Menteri UMKM: Insentif Pajak Diperpanjang, Kenaikan PPN Tak Bebani Masyarakat Kecil

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurahman, memastikan insentif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun diperpanjang hingga 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan waktu lebih bagi pelaku usaha kecil agar lebih mandiri secara finansial.

“Insentif ini bentuk pembinaan agar UMKM dapat berkembang tanpa beban pajak berat. Setelah masa 7 tahun selesai, diharapkan mereka siap menggunakan skema pajak normal,” ujar Maman di Jakarta, Jum’at (20/12/2024).

Menurut Maman, UMKM dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun tetap bebas dari PPh. Sementara itu, bagi UMKM yang baru mendapatkan insentif 2-3 tahun, mereka masih akan menikmati kebijakan ini hingga mencapai total 7 tahun.

Ia juga meluruskan isu penurunan ambang batas (threshold) omzet insentif PPh dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. “Tidak ada perubahan. Batas omzet tetap Rp4,8 miliar, jadi pelaku UMKM tidak perlu khawatir,” katanya.

Terkait kenaikan PPN menjadi 12%, Maman menjelaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku untuk barang premium atau mewah. Barang esensial seperti sembako, transportasi umum, dan layanan kesehatan tetap bebas PPN.

Untuk mengantisipasi dampak kenaikan PPN, pemerintah telah menyiapkan insentif sebesar Rp265 triliun. Sebanyak 95% dari anggaran ini diarahkan untuk mendukung pelaku UMKM dan masyarakat menengah ke bawah.

“Pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kecil. Kami memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dengan kebijakan ini,” kata Maman. (alf)

 

Sah!!! Kartu Tanda Anggota IKPI Berlaku Sebagai Kartu Diskon

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, mengumumkan mulai 1 Januari 2025 kartu tanda anggota IKPI sudah bisa digunakan sebagai kartu diskon untuk bertransaksi di Aston Kartika Grogol, Laboratorium Prodia, dan Pramita Laboratorium. Kebijakan ini merupakan bentuk komitmen Pengurus Pusat IKPI dalam mewujudkan “IKPI Maju, Anggota Maju”.

Diungkapkan Vaudy, saat ini IKPI telah menjalin kerja sama strategis dengan mitra-mitra tersebut, tentunya dengan tujuan memberikan berbagai manfaat bagi pegawai, anggota IKPI, serta keluarga mereka.

Adapun kerja sama ini mencakup berbagai bidang, dari layanan kesehatan, pendidikan, hingga fasilitas perhotelan dan media promosi.

Menurut Vaudy, langkah ini merupakan bagian dari upaya IKPI untuk meningkatkan nilai tambah bagi para anggota dan pegawai di seluruh Indonesia.

Ia menjelaskan, melalui kerja sama dengan Laboratorium Prodia dan Pramita, pegawai, anggota IKPI, serta keluarga mereka dapat menikmati layanan kesehatan dengan potongan harga hingga 15%. Diskon ini berlaku untuk transaksi di kedua laboratorium tersebut dengan hanya menunjukkan kartu anggota atau kartu pegawai IKPI.

Sementara itu, kerja sama dengan Aston Kartika Grogol memberikan keuntungan khusus berupa harga spesial untuk menginap atau mengadakan kegiatan di hotel tersebut. Hal ini diharapkan dapat mendukung kebutuhan anggota dan pegawai IKPI untuk berbagai acara maupun perjalanan.

Vaudy menekankan pentingnya optimalisasi media online untuk memperkenalkan peran dan kontribusi IKPI dalam dunia perpajakan Indonesia.

“Semua manfaat dari kerja sama ini dijadwalkan mulai berlaku pada Januari 2025,” kata Vaudy di Jakarta, Sabtu (21/12/2024).

Dengan adanya kemitraan ini, ia berharap dapat memberikan dukungan maksimal bagi anggota dan pegawainya, sekaligus memperkuat peran IKPI sebagai organisasi profesi yang peduli terhadap kebutuhan para anggotanya.

