Trump Guncang Kebijakan Fiskal AS: Wacana Hapus PPh dan Bagikan Dividen dari Tarif Impor

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu perdebatan besar setelah menyampaikan keinginannya untuk menghapus Pajak Penghasilan (PPh) dalam beberapa tahun ke depan. Berbicara melalui panggilan video kepada anggota militer AS pada perayaan Thanksgiving, Trump menegaskan keyakinannya bahwa penerimaan tarif impor cukup untuk menggantikan pendapatan negara dari PPh.

“Dalam beberapa tahun ke depan, saya pikir kita akan memangkas secara substansial dan mungkin benar-benar menghapus pajak penghasilan. Bisa hampir sepenuhnya dihapus, karena uang yang kita terima akan sangat besar,” ujarnya, Sabtu (28/11/2025).

Ini bukan pertama kalinya Trump menghubungkan tarif impor dengan rencana penghapusan PPh. Pada April lalu, ia menyampaikan bahwa penerimaan tarif dapat mengurangi beban pajak warga AS, khususnya mereka yang berpenghasilan di bawah 200.000 dolar AS per tahun. Trump berpendapat bahwa tarif merupakan sumber kekayaan nasional yang paling efektif, bahkan mengklaim bahwa penerimaan tarif mampu melunasi utang nasional sekaligus memulihkan kejayaan ekonomi AS.

Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump meningkatkan bea masuk terhadap hampir semua produk impor dengan kisaran 10–50 persen, tergantung negara asal. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan federal dan mendorong masyarakat membeli produk buatan AS. Namun, efektivitas dan dampaknya terhadap perekonomian global terus menjadi sorotan.

Indonesia turut merasakan pengaruh dari kebijakan tersebut. Tarif impor produk Indonesia di pasar AS kini berada di sekitar 19 persen, turun dari sebelumnya 32 persen. Penyesuaian itu dicapai melalui komunikasi langsung antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Trump. Pemerintah Indonesia saat ini masih berupaya menegosiasikan tarif nol persen untuk sejumlah komoditas penting yang tidak diproduksi di AS.

Di tengah kebijakan tarif yang agresif, Trump juga melontarkan gagasan baru berupa pemberian dividen sebesar 2.000 dolar AS per orang, kecuali bagi individu berpenghasilan tinggi. Menurutnya, dana itu berasal dari penerimaan tarif yang telah mencapai triliunan dolar AS. Ia bahkan menilai pendapatan tersebut cukup untuk mulai melunasi utang nasional AS yang mencapai 37 triliun dolar AS.

“Dividen setidaknya 2.000 dolar AS per orang akan dibayarkan kepada semua orang,” tulisnya.

Meski demikian, rencana Trump tak lepas dari tantangan hukum. Mahkamah Agung baru-baru ini mempertanyakan legalitas sejumlah tarif yang diberlakukan pemerintahannya. Jika tarif tersebut dibatalkan, pemerintah AS berpotensi harus mengembalikan lebih dari 100 miliar dolar AS kepada importir, sebuah risiko besar bagi keberlanjutan rencana fiskal Trump.

Wacana penghapusan PPh dan pembagian dividen ini menempatkan Trump kembali di pusat perhatian. Namun, apakah ide tersebut dapat dijalankan secara realistis atau hanya menjadi bagian dari strategi politik, publik AS masih menunggu langkah konkret berikutnya. (alf)

DJP Gelar Sosialisasi Pajak Sawit, Purbaya: Industri Ini Tetap Jadi Tulang Punggung Ekonomi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggelar Sosialisasi Kewajiban Perpajakan di Sektor Produk Kelapa Sawit dan Turunannya pada Jumat, (28/11/ 2025) di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP. Acara ini diikuti sekitar 200 pelaku usaha yang mewakili 137 Wajib Pajak strategis di industri sawit, salah satu sektor yang selama ini menopang perekonomian nasional.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa hadir membuka acara dan langsung menyampaikan apresiasi kepada para pelaku usaha yang hadir. Ia menekankan bahwa kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus memperkuat penerimaan negara.

