Ubah Alamat Email di Sistem Pajak Kini Semudah 3 Langkah, Ini Caranya!

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempermudah Wajib Pajak yang ingin mengganti alamat e-mail terdaftar. Kini, perubahan dapat dilakukan langsung melalui sistem Coretax hanya dalam tiga langkah sederhana.

Tiga Langkah Praktis Ubah Email di Coretax

Tak perlu repot datang ke kantor pajak, berikut ini panduan singkat untuk mengubah alamat e-mail secara daring:

1. Masuk ke sistem Coretax;

2. Akses menu “Portal Saya”, lalu pilih “Informasi Umum”, klik “Edit”, kemudian masuk ke “Detail Kontak”;

3. Masukkan alamat e-mail baru, pastikan datanya benar, lalu klik “Simpan”. Jangan lupa centang pernyataan dan klik submit.

Ajukan Langsung ke Kantor Pajak

Jika lebih nyaman secara luring, Wajib Pajak juga bisa mengajukan perubahan e-mail melalui KPP atau KP2KP. Langkah-langkahnya:

Isi formulir perubahan data yang tersedia di kantor pajak atau unduh dari pajak.go.id;

Kirim formulir lewat pos, jasa ekspedisi, atau kurir;

Bisa juga melalui layanan Kring Pajak (1500200) atau live chat di situs resmi DJP.

Tak Hanya Email, Data Ini Juga Bisa Diubah

Selain alamat e-mail, DJP juga membuka ruang bagi Wajib Pajak untuk mengajukan perubahan data lainnya seperti:

Identitas Wajib Pajak tanpa perubahan bentuk badan hukum;

Alamat tempat kedudukan atau usaha selama masih dalam wilayah kerja KPP yang sama;

Jenis kegiatan usaha;

Struktur permodalan atau kepemilikan (untuk badan hukum);

Koreksi kesalahan tulis pada data administrasi DJP;

Perbedaan data antara dokumen resmi dan database DJP terkait bentuk badan usaha.

Dengan kemudahan ini, diharapkan Wajib Pajak semakin aktif memperbarui data demi tertib administrasi perpajakan. (alf)

 

 

.

 

 

Dirjen Pajak Klaim Permintaan Kode Otorisasi dan OTP di Coretax Kini Lebih Cepat

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengungkapkan perkembangan signifikan dalam penanganan berbagai insiden teknis pada sistem digital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, baru-baru ini. Salah satu isu yang berhasil ditangani secara tuntas adalah keterlambatan pengiriman One Time Password (OTP) dan error pada permintaan Kode Otorisasi DJP.

Dalam paparannya, Suryo menyampaikan bahwa hingga 10 Februari 2025, DJP mencatat sekitar 1.041 kasus terkait error permintaan Kode Otorisasi. Permasalahan ini disebabkan oleh bug pada modul pemrosesan sistem tanda tangan elektronik. Namun, berkat perbaikan teknis oleh vendor, jumlah kasus serupa yang tercatat pada 1-6 Mei 2025 menurun drastis menjadi hanya 3 kasus.

“Seluruh perbaikan telah diselesaikan. Saat ini, pengiriman OTP sudah sesuai standar, yakni di bawah lima menit,” ujar Suryo.

Sebelumnya, keterlambatan OTP sempat terjadi akibat lonjakan trafik dari provider layanan SMS dan email. DJP pun telah melakukan koordinasi intensif dengan para penyedia layanan untuk mengatasi hal ini.

Selain itu, permasalahan dalam penunjukan penanggung jawab (PIC) akun WP Badan dan fitur impersonate juga mengalami perbaikan drastis. Dari total 3.281 kasus yang tercatat hingga Februari, hanya tersisa 41 kasus yang dilaporkan selama awal Mei. DJP pun mendorong edukasi dan pemutakhiran data WP Badan agar sejalan dengan data Ditjen AHU.

Isu lain yang tak luput dari perhatian adalah latensi tinggi dalam penerbitan faktur pajak akibat error saat upload dan proses tanda tangan elektronik. “Latensi sistem sebelumnya mencapai 9,8 detik. Kini, setelah perbaikan, hanya 0,3 detik,” terang Suryo.