“Kerja sama ini tidak hanya memberikan keuntungan langsung bagi anggota dan pegawai IKPI, tetapi juga menunjukkan komitmen kami untuk terus berinovasi dan memberikan nilai tambah bagi seluruh pihak yang terlibat,” ujar Vaudy.

Dengan langkah ini, IKPI semakin menegaskan posisinya sebagai organisasi profesional yang adaptif terhadap kebutuhan anggotanya dan siap menghadapi tantangan di era modern. (bl)

 

 

 

APINDO: Kebijakan Multitarif PPN Berpotensi Bebani Pengusaha dan Lemahkan Daya Beli

IKPI, Jakarta: Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multitarif yang diterapkan pemerintah memunculkan kekhawatiran di kalangan pengusaha. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani, menyebutkan bahwa kebijakan ini memiliki kompleksitas administrasi yang tinggi dan meningkatkan risiko perpajakan bagi pelaku usaha.

Ajib mengkritisi penerapan PPN 11 persen, 12%, dan 1% ditanggung pemerintah (DTP). Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan tantangan administratif yang dapat memicu potensi sanksi akibat kesalahan teknis.

“PPN adalah pajak tidak langsung, tetapi administrasi dan penyetoran pajaknya dilakukan oleh pengusaha. Dengan kebijakan yang rumit, seperti tarif 11%, 12%, dan insentif 1 persen DTP, risiko kesalahan teknis semakin besar. Jika faktur pajak tidak diakui, pengusaha bisa dikenakan denda,” ujar Ajib di Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Ia juga menyoroti dampak kebijakan PPN 12%yang diberlakukan pada semua Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), termasuk barang kebutuhan pokok seperti tepung terigu dan Minyak Kita. Hal ini, katanya, telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, tercermin dari tren deflasi selama lima bulan berturut-turut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03 persen pada Mei 2024, 0,08 persen pada Juni, 0,18% pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12% pada September. Selain itu, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia juga menunjukkan kontraksi, berada di level 49,2 pada September 2024.

Ajib mengingatkan bahwa pengusaha menghadapi tantangan ganda pada 2025, dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12% dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%. Menurut survei internal APINDO, 4 dari 10 pengusaha melaporkan stagnasi volume bisnis sepanjang 2024, kondisi yang dikhawatirkan akan memburuk di tahun mendatang.

“Pemerintah perlu duduk bersama pengusaha untuk mendesain kebijakan yang kondusif. Jika tidak, tekanan ekonomi akan semakin besar, baik bagi pengusaha maupun masyarakat,” pungkasnya.

Kebijakan multitarif PPN diharapkan dapat dievaluasi secara menyeluruh agar tidak hanya meringankan beban administrasi pengusaha, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. (alf)

Pemerintah Tegaskan Tak Ada Rencana Menurunkan Ambang Batas Omzet UMKM

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana untuk menurunkan ambang batas omzet bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bisa memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) final dan status pengusaha kena pajak (PKP). Hal ini menanggapi isu yang berkembang terkait kemungkinan penurunan batas omzet dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.

Dalam keterangan yang disampaikan pada Kamis malam (19/12/2024) Airlangga menyatakan, belum ada rencana untuk menurunkan ambang batas (threshold) omzet UMKM dan tetap di angka Rp 4,8 miliar. Ia juga mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah melakukan evaluasi terkait ambang batas omzet UMKM yang dapat menikmati PPh Final 0,5%, ambang batas tersebut tetap pada angka Rp 4,8 miliar.

Sebelumnya, isu mengenai penurunan ambang batas ini mencuat setelah pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yang mengungkapkan bahwa rencana tersebut berkaitan dengan rekomendasi dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Dalam laporan Survei Ekonomi Indonesia edisi November 2024, OECD menilai bahwa batasan omzet yang terbebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia masih terbilang tinggi. Dengan nilai batasan sebesar Rp 4,8 miliar atau sekitar US$ 300.000, OECD mendorong agar threshold ini disesuaikan dengan praktik terbaik negara-negara lain untuk menciptakan keadilan fiskal dan memperluas basis pajak.