“Terima kasih kepada para peserta yang sudah hadir. Sebenarnya saya tidak dijadwalkan hadir, ini mendadak. Kata Pak Bimo tadi, kalau Pak Menteri datang semoga pendapatan pajaknya bisa meningkat banyak,” ujar Purbaya dalam sambutannya.

Purbaya juga menyinggung operasi gabungan Kemenkeu–Polri pada awal November 2025 yang berhasil mengungkap praktik penyelundupan produk turunan CPO. Ia menegaskan bahwa operasi tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan, tetapi untuk memastikan kegiatan usaha berjalan sesuai aturan.

“Kalau ada kesulitan atau masalah apa pun, laporkan ke saya. Kita bereskan. Yang jelas, kita ingin industri sawit ini tetap menjadi tulang punggung industri Indonesia,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa Pemerintah berkomitmen membangun iklim usaha yang sehat dan berkeadilan. Kebijakan fiskal, kata Purbaya, diarahkan agar memberikan manfaat optimal bagi pelaku usaha sekaligus menjaga kontribusi mereka terhadap penerimaan negara.

“Teman-teman dunia usaha, mohon kerja samanya demi kelancaran kita semua dan untuk memaksimalkan kontribusi Anda bagi negara ini,” tutup Purbaya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan perkembangan terkini mengenai pengawasan industri sawit. Merespons temuan modus pelanggaran ekspor yang baru terungkap, DJP telah mengidentifikasi sejumlah dugaan ketidaksesuaian lain seperti praktik under-invoicing serta penggunaan faktur fiktif/TBTS.

“Dalam kesempatan sosialisasi ini, kami mengimbau Bapak-Ibu untuk segera melakukan pembenahan secara sukarela sebelum DJP melakukan langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terindikasi tidak patuh,” ujar Bimo.

Ia menegaskan bahwa Pemerintah terus memperkuat tata kelola sektor sawit agar semakin transparan, akuntabel, dan berkelanjutan, sehingga dapat mempertahankan daya saing Indonesia di pasar global.

“Mari jadikan momentum ini sebagai langkah nyata untuk meningkatkan kepatuhan dan memperkuat penerimaan negara,” pungkasnya. (alf)

Diskusi Panel IKPI: Suwardi Hasan Soroti Celah Keadilan Pajak Lewat Desain Wealth Tax yang Tepat

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Suwardi Hasan, menekankan pentingnya merancang sistem pajak kekayaan atau wealth tax secara cermat agar benar-benar mampu mempersempit ketimpangan dan menciptakan keadilan pajak. Pesan ini ia sampaikan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, yang berlangsung secara hybrid pada Jumat (28/11/2025) dan disaksikan sekitar 100 peserta.

Suwardi membuka paparannya dengan menyoroti fakta bahwa jumlah individu kaya yang membayar pajak masih sangat kecil, bahkan hanya berada pada kisaran “nol koma sekian persen”, sebagaimana dipaparkan panelis sebelumnya. 

Menurutnya, data tersebut menunjukkan masih lebarnya gap yang perlu dibenahi. Pengenaan wealth tax, katanya, dapat menjadi salah satu cara untuk memperluas basis pajak sekaligus melakukan redistribusi kekayaan.

Ia kemudian memaparkan pengalaman banyak negara Eropa dalam menerapkan pajak kekayaan. Beberapa negara seperti Norwegia, Spanyol, dan Swiss masih mempertahankan wealth tax, meski dengan struktur dan kewenangan yang berbeda. Contohnya, Spanyol memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarifnya, sehingga menimbulkan fenomena perpindahan penduduk ke wilayah dengan tarif lebih rendah, mirip fenomena relokasi industri akibat perbedaan UMK di Indonesia. 

