Pemprov Jatim Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan Hingga Desember

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi  Jawa Timur (Pemprov Jatim) memperpanjang pemberlakuan pemutihan pajak kendaraan bermotor hingga 15 Desember 2022. Sebelumnya,  pemberian program pemutihan denda pajak kendaraan berlaku sejak 1 April 2022 hingga 30 September 2022.

“Kabar gembiraaa pemutihan diperpanjang sampai 15 Desember 2022. Warga Jawa Timur Jangan Lupa manfaatkan programnya.” dikutip dari Twitter resmi lantas polres malang @LantasResMlg.

Ini merupakan kedua kalinya program program pemutihan pajak di wilayah ini diperpanjang. Sebelumnya program ini diterapkan pada April hingga Juni 2022 kemudian diperpanjang selama 92 hari sampai akhir September 2022.

Program pemutihan pajak ini dapat dinikmati oleh pengendara kendaraan bermotor di Jawa Timur yang ingin mengurus Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Keuntungan mengikuti program ini ialah bebas bea balik nama kendaraan bermotor atau penyerahan kedua dan seterusnya (BBN II).

Tidak hanya itu, pemilik kendaraan akan bebas sanksi administratif pajak kendaraan bermotor dan BBN kendaraan bermotor.

Seperti diketahui, pemutihan pajak kendaraan merupakan kebijakan penghapusan denda pajak yang terlambat dalam membayar. Program ini dilakukan untuk mendorong para wajib pajak agar melakukan pembayaran.

Menurut data Korlantas Polri per Oktober 2022, jumlah kendaraan bermotor di Jawa Timur mencapai 24,1 juta unit. Alhasil, jumlah tersebut terbanyak di antara provinsi lainnya di Indonesia.

Disisi lain, program ini juga diklaim sukses berkontribusi dalam penambahan objek PKB dari kendaraan luar provinsi sebanyak 11.091 yang berpotensi bernilai Rp 22,79 miliar. (bl)

DJP Umumkan 50 Juta NIK Sudah Terintegrasi dengan NPWP

IKPI, Jakarta: Sebanyak 50 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) sudah tervalidasi sebagai pemilik  Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Nomor NIK yang sudah tervalidasi, selanjutnya bisa langsung terintegrasi dengan NPWP.

“Dari total 68 juta NPWP yang kami coba verifikasi kurang lebih 50 juta lebih sudah dapat dikatakan valid,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, dalam konferensi pers APBN KITA Oktober 2022, Sabtu (22/10/2022).

Lebih lanjut dia mengatakan, sementara sisanya masih dalam proses konfirmasi administrasi terhadap wajib pajak atau pemilik NIK. Sehingga belum seluruhnya tervalidasi NIK terintegrasikan dengan NPWP.

“Ada beberapa diantaranya masih proses konfirmasi tetapi hanya konfirmasi proses administrasi saja yang kita tanyakan kepada wajib pajak,” jelasnya.

“Tetapi hampir seluruhnya dapat diselesaikan, dan ini masih dalam proses yang masih kita jalankan,” ujarnya.

Sebagai informasi, NIK akan menjadi NPWP. Kebijakan tersebut saat ini mulai diterapkan terbatas dan akan berlaku penuh pada Januari 2024.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan penggunaan NIK sebagai NPWP bukan berarti seluruh masyarakat yang sudah memiliki KTP harus membayar pajak. Bagi orang pribadi tetap penghasilan kena pajak (PKP) dikenakan bagi pendapatan Rp 60 juta per tahun atau di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp 4,5 juta per bulan.

“Jadi bukan berarti NIK sebagai NPWP memaksa orang di bawah PTKP harus bayar pajak. NIK merupakan sarana pada waktu kita melakukan administrasi perpajakan dan ini yang kami letakkan pada waktu kami membangun sistem inti administrasi perpajakan yang baru,” kata Suryo dalam media briefing di kantor DJP, Jakarta Selatan, Selasa (2/8/2022).

Suryo menjelaskan pihaknya terus melakukan pemadanan data terkait penggunaan NIK sebagai NPWP. Pasalnya masih ada data yang berbeda dengan milik Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri)

“Sampai 2023 NIK dan NPWP masih kami gunakan secara terbuka. Jadi yang belum bisa akses dengan menggunakan NIK, masih bisa menggunakan NPWP sebagai basis untuk mengakses sistem informasi layanan Direktorat Jenderal Pajak,” katanya. (bl)

Mengenal Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP, Ini Ketentuannya!

IKPI, Jakarta: Tentu siapapun tahu bahwa meraih pendapatan pasif bisa dilakukan dengan menyewakan rumah. Namun, di sisi lain, Anda juga harus mengetahui bahwa ada ketentuan terkait dengan pajak sewa rumah. Pajak atas sewa rumah ini terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Akan tetapi, apabila penyewa adalah orang pribadi biasa, maka PPh terutang dibayarkan sendiri oleh yang menyewakan. Biasanya untuk membayar pajak ini diperlukan Nomor Pokok Wajib Pajak atau yang biasa dikenal dengan sebutan NPWP. Namun jika tidak memiliki NPWP, bagaimana ketentuan pajak sewa rumah tanpa NPWP? Artikel di bawah ini akan membahas poin-poin terkait hal tersebut.

