Implikasi Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi Terhadap Dunia Usaha

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2024 (PMK79/2024) tentang Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi diterbitkan untuk menggantikan ketentuan sebelumnya dan memberikan kerangka perpajakan yang lebih komprehensif dan terstruktur yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2024. Kerja Sama Operasi (KSO) atau Joint Operation (JO) merupakan bentuk kemitraan usaha yang umum dalam proyek-proyek besar, khususnya di sektor konstruksi dan infrastruktur.

PMK79/2024 tersebut mengatur bahwa KSO wajib memiliki NPWP tersendiri, melakukan pembukuan terpisah, serta memenuhi kewajiban perpajakan sebagai entitas mandiri. Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, atau aset tetap, dan dikenai perlakuan perpajakan sesuai jenisnya. KSO juga dapat ditunjuk sebagai pemotong pajak Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan Pasal 23, sedangkan penghasilan anggota dari KSO menjadi tanggung jawab perpajakan masing-masing.

Poin-poin Penting

1. Pengakuan KSO sebagai Subjek Pajak

KSO diakui sebagai subjek pajak meskipun tidak berbadan hukum. KSO wajib memiliki NPWP sendiri yang terpisah dari anggota-anggotanya.

2. Kewajiban Pendaftaran dan NPWP

KSO wajib didaftarkan untuk memperoleh NPWP jika melakukan kegiatan usaha/jasa atau menerima penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.

3. Kontribusi Anggota ke KSO

Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, dan/atau tanah dan bangunan. Kontribusi berupa BKP/JKP oleh PKP dikenai PPN. Kontribusi tanah dan bangunan dapat dikenai PPN dan PPh Final sesuai kondisi.

4. Kewajiban Pembukuan dan Pelaporan

KSO wajib menyelenggarakan pembukuan dan pelaporan pajak secara terpisah dari para anggotanya. KSO juga wajib menyampaikan SPT Masa dan SPT Tahunan PPh Badan.

5. Pemotongan dan Penyetoran Pajak

KSO dapat ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2). Penghasilan anggota dari KSO tidak dipotong oleh KSO, tetapi disetorkan dan dilaporkan oleh masing-masing anggota.

6. KSO dengan Subjek Pajak Luar Negeri

Jika terdapat anggota KSO yang merupakan subjek pajak luar negeri, maka penghasilan yang diterima dari KSO dikenai PPh Pasal 26, kecuali ditentukan lain oleh perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty).

7. Penghentian KSO

Setelah kerja sama berakhir, KSO wajib menyampaikan SPT pembubaran atau pengakhiran kegiatan dan menyelesaikan seluruh kewajiban perpajakan yang masih harus dipenuhi.

Sebelum PMK79/2024, pengaturan perpajakan KSO tersebar di beberapa regulasi, pada masa itu, sehingga perlakuan pajak terhadap KSO sering kali membingungkan karena tidak ada kejelasan status subjek pajak dan kewajiban pencatatan.

Misalnya, tidak semua KSO diwajibkan memiliki NPWP, sehingga menimbulkan celah administratif. Selain itu, kontribusi berupa aset seperti tanah/bangunan tidak selalu jelas apakah dikenai PPN atau tidak.

Beberapa ketentuan dalam PMK792024 yang patut diperhatikan antara lain:

– Penegasan NPWP KSO: Memberikan dasar administratif yang kuat.

– Kontribusi berupa aset (tanah dan bangunan): Kini dikenai PPN jika diserahkan oleh PKP, menambah beban fiskal namun memperjelas perlakuan pajak.

– Pembukuan terpisah: Meningkatkan transparansi namun memerlukan kesiapan sistem dan SDM.

– Penyetoran pajak anggota: Mendorong kemandirian dan tanggung jawab masing-masing anggota.

PMK79/2024 menyederhanakan dan memperjelas perlakuan pajak KSO dengan mengatur kontribusi secara eksplisit, menjadikan KSO sebagai subjek pajak, dan mengatur pembukuan dan pelaporan secara terpisah. Hal ini menciptakan keadilan fiskal serta mempermudah pengawasan dan kepatuhan perpajakan.

PMK79/2024 merupakan langkah positif dalam reformasi perpajakan, khususnya dalam pengaturan entitas non-badan hukum seperti KSO. Dengan kejelasan regulasi, pengusaha dapat lebih percaya diri dalam menyusun kontrak dan melaksanakan kerja sama. Namun, kompleksitas administrasi dan tambahan beban pajak, terutama atas kontribusi non-uang seperti aset (tanah dan bangunan) perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan proyek.

Pemerintah diharapkan aktif memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis agar implementasi PMK ini tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.

Kesimpulannya: PMK79/2024 membawa perubahan penting dan positif dalam pengaturan perpajakan atas KSO. Peraturan ini tidak hanya memperjelas posisi hukum dan fiskal KSO, tetapi juga memberikan kerangka kerja yang lebih sistematis. Meski demikian, penerapannya memerlukan kesiapan teknis dan pemahaman menyeluruh dari pelaku usaha dan aparat pajak.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi 

Email: Kadek_sumadi@yahoo.com

Hariyasin

Email: hariyasin29@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

UMKM Beromzet Kecil di Malang Berpeluang Bebas Pajak, Ini Aturannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Malang tengah menyusun regulasi baru yang akan memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya di sektor kuliner. Lewat revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023, pemerintah berencana membebaskan pajak bagi usaha yang beromzet di bawah Rp10 juta per bulan.

