Founder TaxPrime Kritik PPN 11%: Daya Beli Rakyat Bisa Tertekan

IKPI, Jakarta: Kebijakan fiskal pemerintah kembali menuai sorotan. Founder sekaligus Managing Partner TaxPrime, Muhamad Fajar Putranto, menilai langkah pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen dan menuju 12 persen perlu dikaji ulang secara serius.

Dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, pada 16 September 2025, Fajar menyebut keputusan tersebut berpotensi menekan daya beli masyarakat, yang justru menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kalau konsumsi rumah tangga turun, itu alarm keras buat pemerintah. Bayangkan, riset menunjukkan kontribusi konsumsi sudah merosot dari 21 persen ke 17 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan PPN ini sudah benar-benar berbasis riset dan perbandingan internasional yang tepat?” ujarnya.

Ia menekankan, konsumsi tidak bersifat elastis. Sekali daya beli masyarakat terpukul akibat kenaikan PPN, pemulihannya tidak otomatis kembali meski tarif diturunkan lagi.

“Begitu PPN naik, harga-harga terkerek, konsumsi melemah. Tapi ketika diturunkan lagi, konsumsi tidak serta-merta kembali. Ada resistensi. Ini berbahaya kalau tidak diperhitungkan,” paparnya.

Ia menilai pemerintah harus lebih berhati-hati memainkan pajak konsumsi, apalagi di tengah perlambatan ekonomi global. Menurutnya, kebijakan fiskal yang salah arah justru akan memperparah kondisi dan membuat Indonesia kesulitan menjaga momentum pertumbuhan.

“Jangan sampai kita bermain-main dengan instrumen pajak konsumsi hanya demi target jangka pendek. Karena yang dipertaruhkan adalah daya beli rakyat, dan itu fondasi ekonomi kita,” tegasnya. (bl)

Pajak dan Kepercayaan: Dua Pilar Utama Penguatan Ekonomi

Pajak merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran pajak dalam menopang APBN. Dari pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan, layanan kesehatan, hingga program bantuan sosial, semua bergantung pada pajak.

Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kesenjangan. Tax ratio Indonesia masih berada di kisaran 10–11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Artinya, potensi pajak yang bisa digali sebenarnya jauh lebih besar daripada capaian saat ini.

Kepatuhan dan kepercayaan adalah dua faktor yang tidak bisa dipisahkan. Kepatuhan muncul ketika wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai aturan, sementara kepercayaan tumbuh jika pemerintah mampu mengelola pajak secara adil, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Tanpa kepercayaan, kepatuhan cenderung bersifat semu; dan tanpa kepatuhan, penerimaan pajak tidak akan optimal.

Keberhasilan negara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak tidak hanya bergantung pada regulasi yang ketat. Dunia usaha menuntut sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan memberikan kepastian agar kewajiban pajak dapat dijalankan tanpa menimbulkan beban administratif yang berlebihan. Kepercayaan menjadi kunci, ketika pemerintah mampu menunjukkan pengelolaan pajak yang adil dan akuntabel, kepatuhan akan tumbuh secara sukarela (voluntary compliance). Pada titik inilah penerimaan negara bisa meningkat sekaligus menjaga iklim bisnis tetap sehat dan berdaya saing. Sebaliknya, jika kepercayaan rendah, maka kepatuhan seringkali bersifat terpaksa, bahkan membuka ruang bagi praktik penghindaran pajak.

Namun, kenyataannya masih banyak hambatan dalam menciptakan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Kompleksitas regulasi, rendahnya literasi pajak, hingga celah penghindaran pajak di level global menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha. Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital yang melesat jauh lebih cepat daripada regulasi juga memunculkan ruang abu-abu (grey area) dalam pemajakan. Situasi ini menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan pajak tidak cukup hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga menuntut strategi membangun kepercayaan publik secara konsisten.

Bagaimana Wajah Tantangan Perpajakan di Era Bisnis Modern?

