IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan bahwa Indonesia bisa saja batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini berkaitan dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menolak kebijakan tersebut.
“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam Indonesia Economic Summit by IBC di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Sebelumnya, Indonesia telah menetapkan kebijakan pajak minimum global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Aturan ini mengacu pada kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung lebih dari 140 negara. Penerapan kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku untuk tahun pajak 2025, mengikuti jejak lebih dari 40 negara lainnya.
Namun, keputusan Donald Trump untuk menarik AS dari kesepakatan ini berpotensi mengubah peta kebijakan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa langkah AS tersebut akan berdampak luas.
“Karena AS negara terbesar dunia, pasti akan berdampak ke seluruh dunia. Tapi masalah taxation maupun tarif, kita lihat Presiden Trump berlakukan policy-policy yang sudah dan telah dijanjikan, dan kita akan terus perbaiki serta perkuat resiliensi perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, belum lama ini.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tetap berupaya menciptakan iklim investasi yang kompetitif dengan mengoptimalkan kebijakan tax holiday dan tax allowance. Airlangga pun mengajak para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, sebelumnya menegaskan bahwa pajak minimum global bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak melalui tax haven. “Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangan tertulis, baru-baru ini.
Pajak minimum global telah diperjuangkan selama lima tahun terakhir sebagai langkah untuk mencegah praktik “race to the bottom” dalam tarif pajak. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan multinasional dengan omzet global minimal 750 juta Euro untuk membayar pajak minimal 15% di negara tempat mereka beroperasi.
Kini, dengan dinamika global yang dipengaruhi oleh kebijakan AS, Indonesia tampaknya masih mempertimbangkan langkah selanjutnya terkait implementasi aturan ini. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerapan pajak minimum global sesuai kesepakatan Pilar Dua dapat menambah penerimaan negara antara Rp 3 triliun hingga Rp 8 triliun. Namun, angka tersebut bergantung pada kebijakan serupa yang diterapkan oleh negara lain.
“Kalau berdasarkan asesmen kita, rangenya Rp 3 triliun sampai Rp 8 triliun (tambahan penerimaan),” ujar pegawai Direktorat Perpajakan Internasional, Frans Hans, dalam webinar yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2/2025).
Frans menjelaskan bahwa potensi penerimaan ini akan terjadi jika negara lain tidak menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Jika negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework menerapkan QDMTT secara serentak, maka dampak penerimaan tambahan dari kebijakan ini akan menjadi netral.
Sekadar informasi, pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 31 Desember 2024.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya global yang telah diinisiasi selama lima tahun terakhir untuk mencegah praktik “race to the bottom”, di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak demi menarik investasi.
Dengan pajak minimum global, perusahaan multinasional yang memiliki omzet konsolidasi global minimal €750 juta diwajibkan membayar pajak sekurang-kurangnya 15% di negara tempat mereka beroperasi.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif, sekaligus memastikan perusahaan multinasional berkontribusi secara adil terhadap penerimaan negara. (alf)
IKPI, Denpasar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali Nusra mengadakan audiensi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali Darmawan untuk membahas implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 118 Tahun 2024 dan program Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi (PSA) 2025.
Dalam pertemuan pada Selasa (14/2/2025) di Denpasar, Ketua IKPI Pengda Bali Nusra, I Kadek Agus Ardika, menyoroti pentingnya sosialisasi yang lebih luas terkait regulasi baru ini. Menurutnya, PMK 118/2024 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025 masih menyisakan sejumlah ketidakjelasan, terutama dalam ketentuan yang mengatur penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang memiliki tunggakan.
Salah satu poin krusial yang dibahas adalah Pasal 23 Ayat (6) dan (7) dalam PMK 118/2024, yang mengharuskan pembayaran dan pengajuan permohonan PSA dilakukan dalam bulan yang sama. Jika tidak, perhitungan proporsional yang diterapkan dapat berpotensi merugikan wajib pajak.
“Jika ada tunggakan pajak yang diajukan dalam PSA 2025, penghitungannya harus dilakukan ulang sesuai ketentuan baru. Ini perlu diperjelas agar wajib pajak tidak mengalami kesalahan administrasi,” ujar Agus Ardika.
