Pengukuhan PKP Bisa Lewat Coretax, Ini Prosedur Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan regulasi terbaru, PER-7/PJ/2025, yang memuat ketentuan teknis mengenai pengajuan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara elektronik melalui portal wajib pajak atau sistem administrasi terbaru, Coretax. Ketentuan ini menjadi sorotan utama di berbagai media nasional hari ini.

Lewat sistem digital tersebut, pengusaha kini bisa mengajukan permohonan PKP tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Cukup dengan mengisi dan menandatangani formulir secara elektronik, lalu mengunggahnya lewat coretax system, lengkap dengan peta lokasi dan foto tempat usaha.

“Permohonan pengukuhan PKP dilakukan secara elektronik melalui portal wajib pajak, dengan menyertakan peta dan foto lokasi usaha,” demikian tertulis dalam Pasal 52 ayat (3) PER-7/PJ/2025.

Siapa Wajib Ajukan Pengukuhan PKP?

Berdasarkan beleid ini, setiap pengusaha yang menyerahkan barang atau jasa kena pajak sesuai dengan UU PPN, wajib dikukuhkan sebagai PKP, kecuali termasuk kategori pengusaha kecil dengan omzet tahunan tidak melebihi Rp4,8 miliar, sebagaimana diatur dalam PMK 164/2023.

Dengan status PKP, pelaku usaha dapat melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi yang dilakukan.

Langkah-Langkah Pengajuan Melalui Coretax

Pengajuan melalui Coretax system atau portal wajib pajak kini menjadi salah satu kanal resmi, sebagaimana diperkuat dalam PMK 81/2024. Namun, pengajuan juga masih bisa dilakukan lewat kanal lain yang terhubung dengan sistem DJP atau melalui contact center resmi.

Bila dokumen dinyatakan lengkap, sistem akan secara otomatis menerbitkan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) paling lambat satu hari kerja. Sebaliknya, jika permohonan tidak memenuhi syarat, tidak akan diterbitkan BPE dan permohonan tidak akan diproses lebih lanjut.

BPE ini memiliki kedudukan yang setara dengan surat keterangan pengukuhan PKP, dan menjadi dasar bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk melakukan verifikasi administratif.

Setelah menerima BPE, KPP akan melakukan penelitian kantor terhadap permohonan, yang meliputi:

• Pemeriksaan data dan dokumen identitas usaha, termasuk klasifikasi bidang usaha.

• Pengecekan kelengkapan lampiran, seperti peta, foto lokasi, dan surat pernyataan aktivitas usaha.

• Verifikasi status fiskal, memastikan bahwa pemohon tidak sedang diblokir dari akses faktur pajak.

Bila memenuhi seluruh persyaratan, kepala KPP akan menerbitkan surat pengukuhan PKP. Namun bila ada kekurangan, maka akan diterbitkan surat penolakan.

Kedua jenis keputusan tersebut wajib dikeluarkan dalam waktu maksimal 10 hari kerja sejak BPE diterbitkan. Jika hingga batas waktu tersebut belum ada keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan secara otomatis, dan surat pengukuhan harus diterbitkan dalam satu hari kerja setelahnya. (alf)

 

Misbakhun Soroti Kesenjangan Rasio Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengangkat persoalan mendasar terkait stagnasi rasio pajak nasional yang dinilai tidak sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun penerimaan pajak rutin mencapai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Misbakhun menilai capaian tersebut belum mencerminkan potensi maksimal yang dimiliki negara.

“Kita sering merasa puas karena target penerimaan pajak tercapai, tapi itu belum mendekati potensi riil kita,” kata Misbakhun dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

Ia menjelaskan, ukuran paling sederhana untuk menilai rasio pajak adalah membandingkan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai contoh, pada tahun 2020, PDB Indonesia menyentuh angka Rp 15.000 triliun, sementara penerimaan pajak hanya sebesar Rp 1.072 triliun. Menurutnya, perbandingan ini menunjukkan masih adanya ruang yang sangat besar untuk meningkatkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional.

“Ekonomi kita bertumbuh, tapi rasio pajaknya tak ikut naik. Itu yang jadi masalah,” jelasnya.

Politikus asal Partai Golkar ini menilai, stagnasi tersebut bukan persoalan baru. Ia menyoroti bahwa fenomena ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan rasio pajak sudah terjadi sejak lama, namun belum pernah ditelaah secara serius baik oleh pemerintah maupun kalangan akademisi.

