IKPI Denpasar Dorong Sinergi dengan KPP Dentim untuk Wujudkan Kepatuhan Pajak yang Kolaboratif

IKPI, Denpasar: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Denpasar, Made Sujana, menegaskan pentingnya membangun sinergi yang erat antara konsultan pajak dan otoritas pajak dalam menghadapi dinamika kebijakan perpajakan saat ini. Hal tersebut ia sampaikan dalam kegiatan Audiensi dan Sosialisasi Perpajakan yang digelar di Kantor KPP Pratama Denpasar Timur (Dentim), Kamis (10/7/2025).

Kegiatan yang dihadiri oleh Kepala KPP Pratama Denpasar Timur Moch. Faisol beserta jajaran, serta para Pengurus Daerah IKPI Bali dan Nusa Tenggara, menjadi wadah penting untuk menyamakan persepsi dan memperkuat komunikasi dua arah antara fiskus dan para profesional pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

“Kami percaya bahwa kepatuhan pajak yang berkelanjutan hanya bisa terwujud bila dibangun atas dasar kepercayaan, keterbukaan, dan komunikasi yang konstruktif antara pelaku jasa perpajakan dan DJP,” ujar Made Sujana, Sabtu (12/7/2025).

Ia juga menyampaikan bahwa konsultan pajak memiliki posisi strategis dalam menjembatani kepentingan wajib pajak dengan kebijakan fiskal pemerintah. Karena itu, forum-forum audiensi seperti ini dinilai sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman interpretasi terhadap regulasi perpajakan yang terus berkembang.

Turut hadir dalam kegiatan ini Ketua Pengurus Daerah Bali dan Nusa Tenggara, I Kadek Agus Ardika; Sekretaris Daerah, A.A Sagung Widya Jayanti; serta jajaran pengurus Cabang Denpasar lainnya seperti I Gusti Ketut Wira Widiana (Sekretaris II), A.A. Gde Sanjaya Adi Pranata (Bidang Humas & Publikasi), dan Anak Agung Gde Sedana (Bidang Hubungan Antar Anggota).

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala KPP Pratama Dentim, Moch. Faisol, menyambut baik kehadiran IKPI dan berharap kegiatan ini bisa menjadi agenda berkelanjutan. “Kami sangat mengapresiasi kontribusi IKPI dalam membangun ekosistem perpajakan yang sehat dan akuntabel,” ujarnya.

Melalui pertemuan ini, IKPI Denpasar menegaskan komitmennya untuk terus menjadi mitra strategis Direktorat Jenderal Pajak, khususnya dalam memperkuat edukasi perpajakan kepada masyarakat serta meningkatkan kualitas layanan konsultan pajak demi menciptakan sistem perpajakan nasional yang adil dan berkelanjutan. (bl)

 

Mantan Direktur DJP Tegaskan Penegakan Hukum Pajak Harus Berbasis Keadilan

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2017–2021, Yuli Kristiyono, menegaskan pentingnya penegakan hukum perpajakan yang tidak semata-mata represif, namun tetap berkeadilan, transparan, dan berlandaskan asas kepastian hukum. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak” yang diselenggarakan di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yuli membeberkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal menghukum, tetapi juga memiliki delapan tujuan utama, yaitu:

• Membangun kepatuhan wajib pajak

• Menciptakan keadilan perpajakan

• Memberikan kepastian hukum

• Melindungi wajib pajak yang patuh

• Mengamankan penerimaan negara

• Memulihkan kerugian pendapatan negara

• Menciptakan efek jera

• Membangun integritas sistem perpajakan

“Penegakan hukum perpajakan harus menyasar dua hal sekaligus: edukasi dan koreksi. Tidak bisa semuanya dipidana, karena tujuan utamanya adalah membuat ekosistem kepatuhan yang berkelanjutan,” ujar Yuli yang juga pernah menjabat Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM DJP.

Tahapan Penegakan Hukum

Ia menegaskan bahwa dalam praktiknya, penegakan hukum perpajakan dilakukan secara bertahap, dimulai dari edukasi dan pelayanan oleh penyuluh pajak, dilanjutkan dengan pengawasan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, hingga penuntutan dan eksekusi.

“Langkah DJP itu tidak langsung represif. Ada proses edukatif dan administratif yang ditempuh terlebih dahulu sebelum penyidikan,” tegas Yuli.

Ancaman Sanksi

Dalam sesi panel tersebut, Yuli juga mengulas bentuk-bentuk sanksi yang dikenakan atas pelanggaran ketentuan perpajakan. Sanksi ini dibagi menjadi empat jenis:

• Sanksi Bunga, seperti keterlambatan bayar atau pembetulan SPT.

• Sanksi Denda, seperti tidak menyampaikan SPT, atau pengisian faktur pajak yang tidak lengkap.

• Sanksi Kenaikan, seperti pemotongan pajak yang tidak disetor.

• Sanksi Pidana, untuk pelanggaran karena kelalaian (Pasal 38 UU KUP) dan kesengajaan (Pasal 39, 39A UU HPP).

Dielaskannya, bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran namun masih beritikad baik, UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) memberikan ruang untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum proses pidana dimulai, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (3) dan (3a).

Pegawai Pajak Juga Bisa Dijerat

Yuli juga menyoroti bahwa pegawai DJP tidak luput dari jeratan hukum. Berdasarkan Pasal 43A UU HPP, jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana perpajakan yang melibatkan petugas DJP, maka Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa internal untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Jika terbukti korupsi, maka kasus akan diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya.

Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang adil dan berintegritas, agar wajib pajak tidak merasa menjadi korban dari sistem yang tidak konsisten.

“Penegakan hukum bukan tujuan akhir, melainkan jembatan menuju sistem pajak yang dipercaya. Di situlah kita bisa bicara tentang penerimaan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)

 

 

 

Assoc. Prof. Edy Gunawan: Keadilan dan Kepercayaan adalah Kunci Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Sekretaris Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Assoc. Prof. Edy Gunawan, menegaskan bahwa upaya penegakan hukum pajak yang efektif harus mengedepankan keseimbangan antara pendekatan legalistik dengan aspek kepercayaan dan keadilan. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam diskusi panel IKPI bertema “Upaya Penegakan Hukum dalam Peningkatan Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2025).

Dalam paparannya, Assoc. Prof. Edy membandingkan kebijakan penegakan hukum perpajakan di berbagai negara dan menyoroti tantangan khas yang dihadapi Indonesia. Ia menyebut, sistem hukum di Indonesia masih sangat formalistik dan sentralistis, dengan karakteristik hierarki hukum yang kompleks serta kendala seperti birokrasi lambat, patronase, hingga korupsi yang menghambat efektivitas kebijakan.

“Penegakan hukum perpajakan jangan semata-mata mengandalkan ancaman sanksi. Diperlukan pendekatan yang membangun kepercayaan dan kepastian hukum agar wajib pajak merasa sistem ini adil,” tegas Assoc. Prof. Edy.

