DJP Ingatkan Wajib Pajak Waspada Penipuan Pelaporan SPT 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap berbagai modus penipuan yang mengatasnamakan otoritas pajak, terutama di tengah musim penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2024.

Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan DJP, Tirta, mengatakan bahwa penipuan semacam ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, sehingga wajib pajak harus lebih waspada agar terhindar dari kerugian.

“Hati-hati atas upaya atau tindakan-tindakan dari para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencoba untuk memanfaatkan momentum pelaporan SPT ini dalam rangka mencari keuntungan pribadi,” ujar Tirta dikutip dari Podcast Cermati, Minggu (2/3/2025).

DJP menegaskan bahwa seluruh himbauan dan komunikasi resmi hanya akan disampaikan melalui saluran yang telah ditentukan. Email dari DJP dipastikan selalu menggunakan domain resmi @pajak.go.id. Jika wajib pajak menerima pesan melalui email atau WhatsApp yang mengatasnamakan otoritas pajak, mereka diminta untuk tidak ragu melakukan konfirmasi ke DJP.

Untuk memastikan keabsahan informasi, wajib pajak dapat menghubungi DJP melalui telepon Kring Pajak 1500200, akun X @DitjenPajakRI atau @kring_pajak, serta fitur Live Chat di situs www.pajak.go.id.

“Banyak aktivitas phishing yang mengatasnamakan DJP dengan tujuan mengambil keuntungan pribadi. Maka para wajib pajak jangan ragu untuk mengkonfirmasi jika menerima pesan singkat, WhatsApp, email, atau telepon yang mengatasnamakan petugas pajak,” tambah Tirta.

Sebagai informasi, sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sementara untuk wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025. Wajib pajak dapat melaporkan SPT secara online melalui e-filing atau e-form di DJP Online.

Meskipun sistem perpajakan terbaru, Coretax, telah tersedia, penyampaian SPT Tahunan 2024 masih menggunakan metode yang lama. (alf)

Target Penerimaan Pajak 2025 Berat, Pemerintah Diminta Lakukan Perbaikan

IKPI, Jakarta: Target penerimaan pajak tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.189,3 triliun diperkirakan sulit dicapai, mengingat berbagai tantangan yang dihadapi. Meski demikian, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi, mengajak masyarakat dan para pengamat ekonomi untuk tetap optimis.

Menurut Rijadh, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi guna mencapai target penerimaan pajak, antara lain dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta perbaikan administrasi perpajakan. “Penting bagi kita semua untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dengan penerimaan yang kuat, pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya baru-baru ini.

Namun, ia menyoroti beberapa faktor yang dapat menghambat penerimaan pajak di awal tahun 2025. Salah satunya adalah implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax). Meskipun Coretax bertujuan memperbaiki tax gap dan manajemen basis data perpajakan, sistem ini masih menghadapi berbagai kendala sejak diluncurkan.

Rijadh menilai, kapasitas dan arsitektur sistem Coretax belum siap untuk menangani skalabilitas tinggi, sehingga rentan mengalami gangguan saat volume data melonjak. “Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani pemrosesan data dalam jumlah besar serta kompleksitas transaksi perpajakan,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, ia menyebut MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang telah digunakan sejak 2007 tanpa kendala berarti. “Skala pengguna antara Indonesia dan Singapura memang berbeda, sehingga perlu perbaikan agar Coretax bisa lebih stabil dan informatif seperti MyTax IRAS,” tambahnya.

Selain itu, Rijadh juga mengkhawatirkan dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap inflasi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Namun, ia melihat bahwa penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 dapat memberikan kemudahan dalam perhitungan pajak karyawan serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Meskipun saat ini terlalu dini untuk menilai dampak penurunan penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional, Rijadh memperingatkan bahwa kegagalan mencapai target pajak bisa berdampak serius. “Konsekuensinya bisa berupa penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang melebar, meningkatnya rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, menurunnya daya beli masyarakat, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” tuturnya.

Sebagai solusi, Rijadh mengusulkan beberapa sumber penerimaan pajak alternatif. Pertama, pajak kekayaan yang dikenakan pada nilai aset seseorang, yang di beberapa negara diterapkan dengan tarif di bawah 3,5%. Kedua, pajak produksi batu bara berdasarkan volume produksi. Ketiga, windfall tax atau pajak atas keuntungan tidak terduga yang diperoleh perusahaan akibat lonjakan harga komoditas, seperti yang diterapkan Inggris pada perusahaan minyak dan gas sebesar 25% pada 2022.

