Trump Hentikan Perundingan Dagang dengan Kanada

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat gebrakan mengejutkan. Melalui pernyataan resminya, Trump mengumumkan penghentian seluruh perundingan dagang dengan Kanada, setelah munculnya iklan kontroversial dari pemerintah Ontario yang menggunakan suara mantan Presiden Ronald Reagan untuk menyerang kebijakan tarifnya.

“Tarif Sangat Penting Bagi Keamanan Nasional  dan Ekonomi Amerika Serikat,” tulis Trump di platform Truth Social.bya dikutip, Sabtu (25/10/2025).

“Berdasarkan tindakan mereka yang keterlaluan, Seluruh Perundingan Dagang dihentikan Dengan Kanada. Dengan ini Dihentikan.”

Iklan berdurasi satu menit itu menampilkan potongan pidato Reagan pada 1987, di mana ia menegaskan pentingnya perdagangan bebas dan memperingatkan bahaya tarif yang bisa menghambat inovasi serta merugikan pekerja Amerika. Namun, potongan itu dinilai dipakai “di luar konteks” untuk menyudutkan Trump dan menimbulkan keraguan di kalangan pemilih Partai Republik menjelang sidang penting di Mahkamah Agung AS.

Trump menuding langkah itu sebagai “provokasi politik terselubung” yang berpotensi memengaruhi keputusan pengadilan terhadap kebijakan ekonominya. Ia juga memperingatkan bahwa pembatalan kebijakan tarif oleh pengadilan bisa menimbulkan “bencana fiskal,” karena pemerintah akan dipaksa mengembalikan miliaran dolar yang telah dikumpulkan dari pungutan tarif.

Yayasan dan Institut Kepresidenan Ronald Reagan pun turut bersuara. Mereka menegur pemerintah Ontario karena menggunakan cuplikan pidato Reagan tanpa izin, dengan menyebut bahwa penggunaan “audio dan video secara selektif” itu menyesatkan publik.

Kebijakan tarif Trump selama ini memang menjadi duri dalam hubungan ekonomi kedua negara. Sekitar 75% ekspor Kanada mengalir ke AS, menjadikan negeri itu sangat bergantung pada pasar Amerika. Ontario — pusat industri baja dan otomotif Kanada — menjadi provinsi yang paling terpukul akibat tarif logam AS.

Pengumuman mendadak Trump langsung mengguncang pasar. Dolar Kanada melemah terhadap dolar AS, sementara pelaku industri memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mengancam rantai pasok lintas batas yang bernilai lebih dari US$900 miliar per tahun.

Baik Gedung Putih maupun kantor Perdana Menteri Kanada belum memberikan tanggapan resmi. Namun, sumber diplomatik menyebut bahwa kedua pihak sebenarnya sudah hampir mencapai kesepakatan parsial terkait tarif baja dan aluminium sebelum pengumuman ini mengguncang.

Trump dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney dijadwalkan bertemu pekan depan dalam rangkaian KTT ASEAN dan APEC di Asia. Namun, pasca pernyataan terbaru ini, pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung dalam suasana yang tegang.

Analis menilai langkah Trump kali ini lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. “Pasar sudah hafal pola seperti ini — ancaman dagang dari Trump sering kali bersifat taktis dan sementara,” ujar Charu Chanana, analis di Saxo Capital Markets, Singapura. “Reaksi dolar Kanada mungkin hanya sesaat, kecuali Trump benar-benar menindaklanjuti ancamannya dengan tarif baru.”

Ini bukan kali pertama Trump menggertak Kanada. Awal tahun lalu, ia juga sempat menghentikan pembicaraan dagang karena kebijakan Digital Services Tax Kanada. Kala itu, gertakannya berhasil — Ottawa akhirnya menunda penerapan pajak tersebut. Namun kali ini, dengan isu yang menyentuh simbol Partai Republik, konfrontasinya tampak lebih personal daripada sebelumnya. (alf)

JEF 2025 Jadi Momentum Penguatan Fiskal dan Pajak Daerah Jakarta

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Iwan Setiawan, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat fondasi ekonomi Jakarta melalui Jakarta Economic Forum (JEF) 2025. Forum ini menjadi wujud nyata sinergi antara pemerintah, regulator, dunia usaha, akademisi, dan komunitas dalam membangun ekonomi Jakarta yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan.

