DJP Tanamkan Kesadaran Pajak Sejak Dini di SMA Negeri 1 Tarakan

IKPI. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui KPP Pratama Tarakan menyelenggarakan kegiatan Pajak Bertutur 2025 di SMA Negeri 1 Tarakan, Karang Balik, Kecamatan Tarakan Barat, baru-baru ini. Program tahunan ini menjadi salah satu strategi DJP dalam menanamkan kesadaran pajak sejak dini di dunia pendidikan.

Sebanyak 50 siswa dari kelas X hingga XII mengikuti kegiatan dengan penuh semangat. Acara diawali dengan sambutan Kepala SMA Negeri 1 Tarakan, Jasmin, yang mengajak para pelajar memanfaatkan kesempatan ini untuk menambah wawasan pajak. “Pengetahuan tentang pajak akan sangat bermanfaat bagi masa depan. Karena itu, kegiatan ini patut diikuti dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Kepala Seksi Pelayanan KPP Pratama Tarakan, Taufik Hidayat, menegaskan bahwa kegiatan Pajak Bertutur bukan sekadar sosialisasi, melainkan bagian dari upaya membangun generasi yang peduli dan bangga berkontribusi bagi negeri.

Dalam sesi “Dirjen Pajak Menyapa”, penyuluh pajak Reza Agung Saptaji menyampaikan materi dengan gaya ringan agar mudah dipahami. Ia menekankan bahwa manfaat pajak hadir di sekitar masyarakat setiap hari. “Mulai dari sekolah, jalan umum, hingga layanan kesehatan, semuanya bisa terwujud berkat pajak,” jelasnya.

Suasana semakin hidup ketika para siswa diajak berdiskusi, mengikuti permainan interaktif, hingga game quizizz yang membuat mereka semakin antusias. Interaksi ini tidak hanya menambah pemahaman, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga untuk berkontribusi melalui pajak.

Dengan mengusung tagline “Sehari Mengenal, Selamanya Bangga”, DJP berharap program ini mampu mencetak generasi muda yang sadar akan pentingnya pajak sebagai penopang pembangunan nasional. (alf)

 

 

Lilisen Komitmen Perkuat IKPI: Fokus pada Pemekaran Cabang dan Penguatan Komunikasi

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Lilisen, menegaskan komitmennya untuk membawa organisasi semakin solid dan dekat dengan anggota maupun masyarakat.

Usai resmi ditunjuk oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, Lilisen menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan besar yang diberikan kepadanya.

“Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum atas kepercayaan besar yang diberikan kepada saya untuk mengemban tugas luar biasa ini,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).

Dalam kepemimpinannya, Lilisen menegaskan akan melanjutkan program kerja dari ketua sebelumnya (Nuryadin Rahman) yang saat ini dipercaya sebagai Wakil Ketua Umum IKPI, untuk memperkuat komunikasi antara Pengurus Pusat (PP), Pengurus Daerah (Pengda), dan Pengurus Cabang (Pengcab).

Tak hanya itu, ia juga akan melakukan monitoring kinerja organisasi serta mendorong agar setiap Pengda dan Pengcab lebih aktif dalam menjalankan kegiatan. Salah satu fokus utama Lilisen adalah pembentukan dan pemekaran cabang maupun Pengda baru.

Menurutnya, hal ini akan berdampak langsung pada meningkatnya partisipasi anggota, sekaligus membuat IKPI semakin dekat dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan masyarakat.

“Cabang atau Pengda yang wilayahnya terlalu luas membuat ketua tidak maksimal bersilaturahmi dengan KPP di wilayahnya. Dengan adanya cabang baru, pengurus bisa lebih fokus, anggota lebih saling mengenal, dan kegiatan seperti seminar bisa lebih merata di tiap kota atau kabupaten,” jelasnya.

Lilisen mengibaratkan pemekaran organisasi seperti seorang pengusaha yang membuka cabang baru. “Dengan banyak cabang, produk akan lebih dikenal masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau,” tambahnya.

Sebagai langkah awal, Lilisen mengungkapkan bahwa dalam waktu dekat akan dilakukan pembentukan Cabang IKPI Kediri. Usulan tersebut sudah diterima PP dengan 12 nama pengusul yang mewakili lima wilayah kota/kabupaten dan berada di bawah empat KPP Pratama.

“Ini sangat bagus, karena cabang baru ini diharapkan bisa lebih mengayomi masyarakat sekaligus membangun hubungan yang lebih mesra dengan empat KPP tersebut,” tegas Lilisen.