  • Ketentuan Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP
  • PPN
  • PPH
  • Dasar Hukum Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP
  • Beda Pajak Sewa Rumah dengan NPWP dan Tanpa NPWP
  • Cara Menghitung Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP

Ketentuan Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan. Terdapat 2 jenis NPWP, yakni NPWP Pribadi untuk wajib pajak perorangan dan NPWP Badan untuk wajib pajak badan usaha. Kewajiban pemegang NPWP selaku Wajib Pajak adalah melaporkan penghasilan wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan Tahunan untuk menetapkan pajak terutang dalam satu tahun pajak serta menyetorkan pajaknya.

Pajak yang terkait sewa rumah yaitu PPh dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Untuk pemotongan PPh final dan PPN ini masing-masing dipotong dan dipungut oleh pihak yang memberikan sewa untuk pihak perseorangan atau bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kecuali, apabila pihak yang sewa rumah adalah badan atau yang telah dikukuhkan sebagai PKP, untuk pihak pemberi sewa yang akan mengurus pajak terkait sewa ini.

Namun bagaimana kondisinya jika pajak sewa rumah tanpa NPWP? Pastinya pihak pemberi sewa wajib memiliki NPWP. Karena dalam pengurusan pajak pastinya membutuhkan identitas, yaitu NPWP. Sedangkan untuk pihak penyewa yang tidak memiliki NPWP sebenarnya ini bukan merupakan masalah, karena PPh terkait sewa yang bersifat final dan PPN tidak memerlukan NPWP dari pihak penyewa.

Hal ini dikarenakan sifat dari PPh final dan PPN langsung dipotong dan dipungut pihak pemberi sewa dan langsung selesai pada saat transaksi terjadi. Sehingga perlakuan perpajakan bagi pihak penyewa baik memiliki NPWP dan tidak memiliki NPWP dalam pajak sewa rumah adalah sama.

1. PPN

Pemilik tanah dan bangunan (pihak pemberi sewa) wajib menerbitkan faktur pajak atas pungutan PPN 10% dari seluruh biaya sewa atas transaksi sewa tersebut. Apabila pemilik tanah merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka biaya sewa yang dibayarkan untuk satu periode/tahun tidak termasuk pajak PPN. Namun, apabila pemilik tanah bukan PKP, maka biaya sewa adalah uang sewa ditambah PPN yang telah dibayarkan.

Artinya biaya sewa yang dibayarkan penyewa sudah mengandung unsur PPN di dalamnya. Kemudian, PPN ini nanti akan dibayarkan oleh pihak pemberi sewa. Dalam artian, untuk PPN sepenuhnya akan diurus oleh pihak pemberi sewa selaku pemilik usaha sewa tersebut.

2. PPH

Penghasilan atas sewa rumah tergolong sebagai penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan. Atas penghasilan ini akan dikenakan PPh bersifat final sebesar 10%. Tarif tersebut dikenakan atas nilai persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa. Nilai persewaan tersebut telah termasuk di dalamnya biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan biaya lainnya.

Pajak penghasilan sewa wajib dipotong oleh penyewa. Kemudian, penyewa akan menyerahkan bukti potong kepada yang pihak pemberi sewa. Ketentuan ini berlaku untuk badan pemerintah, subjek pajak badan, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan sebagai penyewa oleh Direktur Jenderal Pajak.

Namun, apabila penyewa adalah orang pribadi biasa, maka pajak PPh terutang dibayarkan sendiri oleh yang menyewakan.

Sewa rumah juga kemungkinan dikenakan pajak, sama halnya dengan membeli rumah.

Dasar Hukum Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP

Ada sejumlah alasan mengapa hingga kini ada masyarakat yang tidak memiliki NPWP. Di antaranya, ketidaktahuan cara membuat NPWP, tidak ingin membayar pajak, dan lain-lain. Namun tarif yang dikenakan kenaikan tarif lebih tinggi dari normal bagi yang tidak punya NPWP hanya untuk PPh 21 lebih tinggi 20 persen dari tarif normal, PPh 22 lebih tinggi 100% dari tarif normal, dan PPh 23 lebih tinggi 100% dari tarif normal.

Sementara untuk sewa tanah yang termasuk dalam PPh Pasal 4 ayat 2, punya atau tidak punya NPWP, pajak yang harus dipangkas menggunakan tarif normal. Berdasarkan ketentuan PPh pasal 4 ayat 2, besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan.

Wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya wajib memberikan NPWP atau jika tidak punya NPWP harus memberikan kartu tanda penduduk (KTP) identitas yang mencantumkan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Hal tersebut sesuai ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2020, informasi identitas bagi wajib pajak dalam negeri yaitu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi orang yang tidak memiliki NPWP. Sementara informasi identitas bagi wajib pajak luar negeri adalah Tax Identification Number atau identitas perpajakan lainnya.