“Jakarta memiliki potensi besar untuk memperkuat eksistensinya sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global yang berdaya saing,” ujar Iwan Setiawan dalam sambutannya di puncak acara JEF 2025, Sabtu (25/10/2025).

Penyelenggaraan JEF yang diinisiasi oleh BI DKI Jakarta bersama Pemprov DKI, OJK Jabodebek, Kodam Jaya, Polda Metro Jaya, BMPD, dan unsur pentahelix lain, kini memasuki tahun ketiganya. Mengusung semangat #JagaJakarta, forum ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga wadah kolaborasi fiskal dan ekonomi yang menumbuhkan optimisme baru di tengah transformasi Jakarta menuju kota global.

Lebih dari 80 booth pelaku UMKM binaan pemerintah, lembaga keuangan, dan komunitas kreatif ikut berpartisipasi dalam festival ekonomi kolaboratif ini. Iwan menekankan, kegiatan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan usaha rakyat sejalan dengan peningkatan basis pajak daerah. “Ketika usaha tumbuh produktif dan sehat, penerimaan pajak ikut meningkat. Ini adalah simbiosis fiskal yang inklusif,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, BI DKI juga meluncurkan buku “Transformasi Ekonomi Jakarta untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan” serta menggelar Workshop Entrepreneurship bagi pelaku usaha disabilitas dan sertifikasi Data Analytic bagi generasi muda. Menurut Iwan, arah kebijakan fiskal Jakarta harus berpihak pada pemerataan dan inklusi ekonomi, di mana pajak berfungsi sebagai alat pembangunan, bukan beban masyarakat.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan pentingnya digitalisasi sebagai bagian dari transformasi ekonomi kota, termasuk melalui penerapan sistem pembayaran non-tunai seperti QRIS di pasar-pasar rakyat. “Digitalisasi bukan sekadar modernisasi, tetapi jalan menuju keadilan ekonomi. Dari pasar tradisional hingga pelaku start-up, semuanya harus masuk dalam ekosistem ekonomi digital Jakarta,” ujarnya.

Senada, Deputi Gubernur BI Ricky Perdana Gozali menyampaikan bahwa lebih dari 56% ekonomi Jakarta berasal dari sektor jasa, kreatif, dan digital. Sektor ini menjadi sumber potensial bagi penguatan penerimaan pajak daerah ke depan. “Jakarta Economic Forum merupakan wujud komitmen bersama untuk menggerakkan ekonomi kota melalui aksi kolaborasi dan inovasi, sambil memastikan kebijakan fiskal mampu mengikuti ritme transformasi itu,” katanya.

Dengan tema “Simfoni Jakarta: Kolaborasi, Inovasi, dan Aksi untuk Masa Depan Berkelanjutan”, JEF 2025 menjadi simbol orkestrasi antara kebijakan fiskal, inovasi ekonomi, dan partisipasi publik. Iwan menutup dengan pesan optimistis, “Simfoni ini menggambarkan harmoni seluruh potensi Jakarta. Ketika kolaborasi terjalin kuat, Jakarta bukan hanya kota global, tapi juga pusat inovasi fiskal yang menginspirasi Indonesia.” (bl)

Bolzano Jadi Kota Pertama di Eropa yang Terapkan Pajak Wisata untuk Anjing

IKPI, Jakarta: Kota wisata Bolzano di Italia Utara kembali menjadi sorotan dunia setelah memutuskan untuk memberlakukan kebijakan unik sekaligus kontroversial: pajak wisata untuk anjing. Kebijakan yang akan mulai berlaku pada tahun 2026 ini diklaim sebagai langkah inovatif untuk mengatasi overtourism dan menjaga kebersihan ruang publik, terutama di kawasan yang menjadi gerbang menuju Pegunungan Dolomit.

Berdasarkan laporan The Guardian (26/9/2025), pemilik anjing yang berkunjung ke Bolzano akan dikenakan pajak harian sebesar €1,50 atau sekitar Rp26.000 per ekor. Tidak hanya wisatawan, penduduk lokal pun wajib membayar pajak tahunan sekitar €100 atau Rp1,7 juta untuk setiap anjing yang mereka pelihara. Seperti dikutip Travel Market Report, pemerintah kota berencana menggunakan dana tersebut untuk biaya pembersihan jalan serta pembangunan taman khusus anjing di berbagai titik kota.

