Hari ini DJP Lantik Ratusan Pejabat Administrator, Pengawas hingga Fungsional

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali melakukan penyegaran organisasi melalui pelantikan pejabat administrator, pengawas, dan fungsional ahli madya yang akan digelar secara hybrid pada Jumat (20/6/2025) pagi di Aula Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat.

Pelantikan ini dilaksanakan berdasarkan Nota Dinas Sekretaris Jenderal Nomor ND-51/SJ/SJ.5/2025 tanggal 19 Juni 2025, dan akan dihadiri langsung oleh Menteri Keuangan, yang dijadwalkan memberikan arahan khusus kepada para pejabat baru.

Acara dimulai pukul 08.30 WIB dan terbuka untuk diikuti secara fisik maupun virtual oleh pejabat yang dilantik. Para peserta diwajibkan hadir minimal 30 menit sebelum acara dimulai, dengan mengenakan pakaian khas Wastra Nusantara.

Disiplin dan Tanggung Jawab

Dalam nota dinasnya, DJP menekankan bahwa setiap pejabat yang dilantik, baik hadir langsung maupun daring, wajib mengikuti seluruh rangkaian acara dengan khidmat dan mengucapkan sumpah jabatan sesuai agama masing-masing. Pejabat yang mengikuti secara virtual diminta hadir secara kolektif di unit kerja dengan username “nama unit kerja”.

Sebelum pelantikan, para pegawai terkait diminta untuk menyelesaikan dua hal penting: menyusun Memori Alih Tugas dan menyelesaikan penilaian kinerja pegawai sesuai SE Menteri Keuangan No. SE-17/MK.1/2022.

Jika dalam waktu 30 hari kerja sejak ditetapkannya SK, pejabat terlampir tidak mengikuti pelantikan tanpa alasan yang sah, maka akan diberhentikan dari jabatannya dan dikembalikan ke jabatan pelaksana.

Hak Pegawai Tetap Terjamin

Pelantikan ini juga diikuti dengan pengaturan administratif terkait hak-hak pegawai, termasuk pembayaran biaya perjalanan dinas pindah. Sesuai SE Dirjen Pajak No. SE-33/PJ/2021, pegawai wajib memutakhirkan data keluarga di aplikasi SIKKA dalam 3 hari kerja setelah pengumuman. Hal ini menjadi dasar penghitungan biaya pindah.

Apabila terdapat kekurangan pembayaran karena data keluarga belum lengkap, pegawai masih bisa mengajukan penyesuaian maksimal 60 hari kalender setelah dana ditransfer ke satuan kerja baru.

Selain itu, administrasi penerbitan SPP/SPMT/SPMJ serta SK Parameter gaji dan tunjangan harus diselesaikan dalam waktu 14 hari kalender sejak TMT mutasi, guna mendukung akurasi pembayaran hak keuangan pegawai. (bl)

IKPI Surabaya – ASTINDO Jatim Kolaborasi Edukasi Pajak untuk Pelaku Usaha Pariwisata

IKPI, Surabaya: Komitmen Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya untuk terus memperluas edukasi perpajakan kembali diwujudkan melalui kolaborasi inovatif bersama Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASTINDO) Jawa Timur. Bertempat di OCBC Booth Ciputra World I, Selasa (10/6/2025) kegiatan talkshow interaktif ini sukses digelar dan dihadiri lebih dari 40 peserta yang terdiri dari pelaku usaha dan pegiat sektor pariwisata.

Diskusi membahas berbagai aspek perpajakan yang kerap menjadi tantangan bagi industri perjalanan. Mulai dari kebijakan terbaru, pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pelaku jasa wisata, hingga tips praktis dalam pengelolaan pajak yang efisien semuanya dikupas tuntas dan aplikatif. Interaksi antara peserta dan narasumber berlangsung hidup, menunjukkan tingginya antusiasme dan kebutuhan akan pemahaman pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.

Sekretaris IKPI Cabang Surabaya, Renny Anggraeni, dalam kesempatan tersebut, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari strategi organisasi dalam menjalin kemitraan lintas sektor. “Sektor pariwisata merupakan bagian penting dari ekosistem ekonomi, dan sudah semestinya mendapat dukungan edukatif dalam menghadapi dinamika regulasi perpajakan yang terus berkembang,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa kegiatan semacam ini bukan hanya memberi manfaat dari sisi pengetahuan, tetapi juga memperluas jejaring kolaboratif antara dunia usaha dan profesi pajak.

Talkshow ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga membangun suasana kekeluargaan dan semangat sharing for impact di antara peserta. Banyak dari mereka yang secara langsung menyampaikan harapan agar kegiatan serupa dapat terus dilakukan secara berkala dengan tema-tema yang relevan dan mendalam.