Perbaikan-perbaikan ini, menurut Suryo, merupakan bagian dari komitmen DJP dalam reformasi perpajakan yang berkelanjutan dan peningkatan pelayanan berbasis digital. (bl)

 

 

 

 

IKPI Kembalikan Tata Kelola Organisasi: Ketua Umum Tegaskan Prosedur Teken PKS

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya ketertiban dalam pelaksanaan kerjasama dengan pihak ketiga. Dalam Surat Edaran Nomor SE-02/PP.IKPI/2025 yang dikeluarkan pada 5 Mei 2025, Vaudy menggarisbawahi bahwa hanya pihak-pihak tertentu dalam struktur organisasi yang sah untuk menandatangani perjanjian dengan pihak luar IKPI seperti perjanjian kerja sama (PKS).

“Penegasan ini untuk memastikan adanya kepastian hukum dan tertib administrasi di tubuh IKPI,” ujar Vaudy, Selasa (13/5/2025).

Dalam edaran tersebut, ditegaskan bahwa penandatanganan PKS antara IKPI dan pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum, setelah mendapat masukan dan persetujuan tertulis dari Ketua Departemen Hukum. Persetujuan itu harus dituangkan dalam Lembar Persetujuan PKS yang ditandatangani oleh ketiganya.

Namun demikian, Vaudy membuka ruang bagi desentralisasi dengan memberikan opsi kuasa kepada pengurus daerah dan cabang. Ketua

Pengurus Daerah atau Ketua Pengurus Cabang, bersama dengan sekretaris masing-masing, dapat menandatangani PKS sepanjang telah mendapat persetujuan sesuai prosedur.

Ia juga meminta kepada seluruh pengurus daerah dan cabang periode 2024–2029 yang telah menandatangani PKS agar segera melaporkan dan menyerahkan salinan dokumen kepada Sekretaris Umum.

Langkah tegas ini dinilai sebagai bentuk komitmen IKPI dalam menjaga integritas organisasi serta memastikan semua kerjasama dijalankan secara akuntabel. (bl)

Memahami Hubungan Antara Tax Buoyancy Dan Tax Ratio di Indonesia

Sebagai seorang konsultan pajak, apalagi anggota asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia (IKPI), maka konsultan pajak pasti terlihat langsung dalam dinamika fiskal nasional, karena kita bersentuhan langsung dengan penerimaan pajak itu sendiri, dalam hal ini sebagai WP dan sekaligus sebagai pendamping WP. Walaupun kita tidak menentukan kebijakan fiskal, namun kita wajib memahami betapa pentingnya indikator perpajakan yang tepat dalam mengukur efektifitas kebijakan fiskal suatu negara.

Ada dua indikator utama yang biasa para ahli perpajakan pakai yaitu tax ratio dan tax buoyancy. Keduanya bukan sekedar angka semata, melainkan cerminan dari kualitas sistem perpajakan suatu negara dan sejauh mana sistem perpajakan tersebut mampu menopang Pembangunan nasional, utamanya mencapai Indonesia emas tahun 2045.

Dalam artikel ini, penulis mencoba mengulas hubungan antara tax buoyancy dan tax ratio Indonesia selama lima tahun terakhir, serta membahas faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena yang selama ini didengungkan hanya rendahnya Tax Ratio saja tanpa menyinggung Tax Buoyancy, diharapkan artikel ini dapat memperkaya diskusi di lingkungan asosiasi dan menjadi referensi bagi agenda reformasi fiskal yang lebih inklusif.

Definisi Singkat Tax Ratio (TR) dan Tax Buoyancy (TB)

Tax Ratio (TR) adalah persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mencerminkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional. Sedangkan Tax Buoyancy seberapa responsive penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, Jika nilai TB > 1, menunjukkan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih tinggi dari PDB, begitu juga sebaliknya.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa setelah lonjakan positif pada Tahun 2021-2022, tren tax buoyancy mengalami penurunan hingga 2024, sementara tax ratio cenderung stagnan di kisaran 10%.