Draft revisi tersebut kini sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang. Jika disahkan, kebijakan ini akan mengubah ketentuan sebelumnya dalam Perda Nomor 8 Tahun 2019, yang menetapkan batasan omzet kena pajak mulai dari Rp5 juta per bulan.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto, menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung pertumbuhan UMKM.

“Kami sedang melakukan verifikasi langsung ke lapangan guna memastikan data pelaku usaha kuliner yang penghasilannya di bawah Rp10 juta, agar mereka bisa dibebaskan dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu sektor makanan dan minuman (PBJT Mamin),” ujar Handi, dikutip, Sabtu (17/5/2025).

Namun, pengecualian pajak ini hanya berlaku bagi usaha yang belum mencapai omzet Rp10 juta per bulan. Sementara itu, bisnis makanan dan minuman yang sudah memiliki pendapatan di atas Rp10 juta dan menyediakan tempat duduk untuk pengunjung, akan tetap dikenakan pajak restoran sesuai ketentuan baru.

Langkah pendataan juga mencakup pelaku usaha kuliner malam hari, sebagai bagian dari evaluasi apakah usaha mereka termasuk dalam kategori objek pajak. Bapenda menegaskan bahwa isu mengenai rencana pemungutan pajak dari pedagang kecil tidak benar.

“Tidak ada niat menarik pajak dari usaha kecil. Justru, kami sedang menyusun regulasi agar mereka mendapatkan perlindungan,” tegas Handi.

Dengan regulasi ini, Pemkot Malang berharap UMKM dapat tumbuh lebih kuat tanpa terbebani pajak yang tidak proporsional terhadap skala usaha mereka. (alf)

 

 

 

 

Permohonan Pembetulan Pajak Bisa Langsung Ditolak Jika Tak Lengkap, PMK 118/2024 Tegaskan Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024 menetapkan ketentuan baru yang mempertegas tata cara pengajuan permohonan pembetulan dokumen perpajakan. Salah satu sorotan utama dalam peraturan ini adalah ketentuan pada Pasal 4, yang secara tegas menyatakan bahwa permohonan pembetulan yang tidak memenuhi syarat administratif tidak akan diproses lebih lanjut.

Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penelitian terhadap permohonan pembetulan yang diajukan oleh wajib pajak. Penelitian ini ditujukan untuk menilai apakah permohonan tersebut telah memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), yang meliputi kelengkapan data, dokumen pendukung, serta kriteria administratif lainnya.

Apabila hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka sesuai ayat (2), permohonan pembetulan dinyatakan tidak dipertimbangkan. Dengan demikian, DJP tidak akan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan atas permohonan tersebut.

Namun DJP tetap berkewajiban memberikan tanggapan resmi. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa wajib pajak akan menerima surat pengembalian permohonan dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut.

Surat pengembalian ini menjadi bentuk resmi pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses karena tidak memenuhi ketentuan.

Menariknya, meskipun permohonan pertama tidak dipertimbangkan, aturan ini tetap membuka ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama, asalkan seluruh persyaratan telah dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1). Hal ini ditegaskan kembali dalam ayat (4).

Untuk menjamin keseragaman dan kepastian dalam proses administrasi, DJP juga menetapkan format surat pengembalian yang harus digunakan. Format tersebut telah dicantumkan dalam Lampiran Huruf A PMK 118 Tahun 2024, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan ini, sebagaimana disebutkan dalam ayat (5).

Dengan adanya ketentuan ini, pemerintah ingin mendorong kedisiplinan dalam administrasi perpajakan dan mengurangi permohonan yang tidak valid sejak awal. Wajib pajak diharapkan dapat lebih cermat dan teliti dalam menyiapkan dokumen serta memastikan bahwa setiap permohonan yang diajukan benar-benar sesuai dengan ketentuan formal yang berlaku. (alf)

Pegawai DJP Sulselbartra Dapat Pembekalan untuk Dorong Optimalisasi Penerimaan Pajak 2025

IKPI, Jakarta; Dalam rangka memperkuat strategi pencapaian target penerimaan pajak tahun 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra) menggelar kegiatan pembekalan pegawai yang menghadirkan dua tokoh nasional, yakni Menteri Hukum dan HAM periode 2004–2007 Prof. Hamid Awaludin dan Pangdam XIV/Hasanuddin Mayjen TNI Windiyatno.

Dalam paparannya, Sabtu (17/5), Prof. Hamid menyoroti tantangan krusial di bidang perpajakan, terutama menyangkut minimnya kesadaran masyarakat serta kerumitan birokrasi perpajakan. Ia mengajak jajaran DJP untuk mengubah pendekatan pelayanan agar lebih membangun kepercayaan publik.

“Kita perlu menggeser cara pandang masyarakat bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan kontribusi aktif untuk membangun negara. Pajak adalah tiket untuk menyuarakan aspirasi,” kata Hamid.

Ia mengangkat praktik negara-negara Skandinavia sebagai contoh. Meski tarif pajak tinggi, masyarakat tetap mendukung karena merasa pelayanan publik berjalan dengan baik. “Yang mereka lihat adalah transparansi dan hasil nyata dari uang yang mereka bayarkan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mendorong DJP agar mengedepankan pendekatan humanis dalam melayani wajib pajak. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses restitusi bagi yang berhak, sebagai wujud pelayanan yang adil dan terpercaya.

Sementara itu, Mayjen TNI Windiyatno mengangkat pentingnya nilai-nilai kepemimpinan dalam mendukung kinerja organisasi. Menurutnya, pemimpin di instansi perpajakan harus hadir dan terlibat langsung dalam dinamika tim.