Menanggapi antusiasme tersebut, IKPI Surabaya dan ASTINDO Jawa Timur berkomitmen untuk terus membuka ruang dialog dan pembelajaran bersama. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan untuk memperluas cakupan kegiatan ke kota-kota lain di Jawa Timur, atau bahkan dalam skala nasional, guna memperkuat sinergi antar pelaku industri dan konsultan pajak profesional.

Dengan hadirnya program ini, IKPI Surabaya kembali menunjukkan perannya sebagai mitra strategis bagi dunia usaha tidak hanya dalam hal kepatuhan, tetapi juga dalam penguatan kapasitas usaha yang berkelanjutan. (bl)

 

 

Ayo, Move On PTKP !

Ketika mengisi SPT Pribadi tahun 2024, saya ingat mengisi dengan angka yg familiar lalu kemudian terlintas dipikiran, sudah berapa lama ya angka ini bertahan. Hal ini membuat saya tertarik untuk menelusuri historis dari PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan menemukan beberapa hal yg perlu diperhatikan atau dikaji lebih lanjut.

Mengingat rentang waktu yg panjang, saya membahasnya mulai dari awal dimulainya tahun berlakunya Undang Undang Perpajakan dalam hal ini Undang Undang No 7 Pajak Penghasilan tahun 1983 yg merupakan titik awal (new era) perpajakan yg diterapkan di Indonesia. Ternyata Undang2 Pajak Penghasilan ini beberapa kali dirubah baik partial maupun menyeluruh mengenai pasal2, penjelasan dan aturan pelaksanaannya. Sistimatika uraian hanya fokus pada UU dan Peraturan Menkeu berkenaan dgn PTKP

Undang Undang No 7 tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.

Psl 7 menyatakan sbb:

(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan

pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :

a. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;

b. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang

mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan

usaha suami atau anggota keluarga lain;

d. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga

sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan

sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan

menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu

faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

Ayat 1 saya olah atau work out untuk beberapa kondisi seperti yg ditentukan pada ayat 2 sehingga diperoleh Status TK-0 PTKP setahun 960ribu.

Status K-0 PTKP setahun 1.440 ribu

Status K/I/0 PTKP setahun 2.400 ribu

Status K/I/3 PTKP setahun 3.840 ribu

yg artinya TK-0 = WP dg status single atau tidak kawin mendapat PTKP 960rb, K-0 = WP berstatus kawin 1.440 rb,, K/I/0 WP yg penghasilan isteri digabungkan dan blm punya tanggungan 2.400 rb dan K/I/3 jika WP sdh menikah dgn tanggungan maksimal 3 adalah 3.840 rb.

Kondisi TK-0 dst nya ditetapkan pada awal tahun, jadi utk WP yg menikah pada Maret 1984 maka statusnya pada tahun pajak 1984 diperhitungkan sebagai TK-0 yaitu status dalam tahun 1983. Ayat 2 ini bagi beberapa WP sepertinya tidak adil karena tanggungan sdh bertambah setelah menikah tapi statusnya masih TK-0, tapi sebaliknya juga begitu, jika WP semula punya 3 tanggungan (K-3) dan satu nya meninggal pada tahun 1984 maka statusnya pada tahun 1984 tetap K-3 yaitu mengikuti status 1983 dan baru berubah pada awal 1985.

Ayat 3 menyatakan PTKP ini AKAN disesuaikan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ayat ini menurut saya pada awal UU Pajak Penghasilan 1983 tidak ada Keputusan Menteri Keuangan jadi langsung penerapannya mengacu kepada UU nya.

Undang Undang No 7 tahun 1991 berlaku 1 Januari 1992. Rev 1

UU ini membuat beberapa perubahan dalam pasal2 yg tidak berkaitan dgn pembahasan PTKP , tidak menyebutkan apapun berkenaan dgn Keputusan Menteri Keuangan . Jadi selama tahun 1984 sampai dengan 1993 (10 tahun), PTKP yg berlaku adalah yg disebutkan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu 960rb dstnya sampai terbitnya UU No 10 tahun 1994..

Undang Undang No 10 tahun 1994 berlaku 1 Januari 1995. Rev 2

KUTIPAN Butir 40.

Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 35 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal II Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.”

Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Saya kutip dulu butir penting mengenai UU No 10 Tahun 1994 ini yaitu Pasal III menyatakan UU ini berlaku 1 Januari 1995 sedangkan Pasal II menyatakan UU ini dapat disebut sebagai Undang2 Perubahan Kedua UU Pajak Penghasilan 1984.

Jadi UU No 10 ini diakui sebagai kelanjutan dari UU No 7 tahun 1991 maka berlaku untuk PTKP, – yg meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit-,, adalah Psl 7 UU No 7 tahun 1991 (berlaku 1 Jan 1992) yang tidak menyebutkan adanya perubahan pada PTKP . Kalau begitu harusnya yg diakui adalah PTKP yg dinyatakan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu TK-0 980 rb dstnya.