Kebijakan ini melanjutkan regulasi sebelumnya yang tak kalah kontroversial, yakni kewajiban pendaftaran DNA anjing. Melalui sistem tersebut, kotoran anjing yang ditinggalkan di jalan dapat ditelusuri ke pemiliknya, yang kemudian bisa dijatuhi denda hingga €600 atau sekitar Rp10,5 juta. Pemilik yang telah mendaftarkan DNA peliharaannya akan dibebaskan dari pajak baru ini selama dua tahun pertama sebagai bentuk insentif. 

Menurut Luis Walcher, anggota Dewan Provinsi yang menggagas kebijakan ini, pajak tersebut dibuat bukan untuk menghukum, melainkan untuk menegakkan tanggung jawab sosial dan menjaga keadilan bagi seluruh warga.

“Jika tidak diatur, beban membersihkan jalan akan ditanggung semua orang, padahal sebagian besar berasal dari kotoran anjing. Ini soal keadilan dan tanggung jawab bersama,” ujar Walcher dikutip dari Travel Market Report, Sabtu (25/10/2025).

Namun, kebijakan itu menuai kritik keras dari kelompok perlindungan hewan. Carla Rocchi, Presiden organisasi nasional ENPA, menyebut pajak tersebut sebagai langkah yang tidak manusiawi dan bisa menurunkan citra Bolzano sebagai kota ramah hewan.

“Hewan bukanlah barang mewah, melainkan bagian dari keluarga. Pajak seperti ini tidak menyelesaikan perilaku segelintir orang, malah berisiko mendorong penelantaran hewan,” tegas Rocchi seperti dilansir The Guardian.

Sementara sebagian pihak menilai kebijakan ini terlalu ekstrem, pemerintah Bolzano bersikukuh bahwa langkah tersebut merupakan bentuk inovasi pengelolaan kota wisata berkelanjutan. Dengan penerapan pajak ini, Bolzano menjadi kota pertama di Eropa yang secara resmi mengenakan pajak wisata bagi anjing, sekaligus membuka babak baru dalam perdebatan tentang tanggung jawab lingkungan dan hak hewan di tengah meningkatnya arus pariwisata global. (alf)

Pajak Pariwisata Dunia Melonjak: Jepang hingga Spanyol Berlomba Menekan Overtourism

IKPI, Jakarta: Gelombang pariwisata global yang terus meningkat kini mulai “mengguncang dompet” wisatawan dunia. Dari Tokyo hingga Barcelona, dari kanal Venesia hingga lanskap beku Norwegia, pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan pajak dan biaya pariwisata baru sebagai langkah nyata menekan dampak overtourism yang kian meresahkan.

Fenomena ini menandai babak baru dalam industri pariwisata: di satu sisi mendorong keberlanjutan lingkungan dan infrastruktur lokal, namun di sisi lain memaksa wisatawan menata ulang rencana dan anggaran liburan mereka.

Jepang Naikkan Pajak Visa dan Keberangkatan

Sebagai salah satu negara dengan lonjakan wisatawan internasional tertinggi pascapandemi, Jepang mengambil langkah berani. Mulai 2026, wisatawan asing akan dikenakan kenaikan signifikan pada pajak keberangkatan dan biaya visa.

Saat ini, biaya visa sekali masuk sekitar £15 dan pajak keberangkatan £7. Namun, angka itu akan melonjak menjadi sekitar £25 hampir empat kali lipat dari tarif sebelumnya.

Pemerintah Jepang menegaskan, kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara ekonomi pariwisata dan kapasitas lingkungan lokal yang semakin tertekan.

Spanyol: Barcelona Tak Lagi Murah Dikunjungi

Tak mau kalah, Spanyol khususnya wilayah Catalonia juga menaikkan pajak pariwisata harian hingga €15 mulai Oktober 2025.

Langkah ini merupakan jawaban atas “banjir wisatawan” di Barcelona, yang menyebabkan kemacetan, kenaikan harga sewa, dan tekanan pada layanan publik.

Pemerintah daerah menilai, pajak tinggi ini bukan sekadar sumber pendapatan, tetapi juga alat pengendali jumlah pengunjung demi menjaga kualitas hidup warga dan keberlanjutan kota wisata.

Venesia Kembali Tegas pada Turis Harian

Di Venesia, kota yang setiap tahun diserbu jutaan wisatawan, pajak turis kini diperluas ke lebih banyak bulan, terutama antara Mei hingga Oktober adalah periode puncak kunjungan.