Untuk mencegah migrasi tersebut, pemerintah pusat di Spanyol bahkan memperkenalkan pajak solidaritas, yang mekanismenya mirip dengan Global Minimum Tax. Namun, di banyak negara lain, wealth tax justru dihapus karena dianggap menimbulkan masalah baru, mulai dari kesulitan valuasi hingga pelarian modal (capital flight). 

Suwardi menyinggung sejumlah contoh terkenal, seperti pendiri IKEA Ingvar Kamprad yang meninggalkan Swedia karena tariff pajak yang tinggi, atau miliarder Bernard Arnault yang pernah bersiap pindah kewarganegaraan ketika Prancis berencana mengenakan tarif pajak 75 persen untuk pendapatan di atas 1 juta euro.

Menurutnya, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa wealth tax bisa menjadi bumerang jika dirancang terlalu agresif. “Wajib pajak merasa dihukum atas kesuksesannya. Penghasilan sudah dipajaki, aset yang dibeli dari penghasilan itu dipajaki lagi setiap tahun,” ujarnya. Karena itu, desain kebijakan harus memastikan tidak terjadi pajak berganda dan tidak memicu pelarian modal.

Ia menegaskan bahwa jika Indonesia ingin mempertimbangkan wealth tax, maka proses perancangannya perlu sangat presisi. Ambang batas, objek pajak, pengecualian, hingga kemampuan administrasi harus diperhitungkan matang-matang. 

“Keberhasilan atau kegagalan wealth tax sangat ditentukan oleh desain. Banyak negara gagal karena salah merancangnya,” katanya.

Suwardi berharap, penerintah melakukan studi komparatif yang serius sebelum membuat keputusan. “Kalau mau diterapkan, jangan sampai gagal sebelum berjalan. Harus ada rancang bangun yang kuat agar tidak terjadi capital flight dan benar-benar mencapai keadilan,” ujarnya.(bl)

Diskusi Panel IKPI: Dendi Siswanto Beberkan Minimnya Kontribusi Pajak Orang Kaya Meski Lonjakan Kekayaan Melaju Pesat

IKPI, Jakarta: Ketimpangan kontribusi pajak dari kelompok berpendapatan tinggi kembali menjadi sorotan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak” yang digelar secara hybrid oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Jumat (28/11/2025). Salah satu narasumber, Dendi Siswanto, jurnalis Kontan yang banyak menyoroti isu fiskal dan perpajakan, menyampaikan paparan tajam yang memantik perhatian sekitar 100 peserta yang hadir.

Dendi mengawali materi dengan menekankan bahwa keadilan pajak tidak bisa dilepaskan dari peran kelompok High Wealth Individual (HWI) atau orang kaya dalam sistem perpajakan nasional. Namun, justru kelompok inilah yang menurutnya menunjukkan jurang besar antara pertumbuhan kekayaan dan kontribusi pajak yang seharusnya meningkat.

“Jumlah wajib pajak orang kaya setiap tahun selalu naik, tetapi kontribusi pajaknya tidak ikut ngebut,” ujar Dendi.

Ia memaparkan data mengenai lonjakan populasi HWI yang pernah terjadi pada periode 2016–2017, yakni mencapai 129,63%, sebuah angka yang menggambarkan percepatan pertumbuhan kekayaan yang luar biasa. Bahkan setelah program amnesti pajak, terdapat 44 ribu orang dengan kekayaan lebih dari Rp10 miliar di Indonesia.

Secara logika fiskal, kenaikan jumlah orang kaya seharusnya berdampak langsung pada peningkatan penerimaan pajak, khususnya dari wajib pajak orang pribadi. Namun, data menunjukkan kondisi yang jauh dari ideal. 

Dendi menampilkan bahwa pada tahun 2024, penerimaan pajak dari kelompok yang masuk tarif tertinggi 35% hanya mencapai Rp18,5 triliun. Jumlah itu berasal dari 11.268 wajib pajak, atau hanya 0,016% dari total wajib pajak nasional yang berjumlah 70,3 juta orang.