Beda Pajak Sewa Rumah dengan NPWP dan Tanpa NPWP

Seperti yang telah dijelaskan di atas, pihak pemberi sewa wajib memiliki NPWP. Karena dalam pengurusan pajak pastinya membutuhkan identitas, yaitu NPWP. Kewajiban pemegang NPWP selaku Wajib Pajak adalah melaporkan penghasilan wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan Tahunan untuk menetapkan pajak terutang dalam satu tahun pajak serta menyetorkan pajaknya. Adapun Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) juga sudah ada ketentuan besaran yang mengatur. Jadi, apabila wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Sedangkan untuk pihak penyewa yang tidak memiliki NPWP sebenarnya ini bukan merupakan masalah, karena PPh terkait sewa yang bersifat final dan PPN tidak memerlukan NPWP dari pihak penyewa. Dikarenakan sifat dari PPh final dan PPN ini masing-masingnya langsung dipotong dan dipungut pihak pemberi sewa dan langsung selesai pada saat transaksi terjadi. Sehingga perlakuan perpajakan bagi pihak penyewa baik memiliki NPWP dan tidak memiliki NPWP dalam pajak sewa rumah adalah sama.

Nah, kalau Anda tidak punya NPWP harus memberikan kartu tanda penduduk (KTP) identitas yang mencantumkan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Hal tersebut sesuai ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2020, informasi identitas bagi wajib pajak dalam negeri yaitu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi orang yang tidak memiliki NPWP. Sementara informasi identitas bagi wajib pajak luar negeri adalah Tax Identification Number atau identitas perpajakan lainnya.

Cara Menghitung Pajak Sewa Rumah Tanpa NPWP

Ada NPWP atau tanpa NPWP, perlakuan perpajakan bagi pihak penyewa dalam pajak sewa rumah adalah sama. Berdasarkan isi PPh Final Pasal 4 Ayat 2 ini, mekanisme pembayaran yang diterapkan ada dua jenis. Pertama, mekanisme pemotongan di mana pihak yang menyewa harus memotong PPh sebesar 10% dari uang sewa yang dibayarkan.

Ini dapat diterapkan jika penyewa sendiri adalah pihak yang teridentifikasi sebagai pemotong pajak, yakni perorangan, wakil perusahaan luar negeri, kerja sama operasi, bentuk usaha tetap, penyelenggara kegiatan, subjek pajak badan dalam negeri, serta badan pemerintah sesuai dengan peraturan Dirjen Pajak.

Kedua, mekanisme pembayaran sendiri atau tunggal. Mekanisme ini dilakukan oleh pemilik tanah/bangunan yang disewakan dengan membayar pajak final sebesar 10% dari harga sewa.

Dengan catatan, pihak yang menyewa bukan salah satu dari pihak yang sudah disebutkan di atas tadi. Dengan memahaminya, Anda sebagai Wajib Pajak bisa semakin memahami tentang kewajiban perpajakan Anda. (Sumber berita: rumah.com)

Menkeu: Penerimaan Pajak Melonjak 54,2%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penerimaan pajak dalam sembilan bulan pertama di tahun 2022 melonjak signifikan dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu yakni mencapai 54,2%.

“Penerimaan pajak per September 2022 tercatat mencapai Rp1.310,5 triliun. Angka ini sangat baik jika dibandingkan tahun sebelumnya,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat (21/10/2022).

Menurutnya, penerimaan negara masih cukup kuat dan angka tersebut hanya didapat dari penerimaan pajak saja.

Sri Mulyani menjelaskan, realisasi PPh nonmigas tercatat sebesar Rp723,3 triliun atau mencapai 96,6% dari target APBN.

“Ini artinya untuk PPh nonmigas sudah pasti akan mencapai target atau melebihi targetnya,” jelasnya. Di samping itu, realisasi PPN dan PPnBM tercatat telah terkumpul sebesar Rp504,5 triliun atau mencapai 78,9% dari target APBN. Realisasi penerimaan untuk PBB dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp20,4 triliun atau mencapai 63,2% dari target APBN.

Lebih lanjut, realisasi penerimaan dari PPh migas telah mencapai Rp62,3 triliun atau mencapai 96,4% dari target APBN. Sri Mulyani mengatakan, kinerja penerimaan pajak yang sangat baik hingga akhir kuartal III/2022 ini masih dipengaruhi oleh tren peningkatan harga komoditas.

Selain itu, kinerja penerimaan pajak juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang ekspansif dan implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), serta didorong oleh low base effect pada tahun lalu. Sementara secara bulanan, kinerja penerimaan pajak ini menunjukkan pertumbuhan yang mengalami normalisasi sepanjang kuartal III/2022.

Sri Mulyani memperkirakan, tren pada penerimaan pajak tersebut akan berlanjut hingga akhir 2022, sejalan dengan meningkatnya basis penerimaan pada akhir 2021. (bl)

Terbitkan 2 Seri SUN, Pemerintah Dapat Rp 1,3 Triliun dan US$ 27,22 Juta

IKPI, Jakarta: Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pemerintah mendapatkan Rp 1,38 triliun dan US$ 27,22 juta dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) khusus dalam rangka penempatan dana atas program pengungkapan sukarela (PPS) pada 17 Oktober 2022.

