Presiden Prabowo Santai Tanggapi Kritik Kenaikkan PPN 12%: Untuk Melindungi Masyarakat Menengah-Bawah

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menanggapi dengan santai kritik yang muncul akibat kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025. Saat berbicara di Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu (28/12/2024), Prabowo menyebut kritik sebagai hal yang wajar dalam pemerintahan.

“Biasalah, biasa,” kata Prabowo kepada wartawan. Ia juga menyebut bahwa meski pemerintahannya baru berjalan dua bulan, banyak pihak yang berusaha “menggoreng” isu untuk menciptakan sentimen negatif.

“Tapi kita lumayan, tadi 2 bulan 8 hari saya lihat lumayan. Ada di sana-sini yang goreng-goreng ya,” ujarnya. Namun, ia percaya masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan tidak.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menjelaskan bahwa kenaikan PPN ini merupakan amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 2021. Kenaikan ini, menurutnya, adalah langkah pemerintah untuk melindungi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

“Presiden tentu tidak sekadar menaikkan. Pemerintah telah menyiapkan program-program dan alokasi APBN, termasuk stimulus bagi UMKM dan masyarakat terdampak, terutama rakyat miskin,” ujar Andi.

Ia juga menegaskan bahwa sebagian besar kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN, termasuk bahan pokok, pendidikan (kecuali sekolah premium), dan transportasi umum.

Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai 2 Januari 2025 bertujuan untuk memperkuat struktur fiskal negara. Pemerintah juga menjanjikan langkah-langkah untuk memastikan dampaknya tidak memberatkan masyarakat kecil.

Dengan sikap santai Presiden Prabowo terhadap kritik yang muncul, pemerintah optimistis dapat menjalankan kebijakan ini tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat. (alf)

Haidar Alwi Institute: Kenaikan Tarif PPN untuk Kepentingan Rakyat

IKPI, Jakarta: Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menyatakan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan kebijakan yang diambil demi kepentingan rakyat. Menurutnya, tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif ini akan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk manfaat.

“Tambahan penerimaan negara yang diperoleh dari kenaikan tarif PPN yang dipungut dari rakyat akan kembali kepada rakyat dalam bentuk dan manfaat berbeda dengan jumlah berkali-kali lipat,” ujar Haidar dalam keterangannya, Sabtu (28/12/2024).

Ia menjelaskan, dana yang diperoleh pemerintah melalui kebijakan tersebut akan digunakan untuk menjaga stabilitas perekonomian, mendukung pembangunan di berbagai sektor, serta menjalankan kebijakan jangka panjang. Selain itu, rakyat juga akan merasakan manfaat langsung seperti program makan siang bergizi, bantuan sosial, hingga insentif berupa diskon listrik dan bantuan pembelian rumah.

Haidar juga menegaskan bahwa barang-barang kebutuhan pokok seperti sembako, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, angkutan umum, jasa keuangan, dan rumah susun tetap tidak dikenakan PPN. Sedangkan untuk barang seperti minyak goreng curah, tepung terigu, dan gula industri, kenaikan PPN ditanggung oleh pemerintah.

“Yang paling penting, sembako tidak dikenakan PPN. Jadi, rakyat tidak perlu khawatir karena kebutuhan dasar tetap terjangkau,” tambahnya.

Haidar memahami adanya penolakan dari beberapa kelompok terhadap kebijakan ini. Menurutnya, resistensi terhadap kenaikan tarif pajak adalah hal yang biasa terjadi, terutama jika ada pihak yang mencoba mempolitisasi isu tersebut.

“Jika ada penolakan itu wajar,” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi narasi bahwa kenaikan tarif PPN akan memperburuk kondisi masyarakat. Menurut Haidar, fakta di lapangan menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tetap kuat, terlihat dari penuhnya tempat wisata, ramai kafe, dan tingginya penjualan gadget.

“Kenyataannya, di tengah ekonomi yang katanya sulit, rakyat tetap bisa menikmati liburan, belanja, dan berkegiatan seperti biasa. Jadi, jangan mudah terprovokasi,” ujarnya.

Sebagai informasi, pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, di mana kenaikan tarif dilakukan secara bertahap.

Meski demikian, kebijakan tersebut mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak, termasuk mahasiswa, aktivis, hingga PDIP sebagai oposisi. Demonstrasi dan petisi di media sosial menjadi bentuk protes mereka terhadap kebijakan ini.