“Belum ada riset komprehensif dari lembaga riset dalam negeri ataupun universitas top dunia yang benar-benar mengupas tuntas soal anomali ini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia membandingkan dengan kondisi tahun 2004 saat rasio pajak Indonesia berada di angka 12,7%. Seandainya dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan konsisten sebesar 0,2% per tahun, maka saat ini rasio pajak Indonesia bisa saja menyentuh 16%. Jika target itu tercapai, katanya, pemerintah bahkan bisa mengurangi ketergantungan pada utang karena APBN akan mengalami surplus.

“Ini soal gap yang terus dibiarkan. Pertumbuhan ekonomi dan tax ratio kita seperti berjalan di jalur berbeda, dan kita tidak pernah benar-benar mencari tahu penyebabnya,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

DPR Tegaskan Pengusaha Tak Patuh Pajak Sulit Dapat Pinjaman Bank

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyoroti eratnya kaitan antara kepatuhan pajak dan kemudahan akses pembiayaan bagi pelaku usaha. Ia menegaskan bahwa pelaporan serta pembayaran pajak menjadi faktor kunci yang dinilai oleh perbankan sebelum menyetujui permohonan kredit.

“Kalau tidak bayar pajak, jangan harap bisa dapat pinjaman dari bank. Percaya sama saya,” ujar Misbakhun dalam sebuah forum di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

Menurut politisi Partai Golkar itu, proses verifikasi perbankan terhadap pengajuan kredit tak bisa dilepaskan dari dokumen perpajakan, terutama Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Hal ini berlaku tak hanya bagi pelaku usaha besar, tetapi juga UMKM yang ingin mengakses pembiayaan formal.

“Setiap kali mau ajukan pinjaman, pasti ditanya: usahanya apa, untuk apa, dan mana laporan SPT-nya,” tambahnya.

Misbakhun menilai bahwa kepatuhan dalam pelaporan pajak mencerminkan kredibilitas dan kesehatan keuangan sebuah usaha. Oleh sebab itu, bank akan menjadikan dokumen pajak sebagai tolok ukur utama dalam menilai kelayakan calon debitur.

“Semua perusahaan yang mendapat pembiayaan dari bank pasti diminta laporan pajaknya. Itu pasti,” tegasnya.

Pernyataan ini menjadi pengingat bagi dunia usaha agar lebih disiplin dalam menjalankan kewajiban perpajakan, terutama dalam menghadapi tantangan pembiayaan di tengah dinamika ekonomi saat ini. (alf)

 

 

 

 

 

Misbakhun Sebut Wajib Pajak Bukan 73 Juta, Karena Bayi Sudah Terhitung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa seluruh warga negara Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, sudah masuk dalam kategori wajib pajak. Pernyataan ini disampaikannya sebagai kritik atas masih sempitnya pemahaman mengenai siapa yang dianggap sebagai wajib pajak di Indonesia.

“Bukan cuma 73 juta. Dengan adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadikan NIK sebagai NPWP, berarti seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi bagian dari sistem perpajakan,” kata Misbakhun dalam acara diskusi di Kantor PBNU, Rabu (11/6/2025).

Ia menjelaskan, sejak lahir seseorang sudah berkontribusi terhadap penerimaan pajak negara melalui konsumsi barang dan jasa yang dikenai pajak.

“Bayi baru lahir saja sudah bayar pajak. Waktu orang tuanya beli popok, itu kena PPN. Ketika bikin akta kelahiran, ada biaya administrasi, ada pajaknya. Jadi sejak hari pertama, mereka sudah masuk sistem,” tegasnya.

Politisi Partai Golkar itu menyoroti bahwa ukuran kepatuhan pajak seharusnya tidak hanya dilihat dari siapa yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Menurutnya, pendekatan seperti itu bersifat sempit dan administratif.

“Kalau bicara soal kepatuhan, jangan semata dari SPT. Itu hanya soal kelengkapan dokumen, bukan cerminan kontribusi nyata. Apalagi yang ngomong itu pejabat penerimaan negara,” kritik Misbakhun.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta, ia mengajak semua pihak untuk memiliki pemahaman yang lebih luas soal konsep wajib pajak. “Setiap rupiah yang dibelanjakan rakyat, di situ ada kontribusi terhadap pajak. Maka, kita semua bagian dari sistem ini, bukan cuma 73 juta orang,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

 

DJP Atur Penonaktifan Akses Faktur Pajak, Sasar Praktik Fiktif yang Rugikan Negara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor PER-9/PJ/2025 sebagai langkah tegas untuk menekan praktik penyalahgunaan faktur pajak. Aturan yang mulai berlaku sejak 22 Mei 2025 ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang terindikasi melakukan pelanggaran.