“Artinya, bahkan 1% pun tidak tercapai. Proporsi kontribusinya terhadap penerimaan nasional hanya 1,54%,” tegasnya.

Ia juga mengulas kinerja penerimaan di KPP LTO 4, tempat panelis pertama dalam diskusi tersebut bertugas. Meski penerimaan KPP LTO 4 meningkat dari Rp74 triliun (2020) menjadi Rp90,2 triliun (2022), kontribusi pajak dari orang kaya tetap tidak signifikan. Pada 2022, kontribusi HWI terhadap total penerimaan pajak nasional sebesar Rp1.716 triliun hanya mencapai Rp4,05 triliun, atau 0,24%.

“Ini menunjukkan ada celah besar yang harus ditanggulangi melalui peningkatan pengawasan dan penagihan. Kalau tidak, jurang ketidakadilan pajak akan semakin dalam,” ucapnya.

Dendi menegaskan bahwa kondisi tersebut bukan hanya soal angka, tetapi menyangkut rasa keadilan publik. Menurutnya, sebagian besar HWI justru memperoleh penghasilan dari pasif income seperti capital gain dan dividen, jenis penghasilan yang sering kali lebih sulit ditarik pajaknya jika tidak diawasi secara memadai. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Budi Arifandi Ungkap 1% Populasi Kuasai Hampir Setengah Kekayaan Dunia, Tantangan Indonesia Identifikasi HWI

IKPI, Jakarta: Ketimpangan distribusi kekayaan kembali menjadi sorotan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak” yang digelar secara hybrid pada Jumat (28/11/2025). Dalam forum yang dihadiri sekitar 100 peserta itu, pengamat perpajakan Budi Arifandi memaparkan data global serta kondisi Indonesia terkait high-wealth individual (HWI) atau kelompok wajib pajak yang kerap menjadi pusat perhatian banyak negara.

Budi mengungkapkan bahwa Credit Suisse Research Institute (CSRI) menunjukkan betapa timpangnya distribusi kekayaan dunia. “Sebanyak 1% populasi dewasa dunia, sekitar 1,7 juta jiwa menguasai 46,6% kekayaan global. Ini menunjukkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada kelompok yang sangat kecil,” ujarnya.

Di Indonesia sendiri, CSRI mencatat ada 172.211 orang yang memiliki kekayaan di atas USD 1 juta. Jumlah ini menegaskan bahwa kesenjangan kekayaan bukan hanya isu global, tetapi juga realitas domestik yang perlu ditangani dengan pendekatan kebijakan tegas, termasuk dalam sistem perpajakan.

Budi menjelaskan bahwa hingga kini tidak ada definisi tunggal mengenai HWI. CSRI menilai HWI berdasarkan dua komponen:

1. Kekayaan finansial dan aset lancar, serta

2. Kekayaan tetap yang dikurangi kewajiban.

Sementara itu, OECD memasukkan unsur pendapatan sehingga muncul istilah high-income individual (HII).

Menariknya, penelitian dalam negeri yang dipaparkan Budi memperkenalkan satu kategori baru yang mulai muncul sejak 2010, high lifestyle individual, kelompok yang memamerkan kemewahan di media sosial.

“Ini kelompok yang sering flexing. Gaya hidupnya mencerminkan seakan-akan mereka HWI, padahal belum tentu. Maka kita perlu ketelitian dalam pemetaan,” jelasnya.

Tiga kategori high-net worth individual, high income individual, dan high lifestyle individual, kemudian disintesiskan untuk mendefinisikan HWI versi Indonesia yang lebih komprehensif.

HWI di Indonesia 

Dalam paparannya, Budi juga menampilkan banyak nama publik, pemilik perusahaan besar, pendiri startup, selebriti papan atas, hingga pengacara elite. Namun, ia mengingatkan bahwa daftar tersebut hanya mencerminkan permukaan.

