Akses Coretax DJP Kini Lebih Aman, Wajib Pajak Diminta Aktifkan 2FA untuk Cegah Kebocoran Data

IKPI, Jakarta: Seiring kian masifnya penggunaan sistem Coretax Direktorat Jenderal Pajak (DJP), isu keamanan data menjadi perhatian serius. DJP menegaskan bahwa perlindungan informasi pribadi wajib pajak bukan sekadar fitur tambahan, tetapi keharusan untuk mencegah penyalahgunaan akses oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Selain menjaga kerahasiaan password dan email yang terdaftar, DJP mendorong wajib pajak menyalakan fitur verifikasi dua langkah (Two-Factor Authentication/2FA) sebagai lapisan keamanan tambahan. Fitur ini diyakini mampu menutup celah kebocoran data maupun upaya peretasan akun.

Berikut langkah mengaktifkan 2FA di Coretax DJP:

1. Login ke akun Coretax DJP.

2. Pilih menu Portal Saya → Profil Saya.

3. Pada halaman Informasi Detail, klik Verifikasi Dua Langkah.

4. Lanjutkan ke Konfigurasi Autentikasi Dua Faktor dan pilih tombol Aktifkan 2FA Hari Ini!, kemudian tentukan metode melalui Authentication App agar proses lebih cepat dan aman.

5. Scan barcode yang muncul di layar menggunakan aplikasi autentikator, lalu masukkan kode verifikasi 6 digit untuk layanan eTaxIndonesia.

6. Jika berhasil, sistem akan menampilkan notifikasi Success.

Setelah fitur ini aktif, setiap kali wajib pajak login ke Coretax DJP, sistem akan otomatis meminta kode verifikasi 6 digit dari aplikasi autentikator atau email terdaftar.

Penerapan 2FA menjadi salah satu langkah penting DJP untuk menciptakan ekosistem perpajakan digital yang lebih aman, dipercaya, dan terhindar dari praktik pencurian data. Dengan keamanan yang semakin kuat, layanan digital DJP diharapkan semakin nyaman digunakan dan mendorong kepatuhan wajib pajak. (alf)

IKPI Buka Ruang Anggota Jadi Penulis, Pengajar hingga Pembicara di Ruang Publik

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa anggota IKPI memiliki peluang luas untuk berkontribusi di ruang publik tidak hanya sebagai konsultan pajak, tetapi juga sebagai penulis, pengajar, pembicara, dan penggerak edukasi perpajakan. Hal tersebut disampaikan Vaudy saat membuka Seminar PPL IKPI Cabang Jakarta Barat di Aston Kartika, Rabu (5/11/2025).

Vaudy menjelaskan bahwa IKPI sengaja membuka ruang tersebut karena profesi konsultan pajak harus hadir lebih aktif dalam menyebarkan literasi perpajakan kepada masyarakat. Menurutnya, perpajakan tidak bisa hanya dibahas di ruang teknis dan ruang kantor, melainkan harus beredar di ranah pendidikan, media, dan diskusi publik.

“Kami ingin konsultan pajak Indonesia naik kelas. Tidak hanya mengerjakan laporan pajak, tetapi ikut membangun edukasi publik. Karena ketika masyarakat paham pajak, negara diuntungkan dan profesi ini ikut dihargai,” ujar Vaudy.

Ia juga menegaskan bahwa banyak anggota IKPI memiliki kemampuan intelektual dan pengalaman praktis yang layak dibagikan lebih luas. Oleh sebab itu, IKPI memberi kesempatan bagi anggotanya menjadi pengajar pelatihan, penulis artikel, pembicara seminar, hingga kontributor podcast dan ruang konsultasi publik.

“Kalau ilmu hanya disimpan, profesi ini tidak berkembang. Tapi kalau dibagikan, reputasi konsultan pajak naik, masyarakat terbantu, dan citra IKPI ikut menguat,” tegasnya.

Vaudy menyampaikan bahwa kesempatan ini juga dibuka untuk memberi ruang generasi muda konsultan pajak menunjukkan kompetensi dan memperluas jejaring profesional. “Banyak anggota muda yang punya energi besar. IKPI ingin mereka tampil, berani berbicara, berani menulis, dan ikut membentuk masa depan profesi,” ujarnya.

