Bank Dunia Sebut Indonesia Kehilangan Potensi Pajak Rp 944 Triliun dalam Lima Tahun

IKPI , Jakarta: Menurut laporan Bank Dunia, kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan di Indonesia dinilai kurang optimal. Pada 2021, kontribusi kedua instrumen ini hanya mencapai 66% dari total penerimaan pajak atau setara dengan 6% dari PDB, yang masih rendah dibandingkan negara-negara tetangga.

Bank Dunia mengidentifikasi bahwa rendahnya kinerja pajak ini disebabkan oleh kombinasi faktor seperti kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit. Akibatnya, Indonesia diperkirakan kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp 944 triliun selama periode 2016-2021.

Potensi kehilangan tersebut meliputi Rp 387 triliun dari ketidakpatuhan PPN dan Rp 161 triliun dari ketidakpatuhan PPh Badan. Sementara itu, Rp 138 triliun dari PPN dan Rp 258 triliun dari PPh Badan hilang akibat kebijakan perpajakan yang dipilih pemerintah.

Bank Dunia juga mencatat rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada 2021 hanya mencapai 9,1%, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%).

Penurunan rasio pajak ini disebut semakin memburuk akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan rasio pajak anjlok ke 8,3% pada 2020. Bank Dunia menyoroti bahwa pandemi memicu peningkatan kesenjangan kepatuhan, kemungkinan karena tekanan ekonomi yang mendorong penghindaran dan penundaan pembayaran pajak. (alf)

 

Bank Dunia: Indonesia Tak Efisien dalam Pemungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Bank Dunia menyoroti ketidakefisienan Pemerintah Indonesia dalam memungut pajak berdasarkan analisis data perpajakan periode 2016-2021. Temuan tersebut dirilis dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, yang tersedia sejak 2 Maret 2025.

Laporan ini menyoroti rendahnya rasio penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan. Indonesia disebut tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang sebanding. “Menunjukkan kurangnya efisiensi (Pemerintah Indonesia) dalam memungut pajak,” ujar Bank Dunia, Selasa (25/3/2025).

Salah satu penyebab utama yang diidentifikasi adalah maraknya aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy), yakni aktivitas yang tidak tercatat secara resmi sehingga pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari sektor tersebut. Menurut studi oleh Medina dan Schneider (2018), ekonomi bawah tanah di Indonesia diperkirakan mencapai 21,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2015. Studi lain oleh Marhamah dan Zulaikha (2020) memperkirakan rata-rata aktivitas ekonomi bawah tanah mencapai 17,6 persen selama 2016-2019.

Selain itu, laporan tersebut menyoroti rasio efisiensi pemungutan PPN yang dikenal dengan istilah C-efficiency. Rata-rata C-efficiency PPN Indonesia tercatat hanya 52,8 persen pada periode 2016-2021, turun dari 64,7 persen pada 2013. Angka ini tertinggal jauh dari Thailand yang memiliki C-efficiency sebesar 76,7 persen meski menerapkan sistem PPN dengan kebijakan pengecualian dan celah kebijakan (policy gap) yang serupa.

Akibat ketidakefisienan ini, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp944 triliun sepanjang 2016-2021. Jumlah ini terdiri dari compliance gap senilai Rp548 triliun dan policy gap sebesar Rp396 triliun. Compliance gap adalah potensi pajak yang hilang karena keterbatasan pengawasan dan pengumpulan pajak oleh pemerintah. Sementara itu, policy gap mencerminkan potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan tertentu yang diterapkan pemerintah.

“Secara rata-rata, estimasi kesenjangan (compliance gap dan policy gap) PPN dan PPh Badan mencapai 6,4 persen dari PDB atau Rp944 triliun antara 2016-2021,” demikian kesimpulan laporan tersebut. (alf)

 

 

Cara Mudah Mengambil Kembali EFIN yang Lupa Sebelum Batas Akhir Pelaporan SPT Tahunan 2024

IKPI, Jakarta: Batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) 2024 tinggal menghitung hari, yakni pada 31 Maret 2025. Bagi wajib pajak yang melaporkan SPT secara online, salah satu dokumen penting yang dibutuhkan adalah Electronic Filing Identification Number (EFIN). Namun, tak sedikit yang lupa nomor EFIN saat hendak melapor.