Berdasarkan keterangan yang dikutip dari DJPR, Kemenkeu telah melakukan transaksi penerbitan SUN dengan cara private placement dalam rangka penempatan dana atas PPS wajib pajak pada 17 Oktober 2022.

Adapun setelmen transaksi private placement SUN khusus untuk penempatan dana atas PPS telah berlangsung kemarin. Dalam transaksi tersebut dijelaskan, pemerintah menawarkan kembali 2 seri SUN, yaitu FR0094 dan USDFR003.

Diketahui, SUN seri FR0094 yang berdenominasi rupiah ditawarkan dengan tenor 6 tahun atau hingga 15 Januari 2028. Kuponnya sebesar 5,6% dan yield 6,97%.

Namun demikian, transaksi SUN seri FR0094 senilai Rp 1,38 triliun ini sedikit turun dibandingkan dengan penawaran sebelumnya yang mencapai Rp 1,55 triliun. Secara total, transaksi SUN khusus PPS sejauh ini sudah mencapai Rp6,99 triliun.

Untuk seri USDFR003 yang berdenominasi dolar AS akan jatuh tempo selama 10 tahun atau hingga 15 Januari 2032. Kuponnya sebesar 3,0% dan yield 5,38%.

Secara nominal, angka transaksi kali ini senilai US$ 27,22 juta lebih besar dibandingkan dengan transaksi sebelumnya yang tercatat US$ 24,23 juta. Secara total, transaksi SUN seri USDFR003 ini mencapai US$ 63,31 juta.

Sekadar diketahui, tahun ini pemerintah menjadwalkan 5 periode transaksi private placement untuk 2 seri SUN khusus PPS. Transaksi SUN khusus PPS pada Oktober 2022 akan menjadi yang terakhir diselenggarakan tahun ini.

Meski demikian, pemerintah masih memiliki 1 jadwal penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) khusus PPS pada November 2022 walaupun bersifat tentatif. Penerbitan SBSN khusus PPS dalam 4 periode yang sudah terlaksana menghasilkan dana Rp933,62 miliar.

Sebagaimana diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK) 196/2021, wajib pajak dapat menginvestasikan harta bersih yang diungkapkan melalui PPS dalam surat berharga negara (SBN). Pembelian SBN dilakukan melalui dealer utama dengan cara private placement di pasar perdana dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Investasi SBN dalam mata uang dolar AS hanya dapat dilakukan wajib pajak yang mengungkapkan harta dalam valuta asing. Nanti, dealer utama wajib melaporkan transaksi SBN dalam rangka PPD kepada Ditjen Pajak (DJP).

Pemerintah mengadakan PPS berdasarkan UU 7/2021. Setelah periode program tersebut berakhir pada 30 Juni 2022, wajib pajak masih memiliki kesempatan hingga 30 September 2023 untuk merealisasikan komitmen investasinya, termasuk pada SBN. (bl)

Selandia Baru Akan Terapkan Pajak Ketut Hewan, Ribuan Petani Turun Kejalan

IKPI, Jakarta: Sejumlah petani di Selandi Baru, melakukan aksi turun kejalan pada Kamis, 20 Oktober 2022. Aksi yang dilakukan di seluruh daerah negara tersebut, untuk memprotes rencana kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan pengenarikan pajak sendawa dan kentut hewan ternak.

Diketahui, aksi para petani dilakukan dengan membawa traktor 4×4 dan kendaraan pertanian lainnya. Imbasnya lalu lintas di Wellington, Auckland, dan pusat-pusat kota utama lainnya terganggu.

Dalam tuntutannya, petani meminta pemerintah membatalkan rencana menarik pajak sendawa dan kentut hewan ternak ini.

Rencananya, awal bulan ini, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menggembar-gemborkan pungutan pertama di dunia atas emisi metana dan dinitrogen oksida yang dihasilkan oleh 6 juta sapi dan 26 juta domba di negara itu, sebagai langkah untuk mengatasi perubahan iklim.

Sontak rencana ini diprotes ribuan petani karena pajak akan membuat harga makanan lebih mahal, dan membahayakan mata pencaharian mereka.

“Kebanyakan petani sudah cukup. Tapi ini semakin sulit untuk melanjutkan pertanian dan pemerintah tidak benar-benar mendukung kami. Ini adalah hal yang sulit,” kata seorang pengunjuk rasa di Wellington yang hanya menyebut namanya sebagai Chris.

Sekadar diketahui, hewan menghasilkan metana dan dinitrogen oksida sebagai produk sampingan dari mengunyah rumput dan pakan. Metana jauh lebih sedikit dibandingkan karbon dioksida dan tidak bertahan lama di atmosfer, tetapi merupakan agen pemanasan yang jauh lebih kuat.

