DJP Pastikan Pembelian Hewan Kurban Bebas PPN, Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Di Hari Raya Iduladha, antusiasme masyarakat dalam membeli hewan kurban terus meningkat. Pasar hewan mulai dipadati pembeli yang berburu sapi, kambing, maupun domba untuk keperluan kurban. Di tengah euforia itu, muncul pertanyaan: apakah pembelian hewan kurban dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan bahwa transaksi jual beli hewan kurban tidak dikenai PPN. Kabar ini disampaikan melalui unggahan di akun resmi Instagram @ditjenpajakri pada Rabu (4/6/2025).

“Impor dan/atau penyerahan hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan sejenisnya diberikan fasilitas PPN dibebaskan,” tulis DJP dalam unggahan tersebut.

Namun, fasilitas bebas pajak ini tidak serta-merta berlaku untuk semua jenis hewan. Ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi agar pembelian hewan kurban benar-benar terbebas dari pungutan PPN.

Lima Syarat Hewan Kurban Bebas PPN:

1. Kondisi Sehat: Hewan harus dalam keadaan sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit.

2. Kemampuan Reproduksi: Harus memiliki organ reproduksi yang normal dan berfungsi baik.

3. Usia: Umur hewan berada di kisaran 2 hingga 4 tahun.

4. Bebas Cacat: Tidak mengalami cacat fisik maupun kelainan genetik.

5. Sertifikat Resmi: Wajib dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan dari otoritas veteriner. (alf)

 

 

Bagi hewan ternak impor, sertifikat kesehatan dan asal usul harus dikeluarkan oleh lembaga resmi di negara asal. Sedangkan untuk ternak dalam negeri, dibutuhkan sertifikat dari otoritas veteriner di kabupaten/kota atau provinsi asal hewan tersebut.

 

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong kemudahan bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah kurban, sekaligus menjaga standar kesehatan hewan yang beredar di pasaran. Jadi, pastikan hewan kurban Anda memenuhi syarat agar transaksi tetap sah dan bebas dari pungutan PPN! (alf)

 

 

 

 

China Perluas Jangkauan Pajak Global, Incar Warga Beraset Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Pemerintah China memperketat pengawasan terhadap penghasilan warga negaranya yang disimpan di luar negeri. Setelah sebelumnya menyasar kalangan miliarder, kini otoritas pajak mulai mengincar individu dengan aset yang lebih kecil tanda bahwa kampanye pajak global Negeri Tirai Bambu memasuki babak baru.

Menurut sejumlah sumber yang mengetahui kebijakan tersebut, pemerintah akan lebih aktif memeriksa berbagai jenis pendapatan luar negeri, mulai dari dividen, keuntungan investasi hingga saham kompensasi dari perusahaan asing. Langkah ini dilakukan di tengah tekanan fiskal yang meningkat, menyusul membengkaknya defisit anggaran dan menurunnya pendapatan negara.

“Fokus utama kini bergeser dari individu ultra-kaya ke kelompok beraset menengah, termasuk mereka yang memiliki investasi di saham-saham AS dan Hong Kong,” ungkap salah satu sumber seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025).

Penerapan pajak atas keuntungan investasi dapat mencapai 20%, dan kantor-kantor pajak setempat telah mencatat lonjakan permintaan konsultasi dari warga dengan aset di bawah US$1 juta sebuah lonjakan signifikan dibandingkan tahun lalu, saat fokus penegakan hukum lebih diarahkan kepada individu dengan kekayaan lebih dari US$10 juta.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk menambal kekurangan kas negara. Pada empat bulan pertama tahun ini, pendapatan gabungan dua buku fiskal utama China turun 1,3% secara tahunan, sementara pengeluaran negara naik 7,2%. Hasilnya, defisit anggaran melonjak lebih dari 50% dan melampaui US$360 miliar rekor tertinggi sepanjang sejarah untuk periode tersebut.

