Jatim Sumbang Rp57 Triliun ke APBN dari Pajak dan Cukai

IKPI, Jakarta: Kinerja fiskal Jawa Timur menunjukkan capaian menggembirakan. Hingga 31 Maret 2025, total penerimaan negara dari provinsi ini telah mencapai Rp57,68 triliun, atau 20,41 persen dari target APBN tahun ini yang sebesar Rp282,65 triliun. Fakta ini terungkap dalam Konferensi Pers Asset and Liabilities Committee (ALCO) Regional Jatim yang digelar oleh Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Timur.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Jatim sekaligus Kepala Perwakilan Kemenkeu Jatim, Dudung Rudi Hendratna, menyebutkan bahwa sektor industri pengolahan masih menjadi tulang punggung penerimaan pajak di wilayah ini. “Penerimaan pajak per akhir Maret tercatat sebesar Rp21,6 triliun, dengan kontribusi terbesar dari industri pengolahan sebesar Rp12,08 triliun,” jelasnya dalam keterangan resmi, Senin (5/5/2025).

Dari sisi kepabeanan dan cukai, Jawa Timur juga menunjukkan kinerja impresif. Total penerimaan dari sektor ini mencapai Rp33,09 triliun, sebagian besar berasal dari cukai hasil tembakau. “Sebagai sentra utama industri hasil tembakau di Indonesia, Jawa Timur menyumbang angka signifikan. Penerimaan cukai didorong oleh percepatan pembayaran dokumen CK-1 oleh pelaku usaha,” ungkap Dudung. (CK-1 merupakan dokumen pemesanan pita cukai hasil tembakau).

Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga mencatat angka positif sebesar Rp2,04 triliun. Pendapatan ini berasal dari berbagai layanan publik, termasuk jasa pendidikan, kepelabuhanan, pertanahan, serta layanan di sektor kesehatan dan transportasi.

Sementara itu, belanja negara yang disalurkan di Jatim telah mencapai Rp27 triliun atau 21,51 persen dari pagu, terdiri dari belanja kementerian/lembaga senilai Rp7,95 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp19 triliun.

Dudung menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mendukung APBN melalui kepatuhan membayar pajak dan cukai. Ia juga mengingatkan Wajib Pajak yang belum melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan agar segera melakukannya melalui laman djponline.pajak.go.id meskipun tenggat waktu telah berlalu.

“Melalui forum ALCO ini, kami ingin masyarakat semakin memahami bahwa APBN bukan sekadar angka, tapi instrumen penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi daerah,” tutupnya. (alf)

 

 

Masyarakat Kategori Tertentu Dibebaskan dari PPh untuk Pengalihan Tanah dan Bangunan 

IKPI, Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan angin segar bagi masyarakat, terutama kalangan ekonomi kecil dan keluarga, dengan adanya pengecualian Pajak Penghasilan (PPh) untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam situasi tertentu.

Dalam Pasal 200 aturan tersebut dijelaskan, beberapa kategori pengalihan tanah dan bangunan kini tidak lagi diwajibkan membayar atau memungut PPh. Misalnya, bagi orang pribadi dengan penghasilan di bawah ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang menjual aset tanah atau bangunan di bawah Rp60 juta dengan catatan bukan transaksi yang dipecah-pecah.

Tak hanya itu, hibah tanah dan bangunan kepada keluarga sedarah, yayasan keagamaan, pendidikan, sosial, hingga pelaku usaha mikro dan kecil juga mendapat pengecualian pajak, selama tidak ada hubungan usaha atau kepemilikan antara pemberi dan penerima hibah.

Pengalihan karena warisan serta transaksi dalam rangka penggabungan usaha yang telah disetujui Menteri Keuangan juga termasuk dalam daftar bebas pajak.

Pengecualian ini berlaku resmi setelah diterbitkannya surat keterangan bebas PPh dari instansi terkait.

Kebijakan ini dipandang sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah pada keadilan sosial dan dukungan terhadap pelaku UMKM serta keluarga berpenghasilan rendah.

Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini juga memberi kejelasan hukum bagi masyarakat yang hendak melakukan transaksi tanah atau bangunan secara sah dan teratur. (alf)

 

 

Sesditjen Pajak 2015-2019: Konsultan Pajak Pilar Penting Ekosistem Keuangan, Perlu Payung Hukum Lebih Kuat

IKPI, Jakarta: Arfan, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pajak Kemenkeu periode 2015–2019 yang merupakan salah satu calon Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), menyampaikan pandangan strategis mengenai pentingnya peran konsultan pajak dalam sistem keuangan nasional.

