Dua Wajah Baru Hakim Agung Pajak: Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting Siap Perkuat Kamar TUN

IKPI, Jakarta: Dunia peradilan pajak di Indonesia kedatangan dua sosok baru yang siap memperkuat penegakan hukum di bidang tata usaha negara (TUN) khusus pajak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menetapkan Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting sebagai hakim agung TUN khusus pajak, melalui rapat paripurna setelah keduanya lolos uji kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI.

Penetapan ini menandai langkah penting dalam upaya memperkuat kapasitas Mahkamah Agung (MA) dalam menangani perkara-perkara perpajakan yang kian kompleks, sekaligus menjamin konsistensi putusan di tingkat tertinggi.

Keduanya telah resmi dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., pada Kamis (23/10/2025) di Ruang Kusumaatmadja, Tower Mahkamah Agung, Jakarta. Pelantikan itu digelar dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan dan Pelantikan sembilan hakim agung serta satu hakim ad hoc.

Budi Nugroho: Hakim Pajak yang Menjaga Keseimbangan Fiskal dan Kepastian Hukum

Nama Budi Nugroho bukanlah wajah baru di dunia hukum pajak. Dalam lima tahun terakhir, ia dikenal sebagai hakim di Pengadilan Pajak, tempatnya mengurai beragam sengketa seputar perpajakan, kepabeanan, hingga bea cukai. Latar belakang dan pengalamannya membuat Budi dianggap memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika hukum fiskal Indonesia.

Dalam pemaparannya di hadapan anggota DPR, Budi menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan perlindungan hak wajib pajak. Baginya, tugas hakim pajak bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi juga memastikan keadilan substantif bagi seluruh pihak.

Ia juga menyoroti rencana integrasi Pengadilan Pajak ke dalam Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, pembentukan kamar pajak di MA merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi putusan, khususnya dalam perkara peninjauan kembali (PK). “Konsistensi dan kepastian hukum adalah fondasi kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan,” ujarnya.

Budi menilai, peningkatan kompetensi hakim pajak merupakan kebutuhan mendesak agar putusan-putusan yang dihasilkan tidak hanya tepat secara hukum, tetapi juga berdampak positif bagi kepastian usaha dan iklim investasi.

Diana Malemita Ginting: Auditor Senior yang Siap Bertransformasi Jadi Penegak Keadilan Pajak

Berbeda dengan Budi, Diana Malemita Ginting datang dengan latar belakang yang unik. Ia bukan dari jalur karier hakim, melainkan tiga dekade mengabdi sebagai auditor di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dengan jabatan terakhir sebagai Auditor Utama. Pengalaman panjangnya dalam menelaah laporan dan regulasi keuangan membuatnya piawai dalam menilai kepatuhan terhadap hukum fiskal.

“Pola kerja auditor dan hakim sebenarnya serupa,” ujar Diana saat menjalani uji kelayakan. “Keduanya menilai berkas, memastikan kesesuaian dengan aturan, lalu memberikan rekomendasi atau putusan yang membawa konsekuensi hukum.”

Dalam pandangannya, tingginya beban perkara pajak di MA — terutama terkait permohonan peninjauan kembali (PK) — perlu direspons dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Ia mengusulkan agar perkara pajak dikelompokkan berdasarkan jenis, seperti transfer pricing, CPO, hingga migas, agar penanganannya lebih efektif dan cepat.

Tak hanya fokus pada tumpukan perkara, Diana juga menunjukkan visi ke depan. Ia mendorong pemerintah untuk segera menuntaskan aturan teknis pajak karbon, mencakup sistem monitoring, reporting, verification (MRV) hingga penerbitan sertifikat izin emisi. Menurutnya, pendapatan dari pajak karbon dapat menjadi sumber pendanaan strategis bagi program pengendalian perubahan iklim nasional.