Pemerintah daerah, yang sebelumnya banyak bergantung pada penjualan tanah dan utang untuk membiayai proyek, kini menghadapi tekanan untuk mencari sumber penerimaan baru. Dalam beberapa kasus, otoritas setempat telah mengidentifikasi wajib pajak yang tidak melaporkan penghasilan luar negeri, dengan total denda dan tunggakan yang harus dibayar kembali mencapai puluhan ribu dolar.

Upaya ini juga mendapat dorongan dari penerapan Common Reporting Standard (CRS) sejak 2018 sistem internasional yang memungkinkan pertukaran otomatis informasi finansial lintas negara. Berkat sistem ini, otoritas pajak China kini bisa mengakses data rekening warga di hampir 150 yurisdiksi.

Sementara itu, Kantor Administrasi Pajak Negara masih bungkam atas laporan ini. Namun sejumlah biro pajak daerah seperti Beijing, Shanghai, dan Zhejiang sudah mengimbau masyarakat untuk menyerahkan laporan pendapatan luar negeri sebelum tenggat 30 Juni akhir masa pelaporan pajak tahun fiskal 2024.

Di tengah gejolak ekonomi dan ketidakpastian kebijakan, arus investasi warga China ke luar negeri terus mengalir. Tahun ini saja, lebih dari US$83 miliar telah dikucurkan investor daratan ke pasar saham Hong Kong dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dengan ambisi Presiden Xi Jinping untuk menciptakan “kemakmuran bersama”, serta proyeksi bahwa aset investasi rumah tangga dapat mencapai US$80 triliun pada 2030, maka pajak atas pendapatan global kemungkinan besar akan menjadi salah satu pilar kebijakan fiskal China ke depan. (alf)

 

RUU Pajak Trump Dinilai Hambat Pertumbuhan Energi Bersih AS

IKPI, Jakarta: Masa depan energi bersih Amerika Serikat menghadapi tantangan besar. Bloomberg New Energy Finance (BNEF) memperkirakan bahwa kebijakan fiskal terbaru yang diajukan pemerintahan Presiden Donald Trump akan memangkas laju pertumbuhan energi surya, angin, dan sistem penyimpanan energi hingga 10% pada tahun 2035.

Penurunan ini terkait erat dengan isi rancangan undang-undang pajak dan belanja besar-besaran yang disebut One Big Beautiful Bill. Versi awal RUU tersebut yang telah lolos di Dewan Perwakilan Rakyat kini tengah dibahas di Senat, dan isinya memicu kekhawatiran luas di kalangan pegiat energi terbarukan.

Menurut analisis BNEF, sektor tenaga angin akan terkena pukulan terberat dengan proyeksi penyusutan kapasitas hingga 35%, bahkan tidak ada lagi proyek angin lepas pantai yang direncanakan setelah 2028. Sementara itu, sektor surya dan penyimpanan energi masing-masing diperkirakan turun 5% dan 7%.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan emisi karbon dari sektor kelistrikan AS sebesar 3,8 juta ton pada 2050. Hal ini terutama disebabkan oleh penghapusan cepat insentif pajak untuk proyek listrik bersih non-nuklir yang sebelumnya diberikan melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi pada masa pemerintahan Joe Biden.

“RUU ini membatasi akses terhadap kredit pajak hanya untuk proyek yang memulai pembangunan dalam waktu 60 hari setelah undang-undang berlaku, dan harus mulai beroperasi sebelum akhir 2028,” jelas Derrick Flakoll, analis kebijakan senior di BNEF seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (6/6/2025)

Ia menambahkan bahwa kredit 30% untuk sistem surya perumahan juga akan berakhir pada akhir tahun ini, menimbulkan risiko penurunan adopsi energi surya oleh rumah tangga.

Flakoll menekankan bahwa energi terbarukan sejatinya lebih cepat diintegrasikan ke jaringan listrik dibandingkan pembangkit baru berbasis gas, yang saat ini menghadapi kelangkaan turbin dan hambatan investasi.