KMK 928/KMK04/1993 berlaku tahun 1994

Tetapi harap diingat bahwa pada tanggal 8 Des 1993 terbit KMK 928/KMK04/1993 yg menetapkan berlakunya PTKP baru, berlaku untuk tahun 1994 dg angka2 yg setelah di work out sbb:

TK-0 1.728ribu,

K-0 2.592ribu

K/I/0 4.320ribu

K/I/3 6.912ribu

Yang menarik adalah dlm KMK ini dinyatakan bahwa Psl 1 Faktor Penyesuaian adalah 1,8 X , Psl 4 masa berlakunya tahun 1994 tapi tidak menyebutkan PTKP sebelumnya dihapus atau tidak berlaku, ( ada dipertimbangan bahwa PTKP yg lama sdh tidak sesuai lagi).

Jika dihitung dari Psl 1 KMK 928/1993 ini adalah TK-0 .1728rb ( 1,8 X TK-0 960rb) , K-0 2592 rb (1,8 X 1.440rb) ,dst terlihat adanya faktor penyesuaian 1,8X , makin meyakinkan saya bahwa tidak ada Peraturan Menteri Keuangan berkenaan dengan Psl 7 UU No 7 tahun 1983

Undang Undang No 17 tahun 2000 berlaku 1Jan 2001 Rev 3

Dalam Undang2 No 17 tahun 2000 ini dinyatakan PTKP sbb :

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

yg bisa dibaca pada Psl 7 ayat 1 (ringkasan setelah di workout) dan ayat 3 nya tertera bahwa PTKP ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Selama UU No 17 tahun 2000 ini telah diterbitkan 3 (tiga) KMK berikut :

KMK 361/KMK04/1998 tgl 27 Jul 1998 berlaku mulai 1999.

Angka2 yg tertera pada UU No 17 tahun 2000 bersumber dari KMK 361/KMK04/1998 tertanggal 27 Juli 1998 dan berlaku mulai tahun Pajak 1999, padahal UU No 17 tahun 2000 ini berlaku mulai 1 Jan 2001 (Pasal III ).

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

Dengan demikian bisa dikatakan dari tahun 1994 hingga 1998 PTKP yg digunakan merujuk ke Psl 4 KMK 928/KMK04/1993 yg berlaku mulai 1994.hingga 1998 (4 tahun) dan baru diganti dengan KMK 361/1998 , yg seperti disebutkan di atas, berlaku mulai tahun pajak 1999. Patut dicatat KMK yg baru tidak menyebutkan pembatalan KMK sebelumnya meskipun. TK-0 2.880rb,, K-0 4320rb berasal dari Faktor Penyesuaian 1 2/3 X(satu dua per tiga kali) dari KMK 928/1993. Sebagai tes , 2.880 ribu berasal dari 1.728 X 1 2/3 , 4320rb berasal dari 2.592 X 1 2/3 dst

KMK 564 /KMK03/2004 tertanggal 29 Nov 2004 berlaku mulai tahun pajak 2005

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 12.000ribu,

K-0 13.200ribu

K/I/0 25.200ribu

K/I/3 28.800ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun 2005.

Jadi ,bisa dikatakan bahwa KMK 361/1998 sebelumnya berlaku mulai tahun 1999 sampai 2004 (6 tahun) dan diganti dg KMK 564/2004 .

PMK 137/PMK05/2005 tertanggal 30 Des 2005 berlaku mulai tahun pajak 2006

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 13.200ribu,

K-0 14.400ribu

K/I/0 27.600ribu

K/I/3 31.200ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun pajak 2006 .

Patut ditunjukkan bahwa pasal 3 PMK 137 ini secara jelas mencabut KMK 564/2004 yg juga menjadi pertimbangan keluarnya PMK 137/2005 (baca di menimbang…) Kalau begitu bisa dikatakan KMK 564/2004 hanya berlaku selama tahun 2005 saja.

Catatan: PMK 137/2005 ini dicabut dengan PMK 213/03/2018

Undang Undang No 36 Tahun 2008 berlaku 1 Jan 2009 Rev 4

PTKP dalam pasal 7 ayat 1 setelah diolah menghasilkan sbb:

TK-0 15.840ribu,

K-0 17.160ribu

K/I/0 33.000ribu

K/I/3 36.960ribu

Ayat 3 untuk pertama kalinya tertera ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Tidak ada PMK yg menyertai UU No 36 ini yg sedianya berlaku Januari 2009. Kalau perbandingannya adalah apple to apple maka dari thn 2006 angka yg dipakai adalah PTKP PMK 137/2005 (TK-0 13.200rb dstnya) tapi ternyata angka PTKP dalam UU langsung berlaku..

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2010 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2010 (B.2.1.23.06) merujuk PTKP UU No 36 tahun 2008 ini

PMK 162/011/2012 terbit tanggal 22 Okt 2012 berlaku 1 Jan 2013

PTKP yg tertera sbb :

TK-0 24.300ribu,

K-0 26.325ribu

K/I/0 50.625ribu

K/I/3 56.700ribu

yg berlaku 1 Jan 2013 (Psl 3 PMK 162/2012).