Di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompetitif, sistem perpajakan menghadapi tantangan besar. Bisnis modern bergerak cepat, ditopang teknologi digital, aliran modal lintas negara, serta model usaha yang terus berevolusi. Dalam konteks ini, pajak bukan hanya instrumen penerimaan negara, tetapi juga alat menjaga keadilan dan keberlanjutan pembangunan.

Namun, kompleksitas bisnis modern sering kali membuat pajak berada dalam posisi dilematis. Otoritas pajak dituntut sigap beradaptasi, sementara wajib pajak dituntut patuh di tengah aturan yang terus berkembang. Lalu, bagaimana tantangan pajak di era bisnis modern itu?

1. Digitalisasi dan Ekonomi Digital

Perdagangan elektronik atau e-commerce tumbuh pesat, melahirkan ekosistem baru dengan jutaan transaksi harian. Dari marketplace hingga layanan digital lintas negara, arus pendapatan semakin sulit dipantau dengan cara lama. Belum lagi munculnya aset digital seperti cryptocurrency dan NFT, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang mekanisme pemajakan.

Tantangannya jelas: bagaimana negara dapat memungut pajak secara adil, tanpa mengekang inovasi digital yang justru menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sistem digital pajak harus sepadan dengan kecepatan dunia usaha, agar celah kepatuhan bisa diminimalisir.

2. Globalisasi dan Profit Shifting

Perusahaan multinasional dengan mudah mengatur struktur bisnis lintas negara untuk meminimalkan pajak. Strategi seperti transfer pricing atau pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi pajak rendah (tax haven) menjadi praktik umum.

OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sudah meluncurkan solusi global, termasuk Global Minimum Tax. Namun, implementasi di negara berkembang seperti Indonesia tidak sederhana. Otoritas pajak harus menjaga kedaulatan fiskal sambil tetap menarik investasi asing.

3. Kepatuhan Wajib Pajak

Rendahnya kepatuhan sukarela masih menjadi tantangan klasik. Banyak wajib pajak, terutama UMKM, kesulitan memahami kewajiban perpajakan akibat keterbatasan literasi dan administrasi keuangan.

Di sisi lain, persepsi negatif bahwa pajak adalah beban, bukan kontribusi, juga masih kuat. Artinya, selain regulasi, yang dibutuhkan adalah strategi membangun trust. Transparansi penggunaan pajak untuk pembangunan, serta edukasi publik yang berkelanjutan, menjadi kunci meningkatkan kepatuhan.

4. Kompleksitas Regulasi Pajak

Peraturan perpajakan kerap berubah mengikuti dinamika ekonomi. Namun, perubahan yang terlalu cepat justru memunculkan kebingungan. Bagi pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah, kompleksitas ini bisa menghambat kepatuhan.

Simplifikasi aturan tanpa mengorbankan kepastian hukum menjadi tantangan. Negara-negara modern sudah mulai mengarah ke regulasi berbasis prinsip (principle-based regulation), bukan hanya aturan detail. Indonesia perlu mengambil langkah serupa agar sistem pajak lebih adaptif.

5. Integrasi Data dan Teknologi

Sistem pajak di era modern ditopang oleh big data, artificial intelligence, hingga integrasi lintas lembaga (perbankan, bea cukai, OJK). Potensi ini besar untuk mendeteksi kepatuhan secara otomatis.

Namun, muncul tantangan baru yaitu keamanan data dan privasi wajib pajak. Bagaimana menjamin bahwa data sensitif tidak disalahgunakan? Menjaga keseimbangan antara transparansi fiskal dan hak privasi menjadi isu penting yang tidak bisa diabaikan.

6. Persaingan Tarif Pajak Global

Dalam rangka menarik investasi, banyak negara menurunkan tarif pajak. Persaingan ini menimbulkan risiko “perlombaan ke dasar” (race to the bottom) yang bisa merugikan penerimaan negara.