Dalam regulasi tersebut, DJP menegaskan bahwa penonaktifan akses dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap potensi kebocoran penerimaan negara akibat praktik penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak tidak sah. Praktik ini mencakup pembuatan faktur tanpa transaksi yang sebenarnya maupun penerbitan oleh pihak yang belum sah sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

“Kegiatan tersebut telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,” demikian bunyi pertimbangan resmi PER-9/PJ/2025 sebagaimana dikutip Kamis (12/6/2025).

Dua Kategori Sasaran Penonaktifan

Aturan ini memuat dua kategori wajib pajak yang menjadi sasaran penonaktifan akses faktur, yakni:

• Wajib Pajak Terindikasi Penerbit, yaitu PKP yang diduga menerbitkan faktur tidak sah, baik yang menyalahgunakan status PKP maupun yang belum memiliki pengukuhan sebagai PKP.

• Wajib Pajak Terindikasi Pengguna, yaitu PKP yang diketahui menggunakan faktur tidak sah dari pihak lain.

Penilaian terhadap penerbit dilakukan melalui analisis terhadap keberadaan serta kewajaran lokasi usaha, dan kesesuaian antara kegiatan usaha dengan profil perpajakan. Sementara penilaian terhadap pengguna difokuskan pada pencermatan pengkreditan pajak masukan yang mencurigakan dalam SPT Masa PPN.

DJP menekankan bahwa penonaktifan dilakukan secara hati-hati melalui analisis dan pengembangan data intelijen. Jika terbukti memenuhi indikasi sebagai pelaku pelanggaran, wajib pajak akan menerima surat pemberitahuan penonaktifan akses beserta hak untuk memberikan klarifikasi.

Sebagai bagian dari pembaruan kebijakan, PER-9/PJ/2025 mencabut peraturan sebelumnya yakni PER-19/PJ/2017 jo. PER-16/PJ/2018. Langkah ini menunjukkan pembaruan pendekatan DJP dalam menghadapi praktik manipulatif yang makin kompleks di bidang perpajakan.

Pencegahan dan Penegakan Hukum

Dengan diberlakukannya peraturan ini, DJP ingin menegaskan komitmen dalam menjaga kredibilitas sistem perpajakan nasional serta memastikan bahwa setiap pajak yang dikreditkan dan disetor benar-benar merepresentasikan transaksi yang sah.

Aturan baru ini menjadi pengingat bagi seluruh pelaku usaha untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan kewajiban perpajakan, khususnya dalam penerbitan dan penggunaan faktur. Kolaborasi dan kepatuhan menjadi kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan. (alf)

 

IKPI Kembali Tarik 11 Pensiunan Pejabat Jadi Anggota Kehormatan IKPI, Ketua Umum: Ini Penguatan Strategis Jaringan dan Pemikiran Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menegaskan perannya sebagai pusat pemikiran perpajakan nasional dengan mengumumkan bergabungnya 11 pensiunan pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai anggota kehormatan. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dan Ketua Departemen Hukum IKPI, Ratna Febrina, dalam rapat pleno organisasi yang digelar baru-baru ini.

“Kami menyambut hangat para tokoh perpajakan ini ke dalam keluarga besar IKPI. Ini bukan hanya kehormatan, tetapi juga langkah strategis untuk memperkuat jaringan dan memperkaya perspektif kami dalam membahas dinamika peraturan perpajakan di Indonesia,” ujar Vaudy.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Ketua Departemen Hukum IKPI, Ratna Febrina, menegaskan bahwa pengangkatan ini telah melalui proses yang sah dan sesuai ketentuan organisasi. “Bergabungnya para pensiunan pejabat DJP ini sudah sepenuhnya sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga (ART) IKPI. Penetapan sebagai anggota kehormatan ini merupakan bentuk penghargaan atas dedikasi dan kontribusi mereka selama ini dalam dunia perpajakan Indonesia,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan kehadiran mereka akan menjadi katalis penguatan kualitas diskursus perpajakan di internal organisasi.

“Mereka bukan sekadar anggota kehormatan, melainkan mitra strategis dalam membagi pengalaman, ilmu, dan wawasan yang sangat relevan,” tegasnya.