Ia memperkenalkan tiga teori utama dalam penegakan hukum pajak:

• Economic Deterrence, yang menekankan risiko ketahuan dan besarnya sanksi;

• Responsive Regulation, yang menganut pendekatan bertahap dari edukasi hingga hukuman;

• Trust and Legitimacy, yang mengandalkan kepercayaan wajib pajak pada institusi pajak sebagai faktor utama kepatuhan.

Ia menyoroti bahwa banyak negara maju seperti Belanda dan Singapura telah menggeser fokus dari penindakan keras menuju model cooperative compliance, pendekatan yang kolaboratif dan edukatif, disertai transparansi serta pelayanan yang konsisten.

Assoc. Prof. Edy juga menguraikan prinsip legalitas (lex scripta) sebagai fondasi hukum pajak di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya menyeimbangkan pendekatan ini dengan prinsip substance over form, yakni menilai niat ekonomi transaksi di atas sekadar bentuk hukumnya. Negara seperti Inggris, Australia, dan Kanada bahkan telah menerapkan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) untuk mengantisipasi skema penghindaran pajak yang “legal secara formil namun manipulatif secara substansi”.

Dalam sesi analisis perbandingan, Assoc. Prof. Edy Gunawan menunjukkan bahwa:

• Amerika Serikat menekankan penegakan keras dengan sanksi berat dan audit agresif,

• Jerman dan Belanda mengedepankan kepastian hukum dan pendekatan administratif yang efisien,

• Singapura dan Jepang lebih kooperatif dan edukatif,

• Indonesia, menurutnya, masih mencari titik keseimbangan di tengah tantangan internal.

Menutup paparannya, Dosen Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) ini merekomendasikan tiga strategi kunci bagi Indonesia:

• Peningkatan kapasitas pengawasan DJP melalui teknologi seperti AI dan data mining;

• Penguatan edukasi dan pelayanan untuk membangun trust dan legitimasi;

• Penerapan bertahap terhadap pendekatan substantif, termasuk prinsip anti-abuse dalam hukum perpajakan nasional.

“Negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap otoritas pajak, seperti Australia dan Swedia, terbukti memiliki kepatuhan pajak yang jauh lebih tinggi. Ini pelajaran penting bagi Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, diskusi ini menjadi salah satu forum strategis yang diselenggarakan IKPI untuk mendalami peran kebijakan penegakan hukum dalam mendorong penerimaan negara yang berkeadilan dan berkelanjutan. (bl)

IKPI Denpasar: Konsultan Pajak Harus Siap Hadapi Era Baru Pemeriksaan dan Reformasi Coretax

IKPI, Denpasar: Ketua IKPI Cabang Denpasar, Made Sujana, menegaskan pentingnya kesiapan para konsultan pajak dalam menghadapi perubahan besar dalam sistem pemeriksaan dan administrasi perpajakan nasional. Hal itu ia sampaikan saat membuka kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) Terstruktur Tatap Muka yang digelar di HARRIS Hotel & Conventions Denpasar, Bali, Sabtu (5/7/2025) dengan tema “Era Baru Pemeriksaan Pajak Sesuai PMK 15 Tahun 2025 dan Reformasi Sistem Coretax.”

“PMK 15 Tahun 2025 dan implementasi Coretax bukan sekadar perubahan teknis, tetapi perubahan paradigma. Konsultan pajak harus berada di garis depan, siap dengan kompetensi dan pemahaman yang kuat,” kata Made Sujana.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Denpasar)

Menurutnya, kegiatan yang berlangsung secara tatap muka ini menjadi momen strategis bagi para anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Denpasar untuk memperdalam pemahaman mengenai reformasi pemeriksaan pajak dan digitalisasi sistem administrasi. Sebanyak 150 anggota tetap dan 13 peserta umum turut ambil bagian dalam seminar yang berlangsung penuh antusias.

Diungkapkannya, seminar ini menghadirkan narasumber ahli di bidangnya, Anwar Hidayat, yang mengupas berbagai aspek krusial dalam PMK 15/2025 dan bagaimana sistem Coretax akan mengubah tata kelola pemeriksaan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Para peserta diajak memahami urgensi adaptasi terhadap proses yang semakin berbasis data, sistem, dan transparansi.

Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Ketua Pengda IKPI, I Kadek Agus Ardika, bersama jajaran pengurus daerah, yang memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan pembinaan kompetensi ini.
Ia menekankan bahwa kolaborasi antarcabang dan peningkatan kapasitas anggota harus terus diperkuat untuk menghadapi tantangan perpajakan modern.

Dengan semangat kebersamaan dan profesionalisme tinggi, IKPI Cabang Denpasar sukses menyelenggarakan seminar ini sebagai bentuk komitmen terhadap kualitas dan integritas profesi konsultan pajak di tengah transformasi sistemik perpajakan Indonesia. (bl)

OJK Ungkap 14 Lembaga Keuangan Mikro Terindikasi Fraud, Didominasi Jawa Barat dan Jawa Tengah

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap adanya indikasi praktik fraud di 14 lembaga keuangan mikro (LKM) yang tersebar di sejumlah daerah, dengan dominasi kasus berasal dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dugaan penyimpangan itu utamanya berkaitan dengan lemahnya sistem tata kelola internal dan kemitraan yang tidak sehat dengan pihak eksternal.

“Ada 14 LKM yang terindikasi fraud,” ujar Kepala Departemen Perizinan, Pemeriksaan Khusus, dan Pengendalian Kualitas Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK, Edi Setijawan, dalam kegiatan Sosialisasi Memahami dan Mencegah Fraud dan Tindak Pidana di LKM dan Pergadaian di Yogyakarta, Kamis (10/7/2025).

Edi menjelaskan, indikasi penyimpangan yang ditemukan antara lain terkait dengan kelemahan dalam pengawasan internal serta adanya itikad tidak baik dari pengurus, pegawai, maupun pihak ketiga yang menjalin kerja sama dengan LKM.

“Lebih banyak disebabkan tata kelola yang tidak baik. Baik dari sisi kontrol internalnya maupun kerja sama eksternal yang berisiko,” jelasnya.

Meski telah terdeteksi, kasus-kasus tersebut menurut Edi masih dalam penanganan internal OJK dan belum masuk ranah aparat penegak hukum.

Hingga Maret 2025, OJK mencatat terdapat 245 LKM berizin di seluruh Indonesia dengan total aset mencapai Rp1,609 triliun. Temuan indikasi fraud sejauh ini hanya terjadi pada sebagian kecil LKM, sehingga iklim sektor keuangan mikro dinilai masih dalam kondisi stabil.

“NPL (kredit bermasalah) juga masih dalam batas yang bisa dikendalikan. Jadi secara keseluruhan sektor ini masih kondusif,” tuturnya.

OJK menegaskan akan terus memperkuat pengawasan dan pembinaan terhadap LKM agar risiko penyimpangan dapat diminimalisir, termasuk dengan mendorong penerapan tata kelola yang lebih akuntabel dan transparan. (alf)

Brasil Ancam Balasan Setimpal atas Tarif 50% dari AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memantik ketegangan perdagangan global. Kali ini, Brasil menjadi sasaran kebijakan proteksionis terbarunya.