Lebih lanjut, Agus Ardika menjelaskan bahwa dalam skema yang diatur oleh PMK 118/2024, wajib pajak yang membayar pokok pajak serta bunga sebesar 25% dari Surat Tagihan Pajak (STP) hingga 31 Desember 2024 berhak mendapatkan penghapusan sisa 75% dari nilai STP tersebut.
Namun, pengajuan permohonan PSA hanya dapat dilakukan hingga batas waktu 30 April 2025. Menurut Agus Ardika, masih banyak wajib pajak yang belum memahami sepenuhnya mekanisme dan persyaratan PSA 2025, sehingga berisiko kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan program ini.
Oleh karena itu, IKPI Bali Nusra meminta Kanwil DJP Bali untuk segera melakukan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat dan pelaku usaha, agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan aturan ini di lapangan.
Selain membahas PSA 2025, dalam audiensi ini IKPI Bali Nusra juga menyoroti beberapa tantangan lain yang dihadapi para konsultan pajak dan wajib pajak di wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Salah satunya adalah perlunya penyelarasan antara regulasi pusat dan implementasi di daerah, serta percepatan layanan administrasi perpajakan yang sering kali menjadi kendala dalam kepatuhan pajak.
Dengan adanya diskusi ini, IKPI Bali Nusra berharap Kanwil DJP Bali dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai aturan-aturan teknis dalam PMK 118/2024 serta memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar memberikan manfaat bagi wajib pajak tanpa menimbulkan beban administrasi yang berlebihan.
Hadir pada pertemuan tersebut adalah perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:
IKPI, Jayapura: Bank Central Asia (BCA) menggelar gathering eksklusif untuk nasabah prioritas dan karyawan, dengan topik utama mengenai implementasi sistem Coretax. Acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada peserta terkait kebijakan perpajakan terbaru yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Untuk memperjelas informasi mengenai sistem ini, BCA meminta Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menghadirkan anggotanya sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Dalam kesempatan ini, Lidya Liemnarso, anggota IKPI yang berdomisili di Sorong, Papua Barat Daya menjadi perwakilan untuk menyampaikan berbagai aspek penting terkait Coretax, termasuk bagaimana pengusaha harus bersiap dalam menghadapi sistem baru ini.
Dalam sesi pemaparannya, Lidya menjelaskan bahwa sistem Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi pajak. Sistem ini dirancang untuk mempermudah pelaporan pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta meminimalkan risiko kesalahan dalam administrasi perpajakan.
Beberapa poin utama yang disampaikan dalam acara ini meliputi:
• Gambaran umum Coretax, termasuk fitur-fitur baru yang akan digunakan dalam sistem perpajakan ini.
• Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha, terutama dalam menyesuaikan administrasi pajak mereka dengan sistem terbaru.
• Mengklarifikasi kekhawatiran pengusaha terkait akses saldo rekening oleh pajak. Isu ini menjadi perhatian banyak pihak setelah beredar informasi bahwa DJP dapat mengakses saldo rekening pengusaha secara langsung melalui sistem Coretax. Narasumber menegaskan bahwa informasi tersebut tidak sepenuhnya benar dan menjelaskan mekanisme yang sebenarnya berlaku.
• Penjelasan mengenai bunga simpanan pengusaha yang dikabarkan dapat diakses oleh pajak. Banyak peserta yang mempertanyakan kebenaran isu ini, dan dalam sesi diskusi, dijelaskan bahwa pajak atas bunga simpanan tetap mengikuti ketentuan yang telah berlaku sebelumnya.
Antusiasme dan Respon Positif Peserta
Selama diskusi berlangsung, para peserta menunjukkan antusiasme tinggi dengan mengajukan berbagai pertanyaan terkait dampak sistem Coretax terhadap operasional bisnis mereka. Banyak peserta awalnya merasa khawatir dengan perubahan ini, namun setelah mendapatkan penjelasan dari IKPI, mereka menyatakan bahwa sistem ini ternyata lebih mudah dipahami dan sangat membantu dalam proses perpajakan.
