Kepatuhan Pajak di Indonesia : Sebuah Tinjauan Teoritis

Sebagai pembuka, mari kita membedah terlebih dahulu kinerja pendapatan negara pada tahun 2024. Penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp. 1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh sebesar 3,5% yoy, pertumbuhan ini hanya berdasarkan dari penerimaan dari sektor pajak, didorong oleh pertumbungan dari jenis penerimaan pajak utama.

Melihat kondisi ini, pajak adalah bentuk salah satu sumber penerimaan utama dari penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan mendanai berbagai kebutuhan publik, dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, layanan pendidikan, subsidi sosial, hingga proyek-proyek strategis nasional lainnya.

Mengingat keterbutuhan akan penerimaan negara dari sektor pajak itu merupakan sumber yang tergolong primer, maka hal ini, secara tidak langsung mendorong Pemerintah untuk menekankan kepada masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak untuk meningkatkan pentingnya memenuhi kepatuhan perpajakan yang dilandasi Peraturan Perpajakan di Indonesia.

Dalam konteksnya di Indonesia, kontribusi penyerapan penerimaan negara di Indonesia dari sektor Pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai lebih dari 70% di setiap tahunnya, mengingat data yang telah saya paparkan di awal penjelasan diatas, yang hal ini menegaskan bahwa Pajak secara tidak langsung pula menjadikan instrumen utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional dalam hal pendanaan strategis nasional.

Kepatuhan terhadap perpajakan memiliki makna bahwa setiap Wajib Pajak, melaksanakan dan memenuhi kepatuhan dan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu, jujur, dan menjalankan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan yang berwenang. Dengan, mempertimbangkan tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi di suatu negara, maka secara tidak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pengembalian terhadap negara kepada masyarakat yang sepadan, seperti fasilitas yang diberikan, sarana dan prasarana yang tersedia di publik, sumber daya yang cukup, program-program publik yang dapat dijalankan secara merata dan berkelanjutan, namun berkebalikannya, bila tingkat kepatuhan yang rendah, maka beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan tidak merata, dengan asumsi bahwa hanya ada segelintir pihak saja yang taat, namun yang lainnya memiliki kecenderungan mengindar, maka hal ini akan memicu ketimpangan sosial, dan serta menimbulkan ketidak percayaan terhadap sistem perpajakan yang dibangun oleh sebuah Pemerintahan.

Di sisi lain, kepatuhan terhadap perpajakan, menggambarkan dan mencerminkan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah. Masyarakat yang selama ini telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya, akan menunjukkan bahwa dana yang mereka setorkan dan kontribusikan kepada negara, akan dikelola secara bertanggung jawab oleh negara, dalam bentuk imbal balik yang diberikan Pemerintah seperti pelayanan yang maksimal kepada Masyarakat, pembangunan infrastruktur yang merata, layanan pendidikan dan kesehatan yang merata, yang pada dasarnya, seluruh manfaat dapat diterima secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, bentuk ketidakpatuhan juga, dapat memberikan sinyal adanya krisis ketidakpercayaan yang dari masyarakat kepada Pemerintah akibat adanya isu transparansi dan akuntabilitas dari Pemerintah, yang pada dasarnya hal tersebut harus menjadi evaluasi dari Pemerintah dalam menjalankan good clean governance.

Mengenal Berbagai Teori Kepatuhan Perpajakan

Tidak lengkap rasanya, bila kita membahas kepatuhan perpajakan, namun tidak membahas latar belakang akademis yang melandasinya. Latar belakang akademik, memiliki peranan sentral yang nantinya akan memberikan dampak praktis dalam bentuk kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing-masing Pemerintahan di berbagai negara, bergantung dengan setiap kebutuhan ekonomis di masing-masing negara tersebut. Pada pembahasan, teori-teori kepatuhan perpajakan ini, saya membagi 3 (tiga) kluster utama dari pandangan para ahli yang perlu rekan-rekan pahami dalam memahami mengapa kepatuhan perpajakan itu penting, 3 (tiga) teori pandangan para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972)

Teori ini, merupakan salah satu grand theory yang sering kali digunakan oleh para peneliti yang meneliti di subjek Perpajakan dan Akuntansi, yang dikembangkan oleh Michael G. Allingham dan Agnar Sandmo pada tahun 1972 dalam artikelnya yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”, premis sederhana, dari teori ini adalah teori ini menekankan akan pentingnya mematuhi kewajiban perpajakan, dan Wajib Pajak wajib menghitung secara rasional atas setiap untung dan ruginya bila tidak mematuhi kewajiban perpajakan, artinya secara sadar, Wajib Pajak bila dengan sengaja menghindar (tax avoidance) atau dengan sengaja melakukan penggelapan yang mengarah ke tindak pidana (tax evasion), maka terdapat ancaman maksimal yang akan diterima.