Hubungan Antara Tax Buoyancy dan Tax Ratio :

Secara konseptual, tax buoyancy yang tinggi akan mendahului kenaikan tax ratio. Jika tax buoyancy tinggi, saat perekonomian tumbuh dan system pajak mampu menangkap pertumbuhan tersebut, maka penerimaan pajak juga ikut terdongkrak. Namun Ketika tax buoyancy menurun, seperti kasus tahun 2023 sd 2024, maka tax ratio sulit meningkat meskipun PDB naik. Artinya rendahnya tax buoyancy menjadi penghambat structural terhadap pencapaian tax ratio yang lebih tinggi.

Mengapa Tax Buoyancy Indonesia Cenderung Menurun ?

Terdapat sejumlah faktor struktural dan teknis yang menyebabkan tax buoyancy Indonesia cenderung menurun, antara lain :

1. Basis Pajak Yang Sempit, artinya jumlah potensi wajib pajak belum tergali dengan maksimal, hal ini dapat dijelaskan dengan masih tingginya porsi sektor informal dalam perekonomian, sehingga Pemerintah kesulitan untuk menjangkau sektor tersebut, selain itu masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dari kalangan menengah ke atas yang mengakibatkan system pajak tidak mencerminkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh.

2. Volatilitas Sumber Penerimaan, artinya penerimaan pajak masih tergantung kepada komoditas-komoditas primer, dimana harga komoditas tersebut cenderung mengalami volatilitas yang tinggi, misalnya batu bara, sawit, nikel, dsbnya.

3. Insentif Pajak Yang Masif, insentif pajak yang terlalu tinggi kadang bermata dua, di satu sisi bertujuan untuk merangsang sektor-sektor tertentu, namun insentif pajak tersebut pasti akan menggerus penerimaan negara, untuk itu perlu titik keseimbangan antara insentif fiskal yang diberikan tergantikan dengan potensi pajak yang lainnya.

4. Kepatuhan dan Kapasitas Administrasi Pajak, kemampuan administrasi fiskal yang bagus dalam mendeteksi setiap kecurangan akan mendorong Tingkat kepatuhan, dalam hal penggunakan teknologi digital akan memudahkan aparat pajak untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.

5. Ketidaksesuaian antara Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pajak, kadangkala peningkatan PDB bisa berasal dari sektor-sektor yang bukan penyumbang pajak utama, misalkan sektor pertanian maupun umkm informal tidak otomatis akan menyumbang penerimaan pajak. Dalam hal ini tugas Pemerintah untuk dapat mengintegrasikan sektor-sektor informal tersebut ke dalam bentuk formal.

Rekomendasi dan Saran :

Sebagai asosiasi professional di bidang perpajakan yang memiliki peran strategis dan penting dalam mendampingi wajib pajak, maka kita perlu juga memberikan usulan kepada Pemerintah untuk meningkat Tax Buoyancy dengan mendorong Langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perluasan basis pajak melalui pendekatan berbasis data yang terintegrasi secara cepat dan efektif yang melibatkan lintas Lembaga.

2. Penguatan administrasi perpajakan berbasis teknologi, dalam hal ini system coretax merupakan Langkah yang tepat untuk dijalankan, hanya masih ada kendala-kendala yang bersifat teknis yang perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.

3. Rasionalisasi insentif fiskal agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tapi tidak menggerus penerimaan pajak.

4. Memberikan Pendidikan pajak sejak usia dini dengan meningkatkan kesadaran pentingnya kontribusi warga negara dalam membayar pajak, sehingga kepatuhan sukarela dapat tumbuh dan berkembang.

5. Berikan sosialisasi terus menerus mengenai alokasi pajak yang dipungut dan diberikan kembali kepada Masyarakat, sehingga Masyarakat merasa pajak yang dibayar oleh mereka kembali kepada Masyarakat.

6. Penerapan aturan perpajakan secara professional, berkepastian hukum dan adil, sehingga Wajib Pajak tidak merasa sudah benar namun masih tetap disalahkan dengan alasan yang mengada-ada (alasan target penerimaan pajak).

7. Penegakan hukum yang tegas namun terukur kepada mereka yang melakukan melakukan tax evasion.

Artikel ini ditulis sebagai bagian dari konstribusi anggota dalam menyambut perayaan 60 tahun Ikatan Konsultan Pajak Indonesia pada tahun 2025, dengan harapan dapat memperkuat posisi profesi sebagai mitra strategis dalam Pembangunan fiskal nasional.