Dengan strategi tersebut, Lilisen optimistis IKPI akan semakin kokoh sebagai organisasi profesi konsultan pajak yang berdaya, modern, dan dekat dengan anggota maupun masyarakat. (bl)

Ketum IKPI Tunjuk Lilisen Pimpin Departemen Pengembangan Organisasi, Rekam Jejak Sudah Teruji

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali melakukan penyegaran struktur kepengurusan. Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, resmi menunjuk Lilisen sebagai Ketua Departemen Pengembangan Organisasi. Penunjukan ini sekaligus menggantikan Nuryadin Rahman, yang kini dipercaya mengemban tanggung jawab lebih besar sebagai Wakil Ketua Umum IKPI.

Bagi Vaudy, keputusan ini adalah bagian dari strategi memperkuat fondasi organisasi agar semakin solid dan mampu menjawab tantangan dunia perpajakan yang terus berkembang. “Lilisen bukan nama baru di IKPI. Beliau telah membuktikan kapasitasnya melalui perjalanan panjang di tingkat cabang hingga daerah. Dedikasi dan kiprahnya sudah teruji, sehingga kami menilai sangat tepat menempatkannya di posisi strategis ini,” ujar Vaudy.

Rekam Jejak

Lilisen memulai kiprahnya sebagai Ketua IKPI Cabang Pekanbaru periode 2019–2024. Di bawah kepemimpinannya, cabang tersebut berkembang pesat dengan berbagai program penguatan anggota serta peningkatan partisipasi publik. Kinerjanya kemudian membuat ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus Daerah (Pengda) Sumatera Bagian Tengah pada 2024–2025.

Selama periode tersebut, Lilisen dikenal mampu menjaga konsolidasi antar-cabang, memperluas jaringan, serta memperkuat hubungan dengan berbagai pihak, mulai dari asosiasi profesi, dunia usaha, hingga pemerintah daerah. Jejak inilah yang menjadi pertimbangan utama ketika Vaudy menunjuknya untuk posisi baru di tingkat pusat.

Departemen Pengembangan Organisasi memiliki peran vital bagi keberlangsungan IKPI. Fokus utamanya adalah memastikan tata kelola organisasi berjalan sesuai AD, ART, dan SOP, sekaligus menjaga kesinambungan hubungan antara Pengurus Pusat, Pengurus Daerah, dan Pengurus Cabang.

Selain itu, departemen ini bertugas mengoptimalkan seluruh kegiatan internal IKPI di semua level, mendorong pembentukan wilayah baru melalui pemekaran atau pendirian cabang/pengda, serta memastikan seluruh peraturan organisasi dijalankan konsisten. Dengan kata lain, departemen ini adalah motor yang menggerakkan organisasi dari pusat hingga akar rumput.

Namun peran departemen ini tidak berhenti di lingkup internal. Lilisen juga didorong untuk membawa IKPI lebih dekat dengan masyarakat luas, asosiasi profesi, dan pemerintah baik pusat maupun daerah. Kolaborasi eksternal menjadi salah satu kunci agar IKPI tetap relevan dengan perkembangan zaman sekaligus berkontribusi nyata bagi sistem perpajakan Indonesia.

Misi Modernisasi dan Keberlanjutan

Vaudy menegaskan, penunjukan Lilisen juga merupakan bagian dari misi modernisasi organisasi. IKPI ingin membangun tata kelola yang lebih adaptif, profesional, dan berkelanjutan, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar asosiasi.

“Departemen Pengembangan Organisasi adalah pilar penting dalam proses konsolidasi dan ekspansi. Dengan kepemimpinan Lilisen, kami yakin modernisasi organisasi dapat berjalan seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan, sehingga IKPI tetap kuat dan relevan di tengah dinamika perpajakan nasional maupun global,” tutur Vaudy.

Bergesernya Nuryadin Rahman ke kursi Wakil Ketua Umum juga menjadi sinyal bahwa IKPI tengah melakukan regenerasi kepemimpinan sekaligus distribusi peran strategis. Dengan menempatkan Lilisen di posisi pengembangan organisasi, IKPI ingin memastikan roda organisasi terus bergerak maju tanpa kehilangan arah.

Penunjukan Lilisen ini dipandang sebagai langkah strategis untuk memperkuat struktur organisasi IKPI. Dengan rekam jejaknya yang teruji, ia diharapkan mampu menjembatani komunikasi antarlembaga di dalam organisasi, memperluas wilayah kerja IKPI, serta mengoptimalkan kegiatan yang membawa manfaat langsung bagi anggota maupun masyarakat luas.