Dalam sambutannya, Vaudy menegaskan bahwa peningkatan jumlah anggota ikut memperkuat posisi IKPI. Per 4 November 2025, jumlah anggota mencapai 7.704 orang, meningkat dari 7.093 pada 31 Desember 2024 dan 6.922 pada akhir 2023. Menurutnya, pertumbuhan ini menunjukkan bahwa IKPI semakin dipercaya sebagai wadah profesional pajak.

“Pertumbuhan ini bukan sekadar data statistik. Ini bukti kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu ada, organisasi harus memberi ruang seluas mungkin agar anggotanya berkembang, bukan sekadar tercatat sebagai anggota,” kata Vaudy.

Ia mendorong anggota, khususnya yang baru bergabung, untuk tidak pasif dalam organisasi. “IKPI hidup karena anggotanya bergerak. Bukan hanya datang seminar, tapi ikut terlibat. Menulis, mengajar, berbagi pengetahuan itulah kontribusi nyata,” ujarnya.

Vaudy kembali menegaskan makna tiga yel-yel IKPI “IKPI untuk Nusa Bangsa”, “IKPI Pasti Bisa”, dan “IKPI Jaya Jaya Jaya” sebagai komitmen menghadapi tantangan zaman, termasuk digitalisasi dan modernisasi perpajakan. “Konsultan pajak harus adaptif, kolaboratif, dan berperan aktif di masyarakat. Itulah semangat IKPI untuk Nusa Bangsa,” katanya. (bl)

Vaudy Starworld Tegaskan IKPI Bukan Sekadar Organisasi, Tetapi Rumah Besar Para Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa IKPI bukan hanya organisasi profesi, melainkan rumah besar bagi para konsultan pajak untuk tumbuh, berjejaring, dan berkontribusi bagi bangsa. Pernyataan itu disampaikan Vaudy dalam pembukaan Seminar PPL IKPI Cabang Jakarta Barat di Aston Kartika, Rabu (5/11/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy memberikan penghormatan kepada jajaran Dewan Kehormatan, Dewan Penasehat, Pengawas, pengurus pusat, pengurus daerah, pengurus cabang, narasumber, panitia, senior IKPI, anggota, dan peserta umum yang hadir pada kegiatan tersebut. Ia juga menyampaikan apresiasi kepada panitia yang telah memastikan kegiatan berjalan lancar.

“IKPI bukan sekadar organisasi. IKPI adalah rumah perjuangan para pejuang pajak Indonesia, tempat kita tumbuh, mengabdi, dan dikenang,” ujar Vaudy di hadapan ratusan peserta.

Ia menegaskan bahwa jumlah anggota IKPI terus meningkat setiap tahun. Per 4 November 2025, total anggota mencapai 7.704 orang, naik dari 7.093 pada 31 Desember 2024 dan 6.922 pada akhir 2023. Menurutnya, tren tersebut menunjukkan kepercayaan publik yang semakin kuat. “Angka ini bukan sekadar statistik. Ini bukti bahwa IKPI relevan, dipercaya, dan dibutuhkan,” ujarnya.

Vaudy menekankan bahwa keanggotaan IKPI memberikan banyak manfaat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga untuk pengembangan kompetensi. IKPI membuka ruang bagi anggotanya untuk mengajar, menulis, membuat podcast, memberi konsultasi publik, dan bekerja sama dengan berbagai lembaga.

“Kami ingin konsultan pajak Indonesia naik kelas. Bukan hanya duduk di balik meja, tetapi hadir sebagai intelektual, pendidik, dan problem solver di dunia perpajakan,” tegasnya.

Dalam sambutan itu, Vaudy juga menjelaskan makna filosofis tiga yel-yel IKPI, yaitu “IKPI untuk Nusa Bangsa”, “IKPI Pasti Bisa”, dan “IKPI Jaya Jaya Jaya”. Ketiganya, kata Vaudy, bukan hanya slogan, tetapi komitmen organisasi.