Dalam surat resmi kepada Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Trump mengumumkan tarif sebesar 50% terhadap sejumlah barang impor dari Negeri Samba, efektif mulai 1 Agustus 2025.

Namun langkah itu tak semata soal ekonomi. Trump juga menyinggung proses hukum terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang saat ini sedang diadili atas dugaan percobaan kudeta usai kekalahannya di pemilu 2022.

Dalam suratnya, Trump menyebut persidangan tersebut sebagai “aib internasional”, sekaligus menunjukkan dukungan terbuka terhadap sekutunya itu.

Lula tak tinggal diam. Presiden sayap kiri Brasil itu menegaskan bahwa kebijakan sepihak seperti ini akan ditanggapi tegas. “Setiap kenaikan tarif sepihak akan ditanggapi berdasarkan Hukum Timbal Balik Ekonomi Brasil,” tegasnya dalam pernyataan resmi.

Pemerintah Brasil juga telah memanggil pejabat diplomatik AS sebagai bentuk protes.

Tarif 50% ini, menurut Trump, diberlakukan atas nama “keamanan nasional” alasan yang juga digunakan untuk mengenakan pungutan serupa terhadap impor tembaga dari sejumlah negara lain. Trump menyebut tembaga sebagai logam strategis kedua paling penting bagi Departemen Pertahanan AS.

Kebijakan ini merupakan bagian dari rangkaian langkah Trump yang lebih luas. Sejak awal pekan ini, ia telah mengeluarkan lebih dari 20 surat peringatan kepada berbagai negara, mengancam tarif tinggi jika tak ada kesepakatan soal perdagangan “timbal balik”.

Meski sebelumnya Brasil tak masuk daftar negara yang terancam, hubungan dagang yang selama ini cenderung surplus bagi AS tampaknya tak cukup melindungi Brasil dari badai tarif.

Ketegangan ini berpotensi memperburuk hubungan bilateral kedua negara, yang sebelumnya relatif stabil. Kini, dunia menanti langkah lanjutan dari Brasil dan bagaimana eskalasi ini akan mengguncang pasar global. (alf)

 

RI Tak Perlu Negosiasi Tarif 32%, Guru Besar UI Yakini Kebijakan Trump Juga Bebani Rakyat AS

IKPI, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai Indonesia tidak perlu tergesa-gesa melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan tarif impor sebesar 32% oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Ia meyakini, kebijakan tersebut justru akan menjadi beban bagi masyarakat AS sendiri.

“Atas dasar hal tersebut, sebaiknya Indonesia tidak perlu untuk melakukan negosiasi dengan pihak AS, mengingat syarat yang ditentukan oleh Trump sangat mustahil untuk dipenuhi,” ujar Prof. Hikmahanto, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, dalam surat resmi yang dikirim Trump kepada Presiden RI Prabowo Subianto, disebutkan bahwa perusahaan Indonesia bisa terbebas dari tarif apabila bersedia melakukan investasi di dalam negeri AS. Namun, ia menilai opsi tersebut tidak realistis.

“Sejatinya bila Indonesia hendak mendapatkan tarif 0% bukan didapat melalui negosiasi, tapi dengan melakukan investasi di Amerika Serikat. Tapi mahalnya biaya produksi di sana membuat syarat ini hampir tak mungkin dilakukan,” jelasnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah tidak gegabah dan menunggu kejelasan implementasi tarif hingga 1 Agustus 2025, sebagaimana tenggat yang disebutkan dalam kebijakan tersebut.

Lebih lanjut, Prof. Hikmahanto menilai kebijakan Trump ini tak hanya menyasar Indonesia, melainkan merupakan langkah proteksionis yang bisa memicu dampak global. Ironisnya, kebijakan itu justru bisa berbalik merugikan masyarakat AS sendiri.

“Tarif yang makin tinggi hanya akan membebani konsumen di Negeri Paman Sam. Bila rakyat AS merasa dirugikan, mereka berpotensi melakukan tindakan ketatanegaraan terhadap Trump,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa isu ini bukanlah persoalan bilateral semata. “Permasalahan kebijakan tarif Trump bukanlah masalah antara AS dengan Indonesia, tetapi masalah AS dengan dunia,” ujarnya. (alf)

 

 

Dilema Pajak UMKM: Antara Kesederhanaan Tarif Final dan Keadilan Tarif Berbasis Laba

Dalam upaya memperluas basis perpajakan dan mendorong kepatuhan pajak secara sukarela, Pemerintah Indonesia menerapkan skema tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan bagi UMKM yang umumnya tidak memiliki pencatatan keuangan yang memadai. Dengan tarif ini, pemerintah berharap dapat mendorong partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional tanpa membebani mereka dengan kompleksitas perhitungan pajak konvensional yang mensyaratkan pembukuan. Namun, pendekatan ini berbeda dengan prinsip perpajakan umum yang mengukur beban pajak yang efektif atau Effective Tax Rate (ETR).

ETR merupakan suatu tingkat pajak efektif perusahaan yang dapat dihitung dari beban pajak penghasilan yang kemudian dibagi dengan laba sebelum pajak, di mana semakin rendah nilai ETR maka semakin baik suatu perusahaan dalam melakukan manajemen pajak. ETR bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase perusahaan membayar pajak sebenarnya terhadap laba komersial yang diperoleh perusahaan.

Dengan tarif efektif ini, perusahaan dapat melihat apakah jumlah pajak yang mereka bayar lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak yang ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan tarif final UMKM dihitung berdasarkan omzet bruto yakni Pajak Terutang ÷ Omzet yang menghasilkan angka tetap sebesar 0,5% tanpa mempertimbangkan margin keuntungan. PPh final merupakan pajak penghasilan yang langsung dikenakan atas objek penghasilan tertentu saja dihitung dengan tarif yang telah ditetapkan atas objek terkait, tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Dengan demikian, berdasarkan kedua teori tersebut dapat dikatakan bahwa dua pelaku UMKM dengan omzet yang sama tetapi margin laba yang berbeda tetap membayar jumlah pajak yang identik secara nominal, walaupun secara substansi beban fiskalnya berbeda secara signifikan.

Perbedaan ini memperlihatkan ketegangan antara tujuan administratif dan praktis dari kebijakan tarif final dengan asas keadilan dan proporsionalitas yang menjadi dasar teori perpajakan modern. Di satu sisi, tarif 0,5% memberikan insentif kepatuhan dan menyederhanakan proses pelaporan pajak. Namun di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menciptakan distorsi keadilan fiskal terutama bagi wajib pajak dengan margin laba tipis. Hal ini juga menimbulkan tantangan metodologis dalam analisis beban pajak sektoral dan kontribusi UMKM terhadap penerimaan negara, karena pendekatan berbasis omzet tidak mencerminkan kemampuan ekonomis yang sesungguhnya.

Dengan demikian, Kebijakan tarif 0,5% yang bersifat final perlu ditinjau dari segi efektivitas administrasi, keadilan fiskal, dan akurasi pengukuran beban pajak. Penelitian ini penting untuk menjembatani perbedaan, baik melalui penyusunan model ETR yang mencerminkan realitas profitabilitas UMKM, maupun mengevaluasi keberlanjutan tarif final dalam konteks perubahan ekonomi dan digitalisasi sektor usaha. Pemahaman mendalam terhadap ketidaksesuaian antara teori dan praktik ini menjadi dasar yang penting dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang adil dan efisien.