Salah satu peserta, seorang pengusaha yang hadir dalam acara ini, mengungkapkan bahwa penjelasan dari IKPI sangat informatif dan memberikan kepastian bagi dunia usaha. Ia menilai bahwa transparansi dalam sistem ini justru dapat menguntungkan pengusaha dalam jangka panjang.
Acara yang berlangsung pada 7 Februari 2025 ini berjalan dengan lancar dan mendapat apresiasi dari peserta. Dengan adanya sosialisasi seperti ini, diharapkan nasabah dan pengusaha dapat lebih siap menghadapi implementasi Coretax tanpa kesalahpahaman.
BCA berkomitmen untuk terus memberikan informasi yang akurat dan relevan bagi nasabahnya, sementara IKPI Papua siap menjadi mitra dalam memberikan edukasi perpajakan yang lebih luas bagi dunia usaha di Papua. (bl)
IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) bagi pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025.
Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi @ditjenpajakri, insentif ini diberikan dengan beberapa syarat, antara lain harga jual rumah maksimal Rp 5 miliar, rumah memiliki kode identitas, merupakan rumah baru dalam kondisi siap huni, dan pertama kali diserahkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) developer.
Besaran Insentif PPN DTP
Insentif PPN DTP dibedakan berdasarkan waktu penyerahan rumah:
• 100% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Januari – 30 Juni 2025.
• 50% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Juli – 31 Desember 2025.
Namun, insentif ini hanya berlaku untuk bagian harga jual hingga Rp 2 miliar. Jika harga rumah lebih dari Rp 2 miliar, maka insentif hanya diberikan untuk batas maksimal tersebut.
Simulasi Penghitungan Insentif
Untuk memahami skema insentif ini, berikut beberapa contoh penghitungannya:
• Wibi membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan penyerahan pada Februari 2025. Karena harga rumah di bawah Rp 2 miliar dan penyerahan dilakukan dalam semester pertama 2025, ia berhak mendapatkan 100% PPN DTP sebesar: 12% x 11/12 x Rp 500 juta = Rp 55 juta
• Naya membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Maret 2025. Karena harga rumah melebihi Rp 2 miliar, insentif hanya diberikan untuk bagian Rp 2 miliar. Dengan skema 100% PPN DTP, insentif yang diperoleh sebesar: 12% x 11/12 x Rp 2 miliar = Rp 220 juta
• Cenna membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Oktober 2025. Karena transaksi dilakukan di semester kedua 2025, ia hanya mendapatkan 50% PPN DTP dari bagian Rp 2 miliar. Maka, insentif yang didapat: 50% x (12% x 11/12 x Rp 2 miliar) = Rp 110 juta
Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mendorong daya beli masyarakat terhadap properti serta mendukung sektor perumahan di Indonesia. (alf)
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan apresiasi atas terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) Nomor 54/PJ/2025 yang memberikan alternatif tambahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam pembuatan Faktur Pajak. Namun, dalam rangka efektivitas implementasi kebijakan ini, IKPI mengajukan sejumlah masukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyatakan bahwa kebijakan ini penting untuk memberikan solusi bagi PKP yang mengalami kesulitan dalam menggunakan aplikasi Coretax untuk pembuatan Faktur Pajak. “Kami mengapresiasi langkah DJP dalam menerbitkan KEP-54/PJ/2025 karena memberikan fleksibilitas tambahan bagi Wajib Pajak (WP) yang mengalami kendala teknis. Namun, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan agar kebijakan ini lebih efektif,” ujarnya di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Salah satu poin utama yang disoroti oleh IKPI adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Saat ini, WP harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari 2025. Dengan kebijakan baru ini yang berlaku sejak 12 Februari 2025, banyak WP yang belum memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, IKPI mengusulkan agar batas waktu pengunggahan diperpanjang hingga tanggal 25 bulan berikutnya.
Selain itu, IKPI juga menyoroti ketentuan terkait Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak berlaku surut. Menurut Pino, sejak 1 Januari 2025, sistem e-Nofa untuk permintaan NSFP telah ditutup. “Masih banyak WP yang kesulitan mengunggah Faktur Pajak melalui coretax, sementara mereka juga tidak sempat meminta NSFP sebelumnya. Sebaiknya ada kebijakan agar NSFP bisa berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025,” ujarnya.
