnya. (alf)

Manfaatkan Segera! Pemutihan Pajak Kendaraan di Jabar Hanya Sampai 30 September

IKPI, Jakarta: Program pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan segera berakhir pada 30 September 2025. Warga yang masih memiliki tunggakan pajak kendaraan diimbau tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, karena setelah tanggal tersebut denda akan kembali diberlakukan.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat, Asep Supriatna, mengatakan program ini bertujuan membantu masyarakat agar bisa taat administrasi tanpa terbebani denda.

“Pemilik kendaraan hanya membayar pajak tahun berjalan, sementara denda tahun-tahun sebelumnya dihapuskan sesuai kebijakan Pak Gubernur Dedi Mulyadi,” jelas Asep dalam keterangannya dikutip, Senin (29/9/2025).

Program ini menawarkan tiga keringanan utama, yaitu:

• Penghapusan denda pajak kendaraan bermotor.

• Diskon pokok tunggakan pajak.

• Pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) II.

Untuk memanfaatkan program ini, wajib pajak cukup membawa dokumen penting seperti STNK, BPKB, dan KTP asli beserta fotokopi ke Samsat Induk sesuai domisili. Jika diwakilkan, diperlukan surat kuasa. Wajib pajak juga perlu menyiapkan dana untuk melunasi pokok pajak tahun 2025.

Besaran pajak dapat dicek secara online di laman resmi Bapenda Jabar: https://bapenda.jabarprov.go.id/infopkb. Sementara itu, untuk pembayaran pajak lima tahunan, kendaraan wajib dibawa ke Samsat Induk guna cek fisik.

Asep menegaskan, masyarakat jangan menunggu hingga batas akhir. “Kalau sudah lewat 30 September, denda kembali berlaku. Jadi manfaatkan sekarang sebelum terlambat,” pungkasnya. (alf)

DJP Kembali Buka Rekrutmen Relawan Pajak 2026, Catat Jadwal dan Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali membuka kesempatan emas bagi mahasiswa untuk berkontribusi nyata dalam edukasi perpajakan. Program Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) 2026 resmi dibuka dan bisa diikuti mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Pendaftaran program ini dapat dilakukan hingga 5 Oktober 2025 melalui laman resmi edukasi.pajak.go.id/renjani.

Apa Itu Renjani?

Renjani adalah wadah bagi mahasiswa untuk menyumbangkan tenaga dan pemikirannya dalam mengedukasi masyarakat tentang pajak. Program ini berada langsung di bawah kewenangan DJP. Walaupun bersifat sukarela tanpa uang saku, Renjani menawarkan segudang manfaat: mulai dari ilmu praktis perpajakan, keterampilan komunikasi, analisis data, hingga kesempatan memperluas jaringan dengan profesional pajak.

Syarat Pendaftaran Renjani 2026

Calon relawan wajib memenuhi sejumlah syarat berikut:

• Mahasiswa aktif dari semua jurusan, baik perpajakan maupun nonperpajakan.

• Terdaftar di perguruan tinggi negeri atau swasta.

• Memiliki Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).

• Menyertakan esai atau video perkenalan diri berisi profil, cita-cita, kompetensi, pengalaman organisasi, hingga motivasi bergabung di Renjani.

Cara Daftar

1. Buka edukasi.pajak.go.id/renjani.

2. Klik tombol “Daftar” di kanan atas.

3. Isi data diri, unggah esai atau tautan video, lalu submit.

4. Aktivasi akun melalui tautan yang dikirimkan ke e-mail.

5. Login ulang dengan password baru, akun Renjani siap digunakan.

Jadwal Penting Renjani 2026

Pendaftaran: hingga 5 Oktober 2025

Pelatihan & Leveling Test: hingga 28 November 2025

Pengumuman Hasil Seleksi: 1–12 Desember 2025

Unggah Kode Etik: 1–24 Desember 2025

Pengumuman Akhir: 8–31 Desember 2025

Pelaksanaan Kegiatan: 1 Januari – 31 Desember 2026

Program ini menjadi jalan bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan, memperluas wawasan, sekaligus membangun rekam jejak positif.