Para ilmuwan percaya metana bertanggung jawab atas sekitar 30 persen dari kenaikan suhu global meskipun merupakan sebagian kecil dari campuran gas rumah kaca.

Ardern berpendapat pajak diperlukan untuk mencapai target iklim. Pengenaan pajak bahkan dapat menguntungkan petani jika mereka dapat mengenakan biaya lebih untuk daging ramah iklim. Ardern juga mengisyaratkan kemungkinan kesediaan untuk berkompromi.

“Kami berbicara dengan petani dan produsen makanan tentang desain terbaik,” katanya kepada wartawan di Auckland.

Bryan McKenzie dari penyelenggara protes Groundswell NZ mengatakan pajak itu adalah hukuman dan ancaman eksistensial bagi masyarakat pedesaan. “Setelah bertahun-tahun konsultasi palsu, pemerintah telah menyerah pada semua kepura-puraan dari kebijakan emisi pertanian yang adil dan bisa diterapkan.”

Sementara pemerintah berharap pajak akan mengurangi emisi ternak sebesar 20 persen. McKenzie berpendapat bahwa setiap pengurangan emisi ternak akan digantikan oleh petani asing yang kurang efisien.

Demonstrasi itu didukung oleh penduduk kota di beberapa daerah. Di Kota Selatan Dunedin pengunjuk rasa membawa tulisan, “Pajak pertanian mempengaruhi kita semua”. Dalam sebuah pernyataan bersama, beberapa walikota dari daerah pantai barat terpencil di Selandia Baru mengatakan mereka sangat mendukung protes tersebut.

Para pemerhati lingkungan berpendapat bahwa para petani yang memprotes terjebak dalam lumpur. “Sektor pedesaan dan pertanian negara ini telah dilanda banjir, badai hebat, dan kekeringan pada tahun ini,” kata Emily Bailey dari Climate Justice Taranaki.

“Itu menyebabkan jutaan kerugian dan beban stres serta patah hati bagi mereka yang kehilangan rumah, gudang, persediaan dan pagar. Ini semakin parah. Petani dapat beradaptasi dan dengan cepat menurunkan emisi mereka atau mereka, dan semua orang, akan lebih menderita,” katanya. (bl)