IKPI juga menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas terkait KEP-54/PJ/2025 agar semua stakeholder memahami implementasi kebijakan ini. Apalagi, berdasarkan siaran pers yang pernah diterbitkan DJP, ada beberapa jenis Faktur Pajak yang tetap tidak dapat diterbitkan melalui e-Faktur Desktop, seperti Faktur Pajak dengan kode 060 (Penjualan kepada turis asing), kode 070 (PPN Ditanggung Pemerintah), Faktur Pajak dari PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN, serta Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah 1 Januari 2025.
Selain itu lanjut Pino, IKPI juga menyoroti perlunya masa transisi yang cukup jika nantinya seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. Selain itu, diperlukan kejelasan apakah PKP diperbolehkan menggunakan sistem coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda.
“Misalnya, apakah WP boleh menggunakan coretax untuk Masa Pajak Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Hal ini perlu diperjelas agar tidak ada kendala dalam pelaporan dan pertanggungjawaban,” kata Pino.
Lebih lanjut, IKPI mengusulkan penerbitan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak agar tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak, Bukti Potong, atau pembayaran pajak akibat penerapan coretax system. “Saat ini, sistem secara otomatis menerbitkan STP dalam kondisi tertentu. Jika hal ini tidak bisa dihentikan, maka sebaiknya ada kebijakan yang memungkinkan permohonan penghapusan STP berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a dan huruf c dapat dikabulkan,” ujarnya.
Ia berharap dengan adanya perbaikan dalam implementasi KEP-54/PJ/2025, sistem perpajakan Indonesia bisa semakin kondusif dan memberikan kepastian hukum bagi WP. “Kami berharap iklim perpajakan Indonesia semakin sehat demi kemandirian penerimaan pajak,” kata Pino. (bl)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai total Rp 33,39 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini berasal dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), fintech (P2P lending), dan transaksi kripto.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Senin (17/2/2025) menjelaskan bahwa penerimaan tersebut berasal dari beberapa sumber pajak, yakni:
– PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) Rp 26,12 triliun
– Pajak Kripto Rp 1,19 triliun
– Pajak Fintech (P2P Lending) Rp 3,17 triliun
– Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,90 triliun.
Rincian Penerimaan Pajak PMSE
Penerimaan pajak dari sektor PMSE menjadi yang terbesar, dengan jumlah mencapai Rp 26,12 triliun. Jumlah ini dikumpulkan dari 181 pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan data DJP, setoran PPN PMSE tersebar dalam beberapa tahun, dengan rincian sebagai berikut:
– Rp 731,4 miliar (tahun 2020)
– Rp 3,90 triliun (tahun 2021)
– Rp 5,51 triliun (tahun 2022)
– Rp 6,76 triliun (tahun 2023)
– Rp 8,44 triliun (tahun 2024)
– Rp 774,8 miliar (tahun 2025, hingga Januari).
Penerimaan Pajak Kripto
Dwi juga mencatatkan penerimaan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp 1,19 triliun. Angka ini diperoleh dari transaksi penjualan kripto di exchanger, yang menyumbang penerimaan pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp 560,55 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 634,24 miliar. Penerimaan ini tersebar dari tahun 2022 hingga 2025 dengan rincian sebagai berikut:
– Rp 246,45 miliar (tahun 2022)
– Rp 220,83 miliar (tahun 2023)
– Rp 620,4 miliar (tahun 2024)
– Rp 107,11 miliar (tahun 2025).
Sektor fintech (P2P lending) juga menunjukkan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak, yang tercatat sebesar Rp 3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 720,74 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun.
Pajak atas Transaksi Pengadaan Barang/Jasa
Selain itu, DJP juga mencatatkan penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang tercatat sebesar Rp 2,90 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.
Dwi menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.
Selain itu, DJP berencana menggali potensi penerimaan pajak lainnya dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang/jasa pemerintah.
Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, DJP berharap sektor ini dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (alf)
IKPI, Surabaya: Dunia perpajakan di Indonesia terus berkembang, dan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks, pemahaman yang mendalam serta pembaruan pengetahuan sangatlah penting bagi para pelaku bisnis. Dalam rangka menjawab kebutuhan tersebut, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Jawa Timur bekerja sama dengan Junior Chamber International (JCI) Jawa Timur menggelar acara Tax Update dengan tema “Menghadapi Tantangan Perpajakan dengan Pengetahuan dan Pemahaman Terbaru untuk Kesuksesan Bisnis yang Berkelanjutan”.
Acara yang gelar Sabtu, (15/2/2025) di Ibis Surabaya City Center ini dihadiri lebih dari 100 peserta yang terdiri dari anggota JCI East Java dan peserta umum yang berasal dari berbagai sektor bisnis.
Ketua IKPI Pengda Jawa Timur Zeti Arina, dalam kesempatan itu menekankan pentingnya pembaruan pengetahuan perpajakan di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah. Ia juga menyampaikan bahwa tantangan perpajakan yang dihadapi oleh pelaku usaha saat ini semakin kompleks, mulai dari regulasi yang sering berubah hingga perkembangan teknologi yang memengaruhi cara pembayaran pajak dan pelaporan kewajiban pajak.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)
“Pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga suatu bagian yang integral dalam pengelolaan bisnis yang berkelanjutan. Dengan pemahaman yang baik tentang sistem perpajakan, kita tidak hanya bisa memenuhi kewajiban dengan tepat waktu, tetapi juga memaksimalkan potensi keuntungan melalui perencanaan pajak yang lebih efisien,” ujar Zeti dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/2/2025).
Zeti menjelaskan juga tentang berbagai perubahan kebijakan perpajakan yang relevan untuk dunia usaha, termasuk implementasi teknologi digital dalam sistem perpajakan yang memudahkan proses pelaporan dan pembayaran pajak. Ia juga membahas mengenai Tax Compliance dan bagaimana memastikan bisnis tetap patuh terhadap kewajiban perpajakan tanpa mengabaikan aspek efisiensi biaya.
Selain itu, pada kegiatan ini narasumber juga membahas strategi perencanaan pajak yang tepat bagi pelaku usaha, terutama di tengah kondisi perekonomian yang fluktuatif. Dengan demikian, pentingnya adaptasi terhadap regulasi perpajakan yang terus berkembang serta bagaimana mengelola risiko yang muncul akibat perubahan aturan perpajakan, seperti pajak digital dan perubahan tarif pajak.
Menurut Zeti, bahasan yang paling ditunggu-tunggu peserta yaitu tentang Coretax yang sekarang sedang menjadi perbicangan hangat di kalangan wajib pajak. Para peserta tentunya penasaran apa perbedaan antara sebelum dan sesudah coretax.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)
Dengan runtut mulai perbedaan form SPT tahunan sesudah dan sebelum Coretax, serta data-data apa saja yang harus diisi, misalnya tentang daftar harta yang setelah Coretax lebih detail antara lain nama harta nomor rekening bank, nomor sertifikat, lokasi tanah, bangunan dan lainnya.
kemudian terkait pengkreditan faktur pajak masukan kata Zeti, faktur di gunggung juga dibahas dengan segala risikonya bila wajib pajak salah membuat faktur dan cara mencegahnya. Tentunya setelah tau perbedaan dan implikasinya bagi wajib pajak selanjutnya merumuskan antisipasinya ke depan dengan cermat.
Sementara itu, narasumber lainnya Ali Yus Isman, menjelaskan antara lain pentingnya kerahasiaan perusahaan terkait dengan pembatasan akses yang tepat dari person in charge (PIC) perusahaan, jangan sampai justru PIC gak mau terlibat padahal seluruh data perusahaan tidak semua orang boleh tahu misalnya terkait kerahasiaan gaji.
Data PIC di Coretax termasuk nama ibu kandung nomor induk kependudukan akan bahaya bila jatuh ke orang yang berniat jahat dengan data rahasia tersebut. “Profile wajib pajak harus di update supaya tidak menimbulkan salah analisa dari sistem misalnya jenis bisnisnya keuntungannya kecil tetapi di profile KLU nya salah di bisnis yang rata-rata industrinya keuntungannya tinggi,” kata Ali.