Indonesia juga menghadapi dilemma, yaitu menjaga daya saing investasi dengan tarif kompetitif, sambil mengamankan penerimaan untuk membiayai pembangunan. Jalan tengahnya adalah memperluas basis pajak dan memperkuat administrasi, bukan semata menurunkan tarif.

7. Pajak Karbon dan Ekonomi Hijau

Tuntutan global terhadap keberlanjutan melahirkan kebijakan baru, seperti pajak karbon. Indonesia pun sudah mulai memperkenalkan instrumen ini secara bertahap.

Namun, implementasi pajak karbon menghadapi tantangan serius, yaitu bagaimana memastikan kebijakan ini efektif menekan emisi tanpa membebani UMKM atau sektor industri yang masih rentan? Transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan desain pajak yang hati-hati, agar tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan.

8. Perubahan Model Bisnis dan Konsumsi

Fenomena sharing economy—seperti Gojek, Grab, hingga Airbnb—menciptakan pola usaha baru yang tidak terbayangkan dalam aturan lama. Sering kali, bisnis berbasis platform tidak mudah dikategorikan untuk tujuan perpajakan.

Keterlambatan regulasi justru bisa membuka celah penghindaran pajak. Maka, fleksibilitas regulasi yang mampu menyesuaikan dengan model bisnis baru menjadi sangat penting.

Menghadapi berbagai tantangan ini, satu hal yang perlu diingat adalah pajak tidak bisa hanya dipandang sebagai kewajiban sepihak. Keberhasilan sistem perpajakan modern bergantung pada kolaborasi, antara pemerintah yang transparan dan responsif, serta wajib pajak yang sadar akan kontribusinya.

Kepercayaan adalah kunci fondasi utama. Tanpa trust, kepatuhan hanya sebatas formalitas, dan celah untuk menghindar akan selalu dicari. Dengan trust, pajak akan dilihat sebagai bentuk gotong royong modern—sebuah kontribusi nyata untuk masa depan bersama.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak:

1. Simplifikasi Aturan – Regulasi yang ringkas, jelas, dan konsisten akan mengurangi biaya kepatuhan dan mendorong kepastian hukum.

2. Digitalisasi Pajak – Coretax system, integrasi data, dan layanan online yang ramah pengguna dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menutup celah ketidakpatuhan.

3. Transparansi dan Akuntabilitas – Pemerintah perlu menunjukkan secara nyata bagaimana pajak digunakan, sehingga publik merasa kontribusinya kembali dalam bentuk layanan dan pembangunan.

4. Kolaborasi Internasional – Pemanfaatan Automatic Exchange of Information (AEoI) dan partisipasi dalam inisiatif BEPS akan menekan praktik penghindaran pajak global.

5. Edukasi dan Insentif – Program literasi pajak yang berkelanjutan serta penghargaan bagi wajib pajak patuh akan memperkuat budaya kepatuhan jangka panjang.

Untuk itu, era bisnis modern membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi sistem perpajakan. Digitalisasi, globalisasi, hingga transisi menuju ekonomi hijau, semuanya menuntut adaptasi regulasi dan strategi yang lebih cerdas.

Optimalisasi penerimaan pajak bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi pemerintah, kepercayaan publik adalah modal utama untuk mendorong kepatuhan sukarela. Bagi dunia usaha, kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga investasi reputasi yang akan memperkuat daya saing di mata investor dan masyarakat.

Esensi Pajak dan kepercayaan adalah dua pilar yang saling menguatkan. Dengan sistem yang sederhana, transparan, dan berkeadilan, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh sekaligus meningkatkan partisipasi kolektif dalam membiayai pembangunan.

Kini, Indonesia berada di persimpangan penting, apakah kita mampu menjadikan sistem pajak sebagai pilar ekonomi yang adil, efisien, dan modern, ataukah kita akan tertinggal di tengah arus perubahan global. Jawabannya terletak pada kemampuan kita membangun kepatuhan berbasis kepercayaan dan regulasi yang adaptif.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DJP dan Ditjen AHU Sempurnakan PKS Pemanfaatan Data

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM kembali memperkuat sinergi pemanfaatan data melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) terbaru. Penandatanganan dilakukan oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan Dirjen AHU Widodo pada 11 September 2025.