“IKPI untuk Nusa Bangsa berarti profesi ini bekerja untuk rakyat dan negara. IKPI Pasti Bisa adalah optimisme menghadapi perubahan. Dan IKPI Jaya Jaya Jaya adalah komitmen bahwa kita akan tetap relevan lintas generasi,” ujarnya menegaskan.

Ia mengajak seluruh anggota IKPI, khususnya para anggota baru, agar tidak hanya menjadi penonton dalam organisasi. “IKPI ini hidup kalau anggotanya bergerak. Ikut pelatihan, PPL, komunitas, seminar, dan berkontribusi untuk profesi. Kita tidak boleh pasif,” kata Vaudy.

Menutup sambutan, Vaudy menyerukan soliditas anggota. “Mari kita buktikan bahwa IKPI adalah organisasi yang dinamis, inklusif, dan solid di seluruh Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, satu suara: IKPI Pasti Bisa, IKPI Jaya!”

Sekadar informasi, seminar PPL IKPI Cabang Jakarta Barat menghadirkan narasumber Sapto Windi Argo dan moderator Wiwik Budianti, yang membahas peningkatan kompetensi konsultan pajak menghadapi perkembangan regulasi dan digitalisasi perpajakan. Acara diikuti anggota IKPI dan peserta umum dari berbagai instansi dan korporasi. (bl)

Di Hadapan Purbaya, DPD Minta Arah Fiskal Lebih Berani: “APBN Harus Hidup!”

IKPI, Jakarta; Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung mendesak arah kebijakan fiskal nasional diperkuat agar lebih berani dan produktif. Menurutnya, APBN tidak boleh hanya menjadi dokumen administrasi, tetapi harus menjadi mesin penggerak ekonomi yang hidup di daerah.

Hal itu disampaikan Tamsil dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI di Kompleks Parlemen, Senin (3/11/2025), yang turut dihadiri Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menilai langkah awal Purbaya sudah menunjukkan keberpihakan pada daerah dan sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo.

“Arsitektur APBN adalah cerminan moral kekuasaan. Kami melihat gebrakan Pak Purbaya memperbesar keberpihakan anggaran ke daerah dan langsung ke rakyat. Itu langkah yang hidup dan produktif,” kata Tamsil.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa hasilnya sangat bergantung pada kemampuan daerah memanfaatkan ruang fiskal yang diberikan. Daerah, kata dia, tidak boleh hanya menjadi penerima dana, tetapi harus mampu mengubahnya menjadi pertumbuhan ekonomi.

“Daerah memerlukan supervisi dan bimbingan, bukan hanya transfer. Setiap rupiah harus menghidupkan ekonomi rakyat, bukan sekadar menutup beban administratif,” ujarnya.

Tamsil juga menyinggung inovasi pembiayaan seperti municipal bond sebagai solusi agar daerah mampu membiayai pembangunan secara mandiri dan akuntabel. Menurutnya, daerah yang kredibel secara fiskal seharusnya diberi keleluasaan untuk membangun tanpa selalu bergantung pada APBN.

“Keadilan fiskal bukan soal membagi uang, tapi membagi kesempatan untuk tumbuh. Ketika fiskal pusat kuat dan daerah berdaya, kemakmuran nasional tumbuh dari akar,” tegasnya.

Mewakili DPD, ia memastikan dukungan terhadap langkah Kemenkeu, namun tetap mengawal agar keberanian fiskal benar-benar menumbuhkan kemandirian daerah.

Sementara itu, Purbaya mengatakan belum dapat memaparkan banyak detail lantaran raker tersebut merupakan pertemuan pertamanya bersama DPD. Ia menegaskan bahwa pemerintah berupaya memastikan anggaran digunakan maksimal, termasuk realokasi dana yang tidak terserap agar bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat.

“Saya baru mau mulai diskusi dengan DPD, jadi belum bisa cerita banyak. Yang jelas, kami pastikan anggaran bekerja,” kata Purbaya. (alf)

Ketidakpastian Hukum Perpajakan di Indonesia: Mengurai Akar Masalah, Fakta yang Terjadi dan Pola Pembenahan

Pendahuluan

Sistem perpajakan Indonesia berada di tengah arus besar perubahan, diawali dengan omnibus UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), unifikasi pelaporan, integrasi NIK–NPWP, hingga peluncuran Coretax. Alih-alih memberi kepastian, percepatan reformasi kerap ‘tergelincir’ pada desain regulasi bertingkat, masa transisi berlapis, dan komunikasi kebijakan yang tidak seragam. 