Segera daftar sebelum 5 Oktober 2025 dan jadilah bagian dari Relawan Pajak 2026! (alf)

Hayo Belajar Isi SPT Pakai Coretax, DJP Sediakan Simulator

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengajak wajib pajak tak lagi bingung saat musim lapor SPT Tahunan tiba. Lewat inovasi baru, DJP resmi merilis simulator terpandu yang bisa dijajal kapan saja sebagai latihan sebelum pelaporan resmi.

Simulator ini dapat diakses melalui laman https://spt-simulasi.pajak.go.id/ dengan login memakai NIK/NPWP 16 digit serta password standar P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh. Di dalamnya, DJP menyiapkan dua menu utama: SPT dan Pembayaran.

Meski sederhana, fitur ini cukup komplet untuk berlatih. Wajib pajak orang pribadi bisa langsung mencoba membuat konsep SPT, sedangkan wajib pajak badan dapat mengakses simulasi dengan skenario usaha perdagangan beromzet di bawah Rp50 miliar. DJP sudah menyiapkan konsep SPT yang bisa langsung diedit melalui fitur impersonate akun.

Namun, penting diingat, konsep SPT tahunan di sistem Coretax hanya akan tersedia setelah tahun pajak berakhir. Artinya, wajib pajak dengan pembukuan Januari–Desember baru bisa membuat SPT 2025 pada awal 2026. Karena itulah simulator ini diluncurkan lebih awal, agar masyarakat bisa belajar dan terbiasa dengan sistem digital sebelum waktunya tiba.

Dengan adanya simulator ini, DJP berharap wajib pajak makin siap, tidak salah langkah, dan bisa lebih cepat saat pelaporan sebenarnya. (alf)

 

Peneliti LPEM UI: Timpangnya Tarif Rokok Hambat Target Penerimaan Cukai

IKPI, Jakarta:Peneliti LPEM FEB UI, Vid Adrison, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan cukai rokok Indonesia. Ia menilai struktur tarif yang terlalu kompleks dan timpang membuat target penerimaan negara mustahil tercapai.

“Coba lihat, tarif rokok golongan satu 65% lebih tinggi dibanding golongan dua. Akibatnya apa? Perokok tinggal pindah dari rokok Rp37 ribu ke Rp23 ribu. Sama-sama ngebul, rasanya mirip, tapi jauh lebih murah. Jadi penerimaan pasti jeblok. Gak perlu jadi orang pinter untuk tahu ini bakal gagal,” ujarnya dalam forum diskusi perpajakan IKPI, Jumat (26/9/2025).

Vid menilai pemerintah seharusnya tidak kaget ketika target penerimaan cukai tidak tercapai pada 2023 dan 2024. “Kalau 2025 juga meleset, jangan heran. Gap tarif antar golongan terlalu besar. Itu undangan terbuka bagi konsumen untuk pindah merek. Dan kalau sudah pindah, penerimaan turun drastis,” katanya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa ketergantungan negara terhadap cukai rokok terlalu berisiko. Kontribusinya bisa mencapai 14% dari total penerimaan pajak.

“Artinya, satu industri punya power luar biasa besar. Pemerintah jadi sulit mengendalikan konsumsi. Kalau cukai meleset, APBN bisa terguncang,” ungkap Vid.

Ia menegaskan, penyederhanaan struktur tarif mutlak dilakukan. “Tarif harus dibuat sederhana, tanpa celah lompatan antar golongan. Kalau tidak, penerimaan cukai akan terus meleset dan shadow economy dari industri rokok justru makin subur,” pungkasnya. (bl)

 

Vaudy Starworld Ajak Anggotanya Aktivasi Akun Coretax Sekarang, IKPI Harus Jadi Garda Terdepan Edukasi

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mengajak seluruh anggotanya untuk melakukan aktivasi akun Coretax. Dalam surat resminya bernomor S-307/PP IKPI/IX/2025, Vaudy mengimbau agar seluruh anggota IKPI segera melakukan aktivasi akun Coretax serta membuat Kode Otorisasi (KO) atau Sertifikat Digital (SD) demi mendukung pelaporan SPT Tahunan 2025 yang kini sudah bertransformasi ke sistem digital penuh.