PKS ini merupakan penyempurnaan dari dua kerja sama sebelumnya, yaitu pemanfaatan basis data pemilik manfaat (beneficial ownership) periode 2019–2024, serta pangkalan data AHU Online dalam mendukung penerimaan negara periode 2020–2025.

“Penandatanganan PKS ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman Induk antara Kemenkumham dan Kemenkeu mengenai sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang hukum dan keuangan negara,” ujar Widodo dalam keterangan pers, Jumat (19/9/2025).

Sebagai implementasi, Ditjen AHU telah menyalurkan sembilan rumpun jenis data kepada DJP untuk memperkuat basis informasi perpajakan. Aliran data ini terbukti berdampak pada kegiatan penagihan pajak. Sejak 2020 hingga September 2025, DJP menerima 540.396 profil lengkap dari Ditjen AHU yang kemudian dimanfaatkan secara optimal dalam pengawasan wajib pajak.

Kontribusinya nyata. Pemanfaatan data tersebut berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp896,6 miliar ke kas negara sepanjang periode 2020–September 2025.

Penyempurnaan kerja sama ini menegaskan strategi pemerintah dalam menutup celah kepatuhan sekaligus menjaga kinerja penerimaan pajak di tengah tantangan ekonomi yang dinamis. (alf)

 

 

 

 

Pemerintah Tak Turunkan Target Pajak 2026, Wamenkeu: Ruang Improvement Masih Luas

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan target penerimaan pajak dalam revisi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tetap Rp2.357,7 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak mengubah angka tersebut meski postur anggaran negara mengalami penyesuaian.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan keputusan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, pemerintah menilai masih ada ruang perbaikan di dalam sistem perpajakan nasional yang bisa dimanfaatkan untuk mengejar penerimaan tanpa menambah beban wajib pajak.

“Masih ada ruang untuk improvement, baik dari sisi kepatuhan maupun administrasi. Kita juga punya joint program dan strategi ekstensifikasi yang bisa dijalankan tanpa membebani masyarakat,” kata Anggito seusai Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Kamis (18/9/2025).

Salah satu bentuk perbaikan itu adalah implementasi Core Tax Administration System (Coretax). Anggito menyebut sistem ini mampu meningkatkan kepatuhan, mengefisienkan administrasi, sekaligus memberi kepastian bagi wajib pajak.

“Coretax membuat pembayaran lebih pasti, hak-hak wajib pajak lebih transparan dan lebih mudah terdeteksi,” ujarnya.

Anggito juga membantah kabar bahwa pemerintah tengah menyiapkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 8 persen.

“Belum ada pembicaraan internal soal penurunan tarif PPN ke 8 persen,” tegasnya.

Desakan penurunan tarif PPN sebelumnya ramai dibicarakan, salah satunya oleh CELIOS. Lembaga riset itu menilai tarif 8 persen bisa mendongkrak PDB hingga Rp133,65 triliun dan menaikkan konsumsi masyarakat sekitar 0,74 persen.

Postur RAPBN 2026 Berubah

Meski target pajak tidak diubah, pemerintah dan DPR sepakat mengutak-atik pos lain dalam RAPBN 2026. Pendapatan negara naik tipis menjadi Rp3.153,6 triliun, belanja negara melonjak menjadi Rp3.842,7 triliun, sementara defisit anggaran membengkak ke Rp689,1 triliun atau 2,68 persen dari PDB.