Penggunaan NPWP ada Aturannya Loh!, Lihat di Sini

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 112/PMK.03/2022
TENTANG

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI, WAJIB PAJAK BADAN, DAN WAJIB PAJAK INSTANSI PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:a.bahwa untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak sehubungan dengan ketentuan penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu mengatur ketentuan mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia;
b.bahwa untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien bagi wajib pajak selain wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, perlu mengatur ketentuan mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wajib pajak orang pribadi bukan penduduk Indonesia, wajib pajak warisan belum terbagi, wajib pajak badan, dan wajib pajak instansi pemerintah;
c.bahwa untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia, perlu mengatur pencantuman nomor identitas tunggal yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan;
d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah;
Mengingat:1.Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
3.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
4.Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
5.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI, WAJIB PAJAK BADAN, DAN WAJIB PAJAK INSTANSI PEMERINTAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
2.Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.Nomor lnduk Kependudukan adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
4.Wajib Pajak Warisan yang Belum Terbagi Sebagai Satu Kesatuan Menggantikan yang Berhak yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
5.Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang adalah Nomor Pokok Wajib Pajak yang diberikan bagi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak atau yang diberikan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan serta Pajak Karbon yang tidak dapat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak pusat.
6.Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha adalah nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
7.Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak yang selanjutnya disebut Klasifikasi Lapangan Usaha adalah pengelompokan aktivitas atau kegiatan ekonomi Wajib Pajak yang memuat informasi aktivitas, kegiatan usaha, pekerjaan bebas, atau pekerjaan dalam hubungan kerja yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Pasal 2
(1)Terhitung sejak tanggal 14 Juli 2022:
a.Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan; dan
b.Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit,
sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk dan Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(3)Selain dipergunakan untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya, Wajib Pajak juga menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain selain Direktorat Jenderal Pajak yang mensyaratkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4)Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk, Direktur Jenderal Pajak memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan mengaktivasi Nomor Induk Kependudukan:
a.berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak; atau
b.secara jabatan.
(5)Bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak lristansi Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit:
a.berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak; atau
b.secara jabatan.
(6)Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan tanggal 31 Desember 2023.
Pasal 3
(1)Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2)Dalam penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), data identitas Wajib Pajak dilakukan pemadanan dengan data kependudukan yang ada di Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
(3)Hasil pemadanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokan menjadi:
a.data valid; dan
b.data belum valid.
(4)Data valid sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan data identitas Wajib Pajak yang telah padan dengan data kependudukan.
(5)Data belum valid sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan data identitas Wajib Pajak yang belum padan dengan data kependudukan.
Pasal 4
(1)Direktur Jenderal Pajak menyampaikan permintaan klarifikasi atas data hasil pemadanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b kepada Wajib Pajak.
(2)Klarifikasi atas data hasil pemadanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
a.data alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler;
b.data alamat tempat tinggal Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sebenamya;
c.data Klasifikasi Lapangan Usaha; dan
d.data unit keluarga.
(3)Penyampaian permintaan klarifikasi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.laman Direktorat Jenderal Pajak;
b.alamat pos elektronik Wajib Pajak;
c.contact center Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
d.saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
(4)Berdasarkan permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wajib Pajak melakukan perubahan data, dalam hal data yang disampaikan pada saat permintaan klarifikasi belum sesuai dengan keadaan sebenarnya.
(5)Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Wajib Pajak melalui:
a.laman Direktorat Jenderal Pajak;
b.contact center Direktorat Jenderal Pajak;
c.Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan/atau
d.saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Nomor lnduk Kependudukan yang digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a merupakan Nomor Induk Kependudukan berdasarkan:
a.hasil pemadanan dengan status data valid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a; atau
b.perubahan data yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan data tersebut telah dilakukan pemadanan dengan data kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang menghasilkan data valid,
dan diberitahukan kepada Wajib Pajak.
Pasal 6
(1)Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk yang tidak melakukan perubahan data atas data identitas dengan status belum valid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, hanya dapat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit sampai dengan tanggal 31 Desember 2023 dalam layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain yang menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menggunakan layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain setelah melakukan perubahan data.
(3)Penggunaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dalam hal atas perubahan data tersebut telah dilakukan pemadanan dengan data kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang menghasilkan data valid.
Pasal 7
(1)Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang telah terdaftar dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2)Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menambahkan angka 0 (nol) di depan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit.
(3)Dalam penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan permintaan klarifikasi kepada:
a.Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, berupa:
1.data alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler;
2.data alamat tempat tinggal Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sebenarnya;
3.data Klasifikasi Lapangan Usaha; dan
4.data unit keluarga;
b.Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah, berupa:
1.data alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler;
2.data alamat tempat kedudukan Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sebenarnya; dan
3.data Klasifikasi Lapangan Usaha.
(4)Penyampaian permintaan klarifikasi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui:
a.laman Direktorat Jenderal Pajak;
b.alamat pos elektronik Wajib Pajak;
c.contact center Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
d.saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
(5)Berdasarkan permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
a.Wajib Pajak menyampaikan tanggapan berupa persetujuan atas kesesuaian data, dalam hal data yang disampaikan telah sesuai dengan keadaan sebenarnya; atau
b.Wajib Pajak melakukan perubahan data, dalam hal data yang disampaikan belum sesuai dengan keadaan sebenarnya.
(6)Penyampaian tanggapan berupa persetujuan dan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Wajib Pajak melalui:
a.laman Direktorat Jenderal Pajak;
b.contact center Direktorat Jenderal Pajak;
c.Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan/atau
d.saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Untuk menjamin keakuratan data, Wajib Pajak melakukan perubahan data secara berkelanjutan sesuai dengan keadaan sebenarnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 9
(1)Terhadap Wajib Pajak cabang yang telah diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Direktur Jenderal Pajak memberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha.
(2)Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak melalui:
a.laman Direktorat Jenderal Pajak;
b.alamat pos elektronik Wajib Pajak;
c.contact center Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
d.saluran lainnya yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak.
(3)Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sampru dengan tanggal 31 Desember 2023.
Pasal 10
(1)Terhadap Wajib Pajak yang mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2023, Direktur Jenderal Pajak:
a.mengaktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dan memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk; atau
b.memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak lnstansi Pemerintah; dan/atau
c.memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi Wajib Pajak cabang.
(2)Dalam hal layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain belum dapat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit, Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah tetap dapat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2023.
(3)Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menghapuskan digit pertama berupa angka 0 (nol).
(4)Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2023.
Pasal 11
(1)Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2024:
a.Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit dalam layanan administrasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan pihak lain;
b.Wajib Pajak menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha sebagai identitas tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan; dan
c.pihak lain yang menyelenggarakan layanan administrasi yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak harus menggunakan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit dalam layanan dimaksud.
(2)Layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a.layanan pencairan dana pemerintah;
b.layanan ekspor dan impor;
c.layanan perbankan dan sektor keuangan lainnya;
d.layanan pendirian badan usaha dan perizinan berusaha;
e.layanan administrasi pemerintahan selain yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak; dan
f.layanan lain yang mensyaratkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3)Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dapat memberikan perpanjangan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain berdasarkan pertimbangan kesiapan sistem administrasi pihak lain dimaksud.
Pasal 12
(1)Direktur Jenderal Pajak memberikan layanan kepada pihak lain yang mensyaratkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak, berupa pemadanan:
a.Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit dengan Nomor Induk Kependudukan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk;
b.Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 16 (enam belas) digit bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak lnstansi Pemerintah; dan/atau
c.Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang dengan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha,
dalam penyesuaian data Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha dalam sistem administrasi pihak lain yang terdampak.
(2)Layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara elektronik oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permintaan dari pihak lain yang paling sedikit memuat:
a.Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang;dan
b.nama Wajib Pajak.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit dan terbit sebelum tanggal 1 Januari 2024, tetap berlaku dan tidak diperlukan pembetulan ataupun penggantian atas ketentuan pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak dengan format 15 (lima belas) digit.
Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2022
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI  INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2022