Meskipun demikian, Susiwijono menegaskan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap kajian internal dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah. Ia menambahkan bahwa kebijakan tersebut tidak akan masuk dalam paket kebijakan ekonomi terkait PPh Final UMKM orang pribadi yang dapat memanfaatkan tarif 0,5% hingga 2025.

Namun, jika keputusan untuk menurunkan batasan omzet ini disahkan, perubahan tersebut akan memerlukan amandemen Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang mengatur mengenai PPh Final untuk UMKM. Dengan perubahan tersebut, pemberlakuan ambang batas yang baru akan ditetapkan, meskipun saat ini, belum ada keputusan resmi mengenai perubahan tersebut.

Pemerintah berjanji akan terus melakukan kajian terkait dampak dari kebijakan ini, sembari memastikan keberlanjutan insentif pajak untuk UMKM, terutama dengan pemberlakuan PPN 12% yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. (alf)

Menko Airlangga Tanggapi Viral Seruan Boikot Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan singkat mengenai seruan boikot pajak yang ramai beredar di media sosial terkait dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menurutnya, itu merupakan aspirasi dari masyarakat di negara demokrasi, yang harus juga dihargai.

“Ada yang setuju, ada yang tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dan itu lah demokrasi,” kata Airlangga saat ditemui wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis malam (19/12/2024).

Sekadar informasi, seruan boikot pajak ini sempat viral setelah akun @salam4jari mengunggah cuitannya di platform X pada 21 November 2024 yang menyarankan agar masyarakat tidak membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN.

“Jika PPN dipaksakan naik 12%, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” tulis akun tersebut.

Pada 18 Desember 2024, akun yang sama kembali mengunggah ulang cuitannya dengan tambahan kalimat, “Ada ide untuk boikot pemerintah?” Cuitan ini mendapat respon besar dari pengguna media sosial, dengan lebih dari 6.700 pengguna yang me-retweet dan 31 ribu yang menyukai postingan tersebut.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih untuk tidak memberikan komentar ketika ditanya wartawan mengenai seruan boikot pajak. Sri Mulyani, yang baru saja menghadiri rapat terkait anggaran di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan protes kenaikan PPN. Saat keluar dari rapat, Sri Mulyani hanya memberikan jawaban singkat mengenai topik lain yang dibahas dalam rapat tersebut, seperti penambahan anggaran kementerian dan lembaga (K/L) pada tahun 2025.

Seperti diketahui, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan kenaikan tarif PPN meskipun kebijakan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat, anggota DPR, dan ekonom. Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% rencananya akan diterapkan pada tahun depan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.

Sementara itu, seruan boikot pajak ini terus menjadi perbincangan hangat di media sosial, menunjukkan adanya ketidakpuasan di kalangan sebagian masyarakat terkait kebijakan pemerintah tersebut. (alf)

Ratusan Poster Tolak Kenaikan PPN 12% Hiasi Kawasan Taman Aspirasi

IKPI, Jakarta: Ratusan demonstran dari berbagai elemen masyarakat menggelar aksi protes menentang rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Aksi tersebut berlangsung di kawasan Taman Aspirasi, tepatnya di halaman Plaza Barat Laut Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis petang.

Para demonstran yang berasal dari kelompok perempuan, mahasiswa, generasi muda (Gen-Z), hingga K-Popers tersebut membawa beragam poster dengan kritik keras terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu poster menyoroti ketimpangan antara tingginya tarif pajak dengan rendahnya upah rata-rata pekerja di Indonesia. “Pajak tertinggi se-ASEAN, upah terendah No.5 di dunia. Dimana otaknya?” demikian bunyi salah satu poster yang dibawa demonstran.