“Tentu semua alternatif ini memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will yang kuat,” ujarnya. (alf)

Pajak Minimum Global: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia

Penerapan pajak minimum global (global minimum tax) yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan langkah monumental dalam reformasi perpajakan internasional. Aturan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNEs) dengan menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15%. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, tentu akan merasakan dampak dari implementasi aturan ini.

Dari sudut pandang praktisi perpajakan, terdapat sejumlah dampak positif dan negatif yang perlu dicermati. Salah satu manfaat utama dari pajak minimum global adalah pengurangan praktik penghindaran pajak.

Sebelumnya, banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan yurisdiksi dengan tarif pajak rendah untuk mengalihkan laba (profit shifting). Dengan adanya pajak minimum global, celah untuk melakukan strategi ini semakin sempit, sehingga potensi penerimaan pajak bagi negara seperti Indonesia meningkat.

Penerapan pajak minimum global berpotensi meningkatkan penerimaan pajak Indonesia, terutama dari perusahaan multinasional yang sebelumnya membayar pajak rendah di negara lain. Dengan mekanisme “top-up tax”, Indonesia berpeluang memungut pajak tambahan dari entitas yang sebelumnya mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah dari 15%.

Regulasi ini membantu menciptakan persaingan usaha yang lebih adil antara perusahaan domestik dan perusahaan multinasional. Sebelumnya, perusahaan lokal kerap dirugikan karena harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan MNEs yang bisa menghindari pajak dengan berbagai skema agresif. Dengan aturan baru, persaingan usaha menjadi lebih setara.

Bagi praktisi perpajakan, adanya standar global mengenai tarif pajak minimum dapat meningkatkan transparansi dan kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi ketidakpastian bagi investor yang ingin menjalankan bisnisnya di Indonesia tanpa khawatir terhadap perubahan kebijakan perpajakan yang mendadak.

Meskipun pajak minimum global bertujuan untuk menciptakan keadilan pajak, implementasi aturan ini dapat membuat Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Negara-negara yang selama ini menawarkan insentif pajak untuk menarik investasi harus meninjau kembali kebijakan mereka.

Jika insentif tersebut tidak lagi efektif, investor bisa mencari negara lain dengan faktor produksi yang lebih murah atau keuntungan lain di luar pajak.

Indonesia memiliki berbagai skema insentif pajak, seperti pembebasan atau pengurangan pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan insentif untuk industri tertentu. Jika tarif pajak minimum harus diterapkan, maka efektivitas insentif-insentif ini akan dihilangkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada sektor-sektor yang bergantung pada kebijakan fiskal sebagai daya tarik investasi.

Selain itu, pemerintah juga memberikan pengurangan dalam menghitung global income sebagai dasar penghitungan pajak minimum global. Adapun, persentase biaya gaji sebagai pengurang SBIE di th 2023 sebesar 10% dan sampai dengan tahun 2033 sebesar 5%. Sedangkan persentase harta berwujud sebagai pengurang SBIE di tahun 2023 sebesar Rp 8% dan hingga tahun 2033 sebesar 5%.

Artinya, Substance Based Income Exclusion yang selanjutnya disingkat SBIE adalah pengecualian pengenaan pajak tambahan atas Laba GloBE Bersih yang dihitung dengan formula tertentu. Sedangkan SBIE merupakan jumlah kumulatif dari pengecualian

berdasarkan biaya gaji dan pengecualian berdasarkan jumlah tercatat harta berwujud untuk setiap Entitas Konstituen yang bukan merupakan entitas investasi di negara atau yurisdiksi tersebut.

Dengan demikian, pajak minimum global merupakan kebijakan yang kompleks dan membutuhkan kesiapan regulasi di tingkat domestik. Implementasinya akan memerlukan perubahan signifikan dalam peraturan perpajakan Indonesia, termasuk harmonisasi dengan aturan OECD serta penyusunan kebijakan teknis seperti perhitungan “top-up tax”. Hal ini bisa menambah beban administrasi bagi otoritas pajak dan wajib pajak.

Dalam dunia perpajakan internasional, setiap perubahan kebijakan dapat memicu reaksi dari negara lain. Beberapa negara yang selama ini menjadi tujuan pengalihan laba bisa mengambil langkah retaliasi atau menciptakan skema baru yang tetap memberikan keuntungan bagi MNEs. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini bisa mengurangi efektivitas dari kebijakan pajak minimum global.