“Tanpa keringanan pajak, biaya modal untuk proyek energi bersih naik signifikan. Dan itu berarti konsumen akan menanggung harga listrik yang lebih tinggi, baik rumah tangga maupun pelaku bisnis,” tambahnya.

Namun, di balik pesimisme jangka pendek, BNEF melihat harapan jangka panjang. Menjelang 2050, permintaan listrik diprediksi melonjak karena pertumbuhan pusat data dan kendaraan listrik, yang pada akhirnya mendorong kembali investasi di energi terbarukan. Penurunan kapasitas pada tahun tersebut hanya diperkirakan sebesar 1%.

Meski demikian, nasib industri energi bersih AS kini sangat bergantung pada pembahasan lanjutan di Senat. Banyak pihak berharap versi final RUU akan mengembalikan insentif penting bagi transisi energi yang berkelanjutan. (alf)

 

 

 

 

 

Tarif Bunga Sanksi Pajak Juni 2025 Diperbarui, Pengusaha Wajib Waspada!

IKPI, Jakarta: Transformasi digital di sektor perpajakan tak hanya mempercepat proses pelaporan, namun juga membawa pembaruan signifikan pada aspek penegakan kepatuhan. Salah satu yang krusial dan perlu dicermati oleh pelaku usaha adalah penyesuaian tarif bunga sanksi pajak yang ditetapkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Per 1 Juni 2025, DJP kembali menetapkan tarif bunga administrasi untuk berbagai pelanggaran kewajiban perpajakan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 27/KM.10/2025 dan berlaku hingga 30 Juni 2025.

Apa Itu Bunga Sanksi Pajak?

Bunga sanksi pajak adalah denda administratif berupa bunga yang dikenakan kepada Wajib Pajak atas pelanggaran seperti keterlambatan pembayaran, penyampaian SPT, hingga hasil koreksi fiskal DJP. Selain itu, bunga juga dikenakan bila permohonan pengembalian pajak ditolak, atau dalam proses keberatan dan banding yang tidak dikabulkan.

Uniknya, tarif bunga ini bersifat variabel—dihitung per bulan dan ditetapkan berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah margin tertentu sesuai peraturan Menteri Keuangan. Artinya, tarif bisa berubah setiap bulan.

Rincian Tarif Bunga Pajak Juni 2025

Berikut ini adalah daftar tarif bunga sanksi administrasi yang berlaku sepanjang Juni 2025:

Dasar Aturan dan Mekanisme Penghitungan

Ketentuan ini bersandar pada:

  • UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
  • PMK No. 18/PMK.03/2021
  • KMK No. 27/KM.10/2025

Tarif dihitung berdasarkan bulan kalender, bukan hari kerja. Bila keterlambatan tidak genap sebulan, maka pengenaan bunga dilakukan secara proporsional.

Dampaknya bagi Dunia Usaha

Bagi perusahaan, pemahaman terhadap tarif bunga ini penting untuk:

  • Mengantisipasi beban bunga dari tunggakan atau keterlambatan pembayaran
  • Mengelola proses keberatan atau banding secara cermat
  • Merancang arus kas yang lebih akurat agar tidak terganggu oleh denda administratif

Dengan kata lain, update ini bukan sekadar regulasi teknis, tapi bagian dari strategi pengelolaan risiko finansial perusahaan.

Pantau Secara Berkala, Hindari Risiko Tak Perlu

Karena tarif bunga bisa berubah tiap awal bulan, DJP menganjurkan para Wajib Pajak untuk rutin mengecek informasi resmi melalui kanal digital DJP. Kesadaran dan kesiapan menghadapi fluktuasi tarif akan membantu pengusaha menjaga likuiditas dan menghindari kerugian yang seharusnya bisa dicegah. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Uji Materi UU Pajak di MK: Pemerintah Tegaskan Pajak Berdasarkan Konstitusi 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan perkara pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), Kamis (5/6/2025). Sidang yang berlangsung di ruang utama MK ini mengadili perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh dua entitas usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai.

Dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lainnya, sidang menghadirkan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo sebagai ahli dari pemerintah. Dalam paparannya, Yustinus menegaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia dibangun di atas fondasi konstitusional yang kokoh, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.

“Pemungutan pajak yang bersifat memaksa harus diatur melalui undang-undang. Hal ini demi menjamin keadilan dan menghindari potensi penyalahgunaan kewenangan,” jelas Yustinus. Ia menambahkan bahwa aturan turunan seperti tarif, subjek, dan objek pajak harus merujuk pada undang-undang sebagai dasar legalitas utama.

Yustinus juga menanggapi keberatan pemohon terkait definisi penghasilan dan objek pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Menurutnya, ketentuan tersebut merujuk pada teori Schanz-Haig-Simons yang mengartikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis, tanpa memperhitungkan sumber dan penggunaannya.

“Definisi luas ini justru dimaksudkan untuk menjamin keadilan horizontal—yakni agar setiap wajib pajak dengan penghasilan setara menanggung beban yang sama,” ujarnya.

Namun, ia juga menekankan bahwa aturan tersebut tidak bersifat mutlak karena sejumlah jenis penghasilan tertentu seperti hibah, warisan, dan sumbangan telah dikecualikan dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

Dalam sidang yang sama, isu Harga Eceran Tertinggi (HET) turut mencuat. Yustinus menjelaskan bahwa HET merupakan bagian dari kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah dan bukan dasar penetapan objek pajak. “HET adalah instrumen stabilisasi dan bukan fiskal. Tujuannya mengatur agar harga barang strategis seperti LPG 3 kg tetap terjangkau,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa peraturan daerah (Perda) yang mengatur HET tidak dimaksudkan untuk memperluas cakupan objek pajak. “HET dan pemajakan margin laba adalah dua ranah yang berbeda. Perda soal HET bukan dasar pungutan pajak, tetapi pengendalian harga di daerah,” kata Yustinus.

Sementara itu, dalam sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya pada 4 Maret 2025, para pemohon mengungkapkan bahwa mereka mengalami kerugian konstitusional akibat ketidakpastian hukum dalam penerapan pasal-pasal pajak yang diuji.

Mereka menilai bahwa pengenaan pajak atas biaya transportasi yang ditetapkan oleh kepala daerah—dan bukan melalui undang-undang—telah menimbulkan kerugian yang nyata, terutama dalam distribusi gas LPG 3 kg.

Pemohon menuntut agar Mahkamah menyatakan frasa “… diterima atau diperoleh Wajib Pajak …” dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang secara langsung diperoleh melalui perbuatan berdasarkan undang-undang.

Dengan sorotan terhadap ketidaksinkronan antara kebijakan fiskal dan aturan daerah, perkara ini menjadi salah satu uji materi strategis yang menguji batas konstitusional dalam sistem perpajakan nasional.

Putusan akhir MK atas perkara ini akan menjadi preseden penting bagi harmonisasi antara regulasi perpajakan dan kebijakan pengendalian harga, terutama dalam sektor barang kebutuhan pokok. (alf)

 

 

Mulai 6 Juni 2025, Tiga Jenis Hadiah Lomba dari Luar Negeri Tak Lagi Bebas Pajak

IKPI, Jakarta: Mulai 6 Juni 2025, tidak semua hadiah lomba dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia tanpa pungutan pajak. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, resmi mengeluarkan kebijakan baru yang mencabut fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak bagi tiga jenis hadiah tertentu.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025 yang mengatur ekspor-impor barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut. Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menegaskan bahwa ketentuan baru ini merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya yang tercantum dalam PMK 203/PMK.04/2017.