Wisatawan harian akan dikenakan biaya €5 hingga €10, tergantung waktu kunjungan dan cara pendaftaran.

Langkah ini adalah bentuk ketegasan pemerintah kota yang sudah lama berjuang melawan efek negatif overtourism, seperti rusaknya infrastruktur, membengkaknya biaya perawatan kanal, dan menurunnya kualitas hidup warga lokal.

Norwegia Siapkan Pajak Hotel hingga 5%

Sementara itu, Norwegia sedang menimbang penerapan pajak pariwisata hingga 5% untuk penginapan di kawasan seperti Tromsø dan Kepulauan Lofoten, dua destinasi alam favorit yang kini menghadapi lonjakan pengunjung luar biasa.

Pajak ini akan difokuskan pada konservasi lingkungan dan perawatan fasilitas wisata, agar keindahan alam Norwegia tetap lestari di tengah ledakan kunjungan.

Kenaikan pajak di berbagai destinasi ini mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan wisatawan. Tiket pesawat, hotel, dan transportasi lokal kini semakin mahal — dan pajak baru ini menambah beban biaya.

Bagi para pelancong reguler, strategi perjalanan kini tak lagi soal mencari destinasi menarik, tetapi juga menghitung total biaya pajak dan retribusi wisata.

Pajak Baru Demi Pariwisata Berkelanjutan

Di balik kenaikan biaya tersebut, pemerintah negara-negara tersebut sepakat pada satu hal: pariwisata harus berkelanjutan.

Pajak baru dianggap sebagai “investasi balik” agar destinasi tetap lestari, bersih, dan tidak kehilangan daya tarik akibat eksploitasi berlebihan.

“Lebih baik membayar sedikit lebih mahal hari ini daripada kehilangan keindahan itu selamanya,” ujar salah satu pejabat pariwisata Catalonia.

Seiring banyak negara mulai meniru langkah ini, tren “pajak hijau” dalam pariwisata global tampaknya akan menjadi norma baru.

Wisatawan disarankan untuk memasukkan pajak destinasi dalam perencanaan perjalanan, bukan hanya untuk menghindari kejutan biaya, tapi juga memahami kontribusi mereka terhadap pelestarian tempat-tempat indah dunia. (alf/berbagai sumber)

Karangasem Tegaskan Komitmen Fiskal untuk Bumi yang Lestari

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kabupaten Karangasem menegaskan komitmennya dalam membangun daerah yang berkelanjutan dengan mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam kebijakan fiskal daerah.

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Karangasem, I Ketut Sedana Merta, saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertema “Climate Finance and Budgeting di Indonesia: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Bali, Kamis (23/10/2025) di Denpasar.

Sedana Merta hadir bersama perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Karangasem. Kehadiran ketiganya mencerminkan keseriusan daerah dalam memperkuat sinergi lintas sektor menuju tata kelola keuangan daerah yang berwawasan lingkungan.

“Isu perubahan iklim tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Daerah juga memiliki peran penting dalam memastikan pembangunan yang adaptif terhadap tantangan global,” ujar Sedana Merta.

Ia menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Karangasem telah berupaya mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam berbagai aspek kebijakan daerah, mulai dari perencanaan pembangunan, penganggaran, hingga pelaksanaan program berbasis lingkungan hidup. “Melalui forum seperti ini, kami mendapatkan banyak perspektif bagaimana pembiayaan iklim dapat diimplementasikan secara konkret di Karangasem,” tambahnya.

FGD yang diinisiasi oleh BPK Bali tersebut dihadiri seluruh Sekretaris Daerah se-Provinsi Bali dan dibuka oleh Ikhsan Aprian, S.T., CertDA, CIISA, CSFA, mewakili Kepala Perwakilan BPK Provinsi Bali, I Nyoman Sugirah Satria Perwira.

Dalam sambutannya, Ikhsan Aprian menegaskan bahwa pengelolaan pembiayaan dan penganggaran iklim menjadi bagian penting dari sistem pembangunan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi hasil. Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara lembaga pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam memperkuat kebijakan fiskal berbasis iklim yang berkeadilan.

Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Dr. Ahmad Adib Susilo (Staf Ahli Bidang Keuangan Pemerintah Pusat), Dr. Ida Bagus Made Sutresna (Bappeda Provinsi Bali), serta Dr. Ir. I Made Rentin (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali).