Dalam konteks kepatuhan pajak, tarif final mendorong kepatuhan sukarela karena praktis dan mudah dipahami, namun tidak membangun kebiasaan pembukuan yang dibutuhkan untuk transisi menuju sistem pajak berbasis laba. ETR, meskipun lebih kompleks, justru berpotensi meningkatkan transparansi fiskal dan kualitas pelaporan dalam jangka panjang, serta dapat mendorong optimalisasi penerimaan negara, terutama bagi sektor usaha dengan margin keuntungan yang tinggi.

Oleh karena itu, jika dilihat dari aspek keberlanjutan fiskal dan prinsip keadilan dalam jangka panjang, ETR merupakan pendekatan yang lebih baik dan ideal untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, akuntabel, dan berkelanjutan. Pendekatan terbaik adalah menjadikan tarif final 0,5% sebagai skema transisi, sambil mendorong pelaku usaha untuk naik kelas ke sistem perpajakan reguler berbasis ETR.

Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha (Direktorat Jenderal Pajak, 2023). Pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta (KADIN, 2023). Kontribusi UMKM mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun dan menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja (KADIN, 2023).

Berdasarkan data KADIN Indonesia pertumbuhan UMKM Indonesia dari tahun 2018 hingga 2023, terlihat adanya dinamika yang cukup signifikan. Pada tahun 2018, jumlah UMKM tercatat sebanyak 64,19 juta dan meningkat menjadi 65,47 juta pada tahun 2019, menunjukkan pertumbuhan sebesar 1,98%. Namun, pada tahun 2020 terjadi penurunan tajam sebesar -2,24% menjadi 64 juta, yang disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19. Memasuki tahun 2021, sektor UMKM menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan pertumbuhan sebesar 2,28% dan jumlah UMKM naik kembali menjadi 65,46 juta.

Namun, pada tahun 2022 terjadi sedikit penurunan sebesar -0,70% menjadi 65 juta, mencerminkan tantangan pascapandemi seperti inflasi, ketidakpastian ekonomi global, atau kendala adaptasi terhadap transformasi digital. Pada tahun 2023, UMKM kembali tumbuh positif sebesar 1,52% dengan total jumlah mencapai 66 juta. Secara keseluruhan, data ini mencerminkan bahwa sektor UMKM Indonesia cukup resilien, mampu bangkit dari tekanan krisis, dan menunjukkan potensi pertumbuhan berkelanjutan dengan dukungan kebijakan yang tepat.

Indonesia saat ini menerapkan skema pemajakan final untuk UMKM sebagaimana diatur dalam PP No. 55 Tahun 2022. Skema ini menggunakan tarif tetap sebesar 0,5% dari omzet bruto dengan masa berlaku tertentu. Pendekatan ini bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan, mendorong kepatuhan formal, serta memperluas basis pajak UMKM. Namun demikian, keberlanjutan dan keadilan dari pendekatan ini mulai dipertanyakan, terutama dalam konteks efisiensi fiskal jangka panjang dan integrasi sistem pelaporan keuangan yang akuntabel.

Sebagai pembanding, sejumlah negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang telah mengadopsi skema pengenaan pajak penghasilan yang didasarkan pada laba kena pajak. Negara-negara tersebut tidak lagi mengandalkan sistem berbasis omzet, melainkan menggunakan tarif progresif atau insentif khusus terhadap laba yang dilaporkan oleh wajib pajak.

Misalnya, Malaysia menetapkan tarif 17%-24% untuk laba UMKM sampai RM 600.000 (Thirosha, 2025). Dalam sistem perpajakan Singapura, entitas usaha baik yang berstatus residen maupun nonresiden dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri pada saat penghasilan tersebut timbul, serta atas penghasilan luar negeri pada saat diterima di Singapura dengan tarif flat sebesar 17%.

Namun, pemerintah menyediakan fasilitas insentif berupa pembebasan sebagian pajak, serta insentif pembebasan pajak selama tiga tahun pertama bagi perusahaan rintisan yang memenuhi kriteria tertentu (PwC, 2025). Kebijakan ini bertujuan mendukung pertumbuhan usaha rintisan dan mendorong kewirausahaan lokal.

Dalam sistem perpajakan Thailand, usaha kecil dan menengah (UKM) memperoleh keringanan tarif pajak penghasilan badan (CIT) yang bersifat progresif. Perusahaan dengan laba bersih hingga 300.000 baht dibebaskan dari pajak, sementara laba antara 300.001 hingga 3.000.000 baht dikenai tarif 15%, dan laba di atas 3.000.000 baht dikenai tarif 20% di mana insentif ini hanya berlaku bagi perusahaan dengan total pendapatan tidak melebihi 30 juta baht per tahun dan modal disetor maksimum 5 juta baht (Ayman Falak, 2023). Skema ini bertujuan mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan UKM melalui beban pajak yang lebih ringan.

Dari sisi keadilan pajak, skema tarif berdasarkan laba lebih merepresentasikan prinsip ability to pay dibandingkan tarif final. Hal ini karena pajak dikenakan atas laba bersih yang mencerminkan kapasitas ekonomi riil pelaku usaha. Dalam sistem final, UMKM yang mengalami kerugian tetap dikenakan pajak selama masih memiliki omzet, sedangkan dalam sistem berbasis laba, hanya yang memperoleh keuntungan yang dikenakan pajak. Pendekatan ini mendorong pembukuan dan laporan keuangan yang lebih akuntabel serta memperkuat basis data fiskal pemerintah.

Dengan mempertimbangkan arah reformasi perpajakan, sistem tarif berdasarkan laba tampak lebih unggul dalam jangka panjang dibandingkan tarif final. Meskipun memerlukan kesiapan administratif dan peningkatan literasi akuntansi di kalangan UMKM, transisi ke skema ini dapat dilakukan secara bertahap melalui model hibrida atau simplified accounting scheme. Negara-negara ASEAN yang telah menerapkan sistem ini dapat diadaptasi sesuai kapasitas pelaku UMKM.

Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa skema tarif berdasarkan laba memiliki keunggulan lebih signifikan dibandingkan skema tarif final, khususnya dalam hal keadilan fiskal, transparansi, dan kepatuhan yang berkelanjutan. Indonesia perlu menyiapkan transisi menuju sistem tersebut untuk memperkuat fondasi fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Keadilan merupakan fondasi utama dalam sistem perpajakan yang berkelanjutan. Teori oleh Reinhold Zippelius, seorang filsuf hukum menjadi acuan penting dalam merumuskan dan mengevaluasi tata cara perpajakan. Zippelius membagi keadilan ke dalam lima bentuk utama yakni keadilan komutatif, distributif, legal, moral, dan sosial (Direktorat Jendral Pajak, 2023). Keadilan komutatif menekankan perlakuan setara dalam hubungan timbal balik, misalnya antara negara dan wajib pajak. Dalam konteks ini, penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh DJP setelah proses pemeriksaan merupakan cerminan dari keadilan komutatif, di mana setiap wajib pajak dikenai kewajiban sesuai dengan kondisi riil dan ketentuan yang berlaku.