Poster lainnya mengkritik kebijakan kenaikan PPN sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan negara. Demonstran menilai bahwa seharusnya pemerintah mencari sumber pendapatan alternatif, seperti melalui pengesahan RUU Perampasan Aset. “Negara butuh uang cepat? Perampasan aset solusinya! #TolakPPN12%,” tulis poster yang turut menampilkan gambar Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Ada juga poster yang menanggapi kebijakan tersebut dengan cara kreatif, mengadaptasi lirik lagu populer dari Nadin Amizah berjudul “Semua Aku Dirayakan,” yang disadur menjadi “Semua aku dipajakkan,” sebagai bentuk sindiran terhadap kebijakan pajak yang dinilai memberatkan masyarakat.

Pemerintah sebelumnya mengumumkan bahwa kenaikan PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendongkrak pendapatan negara.

Namun, meskipun alasan kenaikan PPN telah dijelaskan, protes dari berbagai kelompok masyarakat tetap mencuat, menunjukkan ketidakpuasan atas kebijakan tersebut. Para demonstran berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan tersebut sebelum implementasi penuh pada tahun depan. (alf)

Muhammadiyah Minta Pemerintah Kaji Ulang Kenaikkan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, menyampaikan keprihatinannya terkait rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendatang. Haedar meminta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut dan menekankan pentingnya dasar keadilan sosial dalam setiap kebijakan yang diterapkan, terutama yang menyangkut pajak.

Hal ini diungkapkan Haedar saat ditemui oleh wartawan seusai acara Dies Natalis Universitas Gadjah Mada (UGM) di Grha Sabha Pramana, Sleman, pada Kamis (19/12/2024). Haedar menegaskan bahwa setiap kebijakan, termasuk yang berkaitan dengan pajak, seharusnya memperhatikan aspek keadilan sosial, agar tidak memberatkan masyarakat yang berada pada kelas menengah ke bawah.

“Perlu betul-betul dikaji ulang ya, sehingga kebijakan pajak itu juga ya memperhatikan aspek keadilan sosial,” ujar Haedar. Pernyataan tersebut mencerminkan keprihatinannya terhadap potensi dampak negatif dari kenaikan PPN yang dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya kalangan kelas menengah dan usaha kecil.

Haedar menyadari bahwa pajak selalu menjadi topik yang sensitif, terutama terkait dengan perusahaan berskala kecil dan masyarakat kelas menengah yang rentan terhadap perubahan kebijakan pajak. Oleh karena itu, ia berharap agar kebijakan soal pajak tidak hanya memikirkan sisi pendapatan negara semata, tetapi juga tidak menghambat semangat kemajuan masyarakat Indonesia yang lebih luas.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, pemerintah memastikan bahwa kenaikan ini tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa, melainkan hanya untuk barang dan jasa tertentu yang telah ditentukan. Meskipun demikian, kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada daya beli masyarakat dan biaya hidup, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang menjadi bagian terbesar dari konsumen.

Seiring dengan persiapan pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini pada awal tahun depan, sejumlah kalangan, termasuk Haedar Nashir, berharap agar evaluasi lebih lanjut dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Pemerintah pun diharapkan dapat menyusun kebijakan pajak yang benar-benar adil dan merata, dengan mempertimbangkan berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia.

Dengan adanya pernyataan tersebut, Haedar mengingatkan pentingnya pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan melakukan perhitungan matang sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Sebagai pemimpin organisasi besar seperti Muhammadiyah, Haedar selalu menekankan agar segala kebijakan yang diambil pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi, sehingga tidak ada golongan masyarakat yang merasa dirugikan.

Menurutnya, kenaikan PPN ini merupakan salah satu kebijakan penting yang akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan keberlanjutan ekonomi negara tanpa menambah beban bagi rakyat kecil. (alf)

IKPI Pengda Sumbagteng Kunjungi KPP Pratama Bukittinggi: Optimalisasi Sinergi Edukasi WP

IKPI, Jakarta: Di tengah seminar dua hari yang digelar di Bukittinggi, Sumatera Barat, Pengurus Daerah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) melakukan kunjungan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bukittinggi pada Selasa, 17 Desember 2024. Kunjungan tersebut disambut hangat oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bukittinggi, Rahmad Siswoyo.