Dalam pertemuan antara Anggota Kehormatan, Dewan Penasihat dan Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Hotel Dharmawangsa, baru baru ini, Arfan menegaskan bahwa konsultan pajak merupakan elemen vital dalam ekosistem perpajakan Indonesia dan sudah saatnya memiliki landasan hukum yang kokoh.

“Saya pribadi sangat menghargai undangan ini dan merasa terhormat bisa kembali bertemu dengan para panutan seperti Pak Hadi Poernomo, Pak Soebakir, Pak Nono, dan yang lainnya,” ujar Arfan membuka pernyataannya.

Ia menggarisbawahi, pengalaman langsung selama menjabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan bahwa jumlah konsultan pajak yang aktif jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan wajib pajak di berbagai daerah, seperti saat Kongres IKPI di Makassar beberapa tahun lalu, jumlah anggota tidak sebanyak saat ini yang kabarnya mencapai lebih dari 7100.

“Padahal, konsultan pajak itu sangat penting. Di Jepang, saya lihat sendiri bagaimana masyarakat sangat terbantu dengan keberadaan konsultan. Petugas pajak pun merasa dimudahkan. Ini contoh luar biasa yang seharusnya bisa kita adaptasi,” ungkap Arfan, yang juga pernah melakukan studi banding ke Jepang bersama tim.

Lebih lanjut, Arfan menyoroti perlunya undang-undang khusus tentang konsultan pajak. Menurutnya, peran strategis konsultan pajak yang berada di tengah antara otoritas pajak dan wajib pajak harus didukung oleh legalitas formal agar berjalan lebih aman dan terarah.

“Kita dulu sempat dorong itu bersama Pak Soebakir dan Pak Nono. Bahkan sempat bertemu dengan Ketua DPR saat itu. Harusnya ada progres lebih nyata sekarang,” tegasnya.

Arfan juga mendorong IKPI untuk terus tampil sebagai suara kolektif dalam isu-isu perpajakan nasional. Ia menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam mendorong kesadaran pajak di Indonesia yang multietnis.

“Budaya bayar pajak itu sulit, di mana-mana. Tapi kita harus coba lewat pendekatan sosial budaya, lokal, bahkan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dalam struktur kehormatan organisasi sehingga lebih berwarna dan memiliki pandangan luas,” katanya.

Ia mengungkapkan, langkah strategis yang harus dijalankan IKPI dalam menjalankan visi misinya. Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, IKPI tidak hanya berkolaborasi dengan DJP, tetapi sangat penting juga meng-edukasi dan membawa aspirasi Wajib Pajak.

“Kebetulan, kami sudah tahap akhir dalam proses pembentukan Taxpayer Community, yakni salah satu organisasi yang penting dalam ekosistem perpajakan. Jadi, ada DJP, IKPI (wadah konsultan) dan ada Taxpayer Community (wadah WP). Lengkap sudah. Semoga dengan adanya tiga pilar ini, perpajakan Indonesia bisa jadi baik sesuai harapan,” ujarnya.

Lebih lanjut Arfan menyampaikan kesiapannya untuk terlibat aktif dalam pengembangan organisasi. Ia mengajak pengurus IKPI untuk menyusun rencana aksi konkret, melakukan brainstorming, dan mengeksekusi ide-ide yang bisa membawa IKPI lebih dikenal, lebih solid, dan lebih berpengaruh dalam percaturan perpajakan nasional.

“Saya siap membantu. Ayo kita gerak bersama,” pungkasnya. (bl)

PPN Pulsa dan Voucher Diatur Ulang: Berlaku Rumus 11/12

IKPI, Jakarta: Pemerintah menetapkan penghitungan baru untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 Pasal 13. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk transaksi tersebut kini menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari nilai pembayaran atau tagihan.

Ayat (2) dan (3) mengatur bahwa penyerahan pulsa dan kartu perdana oleh pelaku usaha telekomunikasi dan distributor dihitung berdasarkan 11/12 dari nilai pembayaran yang ditagih atau dari harga jual kepada pelanggan.

Pada ayat (4), penjualan token listrik dikenai PPN dari 11/12 nilai komisi, pendapatan administrasi, atau selisih nilai nominal dengan nilai yang diminta, tidak termasuk pajak daerah dan bea meterai.