Oleh karena itu, dalam memutuskan apakah akan mematuhi atau melakukan penghindaran, setiap Wajib Pajak baik Badan Usaha maupun Orang Pribadi, akan terlebih dahulu menghitung baik buruknya, sebab, di setiap keputusan maupun langkah yang diambil, Wajib Pajak akan melakukan kalkulasi untung rugi secara logis, hal ini sangat relevan dengan kondisi yang menggambarkan situasi Wajib Pajak di seluruh belahan dunia. Model ini menjelaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya soal kesadaran moral atau etika, melainkan hasil dari keputusan ekonomi yang rasional, seperti keputusan investasi yang mempertimbangkan untung ruginya.

Model teori ini, secara umum memberikan dasar bagi para pemangku kepentingan seperti para regulator maupun Pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal, dalam merancang sistem bentuk pengawasan maupun kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dan bentuk pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, teori ini pula banyak mengundang kritik, karena terlalu menyederhanakan teknis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor humanis yang bahkan dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan Wajib Pajak seperti faktor sosial, moral, maupun psikologis, dalam hal ini berperan besar dalam perilaku Perpajakan Wajib Pajak.

Teori ini, menjadi penting dan tetap menarik untuk terus dilakukan studi lebih lanjut dalam hal studi kepatuhan perpajakan dan menjadi titik awal dari berbagai pengembangan teori lanjutan di bidang perpajakan, dan bahkan banyak teori yang berkembang atas dikenalkannya teori ini.

Tax Compliance Theory oleh Graetz dan Wilde (1985) 

Berbeda konsep dengan teori yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), pada teori ini Graetz dan Wilde (1985) yang dituangkan dalam artikel yang berjudul “The Economics of Tax Compliance: Facts and Fantasy”, memberikan warna yang berbeda. Teori kepatuhan pajak ini mengkritisi teori yang telah diusung sebelumnya, bahwa kepatuhan pajak harus didorong dengan konsep “tax morale”, nilai-nilai humanisme yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh teori sebelumnya.

Bahwa kepatuhan pajak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang Wajib Pajak memandang penggunaan dana pajak oleh negara. Jika merasa bahwa dana pajak yang selama ini secara terpaksa maupun sukarela disetorkan kepada negara namun peruntukkan dan penggunaannya untuk kemaslahatan masyarakat secara luas dan memiliki dampak yang positif bagi masyarakat secara umum, maka tercipta kepercayaan yang mendorong kepatuhan secara sukarela tanpa harus adanya dorongan dari Pemerintah untuk menekankan akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan, namun sebalknya, jika Wajib Pajak merasa bahwa sistem pajak koruptif dan tidak berpihak kepada rakyat, maka akan muncul resistensi dan kecenderungan untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, teori ini, menjadi bentuk resistensi dari teori sebelumnya, dan bentuk dari pengembangan dan perluasan atas pendekatan perilaku terhadap bentuk kepatuhan pajak, sebab meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak tidak hanya melalui penetapan atau ancaman sanksi, namun Pemerintah atau dalam hal ini regulatur dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik dengan institusi pajak beserta dengan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap mampu mendekatkan diri dengan masyarakat akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan.

Slippery Slope Framework oleh Erich Kirchler (2007) 

Teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Erich Kirchler pada tahun 2007, yang dituangkan dalam bukunya “The Economic Psychology of Tax Behaviour”, menandai pergeseran penting dari pendekatan ekonomi rasional menuju pendekatan psikologi perilaku dalam studi kepatuhan perpajakan. Kirchler berangkat dari kritik terhadap teori Allingham dan Sandmo yang mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah individu rasional yang hanya mempertimbangkan risiko audit dan sanksi. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kepatuhan pajak adalah hasil dari interaksi antara kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak (trust in authority).

Kirchler (2007), memperkenalkan konsep Slippery Slope Framework, yang menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan tidak hanya dapat ditingkatkan dengan pengawasan dan hukuman (coercive power), tetapi juga melalui pembangunan hubungan yang berbasis kepercayaan, transparansi, dan persepsi keadilan. Dalam kerangka ini, jika otoritas pajak terlalu mengandalkan kekuatan koersif, maka hubungan antara negara dan wajib pajak akan menjadi kaku dan penuh tekanan, bahkan bisa mendorong perlawanan pasif.