Melalui kegiatan ini, Pemerintah Kabupaten Karangasem menegaskan komitmennya untuk memperkuat integrasi kebijakan fiskal yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Langkah ini menjadi bagian dari upaya menuju pembangunan hijau di Bali, sekaligus memperkuat kontribusi daerah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim secara nasional. (alf)

Kebijakan Fiskal Purbaya Disebut Jadi Motor Pemulihan Ekonomi Domestik

IKPI, Jakarta: Sejak resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung memutar arah kebijakan fiskal Indonesia. Gebrakan teranyar: mengalihkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara.

Langkah tersebut menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskal era Purbaya akan digunakan sebagai motor pemulihan ekonomi domestik, bukan sekadar instrumen menjaga stabilitas makro.

Chief Economist BNI, Leo Putera Rinaldy, menilai strategi fiskal ekspansif Purbaya sebagai langkah yang “tepat dan diperlukan (necessary)” di tengah ketidakpastian ekonomi global.

“Sekarang semua negara mulai fokus memperkuat ekonomi domestik karena perdagangan dunia makin tidak pasti dan sangat volatil,” ujar Leo dalam forum BNI Economic Perspective: Navigating Shifts, Building Resilience di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, arah kebijakan global kini bergerak dari ketergantungan terhadap ekspor menuju penguatan pasar domestik. Ia mencontohkan Tiongkok yang dalam rencana lima tahunan 2026–2030 akan fokus mendorong permintaan dalam negeri. “Tiongkok ingin memperkuat domestic market-nya karena selama ini ekonominya rentan terhadap guncangan global,” ujarnya.

Leo menegaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan struktural karena lebih dari separuh PDB-nya disumbang oleh konsumsi domestik. “Kita beruntung, 54 persen dari kue ekonomi kita sudah domestik. Jadi sejak awal kita relatif tahan terhadap guncangan global karena domestic driven economy,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa daya tahan itu perlu dijaga dengan kebijakan fiskal yang kuat dan tepat sasaran. Stimulus belanja pemerintah dan insentif pajak menjadi kunci utama untuk menjaga momentum pertumbuhan. “Kalau konsumsi tidak bagus, perusahaan tidak ekspansi. Kalau tidak ekspansi, kredit melambat dan penerimaan pajak ikut tertahan. Itu lingkaran yang harus diputus dengan kebijakan fiskal yang ekspansif,” tegas Leo.

Menurutnya, pendekatan Purbaya Yudhi Sadewa berbeda dari pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, yang dikenal konservatif dalam menjaga defisit. “Kita bisa berdebat soal school of thought, tidak ada yang benar atau salah. Tapi memang Pak Purbaya lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan,” ujarnya.

Leo menilai, kebijakan fiskal yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi justru akan memperluas basis pajak di masa depan. “Kalau pertumbuhan ekonomi membaik, lapangan kerja bertambah, konsumsi naik, dan basis pajak ikut meluas. Jadi fiskal ekspansif justru menciptakan efek ganda bagi penerimaan negara,” paparnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa langkah fiskal yang lebih dinamis akan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk fokus menjaga stabilitas moneter. Dengan sinergi fiskal–moneter yang selaras, Indonesia berpotensi memperkuat pondasi ekonominya sekaligus memperluas basis pajak secara berkelanjutan.

“Ini bukan sekadar kebijakan menggeser dana, tapi perubahan arah. Di era Purbaya, fiskal bukan hanya soal angka defisit, tapi instrumen nyata untuk membangkitkan ekonomi rakyat,” pungkas Leo. (alf)

IKPI dan OCBC Bangun Budaya Pajak Cerdas dan Patuh

Kolaborasi dan kerja sama antara IKPI dengan OCBC pada event OCBC Business Forum 2025 for Partner di St Regis Jakarta hotel Rajawali Place, Jl. H. R. Rasuna Said No.4 Blok Kav. B 12910 South Jakarta hari Jumat tanggal 24 Oktober 2025 menjadi langkah nyata dalam mendukung peningkatan kesadaran pajak masyarakat. 

Peserta event OCBC Business Forum ini adalah nasabah yang beraneka ragam bisnis, beberapa nasabah yang meminta konsultasi perpajakan antaralain di bidang rumah ibadah, ⁠consumer goods, ⁠dealer/jual beli mobil, distributor automotive spare part, ⁠manufacturer of plastic packaging, specialised for food and beverages, ⁠logistik, cargo, transportasi logistik, ⁠filter air. Peserta yang telah mendaftar berasal dari beragam sektor usaha, mencerminkan luasnya jangkauan dan manfaat program ini.