“IKPI ingin terus tumbuh, berkelanjutan, profesional, dan berdaya saing, sekaligus menjadi mitra strategis pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan nasional,” ujarnya. (bl)

Koreksi Restitusi Bikin Pajak Terkoreksi, Penerimaan Januari–Agustus 2025 Turun 5,1%

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak negara kembali tertekan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak Januari–Agustus 2025 sebesar Rp1.135,4 triliun, turun 5,1% dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp1.196,5 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak baru 54,7% dari target APBN. Tekanan terbesar datang dari koreksi restitusi, terutama pada PPh Badan serta PPN dan PPnBM,” ujar Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (22/9/2025).

Sampai akhir Agustus 2025, setoran PPh Badan hanya Rp280,08 triliun, anjlok 8,7% dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, meski penerimaan bruto naik, jumlah restitusi yang tinggi membuat capaian neto merosot.

Sektor konsumsi juga belum mampu mendorong penerimaan pajak. PPN dan PPnBM secara bruto terkumpul Rp631,8 triliun, turun 0,7%. Setelah dikurangi restitusi, neto tinggal Rp416,49 triliun atau turun 11,5%.

Di tengah tekanan restitusi, PPh Orang Pribadi justru mencatat kinerja cemerlang. Penerimaan bruto mencapai Rp15,98 triliun, sementara neto Rp15,91 triliun, keduanya melonjak lebih dari 38%.

“Data bruto menggambarkan aktivitas ekonomi, sementara neto menunjukkan posisi akhir setelah restitusi. Nah, koreksi restitusi inilah yang membuat penerimaan terlihat terkoreksi,” kata Anggito.

Kinerja delapan bulan pertama tahun ini menegaskan bahwa kebijakan restitusi berdampak nyata pada kas negara. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara hak wajib pajak atas restitusi dengan kebutuhan pembiayaan negara agar target penerimaan pajak 2025 tetap terjaga. (alf)

 

Purbaya Ingatkan Perlakukan Wajib Pajak dengan Adil dan Bukan Menakut-Nakuti

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kunci meningkatkan penerimaan negara bukanlah dengan menekan atau menakut-nakuti wajib pajak, melainkan melalui perlakuan yang adil dan konsisten. Ia menekankan, sistem perpajakan seharusnya memberi kepastian hukum tanpa kesan menghukum berlebihan.

“Program pajak itu harus dijalankan dengan benar. Kalau ada yang melanggar, tentu dihukum, tapi jangan sampai wajib pajak merasa diperas,” ujar Purbaya baru-baru ini.

Ia menambahkan, setiap rupiah penerimaan pajak yang terkumpul mesti segera dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, khususnya pembangunan dan penguatan ekonomi nasional. “Kalau sudah ada duit, ya dibelanjakan untuk program pemerintah. Itu esensinya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Purbaya mengingatkan agar pemerintah tidak terus-menerus mengandalkan program kontroversial seperti tax amnesty. Menurutnya, kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang hanya akan menumbuhkan sikap oportunistik di kalangan wajib pajak.

“Kalau tiap dua tahun ada tax amnesty, orang bisa berpikir lebih baik menunda kewajiban. Nanti toh ada pengampunan lagi. Itu bukan sinyal yang bagus,” ucapnya.

Seperti diketahui, wacana RUU Tax Amnesty kembali masuk dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Padahal, Indonesia sudah dua kali menjalankan program serupa.

Meski masih akan mempelajari usulan itu, Purbaya secara pribadi menilai kebijakan pengampunan pajak tidak tepat untuk dijadikan solusi permanen. “Saya akan lihat dulu bagaimana proposalnya. Tapi sebagai ekonom, saya menilai itu kurang pas. Tidak terlalu tepat,” pungkasnya. (alf)

 

Pajak Waris: Antara Kebijakan Fiskal dan Beban Psiko-Sosial

Ketika orang tua meninggal dunia, keluarga biasanya larut dalam duka. Namun, tak lama setelah itu, muncul urusan administratif yang tak kalah menyita emosi: balik nama harta warisan. Di titik inilah banyak orang kaget, karena ternyata ada pajak yang harus dibayar. Namanya pajak waris.

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar janggal. “Harta itu kan milik keluarga, kenapa negara ikut campur?” Pertanyaan tersebut wajar, sekaligus membuka ruang diskusi penting: adilkah pajak waris di Indonesia?