Sumber data :

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI)

a. Laporan APBN (Nota Keuangan Tahun 2019 sd 2024)

b. Laporan Kinerja DJP dan Statistik APBN

2. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

a. Statistik Pajak Tahunan

b. Paparan Hasil Reformasi Perpajakan dan Outlook Penerimaan

3. Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

a. Laporan Tax Ratio dan Evaluasi Kebijakan Fiskal

4. Badan Pusat Statistik (BPS)

a. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Tahunan

b. Pertumbuhan Ekonomi Ril dan Nominal

5. Laporan dan Kajian Eksternal

a. Laporan IMF Article IV Consultation Indonesia

b. OECD Revenue Statistics In Asia and the Pasific.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Tak Lagi Harus Direktur, Coretax Buka Jalan Baru Kelola Pajak Lewat Fitur PIC

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui platform digital Coretax. Sejak resmi diluncurkan awal tahun ini, sistem tersebut membawa sederet pembaruan besar, salah satunya adalah fitur Person In Charge (PIC) yang menjadi terobosan penting dalam pengelolaan kewajiban pajak Wajib Pajak Badan.

Sebelum adanya Coretax, hampir seluruh proses pelaporan dan administrasi perpajakan badan usaha terpusat pada direktur. Mulai dari pelaporan SPT, pembuatan bukti potong melalui E-Bupot, hingga penyusunan kode billing, semuanya harus dilakukan menggunakan akun pribadi direktur. Hal ini kerap menjadi tantangan, terutama di perusahaan dengan struktur operasional yang kompleks.

Kini, melalui fitur PIC, direktur perusahaan bisa menunjuk perwakilan dari Wajib Pajak Orang Pribadi baik karyawan internal maupun pihak eksternal yang dipercaya untuk membantu mengelola pelaporan pajak badan. PIC yang ditunjuk akan memiliki akun Coretax tersendiri, lengkap dengan username dan password unik, sehingga akses data menjadi lebih aman dan aktivitas pelaporan dapat dilakukan lebih efisien.

Proses Penunjukan PIC Harus Resmi dan Terverifikasi

Penunjukan PIC tidak bisa dilakukan sembarangan. Hanya direktur dari Wajib Pajak Badan yang berwenang mengajukan permohonan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat badan terdaftar. Setelah proses verifikasi identitas selesai, PIC dapat membuat akun Coretax melalui tahapan registrasi digital yang mencakup pengisian data pribadi, nomor telepon, email, serta verifikasi wajah. Sistem kemudian mengirimkan notifikasi untuk pembuatan kata sandi dan aktivasi akun.

Setelah login, PIC dapat memeriksa apakah nama badan usaha yang diwakilinya telah muncul di profil akunnya. Jika sudah, maka ia resmi menjadi perwakilan dalam administrasi pajak badan tersebut.

Peran PIC: Efisien, Tapi Tetap Terbatas

Meski PIC diberikan akses untuk melakukan berbagai fungsi pelaporan seperti pengisian dan penyampaian SPT, pembuatan dokumen pemotongan, hingga penyusunan tagihan namun wewenangnya tetap dibatasi. Penandatanganan SPT dan penerbitan faktur pajak, misalnya, hanya bisa dilakukan oleh direktur sebagai penanggung jawab utama.

Namun demikian, kehadiran PIC telah membawa perubahan nyata. Direktur kini tak harus menangani semua proses administratif secara langsung. Adanya lapisan pengecekan ganda oleh PIC dan direktur juga memperkuat kontrol internal dan menekan risiko kesalahan input data.

Dengan fitur ini, Coretax tak hanya sekadar mempermudah, tetapi juga menumbuhkan praktik tata kelola perpajakan yang lebih tertib dan kolaboratif. Sebuah langkah strategis yang mencerminkan semangat reformasi digital DJP menuju sistem perpajakan yang makin modern dan akuntabel. (alf)

 

Fitur Deposit Pajak di Coretax Jadikan Laporan SPT Lebih Cepat dan Praktis

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyederhanakan administrasi perpajakan dan mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menghadirkan inovasi melalui sistem Coretax. Salah satu fitur terbaru yang kini bisa dimanfaatkan adalah Deposit Pajak, sebuah mekanisme prabayar yang memungkinkan Wajib Pajak menyetor dana terlebih dahulu untuk keperluan pembayaran pajak di kemudian hari.