Sinergi Pengalaman dan Integritas untuk Peradilan Pajak yang Lebih Kuat

Kehadiran dua figur dengan latar belakang berbeda ini diharapkan mampu membawa warna baru di kamar TUN khusus pajak. Budi dengan pengalaman yudisialnya, dan Diana dengan perspektif pengawasan fiskalnya, diyakini dapat saling melengkapi dalam memperkuat integritas dan kualitas putusan pengadilan.

Dengan pengesahan dan pelantikan ini, publik menaruh harapan besar bahwa Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting akan menghadirkan wajah peradilan pajak yang lebih adil, transparan, dan profesional, sejalan dengan semangat reformasi hukum dan perpajakan di Indonesia. (bl)

Hakim TUN Pajak Resmi Dilantik, MA Kukuhkan 10 Hakim Baru

IKPI, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) kembali memperkuat jajaran yudisialnya dengan melantik sembilan Hakim Agung dan satu Hakim Ad Hoc dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan di Ruang Kusumaatmadja, lantai 14 Tower MA Jakarta, Kamis (23/10/2025). Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pelantikan Hakim Agung di Kamar Tata Usaha Negara (TUN) yang membidangi sengketa pajak.

Sidang sakral ini dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., serta disaksikan oleh jajaran pimpinan MA, Wakil Ketua Bidang Yudisial, para Ketua Kamar, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc, dan pejabat struktural eselon I dan II. Jalannya prosesi berlangsung khidmat dan terbuka untuk umum, serta disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam sambutannya, Sunarto menegaskan bahwa jabatan hakim agung adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas dan rasa tanggung jawab. “Sumpah yang diucapkan hari ini bukan hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga para hakim yang dilantik dapat menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujarnya.

Pelantikan ini merupakan hasil akhir dari proses panjang seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan uji kelayakan serta kepatutan di Komisi III DPR RI. Setelah melewati tahap tersebut, para calon hakim agung akhirnya dikukuhkan untuk memperkuat berbagai kamar di lingkungan MA.

Adapun sembilan hakim agung yang dilantik terdiri dari berbagai kamar, yakni pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. Di antaranya adalah Dr. Hari Sugiharto, S.H., M.H., serta Dr. Budi Nugroho, S.H., S.E., M.Hum., dan Dr. Diana Malemita Ginting, Ak., S.H., M.Si., M.H. yang akan memperkuat Kamar Tata Usaha Negara (TUN) — termasuk bidang peradilan pajak yang semakin kompleks seiring meningkatnya sengketa fiskal.

Selain itu, turut dilantik Dr. Moh. Puguh Hariyogi, S.H., Sp.N., M.H. sebagai Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia (HAM), yang diharapkan mampu menambah perspektif keadilan substantif dalam perkara-perkara pelanggaran HAM berat.

Para hakim agung dan hakim ad hoc yang dilantik berikrar untuk menjalankan tugas dengan jujur, setia pada UUD 1945, serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu. “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar mereka serempak dalam pembacaan sumpah.

Ketua MA Sunarto menutup prosesi dengan doa agar para hakim yang baru dilantik senantiasa diberikan kekuatan moral, kejernihan hati, dan keberanian dalam menegakkan hukum. “Semoga saudara-saudara semua selalu dalam lindungan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa,” tutupnya.

Dengan pelantikan ini, Mahkamah Agung berharap kinerja peradilan, khususnya di bidang TUN dan pajak, semakin profesional, transparan, dan responsif terhadap dinamika hukum dan ekonomi nasional. (bl)

Edukasi Perpajakan IKPI: Role Access dan Impersonate Jadi Kunci Pelaporan Pajak di Coretax

IKPI, Jakarta: Sistem Coretax Administration yang resmi diterapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2025 tidak hanya membawa wajah baru bagi pelaporan SPT, tetapi juga mengubah secara fundamental cara wajib pajak dan kuasa pajak mengelola akses serta otorisasi akun. Hal ini diungkapkan Michael, Sekretaris Pengda IKPI Banten, dalam kegiatan edukasi perpajakan bertema “Isu Terkini SPT Masa PPh Pasal 21–26”, Kamis (23/10/2025).