Logika Fiskal Pajak Waris

Pemerintah beralasan bahwa pajak waris diberlakukan untuk menjamin keadilan fiskal. Warisan termasuk objek final wealth gain menurut teori akrual pajak (Hidayat, 2018: 517), meskipun secara legal bukan penghasilan. Logikanya sederhana: seseorang yang tiba-tiba menerima rumah, tanah, atau deposito bernilai miliaran rupiah otomatis mengalami peningkatan aset, dan peningkatan inilah yang dianggap pantas dikenai kewajiban pajak.

Di Indonesia, ada tiga aturan utama yang terkait dengan pajak waris. Pertama, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang memang mengecualikan warisan dari objek PPh, tetapi tetap memberi konsekuensi pajak jika harta warisan itu menghasilkan penghasilan baru. Kedua, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melekat pada tanah dan bangunan. Ketiga, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam UU No. 28/2009 jo. UU No. 1/2022, yang biasanya paling dirasakan masyarakat ketika mengurus balik nama warisan.Dengan kerangka ini, negara menempatkan warisan bukan semata “harta keluarga”, melainkan juga objek fiskal.

Studi Kasus: Rumah Warisan Bernilai Rp1,5 Miliar

Ambil contoh sederhana: seorang ayah meninggal dunia dan mewariskan rumah senilai Rp1,5 miliar di Jakarta kepada anaknya. Saat sang anak mengurus balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ia harus menyiapkan pembayaran BPHTB.

Ketentuannya:

• NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, batas bebas pajak waris) warisan di Jakarta: Rp300 juta.

• Formula BPHTB: 5% × (NPOP – NPOPTKP).

• NPOP = Rp1,5 miliar.

• Dasar pengenaan = Rp1,5 miliar – Rp300 juta = Rp1,2 miliar.

• BPHTB terutang = 5% × Rp1,2 miliar = Rp60 juta.

Artinya, ahli waris harus membayar Rp60 juta hanya untuk balik nama. Jumlah ini belum termasuk biaya notaris, administrasi, dan PBB tahunan. Bagi kalangan berpenghasilan tinggi, biaya ini dapat diatasi dengan relatif mudah. Namun bagi keluarga kelas menengah, yang menurut data BPS (2023) menyisihkan rata-rata 8,3% pendapatan untuk tabungan, Rp60 juta setara dengan akumulasi simpanan 4-5 tahun.

Beban ini menciptakan apa yang dalam studi Kirchler (2007) disebut sebagai fiscal grief syndrome, di mana tekanan administratif dan finansial memperparah trauma psikologis pasca-berduka. Survei Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2022) terhadap 200 responden menunjukkan 68% ahli waris mengalami peningkatan stres akibat proses perpajakan. Situasi inilah yang menciptakan apa yang disebut “double burden of grief”: duka emosional karena kehilangan orang tua ditambah beban finansial karena kewajiban pajak.

Antara Keadilan dan Ketidakadilan

Dari perspektif teori pajak, prinsip ideal seperti ability to pay (Musgrave, 1959) dan benefit principle (Bird & Zolt, 2015) kerap tak terpenuhi. Data OECD (2021) menunjukkan hanya 42% wajib pajak beraset tinggi di Indonesia yang patuh pada kewajiban waris—angka terendah di ASEAN. Ironisnya, keluarga kelas menengah pemilik rumah Rp1,5 miliar justru terbebani BPHTB Rp60 juta, setara dengan 5 tahun akumulasi tabungan (BPS, 2023). Inilah wajah ketidakadilan sistemik: kebijakan yang seharusnya redistributif, malah menjadi fiscal grief syndrome (Kirchler, 2007).

Sayangnya, pajak waris di Indonesia sering kali justru membebani kelompok yang secara finansial rapuh.

Ketimpangan perlakuan juga terasa nyata: kalangan konglomerat punya akses ke konsultan pajak, notaris, dan instrumen perencanaan warisan (estate planning) seperti family trust atau offshore foundation (Shaviro, 2003).

Penelitian Hidayat (2018) menunjukkan bahwa 73% wajib pajak dengan harta >Rp50 miliar menggunakan family trust, sementara hanya 2% pemilik aset <Rp5 miliar yang memahami opsi ini. Mereka dapat memanfaatkan instrumen perencanaan warisan (seperti trust atau yayasan) untuk mengurangi liabilitas pajak secara legal, sementara masyarakat umum kesulitan mengakses skema serupa.

Data OECD (2021) mengonfirmasi ketimpangan ini: rasio kepatuhan pajak waris kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia hanya 42%, jauh di bawah rata-rata global (67%) akibat kompleksitas penghindaran pajak.