Namun, jika otoritas mampu menumbuhkan rasa kepercayaan melalui pelayanan yang baik, keterbukaan, dan perlakuan yang adil, maka akan muncul kepatuhan sukarela yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan. Kirchler juga menegaskan bahwa keseimbangan antara kekuatan dan kepercayaan merupakan kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, kepercayaan tidak hanya mencerminkan harapan bahwa otoritas pajak bertindak jujur dan profesional, tetapi juga mencakup persepsi bahwa kebijakan pajak dibuat secara partisipatif dan digunakan untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, teori Kirchler menjadi sangat relevan dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sering menghadapi tantangan rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan.

Aplikasi Ketiga Teori Kepatuhan Perpajakan di Indonesia 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), Graetz dan Wilde (1985), serta Erich Kirchler (2007) memberikan kerangka analitis yang saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksitas perilaku wajib pajak cukup menarik bila efektif diterapkan di Indonesia khususnya.

Secara khusus, misalnya, pada teori Allingham dan Sandmo (1972) yang menekankan pendekatan rasionalitas ekonomi, yaitu keputusan wajib pajak ditentukan oleh perbandingan antara manfaat menghindari pajak dan risiko dikenai sanksi apabila terdeteksi, relevan diterapkan di Indonesia sebagai dasar pembentukan kebijakan penegakan hukum.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa rasio audit terhadap jumlah wajib pajak masih sangat rendah, ditambah keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sanksi perpajakan, meskipun telah diatur secara hukum, sering kali tidak dijalankan secara konsisten dan tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Akibatnya, kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut menjadi kurang efektif. Hal ini juga diperburuk dengan adanya persepsi publik bahwa tindakan tegas lebih banyak menyasar pelaku UMKM atau wajib pajak individu kecil, sementara pelanggaran oleh korporasi besar atau elite ekonomi sering kali tidak tersentuh. Oleh sebab itu, pendekatan ini tetap penting namun membutuhkan penguatan melalui reformasi sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), transparansi sanksi, dan konsistensi penegakan hukum terhadap semua lapisan wajib pajak tanpa pandang bulu.

Sementara itu, bila kita menelaah lebih dalam pada teori Graetz dan Wilde (1985) serta konsep yang ditawarkan pada teori Slippery Slope Framework dari Kirchler (2007) menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks sosial-politik Indonesia. Graetz dan Wilde (1985)  menekankan pentingnya faktor moral pajak (tax morale) dan persepsi keadilan dalam sistem perpajakan.

Di Indonesia, banyak wajib pajak yang memilih tidak patuh bukan karena perhitungan rasional terhadap risiko hukum, melainkan karena munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi negara, persepsi bahwa pajak tidak digunakan untuk kepentingan publik, serta keteladanan yang buruk dari sebagian pejabat publik.

Hal ini diperkuat oleh kerangka kerja Kirchler (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat jika terdapat keseimbangan antara kekuatan otoritas pajak (audit dan sanksi) dan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan. Oleh karena itu, strategi DJP tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan koersif, melainkan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan, edukasi publik, dan upaya transparansi dalam pengelolaan penerimaan negara.

Program reformasi perpajakan yang mengarah pada digitalisasi (seperti core tax administration system) adalah langkah tepat, tetapi akan sia-sia tanpa diiringi perubahan dalam budaya organisasi dan sikap pelayanan yang humanis.

Dalam masyarakat yang masih bersifat kolektif seperti Indonesia, norma sosial dan pengaruh lingkungan sekitar juga sangat menentukan perilaku kepatuhan. Maka, kolaborasi antara negara, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan akademisi menjadi krusial untuk menumbuhkan ekosistem pajak yang sehat, adil, dan dipercaya. Kombinasi ketiga teori ini secara strategis dapat membentuk pendekatan yang menyeluruh: mendorong kepatuhan dengan kontrol yang kuat, memperkuat legitimasi sistem pajak, serta membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warganya.

Refleksi atas Peran Strategis IKPI dalam Membangun Kepatuhan Pajak di Indonesia 

Sebagai penutup, penting rasanya membahas peran sentral IKPI sebagai fondasi penting akan pemenuhan kepatuhan perpajakan masyarakat dan Wajib Pajak di Indonesia secara luas, tidak hanya sebagai Organisasi profesi yang mewadahi para Konsultan Pajak, namun IKPI memiliki peranan sentral yang dalam mitra strategis pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Dalam lanskap perpajakan modern yang terus berubah, peran aktor non-pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan semakin diakui sebagai bagian penting dari tata kelola fiskal yang berkelanjutan. Salah satu aktor strategis tersebut adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang merupakan organisasi profesi resmi dan independen yang mewadahi para konsultan pajak di Indonesia. Sebagai organisasi profesional, IKPI tidak hanya bertanggung jawab menjaga kompetensi dan integritas anggotanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab etik dan sosial yang lebih luas dalam mendukung peningkatan kepatuhan pajak nasional.