Namun, realitanya tidak selalu mencerminkan keadilan secara sempurna, karena kerap ditemukan kesalahan administratif atau interpretasi aturan. Untuk mengatasi hal tersebut, sistem perpajakan Indonesia memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan pembetulan atau permohonan pengurangan sanksi administratif. Prosedur ini memungkinkan koreksi atas kesalahan penulisan, perhitungan, atau penerapan aturan dalam surat ketetapan pajak, sekaligus memberi peluang kepada wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil untuk mendapatkan keadilan.

Hal ini mencerminkan penerapan keadilan komutatif sekaligus distributif, karena mempertimbangkan proporsi beban pajak berdasarkan kondisi wajib pajak. Di sisi lain, keadilan distributif terlihat dalam penerapan pajak progresif yang mengatur kontribusi sesuai kemampuan ekonomi masing-masing individu atau kelompok.

Sementara itu, keadilan legal menurut Zippelius menuntut adanya kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Dalam konteks perpajakan, hal ini berarti seluruh proses perpajakan harus dilakukan berdasarkan dasar hukum yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Selain itu, diperlukan juga keadilan moral, yaitu prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial, baik dari pihak wajib pajak maupun otoritas pajak, yang menjadi dasar kepercayaan dan legitimasi sistem perpajakan. Selain itu, keadilan sosial juga penting, dengan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sosial, terutama di daerah tertinggal. Teori Kemudahan Administrasi Publik (Ease of Administration) merupakan kemudahan dalam administrasi yang menjadi prinsip penting dalam sistem pemungutan pajak (Rosdiana, 2011).

Menurut Rosdiana, ada beberapa indikator dalam prinsip ease of administration ini yaitu, Certainty yang menyatakan bahwa harus ada kepastian dari Wajib Pajak maupun Fiskus mengenai Subjek Pajak, Objek Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif, serta bagaimana prosedur perpajakannya. Efficiency, bagi fiskus adalah biaya untuk melakukan pengawasan dan administrasi terhadap Wajib Pajak relatif rendah, sedangkan bagi Wajib Pajak, biaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan relatif rendah. Convenience of Payment, Pajak dipungut pada saat yang tepat (Pay As You Earn).

Prosedur pembayaran Simplicity, mudah dilaksanakan dan tidak berbelit-belit. Dengan demikian, meskipun kebijakan pengenaan PPh final sebesar 0,5% atas omzet UMKM sejalan dengan prinsip Ease of Administration, terdapat ketimpangan dalam keadilan fiskal. Dalam konteks teori perpajakan modern, khususnya pendekatan ETR, pajak idealnya mencerminkan kemampuan ekonomi riil dari wajib pajak, bukan sekadar angka omzet bruto.

Ketika dua pelaku usaha dengan margin keuntungan berbeda membayar pajak dalam jumlah yang sama karena omzet yang setara, prinsip keadilan distributif tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penting untuk merancang kebijakan pajak yang sederhana dan adil, mengaitkan kemudahan administrasi dengan proporsionalitas beban fiskal untuk efektivitas sistem perpajakan berkelanjutan.

Penerapan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet dinilai sederhana dan praktis untuk administrasi pajak. Namun, dari segi kaidah keadilan dan prinsip ability to pay (kemampuan membayar), kebijakan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari aspek keadilan horizontal, kebijakan ini dianggap adil untuk semua UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar dan memberi perlindungan pada usaha kecil dengan adanya pengecualian pajak bagi wajib pajak orang pribadi dengan omzet hingga Rp 500 juta per.

Namun, dari sisi keadilan vertikal, kebijakan ini dinilai kurang tepat karena pajak tetap dikenakan berdasarkan omzet, meskipun pelaku usaha sedang merugi atau memiliki margin keuntungan yang sangat kecil, sehingga berpotensi membebani wajib pajak yang sebenarnya belum memiliki kemampuan ekonomis untuk membayar pajak. Hal ini juga menyiratkan ketidaksesuaian terhadap prinsip ability to pay, karena kemampuan membayar seharusnya dihitung dari laba, bukan dari omzet kotor. Dengan demikian, meskipun tarif PPh Final 0,5% ini memberikan kemudahan bagi UMKM dari sisi kepatuhan dan pengawasan, namun secara prinsip ideal, sistem perpajakan yang berbasis laba akan lebih mencerminkan keadilan dan kemampuan membayar wajib pajak secara lebih tepat.

Lebih jauh, pendekatan tarif PPh final 0,5% menyebabkan penyimpangan terhadap pengukuran ETR secara teoritis. Akibatnya, secara administratif tidak merefleksikan beban pajak riil yang ditanggung wajib pajak berdasarkan efisiensi dan profitabilitas usahanya.

Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan antar pelaku usaha dan stagnasi kepatuhan jangka panjang. Karena tarif final ini tidak mewajibkan pembukuan atau pelaporan laba, banyak UMKM menjadi nyaman dalam sistem pajak yang sederhana ini dan enggan beralih ke sistem yang lebih formal. Hal ini berisiko memperluas zona abu-abu ekonomi yang sulit dipantau secara fiskal. Selain itu, pendekatan tarif tunggal juga tidak mempertimbangkan perbedaan karakteristik sektor usaha. Sektor perdagangan dengan margin tipis dapat terdampak lebih besar daripada sektor jasa yang memiliki margin lebih tinggi.

Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak, khususnya pelaku UMKM yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan secara formal, pemerintah menyediakan alternatif metode penghitungan penghasilan kena pajak melalui pendekatan norma. Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (Direktorat Jenderal Pajak, 2025).

Norma ini ditetapkan berdasarkan jenis usaha dan wilayah, serta rata-rata profitabilitas. Penggunaan norma memberikan solusi praktis bagi UMKM yang belum memiliki kapasitas sumber daya yang memadai dalam menyusun laporan keuangan. Dengan demikian, penghitungan pajak menjadi lebih sederhana dan tetap memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Namun demikian, penerapan norma penghasilan neto memiliki tantangan terkait keadilan fiskal karena tarifnya bersifat umum dan tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi masing-masing pelaku usaha.

Kebijakan pajak final untuk UMKM perlu dievaluasi dan disesuaikan agar mendorong UMKM masuk ke sistem perpajakan reguler yang lebih mencerminkan kapasitas ekonominya secara proporsional. Secara umum, kebijakan pajak final UMKM dengan tarif 0,5% atas omzet memang berhasil mencapai sebagian dari tujuannya, khususnya dalam aspek penyederhanaan administrasi pajak dan peningkatan kepatuhan formal di kalangan pelaku UMKM. Hal ini mencerminkan keberhasilan kebijakan dari sisi perluasan basis pajak dan reduksi beban kepatuhan (compliance cost), yang sebelumnya menjadi hambatan utama bagi UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.