Menurut Michael yang juga sebagai narasumber pada Edukasi Perpajakan IKPI, salah satu fitur paling krusial di Coretax adalah role access, yang membedakan peran pengguna antara drafter, signer, dan PIC (person in charge). “Role access ini bukan formalitas. Ini menentukan siapa yang berhak membuat, memverifikasi, dan menandatangani SPT masa,” jelasnya. 

Ia menekankan bahwa kesalahan dalam mengatur akses bisa berujung pada pelaporan yang tidak sah secara administratif.

Selain role access, sistem Coretax juga memperkenalkan fitur baru bernama impersonate, yang memungkinkan seorang profesional mengakses akun badan atau perusahaan melalui akun pribadi yang telah terverifikasi. 

“Fitur ini menggantikan cara lama di DGT Online. Jadi bukan lagi pakai akun perusahaan langsung, melainkan lewat login pribadi yang diotorisasi sebagai wakil resmi,” ujar Michael.

Ia menambahkan, perubahan lain yang tak kalah penting adalah penggantian sertifikat elektronik badan dengan kode otentikasi (KO), yang berfungsi sebagai tanda tangan digital resmi. “Sekarang tidak ada lagi e-certificate badan. Semua otentikasi sudah beralih ke KO, yang jauh lebih aman dan efisien,” ujarnya.

Michael menjelaskan, setiap perusahaan harus melakukan pengaturan ulang terhadap akun pusat dan cabangnya, yang kini dikenal dengan istilah NITKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha). “Kalau dulu NPWP cabang, sekarang jadi NITKU. Dan setiap NITKU punya akses berbeda sesuai peran dan tanggung jawabnya,” katanya.

Ia mengingatkan, pengabaian terhadap detail teknis ini dapat menyebabkan permasalahan pelaporan, terutama ketika bukti potong dibuat tanpa role yang tepat. “Kalau signer tidak punya otorisasi, laporan bisa ditolak sistem. Ini bukan sekadar administratif, tapi soal legalitas pelaporan pajak,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan sistem berbasis role access dan impersonate ini merupakan bentuk penguatan governance dan akuntabilitas perpajakan nasional. Dengan sistem ini, setiap tindakan dapat ditelusuri siapa yang membuat, memverifikasi, dan menandatangani. “Transparansi meningkat, potensi penyalahgunaan data menurun,” ujarnya optimistis.

Ia mengajak para praktisi pajak untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan regulasi melalui kegiatan pendidikan berkelanjutan yang diadakan oleh IKPI. “Coretax bukan hanya platform pelaporan, tapi revolusi cara berpikir dalam menjalankan kepatuhan pajak. Jangan tunggu dipaksa sistem pahami dan kuasai lebih dulu,” pungkas Michael. (bl)

Edukasi Perpajakan IKPI: Perubahan Bukti Potong Tantangan Adaptasi di Era Coretax

IKPI, Jakarta: Sekretaris Pengda Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Banten, yang juga menjadi narasumber pada Edukasi Perpajakan, Michael, mengingatkan para pelaku usaha dan konsultan pajak untuk bersiap menghadapi perubahan besar dalam tata cara pelaporan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21–26. Transformasi ini terjadi seiring dengan diberlakukannya Peraturan Dirjen Pajak (Per-11 Tahun 2025) yang memperkuat penerapan Coretax Administration System di seluruh lini pelaporan pajak.

Menurut Michael, regulasi baru tersebut bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga menuntut adaptasi mindset wajib pajak. Sistem Coretax, katanya, dirancang untuk menyederhanakan, menstandarkan, sekaligus mendigitalisasi seluruh proses pelaporan agar lebih efisien dan transparan. “Namun di lapangan, banyak perusahaan yang masih gagap memahami perubahan ini,” ujarnya dalam acara edukasi perpajakan yang digelar secara daring, Kamis (23/10/2025).