Sebaliknya, rakyat biasa yang hanya mewarisi rumah sederhana tak punya pilihan selain membayar sesuai aturan. Akibatnya, pajak waris lebih terasa sebagai pungutan yang tidak adil ketimbang instrumen distribusi kekayaan.

Penelitian psikologi pajak menunjukkan bahwa pajak yang dirasa tidak adil menurunkan kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan (Kirchler, 2007; Alm, 2019). Jika hal ini terus dibiarkan, legitimasi sosial pajak waris akan melemah.

Ketidakadilan persepsi pajak berkorelasi negatif dengan voluntary compliance (r = -0.78, p<0.01) berdasarkan meta-analisis 127 studi (Alm, 2019: 362), dan berdampak lebih buruk di masyarakat berpendapatan menengah (Kirchler, 2007: 89).

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara telah lama menggunakan pajak waris sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan estate tax dengan tarif hingga 40% untuk harta warisan bernilai besar. Jepang bahkan lebih ekstrem, dengan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Namun, kedua negara tersebut juga memberikan ambang batas bebas pajak yang tinggi sehingga keluarga kelas menengah tidak terbebani (OECD, 2021).

Praktik ini menunjukkan bahwa pajak waris bisa diterima publik jika dirancang dengan prinsip progresivitas: semakin besar nilai warisan, semakin tinggi beban pajaknya. Sebaliknya, warisan kecil untuk keluarga biasa mendapat keringanan.

Rekomendasi Reformasi

Agar pajak waris benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan fiskal, beberapa langkah reformasi perlu dipertimbangkan:

• Menyesuaikan NPOPTKP dengan indeks inflasi properti (misal: mengacu data kuartalan Bank Indonesia) dan menetapkan ambang batas berbeda per daerah (DKI Jakarta: min. Rp1,5 miliar, Jawa Timur: Rp800 juta, dst).

• Membedakan warisan produktif dan konsumtif. Usaha kecil keluarga seharusnya mendapat perlakuan lebih ringan agar dapat terus beroperasi tanpa terganggu masalah pajak.

• Mengadopsi skema progresif mirip PPh, contoh:

Warisan ≤ Rp2 M: 0%

Rp2–10 M: 2,5%

Rp10 M: 5–7%

4.     Menyediakan skema cicilan atau penangguhan pembayaran BPHTB. Dengan demikian, keluarga tidak harus menanggung beban pajak sekaligus.

• Meningkatkan literasi pajak waris. Pemerintah perlu menjelaskan sejak dini bahwa pewarisan membawa konsekuensi fiskal, sehingga masyarakat dapat merencanakan keuangan lebih baik.

Penutup

Pajak waris sejatinya adalah upaya negara untuk mengatur distribusi kekayaan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering dipersepsikan publik sebagai “pajak di atas kesedihan”. Selama beban lebih banyak ditanggung rakyat kecil ketimbang konglomerat, rasa ketidakadilan akan terus mengemuka.

Jika pemerintah ingin pajak diterima dengan lapang dada, reformasi aturan pajak waris tidak bisa ditunda. Tanpa reformasi mendasar, pajak waris akan tetap menjadi paradoks: kebijakan yang dimaksudkan untuk keadilan, justru melanggengkan ketimpangan. Saatnya menjadikannya instrumen redistribusi yang nyata bukan sekadar ‘pajak air mata’ bagi yang berduka.

Dengan begitu, ia bukan hanya menjadi sumber kas negara, tetapi juga instrumen keadilan sosial yang menjaga kepercayaan rakyat pada sistem perpajakan.

 

Referensi

1.      Alm, J. (2019). What motivates tax compliance? Journal of Economic Surveys, 33(2), 353–388. https://doi:10.1111/joes.12272

2.      Asian Development Bank (ADB). (2022). Inheritance tax reform in Southeast Asia: Lessons from Japan and Singapore. https://doi.org/10.22617/TCS220135-2

3.      Bad an Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (BKF Kemenkeu). (2022). Evaluasi efektivitas BPHTB waris di 5 kota metropolitan [Laporan internal].

4.      Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2015). Taxation and inequality in the global South. World Development, 67, 420–433. https://doi:10.1016/j.worlddev.2014.10.015

5.      Gustafsson, M. (2021). Inheritance taxation and psychological distress: Evidence from Sweden. Journal of Economic Psychology, 85, 102398. https://doi:10.1016/j.joep.2021.102398

6.      Hidayat, A. (2018). Pajak waris dan implikasinya dalam hukum pajak Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 512–530. https://doi:10.21143/jhp.vol48.no3.1802

7.      James, K. (2019). Tax avoidance and capital flight in developing economies. Journal of Public Economics, 178, 104–120. https://doi:10.1016/j.jpubeco.2019.104120

8.      Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.