Pemerintah berharap melalui sosialisasi yang terus dilakukan, masyarakat dapat memahami manfaat jangka panjang dari kenaikan tarif PPN ini. (alf)

Jokowi Tegaskan Kenaikan PPN 12% Sudah Sesuai Amanat UU

IKPI, Jakarta: Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat bicara terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Jokowi menegaskan bahwa kenaikan ini merupakan amanat Undang-Undang (UU) yang telah diputuskan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.

“Ini kan sudah diputuskan dalam Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sudah diputuskan oleh DPR. Jadi, pemerintah harus menjalankan,” ujar Jokowi, Jumat (27/12/2024).

Jokowi menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah melalui pertimbangan yang matang dan perhitungan dampaknya terhadap masyarakat. Menurutnya, pemerintah tidak sembarangan dalam membuat kebijakan ini.

“Sekali lagi, pemerintah sudah berhitung dan melalui pertimbangan yang matang. Saya kira kita harus mendukung keputusan pemerintah. Tentu ada alasan dan kalkulasi yang menjadi dasar kebijakan tersebut,” katanya.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan mulai berlaku di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahan Jokowi.

Namun, kebijakan ini mendapat penolakan dari sebagian masyarakat. Hingga Rabu (25/12/2024), sebuah petisi daring berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” telah ditandatangani oleh lebih dari 193 ribu orang. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan kenaikan tarif tersebut.

Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat pendapatan negara. Meskipun demikian, berbagai pihak meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini agar tidak terlalu membebani masyarakat. (alf)

Celios Desak Presiden Prabowo Terbitkan Perppu untuk Evaluasi Kenaikan PPN

IKPI, Jakarta: Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) Zakiul Fikri, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna membatalkan atau mengevaluasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Desakan ini terutama ditujukan untuk meninjau ulang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Menurut Zakiul, penerbitan Perppu sangat penting karena pemerintah tidak dapat mengubah kebijakan PPN secara langsung tanpa dasar hukum baru. “Pemerintah wajib menganulir Pasal 7 Ayat 1 Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 melalui Perppu,” jelas Zakiul dalam keterangan pers, Jumat (27/12/2024).

Ia menambahkan, upaya menurunkan atau membatalkan kenaikan PPN harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat 3 dan Ayat 4 UU HPP. “Prosesnya akan panjang, rumit, dan memakan waktu lama,” katanya.

Zakiul juga menyoroti ketiadaan aturan rinci dalam UU HPP terkait penentuan besaran PPN. Ia menyebut kondisi ini berpotensi menciptakan kekacauan hukum jika pemerintah mencoba menerapkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 3.

“Norma dalam ayat tersebut ambigu dan tidak memberikan parameter jelas untuk menentukan angka 5 persen hingga 15 persen,” paparnya.

Ia pun mendorong Presiden Prabowo untuk tidak ragu menerbitkan Perppu, mengingat regulasi serupa kerap digunakan dalam situasi mendesak. “Dalam 10 tahun terakhir, sudah ada 8 Perppu diterbitkan dengan alasan mendesak di bawah pemerintahan sebelumnya,” ujar Zakiul.

Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan memastikan kebijakan perpajakan yang lebih adil serta tidak membebani masyarakat secara berlebihan. (alf)

PMK 81/2024, Pemerintah Tetapkan Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP

IKPI, Jakarta: Menteri Keungan Sri Mulyani, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, Bab IV, Pasal 31-50 menetapkan prosedur pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak orang pribadi, badan usaha, serta Warisan Belum Terbagi. Regulasi baru ini mengacu pada peraturan perpajakan yang bertujuan meningkatkan kepatuhan administrasi dan kemudahan bagi Wajib Pajak.

Pendaftaran Wajib Pajak

Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk mendapatkan NPWP paling lambat satu bulan setelah pewaris meninggal. Pendaftaran dilakukan oleh ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan. Kepala KPP wajib menerbitkan NPWP dalam waktu satu hari kerja setelah dokumen pendaftaran diterima lengkap.

Untuk Wajib Pajak Badan, pendaftaran harus dilakukan paling lambat satu bulan setelah pendirian perusahaan. Kepala KPP juga diwajibkan memproses penerbitan NPWP dalam waktu satu hari kerja setelah dokumen diterima.

Penghapusan NPWP

Penghapusan NPWP dapat dilakukan apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, seperti dalam kasus berikut:

1. Warisan sudah selesai dibagi.

2. Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau menghentikan usahanya di Indonesia.