Fitur ini menawarkan fleksibilitas dalam pengelolaan arus kas serta mengurangi risiko keterlambatan pelaporan pajak akibat kendala teknis, seperti belum tersedianya kode billing saat akan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa atau Tahunan.

Cara Kerja Deposit Pajak di Coretax

Untuk menggunakan fitur ini, Wajib Pajak harus terlebih dahulu membuat billing dengan Kode Akun Pajak (KAP) 411168 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 100, dua kode baru yang khusus digunakan untuk pengisian saldo deposit. Masa pajak akan otomatis terisi sebagai Januari hingga Desember 2025, yang berarti saldo bisa dimanfaatkan kapan saja sepanjang tahun berjalan.

Pembuatan billing dilakukan melalui akun Coretax DJP, tepatnya di menu Pembayaran > Layanan Mandiri Kode Billing. Namun, penting untuk diingat bahwa masa berlaku billing hanya satu minggu. Jika tidak segera disetorkan, billing tersebut akan hangus dan harus dibuat ulang.

Setelah billing tersedia, pembayaran dapat dilakukan melalui kantor pos, bank, atau kanal digital seperti internet dan mobile banking. Bukti setor yang tervalidasi oleh Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) akan langsung terintegrasi ke akun Coretax dan tercatat sebagai saldo deposit.

Wajib Pajak dapat memantau saldo ini di menu Buku Besar, khususnya pada bagian “Kredit Pajak Tersisa”. Nilai yang tercantum menunjukkan dana siap pakai untuk pembayaran pajak berikutnya.

Sebelumnya, pelaporan SPT umumnya diawali dengan perhitungan kekurangan bayar, yang kemudian diikuti dengan pembuatan billing. Dengan adanya fitur ini, proses bisa dibalik dana disiapkan lebih dulu, lalu digunakan saat laporan pajak disampaikan. Alhasil, proses menjadi lebih cepat, ringkas, dan minim risiko keterlambatan. (alf)

 

 

Usulan Objek PNBP Baru: DPR Soroti Kasino sebagai Sumber Pendapatan Negara

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah didesak untuk lebih kreatif dalam menggali sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dalam rapat kerja dengan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan di Komisi XI DPR, Kamis (8/5/2025), muncul usulan mengejutkan: legalisasi kasino sebagai objek PNBP baru. Gagasan ini disampaikan oleh Anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita.

Galih menyoroti langkah progresif yang diambil oleh Uni Emirat Arab (UEA), negara dengan latar belakang konservatif serupa, yang kini mulai mengadopsi pendekatan out of the box untuk memperkuat penerimaan negaranya.

“Mohon maaf, saya bukannya mengajak ke arah yang tidak-tidak. Tapi UEA saja yang negara Arab sudah mulai buka kasino. Mereka sadar betul bahwa pendapatan dari sumber daya alam sangat fluktuatif,” ujar Galih dalam forum tersebut.

UEA diketahui telah menggeser fokus ekonominya dari ketergantungan pada minyak dan gas bumi menuju sektor jasa, termasuk pariwisata dan hiburan, demi memperkuat basis fiskal jangka panjang. Galih menilai Indonesia memiliki kesamaan tantangan, yakni ketergantungan tinggi pada SDA dalam struktur PNBP. “Kita harus cari sumber yang lebih stabil dan sustain,” tambahnya.

Tidak hanya UEA, Thailand juga tengah bersiap mengikuti jejak negara-negara yang telah mengadopsi model serupa. Parlemen Thailand bahkan telah membentuk komite khusus untuk mengkaji legalisasi kasino sebagai bagian dari kompleks hiburan terintegrasi. Mereka akan menerapkan sistem kontrol ketat seperti di Singapura, dengan retribusi masuk dan pembatasan bagi warga lokal.