Dari perspektif praktisi perpajakan, penerapan pajak minimum global di Indonesia memiliki sisi positif dan negatif yang harus diperhitungkan dengan cermat. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak, mengurangi praktik penghindaran pajak, dan menciptakan iklim persaingan yang lebih adil. Namun, di sisi lain, ada tantangan besar terkait daya saing investasi, efektivitas insentif pajak, serta kompleksitas implementasi regulasi baru.

Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif dari aturan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menyesuaikan kebijakan insentif pajak agar tetap menarik bagi investor tanpa melanggar ketentuan global.

Selain itu, kesiapan regulasi dan sistem administrasi perpajakan juga menjadi kunci dalam menghadapi perubahan ini. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat mengambil manfaat maksimal dari kebijakan pajak minimum global sambil tetap menjaga daya saing ekonominya di kancah internasional.

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat

Suryani

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Pemerintah Beri Diskon Tarif Tol 20% untuk Dukung Kelancaran Arus Mudik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan bersama kementerian/lembaga terkait telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung kelancaran arus mudik Lebaran tahun ini. Berbagai langkah telah diterapkan guna memastikan perjalanan masyarakat menjadi lebih aman, nyaman, dan lancar.

Salah satu kebijakan utama adalah pemberian insentif pajak dalam bentuk diskon tarif jalan tol hingga 20% di berbagai ruas jalan utama. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi biaya perjalanan darat bagi masyarakat yang melakukan mudik. Selain itu, pemerintah juga memberikan tiket mudik gratis bagi 100 ribu orang melalui program bus, kapal laut, dan kereta api.

Pemerintah juga meningkatkan kapasitas transportasi umum dengan menambah frekuensi keberangkatan moda transportasi seperti pesawat, kapal, dan kereta api. Langkah ini bertujuan agar masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam perjalanan mudik mereka.

Untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan pemudik, pemerintah mendirikan posko keamanan, keselamatan, dan kesehatan di titik-titik strategis. Selain itu, sistem manajemen lalu lintas berbasis data dan kecerdasan buatan (AI) juga diterapkan untuk melakukan rekayasa lalu lintas dalam rangka mengurai kepadatan saat puncak arus mudik dan arus balik.

“Kebijakan lainnya yang diterapkan adalah penerapan sistem kerja fleksibel (Flexible Work Arrangement) yang dimulai sejak 24 Maret. Kebijakan ini bertujuan untuk meratakan arus mudik dan mengurangi konsentrasi kepadatan pada puncak perjalanan, seperti saat Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Nyepi,” kata Menko Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono, di Jakarta, Sabtu (1/3/2025).

Selain itu lanjut Agus, pemerintah juga menertibkan truk Over Dimension Over Load (ODOL) guna mencegah kecelakaan akibat kendaraan yang kelebihan muatan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan keselamatan pengguna jalan selama periode mudik Lebaran.

Semua kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah sesuai arahan Presiden Prabowo untuk menjadikan perjalanan mudik tahun ini lebih terjangkau, lancar, dan menyenangkan bagi seluruh masyarakat. Dengan berbagai insentif dan dukungan yang diberikan, diharapkan masyarakat dapat menjalankan ibadah puasa dan merayakan Lebaran bersama keluarga dengan lebih aman dan nyaman. (alf)

 

 

Syarat dan Prosedur Pengajuan APA Menurut PMK 172/2023: 

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 yang mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. Salah satu aspek utama dalam peraturan ini adalah pengaturan mengenai Advance Pricing Agreement (APA).

APA merupakan perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau otoritas pajak mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Perjanjian ini bertujuan untuk menyepakati kriteria dalam penentuan harga transfer serta menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Syarat dan Prosedur Pengajuan APA 

Dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023, pemerintah menetapkan berbagai syarat dan prosedur yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam negeri yang ingin mengajukan APA. Berikut adalah ketentuan utama yang harus dipenuhi:

• Wajib Pajak harus telah memenuhi kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh badan selama tiga tahun berturut-turut sebelum mengajukan permohonan.

• Wajib Pajak harus memiliki dan menyimpan dokumen penentuan transfer pricing berupa dokumen induk dan dokumen lokal selama tiga tahun berturut-turut sebelum pengajuan APA.

• Wajib Pajak tidak sedang dalam proses pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, persidangan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan.

• Transaksi afiliasi yang diajukan dalam permohonan APA harus sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh badan.