“Yang menarik adalah, banyak orang kaya di Indonesia yang tidak tampil di media. Tidak masuk Forbes, tidak viral, tapi memiliki aset sangat besar. Inilah kelompok yang sering kali sulit diidentifikasi,” tegas Budi.

Menurutnya, kondisi tersebut membuat pengawasan semakin menantang, karena DJP harus mengandalkan data pihak ketiga, kerja sama internasional, dan pemanfaatan teknologi untuk menemukan potensi kewajiban perpajakan yang belum tergali.

Diungkapkannya, sejarah panjang pembentukan kantor khusus HWI, dimulai dari KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi pada 2009, yang saat itu melayani sekitar 1.200 WP kaya dengan pola layanan prioritas seperti “nasabah premium”.

Namun pada 2012, struktur dirombak. KPP HWI dilebur menjadi KPP Wajib Pajak Besar 4. Tahun 2025, DJP kembali memperkuat pengawasan melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2025, yang menetapkan WP orang pribadi tertentu berdasarkan sembilan indikator, seperti nilai aset, penghasilan, dan kemampuan ekonomi.

Kini, sebagian WP HWI juga dikelola di KPP Madya, yang memiliki rasio Account Representative (AR) ke WP lebih kecil sekitar 1 AR untuk 10–15 WP sehingga pengawasan lebih detail dan bersifat personal.

Budi menyebut lima tantangan utama dalam mengawasi HWI:

• keterbatasan data,

• mobilitas tinggi para HWI,

• sebaran geografis yang luas,

• penggunaan nomine, dan

• rendahnya pemahaman perpajakan.

Ia menegaskan kembali perlunya kolaborasi lembaga dan peningkatan kualitas data untuk menciptakan keadilan pajak yang proporsional. (bl)

Purbaya Setuju Kuota Subsidi LPG Ditambah Jelang Nataru, Pastikan Tidak Bebani APBN 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan rencana penambahan kuota subsidi LPG jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) tidak akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Penegasan ini disampaikan usai pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan, dikutip Sabtu (29/11/2025).

Menurut Purbaya, usulan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia masih berada dalam batas fiskal yang aman. Penurunan harga gas dunia menjadi faktor utama yang membuat tambahan volume subsidi tidak menambah beban anggaran.

“Subsidi LPG dari sisi volume mungkin akan meningkat saat Nataru. Tapi karena harga global sedang turun, meskipun kita penuhi, tidak akan melebihi pagu 2025,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa penambahan kuota tersebut hanya berlaku untuk periode akhir tahun ini. Untuk tahun anggaran 2026, pemerintah akan kembali melakukan evaluasi berdasarkan dinamika harga energi global.

“Nanti kita lihat lagi. Kan belum lewat. Mestinya cukup dengan anggaran yang ada,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah menambah kuota LPG bersubsidi untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi pada libur Nataru 2025/2026. Keputusan tersebut dibahas dalam rapat bersama Menteri Keuangan dan Kepala BUMN Doni Oskaria.

“Kami memastikan pasokan energi aman selama libur akhir tahun. Dalam rapat itu disepakati kenaikan volume LPG dari sekitar 8,2 juta metrik ton menjadi sekitar 8,4–8,5 juta metrik ton,” ujar Bahlil.

Ia memastikan tidak ada hambatan maupun potensi kelangkaan LPG bersubsidi pada periode liburan mendatang. “Semua sudah clear. Pasokan aman,” tegasnya.

Dengan penambahan kuota ini, pemerintah berharap konsumsi rumah tangga selama masa liburan dapat terlayani tanpa gangguan, sekaligus menjaga stabilitas harga dan ketersediaan energi nasional. (alf)

Purbaya Tegaskan Ekonomi RI Kokoh, Belanja Fiskal Digerakkan untuk Program Prioritas

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga meskipun tekanan global masih berlangsung. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan hal tersebut dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, baru-baru ini, saat memaparkan perkembangan ekonomi terkini dan arah kebijakan fiskal menjelang akhir tahun.