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 660

 

Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas PPh Nakes, Ini Perubahan Aturannya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 113/PMK.03/2022
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 226/PMK.03/2021 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF PAJAK TERHADAP BARANG YANG DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 DAN PERPANJANGAN PEMBERLAKUAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN BAGI SUMBER DAYA MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2020 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa untuk penanganan dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 masih diperlukan perpanjangan jangka waktu pemberian insentif perpajakan atas barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 untuk mendukung percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019;
b.
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) belum mengatur kebutuhan perpanjangan jangka waktu pemberian insentif pajak, sehingga perlu dilakukan perubahan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Mengingat
:
1.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
3.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
4.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
5.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
6.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Kementerian Negara (Lembaran Negara tentang Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
7.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
8.Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6526);
9.
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
10.Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 227) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 129);
11.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas lmpor Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1393);
12.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
13.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1530);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 226/PMK.03/2021 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF PAJAK TERHADAP BARANG YANG DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 DAN PERPANJANGAN PEMBERLAKUAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN BAGI SUMBER DAYA MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2020 TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19).
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1530) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan ayat (2) Pasal 3 diubah dan menambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf d, wajib membuat:
a.Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.
laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah.
(2)
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan aplikasi e-Faktur dengan cara:
a.
memilih cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKSEKUSI PMK NOMOR 226/PMK.03/2021”; atau
b.memilih cap lainnya dan mengisikan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKSEKUSI PMK NOMOR 226/PMK.03/2021” pada kolom referensi Faktur Pajak.
(3)Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf d, diperlakukan sebagai laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4)Atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf d, yang:
a.tidak menggunakan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
b.tidak dilaporkan sesuai ketentuan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tidak diberikan insentif PPN dan dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b dibuat setiap Masa Pajak.
(6)Contoh penyerahan yang tidak diberikan insentif PPN ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7)Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
2.
Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 3A dan Pasal 3B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1)Dalam hal terdapat penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf d yang telah diterbitkan Faktur Pajak, namun atas Faktur Pajak tersebut:
a.belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); dan/atau
b.salah dalam pengisian atau penulisan nilai PPN,
Pengusaha Kena Pajak wajib melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak tersebut dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti.
(2)Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Penerbitan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Faktur Pajak yang dibuat untuk penyerahan yang terjadi selama tahun 2021 wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan paling lambat tanggal 31 Desember 2022.
(4)Penerbitan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Faktur Pajak yang dibuat untuk penyerahan yang terjadi selama tahun 2022 wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan paling lambat tanggal 31 Januari 2023.
(5)Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), atas penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan insentif PPN ditanggung pemerintah dan dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3B
Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa atas penyerahan yang memanfaatkan fasilitas dalam Peraturan Menteri ini tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, Pengusaha Kena Pajak wajib memungut PPN yang terutang.
3.Diantara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 {satu) pasal, yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan vaksin dan/atau obat untuk penanganan COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d yang atas penyerahannya telah memanfaatkan pembebasan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tidak dapat memanfaatkan insentif PPN ditanggung pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri ini.
4.Ketentuan Pasal 8 diubah dengan menambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1)
Fasilitas PPh dalam rangka penanganan COVID-19 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), berupa pengenaan tarif PPh sebesar 0% (nol persen) dan bersifat final atas tambahan penghasilan yang diterima sumber daya manusia di bidang kesehatan, berlaku mulai tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
(2)
Jangka waktu pemberian fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.
5.Ketentuan Pasal 10 diubah dengan menambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1)Pemberian insentif PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) huruf a, dan/atau pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) huruf b, ayat (7), ayat (8), dan ayat (10), berlaku sejak Masa Pajak Januari 2022 sampai dengan Masa Pajak Juni 2022.
(2)Jangka waktu pemberian insentif PPN, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, dan/atau pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang sampai dengan Masa Pajak Desember 2022.
6.
Ketentuan Pasal 11 diubah dengan menambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2) dan ayat (3) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1)Pemberian pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (13) kepada Pihak Tertentu, Pihak Ketiga, atau Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat berlaku sejak tanggal surat keterangan bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
(2)Jangka waktu pemberian pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.
(3)Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan surat keterangan bebas pemungutan PPh Pasal 22 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), harus menyampaikan kembali permohonan surat keterangan be bas berdasarkan Peraturan Menteri ini untuk dapat memperoleh pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) huruf b, ayat (7), ayat (8), dan ayat (10).
7.Ketentuan Pasal 12 diubah dengan menambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2) dan ayat (3) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1)Pemberian surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (8) dan Pasal 6 ayat (9) berlaku sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
(2)Jangka waktu pemberian surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.
(3)Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan surat rekomendasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), harus menyampaikan kembali permohonan surat rekomendasi berdasarkan Peraturan Menteri ini untuk dapat memanfaatkan fasilitas dalam Peraturan Menteri ini.
8.Ketentuan huruf C dan huruf D sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Vuus Disease 2019 (COVID-19) diubah dan ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf H sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II
1.Dalam hal terdapat penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan setelah berakhirnya fasilitas berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, pemberian fasilitas terhadap penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2021.
2.Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2022
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2022
MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 663