• Penentuan transfer pricing dalam permohonan APA harus berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) serta tidak boleh mengakibatkan laba operasi lebih kecil dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh badan.

• Permohonan APA disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.

• Permohonan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan formulir yang sesuai dengan Lampiran huruf L PMK Nomor 172 Tahun 2023.

• Permohonan harus ditandatangani oleh pengurus yang tercantum dalam akta pendirian atau perubahan.

• Permohonan harus diajukan dalam periode 12 bulan hingga 6 bulan sebelum dimulainya periode APA.

• Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan kesiapan melengkapi seluruh dokumen dan melaksanakan kesepakatan dalam APA.

• Penyampaian permohonan dapat dilakukan secara langsung atau melalui media elektronik.

• Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan APA.

Dengan diterbitkannya PMK Nomor 172 Tahun 2023, diharapkan Wajib Pajak dapat memperoleh kepastian hukum dalam penerapan harga transfer serta menghindari potensi sengketa pajak di kemudian hari. Peraturan ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak di Indonesia. (alf)

Ini Kriteria Wajib Pajak yang Diperiksa Berdasarkan PMK 15/2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak yang mulai berlaku pada 14 Februari 2025. Regulasi ini mempertegas kriteria Wajib Pajak yang akan diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka menguji kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan.

Kriteria Wajib Pajak yang Akan Diperiksa

Berdasarkan PMK Nomor 15 Tahun 2025, berikut adalah beberapa kategori Wajib Pajak yang akan diperiksa DJP:

• Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), sesuai Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

• Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan atau masa yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan restitusi.

• Wajib Pajak yang melaporkan rugi dalam SPT tahunannya.

• Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

• Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan.

• Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap.

• Wajib Pajak yang mengalami penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia secara permanen.

• Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak tetapi mengajukan pengembalian pajak masukan.

• Wajib Pajak yang dipilih untuk diperiksa berdasarkan risiko kepatuhan pajak.

• Pihak lain yang tidak melaksanakan kewajiban pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A ayat (1) UU KUP.

• Terdapat data konkret yang menunjukkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar.

• Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT Objek Pajak meskipun telah ditegur secara tertulis.

• Terdapat indikasi bahwa jumlah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang lebih besar dari yang dilaporkan dalam SPT Objek Pajak berdasarkan hasil analisis dan penilaian lapangan.

Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan DJP untuk menguji kepatuhan dapat mencakup satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik dalam satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, maupun tahun pajak penuh. Jenis pajak yang akan diperiksa meliputi:

• Pajak Penghasilan (PPh)

• Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

• Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

• Bea Meterai

• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

• Pajak penjualan

• Pajak karbon

• Pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya aturan ini, DJP menegaskan komitmennya untuk meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak di Indonesia. Wajib Pajak diimbau untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan guna menghindari pemeriksaan yang dapat berujung pada sanksi atau denda. (alf)

Pemerintah Penang Perpanjang Pembebasan Denda Pajak Tanah dan Parsel hingga 31 Mei 2025

IKPI. Jakarta: Pemerintah Negara Bagian Penang telah mengumumkan perpanjangan pembebasan 100 persen denda tunggakan pajak tanah dan parsel hingga 31 Mei 2025. Insentif ini berlaku bagi seluruh pemilik tanah dan parsel yang melunasi kewajibannya sebelum tenggat waktu yang telah ditentukan.

Dalam pernyataan yang dirilis oleh Kantor Kepala Menteri Penang, keputusan untuk memperpanjang masa pembebasan yang sebelumnya berakhir pada 2 Maret 2025 telah disetujui dalam rapat Dewan Eksekutif Negara (MMK) awal pekan ini.

Kepala Menteri Penang, Chow Kon Yeow, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku bagi mereka yang memilih untuk membayar secara angsuran. Selain itu, insentif ini tidak berlaku surut dan tidak dapat dinikmati oleh pemilik tanah atau parsel yang telah melunasi tunggakan mereka sebelum periode pembebasan ini.

Chow juga mengungkapkan bahwa sejak 2 Januari hingga 21 Februari 2025, Kantor Tanah dan Galian Negara Penang mencatat peningkatan 14 persen dalam jumlah pembayar pajak tanah dan parsel, dengan tambahan 17.168 akun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Selama periode ini, pendapatan dari pembayaran pajak meningkat sebesar 25 persen, mencapai 4,4 juta Ringgit Malaysia (sekitar Rp14,6 miliar). Total pembebasan denda pajak tanah dan parsel juga meningkat 46 persen, setara dengan 88.637 Ringgit Malaysia (sekitar Rp294 juta).