Untuk jasa pemasaran voucer, distribusi voucer, dan program loyalitas pelanggan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (5), DPP juga menggunakan pendekatan 11/12 dari komisi atau selisih nilai tagih dan bayar, sesuai bentuk penyerahannya.

Ketentuan ini menandai perubahan signifikan dalam sistem administrasi PPN atas produk digital dan jasa distribusi, sebagaimana tercantum secara eksplisit dalam Pasal 13 PMK 11/2025. (alf)

 

 

Restitusi Pajak hingga Maret 2025 Capai Rp 144,38 Triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan dalam realisasi restitusi pajak hingga akhir Maret 2025. Angkanya mencapai Rp144,38 triliun, naik tajam 72,88% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar Rp83,51 triliun.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mayoritas restitusi berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri sebesar Rp113,29 triliun. Sementara itu, restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Badan tercatat sebesar Rp29,4 triliun dan sisanya berasal dari jenis pajak lainnya sebesar Rp2,05 triliun.

Kenaikan tajam dalam restitusi ini terjadi di tengah laporan menggembirakan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang menyebutkan bahwa pendapatan negara hingga Maret 2025 melonjak menjadi Rp516,1 triliun. Angka ini mencerminkan peningkatan signifikan sebesar Rp200 triliun hanya dalam waktu satu bulan, dibandingkan akumulasi pendapatan Januari-Februari sebesar Rp316,9 triliun.

“Ini adalah sinyal positif yang menunjukkan bahwa tekanan yang sempat dirasakan pada awal tahun sudah mulai mereda. Pemulihan mulai terlihat, dan tren penerimaan negara kembali menguat,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (30/4/2025).

Secara rinci, pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp322,6 triliun, kepabeanan dan cukai sebesar Rp77,5 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp115,9 triliun.

Kombinasi antara peningkatan restitusi dan lonjakan pendapatan negara menjadi indikator penting bahwa geliat ekonomi nasional mulai pulih, sekaligus memberikan optimisme bagi pelaku usaha dan investor di tengah ketidakpastian global. (alf)

 

Hadi Poernomo Siap Dorong Lahirnya UU Konsultan Pajak: Upaya Bersama Anggota Kehormatan IKPI

IKPI, Jakarta: Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Dr. Drs. Hadi Poernomo, Ak., CA., MBA., CertDA., CIISA., CLA, menyatakan komitmennya untuk mendorong lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) dalam sebuah pertemuan strategis antara Anggota Kehormatan, Dewan PenasIhat, dan Pengurus Pusat IKPI yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa, baru-baru ini.

Dalam pernyataannya, Hadi menegaskan bahwa keberadaan UU KP sangat krusial bagi sistem perpajakan Indonesia. “UU ini bukan hanya akan melindungi konsultan dan wajib pajak, tetapi juga berkontribusi besar dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan secara nasional,” ujarnya.

Hadi menambahkan, anggota kehormatan IKPI akan melakukan berbagai pendekatan strategis kepada pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan, guna meyakinkan pentingnya regulasi ini.

Di samping itu, agenda roadshow ke berbagai media massa Baik radio maupun media online juga tengah disiapkan untuk mengedukasi publik mengenai urgensi UU KP.

“UU ini akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi profesi konsultan pajak, serta menciptakan iklim perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel,” imbuh Hadi yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak dan Ketua BPK RI.

Saat ini, IKPI telah memiliki 14 anggota kehormatan yang terdiri dari para tokoh ekonomi, hukum, dan perpajakan nasional seperti :

1. Dr. Darmin Nasution
2. ⁠Prof. Dr. Gunadi, MSc, Ak
3. ⁠Dr. Hadi Poernomo
4. ⁠Haryadi B. Sukamdani
5. ⁠Prof. R. Hendrawan Supratikno
6. ⁠Hotman Paris Hutapea, SH, MH
7. ⁠Sonny Triharsono, SH, MSc
8. ⁠Dr. Machfud Sidik, M.Sc
9. ⁠Drs. Achmad Din
10. ⁠Dr. Ahmad Fuad Rahmany
11. ⁠Dr. Fuad Bawazier
12. ⁠Dr. Robert Pakpahan
13. ⁠Dr. Mukhamad Misbakhun, S.E., M.H.
14. ⁠Drs. Mochamad Tjiptardjo, MA

Dua tokoh perpajakan lainnya yakni, Ken Dwijugiasteadi (Dirjen Pajak 2015-2017) dan Arfan (Sesditjen Pajak 2015-2019) telah menyatakan kesediannya dan segera menyusul bergabung setelah proses administrasi keanggotaan mereka rampung.