Dalam posisi ini, IKPI dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung yang kredibel antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik dalam aspek teknis, edukatif, maupun strategis. Peran IKPI menjadi sangat relevan ketika dikaji melalui kerangka pemikiran teoretis tentang kepatuhan pajak yang menekankan bahwa perilaku wajib pajak tidak hanya dipengaruhi oleh sanksi hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral, persepsi keadilan, dan relasi sosial dengan institusi perpajakan.

Dari perspektif Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972), kepatuhan pajak lahir dari kalkulasi rasional antara manfaat menghindari pajak dan risiko hukuman jika ketahuan. Dalam konteks ini, IKPI memainkan peran teknokratik yang sangat penting, yaitu membantu wajib pajak memahami, mematuhi, dan menyesuaikan pelaporan perpajakan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan kompleksitas regulasi perpajakan yang tinggi di Indonesia, baik dari sisi substansi hukum, dinamika perubahan kebijakan, maupun keterkaitan dengan sistem digital banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses pemahaman yang memadai.

Di sinilah konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI menjadi instrumen kunci untuk menutup kesenjangan informasi (compliance gap) yang sering kali justru menjadi akar ketidakpatuhan administratif, bukan karena niat jahat, tetapi karena minimnya literasi pajak. Kehadiran konsultan pajak profesional yang menjunjung integritas dapat meminimalisasi risiko pelanggaran pajak, sekaligus menghindari potensi sanksi yang merugikan wajib pajak dan negara.

Namun, pendekatan rasional semata tidak cukup menjelaskan seluruh aspek kepatuhan. Dalam perspektif Graetz dan Wilde (1985), kepatuhan tidak hanya bergantung pada risiko hukum, tetapi juga pada “tax morale”, yakni motivasi intrinsik untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan karena alasan etis, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, dengan karakter masyarakat yang kolektif dan sangat dipengaruhi oleh norma sosial, persepsi terhadap keadilan fiskal dan integritas institusi pajak menjadi faktor krusial. Jika wajib pajak melihat bahwa sistem perpajakan bersifat timpang, prosedurnya tidak transparan, atau pejabat publik tidak memberi keteladanan, maka moral pajak akan melemah, dan kepatuhan sukarela akan menurun.

Dalam hal ini, IKPI dapat menjalankan peran moral dan edukatif, yaitu membimbing kliennya untuk mematuhi pajak bukan hanya karena takut diperiksa, tetapi karena sadar bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi kolektif terhadap pembangunan nasional.

IKPI juga dapat mengadvokasi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan sistem yang adil, sekaligus menjadi bagian dari kontrol sosial dan teknokratik yang mendukung legitimasi sistem perpajakan nasional.

Selanjutnya, melalui kacamata Slippery Slope Framework yang dikembangkan oleh Erich Kirchler (2007), kepatuhan pajak merupakan hasil dari kombinasi antara kekuatan otoritas (power) dan kepercayaan (trust). DJP memiliki kekuatan hukum untuk memeriksa, menyanksi, dan menegakkan peraturan.

Namun, untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang yang berkelanjutan, kekuatan ini harus diimbangi dengan upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan efektivitas institusi perpajakan.

Di sinilah posisi IKPI menjadi sangat strategis sebagai co-creator trust. Konsultan pajak berada dalam posisi unik berinteraksi langsung dengan wajib pajak dan memahami sistem internal DJP, sehingga dapat memainkan fungsi diplomatik dan edukatif yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh negara.

Melalui pelayanan profesional, komunikasi yang etis, dan komitmen pada integritas, anggota IKPI dapat membentuk persepsi publik bahwa sistem perpajakan bukan alat pemaksaan, melainkan sarana kerja sama antara negara dan masyarakat. IKPI juga bisa mendorong DJP untuk meningkatkan kualitas layanan, menyederhanakan prosedur, dan meminimalkan ruang abu-abu yang bisa mengikis kepercayaan publik.

Refleksi atas peran IKPI dalam konteks ketiga teori ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara DJP dan organisasi profesi seperti IKPI bukan hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi kebijakan nasional untuk memperkuat struktur fiskal negara.