Kendala Coretax dan Solusinya.
Lebih lanjut Zeti mengatakan, acara ini menyimpulkan bahwa pemahaman yang baik tentang sistem perpajakan sangat krusial untuk mencapai kesuksesan bisnis yang berkelanjutan. Dalam dunia yang terus berubah, di mana teknologi dan regulasi berkembang pesat, bisnis harus selalu siap beradaptasi untuk meminimalkan potensi risiko dan memaksimalkan potensi keuntungan, pengetahuan tentang pajak yang akurat dan up-to-date menjadi kunci dalam merancang strategi bisnis yang tidak hanya efisien, tetapi juga sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ia juga menyampaikan bahwa IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, berkomitmen untuk terus memberikan edukasi dan pemahaman kepada para profesional dan pelaku usaha mengenai peraturan perpajakan yang baru serta memberikan solusi untuk tantangan perpajakan yang dihadapi dunia usaha.
“Melalui acara seperti ini, kami berharap dapat memberikan wawasan baru yang tidak hanya berguna untuk para profesional pajak, tetapi juga untuk para pelaku usaha yang ingin memastikan bisnis mereka berjalan dengan mematuhi kewajiban pajak yang ada, serta meraih kesuksesan yang berkelanjutan,” kata Zeti.
Ia berharap acara Tax Update ini bisa terus menjadi wadah untuk memperbaharui pemahaman para peserta tentang isu perpajakan terkini dan bagaimana hal tersebut bisa diterapkan dalam strategi bisnis mereka. IKPI Pengda Jawa Timur berkomitmen untuk terus mengadakan acara serupa sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas SDM di bidang perpajakan yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Hadir pada kesempatan itu:
Pembicara Sesi Pemaparan Materi
Sesi 1 : Dra. M. Zeti Arina., SH., MM., BKP
Sesi 2 : Ali Yus Isman SE., MA., BKP
setelah istirahat siang ruangan dibagi menjadi 2 bagian untuk sesi tanya jawab supaya banyak pertanyaan yang bisa terjawab.
Pembicara Sesi Tanya Jawab Room 1 (Merah)
1. Ali Yus Isman SE., MA., BKP
2. Rino Kusuma Putra
Pembicara Sesi Tanya Jawab Room 2 (Kuning)
1. Arief Satrya Budianto
2. Ika Fransisca
3. Kaafii Rokhimah
peserta sangat antusias dan puas dengan jawaban dari para anggota IKPI yang memandu acara dengan bekal pengetahuan dan profesionalitasnya.
IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, yang mengatur pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk karyawan dengan penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan di sektor-sektor usaha tertentu. Keputusan ini diambil untuk memberikan dukungan kepada sektor industri yang terdampak oleh kondisi ekonomi global maupun domestik.
Berdasarkan PMK tersebut, insentif ini hanya dapat dinikmati oleh karyawan atau pegawai yang memiliki penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau setara dengan Rp500 ribu per hari. Pemberian insentif ini hanya berlaku untuk karyawan yang bekerja di sektor industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit.