Inilah 11 Pensiunan Pejabat DJP yang Resmi Bergabung sebagai Anggota Kehormatan IKPI:

Ken Dwijugiasteadi

Mantan Direktur Jenderal Pajak (2015), alumni Opleidings Institute Financien, Belanda. Pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menkeu dan Kepala Kanwil DJP Kalimantan Timur.

Catur Rini Widosari

Pernah menjabat Direktur Keberatan dan Banding serta Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III. Lulusan Master of Business Taxation dari USC, AS.

Dodik Samsu Hidayat

Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, serta Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara. Lulusan Master of Laws in Taxation.

Muhammad Ismiransyah M. Zain

Pernah menjadi Kepala Kanwil DJP Jakarta Timur dan Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan. Bergelar MBA.

Cucu Supriatna

Mengemban banyak posisi strategis, termasuk sebagai Kepala Kanwil DJP Banten dan Kalimantan Selatan. Bergelar Magister Hukum dari Universitas Indonesia.

Arfan

Pernah menjabat sebagai Sekretaris DJP, Kepala Kanwil DJP Jakarta Timur. Bergelar MBA dari Saint Mary’s University, Halifax, Kanada.

Lucia Widhiharsanti

Mantan Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III yang telah berkontribusi panjang dalam sektor pelayanan perpajakan.

Yuli Kristiyono

Mantan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM DJP, dan pernah menjabat sebagai Direktur Penegakan Hukum DJP. Dikenal luas dalam pengembangan internal DJP.

Yoyok Satiotomo

Pernah menjabat sebagai Kepala Kanwil DJP Jabar I, dengan pengalaman luas dalam tata kelola dan pelayanan fiskal.

Harry Gumelar

Menjabat sebagai Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II sebelum pensiun.

Mukhtar

Mantan Kepala Kanwil DJP Sumatera Utara I, berpengalaman panjang dalam pengawasan wilayah-wilayah strategis.

Dengan latar belakang dan pengalaman yang luas, kehadiran mereka diyakini akan memperkuat posisi IKPI sebagai mitra kritis sekaligus strategis bagi pemerintah dan dunia usaha dalam bidang perpajakan.

“Kolaborasi ini akan memperkaya pemahaman anggota IKPI dan publik terhadap arah kebijakan pajak Indonesia ke depan,” kata Vaudy. (bl)

IKPI Banjarmasin-Banjarbaru Kolaborasi Soroti Implementasi PMK 118/2024: Desak Adanya Kepastian Hukum 

IKPI, Banjarmasin: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Banjarmasin dan Banjarbaru berkolaborasi menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dengan topik “Kebijakan Pemberian Pengurangan atau Pembatalan SKP/STP yang Tidak Benar dan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi”, di Banjarmasin, Rabu (11/6/2025).

Sekretaris IKPI Cabang Banjarmasin, Martha Leviana, menjelaskan bahwa tema ini diangkat berdasarkan arahan dari Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak), sebagai respons atas evaluasi terhadap implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024 dan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang KUP.

“Topik ini penting karena saat ini DJP telah memberikan arahan melalui nota dinas atas PSA. Tujuannya agar ada kepastian hukum serta keseragaman standar dan persyaratan dalam pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi,” ujar Martha, Kamis (11/6/2025).

(Foto: DOK. IKPI Cabang Banjarmasin)

Namun, urgensi tema ini bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, Komwasjak dan para konsultan pajak masih menanti kejelasan berupa nota dinas atau aturan pelaksanaan dari Ditjen Pajak (DJP) terkait kebijakan PMK 118/2024.

“Tidak adanya kepastian teknis ini menjadi perhatian serius, terutama bagi konsultan pajak di Banjarmasin dan Banjarbaru yang menjadi garda terdepan mendampingi wajib pajak,” imbuhnya.

Martha yang juga pencipta Mars IKPI ini, menekankan bahwa kegiatan PP bukan sekadar forum pembelajaran, melainkan juga jembatan komunikasi antara konsultan pajak dan otoritas fiskal.

“Kami berharap forum ini menjadi sarana penyampaian masukan langsung ke Komwasjak. Bahkan kalau perlu, pemerintah mempertimbangkan adanya tax amnesty khusus bagi wajib pajak yang masih memiliki tunggakan,” jelasnya.