Michael menjelaskan, perubahan paling signifikan terlihat dari pembaruan format bukti potong yang kini memiliki kode baru, antara lain BP21, BP26, BPA1, dan BPA2. Semua dokumen tersebut wajib dibuat dan dilaporkan melalui sistem elektronik Coretax yang terintegrasi langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). “Kalau dulu pakai e-Bupot atau perekam DGT Online, sekarang semuanya sudah pindah ke Coretax,” tuturnya.

Ia menekankan bahwa kesalahan kecil dalam pengisian bukti potong atau keterlambatan pelaporan dapat berakibat fatal. “Banyak yang menganggap perubahan ini cuma soal teknis input, padahal konsekuensinya bisa sampai ke sanksi administratif atau bahkan pemeriksaan pajak,” jelasnya. 

Ia mencontohkan, kasus pembetulan berulang kali pada SPT masa 2024 menjadi pelajaran penting agar adaptasi sistem baru dilakukan secara hati-hati.

Menurutnya, wajib pajak kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan rutinitas lama. Pengelola HR dan staf payroll harus benar-benar memahami mekanisme pemotongan serta pelaporan baru agar tidak terjebak kesalahan sistem. “Kita tidak bicara compliance di atas kertas lagi, tapi compliance digital yang berbasis data real time,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan Coretax menjadi momentum penting bagi dunia perpajakan Indonesia untuk memperkuat prinsip self-assessment. Dalam sistem ini, setiap wajib pajak harus mampu menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya secara mandiri namun akurat. “Kalau dulu masih bisa manual, sekarang tidak ada alasan lagi untuk salah. Semua terukur dan terekam,” katanya.

Meski begitu, ia mengakui bahwa transformasi digital ini memerlukan masa transisi yang tidak sebentar. DJP diharapkan terus memperkuat sosialisasi, terutama untuk sektor UMKM dan badan kecil yang belum sepenuhnya memahami struktur pelaporan Coretax. “Edukasi dan pendampingan dari asosiasi seperti IKPI juga menjadi kunci keberhasilan implementasi,” tambahnya.

Namun demikian, Michael berpesan agar para profesional pajak tidak hanya fokus pada aspek pelaporan, tetapi juga membangun budaya patuh pajak berbasis integritas. “Teknologi hanya alat. Yang menentukan tetap manusianya apakah kita mau beradaptasi dan taat atau tidak,” ujarnya. (bl)

Meningkatkan Kepatuhan Sukarela Wajib Pajak

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras kepada seluruh jajaran pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam arahannya, Purbaya menegaskan bahwa wajib pajak (WP) yang telah patuh dan taat dalam memenuhi kewajiban pajaknya harus mendapatkan perlakuan yang adil (fair treatment).

Arahan tersebut merupakan kabar baik bagi wajib pajak. Di mana sebagai konsekuensi dari Self Assessment System adalah fiskus dapat melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak.

Namun, ada satu hal yang masih menjadi PR bersama, yakni bagaimana meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak? Pertanyaan ini terus menerus bergulir sampai hari ini. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menuju ke sana.

Peraturan Pajak yang Selalu Berubah-ubah

Pajak bukan sekadar soal membayar kewajiban ke negara. Di balik angka-angka tersebut, terdapat sistem hukum, administratif, dan teknis yang sangat kompleks.

Misalnya:

• Jenis pajak yang berbeda-beda: PPh 21, PPh 23, PPh Final UMKM, PPN, dan lain-lain memiliki aturan, tarif, dan cara lapor masing-masing.

• Pembaruan regulasi yang terus-menerus: Satu kebijakan bisa berubah dalam hitungan bulan melalui PMK, SE, atau PER DJP.

• Teknologi dan sistem yang terus berganti: Munculnya aplikasi e-Bupot, e-Billing, e-Faktur 3.0, hingga Coretax mewajibkan adaptasi cepat dari para wajib pajak.

Banyak pelaku usaha kecil menengah (UKM), pekerja lepas, bahkan perusahaan skala besar pun sering tertinggal dalam mengikuti perkembangan ini.