EFIN merupakan kode unik 10 digit yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai alat autentikasi dalam layanan perpajakan digital. Nomor ini juga diperlukan jika wajib pajak lupa kata sandi DJP Online. Lantas, bagaimana jika EFIN hilang atau terlupa?

Berikut beberapa cara mudah untuk mendapatkan kembali EFIN yang lupa:

1. Melalui Email

– Buat email baru dengan subjek “LUPA EFIN”.

– Lampirkan NPWP, nama lengkap, alamat email aktif, dan nomor telepon yang terdaftar.

– Cantumkan pernyataan: “Saya menyatakan bahwa saya adalah wajib pajak yang memiliki hak untuk mengakses informasi yang diminta…”

– Kirim ke lupa.efin@pajak.go.id.

2. Via Aplikasi M-Pajak

– Unduh dan buka M-Pajak.

– Tekan tombol EFIN di tampilan awal (tanpa perlu login).

– Masukkan data yang diminta dan lakukan verifikasi foto diri.

– Jika validasi berhasil, EFIN akan dikirim ke email terdaftar.

3. Live Chat di Website Pajak

– Kunjungi pajak.go.id dan klik Tanya Fisko (pojok kanan bawah).

– Pilih identitas (NPWP/NIK atau Non-NPWP), lalu pilih opsi “Lupa EFIN”.

– Ikuti instruksi petugas untuk mendapatkan EFIN.

4. Hubungi Kring Pajak (1500200)

– Telepon 1500200 atau nomor resmi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.

– Pastikan Anda yang menelepon karena petugas akan melakukan verifikasi data.

– Jika berhasil, EFIN akan diberikan langsung.

5. Datang Langsung ke Kantor Pajak (KPP/KP2KP)

– Bawa dokumen seperti NPWP dan KTP untuk verifikasi.

– Layanan tersedia setiap hari kerja pukul 08.00–16.00 waktu setempat.

Setelah berhasil mendapatkan EFIN, pastikan untuk mencatat dan menyimpannya dengan aman agar tidak lupa di kemudian hari. Dengan langkah-langkah di atas, wajib pajak tetap bisa melaporkan SPT Tahunan tepat waktu tanpa kendala.  (alf)

Pemerintah Hapus Sanksi Keterlambatan Bayar dan Lapor Pajak Tahunan 2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan kebijakan relaksasi berupa penghapusan sanksi administratif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang terlambat membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29 dan/atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh untuk Tahun Pajak 2024. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak (Kepdirjen) Nomor 79/PJ/2025, yang dikeluarkan menyusul libur nasional panjang terkait Hari Suci Nyepi (Tahun Baru Saka 1947) dan Idulfitri 1446 H.

Berdasarkan aturan ini, WP OP tidak dikenakan sanksi administratif meskipun melakukan pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan setelah batas jatuh tempo normal (31 Maret 2025), asalkan diselesaikan paling lambat 11 April 2025. Penghapusan sanksi ini juga berlaku tanpa penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi oleh dua hal utama:

1. Jadwal Libur Panjang: Batas akhir pembayaran dan pelaporan pajak tahunan (31 Maret 2025) bertepatan dengan libur nasional hingga 7 April 2025, yang berpotensi mempersulit penyelesaian kewajiban pajak.

2. Keadilan dan Kepastian Hukum: Pemerintah ingin memastikan hak WP OP terlindungi dengan memberikan kelonggaran akibat keterbatasan hari kerja di akhir Maret.

“Kebijakan ini merupakan bentuk keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, khususnya dalam situasi libur panjang yang berdampak pada efisiensi waktu,” ujar Dwi Astuti, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (25/3/2025).

Adapaun rincian ketentuan adalah:

– Periode Relaksasi: 31 Maret – 11 April 2025.

– Jenis Pajak: PPh Pasal 29 (kekurangan pembayaran pajak) dan SPT Tahunan PPh OP Tahun Pajak 2024.

– Sanksi Dihapuskan: Denda keterlambatan baik untuk pembayaran maupun pelaporan.

WP OP dapat mengunduh salinan lengkap Kepdirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025 melalui laman resmi [landas pajak.go.id](https://landas.pajak.go.id).

Meski ada relaksasi, Dwi mengimbau WP OP tetap memanfaatkan periode perpanjangan ini dengan disiplin guna menghindari penumpukan antrean di akhir masa tenggat. Pelayanan online melalui e-Filing dan e-Billing juga dianjurkan untuk memudahkan proses.