Dalam kondisi penerimaan negara yang semakin bergantung pada pajak, dan tekanan fiskal yang meningkat karena kebutuhan pembiayaan pembangunan, keberadaan konsultan pajak yang profesional, independen, dan berintegritas menjadi salah satu penopang utama. Maka, penting bagi IKPI untuk terus memperkuat kapabilitas anggotanya melalui pelatihan berkelanjutan, pembinaan etik profesi, serta keterlibatan aktif dalam reformasi perpajakan nasional.

Sinergi antara DJP dan IKPI akan menjadi model kemitraan yang menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pajak tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras negara menegakkan hukum, tetapi juga oleh seberapa besar masyarakat, melalui para profesionalnya, bersedia menjadi bagian dari ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan dipercaya.

SUMBER REFERENSI

Allingham, M. G., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4), 323–338. https://doi.org/10.1016/0047-2727(72)90010-2ScienceDirect+4SCIRP+4EconPapers+4

Graetz, M. J., & Wilde, L. L. (1985). The economics of tax compliance: Fact and fantasy. National Tax Journal, 38(3), 355–363.CaltechAUTHORS+3CaltechAUTHORS+3IDEAS/RePEc+3

Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.Google Scholar+3SCIRP+3Universität Wien+3

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Januari 2). Pendapatan negara tahun 2024 tumbuh positif. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pendapatan-Negara-Tahun-2024-Tumbuh-Positif

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi/Mahasiswa Program Doktoral Keuangan Universitas Brawijaya/Dosen Universitas Nasional

M. Abdul Rahman

Email: rahman@rahman-muhaimin.com,

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat Strategi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Tren pelemahan kinerja perpajakan Indonesia kembali menjadi sorotan. Indikator tax buoyancy rasio yang menggambarkan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Data yang dihimpun memperlihatkan penurunan signifikan, dari posisi 1,94 pada 2021 menjadi hanya 0,71 pada tahun 2024. Bahkan, pada kuartal I tahun 2025, angkanya tercatat minus 3,71, mencerminkan bahwa setiap kenaikan 1% dalam PDB justru diikuti penurunan penerimaan pajak sebesar lebih dari tiga kali lipat.

Merespons kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan terus melakukan berbagai langkah untuk menjaga daya ungkit pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menekankan bahwa strategi perluasan basis pajak menjadi salah satu fokus utama.

“Kami terus mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, memanfaatkan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan, serta memperkuat kerja sama antarlembaga,” ujarnya, Jumat (16/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum perpajakan, reformasi struktural, dan harmonisasi kebijakan internasional menjadi bagian dari pendekatan komprehensif untuk meningkatkan rasio perpajakan.

Selain itu, pemberian insentif yang lebih tepat sasaran turut diupayakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mendorong pergeseran ekonomi ke arah bernilai tambah tinggi. “Penguatan kelembagaan dan SDM perpajakan juga kami dorong agar sejalan dengan dinamika ekonomi nasional,” kata Dwi.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebutkan bahwa tax buoyancy di bawah angka 1 menandakan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada PDB, yang berimbas pada menurunnya rasio pajak.

“Ketika nilai tax buoyancy di bawah satu, itu berarti efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan penerimaan negara menjadi lemah,” jelasnya. Ia menyoroti bahwa perlambatan ekonomi nasional menjadi faktor dominan yang menyebabkan turunnya daya dorong pajak terhadap PDB.

Sebagai contoh, ia merujuk pada kondisi 2024 ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yang menyebabkan tax buoyancy ikut terkoreksi dan rasio pajak merosot. “Jika ekonomi melambat, maka penambahan penerimaan pajak juga berkurang signifikan,” imbuhnya.

Menanggapi angka negatif pada kuartal I-2025, Fajry menilai hal itu belum bisa dijadikan indikator tahunan. Ia tetap optimistis akan terjadi perbaikan dalam sisa tahun berjalan, meskipun ia memperkirakan bahwa angka tax buoyancy sepanjang 2025 akan tetap berada di bawah satu.

Menurutnya, untuk memperbaiki kondisi ini, dibutuhkan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi yang langsung berdampak pada penerimaan pajak. Namun ia mengakui bahwa ruang fiskal yang terbatas membuat opsi kebijakan perlu diperluas.

“Dalam kondisi seperti ini, arah kebijakan moneter dan deregulasi menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan pemerintah,” pungkasnya. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Ajak Anggota Lanjutkan Studi Magister dan Doktoral di FIA UI

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dalam sebuah pertemuan virtual bersama para anggota, mengajak secara resmi seluruh konsultan pajak yang tergabung dalam organisasi tersebut untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister (S2) dan doktoral (S3) di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).