Namun demikian, jika ditinjau dari sisi substansi fiskal, kebijakan ini belum sepenuhnya mencapai tujuan jangka panjangnya, seperti keadilan perpajakan, peningkatan transparansi usaha, dan kesinambungan penerimaan negara. Sifat final dan flat dari tarif 0,5% tidak membedakan antara UMKM berkeuntungan tinggi atau rendah, sehingga kurang mendorong perbaikan tata kelola keuangan dalam jangka panjang.

Selain itu, kebijakan ini belum cukup berhasil mendorong transformasi struktural UMKM ke level usaha menengah yang lebih mapan Banyak pelaku UMKM bertahan pada skema tarif final karena praktis dan mudah sehingga terjadi “stagnasi kepatuhan.” Padahal, tujuan strategis dari kebijakan seharusnya menarik dan membina UMKM agar siap pada sistem perpajakan berbasis laba yang lebih akuntabel.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun kebijakan ini efektif secara administratif, efektivitas substansialnya masih terbatas. Tujuan jangka pendek mungkin tercapai, tetapi tujuan jangka panjang seperti keadilan fiskal, peningkatan tata kelola usaha, dan pertumbuhan sektor formal masih membutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif dan bertahap.

Berdasarkan uraian kebijakan tarif pajak final 0,5% bagi UMKM dan data-data terkait, dapat disimpulkan bahwa Indonesia Indonesia belum mencapai tujuan idealnya terutama dari segi keadilan fiskal dan efektivitas jangka panjang. Di satu sisi, kebijakan ini telah mempermudah administrasi, meningkatkan kepastian hukum, dan mendorong partisipasi UMKM dalam perpajakan, yang terlihat dari pertumbuhan UMKM pascapandemi dan peningkatan penerimaan pajak yang terus menunjukkan tren positif selama tiga tahun terakhir. Peningkatan tersebut juga didorong oleh reformasi di DJP dan berbagai insentif yang memperkuat kepatuhan sukarela. Namun, dari sisi substansi keadilan pajak, kebijakan ini menyisakan sejumlah tantangan mendasar. Tarif pajak final berbasis omzet mengabaikan variasi margin keuntungan UMKM, sehingga merugikan UMKM yang memiliki margin kecil.

Hal ini bertentangan dengan prinsip equity dalam teori perpajakan, termasuk teori keadilan distributif dan komutatif menurut Zippelius, yang menekankan perlakuan fiskal yang proporsional terhadap kapasitas ekonomi masing-masing wajib pajak. Dengan demikian, walaupun kebijakan ini sukses dalam aspek administrative feasibility dan simplicity, namun keberhasilan dari sisi justice dan economic accuracy masih terbatas.

Indonesia masih perlu mengembangkan kebijakan yang lebih adaptif, seperti pendekatan hybrid antara omzet dan laba bersih atau dengan memberikan opsi pembukuan sederhana bagi UMKM yang mulai berkembang untuk dapat mencapai sistem perpajakan yang adil, efisien, sederhana, dan mampu mencerminkan kemampuan ekonomi riil wajib pajak dalam jangka panjang.

Terdapat sejumlah dampak tak terduga (unintended impact) dari penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% atas omzet UMKM yang perlu dikaji secara kritis. Pertama, kebijakan ini menyebabkan beban pajak yang tidak proporsional terhadap margin keuntungan. Karena dasar pengenaan pajaknya adalah omzet, bukan laba bersih, UMKM dengan margin keuntungan rendah dikenakan jumlah pajak yang sama dengan UMKM yang memiliki margin besar.

Hal ini menimbulkan tekanan fiskal bagi pelaku usaha yang berada pada sektor dengan biaya tinggi dan persaingan harga yang ketat. Kedua, terdapat disinsentif bagi pelaku usaha untuk berkembang (growth disincentive), karena cenderung menjaga skala usaha agar tidak terkena kewajiban pajak yang lebih kompleks. Ketiga, kebijakan ini dapat menciptakan distorsi kompetisi antar UMKM. UMKM yang efisien dengan margin tinggi mampu menanggung beban pajak dengan lebih ringan dibandingkan UMKM dengan margin kecil, sehingga kompetisi menjadi tidak setara secara struktural.

Selain itu, minimnya persyaratan administrasi seperti pembukuan atau pelaporan laba-rugi membuat pengelolaan keuangan menjadi kurang transparan dan menyulitkan akses ke lembaga keuangan karena tidak tersedianya dokumen keuangan yang diperlukan. Penggunaan basis omzet sebagai dasar pajak membuka peluang terjadinya pelaporan yang tidak akurat atau manipulatif. Pelaku usaha mungkin tergoda untuk melaporkan omzet yang lebih rendah dari realita guna menekan kewajiban pajak, yang pada gilirannya menyulitkan otoritas pajak dalam pengawasan dan validasi data.

Penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM pada dasarnya mencerminkan prinsip Ease of Administration dalam administrasi perpajakan. Kebijakan ini memberikan kemudahan pelaporan dan pembayaran pajak, terutama bagi pelaku usaha dengan kapasitas administrasi terbatas. Dari perspektif final income tax, pendekatan ini menghilangkan kewajiban pembukuan dan pelaporan komprehensif, sehingga memperkecil beban kepatuhan pajak (compliance cost) pada sektor UMKM.

Namun demikian, bila dikaitkan dengan ETR, kebijakan ini menimbulkan distorsi, karena tarif tunggal yang dikenakan tanpa mempertimbangkan tingkat laba atau kapasitas riil masing-masing pelaku usaha dapat menyebabkan ketidakadilan horizontal. Terakhir, sistem ini menyulitkan pemerintah dalam melakukan analisis fiskal berbasis kapasitas riil UMKM karena tidak tersedia data informasi keuangan yang representatif.

Ketiadaan informasi ini dapat mengaburkan evaluasi kontributif sektor UMKM terhadap penerimaan negara serta menghambat perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti (evidence-based policy). Dengan demikian, meskipun tarif final 0,5% memberikan simplifikasi prosedural, berbagai dampak negatif yang menyertainya menuntut peninjauan ulang untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan fiskal.

Kebijakan pengenaan tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet bagi pelaku UMKM telah memberikan kemudahan administratif dan meningkatkan partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional. Namun, untuk meningkatkan keadilan fiskal dan kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini perlu perlu disempurnakan di masa mendatang.

Salah satu arah perbaikannya adalah dengan menerapkan pajak progresif yang lebih adil, di mana tarif disesuaikan berdasarkan keuntungan agar UMKM dengan margin rendah tidak menanggung beban yang sama seperti yang bermargin tinggi, sejalan dengan prinsip ability to pay. Kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% dirancang untuk menyederhanakan kewajiban administrasi perpajakan, terutama bagi pelaku usaha dengan keterbatasan kapasitas pencatatan dan pelaporan.