Kegiatan yang berlangsung secara tertutup ini hanya diikuti oleh anggota IKPI, dengan partisipasi sebanyak 15 anggota dari Cabang Banjarmasin dan 5 anggota dari Cabang Banjarbaru. Turut hadir pula tiga perwakilan dari Komwasjak sebagai mitra diskusi strategis.

“Peserta cukup antusias karena tema ini sangat relevan dengan tantangan yang kami hadapi saat ini. Klien-klien kami tentu akan meminta kejelasan dan pendampingan profesional, sehingga penting bagi konsultan untuk memahami isu ini secara mendalam,” kata Martha. (bl)

Rasio Pajak: Cermin Relasi Negara dan Ekonomi 

Artikel (1)

Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan denyut nadi bagi pembangunan. Melalui pajak, negara membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga perlindungan sosial. Namun, untuk memahami seberapa besar peran pajak dalam perekonomian, kita perlu melihat rasio pajak sebagai alat ukur yang sangat penting.

Rasio pajak merupakan perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam periode yang sama. Angka ini bukan hanya statistik di atas kertas, melainkan potret tentang bagaimana negara mengelola sumber daya ekonomi, seberapa efektif sistem perpajakannya, dan seberapa kuat hubungan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Semakin tinggi rasio pajak, umumnya menunjukkan bahwa sistem perpajakan berjalan dengan baik, perekonomian tumbuh, dan masyarakat memiliki kemampuan membayar yang lebih baik.

Di sisi lain, rasio pajak yang stagnan atau rendah bisa menjadi tanda bahwa masih banyak potensi ekonomi yang belum tergarap secara optimal, atau bahwa sistem perpajakan belum menjangkau secara luas.

Untuk memahami lebih jauh, kita juga harus memahami PDB. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai semua barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu periode.

PDB mencerminkan kekuatan ekonomi, pertumbuhan, daya saing, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Bahkan, PDB menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan ekonomi nasional. Salah satu cara meningkatkan PDB adalah melalui ekspor, yang memperkuat posisi negara dalam perdagangan global.

Dalam menghitung rasio pajak, ada dua pendekatan umum: sempit dan luas. Dalam arti sempit, yang dihitung hanyalah penerimaan pajak dari pemerintah pusat seperti PPh, PPN, PPnBM, dan PBB. Sementara itu, dalam arti luas, perhitungan juga mencakup penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam seperti migas dan minerba.

Lembaga internasional pun punya pendekatan berbeda. IMF memasukkan pajak pusat, daerah, dan penerimaan SDA. Sedangkan OECD menambahkan kontribusi jaminan sosial ke dalam rumusnya.

Ketiga pendekatan, yaitu: Production Approach, Income Approach, dan Expenditure Approach (akan dibahas pada artikel ke-2).

Sementara itu, PDB sendiri dapat dihitung dengan tiga pendekatan utama: produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Pendekatan produksi menghitung nilai tambah dari setiap sektor industri.

Pendekatan pendapatan menghitung seluruh imbalan yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan pendekatan pengeluaran menjumlahkan seluruh pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan selisih ekspor-impor.

Semua ini menunjukkan bahwa rasio pajak bukan hanya tentang angka yang dibagi dengan angka lain. Ia merupakan refleksi dari banyak elemen struktur ekonomi, cakupan sistem perpajakan, potensi fiskal, dan efektivitas kebijakan pemerintah.

Penulis adalah anggota IKPI dan Dosen Program S1 & S2,

Dr. H. JALIDIN Koderi, SE, MM, BKP
Email: koderij@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Kemenkeu Bebaskan Bea Masuk dan Pajak Barang Jemaah Haji Senilai Rp2,4 M di Hari Pertama Kepulangan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan memberikan angin segar bagi para jemaah haji Indonesia yang baru pulang dari Tanah Suci. Sebanyak 1.800 barang milik jemaah dengan total nilai sekitar US\$149 ribu atau setara Rp2,4 miliar (asumsi kurs Rp16.270/US\$) dibebaskan dari bea masuk dan pajak pada hari pertama kedatangan di Tanah Air.

Kepulangan perdana jemaah haji tahun ini berlangsung pada Kamis dini hari (12/6/2025), pukul 02.00 WIB, dan akan terus berlanjut selama 30 hari ke depan hingga seluruh kloter tiba di Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu memastikan bahwa fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak tidak hanya berlaku untuk barang bawaan, tetapi juga untuk barang kiriman dari Arab Saudi yang dikirim terpisah.

