Wajib Pajak Harus Tahu Beda PPN dan PPh, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Indonesia saat ini sedang ramai membicarakan isu kenaikan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang telah meningkat menjadi 11% sejak April 2022. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPN direncanakan akan naik lagi menjadi 12% pada tahun 2025.

Kenaikan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat, salah satunya terkait perbedaan mendasar antara PPN dan Pajak Penghasilan (PPh).

Meskipun keduanya merupakan bagian dari sistem perpajakan Indonesia, PPN dan PPh memiliki tujuan, penerapan, dan mekanisme yang berbeda. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis pajak tersebut:

Apa itu PPN dan PPh?

1. PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa dalam negeri. Secara sederhana, ini adalah pajak yang dibayar oleh konsumen akhir saat membeli barang atau menggunakan jasa. Namun, meskipun konsumen yang membayar, kewajiban memungut dan menyetorkan PPN ada di tangan Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pihak yang menjual barang atau jasa tersebut.

Contohnya, saat Anda membeli produk di supermarket, harga yang tertera biasanya sudah termasuk PPN. Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11% untuk sebagian besar barang dan jasa, dengan beberapa kategori barang dan jasa tertentu yang dikecualikan atau dikenakan tarif khusus, seperti kebutuhan pokok dan jasa pendidikan. Selain itu, ekspor barang dikenakan tarif 0% guna mendukung daya saing Indonesia di pasar global.

2. Berbeda dengan PPN, PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh individu maupun badan usaha. Penghasilan yang dimaksud meliputi gaji, laba usaha, bunga, hadiah, dan sebagainya. Pajak ini langsung dibayarkan oleh penerima penghasilan atau melalui pemotongan oleh pihak lain, seperti perusahaan yang memotong PPh Pasal 21 dari gaji karyawannya setiap bulan.

Tarif PPh bersifat progresif untuk individu, dimulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan kena pajak. Sementara itu, untuk badan usaha, tarif PPh umumnya sebesar 22%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan perbedaan utama antara PPN dan PPh terletak pada objek pajak, mekanisme pembayaran, dan siapa yang menanggungnya. PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, dan dibayar oleh konsumen akhir, sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan dan dibayar oleh penerima penghasilan, baik individu maupun badan usaha. Meskipun keduanya bagian dari sistem perpajakan yang penting, perbedaan mendasar ini perlu dipahami agar masyarakat dapat lebih cermat dalam memenuhi kewajiban pajaknya. (alf)

Pemerintah Berlakukan PPN 12% di Tahun 2025, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah berencana menyesuaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% akan diimplementasikan paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dwi menyebut, penyesuaian tarif tersebut merupakan amanat Undang-Undang Harmonasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Mengenai waktu implementasinya, kami berpedoman pada amanat UU HPP, yaitu paling lambat 1 Januari 2025,” ujar Dwi seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (12/3/2024).

Dirinya menegaskan bahwa penyesuaian tarif PPN bukan ditetapkan saat ini, melainkan sudah ditetapkan saat UU HPP disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021.

Adapun yang menjadi sasaran penetapan tarif PPN adalah ketentuan dalam Bab IV Pasal, di mana sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

“Dengan demikian tidak ada istilah pemerintah mengerek tarif PPN sebagaimana disampaikan dan adalah pemahaman yang kurang tepat,” katanya.

Sebagai informasi, kenaikan tarif PPN 11% pada tahun 2022 telah berdampak positif terhadap penerimaan negara. Pasalnya, pemerintah telah mengantongi Rp 80,08 triliun ke kas negara hingga akhir Maret 2023 usai menaikkan tarif PPN 11% sejak bulan April 2022. (bl)

Penerapan Penghitungan PPh 21 dengan TER Sebabkan Penurunan Gaji, Ini Penjelasannya!

IKPI, Jakarta: Sejumlah pegawai mengalami penurunan gaji pada Januari 2024. Penurunan ini memang dipicu oleh penerapan penghitungan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi baru.