Dengan strategi tersebut, pemerintah berharap keseimbangan primer meningkat menjadi Rp89,7 triliun, jauh lebih tinggi dibanding rancangan awal. (alf)

 

 

Kemenkeu Optimis Coretax Bantu Capai Target Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis sistem Core Tax Administration System (Coretax) akan menjadi motor penggerak dalam mengejar target penerimaan pajak tahun 2026 yang dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun. Kepercayaan diri ini didukung dengan peningkatan anggaran dalam RAPBN 2026 serta perluasan layanan Coretax yang semakin komprehensif.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menegaskan, strategi yang ditempuh pemerintah tidak akan menambah beban wajib pajak. Sebaliknya, langkah utama yang diambil adalah pembenahan administrasi, peningkatan kepatuhan, dan pemanfaatan teknologi modern lewat Coretax.

“Kita punya beberapa strategi untuk ekstensifikasi tanpa harus memberikan beban tambahan kepada wajib pajak,” ujar Anggito seusai rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Kamis (18/9/2025).

Anggito menjelaskan, Coretax akan menghadirkan transparansi lebih baik dalam proses perpajakan. Sistem ini memudahkan wajib pajak dalam pembayaran dan pelaporan, sekaligus memperkuat kemampuan pemerintah mendeteksi potensi kewajiban pajak.

“Dengan Coretax nanti kepatuhan meningkat. Dari sisi pembayaran, kewajiban, maupun hak wajib pajak jadi lebih transparan dan lebih mudah dideteksi,” jelasnya.

Coretax Masuk PPh Tahun Depan

Sejauh ini Coretax telah digunakan untuk mengelola Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai 2026, cakupannya diperluas hingga ke Pajak Penghasilan (PPh), termasuk pelaporan SPT Tahunan PPh.

“Sekarang baru PPN, tahun depan mulai PPh. PPh jumlahnya dan kompleksitasnya lebih tinggi. Tapi secara umum, layanan PPN lewat Coretax sudah berjalan lancar. Masalah faktur, data, hingga traffic sistem sudah oke,” tambah Anggito.

Dalam RAPBN 2026, total anggaran Kemenkeu ditetapkan Rp 52,02 triliun. Dari jumlah itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerima alokasi terbesar sebesar Rp 6,26 triliun, naik Rp 832 miliar dari tahun sebelumnya.Tambahan anggaran tersebut diarahkan untuk memperkuat infrastruktur digital, keamanan data, dan pengembangan sistem Coretax.

Dengan dukungan teknologi yang semakin matang dan anggaran yang lebih besar, Kemenkeu percaya diri Coretax akan menjadi senjata utama untuk mengejar target penerimaan pajak sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang modern, transparan, dan akuntabel. (alf)

 

 

Serikat Pekerja Tanggapi Kebijakan Bebas Pajak untuk Gaji di Bawah Rp10 Juta

IKPI, Jakarta: Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) menyambut positif langkah pemerintah yang membebaskan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja sektor padat karya dan pariwisata dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan. Kebijakan ini dinilai memberi napas segar bagi jutaan pekerja yang tengah bergelut dengan tekanan biaya hidup.

Presiden Aspirasi, Mirah Sumirat, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan sekadar keringanan administrasi, melainkan tambahan ruang finansial nyata yang bisa langsung dirasakan pekerja.

“Dengan penghasilan lebih utuh dibawa pulang, pekerja bisa lebih leluasa memenuhi kebutuhan keluarga. Ini juga akan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

Menurut Mirah, konsumsi rumah tangga berpotensi melonjak karena masyarakat punya daya belanja lebih besar. Efek domino dari hal itu diyakini dapat memperkuat pondasi ekonomi nasional.

Namun, ia memberi catatan tegas: jangan sampai kebijakan ini dijadikan alasan pengusaha untuk menahan kenaikan upah.

“Pemerintah perlu memastikan perusahaan tetap memenuhi kewajiban menaikkan gaji sesuai regulasi dan kondisi ekonomi. Jangan sampai insentif ini jadi tameng untuk menghindari kewajiban tersebut,” tegasnya.

Mirah juga menyinggung pentingnya keadilan fiskal. Menurutnya, pemerintah harus menutup rapat kebocoran pajak korporasi serta memperluas basis pajak pada kelompok berpenghasilan tinggi dan perusahaan besar.