Langkah Thailand tersebut diyakini akan menempatkan negara itu dalam peta persaingan ekonomi pariwisata Asia Tenggara, menyusul Singapura dan Filipina yang lebih dahulu membuka industri serupa. Saat ini, Indonesia dan Brunei masih menjadi dua negara di kawasan yang secara tegas melarang segala bentuk perjudian.

Meski usulan ini masih menuai kontroversi, sinyal keberanian untuk mengkaji opsi-opsi baru demi memperluas basis PNBP menunjukkan adanya desakan politik agar pemerintah tidak lagi bersandar pada sektor konvensional. Apalagi, kebutuhan fiskal nasional terus meningkat, seiring kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin kompleks. (alf)

 

 

Pengawasan Barang Ilegal di Medsos Kian Sulit, Dirjen Bea Cukai: Modusnya Terus Berkembang!

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, mengungkapkan tantangan besar dalam menindak maraknya peredaran barang ilegal yang kini merambah ke platform non-komersial seperti YouTube dan media sosial X (dulu Twitter). Berbeda dengan e-commerce resmi seperti Shopee atau Tokopedia, media sosial tidak dirancang untuk jual-beli, sehingga menyulitkan aparat untuk melakukan pengawasan dan penindakan.

“Variatifnya platform ini jadi tantangan tersendiri. Jualannya bisa lewat YouTube, bisa dari Twitter. Akses untuk mendeteksi jauh lebih sulit dibandingkan platform resmi,” ujar Askolani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, baru-baru ini.

Askolani mencontohkan bagaimana barang ilegal, seperti rokok atau barang impor tak berizin, dapat dipasarkan secara tertutup melalui pesan pribadi (DM) di media sosial. Model transaksi yang bersifat privat ini tak mudah dilacak, apalagi jika pelaku menyamarkan aktivitasnya dengan konten biasa.

Selama ini, pengawasan DJBC terhadap perdagangan ilegal memang telah menyasar jalur fisik dan daring. Namun, penindakan secara online masih berfokus pada e-commerce resmi. “Kita memang banyak temukan barang ilegal di e-commerce. Itu yang selama ini terus kita tindak,” kata Askolani.

Sepanjang tahun 2024, DJBC mencatat 44.474 penindakan dengan nilai barang mencapai Rp 6,54 triliun. Sementara dalam tiga bulan pertama tahun 2025, sudah ada 9.264 kasus penindakan, dengan nilai total Rp 3,59 triliun.

Rokok ilegal menjadi komoditas paling dominan dalam setiap penindakan. Bahkan di 2024, DJBC menyita sekitar 800 juta hingga 900 juta batang rokok ilegal. “Banyak yang kami temukan di barang kiriman. Sekarang modusnya bukan pakai truk lagi, tapi dititipkan di ekspedisi. Itu yang volume-nya naik,” jelasnya.

Menyadari perubahan pola distribusi pelaku, DJBC terus memperkuat pengawasan di berbagai titik krusial, termasuk pelabuhan, bandara, dan perbatasan negara. Namun, Askolani menegaskan bahwa kerja sama lintas lembaga, termasuk dengan pengelola platform digital, sangat diperlukan untuk menutup celah peredaran barang ilegal yang kian licin. (alf)

 

 

Ekonomi Tumbuh 4,87% di Tengah Ketidakpastian Global, Pajak Jadi Pilar Ketahanan Fiskal

IKPI, Jakarta: Meski dunia tengah menghadapi tekanan eksternal yang kian kompleks dari fragmentasi geoekonomi hingga kebijakan proteksionisme yang meluas Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang solid sebesar 4,87% (yoy) pada Triwulan I-2025. Capaian ini bahkan melampaui pertumbuhan beberapa negara di kawasan ASEAN dan negara-negara maju anggota G20.

Motor penggerak utama pertumbuhan berasal dari Konsumsi Rumah Tangga dan Ekspor, yang masing-masing berkontribusi sebesar 2,61% dan 0,83%. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,89% (yoy), didorong oleh pergeseran momentum Ramadan dan Idulfitri, sementara ekspor tumbuh 6,78% berkat naiknya nilai ekspor nonmigas dan meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara.