Kebijakan ini diharapkan meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga kepatuhan pajak di tengah momentum hari raya keagamaan. (bl)

 

 

 

Bank Dunia Soroti Buruknya Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Bank Dunia menyoroti kinerja penerimaan pajak Indonesia yang dinilai sangat buruk. Dalam laporan terbarunya berjudul Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 2 Maret 2025, Bank Dunia mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami tren negatif yang mengkhawatirkan selama satu dekade terakhir.

“Kinerja Indonesia dalam pengumpulan penerimaan pajak sangat buruk,” tegas Bank Dunia dalam laporannya yang dikutip pada Selasa (25/3). Laporan tersebut menganalisis data perpajakan periode 2016-2021.

Menurut laporan tersebut, rasio penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021 hanya mencapai 9,1 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di kawasan regional. Sebagai perbandingan, Kamboja mencatatkan tax ratio sebesar 18 persen, Malaysia 11,9 persen, Filipina 15,2 persen, Thailand 15,7 persen, dan Vietnam 14,7 persen.

Bank Dunia juga mencatat bahwa dibandingkan dengan sepuluh tahun sebelumnya, angka tax ratio Indonesia pada 2021 mengalami penurunan sekitar 2,1 poin persentase. Krisis Covid-19 turut memperparah kondisi ini, dengan penurunan tajam ke 8,3 persen dari PDB pada 2020.

Salah satu akar masalah yang disoroti Bank Dunia adalah kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan yang dinilai kurang optimal. Pada 2021, kontribusi kedua instrumen tersebut mencapai 66 persen dari total penerimaan pajak atau setara dengan 6 persen dari PDB. Meski lebih produktif dibandingkan instrumen pajak lain, angka tersebut masih relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga.

“Ini bisa dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk kepatuhan pajak yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit,” jelas Bank Dunia.

Secara keseluruhan, Bank Dunia mencatat Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun selama periode 2016-2021. Potensi ini meliputi Rp387 triliun dan Rp161 triliun yang hilang akibat masalah ketidakpatuhan (compliance gap) pada PPN maupun PPh Badan.

Sementara itu, Rp138 triliun serta Rp258 triliun lainnya raib akibat kebijakan perpajakan yang dipilih pemerintah (policy gap). Laporan ini menyoroti perlunya perbaikan kebijakan perpajakan dan peningkatan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan dan stabilitas ekonomi Indonesia. (alf)

 

Zakat Bisa Kurangi Pajak Penghasilan, Begini Caranya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa zakat yang dibayarkan umat Muslim dapat mengurangi Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib disetorkan ke negara. Penjelasan ini disampaikan melalui unggahan resmi akun Instagram @ditjenpajakri pada Selasa (25/3/2025).

Dalam unggahan tersebut dijelaskan bahwa pengurangan beban pajak dari zakat dilakukan melalui pengurangan penghasilan bruto wajib pajak untuk menghitung penghasilan neto pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Zakat yang dibayarkan tersebut harus dilaporkan pada tahun pajak saat zakat tersebut disetorkan.

“Zakat yang dibayarkan ke lembaga resmi dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan pajak,” tulis DJP dalam unggahannya.

Agar zakat dapat diakui sebagai komponen pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan PPh, zakat tersebut harus disalurkan melalui badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan pajak serta menutup celah penghindaran pajak.

Pemerintah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-3/PJ/2023 telah menetapkan berbagai badan atau lembaga sebagai penerima zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Di antaranya adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota, serta Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIZ).

Setelah membayarkan zakat, masyarakat diimbau untuk menyimpan bukti pembayaran sebagai dokumen pendukung. Bukti pembayaran tersebut dapat berupa nota pembayaran, kuitansi, bukti transfer bank, struk Anjungan Tunai Mandiri (ATM), atau dokumen sejenis.

Bukti tersebut harus memuat informasi lengkap seperti nama lengkap wajib pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jumlah pembayaran, tanggal pembayaran, nama badan atau lembaga amil zakat, serta tanda tangan petugas badan atau lembaga amil zakat jika pembayaran dilakukan langsung. Jika pembayaran dilakukan melalui transfer bank, bukti tersebut harus disertai validasi dari petugas bank.