Akibatnya, biaya kepatuhan meningkat, ketidakpastian hukum bertambah, serta sengketa pajak menumpuk. UU HPP adalah tonggak penting, namun juga memperlihatkan betapa rumitnya orkestrasi regulasi pajak ketika perubahan terjadi serentak di banyak titik sehingga Sang Dirigen seolah kehilangan arah. 

Penerimaan pajak yang lambat bukan hanya disebabkan oleh faktor situasi ekonomi global, tapi akar utamanya adalah ketidakpastian hukum khususnya hukum perpajakan dan keruwetan system perpajakan. Ini yang harus disadari oleh para Pengambil Keputusan di Pemerintahan dan solusi yang diambil cenderung “reaktif” tanpa mencari akar masalahnya.

 Masalah Utama

1. Over-regulation & disharmoni turunan

Struktur bertingkat (UU–PP/Perpres–PMK–Perdirjen–SE) memunculkan ‘bunyi’ berbeda antar aturan—terutama saat ketentuan lama belum dicabut tuntas atau masa berlakunya tumpang tindih. Implementasi Coretax, misalnya, menuntut ‘pembersihan’ puluhan aturan lama sekaligus.

2. Perubahan terlalu sering dengan jendela transisi pendek

Kenaikan tarif PPN pasca-UU HPP dari 10% ke 11% (1 April 2022) dan mandat menuju 12% menjadi ilustrasi bagaimana fase transisi dan penjelasan teknisnya menimbulkan ragam tafsir di lapangan. Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan isu ini dengan manuver ‘cantik’ dan memuaskan semua pihak yang selama ini berbaku kata.

3. Integrasi identitas perpajakan (NIK–NPWP) bertahap

Ketentuan diaktifkan bertahap, layanan baru berjalan paralel dengan sistem lama. Secara kebijakan masuk akal, namun di sisi kepatuhan memicu kebingungan, nomor mana yang dipakai, sejak kapan, dan di kanal apa.

4. Kapasitas aparatur & infrastruktur digital 

Modernisasi butuh governance TI, migrasi data, dan manajemen perubahan. Ketika standar proses belum seragam, praktik lapangan menjadi bervariasi dari aktivasi akun, tanda tangan elektronik, hingga pelaporan terintegrasi.

5. Penegakan & penyelesaian sengketa

Kompleksitas aturan berbanding lurus dengan sengketa. Tanpa pedoman yang sederhana dan konsisten, perbedaan tafsir tetap tajam dan menekan kepastian hukum.

Fakta 2022–2025

a. PPN 12% dan fase transisi. 

UU HPP memberi mandat kenaikan tarif umum PPN. 

Ringkasnya, 11% berlaku sejak 1 April 2022.Rencana implementasi 12% menciptakan periode transisi dan penyesuaian perhitungan. Di lapangan, pelaku usaha bertanya: kapan memakai 12% penuh, bagaimana perlakuan kontrak lama, dan seperti apa rekonsiliasi dokumen menandakan komunikasi teknis belum diterima seragam.

b. NIK sebagai NPWP 

Integrasi identitas menuntut ekosistem(perbankan, vendor, perangkat lunak akuntansi) memperbarui sistem. Selama system DUKCAPIL yang menjadi dasar validasi tidak dirapihkan, maka sinkronisasi NIK – NPWP tidak akan berjalan dengan baik.

c. SPT Masa PPh Unifikasi

Sejak 2022, bukti potong/pungut unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi diberlakukan (PPh 4(2), 15, 22, 23, 26). Secara konsep memudahkan, namun transisi dari aplikasi lama ke skema unifikasi menuntut penyesuaian proses dan pelatihan internal.

d. Coretax & tata kelola regulasi pelaksana

Coretax mengintegrasikan pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, dan penagihan. Agar mulus, aturan pelaksana baru perlu merapikan hak/kewajiban elektronik sekaligus mencabut aturan lama. Bagi perusahaan, ini berarti proyek perubahan multidisiplin bukan sekadar ‘update aplikasi pajak’.

e. Pajak Daerah pasca-UU HKPD 

UU 1/2022 menyatukan arsitektur pajak & retribusi daerah dengan semangat penyederhanaan. Namun sinkronisasi pusat–daerah (definisi objek, tarif, cara bayar) belum seragam sehingga WP multi daerah menghadapi variasi implementasi.