Program IKPI–OCBC tidak hanya menjadi saranaedukasi, tetapi juga wadah kolaborasi lintas sektor dalam membangun budaya pajak yang lebih sadar, patuh, dan beretika.

Tim IKPI yang hadir dalam acara ini terdiri dari Buddi Beny (IKPI Tangsel), Hidajat Hoesni(IKPI Jakbar), Tintje Beby (IKPI Tangkot), Betty (IKPI Tangsel), Nia Budhyanti (IKPI Jakbar), Kosasih (IKPI Jaktim), Rizky Darma (IKPI Jaktim), Muhamad Fadhil ( IKPI Jaktim)serta Handy (IKPI Jakbar). 

Partisipasi ini menjadi sarana untuk memperkenalkan IKPI sebagai organisasi profesi konsultan pajak yang terpercaya, dan kompeten, menjadi momentum yang bermanfaat bagi penguatan jejaring sekaligus memperkenalkanprofesi konsultan pajak di masyarakat.

Mekanisme sesi konsultasi dibagi ke dalambeberapa bagian agar setiap peserta memperolehpemahaman yang lebih dalam dan relevan denganbidang usahanya. Setiap sesi berlangsung selama kurang lebih 25 menit, di mana peserta dapatberkonsultasi dengan para konsultanpajak profesional dari IKPI.

Banyak hal yang ditanyakan oleh para nasabah selamasesi berlangsung, mulai dari bagaimana melakukan perencanaan pajak (tax planning) yang efektif, hingga kiat-kiat menghadapi pemeriksaan pajak dengan benardan percaya diri. Antusiasme peserta menunjukkan tingginya kesadaran akan pentingnya pemahaman pajak yang baik dalam menjaga keberlanjutan usaha.

Walaupun waktu yang tersedia sangat terbatas, tim konsultan pajak IKPI tetap mampu memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai strategi perencanaan pajak (tax planning) yang sesuai dengan ketentuan, namun tetap efisien bagi perusahaan. Para peserta juga memperoleh panduan praktis mengenailangkah-langkah menghadapi pemeriksaan pajak, seperti pentingnya dokumentasi yang rapi, sikap kooperatif terhadap otoritas pajak, serta pemahaman atas hak dan kewajiban wajib pajak selama proses pemeriksaan, sehingga setiap peserta tetap memperoleh manfaat maksimal dari sesi konsultasi yang diikuti.

Melalui kolaborasi dan kerjasama ini IKPI dan Bank OCBC bertekad terus meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak bagipara pelaku usaha di Indonesia dan juga dapatmemperkuat peran konsultan pajak sebagai mitra strategis dalam mendampingi wajib pajak. Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa edukasi dan kolaborasi dapat berjalan beriringan untuk mewujudkan sistemperpajakan yang adil, profesional, dan berkontribusinyata bagi kemajuan bangsa.

 

Penulis adalah Anggota Departemen Pendidikan IKPI 

Tintje Beby

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadipenulis.

Mantan Anggota BPSP: Pajak Bukan Hanya Angka Tetapi juga Soal Keadilan 

IKPI, Jakarta: Pajak bukan hanya soal angka dan aturan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberpihakan negara. Demikian disampaikan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode (1997-1999) Nuryadi Mulyodiwarno,  saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar IKPI pada Jumat (24/10/2025).

Dalam paparannya, Nuryadi mengingatkan bahwa konsep substance over form seharusnya tidak berhenti sebagai jargon akademik, melainkan menjadi prinsip yang menghidupkan keadilan dalam kebijakan pajak. “Kita ini sering terjebak pada bentuk form, bukan substansi. Padahal pajak itu bukan cuma what, tapi why. Kenapa kebijakan dibuat, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan,” ujarnya.

Ia mengisahkan masa mudanya di Universitas Indonesia pada tahun 1975. Saat itu, ujian komprehensifnya justru membahas leasing, topik yang sama sekali belum ia pahami. “Saya waktu itu tidak ngerti leasing, tapi kok bisa lulus? Karena dosennya teman main tenis,” katanya disambut tawa peserta. “Tapi dari situ saya belajar: kadang substansi lebih penting dari sekadar formalitas.”