Namun, Chow juga menyoroti bahwa sebanyak 86.337 pemilik parsel strata masih memiliki tunggakan pajak sebesar 13,9 juta Ringgit Malaysia (sekitar Rp46 miliar). Distrik Timur Laut mencatat jumlah penunggak terbanyak, dengan 37.400 pemilik parsel yang masih belum melunasi pembayaran.

Kebijakan pembebasan denda ini berlaku secara otomatis bagi seluruh pembayar pajak tanah dan parsel, termasuk mereka yang telah menerima Surat Pemberitahuan Denda 6A (untuk pajak tanah) atau Surat Pemberitahuan Denda 11 (untuk pajak parsel).

Sebelumnya, pada 26 Desember 2024, MMK telah menyetujui pembebasan penuh denda tunggakan pajak tanah dan parsel bagi pemilik yang melunasi pajak antara 2 Januari hingga 28 Februari 2025.

Selain itu, rapat tersebut juga menyepakati pemberian pengurangan 50 persen denda tunggakan untuk pembayaran yang dilakukan antara 1 Maret dan 31 Mei 2025.

Pemerintah Penang tetap mengingatkan pentingnya membayar pajak tepat waktu untuk menghindari permasalahan di masa depan. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui loket Kantor Tanah dan Galian Penang atau secara daring melalui portal PgLAND dalam satu kali pembayaran penuh.

Apa Itu Pajak Parsel di Malaysia?

Dalam konteks ini, parsel mengacu pada unit properti individu dalam sebuah bangunan yang terbagi menjadi beberapa unit, seperti apartemen, kondominium, atau properti strata lainnya. Di Malaysia, pemilik unit strata ini wajib membayar cukai parsel atau parcel rent, yaitu pajak yang dikenakan kepada setiap unit properti terpisah dalam satu bangunan yang sama. Pajak ini berbeda dengan cukai tanah atau quit rent, yang merupakan pajak tahunan untuk tanah yang dimiliki, baik untuk tanah kosong maupun properti yang sudah dibangun.

Dengan demikian, kebijakan pembebasan denda tunggakan pajak ini ditujukan bagi pemilik tanah dan parsel yang belum melunasi kewajiban mereka pada waktu yang ditentukan. Namun, perlu dicatat bahwa pembebasan ini hanya berlaku bagi mereka yang melakukan pembayaran penuh dalam satu kali transaksi dan tidak memilih opsi pembayaran secara angsuran. (alf)

Program Mudik Gratis 2025 Dukung Insentif PPN, Pemerintah Siapkan 100 Ribu Kuota

IKPI, Jakarta: Selain memberikan insentif PPN untuk tiket pesawat ekonomi domestik, pemerintah juga menyiapkan program mudik gratis guna meringankan beban masyarakat yang ingin pulang kampung saat Idulfitri 2025.

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan bahwa Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN akan menyediakan kuota mudik gratis bagi 100 ribu orang dengan menggunakan moda transportasi bus, kereta api, dan kapal laut.

“Ini juga mudah-mudahan bisa sedikit membantu masyarakat yang sudah mempersiapkan diri untuk pulang kampung,” kata AHY.

Selain itu, pemerintah juga memastikan kesiapan infrastruktur dan keamanan selama periode mudik. AHY menegaskan bahwa jalan tol maupun non-tol serta fasilitas pendukung transportasi akan dalam kondisi optimal. Posko keamanan, keselamatan, dan kesehatan juga disiapkan di berbagai titik rawan kecelakaan maupun bencana guna mendukung kelancaran arus mudik.

Dalam rangka pelaksanaan program mudik gratis ini, pendaftaran akan dibuka secara daring maupun luring melalui posko-posko yang ditentukan pemerintah. Calon pemudik diharapkan mendaftar lebih awal karena kuota terbatas dan diutamakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kementerian Perhubungan juga memastikan bahwa moda transportasi yang digunakan dalam program ini akan memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan bagi para pemudik.

Selain itu, pemerintah juga mengimbau agar masyarakat tetap memperhatikan keselamatan selama perjalanan, baik yang mengikuti program mudik gratis maupun yang menggunakan kendaraan pribadi. Diharapkan dengan adanya program ini, angka kecelakaan lalu lintas akibat kepadatan pemudik di jalur darat dapat diminimalisir.