Dampak ke Wajib Pajak & Administrasi

• Biaya kepatuhan melonjak: penyesuaian kontrak & pricing (PPN), pembaruan master data (NIK/NPWP 16 digit), re-mapping proses pemotongan/pemungutan (unifikasi), dan upgrade sistem (Coretax).

• Kepastian hukum tergerus: masa transisi panjang, instrumen sosialisasi tidak seragam, dan rujukan tersebar di banyak regulasi turunan.

• Sengketa bertambah: perbedaan tafsir yang persisten menekan arus kas dan menambah biaya litigasi.

Rekomendasi Pembenahan Struktural

6. Kodifikasi & “single-source-of-truth” digital. Susun kompilasi konsolidatif dinamis per rezim (KUP, PPh, PPN, HKPD) yang menandai ketentuan dicabut/diubah dan masa transisinya lengkap dengan contoh kasus dan template dokumen. Portal resmi menjadi rujukan tunggal.

7. Regulatory calendar & sunset clause. Tetapkan kalender regulasi tahunan tanggal efektif, akhir masa transisi, dan cut-over sistem serta sunset clause yang otomatis mengakhiri aturan lama untuk menghindari paralelisme berkepanjangan.

8. Desain transisi berbasis dampak. Untuk kebijakan besar (tarif PPN, identitas pajak), gunakan periode sandbox dan uji end-to-end lintas industri sebelum efektif nasional; dokumentasikan edge cases yang umum terjadi.

9. Penyelarasan pajak pusat–daerah. Percepat standardisasi definisi objek, struktur tarif, dan format bukti bayar lintas daerah melalui regulasi turunan yang ringkas dan pedoman teknis seragam.

10. Penguatan pre-litigation. Perkuat mekanisme penyelesaian sengketa pra-litigasi (klarifikasi terstruktur, position paper dua arah, mediasi terbatas) agar perkara yang naik ke Pengadilan Pajak adalah benar-benar hard case.

11. Akuntabilitas implementasi TI. Tetapkan SLA dan rencana kontinuitas layanan Coretax yang dipublikasikan, plus playbook gangguan operasional (fallback pelaporan/pembayaran) agar WP memiliki pedoman saat downtime.

Penutup

Reformasi pajak Indonesia sedang berjalan—dan memang harus berjalan. Namun kecepatan tanpa orkestrasi regulasi yang rapi akan terus melahirkan carut-marut: aturan berlapis, tafsir tak seragam, sengketa menumpuk, dan biaya kepatuhan yang mahal. Agenda perbaikan kodifikasi dinamis, kalender regulasi, transisi berbasis dampak, standardisasi pusat–daerah, pre-litigation yang kuat, dan disiplin tata kelola TI adalah rute realistis untuk mengubah reformasi menjadi transformasi yang memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan fiskus sekaligus.

Faktor terpenting dari semua perubahan yang baik adalah: “Kemauan” untuk menjadi lebih baik.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Perbaikan Coretax Berlanjut, Dirjen Pajak Tinjau Pelayanan di KPP Pratama Makassar Utara

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melakukan inspeksi mendadak ke KPP Pratama Makassar Utara untuk melihat langsung bagaimana pelayanan pajak berjalan setelah sistem Coretax diterapkan. Bukan hanya memeriksa alur layanan, ia sengaja meminta Wajib Pajak menyampaikan pengalaman mereka tanpa perantara.

Dalam pertemuan itu, sejumlah Wajib Pajak mengungkapkan kesan dan kendala teknis ketika menggunakan sistem baru tersebut. Bimo menegaskan bahwa Coretax dirancang untuk menyederhanakan administrasi pajak, bukan menambah kerumitan.