Selain itu, ia juga menyoroti ketidakkonsistenan sistem pajak Indonesia yang masih membedakan perlakuan antara warga negara dan orang asing. “Kalau orang Indonesia dikenai pajak atas penghasilan di seluruh dunia (worldwide income), kenapa orang asing di sini hanya kena pajak dari penghasilan lokal (territorial income)? Ini soal asas keadilan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung lambannya penyelesaian keberatan pajak yang sejak 1983 masih bertahan di tenggat 12 bulan tanpa ada pembaruan. “Kalau mau ekonomi bergerak cepat, keberatan jangan 12 bulan lagi, tapi cukup enam bulan. Itu baru efisien dan mendorong perputaran ekonomi,” katanya.

Menurut mantan Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan itu, prinsip pajak yang ideal harus memenuhi lima pilar utama: efisiensi, keadilan, kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. “Kalau hukum pajak tidak efisien, uang juga tidak berputar. Kalau hukum tidak adil, rakyat akan enggan patuh,” paparnya.

Nuryadi juga mengkritik keras kebijakan fiskal yang dinilainya timpang, seperti subsidi mobil listrik. “Coba pikir, orang kampung beli sarung kena PPN, tapi pengusaha mobil listrik disubsidi. Dari mana subsidinya? Dari pajak juga! Ini tidak sesuai prinsip keadilan,” ujarnya lantang.

Ia menutup dengan seruan agar para konsultan dan fiskus mulai menelaah kembali kebijakan dengan pendekatan substansi, bukan sekadar bentuk. “Jangan berhenti di angka dan pasal. Belajarlah melihat ‘kenapa’-nya. Karena di situlah ruh perpajakan yang sesungguhnya,” pungkas Nuryadi. (bl)

Substance Over Form: Catur Rini Tegaskan “Aliran Uang Bicara Lebih Keras daripada Kontrak”

IKPI, Jakarta: Direktur Keberatan dan Banding periode (2010 – 2015) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Catur Rini Widosari menegaskan bahwa dalam praktik perpajakan modern, pembuktian ekonomi atau substance kini menjadi penentu utama dalam sengketa pajak. “Aliran uang bicara lebih keras daripada kontrak,” ujar Catur dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi” yang digelar oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (24/10/2025).

Diskusi bulanan tersebut diselenggarakan secara hybrid di Gedung IKPI Pejaten, Jakarta Selatan, dan melalui Zoom Meeting. Catur hadir sebagai narasumber bersama sejumlah tokoh perpajakan lainnya. Ia merupakan Anggota Kehormatan IKPI sekaligus pernah menjabat sebagai Kakanwil DJP Banten (2015–2018), dan Kakanwil DJP Jawa Barat I (2018–2021).

Dalam paparannya, Catur mengungkap bahwa prinsip substance over form sebenarnya bukan hal baru dalam praktik perpajakan. Namun, penerapannya kini semakin kuat berkat kemajuan sistem pertukaran informasi dan teknologi data perpajakan. “Secara implisit, prinsip itu sudah lama hidup di sistem kita, tapi dulu belum sekuat sekarang,” katanya.

Ia menjelaskan, dahulu aparat pajak sangat bergantung pada kontrak dan dokumen formal yang diserahkan wajib pajak. Namun, kini dengan adanya pertukaran informasi otomatis antarnegara (Automatic Exchange of Information), otoritas pajak bisa menelusuri aliran dana hingga ke rekening penerima manfaat sesungguhnya. 

“Dulu kita hanya bisa tanya ke otoritas lain: apakah perusahaan ini benar ada, apakah mereka menyampaikan SPT, apakah pinjaman itu nyata. Jawabannya sering hanya ‘ya’ atau ‘tidak’. Sekarang, kita bisa lihat langsung uangnya mengalir ke mana,” jelasnya.

Menurut Catur, temuan-temuan dari hasil penelusuran ini seringkali mengungkap realitas berbeda dari dokumen legal. Banyak perusahaan yang tampak sah secara administratif ternyata hanya paper company entitas legal yang dibentuk untuk tujuan penghindaran pajak. 

“Kadang kita lihat uang yang dikirim dari luar negeri, tapi setelah ditelusuri, justru kembali lagi ke orang-orang di dalam negeri,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara form dan substance dalam penegakan hukum pajak. Form tetap penting sebagai dasar hukum, tetapi substance menentukan kebenaran ekonominya. “Form adalah pijakan, tetapi substansi yang membuktikan. Kalau form-nya indah tapi substansinya kosong, ya tidak ada nilainya,” katanya.