“Pemimpin sejati bukan yang hanya memberi perintah, tapi yang hadir bersama anak buahnya, memberi teladan dan solusi saat menghadapi tantangan,” ujar Windiyatno.

Ia juga menekankan integritas dan kerja sama sebagai fondasi tim yang tangguh. Menurutnya, budaya saling mendukung dan berbagi informasi harus terus dibangun agar tujuan organisasi tercapai secara kolektif.

Kepala Kanwil DJP Sulselbartra Heri Kuswanto menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya membangun sinergi lintas sektor dan memperkuat komitmen internal dalam mengelola penerimaan negara secara optimal.

“Dengan memadukan nilai-nilai disiplin, kepemimpinan yang adaptif, serta pelayanan yang mengedepankan kepercayaan publik, kami ingin memastikan bahwa setiap rupiah penerimaan tercatat dengan adil dan akuntabel,” ujar Heri.

Ia menegaskan, Kanwil DJP Sulselbartra berkomitmen menciptakan budaya kerja yang tangguh dan responsif, terutama dalam pengawasan dan penegakan hukum di bidang perpajakan. (alf)

 

 

 

Pemerintah Dorong Industri Ekspor Teknologi Tinggi Lewat Fasilitas Kawasan Berikat

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus memperkuat kebijakan strategis dalam mendorong pertumbuhan industri berorientasi ekspor melalui optimalisasi fasilitas kawasan berikat. Salah satu implementasi nyata dari kebijakan ini terlihat pada pengiriman perdana produk heat not burn oleh PT Genesis Technology Indonesia, yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Malang.

Pengiriman sebanyak 192 karton produk setengah jadi dengan berat total 1.265 kilogram ini bukan hanya sekadar aktivitas logistik industri, tetapi merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan prosedural yang dirancang pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri nasional di pasar global. Produk tersebut selanjutnya akan menjalani proses perakitan dan pengolahan akhir sebelum diekspor sebagai barang siap pakai.

Fasilitas kawasan berikat menjadi instrumen penting dalam kebijakan pemerintah untuk mendorong efisiensi industri dalam negeri. Melalui skema ini, perusahaan memperoleh manfaat seperti penangguhan bea masuk, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta kemudahan prosedur kepabeanan.

“Penguatan kebijakan kawasan berikat merupakan upaya pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain global dalam industri berteknologi tinggi,” ujar Bangun Permadi, Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai I Bea Cukai Malang, dalam keterangannya, Jumat (16/5/2025).

Pemerintah, lanjutnya, tidak hanya memberikan fasilitas, tetapi juga melakukan pendampingan aktif terhadap pelaku usaha agar insentif yang diberikan dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini sejalan dengan arahan nasional untuk mengakselerasi pertumbuhan industri manufaktur ekspor berbasis inovasi dan efisiensi produksi.

Regulasi yang mengatur pemberian fasilitas kawasan berikat tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.04/2021 serta Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor PER-9/BC/2021. Kedua regulasi ini menjadi payung hukum dalam pelaksanaan kebijakan yang mendukung integrasi industri, efisiensi logistik, dan peningkatan ekspor nasional.

Dengan pendekatan kebijakan yang terintegrasi, pemerintah berharap semakin banyak pelaku industri yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat sebagai bagian dari strategi bisnis ekspor jangka panjang. (alf)

DJP Genjot Rasio Pajak Lewat Tujuh Strategi Kunci: Fokus pada Kepatuhan Sukarela dan Reformasi Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah-langkah strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional yang sempat mengalami tren penurunan dalam lima tahun terakhir. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa lembaganya telah mengimplementasikan tujuh upaya komprehensif yang menyasar berbagai aspek sistem perpajakan.

“Upaya ini dirancang tidak hanya untuk memperbaiki rasio pajak, tapi juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih sehat dan berkeadilan,” kata Dwi, Sabtu (17/5/2025).

Langkah pertama adalah optimalisasi edukasi dan pelayanan, disertai pengawasan dan penegakan hukum. Menurut Dwi, peningkatan kesadaran pajak masyarakat menjadi pilar utama untuk mendorong voluntary compliance atau kepatuhan sukarela.

Langkah kedua, DJP memperkuat fungsi pengawasan melalui skema Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). “Kami menyesuaikan pendekatan pengawasan berdasarkan karakteristik Wajib Pajak, termasuk mereka yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif,” tutur Dwi. Keduanya kini diatur dalam SE-05/PJ/2025.

Ketiga, perluasan basis pajak terus dilakukan lewat intensifikasi dan ekstensifikasi, khususnya dengan menggali potensi sektor-sektor baru dan pelaku ekonomi digital.

Keempat, pemanfaatan teknologi menjadi andalan untuk mempermudah proses perpajakan serta meningkatkan akurasi data. DJP juga memperluas kolaborasi dengan instansi lain lewat program sinergi dan joint program lintas sektor.

Reformasi struktural juga tak luput dari perhatian. “Kelima, agenda Reformasi Perpajakan terus kami kawal, termasuk penyesuaian terhadap perkembangan kebijakan internasional,” tambah Dwi.

Insentif fiskal yang lebih selektif menjadi strategi keenam. DJP memastikan bahwa pemberian insentif perpajakan tetap sejalan dengan tujuan mendorong daya saing dan transformasi ekonomi.

Terakhir, DJP memperkuat kapabilitas organisasi dan SDM sebagai fondasi penting untuk menjawab tantangan global dan domestik.

