Pemerintah Masih Pertimbangkan Tunjuk E-Commerce Sebagai Pemungut Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyatakan tidak akan terburu-buru merilis ketentuan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemotong atau pemungut pajak. Hal itu disampaikan Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung seperti dikutip dari wartaekonomi.com.

Ia mengatakan, masih banyak aspek yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam merilis aturan tersebut. “Belum kita terapkan ya. Artinya, kita masih pertimbangkan juga arahan dari pimpinan, bagaimana cara kita nantinya (memungut pajak), ya tugas kita hanya memfasilitasi tadi,” kata Bonarsius.

Bonarsius juga menjelaskan, pertimbangan pertama adalah kondisi ekonomi yang masih dalam proses pemulihan dari pandemi COVID-19. Pertimbangan kedua merupakan kesiapan infrastruktur, dan yang terakhir terkait tarif dan administrasi yang mudah.

Selain itu, DJP juga akan melakukan komunikasi dengan sejumlah pihak untuk menyampaikan keinginan pemerintah, yaitu membuat negara lebih maju dengan memformalkan UMKM. “Ya berpartisipasilah kepada negara, bergotong royong. Tapi dengan tarif tentunya kecil, administrasi yang mudah,” ucap Bonarsius.

Bonarsius mengakui, isu terbesar UMKM dalam pembayaran pajak adalah minimnya kemampuan mereka dalam hal administrasi. Karena itu, DJP akan memikirkan proses administrasi yang mudah dan sederhana.

Selain itu, Bonarsius juga menambahkan bahwa pemerintah ingin UMKM lebih maju. Karena itu, pemerintah memiliki tugas untuk memfasilitasi UMKM agar mereka terus tumbuh. Meski demikian, sosialisasi pajak UMKM online ini dinilai masih di lingkup internal pemerintah atau belum menyasar ke pengusaha. Menurutnya, ketentuan tersebut saat ini juga masih sekadar wacana.

Tantangan lainnya, menurut Bonarsius, lokasi tempat penjual yang tak menentu dalam menjual barang dagangannya melalui e-commerce juga menjadi tantangan dalam memungut pajak. “Karena bagaimana kita memajaki orang yang kita tidak pernah lihat ada usahanya, umpanya seperti itu,” kata Bonarsius.

Di sisi lain, riset yang dilakukan oleh DDTC FRA berjudul “Policy Notes, Tinjauan dan Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM” menemukan bahwa sebanyak 49,35 persen pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace menjadi pemotong dan pemungut pajak. Selain itu, DDTC FRA juga menemukan bahwa penunjukkan platform e-commerce sebagai pemungut pajak UMKM online dapat menurunkan partisipasi UMKM berjualan online sebanyak 26 persen.

Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan pelaku UMKM bermigrasi ke platform penjualan lainnya, seperti media sosial dan toko fisik. Ini juga dapat membuat UMKM kembali ke dalam ekosistem shadow economy atau ekonomi informal. Jika demikian, basis pajak UMKM justru akan menurun.

Untuk itu DDTC FRA menilai, pertama-tama DJP harus mempertimbangkan pelaksanaan penyerahan rekapitulasi data transaksi UMKM oleh marketplace. Selain itu, sehubungan dengan rencana pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), DJP juga dinilai perlu meminta persetujuan (consent) kepada pelaku UMKM untuk merekapitulasi data tersebut dan menyerahkannya kepada DJP serta mitranya, dalam hal ini platform e-commerce.

Selanjutnya, DJP juga perlu melakukan evaluasi pelaksanaan hasil rekapitulasi data, termasuk merumuskan aturan teknis, sinkronisasi data, dan lain-lain. Terakhir, pemerintah dapat memulai sosialisasi dan implementasi sistem pemotongan dan pemungutan pajak. Dalam perhitungan DDTC FRA, tiga tahapan ini minimal membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga tahun. (bl)

Penerimaan Pajak Digital Capai Rp 9,17 Triliun

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak pertambahan nilai dari perdagangan melalui sistem elektronik (PPN PMSE) mencapai Rp 9,17 triliun hingga Oktober 2022. Jumlah pemungut pajak digital pun terus bertambah.

Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) per Oktober 2022 dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau pajak digital menyentuh Rp 9,17 triliun. Capaian ini berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, dari total 131 pelaku usaha PMSE, 111 pelaku usaha telah memungut dan menyetor sebesar Rp 9,17 triliun. Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, dan Rp 4,53 triliun setoran tahun 2022.

Selain itu, pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut wajib memungut PPN dengan tarif 11% atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia.

“Tidak hanya itu, pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE wajib membuat bukti pungut PPN atas pajak yang telah dipungut. Bukti pungut tersebut dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis lainnya yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran,” terang Neilmaldrin dalam keterangan tertulis DJP, seperti dikutip Detik.com, Selasa (8/11/2022).

Neilmaldrin menambahkan, untuk memberikan kesempatan yang sama antara pelaku usaha konvensional dan digital, DJP menetapkan kriteria bagi pelaku PMSE di luar negeri yang menjual jasanya ke Indonesia.

Adapun kriterianya adalah nilai transaksi dengan pembeli Indonesia melebihi Rp 600 juta setahun, atau Rp 50 juta sebulan. Atau, jumlah traffic di Indonesia melebihi 12 ribu setahun, atau seribu sebulan untuk memungut PPN PMSE atas kegiatan tersebut.(bl)

id_ID