Patut dibaca pada pembukaan PMK ini dalam konsiderans menimbang telah dilakukan konsultasi Menteri Keuangan dengan DPR pada tanggal 30 Mei 2012 dan 15 Okt 2012.

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2014 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2014 merujuk PTKP PMK 162 /011/2012 ini .

PMK 122/010/2015 terbit tanggal 29 Jun 2015

PTKP yg tertera sbb:

TK-0 36.000ribu,

K-0 39.000ribu

K/I/0 75.000ribu

K/I/3 84.000ribu

seperti yg ditetapkan dalam pasal 1 dan berlaku untuk tahun pajak 2015 (pasal 3) dan mencabut PMK 162/2012 (pasal 4). Patut dicatat dalam pertimbangannya dalam menerbitkan PMK ini disinggung pertemuan konsultasi dengan DPR RI tanggal 25 Jun 2015

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2015 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2015 merujuk PTKP PMK 122 /010/2015 ini .

PMK 101/010/2016 ditetapkan tanggal 22 Jun 2016 dan diundangkan 27 Jun 2016

PTKP yg tertera dalam pasal 1 sbb:

TK-0 54.000ribu,

K-0 58.500ribu

K/I/0 112.500ribu

K/I/3 126.000ribu

dengan ketentuan berlaku untuk tahun pajak 2016 (pasal 3) dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI pada tanggal 6 April 2016 dan 11 April 2016 (baca dalam menimbang dst)

Pasal 4 PMK ini mencabut PMK 122/2015

Saya juga tidak menemukan Buku Petunjuk (dalam bentuk cetakan) Pengisian SPT tahun 2024 Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi yang merujuk PTKP di PMK 101/010/2016 ini.

UU No 11 Tahun 2020 Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 Rev 6 dan UU No 6 tahun 2023 Rev7

Khusus utk PTKP setelah UU Pajak Penghasilan No 36 dgn peraturan PMK 101/010/2016 yg memuat angka TK-0 54.000 rb dstnya tidak berubah hingga pengisian SPT Orang Pribadi tahun 2024 meskipun selama tahun 2016 hingga 2024 banyak revisi yg terjadi dalam UU PPh ini. Sebagai contoh dalam Undang Undang Perpajakan terbitan ORTAX , UU No 36 tahun 2008 diberi tanda Rev 4, UU No 11 tahun 2020 bertanda Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 bertanda Rev 6 dan terakhir UU No 6 tahun 2023 Rev 7.

Saya merujuk UU No 7 tahun 2021 Rev 6 ini dimana dalam psl 7 TK-0 54.000rb dst nya menggunakan angka2 PMK 101/010/2016 . Perubahan yg perlu dicatat berkenaan dengan PTKP yang meskipun tidak menyangkut angka tetapi berdampak atas penerapan pengisian SPT Orang Pribadi adalah sbb:

Pertama UU No 36 tahun 2008 Rev 4 dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 diberikan contoh status wajib pajak Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2021 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) anak. Apabila anak yg kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2021 , besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada wajjib Pajak B untuk tahun pajak 2021 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Kedua UU No 7 tahun 2021 Rev 6 memberikan besarnya PTKP per tahun pasal 7 ayat 1 untuk WP dgn status lajang 5400rb, tambahan 4500rb utk status WP dgn status kawin dst yang kalau di workout lebih lanjut persis dengan angka2 PMK 101/010/2016 yang menurut pendapat saya sebagai koreksi karena seharusnya angka2 tsb tampil dulu di UU baru diterbitkan PMK nya

Ketiga, UU No 7 tahun 2021 Rev 6 menambahkan pasal 7 ayat 2a sbb: Wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.500juta rupiah dalam satu tahun pajak. Ayat ini merupakan fasilitas yg diberikan kepada pengusaha WP Orang Pribadi untuk mendorong kemajuan UMKM .

Keempat, UU No 7 tahun 2021 menambahkan juga pasal 7 ayat 3 berkenaan dengan ayat 1 dan 2a ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR RI (baca penjelasan tambahan…)…..setelah berkonsultasi dgn alat kelengkapan DPR RI yg bersifat tetap, yaitu komisi yg tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Kelima, saya mengusulkan untuk diberikan waktu minimal berapa tahun sekali harus dilakukan peninjauan PTKP misalnya tiap periode 4 tahun dilakukan konsultasi antara Menteri Keuangan dan DPR RI untuk meninjau kelayakan PTKP ini mengingat banyak WP Perorangan yg berstatus pekerja , meskipun ada kenaikan upah tiap tahun tapi karena PTKP yg konstan ini membuat Penghasilan Kena Pajak yg lebih besar tiap tahun untuk dikenai PPh bahkan dalam income bracket yg sama.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Kurniawan Tedjo

kurniawan_tedjo@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

IKPI Desak Pemerintah Tegaskan Batas Sertifikasi Pajak: Cegah Tumpang Tindih Akademik dan Profesi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyerukan perlunya ketegasan pemerintah dalam membedakan ranah sertifikasi konsultan pajak profesional dengan sertifikasi kompetensi pajak di dunia akademik.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menekankan bahwa ketidaktegasan kebijakan dan regulasi nantinya akan berisiko menimbulkan kebingungan publik dan kegaduhan di kalangan praktisi.