Perhitungan ini telah berlaku sejak 1 Januari 2024. Kebijakan ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 58 tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.

Melalui ketentuan itu, pemerintah menetapkan penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan metode tarif efektif rata-rata atau TER, yang terbagi menjadi dua kategori, yakni tarif efektif bulanan untuk setiap masa pajak selain masa pajak terakhir dalam satu tahun, serta tarif efektif harian.

Sebenarnya, metode baru itu menghitung PPh Pasal 21 bulanan dari Januari-November menjadi hanya penghasilan bruto sebulan dikalikan dengan tarif efektif bulanan. Kemudian, baru pada Desember atau masa pajak terakhir rumusnya kembali normal seperti sebelumnya.

Pengamat pajak menjelaskan penerapan hitung-hitungan baru mengenai PPh karyawan yang menggunakan metode TER akan membuat gaji bulanan para pegawai kantoran berubah. Meski demikian, perbedaan hitung-hitungan itu akan hilang di perhitungan PPh terakhir yakni di bulan Desember.

“Hasil perhitungan bulanan sebelum masa pajak terakhir atau Desember memang akan berbeda antara TER dan tarif normal, perbedaan tersebut akan hilang di perhitungan masa terakhir atau Desember,” kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono seperti dikutip dari Kontan.co.id, Jumat (25/1/2024).

Meski berbeda secara bulanan, Prianto menekankan bahwa penghitungan PPh 21 ini tetap sama apabila dilihat dalam tempo satu tahun. Penghitungan menggunakan TER, kata dia, dilakukan hanya untuk mempermudah perhitungan pajak bulanan karyawan. “TER ditujukan untuk mempermudah perhitungan bulanan sebelum Desember atau masa pajak terakhir,” ungkapnya.

Perbedaan beban PPh 21 itu akan terasa terutama pada pegawai yang menanggung pajaknya sendiri. Sementara untuk pegawai yang pajaknya ditanggung oleh perusahaan, maka tidak akan mengalami perubahan akibat penerapan penghitungan TER ini.

“Di perhitungan bulanannya tetap ada beda. Tapi pada akhir Desember perhitungannya akan kembali normal,” katanya.

Menurut dia, saat ini beberapa perusahaan masih terus membuat simulasi perhitungan untuk mengetahui perbedaan yang diakibatkan oleh penerapan metode TER ini. Menurut dia perbedaan mencolok justru ada di perluasan obyek PPh 21 yang mencakup imbalan natura atau kenikmatan.

Dia menambahkan take home pay akan berkurang jika beban PPh ada di pegawai dan objek potongan PPh-nya mencakup imbalan tunai dan nontunai (natura & kenikmatan).

Adapun sejumlah pegawai yang diwawancarai oleh CNBC Indonesia mengaku gaji bulan Januari mereka berkurang karena adanya penerapan penghitungan ini. Seorang pegawai swasta bernama Adi (bukan nama asli) yang bekerja di Jakarta menjadi salah satu pegawai yang gajinya berkurang bulan ini karena penerapan hitungan baru PPh 21 tersebut. Dia mengaku gaji yang diterima bulan ini berkurang sekitar Rp 250 ribu daripada bulan lalu. “Turun gaji Rp 250 ribu,” kata dia.

Seorang pegawai swasta lainnya bernama Dinda (bukan nama asli) mengaku juga mengalami penurunan serupa. Dia mengatakan biasanya mengalami potongan gaji Rp 250 ribu untuk pembayaran pajak setiap bulannya. Namun pada Januari ini, jumlah potongan itu naik menjadi lebih dari Rp 300 ribu.

“Kalau kena hitung-hitungan tarif PPh baru bukannya harusnya potongan di bulan 1-11 lebih kecil terus baru gede di bulan 12 ya?” kata dia. (bl)

 

 

Tarif Potong PPh Pekerja Lajang dan Menikah Berbeda, Ini Penjelasannya!