Wajib pajak menjadi bingung. Kebingungan ini bukan hanya soal mental, tetapi juga berdampak langsung ke finansial. Kesalahan dalam menghitung, menyetor, atau melaporkan pajak bisa berujung pada:

• Denda administrasi karena keterlambatan atau kekeliruan pelaporan

• Sanksi bunga atas kekurangan pembayaran

• Surat teguran atau pemeriksaan pajak

• Pencabutan NPWP atau status PKP

Bayangkan pelaku usaha UMKM yang baru saja melampaui omzet Rp4,8 miliar. Tidak tahu harus pindah ke skema PPh umum, dia tetap setor 0,5% PPh Final. Setelah diperiksa, ternyata dia keliru dan harus bayar kekurangan plus denda. Ini bukan kasus fiktif, tapi realita yang sering terjadi.

Keterbatasan Akses terhadap Konsultasi Pajak Profesional

Idealnya, setiap wajib pajak bisa bertanya langsung ke ahli pajak setiap kali bingung. Namun kenyataannya:

• Konsultan pajak profesional tidak selalu terjangkau, apalagi bagi individu atau UMKM.

• Kantor pajak memiliki keterbatasan waktu dan tenaga dalam melayani konsultasi secara menyeluruh.

• Banyak yang tidak tahu ke mana harus bertanya, atau ragu karena takut dianggap “bodoh”.

Padahal, kesalahan dalam pajak bukan hal sepele. Sekali salah, koreksinya bisa mahal dan panjang prosesnya. Sayangnya, akses konsultasi yang mudah dan cepat masih menjadi kendala utama bagi sebagian besar masyarakat.

“Berburu di Kebun Binatang”

Sebagai konsekuensi pelaksanaan Self Assessment System, otoritas dapat melakukan penilaian terhadap pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak. Sebagai pintu masuk, KPP terdaftar akan menerbitkan SP2DK.

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada wajib pajak dalam rangka pelaksanaan P2DK. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak, perubahan dari SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak dalam Bentuk Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.

Menurut penulis, SP2DK merupakan pintu masuk menuju pemeriksaan. Artinya, ketika wajib pajak tidak atau dianggap tidak bisa memberikan penjelasan sejelas-jelasnya ke otoritas, SP2DK ini akan diusulkan ke pemeriksaan.

Hal inilah yang membuat wajib pajak resah, terlebih bagi wajib pajak yang telah memenuhi hak dan kewajiban perpajakan secara baik dan benar. Padahal secara hakikat, ending SP2DK tidak harus ada setoran tambahan.

Di lapangan, banyak wajib pajak berpikir ulang untuk melaporkan pajak secara benar, “toh ujung-ujungnya tetap dikenakan tambahan setoran.”

Arahan Menkeu Purbaya

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Beri Peringatan Keras Jajaran Direktorat Jenderal Pajak: Pegawai Pajak Jangan Ganggu Wajib Pajak yang Sudah Patuh!

Menurut penulis, arahan Menkeu tersebut sangat tepat dan harus didukung dengan dibuatkan legal standing-nya, baik berupa PMK atau PER, supaya di lapangan tidak terjadi istilah “berburu di kebun binatang”.

Legal standing tersebut harus memuat:

• Kriteria wajib pajak patuh

• Wajib pajak yang bagaimana

• Kondisi wajib pajak yang bagaimana

• Apa jaminan jika masuk kategori wajib pajak patuh

• Fasilitas apa yang didapat

Menkeu menekankan pentingnya menciptakan lingkungan perpajakan yang kondusif, terutama bagi mereka yang telah berkontribusi aktif pada penerimaan negara.

Apabila ada legal standing yang jelas, tentu akan membawa angin segar bagi para wajib pajak, terutama bagi mereka yang sudah patuh atau yang sudah berkontribusi selama ini. Dengan demikian, para wajib pajak akan berlomba-lomba menjadi wajib pajak patuh.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Perang Tarif Trump Guncang Pasar Kripto

IKPI, Jakarta: Pasar kripto kembali bergejolak. Dalam 24 jam terakhir, harga berbagai aset digital anjlok setelah kebijakan perang tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu ketegangan dagang dengan China.