Catur menambahkan, dalam praktik pemeriksaan maupun sengketa pajak, baik fiskus maupun wajib pajak harus mampu menunjukkan bukti yang kuat. “Beban pembuktian tidak hanya di wajib pajak. Fiskus juga harus bisa membuktikan, jangan cuma klaim tanpa data,” tegasnya.

Ia menilai, perangkat hukum dan sistem informasi saat ini sudah jauh lebih siap dibanding satu dekade lalu. Namun demikian, keberhasilan penegakan pajak tetap bergantung pada integritas dan kemampuan analitis para pelaksana. “Aturan sudah ada, data tersedia, tapi ujungnya tetap pada orangnya. Seberapa jujur dan cermat mereka membaca bukti,” pungkasnya. (bl)

PP 43/2025 Tegaskan Laporan Keuangan Hanya Boleh Disusun oleh Profesional Berkompetensi dan Berintegritas 

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menegaskan arah baru tata kelola pelaporan keuangan nasional melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan (PP 43/2025). Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam pembentukan ekosistem pelaporan keuangan yang terstandarisasi, transparan, dan kredibel di seluruh sektor ekonomi.

Salah satu poin kunci dalam aturan tersebut adalah penegasan bahwa hanya pihak yang memiliki kompetensi dan berintegritas yang berhak menyusun laporan keuangan. Langkah ini menjadi sinyal kuat pemerintah untuk memperkuat kualitas, keandalan, dan kejujuran dalam penyajian laporan keuangan, baik bagi sektor publik maupun privat.

Melalui Pasal 5 ayat (1), pemerintah menegaskan bahwa penyusun laporan keuangan haruslah pegawai, karyawan, atau profesional yang memiliki keahlian di bidang akuntansi. Mereka wajib berintegritas tinggi dan memahami tanggung jawab etis dalam penyusunan laporan keuangan yang menjadi dasar pengambilan keputusan ekonomi, baik oleh pelaku usaha maupun otoritas keuangan.

Adapun pihak yang dikategorikan sebagai pelapor mencakup seluruh pelaku usaha sektor keuangan, seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, hingga perusahaan pergadaian dan penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi informasi. Termasuk pula lembaga pengelola dana wajib seperti BPJS, dana pensiun, dan penyelenggara kesejahteraan sosial yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menariknya, individu atau pelaku usaha perorangan juga dapat menjadi penyusun laporan keuangan selama memenuhi kriteria kompetensi yang ditetapkan. Bagi entitas yang membutuhkan bantuan profesional, pemerintah membuka ruang bagi akuntan publik dan akuntan berpraktik yang telah memiliki izin resmi dari kementerian atau otoritas terkait untuk memberikan jasa penyusunan laporan keuangan.

Lebih lanjut, guna memastikan standar kualitas laporan keuangan terjaga, Pasal 5 ayat (3) PP 43/2025 memberi kewenangan kepada kementerian, lembaga, dan otoritas terkait untuk menetapkan jenis kompetensi yang wajib dimiliki penyusun laporan keuangan. Bukti kompetensi ini dapat berupa ijazah pendidikan formal, sertifikat keahlian profesional di bidang akuntansi, atau piagam akuntan ber-register.

Ketentuan kompetensi tersebut akan disesuaikan dengan skala usaha, jenis industri, serta kemampuan pelapor, sehingga tetap relevan dan proporsional bagi setiap sektor. Pemerintah menilai langkah ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap laporan keuangan, terutama dalam era keterbukaan data dan integrasi sistem pelaporan nasional melalui Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK).

Dengan diundangkannya PP 43/2025 pada 19 September 2025, Indonesia resmi memasuki babak baru penguatan tata kelola keuangan nasional. Regulasi ini bukan sekadar aturan administratif, tetapi manifesto komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem pelaporan yang akuntabel dan bebas dari manipulasi angka.

Ke depan, hanya profesional yang berkompeten dan berintegritaslah yang dapat menjadi pilar utama dalam menjaga kredibilitas laporan keuangan Indonesia. Pemerintah berharap, langkah ini akan mendorong terciptanya iklim bisnis yang sehat, transparan, dan berdaya saing global. (alf)

id_ID