Program ini merupakan terobosan Pengurus Pusat IKPI, yang ditindaklanjuti melalui pertemuan antara pengurus pusat IKPI, termasuk Ketua Departemen PPL dan Sumber Daya Anggota, Benny Budi, serta Andi Muhammad Yohan, dengan pihak dekanat FIA UI, di antaranya Kaprodi Pascasarjana Dr. Eko Sakapurnama.

“Ini adalah bagian dari program kami di Pengurus Pusat untuk membuka kesempatan kuliah bagi anggota IKPI di perguruan tinggi ternama. Kami berharap, jika minimal ada 20 anggota mendaftar untuk program S2, bisa dibuka satu kelas khusus,” ujar Vaudy.

“Pendaftaran untuk perkuliahan program S2 rencananya akan dibuka pada bulan Juni mendatang,” ujarnya.

Selain dengan FIA UI, IKPI juga sedang menjajaki kerja sama serupa dengan kampus swasta untuk program PPAK (Program Pendidikan Profesi Akuntan) serta kemungkinan kolaborasi dengan institusi pendidikan lain yang relevan.

Ketua Umum IKPI juga mengungkapkan harapannya agar para anggota dapat mengikuti seleksi dengan semangat dan tidak ragu mendaftar untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anggota IKPI.

Acara sosialisasi ini diikuti lebih dari 100 anggota dan diharapkan bisa membentuk setidaknya kelas sendiri khusus anggota IKPI. Di akhir sambutannya, ia juga menyinggung program CEP yang dinilainya sangat menarik dan akan dijelaskan lebih lanjut oleh pihak FIA UI.

“Kesempatan seperti ini jarang terjadi. Kuliah bersama teman seprofesi di kampus unggulan seperti Universitas Indonesia adalah peluang emas,” ujarnya. (bl)

RI Dorong Penguatan Kerja Sama Perpajakan Internasional di Forum ADB

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia terus mendorong penguatan kerja sama multilateral dalam menghadapi tantangan global, termasuk di bidang perpajakan internasional. Komitmen tersebut disampaikan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam pertemuan bilateral dengan Vice President East Asia and Pacific World Bank, Manuela V. Ferro, di sela Pertemuan Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-58 yang berlangsung di Milan, Italia.

Dalam pertemuan itu, Wamenkeu yang mewakili delegasi Indonesia menyampaikan pentingnya kolaborasi antarnegara dan lembaga keuangan internasional, khususnya dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil dan efektif.

Ia menyoroti isu-isu strategis yang masih menjadi tantangan global, seperti fragmentasi ekonomi, tekanan geopolitik, dan meningkatnya praktik penghindaran pajak lintas negara.

“Kita menghadapi dunia yang semakin kompleks. Perpajakan internasional kini menjadi elemen penting dalam memastikan stabilitas fiskal, terutama untuk mendukung pertumbuhan inklusif di negara berkembang,” ujar Wamenkeu dalam keterangan resmi, Kamis (15/5/2025).

Fokus pada Pilar I dan II

Salah satu topik utama dalam pembahasan adalah perkembangan implementasi Pilar I dan Pilar II dari kerangka kerja OECD/G20 Inclusive Framework. Kedua pilar ini dirancang sebagai respon atas perubahan lanskap bisnis global yang kian terdigitalisasi dan terintegrasi secara lintas batas.

Pilar I bertujuan mengatur pembagian hak pemajakan atas laba perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak negara. Perusahaan dengan omzet global di atas 20 miliar euro diwajibkan mengalokasikan sebagian keuntungannya ke negara tempat pengguna atau pelanggan berada. Namun hingga kini, konsensus mengenai mekanisme implementasinya masih belum tercapai.

Di sisi lain, Pilar II yang mengatur Global Anti-Base Erosion (GloBE) telah menunjukkan kemajuan lebih signifikan. Pilar ini menetapkan tarif minimum Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 15 persen untuk perusahaan dengan pendapatan global melebihi 750 juta euro per tahun.

Menurut data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan Pilar II hingga awal 2025. Indonesia pun telah mengambil langkah konkret melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur pengenaan pajak minimum global di dalam negeri.

Peran MDB dalam Mendukung Transformasi Fiskal

Pemerintah juga menekankan pentingnya peran bank pembangunan multilateral (MDBs), seperti World Bank dan ADB, dalam membantu negara berkembang memperkuat kapasitas perpajakan. Dukungan teknis dan pembiayaan diharapkan dapat difokuskan pada sektor-sektor produktif yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan antarwilayah.