Berdasarkan data CoinMarketCap, Kamis (23/10/2025) pukul 06.10 WIB, kapitalisasi pasar kripto global turun 2,4% menjadi US$ 3,6 triliun dalam sehari. Kripto dengan kapitalisasi terbesar, Bitcoin (BTC), tertekan 1,55% ke posisi US$ 107.350 per koin, atau sekitar Rp 1,78 miliar (kurs Rp 16.603). Padahal, harga tertinggi Bitcoin sepanjang masa (all time high/ATH) sempat menyentuh US$ 126.223 pada 7 Oktober 2025.

Aset kripto lain juga tak luput dari tekanan. Ethereum (ETH) merosot 3,55% ke US$ 3.762, Binance Coin (BNB) melemah 0,46% menjadi US$ 1.061, Solana (SOL) anjlok 5,19% ke US$ 178, Dogecoin (DOGE) turun 4,25% ke US$ 0,18, dan XRP terkoreksi 4,21% menjadi US$ 2,33.

Menurut laporan CoinTelegraph, harga Bitcoin sebenarnya sempat mencoba pulih setelah koreksi tajam pekan lalu. Namun, ketegangan dagang AS–China yang kembali meningkat dan kebijakan tarif baru dari Presiden Trump menahan laju pemulihan pasar kripto.

Secara teknikal, harga Bitcoin kini berupaya mencari titik keseimbangan di kisaran US$ 107 ribu–108 ribu. Area US$ 106.300–104 ribu menjadi zona rawan likuidasi posisi long, sedangkan posisi short bisa tertutup paksa bila harga menembus US$ 115 ribu.

Meski sentimen global memburuk, beberapa indikator menunjukkan investor masih optimistis. Data Coinbase Premium Index dan spot cumulative volume delta (CVD) mencatat tren inflow positif sejak awal Oktober, menandakan akumulasi BTC oleh investor ritel dan institusional di AS terus berlangsung. Sebaliknya, trader di Binance Futures justru melakukan aksi jual agresif, memperbesar tekanan di pasar berjangka.

Kepala Investasi Lekker Capital, Quinn Thompson, menilai likuidasi besar-besaran pada 10 Oktober lalu justru membuka ruang bagi peluang baru.

“Likuidasi tersebut menghapus lebih banyak posisi leverage dibanding periode Januari–April 2025. Situasi ini mirip dengan masa sebelum kemenangan Trump pada 2024,” ujarnya.

Sementara itu, analis dari Tom Capital mengingatkan pelaku pasar agar tetap fokus pada pergerakan harga menjelang pekan depan yang diperkirakan membawa sejumlah katalis penting bagi arah kripto global.

Dengan ketegangan geopolitik yang belum reda dan kebijakan ekonomi AS yang semakin agresif, pasar kripto tampaknya harus bersiap menghadapi volatilitas tinggi dalam waktu dekat. (bl)

Peneliti UGM Sebut Defisit APBN 2025 Tergolong Sehat, Fiskal Masih Terkendali

IKPI, Jakarta: Peneliti kebijakan fiskal Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rijadh Djatu Winardi, menilai defisit fiskal dalam APBN 2025 yang mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong sehat dan terkendali.

Menurutnya, posisi tersebut menunjukkan fundamental fiskal Indonesia masih kuat, karena keseimbangan primer tetap positif dan rasio utang terhadap PDB terjaga di kisaran 39–40 persen, jauh di bawah ambang batas 60 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.

“Ruang kebijakan fiskal kita masih cukup luas. Defisit ini aman dan menunjukkan kinerja fiskal yang solid di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujar Rijadh di Yogyakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menilai tekanan terhadap APBN tahun ini lebih bersifat siklikal akibat penurunan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan kelapa sawit, yang berdampak pada penerimaan pajak dan PNBP. Namun, sektor manufaktur dan jasa masih menjadi penopang penting daya tahan fiskal nasional.