Dengan adanya program ini, diharapkan masyarakat yang ingin merayakan Lebaran bersama keluarga dapat terbantu, sekaligus mengurangi beban finansial selama perjalanan mudik 2025. Pemerintah juga menegaskan akan terus berupaya menghadirkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan kelancaran mobilitas selama musim libur Idulfitri. (alf)

Pemerintah Tanggung 6% PPN untuk Tiket Pesawat Ekonomi Domestik

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tiket pesawat kelas ekonomi domestik guna mendukung kelancaran arus mudik Lebaran 2025. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Sabtu (1/3/2025) dan mulai berlaku untuk pembelian tiket sejak 1 Maret 2025.

Insentif ini berupa penanggungan sebagian PPN oleh pemerintah sebesar 6% dari total tarif pajak. Dengan demikian, penumpang hanya perlu membayar PPN sebesar 5%. “PMK ini mengenai pajak pertambahan nilai yang ditanggung pemerintah sebagian untuk tiket ekonomi domestik bagi masyarakat kita yang akan melakukan traveling,” kata Sri Mulyani di Bandara Soekarno Hatta, Banten.

Kebijakan ini berlaku untuk tiket dengan jadwal penerbangan pada periode 24 Maret 2025 hingga 7 April 2025, yakni seminggu sebelum dan sesudah Idulfitri. Dengan adanya insentif ini, harga tiket pesawat ekonomi domestik diperkirakan turun sekitar 13 hingga 14 %.

Menurut Sri Mulyani, langkah ini diambil untuk memastikan masyarakat dapat menikmati perjalanan mudik dengan harga lebih terjangkau, sekaligus menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih dalam pemulihan pascapandemi.

Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa insentif ini hanya berlaku untuk pembelian tiket mulai 1 Maret 2025. “Bagi yang sudah terlanjur beli mungkin enggak kena ya karena kemarin sudah beli, tapi tanggal 1 Maret masih bisa,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa pemerintah akan terus memantau efektivitas kebijakan ini dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut jika diperlukan.

Selain insentif PPN tiket pesawat, pemerintah juga akan melakukan koordinasi dengan maskapai penerbangan untuk memastikan ketersediaan kursi dan penerapan harga yang wajar selama periode mudik. Pemerintah juga mendorong perusahaan penerbangan untuk menambah frekuensi penerbangan di rute-rute dengan permintaan tinggi guna menghindari lonjakan harga yang signifikan.

Pemerintah berharap kebijakan ini dapat membantu masyarakat dalam merencanakan perjalanan mudik dengan lebih terjangkau, sekaligus menjaga stabilitas harga tiket pesawat selama musim libur Lebaran 2025. (alf)

GovTech Diyakini Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa implementasi Government Technology (GovTech) bukan hanya sebatas inovasi di bidang teknologi, tetapi juga memiliki dampak luas, terutama dalam meningkatkan kepatuhan pajak.

Menurutnya, salah satu tantangan terbesar dalam meningkatkan penerimaan negara adalah kepatuhan pajak, dan sistem GovTech yang terintegrasi, berbasis data, serta otomatisasi dapat membantu mengatasi permasalahan ini.

“Dengan GovTech, kita dapat membangun sistem yang lebih transparan, akurat, dan berbasis data, sehingga potensi penerimaan pajak dapat ditingkatkan secara signifikan,” ujar Luhut dalam keterangan resminya, Jumat (28/2/2025).

Peningkatan penerimaan negara yang optimal memungkinkan pemerintah mendanai berbagai program pembangunan nasional, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga layanan kesehatan. Hal ini selaras dengan tujuan pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

“Saya yakin bahwa GovTech bukan sekadar soal teknologi, tetapi tentang bagaimana kita membangun pemerintahan yang lebih efisien, inklusif, dan berfokus pada hasil nyata,” ujarnya.

Dalam rangka implementasi GovTech, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengadakan pertemuan dengan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Pertemuan ini membahas langkah-langkah percepatan transformasi digital guna meningkatkan ketepatan kebijakan, efisiensi layanan publik, serta optimalisasi penerimaan negara.

Luhut juga menyoroti potensi besar Bank Indonesia dalam memperkaya Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) melalui data transaksi yang dikelola oleh sistem keuangan digital. Pemanfaatan data ini diharapkan dapat meningkatkan ketepatan kebijakan, khususnya dalam distribusi subsidi dan bantuan sosial.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah berharap dapat menciptakan tata kelola yang lebih efisien serta mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (alf)

en_US