“Kami akan terus mengawal agar kebijakan ini benar-benar menguntungkan pekerja sekaligus memperkuat prinsip keadilan sosial di Indonesia,” tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) hingga 2026. Kebijakan ini pertama kali diberlakukan bagi pekerja padat karya bergaji di bawah Rp10 juta sejak 4 Februari 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025.

Adapun untuk pekerja sektor pariwisata, pembebasan pajak akan berlaku mulai kuartal IV 2025. Pemerintah memperkirakan sekitar 2,2 juta pekerja akan merasakan manfaat kebijakan tersebut.

“Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (15/9/2025). (alf)

 

 

Menkeu Purbaya Sidak Kring Pajak, Tes Langsung Layanan Coretax Lewat Telepon

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bikin kejutan saat melakukan inspeksi mendadak terhadap layanan publik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam momen yang terekam di akun TikTok resmi @ditjenpajakri, Jumat (19/9/2025), Purbaya terlihat menguji langsung sistem contact center Kring Pajak 1500200 dengan berpura-pura menjadi masyarakat yang butuh informasi soal sistem pajak terbaru.

Didampingi Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Purbaya mengangkat telepon dan menanyakan soal Core Tax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP).

“Core Tax ya? Saya belum tahu tuh Core Tax, boleh ga mbak kasih tau saya kira-kira berapa lama kalau daftar Core Tax segala macam?” tanya Purbaya kepada petugas Kring Pajak.

Unggahan DJP itu bahkan menuliskan caption jenaka: “Menkeu PYS tiba-tiba ngetes bawahannya dengan telepon ke Kring Pajak 1500200 untuk mengecek keandalan sistem contact center DJP. Deg-degan ga tuh yang nerima teleponnya?”

Meski percakapan lengkapnya tidak ditampilkan, dalam video terlihat petugas Kring Pajak awalnya menyinggung soal Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kini harus diproses lewat laman Coretax. Purbaya pun menimpali dengan gaya polos seolah benar-benar awam.

Langkah sidak ini memantik perhatian publik, mengingat Purbaya baru saja menjabat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani. Aksinya seolah ingin memastikan bahwa pelayanan perpajakan modern yang dibangun DJP benar-benar bisa dipahami masyarakat.

Sebagai informasi, Coretax merupakan sistem administrasi terpadu yang dibangun DJP sejak Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Sistem ini merombak total proses bisnis perpajakan berbasis teknologi COTS (Commercial Off-the-Shelf), mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan.

Melalui sistem Coretax, pemerintah berharap pelayanan perpajakan jadi lebih cepat, transparan, dan mudah diakses. Wajib Pajak bisa mengakses layanan tersebut lewat laman resmi coretaxdjp.pajak.go.id.

Dengan gaya yang nyeleneh namun serius, inspeksi mendadak Menkeu Purbaya ini sekaligus mengirim sinyal tegas pelayanan pajak harus ramah, siap, dan benar-benar membantu masyarakat kapan pun dibutuhkan. (alf)

 

 

IKPI Ajak Anggota Bantu Korban Banjir Bali, Rusmadi: Saatnya Kita Bergerak Bersama

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Sosial, Keagamaan Seni dan Olahraga (SSKO), Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Rusmadi mengimbau seluruh anggota IKPI di Indonesia untuk bergotong-royong membantu meringankan beban korban banjir yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Bali.

“Musibah ini bukan hanya duka bagi masyarakat Bali, tetapi juga duka kita semua. Saatnya kita bergerak bersama, sekecil apapun bantuan dari anggota IKPI akan sangat berarti bagi para korban,” ujar Rusmadi dalam keterangan resmi, Jumat (19/9/2025).