Sebagai catatan, dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada awal Mei lalu, anggota DPR Misbakhun menyoroti penurunan rasio pajak sejak 2020. Meskipun ekonomi tumbuh positif dari -2,97% pada 2020 menjadi 5,03% pada 2024, rasio pajak belum sepenuhnya mengimbangi, turun dari 10,41% (2022) menjadi 10,07% pada 2024. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

RUU Pajak Trump Ditolak Anggotanya Sendiri, Utang AS Terancam Membengkak

IKPI, Jakarta: Upaya Presiden Donald Trump untuk mendorong pemotongan pajak besar-besaran kembali terganjal, kali ini bukan oleh oposisi Demokrat, melainkan dari partainya sendiri. Dalam sebuah langkah mengejutkan, sekelompok anggota Partai Republik di Dewan Perwakilan Rakyat AS menolak rancangan undang-undang (RUU) pajak yang diajukan sang presiden, meski partai tersebut menguasai mayoritas di Kongres.

RUU yang diajukan Trump bertujuan memperpanjang pemotongan pajak yang pertama kali diberlakukan pada 2017, serta memperluas penghapusan pajak atas tip dan lembur, meningkatkan anggaran pertahanan, dan mendanai pengetatan perbatasan. Namun Komite Anggaran DPR, yang dikendalikan oleh Partai Republik, memblokir langkah tersebut dalam pemungutan suara pada Jumat waktu setempat.

Penolakan ini menjadi kekalahan politik langka bagi Trump. Melalui media sosial, ia sempat menyerukan agar anggota partainya “BERSATU mendukung” RUU tersebut dan menuding ada “PENCARI PANGGUNG” di tubuh GOP yang merusak solidaritas.

Lima dari 21 anggota Republik di komite tersebut memilih menolak, menuntut pemangkasan anggaran lebih dalam, termasuk pada program Medicaid untuk warga miskin dan penghapusan total insentif pajak energi hijau yang digagas Partai Demokrat.

Salah satu tokoh garis keras, Rep. Ralph Norman, membela keputusannya menolak RUU tersebut. “Kami tidak bisa terus menambah beban utang tanpa menyelesaikan akar masalahnya pengeluaran yang tak terkendali,” ujarnya dikutip dari Reuters, Sabtu (17/5/2025).

Kekhawatiran bukan hanya datang dari internal politik. Moody’s, satu-satunya lembaga pemeringkat besar yang masih mempertahankan rating AAA untuk AS, memperingatkan bahwa beban utang negara bisa melonjak ke 134% dari PDB pada 2035 jika tren fiskal saat ini terus berlanjut. Pada 2024, rasio tersebut masih 98%.

Analis independen menilai bahwa proposal Trump bisa menambah tekanan pada keuangan negara, yang kini telah menanggung utang lebih dari US$36,2 triliun.

Ketua Komite Anggaran, Jodey Arrington dari Texas, menyatakan akan mencoba kembali mengajukan RUU tersebut pada Minggu malam. Namun, dengan friksi yang semakin tajam di tubuh GOP, masa depan kebijakan fiskal andalan Trump kini tampak lebih tidak pasti dari sebelumnya. (alf)

 

Kepatuhan Pajak di Indonesia : Sebuah Tinjauan Teoritis

Sebagai pembuka, mari kita membedah terlebih dahulu kinerja pendapatan negara pada tahun 2024. Penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp. 1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh sebesar 3,5% yoy, pertumbuhan ini hanya berdasarkan dari penerimaan dari sektor pajak, didorong oleh pertumbungan dari jenis penerimaan pajak utama.

Melihat kondisi ini, pajak adalah bentuk salah satu sumber penerimaan utama dari penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan mendanai berbagai kebutuhan publik, dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, layanan pendidikan, subsidi sosial, hingga proyek-proyek strategis nasional lainnya.

Mengingat keterbutuhan akan penerimaan negara dari sektor pajak itu merupakan sumber yang tergolong primer, maka hal ini, secara tidak langsung mendorong Pemerintah untuk menekankan kepada masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak untuk meningkatkan pentingnya memenuhi kepatuhan perpajakan yang dilandasi Peraturan Perpajakan di Indonesia.

Dalam konteksnya di Indonesia, kontribusi penyerapan penerimaan negara di Indonesia dari sektor Pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai lebih dari 70% di setiap tahunnya, mengingat data yang telah saya paparkan di awal penjelasan diatas, yang hal ini menegaskan bahwa Pajak secara tidak langsung pula menjadikan instrumen utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional dalam hal pendanaan strategis nasional.

Kepatuhan terhadap perpajakan memiliki makna bahwa setiap Wajib Pajak, melaksanakan dan memenuhi kepatuhan dan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu, jujur, dan menjalankan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan yang berwenang. Dengan, mempertimbangkan tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi di suatu negara, maka secara tidak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pengembalian terhadap negara kepada masyarakat yang sepadan, seperti fasilitas yang diberikan, sarana dan prasarana yang tersedia di publik, sumber daya yang cukup, program-program publik yang dapat dijalankan secara merata dan berkelanjutan, namun berkebalikannya, bila tingkat kepatuhan yang rendah, maka beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan tidak merata, dengan asumsi bahwa hanya ada segelintir pihak saja yang taat, namun yang lainnya memiliki kecenderungan mengindar, maka hal ini akan memicu ketimpangan sosial, dan serta menimbulkan ketidak percayaan terhadap sistem perpajakan yang dibangun oleh sebuah Pemerintahan.