“Coretax itu fondasi baru pelayanan pajak modern. Tujuannya membuat proses lebih efisien, akurat, dan transparan,” ujar Bimo, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2025).

Kepada para pegawai, Bimo mengingatkan bahwa modernisasi sistem tidak akan berarti tanpa sikap pelayanan yang benar. Ia menekankan bahwa ukuran pelayanan bukan hanya kecepatan melayani, tetapi juga etika dan ketulusan petugas dalam membantu masyarakat.

Ia mengatakan setiap interaksi antara petugas pajak dan Wajib Pajak menjadi cerminan integritas institusi.

Selain berbicara dengan masyarakat, Bimo juga mengumpulkan para pegawai KPP dalam sesi pengarahan internal. Ia meminta seluruh jajaran menjaga profesionalisme dan membangun suasana kerja yang sehat agar pelayanan ke masyarakat dapat dilakukan dengan optimal.

Coretax Masih Dibenahi

Di sisi lain, pemerintah masih menggarap perbaikan teknis Coretax. Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa tim ahli IT eksternal terus menyempurnakan sistem tersebut.

Menurut Purbaya, sejumlah perbaikan telah meningkatkan kecepatan sistem, meski masih ditemukan gangguan dalam kasus-kasus tertentu.

“Percepatannya sudah terasa. Kalau dites beberapa menit tidak ada masalah, tapi kadang masih muncul error kecil. Artinya prosesnya belum sepenuhnya sempurna,” kata Purbaya.

Oktober lalu, tim IT mengutamakan dua hal: memperbaiki tampilan antarmuka agar lebih ramah pengguna dan memperkuat sistem keamanan siber. Hasil evaluasi awal menunjukkan keamanan Coretax sebelumnya berada pada level memprihatinkan.

“Sebelum diperbaiki, skor keamanan siber cuma 30 dari 100. Itu berarti sistem mudah diserang. Kita belum tahu penyebabnya, apakah trafik yang terlalu padat atau upaya mengganggu dari luar. Yang jelas, sekarang kami perketat dan terus kami upgrade,” ujarnya. (alf)

Purbaya Tegaskan APBN Bukan Cuma Bangun Infrastruktur, tapi Harus Bikin Rakyat Sejahtera

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh hanya menghasilkan proyek fisik atau pembangunan infrastruktur. Pemerintah, kata dia, ingin setiap belanja negara benar-benar kembali untuk menyejahterakan rakyat.

Dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025), Purbaya menyampaikan bahwa seluruh arah kebijakan fiskal dibangun melalui sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuan akhirnya jelas: pertumbuhan ekonomi harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

“Pada dasarnya sama, seluruh APBN, seluruh kegiatan pemerintah, DPR, DPD, tujuannya sama untuk membuat masyarakat kita semua jadi kaya,” ujarnya.

Menurutnya, keberhasilan ekonomi tidak boleh hanya diukur dari munculnya orang kaya baru, gedung besar, atau proyek raksasa. Jika sebagian besar rakyat masih tertinggal, maka pembangunan dianggap tidak berhasil.

“Kalau saya sendiri ya sudah kaya, tapi kan sebagian besar masyarakat kita nggak begitu. Itu bukan keberhasilan kalau yang kaya cuma sedikit,” tegasnya.

Sebagai sumber utama APBN, penerimaan pajak tetap menjadi fondasi belanja negara. Karena itu, setiap kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah diarahkan untuk mempersempit kesenjangan, meningkatkan layanan publik, serta menciptakan lapangan kerja di berbagai daerah.

Purbaya juga mengingatkan bahwa tujuan menyejahterakan rakyat sebenarnya sudah menjadi cita-cita sejak awal kemerdekaan. Namun, sepanjang perjalanan bangsa, arah itu tidak selalu berjalan optimal.

“Tujuan besar ini sudah ada sejak kemerdekaan. Tapi lama-lama tujuan itu tertutupi,” kata dia.

Ia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo memberi mandat agar ekonomi dibenahi secara menyeluruh. Sebelum reformasi dilakukan, Indonesia pernah berada dalam kondisi yang berpotensi membahayakan perekonomian.