Namun, dalam pelaksanaannya, sistem ini menimbulkan isu ketidakadilan karena tidak mempertimbangkan variasi margin keuntungan antar pelaku usaha. Dalam konteks ETR, skema ini menghasilkan beban pajak efektif yang tidak proporsional. Sebagai alternatif, pendekatan berbasis norma dapat diintegrasikan kembali dalam skema pengenaan pajak final. Meskipun norma ini telah lama diberlakukan sebelum kemunculan tarif final 0,5%, secara hukum ia tetap berlaku dan dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan penghasilan neto wajib pajak berdasarkan omzet dan karakteristik sektoral. Dalam skema ini, perhitungan dilakukan dengan mengalikan omzet dengan tarif norma untuk menghasilkan estimasi penghasilan neto, yang kemudian dikalikan dengan tarif final.

Skema ini tetap sederhana, namun lebih adil karena mempertimbangkan estimasi laba usaha sebagai dasar pengenaan pajak, sekaligus menurunkan beban pajak secara signifikan dibanding skema 0,5%. Pendekatan ini membawa nuansa baru dalam Final Income Tax, dengan mengombinasikan prinsip kemudahan dan keadilan, selain memberikan simplifikasi prosedural, model ini juga menjawab kritik terhadap ketimpangan beban pajak antar pelaku UMKM. Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap kebijakan tarif final perlu dipertimbangkan.

Dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya sederhana tetapi juga adil, pendekatan berbasis Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dapat diadaptasi dan dikombinasikan ke dalam skema tarif final. Meskipun selama ini NPPN digunakan dalam kerangka perhitungan pajak dengan tarif progresif dalam konteks reformasi kebijakan UMKM, NPPN dapat dikombinasikan dengan tarif final untuk menghasilkan sistem yang sederhana dan lebih adil dibanding sistem final 0,5% langsung atas omzet. Dalam usulan ini, perhitungan dilakukan dengan rumus: Omzet × Tarif Norma × Tarif Final, di mana tarif final yang digunakan bukan lagi 0,5%, tetapi sebesar 0,1%.

Artinya, norma digunakan untuk memperkirakan laba usaha, namun tidak dikalikan tarif progresif seperti pada skema pelaporan penuh, melainkan tetap menggunakan tarif final. Tujuannya adalah mempertahankan kesederhanaan administratif, sekaligus menghadirkan dimensi keadilan melalui pengenaan pajak atas estimasi laba.

Skema ini tetap memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM yang belum mampu menyusun pembukuan, namun memberikan pengurangan beban pajak (tax reduction) yang lebih proporsional karena tidak semua omzet dianggap sebagai dasar pengenaan pajak. Jika dibandingkan dengan sistem final 0,5% langsung atas omzet, penggunaan norma terlebih dahulu untuk memperkirakan neto kemudian dikenakan tarif final 0,1% akan memberikan beban pajak yang lebih adil, terutama bagi pelaku UMKM dengan margin laba rendah.

Dengan demikian, pendekatan ini secara tidak langsung menjawab kritik terhadap sistem final yang dianggap “lump-sum” dan tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay). Meskipun bersifat normatif dan bukan berbasis laporan keuangan aktual, penggunaan norma tetap mewakili profit sebagai dasar keadilan vertikal dan horizontal dalam perpajakan.

Maka, kombinasi ini bukan sekadar teknis fiskal, tetapi juga mencerminkan kompromi antara prinsip keadilan dan prinsip ease of administration. Usulan tarif final sebesar 0,1% didasarkan pada prinsip kompetitivitas dan benchmark global, terutama merujuk pada yurisdiksi seperti Bahama dan Kepulauan Cayman yang hingga saat ini memberlakukan tarif PPh badan sebesar 0%. Sebagai negara dengan struktur pajak yang sangat rendah (bahkan nihil), kedua negara tersebut menarik perhatian dunia usaha karena memberikan kemudahan dan insentif fiskal yang kuat. Dalam kerangka ini, Indonesia sebagai negara berkembang perlu merancang skema yang tetap memberikan kontribusi fiskal dari sektor informal dan UMKM, namun tidak membebani secara berlebihan.

Tarif 0,1% atas laba estimasi menjadi titik temu antara asas keadilan, kemudahan, dan penerimaan negara, juga menjadi bentuk signal bahwa negara memberikan dukungan penuh terhadap sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dibanding skema flat 0,5% atas omzet, pendekatan berbasis laba estimasi lebih representatif dan adil, khususnya bagi UMKM yang beroperasi di sektor dengan margin tipis.

Dalam kesimpulannya, skema kombinasi norma penghasilan neto dan tarif final 0,1% ini dapat dikembangkan sebagai model Tarif Final Alternatif yang sederhana dan adil. Hal ini sekaligus menjawab kebutuhan akan sistem perpajakan yang berlandaskan pada simplifikasi, efisiensi, dan keadilan fiskal yang lebih inklusif terhadap keragaman kondisi usaha di sektor UMKM.

Dari sisi keadilan fiskal, tarif 0,1% menjadi bentuk kompromi yang adil karena pajak dikenakan atas laba estimatif, bukan atas omzet kotor. Artinya, walaupun skema ini tetap bersifat final dan sederhana, ia mengandung elemen ability to pay karena estimasi profit menjadi dasar pengenaan pajak. Secara fiskal makro, penurunan tarif dari 0,5% ke 0,1% dapat dikompensasi dengan perluasan basis pajak yang lebih adil dan realistis.

Penerapan skema ini juga menghindari “over-taxation” terhadap UMKM yang operasionalnya efisien tetapi profitabilitasnya rendah. Pemilihan tarif 0,1% juga mempertimbangkan bahwa dalam sistem final berbasis norma, beban pajak tidak bisa disamakan dengan tarif final atas omzet kotor. Oleh sebab itu, 0,1% dinilai optimal karena secara praktis setara atau bahkan lebih rendah dari ETR riil pelaku UMKM di banyak sektor, sekaligus menjaga daya saing, arus kas, dan insentif untuk patuh. Dengan demikian, tarif final 0,1% atas omzet setelah dikalikan norma penghasilan neto dapat dikembangkan sebagai skema Tarif Final II, yaitu tarif final berbasis estimasi laba, bukan omzet bruto.

Skema ini tetap mempertahankan kesederhanaan prosedural, namun lebih akurat merefleksikan kemampuan ekonomis wajib pajak, sehingga memberikan keseimbangan antara efisiensi sistem dan prinsip keadilan fiskal yang inklusif. Selanjutnya, penting juga untuk mendorong penggunaan aplikasi pembukuan digital untuk meningkatkan literasi keuangan dan transisi ke sistem pajak berbasis laba. Kebijakan yang fleksibel juga diperlukan dengan memberi opsi pilihan skema pajak kepada pelaku UMKM, baik tetap menggunakan skema final maupun beralih ke pembukuan biasa, sesuai dengan kapasitas administratif dan skala usaha masing-masing.

Dalam mendukung hal tersebut, pemerintah juga perlu memperkuat literasi perpajakan dan pendampingan UMKM, terutama melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, dinas koperasi usaha kecil dan menengah (DINKOP UKM), konsultan pajak, dan komunitas bisnis lokal, agar kepatuhan pajak yang dibangun bersifat sukarela dan berbasis pemahaman yang kuat.