9.      Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.

10.  Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2021). Inheritance taxation in OECD countries. OECD Publishing. https://doi:10.1787/e2879a7d-en

11.  Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. W. W. Norton & Company.

12.  Tim Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2023). Dampak kewajiban perpajakan pada stres finansial ahli waris di DKI Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial, 21(1), 45–62.

13.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

 

Pajak Karbon Diyakini Dorong Peningkatan Tax Ratio dan Kesejahteraan Masyarakat

IKPI, Depok: Indonesia berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pajak karbon, Hal ini disampaikan Prof. Gunadi, Dosen Ilmu Administrasi Kebijakan Pajak dan Pajak Internasional, dalam Seminar Nasional Perpajakan “Advancing Carbon Tax Policy in Indonesia: Developments and Future Directions” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, baru-baru ini.

Prof. Gunadi mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi kondisi hard-to-tax economy, di mana mayoritas ekonomi masih berada di sektor informal dan pertanian. “Tax ratio nasional saat ini stagnan di kisaran 10–12%. Pajak karbon bisa menjadi alat strategis untuk mengangkat tax ratio ini, seperti yang pernah terjadi pada era 1980-an ketika tax ratio mencapai 23%,” ujarnya.

Pajak karbon memiliki dampak ganda: selain menambah penerimaan negara, kebijakan ini mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi dan berinovasi dengan teknologi hijau. Skema yang digunakan mencakup cap and trade, cap and tax, serta sertifikat izin dan penurunan emisi, yang memungkinkan perdagangan hak emisi antar-perusahaan. Dengan cara ini, perusahaan yang melewati batas emisi harus membayar pajak atau membeli hak emisi dari perusahaan lain yang emisinya lebih rendah.

Ia menekankan, pajak karbon juga berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Dengan berkurangnya polusi dan peningkatan penggunaan energi bersih, biaya kesehatan masyarakat dapat ditekan, kualitas hidup meningkat, dan kepedulian sosial terhadap lingkungan juga tumbuh.

“Ini bukan sekadar pajak, tetapi instrumen untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan produktif,” katanya.

Dalam jangka panjang, penerapan pajak karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi 6,5–7% melalui hilirisasi industri dan optimalisasi sektor padat karbon. Prof. Gunadi menekankan perlunya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan industri, serta pengawasan teknis dari kementerian terkait untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif dan adil.

Dengan penerapan pajak karbon, Prof. Gunadi optimistis bahwa Indonesia dapat meningkatkan tax ratio, memperkuat basis pajak, dan mendorong transisi menuju ekonomi hijau, sekaligus menciptakan peluang investasi baru bagi industri dan masyarakat.

“Ini momentum untuk menjadikan pajak sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan yang nyata,” pungkasnya. (bl)

 

Menkeu: 200 Penunggak Pajak Jumbo Tak Bisa Lari Lagi, Negara Akan Eksekusi Rp60 Triliun

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan langkah tegas pemerintah terhadap para pengemplang pajak besar. Ia memastikan 200 penunggak pajak jumbo yang sudah berstatus inkracht akan segera dieksekusi dengan potensi pemasukan mencapai Rp50–60 triliun.

“Kita punya list 200 penunggak pajak besar yang sudah inkracht. Kita mau kejar dan eksekusi. Dalam waktu dekat akan kita tagih dan mereka gak akan bisa lari,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

Pernyataan Purbaya ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak akan lagi memberi ruang kompromi bagi wajib pajak besar yang menunggak kewajiban. Upaya ini sekaligus menjadi jawaban atas keresahan publik terkait pengusaha besar yang kerap lolos dari jerat penegakan pajak.

Selain bicara penegakan hukum pajak, Purbaya juga melaporkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Agustus 2025. Defisit tercatat Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Pendapatan negara Rp1.638,7 triliun atau 57 persen dari outlook APBN 2025. Itu terdiri dari penerimaan pajak Rp1.330 triliun, kepabeanan dan cukai Rp122,9 triliun, serta PNBP Rp306,8 triliun,” jelasnya.

Di sisi lain, belanja negara sudah mencapai Rp1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari pagu anggaran. Kondisi ini menunjukkan tekanan pada kas negara yang salah satunya diharapkan bisa ditutup dari optimalisasi penerimaan pajak.

Isu penunggakan pajak oleh pengusaha besar sebenarnya bukan hal baru. Tahun lalu, adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, juga pernah mengungkap adanya 300 pengusaha Indonesia yang diduga menunggak pajak hingga Rp300 triliun, terutama dari sektor sawit. Data itu disebut diperoleh Presiden Prabowo dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan serta Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh.