Meski demikian, Rijadh mengingatkan bahwa struktur fiskal Indonesia masih rapuh karena rasio pajak (tax ratio) hanya sekitar 10 persen terhadap PDB, jauh tertinggal dibanding rata-rata negara peers di kisaran 20 persen.

“Basis penerimaan fiskal kita terlalu sempit, sehingga setiap kali harga komoditas turun, APBN langsung tertekan,” ujarnya menegaskan.

Dari sisi belanja negara, ia menyoroti lambatnya realisasi anggaran yang berpotensi mengganggu fungsi stabilisasi fiskal. Hingga kuartal III-2025, realisasi belanja baru 62,8 persen, bahkan sejumlah kementerian/lembaga besar masih di bawah 50 persen, seperti Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), dan Kementerian Pertanian (32,8 persen).

“Kinerja belanja yang lambat membuat stimulus fiskal tidak optimal. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi persoalan struktural dalam perencanaan dan eksekusi anggaran,” ungkapnya.

Dengan waktu kurang dari tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir, pemerintah masih harus merealisasikan sekitar Rp527 triliun belanja. Karena itu, Rijadh menegaskan perlunya percepatan serapan anggaran untuk menjaga peran fiskal sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

“Fokusnya bukan menghabiskan anggaran, tapi memastikan setiap rupiah memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi ekonomi,” tuturnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal di sisa 2025 perlu diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal jangka panjang. (bl)

DJP Terapkan Strategi “Micro Management” untuk Kejar Setoran Pajak Akhir Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai menempuh strategi baru guna mengantisipasi potensi shortfall atau kekurangan penerimaan pajak pada akhir tahun ini. Langkah tersebut dilakukan dengan pendekatan micro management yang menitikberatkan pada pengawasan ketat terhadap wajib pajak berkontribusi besar.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengatakan pihaknya kini mengubah strategi pengawasan dan penagihan dengan pemantauan lebih rinci di seluruh kantor wilayah. DJP menyiapkan daftar wajib pajak potensial yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan, dan setiap pergerakan mereka akan dipantau secara langsung.

“Upayanya kita sudah mulai micro management untuk collection. Jadi kita pantau betul semua wajib pajak, kita list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa,” ujar Bimo di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Bimo menegaskan, fokus utama DJP saat ini adalah menutup compliance gap atau kesenjangan kepatuhan pajak, terutama di kelompok wajib pajak besar. Dengan pendekatan yang lebih tajam dan berbasis data, ia berharap penerimaan negara bisa tetap optimal meski tekanan ekonomi belum sepenuhnya mereda.

“Gap kepatuannya kita endorse untuk bisa jadi optimum,” tambahnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, kinerja penerimaan pajak nasional memang menunjukkan tren melambat. Kondisi ini mendorong DJP memperkuat strategi pengawasan berbasis data dan memastikan setiap potensi penerimaan dapat digali secara maksimal menjelang akhir tahun anggaran.

Langkah micro management ini disebut menjadi strategi kunci DJP untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan target penerimaan 2025 tetap berada dalam jalur yang aman. (alf)

E-Commerce Belum Siap, idEA Minta Waktu 8 Bulan Sebelum Pungutan Pajak Jalan

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai industri marketplace belum sepenuhnya siap menjalankan kewajiban sebagai pemungut pajak. Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto memperkirakan, platform e-commerce membutuhkan waktu sekitar delapan bulan sejak September 2025 untuk menyiapkan sistem yang mampu menjalankan tugas tersebut secara efektif.

Hilmi menyambut baik keputusan pemerintah menunda penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi e-commerce. Menurutnya, langkah ini realistis dan memberi ruang bagi industri digital untuk beradaptasi tanpa mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi digital nasional.