Dengan sinergi para tokoh nasional di tubuh IKPI, diharapkan UU Konsultan Pajak dapat segera menjadi kenyataan demi mendukung ekosistem perpajakan Indonesia yang lebih profesional dan berkeadilan. (bl)

Kesempatan Terakhir! Pendaftaran Ulang USKP Periode I Tahun 2025 Diperpanjang Hingga 6 Mei

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) mengumumkan pendaftaran ulang untuk Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode I Tahun 2025 resmi diperpanjang.

Tentunya, ini menjadi angin segar, khususnya bagi peserta yang akan mengulang ujian pada Tingkat A dan Tingkat B, yang sebelumnya mungkin terkendala waktu atau teknis saat proses pendaftaran awal.

Periode perpanjangan pendaftaran akan dibuka mulai Senin, 5 Mei 2025 pukul 08.00 WIB hingga Selasa, 6 Mei 2025 pukul 12.00 WIB. Waktu yang sangat terbatas ini menuntut ketelitian dan kesiapan peserta agar tidak kembali melewatkan kesempatan penting ini.

Namun perlu diperhatikan, perpanjangan ini hanya berlaku untuk lokasi-lokasi ujian yang masih memiliki kuota tersisa. Artinya, peserta perlu segera mengakses informasi terbaru untuk memastikan lokasi yang masih tersedia dan menyesuaikan pilihan sesuai kapasitas yang masih terbuka.

Langkah ini menunjukkan komitmen panitia dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta yang serius menempuh jalur profesional sebagai konsultan pajak tersertifikasi. Di tengah tingginya animo dan persaingan dalam dunia perpajakan profesional, sertifikasi melalui USKP merupakan salah satu pintu utama menuju kredibilitas dan pengakuan resmi dari negara.

Bagi peserta yang ingin memperoleh informasi lebih lengkap, termasuk lokasi, persyaratan, dan mekanisme pendaftaran ulang, dapat langsung mengakses laman resmi, https://klc2.kemenkeu.go.id/sertifikasi/uskp/.

Lokasi Pelaksanaan

(bl/alf)

 

 

Tarif Sanksi Pajak Mei 2025 Stabil, Ada Kenaikan Tipis di Beberapa Pelanggaran

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan tarif bunga sebagai dasar pengenaan sanksi administratif pajak untuk periode 1–31 Mei 2025. Ketetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 6/MK/KF/2025 yang ditandatangani Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, pada Jumat (2/5/2025).

Dalam beleid tersebut, pemerintah mengatur tarif bunga bulanan yang berlaku untuk sanksi administratif maupun imbalan bunga bagi Wajib Pajak, sebagaimana tercantum dalam sejumlah pasal Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Secara umum, tarif bunga Mei 2025 menunjukkan kecenderungan stabil jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, terdapat sedikit peningkatan pada beberapa kategori pelanggaran pajak.

Salah satu tarif yang tetap adalah untuk permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3), yang berada di angka 0,58 persen per bulan tidak berubah dari April, setelah sebelumnya naik dari 0,57 persen pada Maret.

Adapun tarif untuk pelanggaran dalam Pasal 8 ayat (2) dan (2a), Pasal 9 ayat (2a) dan (2b), serta Pasal 14 ayat (3) juga tetap bertahan di level 1,00 persen per bulan. Stabilitas ini dinilai memberi kepastian bagi wajib pajak yang tengah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Sementara itu, bunga atas pengungkapan ketidakbenaran sebelum pemeriksaan (Pasal 8 ayat 5) mengalami sedikit kenaikan menjadi 1,42 persen, naik tipis dari 1,41 persen di bulan sebelumnya.

Kenaikan serupa terjadi pada Pasal 13 ayat (2) dan (2a) terkait penerbitan Surat Ketetapan Pajak, yang naik dari 1,82 persen menjadi 1,83 persen. Namun, tarif tertinggi masih ditempati oleh sanksi pada Pasal 13 ayat (3b) dengan angka tetap di 2,25 persen.

Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan imbalan bunga kepada Wajib Pajak yang berhak, tetap di angka 0,58 persen per bulan. Imbalan ini berlaku antara lain bagi mereka yang mengalami keterlambatan pengembalian kelebihan bayar, keterlambatan penerbitan SKPLB, atau yang menang dalam proses keberatan, banding, hingga peninjauan kembali. (alf)

 

Dua Petinggi Perusahaan Telekomunikasi Ditahan karena Kasus Pajak Rp8,2 Miliar

IKPI, Jakarta:  Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan resmi menahan dua pejabat tinggi sebuah perusahaan jasa instalasi telekomunikasi elektronik, berinisial BS dan PM, atas dugaan tindak pidana perpajakan yang merugikan negara hingga lebih dari Rp8,2 miliar.

BS selaku Direktur Utama dan PM sebagai Direktur Keuangan PT TE diduga dengan sengaja mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada April dan Desember 2018 secara tidak benar. Modus keduanya adalah melaporkan kompensasi kelebihan pembayaran pajak dengan angka fiktif.

Penahanan dilakukan setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II menyerahkan tanggung jawab hukum dan barang bukti ke Kejari Jaksel. Berkas perkara ini telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum Kejati DKI Jakarta sejak 28 Februari 2025.

Atas perbuatannya, BS dan PM diancam hukuman pidana penjara maksimal enam tahun dan denda sebesar 300 persen dari kerugian negara, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan/atau i UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah diperbarui melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II, Neilmaldrin Noor, menegaskan bahwa proses hukum ini merupakan bentuk ketegasan negara dalam menindak pelanggaran perpajakan yang dilakukan secara sengaja dan terstruktur. Ia menyebut, sebelum melangkah ke jalur pidana, DJP telah memberi ruang perbaikan melalui imbauan dan pengungkapan ketidakbenaran sesuai Pasal 8 UU KUP, namun tidak diindahkan oleh para tersangka.

“Pemidanaan ini merupakan upaya terakhir setelah pendekatan persuasif tidak berhasil. Kami juga akan melakukan penyitaan aset untuk menjamin pemulihan kerugian negara,” kata Neil dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5/2025).

DJP berkomitmen melanjutkan kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah pelanggaran serupa oleh wajib pajak lainnya. (bl)

 

 

 

Kabar Gembira! Jual Beli Tanah Kini Bisa Bebas Pajak, Ini Syaratnya

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur ketentuan baru mengenai Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 192, yang menetapkan tarif baru PPh final untuk berbagai jenis transaksi properti Dengan tarif yang jauh lebih terstruktur, bahkan ada yang dibebaskan sepenuhnya (0%).

Tiga Skema Tarif PPh Final

Dalam Pasal 192 ayat (1), tarif PPh ditentukan berdasarkan jenis pengalihan dan pihak penerima, sebagai berikut:

• 0% (Nol Persen)

Dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada:

• Pemerintah

• BUMN dengan penugasan khusus dari pemerintah

• BUMD dengan penugasan dari kepala daerah

Pengalihan ini harus dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang.

• 1% (Satu Persen)

Berlaku untuk pengalihan rumah sederhana (RS) dan rumah susun sederhana (RSS) oleh Wajib Pajak yang kegiatan usahanya memang berfokus pada jual beli tanah dan bangunan sebagai barang dagangan. Properti yang dimaksud harus memenuhi kriteria RS dan RSS yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan.

• 2,5% (Dua Koma Lima Persen)

Dikenakan pada pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain dari dua kategori di atas.

Penentuan Nilai Pengalihan

Ayat (2) menjelaskan dasar nilai pengalihan yang digunakan dalam perhitungan PPh:

• Pengalihan kepada pemerintah: nilai ditentukan oleh pejabat yang berwenang.

• Pengalihan lewat lelang resmi: mengacu pada nilai risalah lelang.

• Pengalihan jual beli tanpa hubungan istimewa: nilai yang benar-benar diterima.

• Pengalihan dengan hubungan istimewa: nilai yang seharusnya diterima.

• Selain itu (hibah, waris, tukar-menukar, dll): nilai yang seharusnya diterima berdasarkan harga pasar.

Ayat (3) menyebutkan bahwa penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah/bangunan juga dikenakan tarif PPh yang sama (0%, 1%, atau 2,5%) tergantung pada jenis transaksi dan hubungan antar pihak.

Dalam ayat (5), ditegaskan bahwa tarif 1% hanya dapat digunakan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan—artinya pengembang properti secara formal. (alf)

 

en_US