Proses penghapusan NPWP memerlukan dokumen pendukung, seperti akta likuidasi atau dokumen lain yang relevan. Kepala KPP wajib memberikan keputusan terkait permohonan penghapusan dalam jangka waktu 6 hingga 12 bulan, tergantung pada kategori Wajib Pajak.

Penghapusan Secara Jabatan

Jika Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan penghapusan, DJP berhak melakukan penghapusan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan administrasi atau data yang dimiliki. Penghapusan ini juga berlaku untuk Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh DJP.

Pengawasan Administrasi

Regulasi baru ini juga mengatur tata cara perubahan data Wajib Pajak, termasuk perubahan tempat kegiatan usaha atau alamat kedudukan. Kepala KPP wajib memproses perubahan data paling lambat lima hari kerja setelah dokumen diterima lengkap.

Dengan diterbitkannya peraturan ini, pemerintah berharap Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan lebih transparan dan akuntabel. (alf)

DJP: Dengan Coretax Wajib Pajak Tak Bisa Lagi Menghindar dari Kewajiban Perpajakannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siap meluncurkan sistem perpajakan baru (Coretax), mulai Januari 2025. Sistem ini diharapkan menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas layanan, kepatuhan sukarela Wajib Pajak, dan optimalisasi penerimaan pajak negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP Dwi Astuti, baru-baru ini menjelaskan bahwa Coretax merupakan upaya modernisasi administrasi perpajakan yang bertujuan mendukung pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan secara lebih efektif.

“Coretax merupakan upaya DJP untuk meningkatkan kualitas layanan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Dengan sistem ini, kami berharap kepatuhan sukarela meningkat sehingga terjadi optimalisasi penerimaan pajak,” ujar Dwi.

Sistem ini dirancang tidak hanya untuk meningkatkan pelayanan internal DJP tetapi juga untuk berkolaborasi dengan sistem lain di luar Kementerian Keuangan. Langkah ini merupakan bagian dari implementasi program Satu Data Indonesia, yang bertujuan menciptakan data perpajakan yang lebih lengkap, valid, dan mutakhir.

“Dengan kolaborasi ini, data perpajakan akan lebih lengkap, valid, dan selalu terupdate, sehingga layanan dapat disesuaikan dengan profil masing-masing Wajib Pajak,” ujarnya.

Teknologi Canggih untuk Administrasi Pajak

Menurutnya, Coretax hadir dengan teknologi canggih yang mengedepankan otomatisasi dan integrasi data yang lebih baik. Sistem ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi pajak, sekaligus menutup celah penghindaran pajak.

“Mulai 2025, tidak ada lagi ruang bagi siapa pun untuk menghindar dari kewajiban pajak. Sistem ini memastikan transparansi dan efisiensi dalam administrasi perpajakan,” kata Dwi.

Peluncuran Coretax diharapkan membawa Indonesia memasuki era baru dalam perpajakan, di mana pengelolaan pajak menjadi lebih modern, akuntabel, dan berbasis data. Dengan demikian, pemerintah optimistis penerimaan pajak negara akan semakin maksimal, mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. (alf)

Ekonom Sarankan Kenaikan PPN 12% Ditunda hingga Ekonomi Membaik

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 menuai tanggapan kritis dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Dalam diskusi di Jakarta baru-baru ini, Esther menekankan bahwa kenaikan ini sebaiknya dilakukan ketika kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat sudah stabil.

Menurut Esther, kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap faktor-faktor pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) jika diterapkan tanpa mempertimbangkan situasi ekonomi yang sedang lesu.

“Dalam Teori Laffer, pertumbuhan ekonomi harus diutamakan agar penerimaan pajak meningkat. Tidak sebaliknya, tarif pajak dinaikkan dengan harapan ekonomi tumbuh,” katanya.

Esther menyarankan agar pemerintah realistis dalam menyikapi kondisi ekonomi saat ini dan prospek ke depan. Jika setelah evaluasi, kenaikan tarif PPN dianggap kurang tepat, maka lebih baik kebijakan tersebut ditunda. “Kondisi ekonomi saat ini kurang bergairah, sehingga kenaikan tarif PPN perlu dipertimbangkan dengan matang,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pengalaman Malaysia bisa menjadi pelajaran penting. Malaysia sempat menaikkan tarif PPN, namun kemudian menurunkannya kembali setelah dampaknya terhadap ekspor dan perekonomian terasa signifikan.

Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Undang-undang ini dirancang sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19.