“PMK ini bukan menambah beban baru bagi wajib pajak, tetapi mengalihkan tanggung jawab pemungutan pajak kepada platform. Marketplace harus memverifikasi omzet penjual, mengelola data perpajakan, dan memastikan pelaporan berjalan lancar. Ini bukan hal sederhana,” ujar Hilmi, Rabu (22/10/2025).

Hilmi menjelaskan, hasil kajian bersama idEA dan para pelaku industri menunjukkan bahwa masa transisi minimal delapan bulan sangat diperlukan agar implementasi PMK berjalan efektif. Persiapan mencakup penyesuaian sistem internal, integrasi data dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta penguatan edukasi bagi penjual. Ia menekankan pentingnya koordinasi erat antara pemerintah, DJP, dan platform marketplace agar mekanisme pemungutan pajak tidak menimbulkan kebingungan, terutama bagi pelaku UMKM digital.

“Adaptasi terhadap sistem administrasi pajak digital masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha kecil. Sosialisasi yang menyeluruh sangat penting agar proses pungutan tidak menjadi beban tambahan bagi penjual kecil,” ujarnya.

Meski mendukung penguatan kepatuhan pajak, idEA mengingatkan potensi distorsi pasar jika kebijakan diterapkan tanpa kesiapan memadai. Pelaku kecil bisa terbebani secara administrasi maupun arus kas, yang pada akhirnya mendorong mereka berpindah ke kanal non-formal seperti media sosial untuk menghindari pungutan tambahan. Selain itu, sebagian penjual mungkin akan meneruskan beban pajak kepada konsumen tergantung strategi bisnis masing-masing, yang bisa berdampak pada daya saing dan harga produk.

Hilmi menegaskan, idEA mendukung sepenuhnya komitmen pemerintah memperkuat kepatuhan pajak di sektor digital. Namun, kebijakan tersebut perlu dijalankan dengan pendekatan adil, proporsional, dan berorientasi pada pertumbuhan agar tidak menekan daya saing industri e-commerce Indonesia di kawasan ASEAN.

“Pemerintah dan industri perlu bersama-sama membangun ekosistem pajak yang sehat dan inklusif di mana pelaku usaha tetap patuh pajak tetapi juga memiliki ruang untuk tumbuh,” pungkasnya. (alf)

Kabar Gembira! Industri Film Nasional Bakal Dapat Insentif Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan angin segar bagi dunia perfilman Tanah Air. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan sedang merancang skema insentif pajak baru khusus untuk industri film nasional.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan sektor kreatif dan menciptakan persaingan yang lebih adil antara film lokal dan film impor.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, wacana pemberian insentif tersebut muncul setelah DJP menerima aspirasi dari berbagai asosiasi film di Indonesia.

“Permintaannya (dari pelaku industri), kita akan membuat skema insentif yang affordable untuk mengembangkan industri film dalam negeri. Termasuk juga untuk menyetarakan level playing field antara industri film nasional dan film impor,” ujar Bimo usai pertemuan di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Menurut Bimo, pelaku industri menilai masih ada beberapa kebijakan perpajakan yang perlu diperbaiki agar iklim usaha semakin kondusif.

“Selama ini mungkin dirasa ada beberapa hal yang harus di-improve,” ungkapnya.

Meski belum merinci bentuk insentif yang akan diberikan, Bimo menegaskan arah kebijakan DJP jelas: mengurangi beban pajak bagi pelaku film nasional agar industri ini bisa tumbuh lebih kuat di pasar domestik.

“Saya belum bisa bicara detail, tapi arahnya agar beban pajak bagi industri dalam negeri tidak terlalu memberatkan,” tegasnya.

Langkah DJP ini disambut positif oleh pelaku sektor kreatif. Mereka menilai, dukungan fiskal seperti ini sangat penting di tengah ketatnya persaingan pasar dan naiknya biaya produksi film lokal.

Jika terealisasi, insentif pajak ini diharapkan menjadi babak baru bagi kebangkitan industri film Indonesia bukan hanya memperkuat eksistensi di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang lebih luas untuk menembus pasar global. (alf)

id_ID