Bukti pembayaran ini nantinya harus dilampirkan pada SPT Tahunan yang dilaporkan. Jika telah memenuhi ketentuan tersebut, zakat yang dibayarkan dapat dihitung sebagai pengurang penghasilan bruto sesuai ketentuan yang berlaku. (alf)

 

Kanwil DJP Jakarta Barat Catat Kinerja Positif dalam Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat mencatatkan kinerja positif dalam penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025. Realisasi penerimaan pajak mencapai Rp10,79 triliun atau 13,73 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditetapkan sebesar Rp78,59 triliun. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,02 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menyampaikan apresiasinya atas kerja sama yang baik dari seluruh pemangku kepentingan yang turut mendukung pencapaian tersebut. “Atas berkat rahmat Allah SWT serta doa, dukungan, dan kerja sama Bapak dan Ibu para pemangku kepentingan, kami dapat memenuhi amanah target penerimaan APBN 2024,” ujar Farid dalam keterangannya, Selasa (25/3/2025).

Keberhasilan tersebut didukung oleh kontribusi berbagai sektor usaha. Sektor perdagangan menjadi penyumbang terbesar dengan realisasi Rp4,94 triliun atau 45,85 persen dari total penerimaan. Sektor industri pengolahan berkontribusi sebesar Rp2,08 triliun atau 19,35 persen. Sektor pengangkutan dan pergudangan mencatatkan penerimaan Rp719,56 miliar atau 6,67 persen, sedangkan sektor konstruksi menyumbang Rp559,04 miliar atau 5,18 persen.

Selain berdasarkan sektor usaha, realisasi penerimaan pajak juga tercermin dalam jenis pajak yang dikumpulkan. Pajak Penghasilan (PPh) memberikan kontribusi terbesar dengan total penerimaan Rp5,60 triliun.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp5,50 triliun. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mencatatkan penerimaan Rp1,83 triliun, sedangkan pajak lainnya menyumbang Rp321,75 miliar.

Selain pencapaian di sektor penerimaan pajak, hingga akhir Februari 2025 jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang telah dilaporkan di Kanwil DJP Jakarta Barat mencapai 86.845 SPT atau 21,59 persen dari target 402.188 SPT. Secara nasional, realisasi pelaporan SPT Tahunan tercatat sebanyak 6.609.305 SPT.

Namun demikian, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan APBN 2025. Hingga 28 Februari 2025, total pendapatan negara baru mencapai Rp316,9 triliun. Angka ini turun signifikan sebesar Rp83,46 triliun atau 20,85 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024, yang saat itu berhasil mengumpulkan Rp400,36 triliun. Dari total pendapatan tersebut, penerimaan perpajakan tetap menjadi kontributor utama, meski realisasinya masih jauh dari target yang ditetapkan.

Hingga 28 Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp2.189,3 triliun. Angka ini turun drastis sebesar 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun. (alf)

 

DJP Kalselteng Terbitkan 167 Surat Paksa

IKPI, Jakarta: Dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengamankan penerimaan negara, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) bersama 10 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayahnya melakukan penegakan hukum perpajakan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah penagihan pajak melalui penyampaian 167 surat paksa secara serentak pada Kamis, 20 Maret 2025.

Total nilai ketetapan pajak yang ditagih mencapai Rp17.564.298.776. Dari total tersebut, KPP di Provinsi Kalimantan Tengah menetapkan nilai sebesar Rp5.107.970.522, sementara KPP di Provinsi Kalimantan Selatan lebih besar, yaitu Rp12.456.328.254. Beberapa KPP yang terlibat dalam penagihan ini meliputi KPP Pratama Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai, Batulicin, Tanjung, dan KPP Madya Banjarmasin.

Penerbitan surat paksa ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut terhadap wajib pajak yang masih belum membayar pajak meskipun telah diberikan surat teguran sebelumnya.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai pendekatan persuasif sebelum tindakan ini diambil. “Saya harap seluruh wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu guna menghindari sanksi administratif maupun serangkaian tindakan penagihan. Dengan demikian, kepatuhan pajak dapat meningkat dan penerimaan negara untuk pembangunan nasional dapat terjaga,” ujarnya, Selasa (25/3/2025).

Selain sebagai tindakan hukum bagi wajib pajak yang belum patuh, langkah ini juga dimaksudkan untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang sudah taat membayar pajak.