Purbaya menyampaikan bahwa aktivitas ekonomi nasional terus menunjukkan penguatan. Pertumbuhan pada kuartal IV-2025 diproyeksikan mencapai sekitar 5,7%, ditopang konsumsi masyarakat yang meningkat, ekspor yang membaik, serta investasi yang kembali menunjukkan optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sektor manufaktur, perdagangan, konstruksi, dan informasi-komunikasi tercatat menjadi penopang utama pemulihan yang merata di berbagai wilayah.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, pemerintah mengarahkan kebijakan fiskal untuk semakin fokus pada program-program prioritas yang memberi dampak langsung bagi masyarakat. Penyerapan anggaran dipercepat, namun tetap dijalankan secara hati-hati dan terukur.

“APBN tetap harus responsif, tapi disiplin. Kami memastikan belanja yang dipercepat tetap terarah, tepat sasaran, dan memberikan dampak nyata,” kata Purbaya.

Pemerintah juga memantau ketidakpastian global, mulai dari fluktuasi harga komoditas hingga dinamika geopolitik yang memengaruhi perdagangan dan aliran modal. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, koordinasi kebijakan dengan otoritas moneter diperkuat. Purbaya menekankan bahwa konsistensi kebijakan menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan pelaku usaha dan investor.

“Kepastian arah kebijakan sangat penting bagi investor dan dunia usaha. Stabilitas inilah yang terus kami jaga,” ujarnya.

Pemerintah memproyeksikan minat investasi akan tetap menguat pada 2026, seiring reformasi struktural, percepatan proyek strategis nasional, serta pengembangan industri teknologi, hilirisasi komoditas, dan sektor logistik. Penanaman modal diharapkan menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Menutup raker, Purbaya menegaskan komitmen pemerintah menjaga kredibilitas APBN sebagai instrumen stabilisasi di tengah ketidakpastian global. Kebijakan fiskal ke depan akan diarahkan pada penguatan perlindungan sosial, peningkatan produktivitas ekonomi, dan percepatan transformasi struktural agar momentum pemulihan tetap berlanjut. (alf)

Airlangga Usulkan Insentif Fiskal untuk Pemda Berprestasi

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengusulkan pemberian insentif fiskal bagi pemerintah daerah (Pemda) yang mampu menjaga stabilitas harga dan mempercepat digitalisasi. Usulan tersebut ia sampaikan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025 di Jakarta. Airlangga meminta langsung kepada Presiden dan Menteri Keuangan agar insentif ini segera direalisasikan, dengan dana Rp786 miliar telah disiapkan untuk dibagikan kepada Pemda penerima penghargaan.

Airlangga menegaskan, insentif fiskal menjadi bentuk penghargaan nyata atas kinerja Pemda dalam mengendalikan inflasi dan membangun ekosistem digital. Skema ini juga diharapkan memacu daerah lain untuk meningkatkan performa serta memperkuat sinergi pusat dan daerah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Inflasi nasional sendiri tercatat stabil. Pada Oktober 2025, inflasi mencapai 2,86 persen (yoy), masih berada dalam batas target nasional 2,5±1 persen. Airlangga menyebut pencapaian ini merupakan hasil konsistensi kebijakan suku bunga Bank Indonesia, stimulus fiskal pemerintah, serta penerapan strategi 4K—keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif. Pemerintah juga menyalurkan berbagai stimulus, termasuk diskon transportasi, bantuan pangan, dan BLT Kesra untuk menjaga daya beli masyarakat.

Pada saat yang sama, pemerintah terus mempercepat transformasi digital di daerah. Melalui program Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD), ekosistem digital telah berkembang di 501 Pemda hingga semester I 2025. Peningkatan regulasi, kesiapan sistem, kanal layanan, hingga dukungan BPD menjadi fondasi memperkuat efektivitas kebijakan di tingkat lokal.