Di sisi sektoral, pertanian mencatatkan pertumbuhan dua digit sebesar 10,52%, didorong oleh normalisasi masa panen. Industri pengolahan juga menunjukkan tren positif dengan pertumbuhan 4,55% dan kontribusi terhadap PDB sebesar 19,25%. Sektor perdagangan tumbuh 5,03%, menjadikannya tiga besar kontributor pertumbuhan bersama pertanian dan industri.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyampaikan bahwa hampir seluruh lapangan usaha menunjukkan pertumbuhan positif. “Lapangan usaha dengan kontribusi terbesar terhadap ekonomi, yakni Industri Pengolahan, Perdagangan, Pertanian, dan Konstruksi, menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan,” ujar Haryo.

Pertumbuhan ekonomi juga tercermin dalam pasar tenaga kerja. Sebanyak 3,59 juta tenaga kerja terserap hingga Februari 2025, dengan kontribusi terbesar dari sektor perdagangan (996,8 ribu) dan industri pengolahan (720 ribu).

Menanggapi penurunan cadangan devisa sebesar USD4,6 miliar menjadi USD152,5 miliar per April 2025, Haryo menegaskan bahwa posisi ini masih aman karena setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor jauh di atas threshold internasional tiga bulan impor.

Dalam konteks ini, peran pajak menjadi sangat krusial. Penerimaan perpajakan menjadi fondasi fiskal yang menopang berbagai kebijakan dan program pemulihan ekonomi dari pemberian insentif usaha, pembangunan infrastruktur, hingga perluasan jaminan sosial.

Melalui transformasi sistem perpajakan dan penguatan kepatuhan sukarela, Pemerintah terus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dikelola secara berkelanjutan dan inklusif. (alf)

 

 

Pemutihan Pajak Kendaraan di Banten 2025 Dibuka hingga 30 Juni, Warga Diimbau Segera Manfaatkan!

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi masyarakat Banten yang selama ini menunggak pajak kendaraan! Pemerintah Provinsi Banten masih membuka program pemutihan pajak kendaraan bermotor tahun 2025. Program ini menjadi kesempatan langka bagi para pemilik kendaraan untuk mendapatkan berbagai keringanan, mulai dari pembebasan denda hingga gratis biaya balik nama (BBNKB).

Program yang telah berjalan sejak 10 April 2025 ini dijadwalkan akan berakhir pada 30 Juni 2025. Dengan sisa waktu sekitar satu bulan setengah, warga diimbau tidak menunda-nunda lagi untuk mengurus kewajiban pajaknya.

Direktur Lalu Lintas Polda Banten, Kombes Pol Leganek Mawardi, menyatakan bahwa program ini merupakan bagian dari relaksasi pajak yang diberikan untuk meringankan beban masyarakat serta memperbarui data kendaraan di wilayah Banten.

“Bahkan bagi warga yang tidak memiliki KTP pemilik lama, tetap bisa melakukan balik nama kendaraan. Cukup membawa KTP atas nama pemilik baru, BPKB, dan STNK asli. Kendaraan juga wajib dibawa untuk pemeriksaan fisik,” kata Kombes Leganek.

Syarat dan Dokumen yang Perlu Disiapkan

Bagi masyarakat yang ingin mengikuti program ini, berikut syarat dan dokumen yang perlu disiapkan sesuai jenis layanan:

1. Perpanjangan STNK Tahunan dan 5 Tahunan:

• STNK asli dan fotokopi

• BPKB asli dan fotokopi

• KTP asli dan fotokopi sesuai nama di STNK

• Surat kuasa bermaterai jika diwakilkan

• Kendaraan wajib dibawa (untuk perpanjangan 5 tahunan)

2. Balik Nama Kendaraan:

• KTP asli pemilik baru

• STNK dan BPKB asli

• Kendaraan harus dibawa untuk pengecekan fisik

Pelayanan pemutihan ini bisa dilakukan di seluruh Samsat Induk sesuai domisili pemilik kendaraan.

Program pemutihan ini menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk menyelesaikan kewajiban pajaknya tanpa terbebani denda, sekaligus memastikan data kendaraan tercatat dengan benar di kepolisian dan Dispenda. (alf)

 

 

id_ID