“Kita sudah menerima 1.800 notifikasi barang dari jemaah yang mendapat fasilitas bebas bea masuk dan pajak,” ujar Anggito dalam konferensi pers di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (11/6/2025).

“Barang seperti kurma, sajadah, dan lainnya meskipun nilainya tinggi, tidak akan dikenakan bea masuk maupun pajak dalam rangka impor,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, menekankan bahwa tidak ada proses penjemputan jemaah di bandara. Seluruh penumpang dan bagasi akan langsung diarahkan menuju lokasi **debarkasi, yang tersebar di beberapa titik seperti Pondok Gede (Jakarta Timur), Bekasi, dan Cipondoh (Tangerang).

“Semua barang bawaan akan langsung dibawa ke lokasi debarkasi. Tidak ada pengambilan bagasi di bandara. Penjemputan juga dilakukan di sana, bukan di Soekarno-Hatta,” jelas Gatot.

Dasar Hukum Pembebasan Pajak

Kebijakan ini merujuk pada dua regulasi anyar yang baru diterbitkan oleh Kemenkeu:

  • PMK Nomor 4 Tahun 2025, yang mengubah PMK Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan dan Pajak atas Barang Kiriman.
  • PMK Nomor 34 Tahun 2025, revisi atas PMK Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Barang Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.

(alf)

DJP Terapkan Nomor Identitas Perpajakan Gantikan NPWP dalam Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan perubahan besar dalam sistem administrasi perpajakan lewat terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini tak hanya menyederhanakan proses birokrasi, tapi juga memperkenalkan Nomor Identitas Perpajakan (NIP) sebagai pelengkap sekaligus pengganti NPWP dalam sistem Coretax, yang menjadi tulang punggung baru digitalisasi perpajakan Indonesia.

Langkah ini diambil untuk menyesuaikan implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) serta sebagai tindak lanjut dari PMK Nomor 81 Tahun 2024. Peraturan baru ini mulai berlaku pada 21 Mei 2025, menandai era baru integrasi layanan DJP yang lebih sederhana, terstruktur, dan berbasis teknologi.

“Perubahan ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan pelayanan perpajakan yang lebih baik,” tertulis dalam bagian pertimbangan PER-7/2025 dikutip, Rabu (11/6/2025).

NIP Bisa Berupa NIK, Ini Penjelasannya

Dalam Pasal 7 PER-7/2025, disebutkan bahwa NIP diterbitkan oleh DJP berdasarkan permohonan atau secara jabatan. Identitas ini bisa berbentuk:

  • Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk;
  • Nomor unik 16 digit dari sistem DJP bagi orang pribadi non-penduduk dan badan usaha.

NIP ini menjadi alat identifikasi resmi untuk berbagai aktivitas perpajakan, termasuk penyetoran, pelaporan, hingga permohonan fasilitas pajak.

Siapa Saja yang Bisa Pakai NIP?

NIP ditujukan untuk sejumlah kategori subjek pajak, termasuk:

  1. Subjek pajak luar negeri yang ditunjuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak,
  2. Perwakilan negara asing dan organisasi internasional,
  3. Orang pribadi berpenghasilan di bawah PTKP,
  4. Wanita kawin yang menggabungkan kewajiban perpajakan dengan suami,
  5. Anak di bawah umur yang terdaftar dalam Data Unit Keluarga (DUK),

Badan atau orang pribadi yang tidak memenuhi syarat subjektif/objektif perpajakan sesuai PMK 81/2024.

NIK Bisa Langsung Jadi NIP

Menariknya, bagi penduduk Indonesia, NIK dapat langsung berfungsi sebagai NIP tanpa perlu permohonan khusus, asalkan:

  • Terverifikasi dalam sistem DJP,
  • Belum diaktivasi sebagai NPWP.

Langkah ini diharapkan bisa memangkas proses pendaftaran dan memperluas cakupan administrasi pajak secara digital.

Apa Fungsi NIP?

Nomor Identitas Perpajakan tidak hanya sebagai nomor formal. Fungsinya mencakup:

  • Aktivasi akun wajib pajak,
  • Pelaporan dan penyetoran pajak,
  • Identifikasi pihak dalam faktur pajak,
  • Pengajuan fasilitas PPN dan PPnBM,
  • Proses pengembalian dan pembebasan pajak,
  • Penagihan dan pengawasan perpajakan lainnya. (alf)

 

 

 

 

 

 

en_US