Presiden Prabowo Subianto turut memberikan apresiasi terhadap kinerja kementerian dan lembaga terkait, khususnya TPIP dan TP2DD, yang dinilai berhasil menghasilkan kebijakan pro-rakyat. Ia menyampaikan optimisme terhadap perekonomian nasional, seraya menegaskan bahwa sinergi antarinstansi telah menunjukkan hasil nyata dalam satu tahun terakhir.

Dalam rangkaian kegiatan tersebut, pemerintah juga menyerahkan TPID Awards 2025 dan Championship TP2DD 2025 kepada Pemda berprestasi. Adapun daftar penerima penghargaan sebagai berikut:

TPID Award 2025

Kategori Provinsi Terbaik: Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Papua

Kategori Kabupaten/Kota Terbaik: Palembang, Tasikmalaya, Banjarmasin, Palu, Mataram

Kategori Kabupaten/Kota Berprestasi: Tanah Datar, Tasikmalaya, Kutai Kartanegara, Minahasa, Lombok Timur

Championship TP2DD 2025

Kategori Provinsi Terbaik: Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur

Kategori Kota Terbaik: Payakumbuh, Tangerang Selatan, Balikpapan, Makassar, Kupang

Kategori Kabupaten Terbaik: Deli Serdang, Ciamis, Tanah Laut, Sidenreng Rappang, Lombok Timur. (alf)

Ditjen Pajak Perkuat Kepatuhan dan Penegakan Hukum untuk Kejar Target 2026

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan strategi utama penerimaan 2026 akan bertumpu pada peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP), pengawasan berbasis risiko, serta penegakan hukum yang lebih efektif. Fokus ini disampaikan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dalam dua agenda resmi sepanjang pekan terakhir, yakni rapat dengan Komisi XI DPR dan media gathering di Bali.

Dalam RDP lanjutan dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Bimo memaparkan bahwa DJP akan menerapkan pendekatan komprehensif yang mengedepankan konsep compliance by design melalui sistem Coretax. Sistem ini dirancang agar kepatuhan WP berjalan otomatis.

“Untuk mencegah ketidakpatuhan yang sistematis, Coretax akan melakukan validasi. Contohnya, PKP tidak bisa melaporkan SPT Masa PPN jika SPT sebelumnya belum dilaporkan. Jadi otomatis terdeteksi,” ujar Bimo di Kompleks Parlemen, Senayan, baru-baru ini.

Selain itu, DJP akan memperkuat:

• Compliance risk management berbasis profiling risiko untuk menentukan perlakuan yang tepat bagi setiap WP;

• Integrasi data pihak ketiga, termasuk interoperabilitas Coretax dengan sistem Ceisa Bea Cukai;

• Compliance through tax intermediary, guna memastikan transaksi WP lebih valid dan efisien;

• Early Warning System (EWS) untuk memantau penerimaan secara cepat dan mendukung pengambilan keputusan strategis.

Dalam kesempatan terpisah di Bali, Selasa (25/11/2025), Bimo menyoroti pentingnya kolaborasi antarinstansi untuk memperkuat penegakan hukum perpajakan. Ia mengakui bahwa langkah penegakan hukum kerap menghadapi hambatan, terutama gugatan praperadilan yang muncul bahkan sebelum proses bukti permulaan berjalan.

“Belum sempat kami bukper, sudah gugur karena praperadilan. Maka kami kerja sama, meminta fatwa MA tentang proses formal tindak pidana perpajakan supaya ada kepastian,” ujarnya.

DJP kini aktif menerapkan multidoor approach, yang melibatkan BPKP, Bareskrim dan Kortas Tipikor Polri, PPATK, OJK, Kejaksaan Agung, hingga KPK. Kolaborasi ini tidak hanya menyasar tindak pidana perpajakan, tetapi juga kegiatan ilegal yang berdampak pada penerimaan negara seperti illegal logging, illegal mining, illegal fishing, hingga keuangan gelap.