Di sisi lain, kepatuhan terhadap perpajakan, menggambarkan dan mencerminkan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah. Masyarakat yang selama ini telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya, akan menunjukkan bahwa dana yang mereka setorkan dan kontribusikan kepada negara, akan dikelola secara bertanggung jawab oleh negara, dalam bentuk imbal balik yang diberikan Pemerintah seperti pelayanan yang maksimal kepada Masyarakat, pembangunan infrastruktur yang merata, layanan pendidikan dan kesehatan yang merata, yang pada dasarnya, seluruh manfaat dapat diterima secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, bentuk ketidakpatuhan juga, dapat memberikan sinyal adanya krisis ketidakpercayaan yang dari masyarakat kepada Pemerintah akibat adanya isu transparansi dan akuntabilitas dari Pemerintah, yang pada dasarnya hal tersebut harus menjadi evaluasi dari Pemerintah dalam menjalankan good clean governance.

Mengenal Berbagai Teori Kepatuhan Perpajakan

Tidak lengkap rasanya, bila kita membahas kepatuhan perpajakan, namun tidak membahas latar belakang akademis yang melandasinya. Latar belakang akademik, memiliki peranan sentral yang nantinya akan memberikan dampak praktis dalam bentuk kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing-masing Pemerintahan di berbagai negara, bergantung dengan setiap kebutuhan ekonomis di masing-masing negara tersebut. Pada pembahasan, teori-teori kepatuhan perpajakan ini, saya membagi 3 (tiga) kluster utama dari pandangan para ahli yang perlu rekan-rekan pahami dalam memahami mengapa kepatuhan perpajakan itu penting, 3 (tiga) teori pandangan para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972)

Teori ini, merupakan salah satu grand theory yang sering kali digunakan oleh para peneliti yang meneliti di subjek Perpajakan dan Akuntansi, yang dikembangkan oleh Michael G. Allingham dan Agnar Sandmo pada tahun 1972 dalam artikelnya yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”, premis sederhana, dari teori ini adalah teori ini menekankan akan pentingnya mematuhi kewajiban perpajakan, dan Wajib Pajak wajib menghitung secara rasional atas setiap untung dan ruginya bila tidak mematuhi kewajiban perpajakan, artinya secara sadar, Wajib Pajak bila dengan sengaja menghindar (tax avoidance) atau dengan sengaja melakukan penggelapan yang mengarah ke tindak pidana (tax evasion), maka terdapat ancaman maksimal yang akan diterima.

Oleh karena itu, dalam memutuskan apakah akan mematuhi atau melakukan penghindaran, setiap Wajib Pajak baik Badan Usaha maupun Orang Pribadi, akan terlebih dahulu menghitung baik buruknya, sebab, di setiap keputusan maupun langkah yang diambil, Wajib Pajak akan melakukan kalkulasi untung rugi secara logis, hal ini sangat relevan dengan kondisi yang menggambarkan situasi Wajib Pajak di seluruh belahan dunia. Model ini menjelaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya soal kesadaran moral atau etika, melainkan hasil dari keputusan ekonomi yang rasional, seperti keputusan investasi yang mempertimbangkan untung ruginya.

Model teori ini, secara umum memberikan dasar bagi para pemangku kepentingan seperti para regulator maupun Pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal, dalam merancang sistem bentuk pengawasan maupun kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dan bentuk pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, teori ini pula banyak mengundang kritik, karena terlalu menyederhanakan teknis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor humanis yang bahkan dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan Wajib Pajak seperti faktor sosial, moral, maupun psikologis, dalam hal ini berperan besar dalam perilaku Perpajakan Wajib Pajak.

Teori ini, menjadi penting dan tetap menarik untuk terus dilakukan studi lebih lanjut dalam hal studi kepatuhan perpajakan dan menjadi titik awal dari berbagai pengembangan teori lanjutan di bidang perpajakan, dan bahkan banyak teori yang berkembang atas dikenalkannya teori ini.

Tax Compliance Theory oleh Graetz dan Wilde (1985) 

Berbeda konsep dengan teori yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), pada teori ini Graetz dan Wilde (1985) yang dituangkan dalam artikel yang berjudul “The Economics of Tax Compliance: Facts and Fantasy”, memberikan warna yang berbeda. Teori kepatuhan pajak ini mengkritisi teori yang telah diusung sebelumnya, bahwa kepatuhan pajak harus didorong dengan konsep “tax morale”, nilai-nilai humanisme yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh teori sebelumnya.

Bahwa kepatuhan pajak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang Wajib Pajak memandang penggunaan dana pajak oleh negara. Jika merasa bahwa dana pajak yang selama ini secara terpaksa maupun sukarela disetorkan kepada negara namun peruntukkan dan penggunaannya untuk kemaslahatan masyarakat secara luas dan memiliki dampak yang positif bagi masyarakat secara umum, maka tercipta kepercayaan yang mendorong kepatuhan secara sukarela tanpa harus adanya dorongan dari Pemerintah untuk menekankan akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan, namun sebalknya, jika Wajib Pajak merasa bahwa sistem pajak koruptif dan tidak berpihak kepada rakyat, maka akan muncul resistensi dan kecenderungan untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, teori ini, menjadi bentuk resistensi dari teori sebelumnya, dan bentuk dari pengembangan dan perluasan atas pendekatan perilaku terhadap bentuk kepatuhan pajak, sebab meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak tidak hanya melalui penetapan atau ancaman sanksi, namun Pemerintah atau dalam hal ini regulatur dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik dengan institusi pajak beserta dengan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap mampu mendekatkan diri dengan masyarakat akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan.