Acara ini dihadiri Ketua Pengda IKPI Sumbagteng Lilisen dan jajaran pengurus, Narpika Yendra (Sekretaris), Karyono (Bendahara), dan Anggota IKPI Cabang Padang Puspita Marchianggita. Dalam suasana yang santai namun penuh kehangatan, diskusi mengalir tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh wajib pajak (WP) serta solusi yang bisa diambil untuk mengatasi kendala tersebut.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)

Lilisen berharap agar sinergi antara IKPI dan KPP Pratama Bukittinggi dapat terus terjalin dalam bentuk edukasi kepada WP. Melalui sosialisasi mengenai peraturan perpajakan, baik yang sudah berlaku maupun yang terbaru, diharapkan pemahaman wajib pajak terhadap hak dan kewajiban mereka semakin meningkat.

“Pemahaman yang lebih baik akan meningkatkan kesadaran WP untuk lebih taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan penerimaan pajak negara,” ujar Lilisen, Kamis (19/12/2024).

Pada kesempatan itu, Rahmad Siswoyo juga menyampaikan apresiasinya terhadap kunjungan IKPI Pengda Sumbagteng. “Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua IKPI Sumbagteng, Ibu Lilisen, dan pengurus lainnya atas kunjungannya. IKPI adalah mitra strategis kami dalam mengedukasi dan mengasistensi wajib pajak agar lebih memahami hak dan kewajiban perpajakannya. Semoga sinergi ini dapat membantu meningkatkan kesadaran pajak yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan penerimaan pajak untuk negara,” kata Rahmad.

Rahmad menambahkan, pihaknya sangat terbuka terhadap masukan atau kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan pelayanan KPP Pratama Bukittinggi. Diharapkan, melalui kolaborasi lebih lanjut antara KPP Pratama Bukittinggi dan IKPI Sumbagteng, semakin banyak WP yang memahami pentingnya pajak, serta dapat menjalankan kewajiban perpajakan mereka dengan baik.

“Pajak Kuat, APBN Sehat, Indonesia Sejahtera. Salam Satu Bahu,” kata Rahmad, seraya menegaskan Tagline Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (bl)

Mantan Dirjen Pajak Tegaskan Kenaikan PPN 12% Harus Disertai Transparansi dan Aturan Pendukung

IKPI, Jakarta: Seminar akademik terkait kebijakan pajak yang dihadiri oleh sejumlah pakar dan mahasiswa hukum menghasilkan diskusi menarik mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini dianggap membawa dampak positif sekaligus negatif terhadap perekonomian nasional.

Dirjen Pajak 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan, peningkatan meskipun kenaikan PPN ini bertujuan meningkatkan rasio pajak dan pendapatan negara, implementasinya harus disertai transparansi dan peraturan pendukung yang jelas.

“Kenaikan ini bisa berdampak pada harga barang dan daya beli masyarakat. Namun, jika dilaksanakan dengan baik, kita dapat menurunkan beban pajak dalam jangka panjang,” ujarnya dalam diskusi akademik hasil kolaborasi antara Ikatan Konsultan Pajak Indonesia dengan Prodi Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Pelita Harapan (UPH), Rabu (18/12/2024).

Menurut pri yang akrab disapa Pung ini, tax ratio Indonesia yang stagnan di bawah 12% menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam pengelolaan pajak. Dibandingkan dengan negara-negara OECD yang rata-rata memiliki tax ratio di atas 30%, Indonesia masih jauh tertinggal.

Pada kesempatan itu, Pung menekankan perlunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 yang belum maksimal. Ia menyatakan bahwa masih ada inkonsistensi dalam peraturan pelaksanaannya, seperti subdelegasi peraturan pemerintah kepada peraturan menteri yang seharusnya tidak terjadi.

“Undang-undang ini sudah ada sejak 2008, namun integrasi data perpajakan belum terealisasi sepenuhnya. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen lembaga terkait untuk menjalankan amanat undang-undang,” katanya.