“Imbauan ini penting agar masyarakat paham bahwa sertifikasi konsultan pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan adalah untuk profesi independen yang bekerja secara profesional dan berintegritas. Ini sangat berbeda dengan sertifikasi di dunia akademik,” kata Jemmi, menanggapi isu tersebut langsung dari Negeri Tirai Bambu, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, perbedaan signifikan tersebut tercermin dari:

• PMK No. 111/2014 jo PMK No. 172/2024

Dikhususkan bagi konsultan pajak profesional yang memberikan jasa perpajakan. Terdapat tiga tingkat sertifikasi:

• Tingkat A: Untuk Wajib Pajak orang pribadi.

• Tingkat B: Untuk WP orang pribadi dan badan, kecuali WP asing, BUT, dan WP dari negara mitra P3B.

• Tingkat C: Untuk seluruh WP orang pribadi dan badan tanpa batasan.

Persyaratan:

• Ijazah S1/D-IV di bidang perpajakan

• Lulus ujian sertifikasi

• Pengalaman di DJP menjadi pertimbangan tambahan

Pengaturan di Permendikbudristek No. 50 Tahun 2024

Belum diuraikan secara detail, namun diperkirakan lebih berfokus pada pengembangan kompetensi pajak mahasiswa dan akademisi. Tujuannya lebih kepada pembekalan awal, bukan pemberian izin praktik.

“Ini penting untuk dipilah. Jangan sampai sertifikasi akademik dianggap sama nilainya dengan sertifikasi profesi. Kalau rancu, praktisi bisa ricu,” ujar Jemmi.

IKPI juga mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memilah dan memisahkan kewenangan lembaga sertifikasi secara jelas. Hal ini dinilai penting agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai otoritas dan dampak hukum dari masing-masing jenis sertifikasi.

“Ke depan, regulasi harus menjamin kepastian hukum dan memperjelas siapa yang berwenang memberi sertifikasi untuk profesi dan siapa untuk akademik. Kalau tidak segera ditangani, ini bisa jadi masalah besar,” pungkasnya.

Dengan adanya pembeda, jelas akan terlihat keunggulan kompetensi secara profesional dan integritas secara etik yang tegas, Jemmi berharap ekosistem perpajakan Indonesia menjadi lebih sehat, tertib, dan tidak merugikan baik mahasiswa, akademisi, maupun konsultan pajak profesional. (bl)

PNBP Mei 2025 Terkoreksi 5,9 Persen, SDA Migas Tertekan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga akhir Mei 2025 mencapai Rp188,7 triliun atau 36,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Namun, capaian tersebut mengalami penurunan 5,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar Rp119,5 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menjelaskan, kontraksi terjadi terutama pada tiga faktor utama: pola setoran bulanan yang cenderung melandai, penurunan harga komoditas, serta turunnya volume produksi sumber daya alam (SDA).

“PNBP kita mengalami koreksi 5,9 persen. Ini karena pola setoran yang menurun secara musiman, serta tekanan harga komoditi dan produksi SDA,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN KiTA, Rabu (18/6/2025).

PNBP Migas Paling Tertekan

Anggito memaparkan bahwa PNBP diklasifikasikan ke dalam empat jenis utama, yaitu SDA Migas, SDA Nonmigas, PNBP lainnya, dan Badan Layanan Umum (BLU). Dari keempat kelompok tersebut, SDA Migas menunjukkan penurunan paling tajam, hanya menyumbang Rp39,8 triliun atau 32,9 persen dari target tahunan.

Penurunan itu dipicu anjloknya harga minyak mentah Indonesia (ICP), dari rata-rata USD81 per barel pada akhir April 2024 menjadi hanya USD70,3 per barel pada periode yang sama tahun 2025. Dampaknya, penerimaan dari sektor PNBP migas dan PPh migas ikut terkoreksi signifikan.

Sementara itu, PNBP dari SDA Nonmigas juga ikut melemah. Hingga Mei 2025, realisasi tercatat Rp30,0 triliun, atau menurun 6,8 persen dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, penurunan terutama berasal dari sektor minerba yang produksinya anjlok dari 340,3 juta ton menjadi hanya 282,0 juta ton, turun 17,1 persen.

“Untuk sektor non-migas, penurunan didorong oleh menurunnya volume produksi, terutama dari minerba,” jelasnya.

BLU dan PNBP Lainnya Jadi Penopang 

Di tengah tekanan dari sektor SDA, penerimaan dari Badan Layanan Umum justru mencatat kinerja impresif. Realisasi BLU per Mei 2025 mencapai Rp32,3 triliun, dengan pertumbuhan 33,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan jasa layanan rumah sakit, pendidikan, dan telekomunikasi.