Slippery Slope Framework oleh Erich Kirchler (2007) 

Teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Erich Kirchler pada tahun 2007, yang dituangkan dalam bukunya “The Economic Psychology of Tax Behaviour”, menandai pergeseran penting dari pendekatan ekonomi rasional menuju pendekatan psikologi perilaku dalam studi kepatuhan perpajakan. Kirchler berangkat dari kritik terhadap teori Allingham dan Sandmo yang mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah individu rasional yang hanya mempertimbangkan risiko audit dan sanksi. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kepatuhan pajak adalah hasil dari interaksi antara kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak (trust in authority).

Kirchler (2007), memperkenalkan konsep Slippery Slope Framework, yang menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan tidak hanya dapat ditingkatkan dengan pengawasan dan hukuman (coercive power), tetapi juga melalui pembangunan hubungan yang berbasis kepercayaan, transparansi, dan persepsi keadilan. Dalam kerangka ini, jika otoritas pajak terlalu mengandalkan kekuatan koersif, maka hubungan antara negara dan wajib pajak akan menjadi kaku dan penuh tekanan, bahkan bisa mendorong perlawanan pasif.

Namun, jika otoritas mampu menumbuhkan rasa kepercayaan melalui pelayanan yang baik, keterbukaan, dan perlakuan yang adil, maka akan muncul kepatuhan sukarela yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan. Kirchler juga menegaskan bahwa keseimbangan antara kekuatan dan kepercayaan merupakan kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, kepercayaan tidak hanya mencerminkan harapan bahwa otoritas pajak bertindak jujur dan profesional, tetapi juga mencakup persepsi bahwa kebijakan pajak dibuat secara partisipatif dan digunakan untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, teori Kirchler menjadi sangat relevan dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sering menghadapi tantangan rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan.

Aplikasi Ketiga Teori Kepatuhan Perpajakan di Indonesia 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), Graetz dan Wilde (1985), serta Erich Kirchler (2007) memberikan kerangka analitis yang saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksitas perilaku wajib pajak cukup menarik bila efektif diterapkan di Indonesia khususnya.

Secara khusus, misalnya, pada teori Allingham dan Sandmo (1972) yang menekankan pendekatan rasionalitas ekonomi, yaitu keputusan wajib pajak ditentukan oleh perbandingan antara manfaat menghindari pajak dan risiko dikenai sanksi apabila terdeteksi, relevan diterapkan di Indonesia sebagai dasar pembentukan kebijakan penegakan hukum.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa rasio audit terhadap jumlah wajib pajak masih sangat rendah, ditambah keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sanksi perpajakan, meskipun telah diatur secara hukum, sering kali tidak dijalankan secara konsisten dan tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Akibatnya, kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut menjadi kurang efektif. Hal ini juga diperburuk dengan adanya persepsi publik bahwa tindakan tegas lebih banyak menyasar pelaku UMKM atau wajib pajak individu kecil, sementara pelanggaran oleh korporasi besar atau elite ekonomi sering kali tidak tersentuh. Oleh sebab itu, pendekatan ini tetap penting namun membutuhkan penguatan melalui reformasi sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), transparansi sanksi, dan konsistensi penegakan hukum terhadap semua lapisan wajib pajak tanpa pandang bulu.

Sementara itu, bila kita menelaah lebih dalam pada teori Graetz dan Wilde (1985) serta konsep yang ditawarkan pada teori Slippery Slope Framework dari Kirchler (2007) menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks sosial-politik Indonesia. Graetz dan Wilde (1985)  menekankan pentingnya faktor moral pajak (tax morale) dan persepsi keadilan dalam sistem perpajakan.

Di Indonesia, banyak wajib pajak yang memilih tidak patuh bukan karena perhitungan rasional terhadap risiko hukum, melainkan karena munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi negara, persepsi bahwa pajak tidak digunakan untuk kepentingan publik, serta keteladanan yang buruk dari sebagian pejabat publik.

Hal ini diperkuat oleh kerangka kerja Kirchler (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat jika terdapat keseimbangan antara kekuatan otoritas pajak (audit dan sanksi) dan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan. Oleh karena itu, strategi DJP tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan koersif, melainkan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan, edukasi publik, dan upaya transparansi dalam pengelolaan penerimaan negara.

Program reformasi perpajakan yang mengarah pada digitalisasi (seperti core tax administration system) adalah langkah tepat, tetapi akan sia-sia tanpa diiringi perubahan dalam budaya organisasi dan sikap pelayanan yang humanis.

Dalam masyarakat yang masih bersifat kolektif seperti Indonesia, norma sosial dan pengaruh lingkungan sekitar juga sangat menentukan perilaku kepatuhan. Maka, kolaborasi antara negara, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan akademisi menjadi krusial untuk menumbuhkan ekosistem pajak yang sehat, adil, dan dipercaya. Kombinasi ketiga teori ini secara strategis dapat membentuk pendekatan yang menyeluruh: mendorong kepatuhan dengan kontrol yang kuat, memperkuat legitimasi sistem pajak, serta membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warganya.

Refleksi atas Peran Strategis IKPI dalam Membangun Kepatuhan Pajak di Indonesia 

Sebagai penutup, penting rasanya membahas peran sentral IKPI sebagai fondasi penting akan pemenuhan kepatuhan perpajakan masyarakat dan Wajib Pajak di Indonesia secara luas, tidak hanya sebagai Organisasi profesi yang mewadahi para Konsultan Pajak, namun IKPI memiliki peranan sentral yang dalam mitra strategis pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Dalam lanskap perpajakan modern yang terus berubah, peran aktor non-pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan semakin diakui sebagai bagian penting dari tata kelola fiskal yang berkelanjutan. Salah satu aktor strategis tersebut adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang merupakan organisasi profesi resmi dan independen yang mewadahi para konsultan pajak di Indonesia. Sebagai organisasi profesional, IKPI tidak hanya bertanggung jawab menjaga kompetensi dan integritas anggotanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab etik dan sosial yang lebih luas dalam mendukung peningkatan kepatuhan pajak nasional.