Untuk menjaga keberlangsungan usaha kecil yang memiliki margin laba rendah atau yang terdampak krisis seperti pandemi, disarankan adanya perluasan insentif atau pengurangan tarif sementara sebagai bentuk perlindungan fiskal. Terakhir, skema pajak final dapat diharmonisasikan dengan tujuan pembangunan sosial dan lingkungan melalui insentif tambahan, seperti tarif lebih rendah bagi UMKM yang ramah lingkungan dan berorientasi ekspor.

Dengan berbagai perbaikan tersebut, kebijakan perpajakan terhadap UMKM tidak hanya menjadi alat penghimpunan penerimaan negara, tetapi juga menjadi instrumen strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bandung

Juan Kasma, Alvi Diani Khoirunissa

Email: alvidianikhoirunissa@gmail.com

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayman Falak , M. (2023). “A guide to taxation in thailand. ASEAN Business News”. https://www.aseanbriefing.com/news/a-guide-to-taxation-in-thailand.

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “Keadilan dalam tata cara perpajakan indonesia: Tantangan dan harapan”. http://pajak.go.id/id/artikel/keadilan-dalam-tata-cara-perpajakan-indonesia-tantangan-dan-harapan

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “UMKM marak, ekonomi bergerak, dan peran pajak”. http://pajak.go.id/id/artikel/umkm-marak-ekonomi-bergerak-dan-peran-pajak

Direktorat Jenderal Pajak (2025).”Jangan Sampai Terlewat Pemberitahuan Penggunaan Norma (NPPN)”. https://pajak.go.id/id/artikel/jangan-sampai-terlewat-pemberitahuan-penggunaan-norma-nppn

Kadin Indonesia (2023). “Umkm indonesia”. https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/

Thirosha (2025). “Malaysian SME Tax Incentives Guide 2025”, Incorp Malaysia. https://malaysia.incorp.asia/guides/malaysian-sme-tax-incentives-guide/

PwC (2025), “Singapore CorporateTaxes on Corporate Income”. 2025, https://taxsummaries.pwc.com/singapore/corporate/taxes-on-corporate-income

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Rosdiana, Edi Slamet Irianto & Titi Muswati Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai: Kebijakan Dan Implementasinya di indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, 82)

 

 

 

 

Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun Coretax, Ini Panduannya!

Mulai tahun pajak 2025, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan akan dilakukan secara penuh melalui sistem Coretax DJP, platform administrasi pajak digital terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Oleh karena itu, aktivasi akun Coretax DJP menjadi langkah wajib yang harus dilakukan oleh setiap wajib pajak sebelum melaporkan SPT.

Bagi wajib pajak yang telah memiliki akun DJP Online dan nomor NPWP 16 digit, proses aktivasi akun dapat dilakukan dengan mudah melalui laman coretaxdjp.pajak.go.id.

Langkah-langkah Aktivasi Akun Coretax DJP:

• Akses Laman Coretax DJP

Kunjungi situs resmi Coretax DJP, lalu gulir ke bagian paling bawah halaman dan klik tautan “Aktivasi Akun Wajib Pajak”.

• Isi Formulir Permintaan Akses Digital

Anda akan diarahkan ke halaman untuk mengisi data dan informasi pada kolom “Permintaan Akses Digital”. Centang pernyataan “Apakah wajib pajak sudah terdaftar?”.

• Masukkan NPWP

Ketikkan NPWP 16 digit Anda, lalu klik “Cari”.

• Isi Email dan Nomor Ponsel

Pastikan alamat email dan nomor ponsel yang dimasukkan adalah yang sama dengan data yang terdaftar di sistem DJP Online. Jika terdapat perubahan, hubungi Kring Pajak di 1500200 atau datangi kantor pajak terdekat untuk pembaruan data.

• Verifikasi Identitas

Lengkapi proses verifikasi identitas. Setelah itu, centang kotak pernyataan dan klik “Simpan”.

• Cek Email Resmi dari DJP

Anda akan menerima email dari alamat domain @pajak.go.id berisi surat penerbitan akun wajib pajak beserta kata sandi sementara.

• Login Pertama di Coretax DJP

Kembali ke laman Coretax DJP, lalu masukkan username, kata sandi sementara, dan kode captcha. Klik “Login”.

• Ganti Kata Sandi dan Buat Passphrase

Saat login pertama, Anda diwajibkan mengganti kata sandi dan membuat passphrase sebagai langkah keamanan tambahan. Simpan perubahan dan login ulang menggunakan kredensial baru.

Sertifikat Digital

Setelah aktivasi selesai, jangan lupa untuk membuat kode otorisasi atau sertifikat digital di dalam sistem Coretax DJP. Sertifikat ini akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik, yang diperlukan untuk pengesahan dan pengiriman SPT Tahunan melalui sistem.

Langkah-langkah pembuatan sertifikat digital juga tersedia dalam menu akun Coretax DJP dan hanya dapat dilakukan setelah akun berhasil diaktivasi.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk tidak menunda proses aktivasi ini agar pelaporan SPT 2025 dapat berjalan lancar dan tepat waktu. (alf)

 

Empat Jenis Baru SPT Masa PPN Berlaku Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menetapkan klasifikasi baru untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seiring implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax. Pembaruan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 serta diperjelas melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-1/PJ/2025 dan PER-12/PJ/2025.

Mengacu pada Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2 PMK 81/2024, terdapat empat jenis SPT Masa PPN yang mulai berlaku untuk masa pajak Januari 2025. Keempat jenis tersebut meliputi:

1. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Digunakan oleh PKP untuk melaporkan penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang, pengkreditan pajak masukan, serta pelunasan pajak baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak ketiga. SPT ini juga mencakup PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN atau pihak lain dalam negeri yang memiliki kewajiban serupa.

2. SPT Masa PPN bagi PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Diperuntukkan bagi PKP dengan omzet tertentu yang menghitung pajak masukan berdasarkan pedoman khusus, termasuk masa sebelum dikukuhkan sebagai PKP.

3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan Pihak Lain Non-PKP

Ditujukan bagi instansi atau badan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN meski tidak berstatus PKP, termasuk pihak lain yang berkedudukan di Indonesia.

4. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik)

SPT ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN di Indonesia. Formulirnya dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris, sebagaimana diatur dalam PER-12/PJ/2025.

Klasifikasi baru ini menggantikan jenis-jenis SPT sebelumnya seperti formulir 1111, 1117 DM, 1107 PUT, dan SPT Unifikasi untuk instansi pemerintah. Perubahan ini menandai transformasi sistem pelaporan perpajakan ke arah yang lebih digital dan terintegrasi lewat Coretax DJP.

Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi reformasi administrasi pajak yang lebih adaptif terhadap perkembangan digital dan model bisnis baru, seperti e-commerce lintas negara.

Selain reformasi SPT Masa PPN, DJP juga tengah mencermati sejumlah isu strategis lain seperti dampak program pemutihan terhadap penerimaan pajak daerah, efektivitas insentif fiskal di Ibu Kota Nusantara (IKN), penanganan lebih bayar PPh Pasal 25, serta pengelolaan dana abadi pemerintah daerah. Semua ini menjadi bagian dari upaya memperkuat sistem fiskal nasional dalam jangka panjang. (alf)

 

 

en_US