“Dulu tidak diatur secara spesifik, sekarang kami buatkan negative list agar lebih jelas barang apa saja yang tidak mendapat fasilitas fiskal,” ujar Chairul, Pelaksana Harian Kasubdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan, dalam media briefing virtual pada Rabu (4/6/2025).

Tiga jenis hadiah yang masuk dalam daftar hitam atau negative list tersebut adalah:

1. Kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, meski didapat sebagai hadiah dari luar negeri.

2. Barang kena cukai (BKC), seperti minuman beralkohol.

3. Hadiah dari undian atau perjudian, yang tidak termasuk kategori penghargaan resmi dari kompetisi.

Chairul menekankan bahwa meski barang-barang tersebut diperoleh sebagai “hadiah,” jika termasuk dalam daftar negatif, maka tetap akan dikenai bea masuk, PPN, PPnBM, dan PPh saat tiba di Indonesia.

Namun, tidak semua hadiah bernasib serupa. Pemerintah tetap memberi pembebasan bea dan pajak untuk hadiah berupa medali, trofi, plakat, lencana, dan barang sejenis, asalkan memenuhi tiga kriteria:

1. Penerima hadiah adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

2. Hadiah berasal dari ajang kompetisi atau penghargaan internasional di bidang olahraga, ilmu pengetahuan, seni, budaya, atau keagamaan.

3. Terdapat bukti resmi keikutsertaan dari salah satu pihak berikut: kementerian atau lembaga di Indonesia, penyelenggara kompetisi di luar negeri, atau media massa nasional/internasional.

Kebijakan ini diharapkan bisa memperjelas batas antara hadiah prestasi dan barang mewah pribadi, sekaligus menjaga keadilan fiskal di tengah meningkatnya lalu lintas barang antarnegara. (alf)

 

 

 

Kemenkeu: Penerimaan Pajak Daerah Tembus Rp 64,1 Triliun Hingga April 2025

IKPI, Jakarta: Hingga akhir April 2025, realisasi penerimaan pajak daerah tercatat mencapai Rp 64,1 triliun, menurut data yang dirilis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan. Angka ini menunjukkan peran signifikan pajak daerah dalam menopang pendanaan pembangunan regional. Meski demikian, DJPK belum membeberkan apakah capaian tersebut mengalami pertumbuhan atau penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Askolani, mengungkapkan bahwa beberapa jenis pajak menjadi kontributor utama dari total penerimaan tersebut. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Opsen PKB mendominasi dengan sumbangan mencapai 23,41%. Sementara itu, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) menyusul dengan kontribusi sebesar 14,52%.

Di sektor jasa, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dari industri perhotelan turut memberi andil sebesar Rp 3,1 triliun. Namun, Askolani tidak memberikan keterangan apakah angka ini mengalami pertumbuhan atau justru penurunan dibanding tahun lalu.

Kinerja pajak dari sektor perhotelan turut menjadi sorotan, mengingat industri ini tengah mengalami tekanan akibat kebijakan efisiensi belanja yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Langkah penghematan anggaran tersebut berdampak langsung pada okupansi hotel, khususnya yang selama ini mengandalkan belanja perjalanan dinas dan rapat instansi pemerintah.

Di tengah dinamika tersebut, optimalisasi penerimaan dari pajak daerah tetap menjadi fokus pemerintah dalam menjaga kesinambungan fiskal daerah, terutama untuk mendukung pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur lokal. (alf)

 

 

 

 

PER-11/PJ/2025 Tambah Jumlah Lampiran Pelaporan SPT Tahunan Badan 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 yang memperluas kewajiban pelaporan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi Wajib Pajak Badan. Regulasi ini menambah jumlah lampiran yang harus disertakan oleh pelaku usaha dalam laporan pajaknya.

Mengacu pada Pasal 85 ayat (1) huruf b PER-11/PJ/2025, kini terdapat 22 jenis lampiran SPT Tahunan yang berpotensi wajib dilampirkan, tergantung pada karakteristik dan aktivitas usaha masing-masing wajib pajak.

“SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1): dibuat sesuai dengan contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian,” bunyi Pasal 85 ayat (2) beleid tersebut.

Daftar Lampiran Bertambah, Pelaporan Lebih Detail

Penambahan lampiran ini mencakup berbagai aspek, mulai dari rekonsiliasi laporan keuangan, daftar penghasilan yang dikenai pajak final, hingga laporan penyusutan fiskal dan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Beberapa lampiran penting antara lain:

• Lampiran 1A hingga 1L: Rekonsiliasi laporan keuangan berdasarkan sektor usaha.

• Lampiran 3: Daftar pajak penghasilan yang dipotong/dipungut pihak lain.

• Lampiran 9: Daftar penyusutan dan amortisasi fiskal.

• Lampiran 10A hingga 10D: Pernyataan dan ikhtisar transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, termasuk dengan pihak dari negara tax haven.

• Lampiran 13C dan 14: Terkait fasilitas pengurangan pajak penghasilan dan penggunaan sisa lebih anggaran untuk pembangunan sarana.

Meski demikian, tidak seluruh lampiran wajib diisi oleh semua wajib pajak badan. Sebagian hanya perlu dilampirkan jika perusahaan memenuhi kriteria tertentu. Namun, Lampiran 1A hingga 1L adalah wajib diisi oleh seluruh wajib pajak badan, sesuai sektor usaha masing-masing.

“Setiap wajib pajak badan wajib mengisi salah satu formulir lampiran rekonsiliasi laporan keuangan sesuai dengan jenis sektor usaha masing-masing,” tulis ketentuan dalam Lampiran H PER-11/PJ/2025.

Berlaku Sejak Ditetapkan

PER-11/PJ/2025 telah ditetapkan pada 22 Mei 2025 dan mulai berlaku pada tanggal yang sama. Perubahan ini diharapkan mampu meningkatkan transparansi fiskal serta memperkuat pengawasan terhadap aktivitas perpajakan korporasi.

Tak hanya soal SPT Tahunan, peraturan ini juga turut mengatur:

• Kewajiban pengusaha kena pajak (PKP) melaporkan faktur pajak yang tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN,

• Mekanisme baru permohonan revaluasi aktiva tetap melalui sistem Coretax,

• Progres aksesi Indonesia ke OECD, dan

• Proyeksi dampak pemberian stimulus ekonomi Rp24,44 triliun pada Juni–Juli 2025 yang digulirkan Kementerian Keuangan.

DJP mengimbau para wajib pajak badan untuk segera menyesuaikan sistem pelaporan dan dokumentasi internal agar proses penyampaian SPT Tahunan tidak terganggu. (alf)

 

 

Petinggi Perusahaan Sawit di Kalteng Ditahan, Diduga Gelapkan PPN Rp 20,49 Miliar

IKPI, Jakarta: Dua petinggi perusahaan perkebunan sawit PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) resmi dijebloskan ke tahanan setelah terjerat kasus dugaan penggelapan pajak senilai lebih dari Rp 20 miliar. Mereka diduga menilap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya disetorkan ke negara selama tiga tahun terakhir.

Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Undang Mugopal, menyampaikan bahwa proses tahap II berupa pelimpahan tersangka dan barang bukti dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Pajak Kanwil Kalimantan Selatan dan Tengah telah dilakukan kepada Jaksa Penuntut Umum Kejari Palangka Raya pada Rabu (4/6/2025).

“Dua tersangka, yakni HP selaku Direktur Utama dan YD selaku Komisaris Utama PT SMJL, kini telah resmi ditahan atas dugaan tindak pidana perpajakan,” ungkap Undang kepada wartawan di Palangka Raya.

Keduanya disangka melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c dan/atau huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui UU Nomor 6 Tahun 2023.

Tak Setor Pajak Selama Tiga Tahun

Berdasarkan hasil penyidikan, praktik ilegal tersebut berlangsung dari Januari 2018 hingga Desember 2020. Tersangka diduga tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN di sejumlah periode, termasuk bulan April hingga Desember 2018, November–Desember 2019, dan Juli–Agustus 2020.