Dalam posisi ini, IKPI dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung yang kredibel antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik dalam aspek teknis, edukatif, maupun strategis. Peran IKPI menjadi sangat relevan ketika dikaji melalui kerangka pemikiran teoretis tentang kepatuhan pajak yang menekankan bahwa perilaku wajib pajak tidak hanya dipengaruhi oleh sanksi hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral, persepsi keadilan, dan relasi sosial dengan institusi perpajakan.

Dari perspektif Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972), kepatuhan pajak lahir dari kalkulasi rasional antara manfaat menghindari pajak dan risiko hukuman jika ketahuan. Dalam konteks ini, IKPI memainkan peran teknokratik yang sangat penting, yaitu membantu wajib pajak memahami, mematuhi, dan menyesuaikan pelaporan perpajakan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan kompleksitas regulasi perpajakan yang tinggi di Indonesia, baik dari sisi substansi hukum, dinamika perubahan kebijakan, maupun keterkaitan dengan sistem digital banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses pemahaman yang memadai.

Di sinilah konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI menjadi instrumen kunci untuk menutup kesenjangan informasi (compliance gap) yang sering kali justru menjadi akar ketidakpatuhan administratif, bukan karena niat jahat, tetapi karena minimnya literasi pajak. Kehadiran konsultan pajak profesional yang menjunjung integritas dapat meminimalisasi risiko pelanggaran pajak, sekaligus menghindari potensi sanksi yang merugikan wajib pajak dan negara.

Namun, pendekatan rasional semata tidak cukup menjelaskan seluruh aspek kepatuhan. Dalam perspektif Graetz dan Wilde (1985), kepatuhan tidak hanya bergantung pada risiko hukum, tetapi juga pada “tax morale”, yakni motivasi intrinsik untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan karena alasan etis, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, dengan karakter masyarakat yang kolektif dan sangat dipengaruhi oleh norma sosial, persepsi terhadap keadilan fiskal dan integritas institusi pajak menjadi faktor krusial. Jika wajib pajak melihat bahwa sistem perpajakan bersifat timpang, prosedurnya tidak transparan, atau pejabat publik tidak memberi keteladanan, maka moral pajak akan melemah, dan kepatuhan sukarela akan menurun.

Dalam hal ini, IKPI dapat menjalankan peran moral dan edukatif, yaitu membimbing kliennya untuk mematuhi pajak bukan hanya karena takut diperiksa, tetapi karena sadar bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi kolektif terhadap pembangunan nasional.

IKPI juga dapat mengadvokasi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan sistem yang adil, sekaligus menjadi bagian dari kontrol sosial dan teknokratik yang mendukung legitimasi sistem perpajakan nasional.

Selanjutnya, melalui kacamata Slippery Slope Framework yang dikembangkan oleh Erich Kirchler (2007), kepatuhan pajak merupakan hasil dari kombinasi antara kekuatan otoritas (power) dan kepercayaan (trust). DJP memiliki kekuatan hukum untuk memeriksa, menyanksi, dan menegakkan peraturan.

Namun, untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang yang berkelanjutan, kekuatan ini harus diimbangi dengan upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan efektivitas institusi perpajakan.

Di sinilah posisi IKPI menjadi sangat strategis sebagai co-creator trust. Konsultan pajak berada dalam posisi unik berinteraksi langsung dengan wajib pajak dan memahami sistem internal DJP, sehingga dapat memainkan fungsi diplomatik dan edukatif yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh negara.

Melalui pelayanan profesional, komunikasi yang etis, dan komitmen pada integritas, anggota IKPI dapat membentuk persepsi publik bahwa sistem perpajakan bukan alat pemaksaan, melainkan sarana kerja sama antara negara dan masyarakat. IKPI juga bisa mendorong DJP untuk meningkatkan kualitas layanan, menyederhanakan prosedur, dan meminimalkan ruang abu-abu yang bisa mengikis kepercayaan publik.

Refleksi atas peran IKPI dalam konteks ketiga teori ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara DJP dan organisasi profesi seperti IKPI bukan hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi kebijakan nasional untuk memperkuat struktur fiskal negara.

Dalam kondisi penerimaan negara yang semakin bergantung pada pajak, dan tekanan fiskal yang meningkat karena kebutuhan pembiayaan pembangunan, keberadaan konsultan pajak yang profesional, independen, dan berintegritas menjadi salah satu penopang utama. Maka, penting bagi IKPI untuk terus memperkuat kapabilitas anggotanya melalui pelatihan berkelanjutan, pembinaan etik profesi, serta keterlibatan aktif dalam reformasi perpajakan nasional.

Sinergi antara DJP dan IKPI akan menjadi model kemitraan yang menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pajak tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras negara menegakkan hukum, tetapi juga oleh seberapa besar masyarakat, melalui para profesionalnya, bersedia menjadi bagian dari ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan dipercaya.