IKPI, Jakarta: Skema penghitungan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) antara pekerja yang belum menikah dengan yang sudah menikah memiliki perbedaan. Hal ini sesuai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023.

PP tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2023, dan berlaku 1 Januari 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menjelaskan, penerapan aturan ini semata untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang bagi para wajib pajak. Sebab, tarif pemotongannya selain berdasarkan status perkawinan juga berbasiskan tarif efektif.

Dwi menjelaskan, sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh.

“Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” katanya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (2/1/2024).

Tarif efektif yang dulu pernah dikenalkan DJP dengan istilah tarif efektif rata-rata (TER), dibagi menjadi dua dalam PP ini. Pertama ialah tarif efektif bulanan, serta yang kedua ialah tarif efektif harian.

Untuk tarif efektif bulanan berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan. Untuk tarif efektif harian pemotongannya bagi penghasilan yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Penentuan tarif efektif bulanan dalam ketentuan ini telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau Penghasilan Tidak Kena Pajak yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Sedangkan penentuan tarif efektif harian dalam ketentuan ini telah mempertimbangkan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penerapan tarif efektif bulanan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 2l yaitu penghasilan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam satu masa pajak.

Penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu penghasilan pegawai tidak tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

Tarif efektif yang digunakan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan ini termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.

Sementara itu, untuk pengkategorian tarif pemotongan PPh Pasal 21 khusus tarif efektif bulanan, rinciannya sebagai berikut:

Kategori PPh Pasal 21:

Kategori A

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. Tidak kawin tanpa tanggungan

2. Tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang

3. atau Kawin tanpa tanggungan

Kategori B

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang;

2. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang;

3. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak I (satu) orang; atau

4. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang.

Kategori C

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang.

Besaran Tarif Efektif per Kategori:

Tarif Efektif Bulanan Kategori A

1. Penghasilan sampai dengan Rp 5,4 juta tarif pajak 0% atau tidak dikenakan pajak

2. Penghasilan di atas Rp 5,4 juta sampai Rp 5,65 juta dikenakan pajak 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 5,65 juta sampai Rp 5,95 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 5,95 juta sampai Rp 6,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 6,3 juta sampai Rp 6,75 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 6,75 juta sampai Rp 7,5 juta dikenakan pajak 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 7,5 juta sampai Rp 8,55 juta dikenakan pajak 1,5%

8. Penghasilan di atas Rp 8,55 juta sampai Rp 9,65 juta dikenakan pajak 1,75%

9. Penghasilan di atas Rp 9,65 juta sampai Rp 10,05 juta dikenakan pajak 2%

10. Penghasilan di atas Rp 10,05 juta sampai Rp 10,35 juta dikenakan pajak 2,25%

Tarik Efektif Bulanan Kategori B

1. Penghasilan sampai Rp 6,2 juta tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,2 juta sampai Rp 6,5 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,5 juta sampai Rp 6,85 juta dikenakan pajak Rp 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 6,85 juta sampai Rp 7,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,3 juta sampai Rp 9,2 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 9,2 juta sampai Rp 10,75 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Bulanan Kategori C

1. Penghasilan sampai dengan Rp 6,6 juta tidak dikenakan pajak atau 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,6 juta sampai Rp 6,95 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,95 juta sampai Rp 7,35 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 7,35 juta sampai Rp 7,8 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,8 juta sampai Rp 8,85 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 8,85 juta sampai Rp 9,8 juta dikenakan 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 9,8 juta sampai Rp 10,95 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Harian

1. Penghasilan dengan Rp 450 ribu per hari tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 450 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta sehari dikenakan pajak 0,5%

Berikut ini contoh penerapannya sebagaimana tercantum dalam PP 58/2023:

Tuan R bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT ABC. Selama 2024, gaji Tuan R sebesar Rp10.000.000,O0 (sepuluh juta rupiah) per bulan dan membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000,O0 (seratus ribu rupiah) per bulan. Tuan R berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan (Penghasilan Tidak Kena Pajak K/0), atau dengan artian masuk kategori A. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Berdasarkan status PTKP (K/O) dan jumlah penghasilan bruto sebulan Rp 10.000.000,0O (sepuluh juta rupiah), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan R untuk masa pajak Januari 2024 sampai November 2024 dilakukan dengan menggunakan tarif efektif Kategori A yaitu dengan tarif sebesar 2% (dua persen).

Besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 per bulan yang dipotong oleh PI ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Januari sampai November 2024 adalah sebesar Rp10.000.000,00 x 2% = Rp200.000,00.

Lalu, pada bulan Desember 2024, penghitungan besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Turan R dalam satu tahun pajak (Januari-Desember 2024) dilakukan dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dengan demikian Besaran PPh pasal 21 yang dipotong PT ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Desember 2024 sebagai berikut:

Gaji Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 120 juta setahun

Pengurangan terdiri dari biaya jabatan 5% x Rp 120 juta = Rp 6 juta, dan iuran pensiun Rp 100 ribu x 12 = Rp 1,2 juta, sehingga total pengurangnya Rp 7,2 juta.

Dengan demikian, total penghasilan neto setahunnya adalah sebesar Rp 112,8 juta. Lalu dikurangi dengan PTKP setahun Rp 58,5 juta, sehingga penghasilan kena pajak setahunnya menjadi Rp 54,3 juta.

Penghitungan pajak penghasilan pasal 21 setahunnya selanjutnya menggunakan rumus tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x penghasilan kena pajak setahun. Jadi, 5% x Rp 54,3 juta = Rp 2.715,000

Sehingga total potongan pajak penghasilan pasal 21 khusus bulan Desember 2024 menjadi menggunakan rumus PPh Pasal 21 setahun – jumlah PPh Pasal 21 bulan Januari 2024 sampai dengan November 2024 yang telah dipotong. Jadi Rp 2.715.000 – (Rp 200.000 x 11) = Rp 515.000.

DJP Bisa Intip Rekening di Atas Rp 1 Miliar, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Media sosial TikTok diwarnai dengan informasi yang mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa mengintip rekening nasabah yang mencapai di atas Rp 1 miliar.

Salah satu akun @pakarpajak mengungkapkan bahwa jika Ditjen Pajak bisa melihat rekening masyarakat dengan batasan tertentu. Sebelumnya, batasannya mencapai Rp 200 juta, namun sejak 2018 jumlah tersebut diganti menjadi di atas Rp 1 miliar. Aturan ini diubah dalam PMK No.19 Tahun 2018.

“Saat saldo rekening bank mencapai Rp 1 miliar, bank akan melaporkan ke lembaga terkait dan akan diteruskan ke DJP, ” ungkap akun tersebut.

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, menjelaskan bahwa aturan ini sudah lama berlaku. Pada dasarnya, papar Dwi, regulasi terkait kewajiban pelaporan informasi keuangan oleh LJK bukanlah aturan yang baru diterapkan. Ketentuan ini sudah diatur dalam PMK-70/PMK.03/2017 stdtd PMK-19/PMK.03/2018.

“Berdasarkan Pasal 19 ayat (4) PMK-70/PMK.03/2017 stdtd PMK-19/PMK.03/2018, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan yang dikelolanya selama satu tahun kalender ke DJP secara otomatis,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (12/12/203).

Adapun batasan nilai rekening keuangan yang wajib dilaporkan oleh LJK sektor perbankan sebagai berikut:

1) agregat saldo paling sedikit Rp1 miliar untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh orang pribadi; dan

2) tanpa batasan saldo minimal untuk rekening keuangan yang dimiliki oleh entitas.

Dwi menegaskan pelaporan tersebut memiliki tujuan untuk menguatkan basis data perpajakan untuk mengoptimalkan pengawasan wajib pajak dan memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) 2 dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.

id_ID