“Total kerugian negara akibat perbuatan para tersangka ditaksir mencapai Rp 20.492.653.409 atau sekitar Rp 20,49 miliar,” tegas Undang.

Adapun PPN yang tidak disetorkan berasal dari hasil transaksi perusahaan dengan sejumlah mitra bisnis, di antaranya PT Sinar Jaya Inti Mulya, PT Alam Subur Lestari, PT Sime Darby Oils Pulau Refinery, hingga PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara.

Modus dan Lokasi Kejahatan

Modus yang digunakan cukup sederhana namun merugikan negara dalam jumlah besar. Kedua tersangka tidak menyetorkan pajak yang telah mereka pungut dari belasan perusahaan tersebut ke kas negara. Aksi ini dilakukan dari kantor PT SMJL yang beralamat di Jalan Raya Palangka Raya–Buntok Km 60, Kabupaten Kapuas.

Saat ini, kedua tersangka menjalani penahanan di Rutan Kelas IIA Palangka Raya selama 20 hari, terhitung mulai 3 Juni hingga 22 Juni 2025. Proses hukum masih terus berjalan, dan pihak kejaksaan menyatakan siap membawa perkara ini ke pengadilan. (alf)

 

 

 

 

 

Pengamat: Usulan Pajak Tinggi Rumah Tapak Bisa Ganggu Pasar Properti

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak tinggi terhadap pembangunan rumah tapak mendapat sorotan tajam dari kalangan pengamat properti. CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghada, menyebut kebijakan tersebut justru berpotensi membebani masyarakat dan menekan pertumbuhan sektor properti.

Menurut Ali, pajak tinggi pada rumah tapak hanya akan meningkatkan harga jual bagi konsumen, sehingga memperlambat laju transaksi dan merusak stabilitas pasar. “Beban biaya akan jatuh ke konsumen. Ini jelas akan memperberat bisnis properti, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih,” ujar Ali saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Ia membandingkan kebijakan pajak properti di sejumlah negara maju, yang memang memberikan pajak lebih tinggi bagi rumah tapak dibanding apartemen. Namun, Ali menekankan bahwa perbedaan tersebut terjadi secara alami dan bertahap, bukan melalui kebijakan yang mendadak.

Ali justru mendorong pemerintah untuk mengambil langkah sebaliknya, yakni memberikan insentif fiskal bagi pembangunan hunian vertikal seperti apartemen dan rumah susun. Ia menilai pendekatan ini lebih tepat untuk mendorong peralihan pola hunian masyarakat.

“Semakin rendah segmennya, semakin besar pula insentif yang seharusnya diberikan. Ini bagian dari tanggung jawab negara dalam menyediakan hunian terjangkau atau public housing,” jelasnya.

Ali juga mengkritisi pendekatan kebijakan perumahan yang dinilainya tidak konsisten dan kerap berubah-ubah. “Kebijakan tambal sulam yang bersifat eksperimen justru akan menciptakan ketidakpastian dan membingungkan pelaku industri,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah mengusulkan pemberlakuan pajak tinggi bagi rumah tapak sebagai upaya mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal. Ia menilai ketersediaan lahan di perkotaan semakin terbatas, sehingga pembangunan rumah tapak seharusnya dikurangi.

“Di seluruh dunia sekarang ini tidak ada lagi landed house di pusat kota. Kita harus hentikan pembangunan rumah tapak di perkotaan karena lahan kita terbatas,” kata Fahri dalam sebuah pernyataan, Selasa (3/62025).

Namun, Fahri juga mengakui bahwa budaya tinggal di hunian vertikal belum mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ia mengatakan pemerintah akan menggencarkan kampanye tentang manfaat dan keunggulan hunian vertikal. (alf)

 

 

 

en_US