Mau Tahu Cara Pelaporan PPN? Lihat Dulu Aturannya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-13/PJ/2022

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH BAGI REKANAN YANG TERGABUNG DALAM SISTEM INFORMASI PENGADAAN PEMERINTAH

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Menimbang:a.bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah, perlu diatur mengenai pelaporan pajak pertambahan nilai bagi rekanan yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dalam sistem informasi pengadaan pemerintah;
b.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bagi Rekanan yang Tergabung dalam Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah;
Mengingat:1.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
2.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 358);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILA! ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH BAGI REKANAN YANG TERGABUNG DALAM SISTEM INFORMASI PENGADAAN PEMERINTAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1.Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah yang selanjutnya disebut Sistem Informasi Pengadaan adalah sistem informasi yang digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pengadaan barang dan/atau jasa instansi pemerintah melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik.
2.Rekanan adalah pengusaha yang menyediakan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan.
3.Pihak Lain adalah marketplace pengadaan atau ritel daring pengadaan yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi melalui Sistem Informasi Pengadaan, yang telah ditetapkan oleh kepala lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah atau yang telah ditetapkan oleh pejabat instansi pemerintah yang bertugas untuk membuat pedoman pengadaan barang dan/atau jasa.
Pasal 2
(1)Pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh Rekanan dalam Sistem Informasi Pengadaan wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain.
(2)Rekanan wajib melaporkan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang atas penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai pada kolom penyerahan yang pajak pertambahan nilainya dipungut oleh pemungut pajak pertambahan nilai.
(3)Pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang dipungut oleh Pihak Lain tidak perlu dilaporkan oleh Rekanan yang merupakan pengusaha kecil berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 3
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2022
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SURYO UTOMO
Download Lampiran Peraturan

Industri yang Dukung Vokasi Dapat Insentif Pajak 200 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyampaikan akan memberikan insetif pajak hingga 200 persen bagi industri yang mendukung program vokasi. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 dan PMK Nomor 128 Tahun 2019.

Dalam peraturan itu menyebutkan, bahwa pemberian insentif Super Tax Deduction bisa diberikan sampai dengan maksimal 200 persen. Dan kebijakan tersebut berlaku untuk pengusaha dan industri yang melakukan program vokasi sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rustandi mengatakan, program vokasi merupakan salah satu program prioritas pemerintah. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Karena hal itu hanya bisa dipenuhi melalui peningkatan kompetensi dan ketersediaan tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri.

“Dalam upaya pengembangan kualitas pendidikan vokasi yang dilaksanakan melalui kerja sama dengan dunia usaha dan dunia kerja, pemerintah menerbitkan kebijakan pengurangan pajak STD Vokasi. Super Tax Deduction Vokasi adalah insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah pada industri yang terlibat dalam program vokasi,” kata Rustandi.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto menyatakan ada insentif pajak hingga 200 persen bagi industri yang mendukung program vokasi.

“Vokasi ini sebenarnya cukup menarik dan menguntungkan bagi industri. Selain akan lebih mudah mendapatkan SDM berkualitas sesuai dengan yang diinginkan, industri yang menerapkan program pendidikan dan pelatihan vokasi ini juga akan mendapatkan Super Tax Deduction (STD) hingga 200 persen,” kata Adik dalam keterangan tertulisnya di Surabaya, Kamis (20/10/2022).

Adik mengatakan, pihaknya terus melalukan sosialisasi dan penguatan pemahaman atas pentingnya dukungan industri terhadap program revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi yang tertera dalam Perpres Nomor 68 Tahun 2022.

Menurut dia, pihaknya telah menggelar Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Pemanfaatan STD Vokasi di Kantor Kadin Jatim pada Selasa (18/10). Sosialisasi tersebut bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, BPJamsostek, Kadin Indonesa dan Proyek TVET System Reform 2.0.

Adik menegaskan, sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang insentif STD Vokasi dan manfaat dari pengadaan program vokasi. Kegiatan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah perusahaan yang menerapkan insentif STD Vokasi.

Tujuan lain digelarnya sosialisasi adalah untuk meningkatkan kesempatan lembaga pendidikan vokasi untuk melakukan kerja sama dengan industri dalam melaksanakan program pendidikan seperti pengembangan kurikulum, peningkatan kualitas dan kuantitas pembelajaran.

Dia menjelaskan STD Indonesia adalah insentif pajak yang diberikan pemerintah pada industri yang terlibat dalam program Pendidikan vokasi, yang meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi.

“Kalau dihitung pun, pendidikan vokasi ini akan memberikan peningkatan keuntungan bagi industri karena produktivitas naik,” ujar dia. (bl)

en_US