PNBP lainnya, yang mencakup pendapatan dari jasa transportasi, administrasi, penegakan hukum, dan DMO, turut mengalami pertumbuhan 5,6 persen. Total realisasi dari kategori ini mencapai Rp59,4 triliun dan menjadi penyumbang terbesar PNBP tahun berjalan.

Rincian Realisasi PNBP hingga Mei 2025:

• PNBP lainnya: Rp59,4 triliun (46,5% dari target)

• SDA Nonmigas: Rp46,3 triliun (47,7%)

• SDA Migas: Rp39,8 triliun (32,9%)

• BLU: Rp32,3 triliun (41,4%)

Tren Historis dan Tantangan Kedepan

Fluktuasi bulanan yang terjadi antara Maret hingga Mei disebut sejalan dengan pola historis PNBP dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Anggito menegaskan pentingnya antisipasi terhadap dinamika global, terutama volatilitas harga komoditas dan potensi penurunan permintaan pasar internasional.

“Meski saat ini beberapa sektor PNBP mengalami tekanan, pemerintah tetap optimistis menjaga tren positif penerimaan negara dengan mendorong sektor-sektor yang resilien,” pungkasnya. (alf)

 

Kanwil DJP Kalselteng Ingatkan Wajib Pajak: Lunasi Tunggakan atau Hadapi Penyitaan Aset

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali mengingatkan para wajib pajak untuk tidak menunda kewajiban pembayaran pajak. Imbauan ini disampaikan sebagai bentuk upaya preventif agar masyarakat tidak mengalami penyitaan aset karena tunggakan pajak.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa penegakan hukum atas piutang pajak dilakukan secara tegas dan terukur. “Bagi wajib pajak yang menunggak dan tidak menunjukkan itikad baik, kami terpaksa melakukan penyitaan aset milik yang bersangkutan. Penyitaan ini hanya dilakukan setelah seluruh prosedur hukum terpenuhi,” ujar Syamsinar di Banjarbaru, Rabu (18/6/2025).

Ia menambahkan, barang-barang yang telah disita akan masuk dalam proses lelang eksekusi sebagai bagian dari penagihan aktif oleh negara. “Lelang bukan semata proses jual beli, tetapi juga merupakan langkah hukum yang sah dan transparan, serta bisa diawasi oleh publik,” lanjutnya.

Menurut Syamsinar, lelang eksekusi dari barang sitaan ini menjadi salah satu sarana penting dalam penyelesaian piutang negara, sekaligus alat pengingat akan pentingnya kepatuhan fiskal. Hasil penjualannya akan masuk ke kas negara sebagai penerimaan perpajakan dan turut menyumbang terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Ini menunjukkan bahwa kepatuhan pajak memiliki dampak luas, tidak hanya bagi pelaku usaha tetapi juga dalam menjaga stabilitas keuangan negara. Maka dari itu, kami mendorong wajib pajak untuk segera menyelesaikan kewajibannya sebelum proses hukum berjalan,” tegas Syamsinar.

Kanwil DJP Kalselteng berkomitmen untuk terus mengedepankan pendekatan persuasif dan edukatif, namun tidak ragu bertindak tegas jika terjadi pelanggaran. Penegakan hukum perpajakan, termasuk melalui lelang, menjadi bagian dari upaya mewujudkan keadilan fiskal dan optimalisasi anggaran negara. (alf)

 

Dirjen Pajak Pastikan Aturan Sedang Diproses, UMKM Masih Bisa Nikmati PPh Final 0,5 Persen 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memastikan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi, masih bisa menikmati tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen pada 2025, meskipun masa berlaku resmi insentif tersebut telah berakhir pada 2024.

Bimo mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah tengah menggodok revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang menjadi dasar hukum penerapan tarif PPh final untuk UMKM. “Perubahan PP 55 tahun 2022 untuk mengatur jangka waktu PPh final UMKM sedang dalam proses penyusunan,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (19/6/2025).

Bimo menegaskan, pelaku UMKM tetap diperbolehkan memanfaatkan tarif PPh final 0,5 persen selama masa transisi ini. “UMKM orang pribadi memang sudah habis 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final 0,5 persen per 2024. Tetapi masih tetap dapat membayar PPh final 0,5 persen tersebut di tahun 2025,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa perubahan regulasi tersebut belum rampung karena masih menunggu pembahasan lintas kementerian. “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” tambahnya.

Desakan IKPI

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang menyebabkan dilema bagi Wajib Pajak orang pribadi. Menurutnya, tanpa dasar hukum yang jelas, pelaporan dan pembayaran PPh masa Januari–Februari 2025 bisa menimbulkan risiko pajak.

“Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh final 0,5 persen. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka Wajib Pajak bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” tegas Vaudy dalam pernyataan tertulis pada 17 Maret 2025.