Seperti diketahui, hujan deras dengan intensitas tinggi yang mengguyur Pulau Bali dalam beberapa hari terakhir telah mengakibatkan banjir di sejumlah daerah, termasuk Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Badung. Banjir bandang yang terjadi pada 10 September 2025 dini hari tersebut membawa material lumpur serta merusak rumah warga, fasilitas umum, hingga akses jalan. Imbasnya, ribuan orang terpaksa mengungsi dan tentu memerlukan bantuan logistik darurat.

IKPI melalui program “IKPI Peduli Banjir Bali” membuka posko penggalangan dana yang akan disalurkan langsung kepada anggota IKPI yang terdampak maupun masyarakat luas. Penyaluran bisa berupa uang tunai, obat-obatan, hingga perlengkapan harian.

Rusmadi menambahkan, solidaritas anggota IKPI menjadi kekuatan penting dalam membantu masyarakat yang terkena musibah. “Bencana bisa datang kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja. Dengan demikian, kita punya kewajiban moral untuk hadir. Mari kita tunjukkan bahwa IKPI bukan hanya konsultan pajak, tetapi juga bagian dari masyarakat yang peduli,” tegasnya.

Penyaluran donasi bisa dikirimkan melalui rekening

Bank OCBC NISP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (Bali dan Nusra) 608 0000 3396.

Adapun PIC pada kegiatan ini bisa menghubungi,

Luh Citra Wirya Astuti (0813-3872-3818), Ni Nyoman Afriyanti (0813-3849-9474), dan Mona (0858-9138-0651). (bl)

 

PMK 37/2025 Dinilai Tutup Celah Penghindar Pajak di E-Commerce

IKPI, Jakarta: Lonjakan transaksi perdagangan digital di Indonesia akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini menugaskan marketplace menjadi pemungut pajak atas transaksi para pedagang online (merchant) dengan tarif 0,5 persen.

Kepala Grup Tax BCA, Yuandri Martua Philip, menyebut PMK 37/2025 sebagai tonggak penting dalam reformasi perpajakan digital. Menurutnya, regulasi ini bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme untuk menutup celah yang selama ini membuat banyak transaksi e-commerce lolos dari radar pajak.

“Sebelumnya, ketika marketplace membayar hasil penjualan kepada merchant, 100 persen diteruskan tanpa potongan pajak. Hanya dipotong biaya manajemen. Dengan PMK 37, marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak. Jadi nomor 12 sampai 100 yang selama ini bebas, kini mulai bisa tersentuh,” kata Yuandri dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Yuandri menjelaskan, aturan ini merupakan kelanjutan dari wacana sejak 2013 ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran 62. Saat itu, pemajakan e-commerce hanya menyentuh penyelenggara marketplace, bukan pedagang di dalamnya. Upaya lanjutan melalui PMK 210/2018 sempat ditolak keras oleh asosiasi e-commerce dan akhirnya dibatalkan.

“Dari situ kita belajar. Penolakan terjadi karena kurang sosialisasi dan pemahaman. Sekarang pemerintah sudah jauh lebih matang, ada edukasi, ada komunikasi, dan yang paling penting: penekanan bahwa ini bukan pajak baru. Sama sekali tidak menaikkan harga barang. Hanya mekanisme pemungutan yang berbeda,” jelasnya.

Dalam PMK 37, marketplace besar yang memiliki omzet lebih dari Rp600 juta per tahun atau trafik lebih dari 12 ribu akses per tahun wajib menjadi pemungut pajak. Bahkan marketplace luar negeri juga bisa ditunjuk apabila memenuhi kriteria. Bukti pemungutan pajak cukup berupa invoice digital yang diterbitkan marketplace, sehingga bisa dikreditkan oleh wajib pajak badan maupun UMKM.

Namun, Yuandri menegaskan tantangan terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada kesiapan sistem dan keamanan data.

“Marketplace harus menyiapkan sistem pemungutan, ini butuh biaya. Lalu, keamanan data juga sangat penting. Jangan sampai terjadi kebocoran data nasabah atau pedagang. Kalau dua hal ini terjaga, aturan bisa berjalan mulus,” ungkapnya.