Anggota Kehormatan IKPI ini juga menyoroti pentingnya transparansi untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan mencegah korupsi. Ia juga mengajak semua pihak untuk mendukung reformasi pajak yang berimbang antara kebijakan fiskal dan kebutuhan masyarakat.

“Tujuan akhirnya adalah Indonesia yang sejahtera, dengan sistem perpajakan yang adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Dengan waktu yang semakin dekat menuju implementasi kebijakan ini, Pung berharap pemerintah segera menyelesaikan regulasi pendukung serta meningkatkan literasi masyarakat mengenai manfaat dan dampak dari kenaikan tarif PPN ini. (bl)

Ekonom Sebut Tarif PPN 12% Dapat Berdampak pada Kenaikan Harga Barang Sehari-hari

IKPI, Jakarta: Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025 menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia mengungkapkan, kebijakan menaikkan PPN berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama barang-barang yang selama ini dianggap terjangkau.

Menurut Bhima, barang-barang seperti peralatan elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, hingga produk-produk sehari-hari seperti deterjen dan sabun mandi kemungkinan akan terpengaruh oleh tarif PPN yang lebih tinggi.

“Dengan tarif PPN 12%, barang-barang yang semula terjangkau bagi masyarakat kini bisa jadi lebih mahal. Bahkan barang-barang pokok seperti deterjen dan sabun mandi bisa terkena dampak. Ini bertentangan dengan narasi bahwa pajak hanya dikenakan pada barang orang mampu,” kata Bhima dalam siaran pers yang diterima Kamis, (19/12/2024).

Meskipun demikian, pemerintah menjelaskan bahwa beberapa komoditas tertentu, seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, akan diberikan tarif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, yang memungkinkan harga barang-barang tersebut tetap dikenakan tarif PPN 11% sepanjang tahun 2025. Namun, kebijakan tarif PPN 12% akan tetap berlaku untuk barang dan jasa lainnya.

Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menegaskan bahwa kebijakan PPN berlaku secara umum untuk semua barang dan jasa yang menjadi objek pajak, kecuali yang telah dikecualikan secara eksplisit oleh pemerintah.

“Pengelompokan barang dan jasa yang terkena tarif PPN sudah jelas. Mana yang terkena PPN 1%, mana yang DTP, mana yang dibebaskan. Semua barang dan jasa lainnya akan dikenakan tarif PPN 12%, kecuali yang sudah disebutkan dalam regulasi,” kata Susiwijono.

Terkait dengan isu barang mewah, yang sebelumnya disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono menegaskan bahwa tarif PPN 12% tetap akan berlaku untuk barang dan jasa secara umum, dengan pengecualian untuk barang dan jasa tertentu yang memenuhi kriteria mewah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022.

Meskipun kebijakan PPN 12% diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi negara, berbagai kalangan, terutama masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, masih meragukan dampak sosial dan ekonominya. Banyak yang khawatir akan dampak kenaikan harga barang sehari-hari, yang dapat membebani daya beli masyarakat, terlebih bagi mereka yang sudah menghadapi kesulitan ekonomi.

Penerapan tarif PPN 12% ini juga menuai kritik dari sejumlah ekonom yang menilai kebijakan tersebut tidak konsisten dengan tujuan awal pemerintah yang semula ingin mengenakan PPN hanya pada barang mewah. Kini, rencana tersebut berubah menjadi kebijakan yang mencakup hampir semua barang dan jasa yang dikenakan pajak, dengan beberapa pengecualian.

Pemerintah telah menegaskan bahwa barang-barang tertentu seperti bahan pangan sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, serta transportasi akan tetap dikecualikan dari tarif PPN 12%. Namun, pengecualian tersebut diperkirakan akan semakin terbatas, mengingat bahan pangan premium dan jasa pendidikan serta kesehatan mewah akan segera dikeluarkan dari daftar pengecualian tersebut. (alf)

en_US