“Saya ditugaskan oleh Presiden untuk membawa ekonomi ke arah yang lebih baik. Karena sebelumnya, tanpa disadari, kita sempat mengalami keadaan yang amat membahayakan negara,” terangnya.

Menurut Purbaya, infrastruktur tetap penting, namun hasil akhirnya harus mengangkat kesejahteraan rakyat.

“Saya selalu bilang, mari kita kaya bersama. Itu tujuan kita,” tutupnya. (alf)

DJP Siapkan Skema “Cooperative Compliance”, Awasi Pajak Perusahaan Besar Lewat Sistem Otomatis

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menyiapkan terobosan baru dalam strategi pengawasan wajib pajak besar. Mulai tahun depan, otoritas pajak akan menerapkan pendekatan cooperative compliance, sebuah konsep kemitraan berbasis kepercayaan dan transparansi antara DJP dan perusahaan besar untuk membangun sistem kepatuhan pajak yang lebih modern dan efisien.

Melalui skema ini, perusahaan akan diajak berkolaborasi membangun mekanisme pengendalian internal perpajakan sejak tahap awal transaksi hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Dengan demikian, potensi kesalahan atau ketidakpatuhan dapat diminimalkan jauh sebelum proses audit dilakukan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, menjelaskan bahwa konsep ini akan mengadopsi Tax Control Framework (TCF) yang terintegrasi dengan sistem teknologi informasi DJP. Melalui integrasi ini, setiap proses perpajakan perusahaan dapat diawasi secara otomatis, real-time, dan transparan.

“Kalau dulu kontrol itu hanya ada di ujung, seperti audit yang dilakukan setelah semuanya selesai. Dengan cooperative compliance, kontrol terjadi di setiap proses,” ujar Iwan dalam acara Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Selasa (4/11/2025).

Iwan menuturkan, pada tahap awal, pendekatan ini akan difokuskan pada perusahaan-perusahaan besar. Langkah ini diharapkan membuat pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) di DJP menjadi lebih efektif, karena petugas pajak dapat difokuskan pada sektor atau wajib pajak yang membutuhkan pengawasan lebih mendalam.

Lebih jauh, Iwan menegaskan bahwa manfaat cooperative compliance tidak hanya dirasakan oleh otoritas pajak, tetapi juga oleh dunia usaha. Dengan penerapan TCF, direksi dan manajemen perusahaan dapat memantau kepatuhan pajak internal mereka secara langsung, sehingga risiko pelanggaran atau kesalahan pelaporan bisa ditekan sejak dini.

“Cost of compliance akan semakin rendah, tapi tingkat kepatuhan justru meningkat,” ujarnya.

Untuk memastikan penerapan sistem ini berjalan optimal, DJP akan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi dan konsultan pajak, dalam mengembangkan platform TCF sepanjang tahun depan.

Langkah ini menandai babak baru dalam modernisasi sistem perpajakan nasional dari pendekatan berbasis pengawasan menjadi kemitraan yang mendorong kepatuhan sukarela dan transparansi jangka panjang. (alf)

Pemerintah Siapkan Sistem Canggih SPPTDLN, Era Baru Pajak Digital Lintas Negara Dimulai!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersiap membuka babak baru dalam pemungutan pajak di era digital. Melalui Sistem Pemungutan Pajak Transaksi Digital Luar Negeri (SPPTDLN), pemerintah ingin memastikan setiap transaksi digital lintas negara turut berkontribusi bagi penerimaan negara.

Langkah ini menandai pergeseran besar dari pendekatan manual ke sistem yang sepenuhnya otomatis dan berbasis data. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, menegaskan bahwa pola lama pemungutan pajak tak lagi relevan menghadapi ledakan ekonomi digital.

“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan manual. Kepatuhan pajak di era digital harus berbasis otomasi dan integrasi data,” ujar Iwan dalam acara Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Selasa (4/11/2025).

Setiap hari, jutaan transaksi bernilai kecil terjadi di berbagai platform e-commerce, aplikasi hiburan, dan layanan digital global. Karena itu, DJP tengah merancang mekanisme yang memungkinkan pemungutan pajak dilakukan langsung di sumbernya, tanpa menunggu pelaporan wajib pajak.