Bimo mencontohkan, ada satu kasus yang baru tuntas pada tahun kedelapan setelah melalui proses panjang melibatkan tindak pidana perpajakan, TPPU, hingga kerja sama internasional dengan otoritas Singapura untuk asset recovery.

Meski menggandeng banyak lembaga, Bimo menegaskan DJP tetap memegang kendali penuh atas penyidikan pajak.

“Yang bisa menghitung delik perpajakan, pajak terutang, dan konsekuensi hukumnya ya penyidik kami. Independensi itu kami jaga. Yang berwenang mengakses, mengolah, dan mencocokkan data pihak ketiga by law ya kami,” tegasnya.

DJP menegaskan bahwa penguatan kepatuhan, integrasi data, dan kolaborasi penegakan hukum akan menjadi fondasi utama dalam mengejar target penerimaan negara pada 2026. (alf)

Penerimaan Pajak dan Kepabeanan di Sumut Tembus Rp 20,7 Triliun hingga Oktober 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan negara di Sumatera Utara (Sumut) menunjukkan pertumbuhan solid hingga akhir Oktober 2025. Total penerimaan pajak yang dihimpun Kanwil DJP Sumut I dan Sumut II mencapai Rp 17,7 triliun, atau 54,46% dari target tahunan Rp 32,57 triliun. Di sisi lain, penerimaan kepabeanan dan cukai yang dikelola Bea Cukai Sumut mencapai Rp 2,99 triliun, melampaui target APBN dengan capaian 131,45%.

Data tersebut dirilis melalui siaran pers bersama Kepala Kanwil DJP Sumut I Arridel Mindra, Kepala Kanwil DJP Sumut II Anton Budi Setiawan, serta Kepala Kanwil Bea Cukai Sumut Sugeng Apriyanto, dikutip, Sabtu (29/11/2025).

Kinerja pajak di Sumut terus menunjukkan tren positif. Realisasi hingga Oktober naik 16,44% dibandingkan September yang tercatat Rp 15,21 triliun. Sebelumnya, pada Agustus 2025 penerimaan mencapai Rp 12,73 triliun. Dari total tersebut, Kanwil DJP Sumut I berkontribusi Rp 13,34 triliun secara netto.

Pada sektor kepabeanan, kinerja Bea Cukai Sumut ditopang lonjakan bea keluar (BK) yang mencapai Rp 1,95 triliun, atau 436,02% dari target, terutama dari ekspor produk sawit. Kenaikan harga referensi CPO menjadi US$963,61 per metrik ton turut mendongkrak penerimaan. Sementara bea masuk (BM) tercatat Rp 584,84 miliar, sedikit tertekan akibat turunnya impor beras dan gula.

Penerimaan cukai mencapai Rp 461,09 miliar, atau 53,59% dari target, namun mengalami tekanan dari turunnya penerimaan Hasil Tembakau 32% dan Cukai MMEA 9%.

Kinerja Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mencatat capaian kuat. Hingga 31 Oktober 2025, realisasi PNBP mencapai Rp 2,78 triliun, atau 121,13% dari target. Komponen terbesar berasal dari PNBP lainnya sebesar Rp 1,38 triliun, dan pendapatan BLU sebesar Rp 1,4 triliun yang tumbuh 11,05% dibanding tahun sebelumnya.

Dari sektor aset, piutang, dan lelang, PNBP Sumut mencapai Rp 101,8 miliar, atau 131,2% dari target. Kinerja lelang tumbuh signifikan dengan realisasi Rp 49,5 miliar, didorong oleh meningkatnya pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan, rampasan, hingga harta pailit.

Secara keseluruhan, capaian penerimaan negara di Sumut hingga Oktober 2025 mencerminkan ketahanan ekonomi daerah dan sinergi kuat antarunit Kementerian Keuangan dalam menjaga stabilitas pendapatan negara. (bl)

en_US