Yuandri menambahkan, PMK 37/2025 juga punya tujuan besar: menciptakan level playing field antara pelaku usaha digital dan konvensional. Selama ini, perusahaan besar selalu taat memotong dan menyetor pajak ketika menggunakan jasa luar negeri, sementara individu yang bertransaksi dengan platform global seperti Google atau Facebook sering luput dari kewajiban.

“Dengan aturan ini, fairness bisa lebih tercapai. Semua yang menikmati pertumbuhan ekonomi digital ikut berkontribusi. Inilah cara menutup kebocoran, sambil memastikan teko pajak kita terisi penuh,” ujarnya. (bl)

 

Pajak Minimum Global Berlaku, Indonesia Hadapi Tantangan Baru

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi memasuki era baru perpajakan internasional dengan mulai berlakunya Global Minimum Tax (GMT) pada 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengadopsi kesepakatan global di bawah kerangka OECD.

Vice Managing Partner of PB Taxand, Didit Permana Adi Saputra, menyebut kebijakan GMT bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme baru untuk memastikan perusahaan multinasional membayar pajak sesuai standar minimum global.

“Konsep ini disebut GLOBE atau Global Anti-Base Erosion Rules. Intinya, grup usaha dengan pendapatan konsolidasi di atas 750 juta euro wajib membayar pajak minimal 15 persen di seluruh dunia,” ujar Didit dalam diskusi perpajakan di Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Didit menuturkan, GMT bekerja melalui mekanisme top up tax. Jika sebuah entitas di suatu negara hanya dikenakan pajak efektif di bawah 15 persen, maka perusahaan wajib menambah bayarannya hingga mencapai batas minimal tersebut. Skema ini dijalankan dengan tiga instrumen utama, yakni Income Inclusion Rule (IIR), Undertaxed Payment Rule (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT).

Meski cakupannya di Indonesia relatif terbatas, diperkirakan kurang dari 1.000 perusahaan namun korporasi yang terkena aturan ini adalah pemain besar. Karena itu, dampaknya terhadap penerimaan negara tetap signifikan.

“Kalau Indonesia tidak ikut menerapkan, justru pajak dari perusahaan yang beroperasi di sini akan dipungut negara lain yang sudah lebih dulu memberlakukan GMT. Itu jelas merugikan kita,” kata Didit

Namun di balik peluang menambah penerimaan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Pertama, GMT berpotensi mengurangi daya tarik insentif fiskal nasional seperti tax holiday atau keringanan pajak lain. “Di satu sisi kita ingin menarik investasi dengan insentif. Tapi di sisi lain, kalau tarif efektif jatuh di bawah 15 persen, perusahaan tetap harus top up. Insentif kita jadi kurang menarik,” jelasnya.

Tantangan kedua adalah peningkatan beban administrasi. Perusahaan multinasional tidak hanya wajib menyampaikan SPT tahunan, tetapi juga laporan tambahan seperti SPT PPh GLOBE dan dokumen Globe Information Return. Hal ini menuntut kesiapan administrasi dan sistem kepatuhan yang lebih kompleks.

Didit menambahkan, implementasi GMT juga bisa berdampak pada sinkronisasi regulasi domestik dengan aturan internasional. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, justru ada risiko sebagian potensi penerimaan Indonesia mengalir ke negara lain.

Meski demikian, ia menekankan bahwa kebijakan ini membawa manfaat strategis jangka panjang. GMT mencegah praktik profit shifting, menciptakan level playing field antarnegara, melindungi basis pajak domestik, serta memastikan keadilan perpajakan global.

“Kesimpulannya, mau tidak mau kita harus ikut. Tantangan pasti ada, tapi kalau kita tidak ikut, kerugiannya lebih besar. Indonesia harus segera menyiapkan strategi insentif baru yang selaras dengan GMT agar tetap kompetitif menarik investasi,” ujarnya. (bl)

id_ID