Dengan langkah tegas yang kini digencarkan Purbaya, publik menantikan apakah pemerintah benar-benar berani mengeksekusi daftar 200 penunggak pajak jumbo tersebut. Jika berhasil, hal ini bukan hanya akan memperkuat penerimaan negara, tapi juga mengirim pesan keras bahwa tidak ada lagi pengusaha besar yang bisa bersembunyi dari kewajiban pajak. (alf)

 

Bank Mandiri dan KPP Badora Kolaborasi Perkuat Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Bank Mandiri bersama Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang (KPP Badora) menjalin kolaborasi strategis guna memperkuat ekosistem pajak digital. Kolaborasi ini menitikberatkan pada dua aspek krusial: memastikan kelancaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) dan penyelesaian VAT Refund bagi wisatawan mancanegara.

Kepala KPP Badora, Natalius, menekankan bahwa PPN PMSE adalah penopang utama penerimaan negara di unit yang ia pimpin. Hingga 31 Juli 2025, realisasi PPN PMSE yang dicatat KPP Badora mencapai Rp5,72 triliun atau sekitar 60–70 persen dari target penerimaan tahunan. Mayoritas pembayaran dilakukan melalui Bank Mandiri.

“Artinya, menjaga agar aliran pembayaran ini lancar dan bebas hambatan menjadi sangat penting untuk keberlangsungan penerimaan pajak,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Dalam pertemuan tersebut, Natalius juga menggarisbawahi mandat baru KPP Badora sejak 1 Januari 2025, yaitu mengelola proses VAT Refund bagi turis asing. Khusus untuk pengembalian di atas Rp5 juta, mekanisme dilakukan melalui transfer ke rekening wisatawan.

Namun, dalam pelaksanaannya masih muncul kendala berupa retur dari bank korespondensi luar negeri. “Kami perlu mengetahui penyebab terjadinya retur agar pengembalian pajak bisa diterima lebih cepat dan tidak menimbulkan keluhan,” tambahnya.

Vice President Nugrahani Estuning Sari menyampaikan bahwa setiap kendala dalam transaksi PPN PMSE maupun VAT Refund menjadi perhatian serius. Bank Mandiri, menurutnya, secara berkelanjutan memperbaiki sistem internal agar proses pembayaran lebih efisien dan aman.

“Kami memastikan penerimaan negara bisa segera masuk kas, sementara wisatawan asing pun memperoleh haknya tanpa prosedur yang bertele-tele,” ungkapnya.

Lebih jauh, Nugrahani menyebut pihaknya merencanakan kunjungan balasan ke KPP Badora untuk membahas lebih detail rencana aksi teknis. Menurutnya, koordinasi langsung akan mempercepat sinkronisasi sistem perbankan dengan mekanisme perpajakan digital yang tengah dibangun Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Kolaborasi ini kami pandang strategis, karena bukan hanya mendukung DJP, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika perdagangan digital global,” tambahnya.

KPP Badora sendiri selama ini dikenal sebagai kantor pajak yang mengelola penerimaan dari perusahaan teknologi global, khususnya pemungut PPN PMSE luar negeri. Dengan kontribusi yang signifikan, optimalisasi sistem pembayaran menjadi salah satu prioritas utama mereka. Natalius menilai dukungan Bank Mandiri selaku salah satu bank terbesar di Indonesia akan semakin memperkuat fondasi digitalisasi perpajakan.

Sinergi ini juga selaras dengan agenda besar DJP yang mendorong transformasi digital di seluruh lini. Selain menyasar peningkatan kepatuhan wajib pajak, digitalisasi diharapkan mampu menciptakan transparansi, memperkecil potensi kebocoran, serta memberikan pengalaman yang lebih mudah bagi wajib pajak maupun turis asing.

Dengan kolaborasi ini, baik Bank Mandiri maupun KPP Badora optimistis bahwa hambatan teknis bisa segera diatasi. Lebih jauh, mereka menargetkan agar penerimaan PPN PMSE dan pengembalian pajak turis dapat berlangsung lebih cepat, akuntabel, dan efisien. Hasil akhirnya, bukan hanya negara yang diuntungkan melalui optimalisasi penerimaan, tetapi juga dunia usaha dan wisatawan yang merasakan kepastian layanan. (alf)

 

Era Coretax Dimulai, IKPI Surakarta Bekali Wajib Pajak Hadapi SPT 2025

IKPI, Surakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung peningkatan kepatuhan perpajakan. Pada Sabtu (20/9/2025), organisasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia ini sukses menyelenggarakan seminar perpajakan dengan tema “Manajemen dan Persiapan Penyusunan SPT Tahunan PPh Badan dan Orang Pribadi Era Coretax serta Update Ketentuan Perpajakan Terkini (PMK No. 37, 50, 54 Tahun 2025)”.