Industri yang Berhak Mendapatkan Insentif PPh 21 DTP
Berikut adalah klasifikasi lapangan usaha yang dapat menikmati insentif PPh 21 DTP berdasarkan PMK Nomor 10 Tahun 2025:
1.Industri Persiapan Serat Tekstil
2.Industri Pemintalan Benang
3.Industri Pemintalan Benang Jahit
4.Industri Pertenunan
5.Industri Kain Tenun Ikat
6.Industri Bulu Tiruan Tenunan
7.Industri Penyempurnaan Benang
8.Industri Penyempurnaan Kain
9.Industri Pencetakan Kain
10.Industri Batik
11.Industri Kain Rajutan
12.Industri Kain Sulaman
13.Industri Bulu Tiruan Rajutan
14.Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Rumah Tangga
15.Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman
16.Industri Bantal dan Sejenisnya
17.Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman
18.Industri Karung Goni
19.Industri Karung Bukan Goni
20.Industri Barang Jadi Tekstil Lainnya
21.Industri Karpet dan Permadani
22.Industri Tali
23.Industri Barang dari Tali
24.Industri Kain Pita (Narrow Fabric)
25.Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri
26.Industri Non Woven (Bukan Tenunan)
27.Industri Kain Ban
28.Industri Kapuk
29.Industri Kain Tulle dan Kain Jaring
30.Industri Tekstil Lainnya YTDL
31.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Tekstil
32.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit
33.Penjahitan dan Pembuatan Pakaian Sesuai Pesanan
34.Industri Perlengkapan Pakaian dari Tekstil
35.Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit
36.Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Berbulu
37.Industri Pakaian Jadi Rajutan
38.Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir
39.Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya
40.Industri Pengawetan Kulit
41.Industri Penyamakan Kulit
42.Industri Pencelupan Kulit Bulu
43.Industri Kulit Komposisi
44.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Pribadi
45.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Teknik/Industri
Insentif PPh 21 DTP ini mulai berlaku pada masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan utama dari insentif ini adalah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya tertentu, yang sangat terdampak oleh kondisi ekonomi saat ini. Dengan insentif ini, diharapkan para pekerja dapat lebih mudah menghadapi kondisi ekonomi yang penuh tantangan, terutama dengan adanya kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi 12% per Januari 2025.
Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak, Sri Mulyani menjelaskan bahwa latar belakang diterbitkannya PMK ini adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di sektor industri padat karya. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah kebijakan kenaikan tarif PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu. Dengan insentif PPh 21 DTP, kami berharap dapat membantu meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas perekonomian,” ujar Sri Mulyani.
Insentif ini diharapkan dapat meringankan beban para pekerja, serta mendukung pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.(bl)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2025, proses validasi Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh PHTB) akan sepenuhnya dilakukan melalui sistem Coretax. Dengan sistem ini, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan validasi secara daring tanpa harus datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Ketentuan Validasi PHTB
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020, setiap individu atau badan yang telah menyetor PPh PHTB wajib mengajukan permohonan validasi ke DJP.
Sebelumnya, validasi dilakukan melalui aplikasi e-PHTB di DJP Online atau secara langsung di KPP. Namun, dengan implementasi Coretax, validasi akan lebih cepat dan efisien.
Meski demikian, untuk pembayaran PPh PHTB yang dilakukan sebelum 1 Januari 2025, proses validasi tetap menggunakan e-PHTB.
Panduan Validasi PPh PHTB Melalui Coretax
DJP menyediakan tiga subjenis layanan dalam sistem Coretax untuk memudahkan Wajib Pajak:
* AS.01-03: Validasi otomatis bagi pembayaran yang menggunakan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), pemindahbukuan (Pbk), atau bukti potong.
* AS.01-03A: Validasi manual untuk pembayaran melalui Surat Ketetapan Pajak (SKP), tax amnesty, PPS, atau metode lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut oleh petugas DJP.
* AS.01-04: Validasi khusus oleh notaris yang terdaftar di DJP.
Langkah-Langkah Validasi PPh PHTB
* Pastikan Pembayaran Tercatat
* Cek apakah pembayaran PPh PHTB telah masuk ke dalam taxpayer ledger di core tax.
Akses Akun Coretax
* Login ke akun Wajib Pajak di sistem Coretax.
* Masuk ke menu “Layanan Wajib Pajak” dan pilih “Layanan Administrasi.”
* Pilih Subkategori Layanan
* Pilih layanan validasi yang sesuai (AS.01-03, AS.01-03A, atau AS.01-04).
* Ajukan Permohonan Validasi
* Isi formulir validasi sesuai dengan data pembayaran yang telah dilakukan.
* Verifikasi Data dan Submit Permohonan
* Pastikan data yang dimasukkan benar sebelum mengajukan permohonan.
* Proses Validasi dan Penerbitan Surat Keterangan
* Jika validasi berhasil, sistem akan menerbitkan Surat Keterangan Validasi sebagai bukti pemenuhan kewajiban pajak.
Dengan sistem Coretax, DJP berharap proses validasi PPh PHTB menjadi lebih cepat, transparan, dan efisien bagi seluruh Wajib Pajak. (alf)