“Dukungan MDB sangat strategis untuk memastikan pembangunan tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga merata dan adil bagi seluruh masyarakat,” kata Wamenkeu. (alf)

 

Utang Luar Negeri Naik, Ekonom Sebut Masih Sejalan dengan Strategi Pembiayaan di Tengah Perlambatan Pajak

IKPI, Jakarta: Utang luar negeri (ULN) pemerintah Indonesia meningkat 7,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada triwulan I-2025, mencapai US$ 206,9 miliar. Sejumlah ekonom menilai lonjakan ini masih selaras dengan strategi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, terutama ketika penerimaan pajak belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menjelaskan bahwa saat ini pemerintah menghadapi tekanan berat untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Di tengah perlambatan aktivitas ekonomi dan belum pulihnya basis pajak secara menyeluruh, penarikan utang luar negeri dinilai sebagai alternatif pembiayaan jangka pendek yang rasional.

“Ketika penerimaan pajak masih belum maksimal, maka utang luar negeri menjadi solusi cepat untuk mendapatkan dana tunai demi mendukung program pembangunan dan menjaga roda ekonomi tetap bergerak,” ujar Myrdal, Kamis (15/5/2025).

Menurut Myrdal, langkah ini bukan tanpa risiko, namun tetap dapat dikendalikan selama fundamental ekonomi terjaga, termasuk stabilitas peringkat utang dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Ia mengingatkan bahwa tekanan dari faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan fluktuasi perdagangan global bisa mempersempit ruang fiskal, termasuk berdampak pada penerimaan pajak dari ekspor dan kegiatan usaha.

Di sisi domestik, lambatnya laju ekonomi serta harga komoditas yang menurun juga ikut menekan basis penerimaan pajak, khususnya dari sektor pertambangan dan perdagangan. “Kalau pembangunan tidak dijalankan dengan cepat, maka aktivitas ekonomi akan stagnan, yang ujungnya juga menghambat potensi penerimaan pajak,” tambahnya.

Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menambahkan bahwa meningkatnya ULN pemerintah juga merupakan bagian dari strategi front loading—mengamankan pembiayaan lebih awal untuk mempercepat belanja pemerintah. Strategi ini penting agar proyek-proyek pembangunan bisa dieksekusi lebih cepat, yang pada akhirnya juga akan mendongkrak penerimaan pajak secara bertahap.

“Dengan belanja pemerintah yang cepat dan tepat sasaran, efek berantainya akan terlihat pada peningkatan aktivitas ekonomi, yang kemudian memperkuat basis pajak,” kata David.

David menekankan pentingnya keseimbangan dalam struktur pembiayaan, termasuk menjaga proporsi utang luar negeri dan domestik tetap dalam batas wajar. Saat ini, rasio penerbitan SBN antara denominasi rupiah dan valuta asing masih sehat di angka 70% dan 30%.

“Keseimbangan ini penting agar risiko fiskal tetap terkendali, dan penerimaan pajak yang fluktuatif tidak menjadi satu-satunya tumpuan pembiayaan negara,” pungkasnya. (alf)

 

Terkendala Pelaporan SPT Masa? Wajib Pajak Diimbau Gunakan Fitur Deposit Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan permohonan maaf kepada Wajib Pajak atas ketidaknyamanan yang dialami saat mengakses pelaporan SPT Masa PPh untuk masa pajak April 2025. DJP mengingatkan bahwa batas akhir pembayaran untuk masa pajak tersebut adalah 15 Mei 2025.

“Apabila terdapat kendala dalam pembuatan billing karena gangguan pada sistem SPT di Coretax, kami menyarankan agar Wajib Pajak terlebih dahulu melakukan pembayaran melalui mekanisme Deposit untuk menghindari keterlambatan,” jelas DJP dalam keterangan resminya.

Sebagai alternatif sementara, DJP menyarankan penggunaan fitur Deposit dalam sistem Coretax. Fitur ini memungkinkan Wajib Pajak menyetorkan sejumlah dana lebih dulu, yang nantinya dapat digunakan untuk pembayaran pajak kapan saja.