Kegiatan yang digelar di Hotel Alana Solo, dan diikuti 165 peserta berlangsung menarik dan interaktif. Mereka terdiri dari anggota IKPI serta kalangan umum, mulai dari praktisi pajak, pengusaha, hingga akademisi. Antusiasme tinggi terlihat sejak pendaftaran, menandakan bahwa isu perpajakan, terutama penerapan Coretax, benar-benar menjadi perhatian utama wajib pajak.

Dalam sambutannya, Ketua IKPI Cabang Surakarta Suparman menekankan bahwa tahun pajak 2025 akan menjadi tonggak baru sekaligus ujian bagi kepatuhan wajib pajak. Pasalnya, mulai tahun depan seluruh SPT Tahunan baik badan maupun orang pribadi wajib dilaporkan menggunakan sistem Coretax yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Ini adalah kali pertama wajib pajak harus melaporkan SPT melalui Coretax. Jangan anggap enteng. Kalau tidak dipahami dengan cermat, kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pemeriksaan pajak. Karena itu, sejak sekarang para anggota IKPI dan peserta seminar harus mulai mempersiapkan data klien secara detail. Jangan sampai di awal 2026, ketika SPT Tahunan 2025 dilaporkan, kita masih gagap menghadapi aturan baru,” kata Suparman.

Ia menambahkan, pemilihan tema seminar bukan tanpa alasan. IKPI Surakarta ingin agar para konsultan pajak anggotanya selalu selangkah lebih maju dalam memahami regulasi baru, sehingga dapat mendampingi wajib pajak dengan benar sekaligus mengurangi risiko kesalahan pelaporan.

Seminar ini dibuka oleh Ketua Pengurus Daerah IKPI Jawa Tengah, M. Slamet Umbaran. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa era Coretax tidak hanya menuntut kepatuhan administratif, tetapi juga kesiapan teknis dan akurasi data.

“Seminar ini diharapkan menjadi bekal nyata bagi peserta. Walaupun pelaksanaannya bertepatan dengan downtime sistem DJP pada akhir pekan ini, semangat peserta untuk hadir menunjukkan betapa pentingnya kesiapan menghadapi perubahan besar di sistem perpajakan kita,” ujarnya.

Selain soal teknis penyusunan SPT di Coretax, seminar juga membedah tiga regulasi terbaru yakni PMK No. 37, 50, dan 54 Tahun 2025. Narasumber utama, Lukman Nul Hakim, memaparkan bagaimana aturan-aturan tersebut akan berpengaruh pada wajib pajak, termasuk kewajiban pencatatan, rekonsiliasi, dan pelaporan.

Ia mengingatkan bahwa integrasi regulasi baru dengan Coretax bukan sekadar perubahan sistem, melainkan juga perubahan pola pikir dalam menyusun laporan pajak. Dengan Coretax, setiap data bisa dilacak secara otomatis sehingga ruang untuk manipulasi semakin sempit.

Antusiasme Tinggi

Acara berlangsung interaktif dengan banyak pertanyaan dari peserta, mulai dari masalah teknis pengisian hingga dampak regulasi terbaru pada sektor usaha tertentu. Para peserta mengakui bahwa seminar ini sangat membantu mereka menyiapkan strategi menghadapi pelaporan SPT 2025 yang pertama kali menggunakan Coretax.

Di penghujung acara, panitia menyerahkan vandel penghargaan kepada narasumber, disusul dengan sesi foto bersama. Momen ini menutup seminar dengan suasana hangat dan penuh optimisme.

Dengan keberhasilan penyelenggaraan ini, IKPI Surakarta sekali lagi membuktikan posisinya sebagai garda depan edukasi perpajakan. Seminar ini bukan hanya ajang transfer ilmu, tetapi juga wujud nyata peran konsultan pajak sebagai mitra strategis wajib pajak dan pemerintah dalam menjaga kepatuhan serta mendorong penerimaan negara.

“Kami di IKPI Surakarta akan terus menghadirkan kegiatan edukasi yang relevan dan bermanfaat. Semoga apa yang kita lakukan hari ini menjadi bekal penting menghadapi era baru perpajakan di Indonesia,” kata Suparman. (bl)

id_ID