SUMBER REFERENSI

Allingham, M. G., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4), 323–338. https://doi.org/10.1016/0047-2727(72)90010-2ScienceDirect+4SCIRP+4EconPapers+4

Graetz, M. J., & Wilde, L. L. (1985). The economics of tax compliance: Fact and fantasy. National Tax Journal, 38(3), 355–363.CaltechAUTHORS+3CaltechAUTHORS+3IDEAS/RePEc+3

Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.Google Scholar+3SCIRP+3Universität Wien+3

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Januari 2). Pendapatan negara tahun 2024 tumbuh positif. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pendapatan-Negara-Tahun-2024-Tumbuh-Positif

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi/Mahasiswa Program Doktoral Keuangan Universitas Brawijaya/Dosen Universitas Nasional

M. Abdul Rahman

Email: rahman@rahman-muhaimin.com,

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat Strategi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Tren pelemahan kinerja perpajakan Indonesia kembali menjadi sorotan. Indikator tax buoyancy rasio yang menggambarkan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Data yang dihimpun memperlihatkan penurunan signifikan, dari posisi 1,94 pada 2021 menjadi hanya 0,71 pada tahun 2024. Bahkan, pada kuartal I tahun 2025, angkanya tercatat minus 3,71, mencerminkan bahwa setiap kenaikan 1% dalam PDB justru diikuti penurunan penerimaan pajak sebesar lebih dari tiga kali lipat.

Merespons kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan terus melakukan berbagai langkah untuk menjaga daya ungkit pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menekankan bahwa strategi perluasan basis pajak menjadi salah satu fokus utama.

“Kami terus mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, memanfaatkan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan, serta memperkuat kerja sama antarlembaga,” ujarnya, Jumat (16/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum perpajakan, reformasi struktural, dan harmonisasi kebijakan internasional menjadi bagian dari pendekatan komprehensif untuk meningkatkan rasio perpajakan.

Selain itu, pemberian insentif yang lebih tepat sasaran turut diupayakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mendorong pergeseran ekonomi ke arah bernilai tambah tinggi. “Penguatan kelembagaan dan SDM perpajakan juga kami dorong agar sejalan dengan dinamika ekonomi nasional,” kata Dwi.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebutkan bahwa tax buoyancy di bawah angka 1 menandakan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada PDB, yang berimbas pada menurunnya rasio pajak.

“Ketika nilai tax buoyancy di bawah satu, itu berarti efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan penerimaan negara menjadi lemah,” jelasnya. Ia menyoroti bahwa perlambatan ekonomi nasional menjadi faktor dominan yang menyebabkan turunnya daya dorong pajak terhadap PDB.

Sebagai contoh, ia merujuk pada kondisi 2024 ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yang menyebabkan tax buoyancy ikut terkoreksi dan rasio pajak merosot. “Jika ekonomi melambat, maka penambahan penerimaan pajak juga berkurang signifikan,” imbuhnya.

Menanggapi angka negatif pada kuartal I-2025, Fajry menilai hal itu belum bisa dijadikan indikator tahunan. Ia tetap optimistis akan terjadi perbaikan dalam sisa tahun berjalan, meskipun ia memperkirakan bahwa angka tax buoyancy sepanjang 2025 akan tetap berada di bawah satu.

Menurutnya, untuk memperbaiki kondisi ini, dibutuhkan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi yang langsung berdampak pada penerimaan pajak. Namun ia mengakui bahwa ruang fiskal yang terbatas membuat opsi kebijakan perlu diperluas.

“Dalam kondisi seperti ini, arah kebijakan moneter dan deregulasi menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan pemerintah,” pungkasnya. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Ajak Anggota Lanjutkan Studi Magister dan Doktoral di FIA UI

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dalam sebuah pertemuan virtual bersama para anggota, mengajak secara resmi seluruh konsultan pajak yang tergabung dalam organisasi tersebut untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister (S2) dan doktoral (S3) di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).

Program ini merupakan terobosan Pengurus Pusat IKPI, yang ditindaklanjuti melalui pertemuan antara pengurus pusat IKPI, termasuk Ketua Departemen PPL dan Sumber Daya Anggota, Benny Budi, serta Andi Muhammad Yohan, dengan pihak dekanat FIA UI, di antaranya Kaprodi Pascasarjana Dr. Eko Sakapurnama.

“Ini adalah bagian dari program kami di Pengurus Pusat untuk membuka kesempatan kuliah bagi anggota IKPI di perguruan tinggi ternama. Kami berharap, jika minimal ada 20 anggota mendaftar untuk program S2, bisa dibuka satu kelas khusus,” ujar Vaudy.

“Pendaftaran untuk perkuliahan program S2 rencananya akan dibuka pada bulan Juni mendatang,” ujarnya.

Selain dengan FIA UI, IKPI juga sedang menjajaki kerja sama serupa dengan kampus swasta untuk program PPAK (Program Pendidikan Profesi Akuntan) serta kemungkinan kolaborasi dengan institusi pendidikan lain yang relevan.

Ketua Umum IKPI juga mengungkapkan harapannya agar para anggota dapat mengikuti seleksi dengan semangat dan tidak ragu mendaftar untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anggota IKPI.

Acara sosialisasi ini diikuti lebih dari 100 anggota dan diharapkan bisa membentuk setidaknya kelas sendiri khusus anggota IKPI. Di akhir sambutannya, ia juga menyinggung program CEP yang dinilainya sangat menarik dan akan dijelaskan lebih lanjut oleh pihak FIA UI.

“Kesempatan seperti ini jarang terjadi. Kuliah bersama teman seprofesi di kampus unggulan seperti Universitas Indonesia adalah peluang emas,” ujarnya. (bl)

id_ID