“Jangan tunda-tunda! Aktivasi Akun Coretax dan pembuatan KO/SD adalah kunci untuk bisa menandatangani dan mengirimkan dokumen pajak secara resmi dan elektronik. Ini bukan hanya teknis, ini soal legitimasi dan kepatuhan,” tegas Vaudy dalam suratnya.

Ia menegaskan, transformasi besar menuju layanan Coretax oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menandai era baru digitalisasi perpajakan nasional. Seluruh wajib pajak baik orang pribadi maupun badan wajib melakukan aktivasi akun melalui laman resmi https://coretax.pajak.go.id, dan mengikuti panduan dari leaflet resmi DJP.

Vaudy juga menekankan bahwa IKPI mendukung penuh inisiatif digitalisasi pemerintah dan meminta seluruh anggotanya tidak menunggu hingga deadline.

“Kita harus jadi garda terdepan dalam memastikan klien kita siap menghadapi sistem baru ini. Kalau terlambat aktivasi, jangan salahkan sistem kalau SPT tak bisa terkirim,” tambahnya.

Tak lupa, juga Vaudy mengingatkan bahwa KO/SD berfungsi layaknya tanda tangan digital resmi, yang kini menjadi syarat mutlak untuk pengiriman dokumen perpajakan. Tanpa aktivasi dan kode ini, wajib pajak bisa dipastikan tidak menyampaikan laporan.

Bagi anggota IKPI yang mengalami kesulitan dalam proses aktivasi, mereka bisa langsung menghubungi Kring Pajak di nomor 1500 200

“Coretax sudah di depan mata, jangan sampai gigit jari di hari H. Ayo aktifkan sekarang, atau siap-siap panik di kemudian hari” tegasnya. (bl)

Shadow Economy Capai Rp1.600 Triliun: “Kalau Bisa Ditangkap, Negara Tinggal Metik Pajak”

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, membeberkan fakta mencengangkan soal besarnya nilai shadow economy di Indonesia yang mencapai Rp1.600 triliun. Menurutnya, jika ekonomi bayangan ini bisa ditarik masuk ke sistem pajak, negara tidak perlu bersusah payah mencari sumber penerimaan baru.

Hal ini disampaikan Dodik saat berbicara dalam diskusi panel yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025). Diskusi berlangsung hybrid dengan ratusan peserta hadir secara langsung maupun daring.

“Dulu, Kementerian Keuangan pernah menghitung potensi tax gap dari shadow economy itu Rp1.600 triliun. Menteri bahkan pernah bilang, jangan muluk-muluk, Rp300 triliun saja yang bisa kita tarik sudah cukup. Itu realistis, asal data bisa dikelola dengan baik,” ungkap Dodik.

Ia menjelaskan, selama ini DJP sudah mulai masuk ke sektor-sektor yang sebelumnya tidak terjamah. Misalnya marketplace, platform pesan-antar makanan, perdagangan kripto, hingga fintech. Menurutnya, data dari platform-platform besar itu bisa menjadi amunisi baru bagi DJP untuk memperluas basis pajak.

“Ambil contoh sederhana. Di aplikasi pesan-antar makanan, semua ada, dari warung kaki lima sampai restoran besar. Kalau data order itu bisa ditangkap DJP, tidak ada lagi alasan pelaku usaha untuk berkelit. Semua omzet bisa tercatat dan masuk ke sistem,” tegas Dodik.

Menurutnya, shadow economy tumbuh subur karena dua hal, yakni enggannya pelaku usaha membayar pajak, dan rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah. “Mereka merasa terbebani pajak, sekaligus ragu apakah uang yang mereka bayar akan benar-benar kembali ke masyarakat. Nah, di sinilah peran DJP untuk membangun kepercayaan,” katanya.

Dodik menekankan, jika data bisa dikonsolidasikan dengan baik, ekonomi bayangan yang selama ini luput akan menjadi mesin penerimaan baru. “Kalau sudah masuk sistem, negara tinggal metik pajak. Potensinya nyata, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya,” kata Dodik. (bl)

id_ID