Ia mengingatkan bahwa wacana perpanjangan insentif ini bukan hal baru. Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, telah mengumumkan rencana perpanjangan fasilitas ini dalam paket stimulus ekonomi akhir tahun lalu.

Pasalanya, perpanjangan tersebut idealnya juga mengubah ketentuan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 yang membatasi masa berlaku PPh final 0,5 persen selama tujuh tahun.

Ia menegaskan, ketiadaan aturan hingga Maret 2025 telah menciptakan ketidakpastian yang cukup pelik. Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta yang sebelumnya dikecualikan dari kewajiban PPh berdasarkan UU HPP dan PP 55/2022, kini kebingungan menentukan kewajiban pajaknya: tetap menggunakan PPh final, beralih ke Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), atau menyelenggarakan pembukuan?

Ia juga menyoroti tenggat penyampaian pilihan penggunaan NPPN yang jatuh pada akhir Maret 2025, membuat situasi semakin kompleks.

“Kebingungan ini bisa berdampak pada kepatuhan dan penerimaan pajak negara,” kata Vaudy. (alf/bl)

 

 

Inflasi Terkendali, Mekeu Sebut Karena ada Penurunan Harga Pangan 

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa inflasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang cukup terkendali, bahkan menunjukkan tren penurunan. Penjelasan ini disampaikan dalam konferensi pers rutin “APBN Kita” edisi Juni 2025 pada Selasa (17/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, salah satu faktor utama di balik meredanya inflasi adalah turunnya harga bahan pangan, terutama yang masuk kategori volatile food atau harga pangan yang rentan bergejolak.

“Rendahnya inflasi kita disebabkan karena harga-harga yang biasanya bergejolak, yaitu makanan, mengalami deflasi karena adanya panen,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia menekankan bahwa pemerintah aktif menjaga keseimbangan harga agar penurunan ini tidak berdampak negatif terhadap petani. “Harga beberapa pangan memang turun, dan itu berdampak langsung pada inflasi. Namun kami juga menyiapkan dukungan anggaran agar stabilitas harga, terutama beras dan gabah, tetap terjaga,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa inflasi ke depan diperkirakan akan tetap terkendali, berkat sejumlah kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menekan harga-harga yang diatur negara (administered prices). Salah satunya melalui subsidi dan diskon untuk moda transportasi seperti tiket pesawat dan kereta api.

“Kita sudah menyiapkan kebijakan diskon untuk transportasi umum. Ini secara langsung akan menurunkan inflasi administered prices,” ujarnya.

Sri Mulyani juga memastikan bahwa inflasi inti, yang mencerminkan permintaan domestik, masih tumbuh sehat di level 2,4%. “Ini menandakan permintaan masih ada. Inflasi inti yang tumbuh 2,4% menunjukkan ada pertumbuhan natural. Sementara itu, inflasi secara keseluruhan (headline) berada di angka 1,6%,” katanya.

Ia pun menegaskan bahwa penurunan inflasi tidak serta-merta berarti daya beli masyarakat sedang melemah. “Jangan langsung disimpulkan inflasi turun karena daya beli yang lemah. Ini lebih karena dampak langsung dari kebijakan pemerintah dalam mengatur harga,” tutupnya. (alf)

 

RPMK Syaratkan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak Miliki SKK atau Izin KP 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun aturan baru yang bakal memperketat syarat menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Ketentuan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Sebagai Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, yang akan menggantikan PMK 184/2017.

Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas perwakilan hukum di Pengadilan Pajak sekaligus memberi perlindungan lebih bagi pencari keadilan. “Penyempurnaan ini dimaksudkan agar penyelesaian sengketa perpajakan bisa berjalan lebih efektif dan cepat,” ujar Sekretaris Pengganti Sekretariat Pengadilan Pajak, Roni Ziyardi Yasmi dalam forum meaningful participation RPMK, Kamis (19/6/2025).

Dua Syarat Tambahan Penentu Kompetensi

RPMK ini menegaskan bahwa pengetahuan dan keahlian perpajakan seorang kuasa hukum harus dibuktikan melalui salah satu dari dua cara: memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak (KP).

“SKK dan izin praktik itu sifatnya pilihan. Keduanya bisa menjadi dasar untuk menjadi kuasa hukum,” jelas Roni.

Untuk kuasa hukum di bidang kepabeanan dan cukai, dibutuhkan tambahan sertifikat keahlian khusus. Baik SKK maupun sertifikat keahlian kepabeanan akan diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu.

Selain itu, pengalaman kerja juga menjadi indikator penting. Seorang kuasa hukum harus pernah bekerja di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum selama dua tahun dalam lima tahun terakhir. Untuk bidang kepabeanan dan cukai, pengalaman di sektor tersebut juga wajib dibuktikan.

“Pengalaman itu harus didukung surat resmi dari instansi atau lembaga terkait. Harapannya, profesionalisme kuasa hukum makin terjamin,” ucap Roni.