Melalui SPPTDLN, pemerintah akan beralih dari sistem self-assessment menuju pemungutan otomatis oleh platform digital utama, seperti e-commerce, agregator, dan payment gateway.

“Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah memberi kewenangan bagi Dirjen Pajak untuk menunjuk pemungut pajak. Nah, kini ekosistem digital akan kita uji dengan sistem baru ini,” tambah Iwan.

Namun, penunjukan pemungut pajak selama ini masih menemui kendala teknis—mulai dari proses klarifikasi data hingga belum meratanya perlakuan di antara pelaku usaha digital.

Untuk memperkuat implementasi, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2025 yang menunjuk PT Jalin Pembayaran Nusantara, anak usaha BUMN, sebagai pelaksana utama SPPTDLN.

PT Jalin akan bertugas menjalankan sandboxing atau uji coba sistem, memastikan keamanan data, melakukan pemungutan, serta memberikan dukungan teknis dan pemeliharaan sistem. Perusahaan ini juga diberi kewenangan menggandeng mitra dari dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi standar teknologi dan jangkauan operasional global.

Mitra pelaksana akan melalui tahapan seleksi ketat, termasuk uji teknis dan verifikasi administratif. Sebagai imbalan, PT Jalin akan menerima kompensasi berupa imbal jasa yang besarannya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah melalui rekomendasi tim koordinasi.

Kehadiran SPPTDLN diharapkan menjadi tonggak penting dalam menutup celah pajak ekonomi digital lintas negara serta memastikan pemerataan kewajiban pajak antara pelaku lokal dan global.

Meski begitu, pejabat DJP Melani menekankan bahwa sistem ini masih dalam tahap persiapan dan akan diimplementasikan secara bertahap.

“Kebijakan ini akan melalui tahapan panjang, mulai dari pengujian sistem, integrasi data, hingga penyesuaian regulasi. Tapi arah kita sudah jelas: digitalisasi pajak tak bisa ditunda lagi,” tegasnya.

Dengan SPPTDLN, Indonesia tak hanya menyesuaikan diri dengan era digital, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai salah satu negara pionir dalam pemungutan pajak digital lintas yurisdiksi di kawasan Asia. (alf)

Gelapkan Pajak, Direktur Perusahaan di Kalteng Dihukum Penjara dan Denda

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali menegaskan komitmennya menindak tegas pelanggaran perpajakan. Seorang direktur perusahaan berinisial AS, yang memimpin PT SB, divonis 9 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Palangka Raya karena terbukti melakukan penggelapan pajak.

Selain pidana kurungan, majelis hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp1,61 miliar kepada terdakwa. Jika denda tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda AS akan disita dan dilelang oleh jaksa penuntut umum. Apabila hasil lelang tidak mencukupi, maka pidana tersebut akan diganti dengan tiga bulan penjara tambahan.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng Syamsinar menyambut baik putusan tersebut.

“Kami mengapresiasi langkah majelis hakim yang telah memberikan putusan adil atas perkara ini. Penegakan hukum terhadap pelaku penggelapan pajak menjadi bukti keseriusan kami dalam menjaga kepatuhan wajib pajak,” ujar Syamsinar, Selasa (4/11/2025).

Kasus ini bermula dari hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP Kalselteng, yang menemukan bahwa AS dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap, serta tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut pada periode Januari 2018 hingga Desember 2019.

Perbuatan tersebut dinilai melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c, huruf d, dan/atau huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Akibat tindakan tersebut, negara mengalami kerugian sedikitnya Rp538 juta.

Syamsinar menegaskan, kasus ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi wajib pajak lainnya agar tidak main-main dengan kewajiban perpajakan.

“Penegakan hukum seperti ini bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi juga untuk memberikan efek jera dan membangun budaya patuh pajak di masyarakat,” tegasnya.

Langkah tegas Kanwil DJP Kalselteng ini menegaskan bahwa setiap bentuk penggelapan pajak akan ditindak tanpa pandang bulu, demi menjaga keadilan dan memastikan penerimaan negara tetap optimal untuk membiayai pembangunan. (alf)

id_ID