DJP bekerja sama dengan berbagai instansi terkait guna memastikan proses penagihan berjalan sesuai aturan. Jika setelah surat paksa diterbitkan wajib pajak masih tidak memenuhi kewajibannya, maka tindakan lebih lanjut seperti penyitaan dan pelelangan aset dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. (alf)

 

Ekonom Sebut Insentif PPh 21 Dorong Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 yang memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi pekerja di sektor industri padat karya. Kebijakan ini berlaku mulai Januari 2025 dan ditujukan untuk meringankan beban pajak pekerja di sektor-sektor seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, furnitur, dan kulit. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli pekerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, turut mendukung kebijakan ini. Menurut Vid, pengurangan pajak akan meningkatkan daya beli masyarakat.

“Dengan keringanan pajak, masyarakat akan memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, yang akan mendorong perputaran ekonomi di tingkat nasional dan lokal,” ujarnya, Selasa (25/3/2025).

Vid menekankan pentingnya agar kebijakan ini tetap inklusif, dengan memperluas cakupan kepada pekerja dari berbagai sektor dengan penghasilan tertentu yang terdaftar dalam sistem perpajakan. Ia menilai bahwa kebijakan ini merupakan respons terhadap penurunan aktivitas di sektor-sektor padat karya.

Selain itu, Vid juga menyebutkan bahwa memperluas insentif PPh 21 ke sektor lain bukanlah hal yang mudah, meskipun diharapkan dapat terus berlanjut. Sektor lain yang juga layak mendapatkan perhatian, menurut Vid, adalah industri makanan dan minuman yang menyerap sekitar 4,3% tenaga kerja Indonesia, serta industri tembakau yang melibatkan sekitar 6 juta pekerja dari hulu hingga hilir.

Dengan perluasan kebijakan insentif PPh 21, diharapkan lebih banyak sektor yang dapat merasakan manfaatnya, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan pekerja secara lebih merata.

Sementara itu, Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, juga menyambut baik kebijakan ini. Menurut Achmad, kebijakan ini sangat relevan di tengah dampak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sejumlah sektor.

“Pengurangan pajak ini akan menguntungkan pekerja di sektor padat karya yang sebagian besar memiliki penghasilan di bawah UMP. Ini adalah langkah brilian untuk meringankan beban kelas pekerja,” kata Achmad di Jakarta, Senin (24/3/2025).

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerja, tetapi juga untuk pengusaha, karena dapat mengurangi kewajiban mereka dalam membayar PPh 21. Hal ini pada akhirnya memungkinkan para pengusaha untuk merekrut lebih banyak tenaga kerja, yang berpotensi meningkatkan stabilitas ekonomi di masa mendatang. (alf)

PP IKPI Dorong Cabang-Cabang Akhiri Pojok Pajak dengan Talk Show Perpajakan

IKPI, Jakarta: Pemgurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (PP IKPI) mendorong semua cabang IKPI di berbagai daerah yang melaksanakan program “Pojok Pajak” untuk bisa menghadirkan sesi talkshow pada akhir rangkaian kegiatannya. Hal itu akan menjadi penutup rangkaian kegiatan pro bono yang sangat bermanfaat bagi para wajib pajak, orang pribadi (OP) dan UMKM.

Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Nuryadin Rahman, menegaskan bahwa talkshow memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat secara lebih efektif.

“Agar diharapkan semua cabang-cabang yang melakukan Pojok Pajak agar diisi juga dengan talkshow,” ujar Nuryadin, Selasa (25/3/2025).

Menurutnya, sesi talkshow ini berfungsi sebagai wadah untuk memberikan penjelasan, sosialisasi, dan menyampaikan informasi penting terkait perpajakan kepada masyarakat.

“Supaya dengan talkshow itu, penjelasan-penjelasan kemudian sosialisasi itu dapat tersampaikan ke masyarakat,” tambahnya.

Nuryadin menegaskan bahwa talkshow dapat menjadi penutup yang efektif dalam kegiatan Pojok Pajak, karena mampu merangkum poin-poin penting yang diharapkan dipahami oleh masyarakat. “Intinya itu,” ujarnya.

Sekadar informasi, Program Pojok Pajak sendiri merupakan inisiatif PP IKPI yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait peraturan perpajakan, hak dan kewajiban wajib pajak, serta berbagai layanan yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah proses administrasi perpajakan.

“Semua itu kami lakukan secara pro bono (gratis),” katanya. (bl)

en_US