Meski demikian, implementasi kebijakan ini mendapat perhatian khusus karena berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat dan inflasi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa dampak kenaikan tarif PPN terhadap harga barang dan jasa hanya sebesar 0,9%. Namun, para ahli menilai dampak psikologis dan struktural terhadap ekonomi perlu diperhitungkan.

Pemerintah berencana menerapkan kebijakan afirmatif untuk mengurangi dampak kenaikan tarif ini, seperti pajak 0% untuk bahan pokok yang dikonsumsi masyarakat kelas bawah. Sementara itu, kenaikan tarif lebih ditujukan untuk barang-barang mewah yang menjadi konsumsi kalangan atas.

Namun, Esther menegaskan bahwa stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat harus menjadi prioritas utama sebelum kebijakan ini diberlakukan. “Political will pemerintah sangat penting dalam memastikan kebijakan ini tidak memperburuk kondisi ekonomi,” ujarnya.

Pemerintah dan DPR akan membahas mekanisme ini lebih lanjut dalam RAPBN Penyesuaian/Perubahan jika diperlukan, guna menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan kondisi ekonomi yang ada. (alf)

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Tax Holiday untuk Dorong Investasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran untuk belanja perpajakan melalui skema tax holiday atau diskon pajak korporasi guna mendorong pertumbuhan investasi di sektor industri pionir.

Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan 2022, nilai belanja perpajakan diproyeksikan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Pada tahun 2024, anggaran ini diperkirakan mencapai Rp 5,63 triliun, naik dari Rp 5,18 triliun pada 2023. Angka tersebut kemudian diproyeksikan melonjak menjadi Rp 6,06 triliun pada 2025 dan Rp 6,54 triliun pada 2026.

“Estimasi belanja perpajakan merupakan nilai Pajak Penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah dan dilaporkan wajib pajak melalui pemanfaatan fasilitas tax holiday pada Induk SPT Tahunan PPh Badan,” tulis pemerintah dalam laporan tersebut.

Insentif ini diberikan kepada 18 kelompok industri pionir dengan skema pengurangan PPh Badan sebesar 50% hingga 100%. Jangka waktu pemberian insentif berkisar antara 5 hingga 20 tahun, tergantung pada nilai investasi, dengan investasi minimal Rp 100 miliar.

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat iklim investasi nasional. Namun, pemerintah juga menyadari potensi risiko terhadap pendapatan negara. “Pengurangan atau pembebasan PPh Badan merupakan deviasi terhadap definisi umum basis pajak PPh serta berpotensi mengurangi pendapatan negara,” lanjut laporan tersebut.

Dengan kebijakan ini, pemerintah optimistis mampu menarik investasi baru dan memperkuat daya saing sektor industri strategis di tengah persaingan global yang semakin ketat. (alf)

Ini Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak di PMK Nomor 81 Tahun 2024

IKPI, Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, khususnya di Bab IV, Pasal 15-30 menetapkan aturan baru mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak. Aturan ini mencakup persyaratan, prosedur pendaftaran, hingga penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak

1. Kewajiban Pendaftaran:

Setiap Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif (sebagai subjek pajak) dan objektif (menerima penghasilan atau melakukan pemotongan/pemungutan pajak) wajib mendaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai domisili atau tempat kedudukannya.

2. Jenis Wajib Pajak:

Aturan ini mencakup Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, dan instansi pemerintah sebagai pemotong atau pemungut pajak.

3. Penggunaan NPWP:

Untuk penduduk, NPWP adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang diaktivasi.

Untuk bukan penduduk, NPWP berbentuk nomor unik 16 digit yang dihasilkan oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak.

4. Batas Waktu Pendaftaran:

Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas wajib mendaftar maksimal 1 bulan setelah usaha dimulai.

Wajib Pajak yang menerima penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) harus mendaftar paling lambat akhir bulan berikutnya setelah menerima penghasilan tersebut.

Sanksi dan Ketentuan Tambahan

Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban pendaftaran akan dikenai sanksi sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penghapusan NPWP dapat dilakukan jika Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, seperti meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan, atau meninggalkan Indonesia untuk selamanya.

Kemudahan Administrasi

Proses pendaftaran dan perubahan data Wajib Pajak diatur agar lebih cepat dan transparan, dengan batas waktu penerbitan keputusan maksimal 1-5 hari kerja tergantung jenis permohonan.

Aturan ini bertujuan memperkuat administrasi perpajakan, mendukung integrasi data NIK sebagai NPWP, dan meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. (alf)

en_US