Syarat Lain dan Pembagian Izin Bertingkat

RPMK ini juga memuat sejumlah persyaratan tambahan bagi calon kuasa hukum, di antaranya:

• Bukan anggota keluarga dekat, pegawai, atau pengampu pihak terkait;

• Lulusan sarjana atau diploma IV dari perguruan tinggi terakreditasi;

• Terdaftar sebagai wajib pajak dan taat pajak;

• Berperilaku baik dan tidak pernah dihukum pidana berat;

• Bukan ASN atau pejabat negara;

• Menjunjung kejujuran, integritas, dan keadilan;

• Bersedia membuat akun dan menggunakan sistem e-Tax Court.

Menariknya, RPMK ini juga memperkenalkan sistem leveling untuk kuasa hukum pajak, yakni tingkat A, B, dan C, yang didasarkan pada tingkat keahlian. Namun untuk kuasa hukum kepabeanan dan cukai, tidak ada pembagian tingkatan.

“Izin tingkat A itu semacam representasi brevet A. Jadi akan lebih terukur siapa menangani perkara di level apa,” kata Roni.

Izin Lama Masih Berlaku

Bagi kuasa hukum yang sudah mengajukan permohonan sebelum RPMK baru berlaku, pengajuan tetap akan diproses berdasarkan ketentuan lama, yakni PMK 184/2017. Izin yang sudah terbit pun dinyatakan masih sah hingga masa berlakunya habis.

Pada masa transisi, seluruh izin kuasa hukum pajak yang sudah terbit dianggap sebagai tingkat tertinggi, yakni level C. “Jadi semua kuasa hukum yang sudah berizin tetap bisa menangani seluruh jenis sengketa pajak,” tambah Roni.

RPMK juga memberikan kelonggaran jika SKK belum bisa diterbitkan BPPK. Dalam hal ini, pengetahuan dan keahlian perpajakan dapat dibuktikan melalui ijazah bidang fiskal, akuntansi, atau perpajakan, sertifikat brevet, atau pengalaman kerja di instansi pemerintah terkait.

Namun ada konsekuensi baru: jika dalam waktu 30 hari sejak PMK berlaku kuasa hukum belum membuat akun e-Tax Court, maka izin bisa dicabut.

Menuju Sistem Peradilan Pajak yang Lebih Modern

Dengan revisi aturan ini, Kemenkeu berharap ekosistem hukum di Pengadilan Pajak semakin profesional, terukur, dan akuntabel. Transformasi ini juga dianggap sejalan dengan digitalisasi sistem peradilan melalui e-Tax Court.

“Semangatnya bukan membatasi, tapi justru memperkuat perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam sengketa pajak,” pungkas Roni. (alf)

 

YFR Hermiyana Resmi Pimpin DJP Sulselbartra, Fokus Perkuat Sinergi dan Inovasi Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penyegaran kepemimpinan di Kantor Wilayah Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra). Per Selasa (17/6), tongkat estafet jabatan Kepala Kanwil DJP Sulselbartra resmi beralih dari Heri Kuswanto kepada YFR Hermiyana.

Dalam seremoni serah terima jabatan yang berlangsung di Kantor DJP Sulselbartra, Hermiyana menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran strategis DJP dalam menopang penerimaan negara dari sektor pajak. Ia menyadari, tantangan dalam menghimpun penerimaan di tengah dinamika ekonomi saat ini membutuhkan pendekatan yang kolaboratif dan adaptif.

“Kita perlu memperkuat sinergi dengan semua pemangku kepentingan dan memberikan pelayanan yang maksimal. DJP terbuka terhadap masukan dan harus mampu memberikan solusi atas setiap dinamika yang ada,” ujar Hermiyana, dikutip, Rabu (18/6/2025).

Menurutnya, optimalisasi hubungan dengan konsultan pajak akan menjadi salah satu strategi utama. Ia menilai, peran konsultan pajak sangat vital sebagai penghubung antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Selain itu, Hermiyana menyatakan akan mendorong terobosan dalam layanan dan pengawasan. Inovasi dan efektivitas dalam penggalian potensi pajak akan menjadi kunci untuk mengejar target penerimaan negara.

Data DJP Sulselbartra mencatat, hingga April 2025 penerimaan pajak dari tiga wilayah yang menjadi cakupan kerja Kanwil tersebut tercatat sebesar Rp3,84 triliun mengalami penurunan 10,29% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Rinciannya, Sulawesi Selatan menyumbang kontribusi terbesar sebesar Rp2,85 triliun, diikuti Sulawesi Tenggara Rp892 miliar, dan Sulawesi Barat Rp95,73 miliar.

Dengan tantangan yang ada, Hermiyana berharap seluruh jajaran DJP di wilayahnya dapat bekerja secara solid, menjalin kemitraan yang kuat dengan pemangku kepentingan, dan menghadirkan reformasi layanan pajak yang semakin profesional dan modern. (alf)

 

en_US