Langkah-langkah untuk menggunakan fitur Deposit Coretax adalah sebagai berikut:

• Akses situs https://coretax.pajak.go.id dan masuk ke akun Anda;

• Pilih menu “Layanan Mandiri Kode Billing”;

• Gunakan “Kode Akun Pajak 411618” dan “Kode Jenis Setoran 100”;

• Masukkan nominal dana yang ingin disetor sebagai saldo deposit;

• Tentukan masa pajak dari Januari hingga Desember tahun berjalan;

• Klik “Buat ID Billing” untuk memperoleh kode pembayaran;

• Lakukan pembayaran melalui bank, kantor pos, atau layanan internet dan mobile banking;

• Setelah pembayaran diterima, saldo deposit akan otomatis bertambah dan dapat dicek melalui menu “Taxpayer Ledger”;

• Dana dalam saldo deposit dapat digunakan untuk pembayaran pajak sesuai kebutuhan dan ketersediaan dana.

DJP juga menjelaskan bahwa pengisian saldo deposit bisa dilakukan melalui tiga cara:

• Pembayaran langsung melalui sistem penerimaan negara;

• Pemindahan dana dari sumber lainnya;

• Pemanfaatan kelebihan bayar dari pelaporan pajak sebelumnya.

Melalui imbauan ini, DJP berharap Wajib Pajak tetap dapat memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu meskipun terjadi kendala teknis di sistem pelaporan. (alf)

 

Pendapatan Pajak Daerah Jateng Tembus Rp3,77 Triliun, Gubernur Dorong Kepatuhan Wajib Pajak

IKPI, Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencatatkan kinerja positif dalam penerimaan pajak daerah hingga 30 April 2025. Total pendapatan yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp3,77 triliun atau 29,81 persen dari target tahunan, melampaui target kumulatif bulan April yang ditetapkan sebesar 27,79 persen.

Kontribusi terbesar berasal dari empat jenis pajak utama. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menjadi penyumbang tertinggi dengan capaian Rp1,248 triliun. Disusul pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan sebesar Rp874,209 miliar, pajak rokok sebesar Rp1,180 triliun, serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang menyumbang Rp456,650 miliar.

Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menyambut baik pencapaian ini namun menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban perpajakan, khususnya bagi pemilik kendaraan bermotor. Ia mengingatkan agar warga tidak menunda pembayaran, terutama di tengah berlangsungnya program pemutihan pajak kendaraan bermotor.

“Gunakan kesempatan program pemutihan ini sebaik-baiknya. Karena mulai tahun depan, tidak ada lagi alasan untuk tidak taat pajak. Pemutihan ini hanya sementara,” tegas Ahmad dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Operasi Kegiatan (POK) Realisasi Kinerja APBD Jawa Tengah 2025, Kamis (15/5/2025).

Program pemutihan tersebut berlangsung dari 8 April hingga 30 Juni 2025. Kebijakan ini memberikan pembebasan atas pokok pajak tertunggak dan denda, dengan sasaran kendaraan bermotor yang belum membayar pajak tepat waktu.

Untuk meningkatkan efektivitas penagihan, Pemprov Jateng berencana melibatkan pemerintah desa dalam proses penagihan pajak kendaraan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antar level pemerintahan dalam optimalisasi penerimaan daerah.

“Ke depan, pemerintah desa juga akan dilibatkan dalam penagihan, agar potensi penerimaan dari sektor ini bisa benar-benar dimaksimalkan,” ujar Ahmad.

Dengan capaian yang menjanjikan di awal tahun ini dan strategi penagihan yang diperkuat, Pemprov Jateng optimistis mampu mencapai target penerimaan pajak daerah 2025 secara keseluruhan. (alf)

 

Realisasi Restitusi Pajak Kuartal I-2025 Melesat 72,88 Persen

IKPI, Jakarta: Nilai pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengalami lonjakan signifikan sepanjang triwulan pertama tahun 2025. Berdasarkan data resmi DJP Kementerian Keuangan, hingga akhir Maret 2025, restitusi yang dikembalikan kepada wajib pajak mencapai Rp144,38 triliun.

Angka tersebut melonjak sekitar 72,88 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar Rp83,51 triliun.

“Realisasi restitusi pajak hingga akhir Maret 2025 sebesar Rp144,38 triliun,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Kamis (15/5/2025).

Ia menjelaskan bahwa kenaikan restitusi tersebut turut memengaruhi penerimaan pajak di awal tahun ini, khususnya pada bulan Januari dan Februari.

“Ini yang mungkin sedikit mengakibatkan terkontraksinya penerimaan di bulan Januari dan juga Februari, karena ada sebagian dari wajib pajak yang melaporkan kompensasi kelebihan pemotongan dan pemungutan pada 2024, serta peningkatan restitusi yang terjadi dalam dua bulan tersebut,” kata Dwi.

Mengacu pada informasi dari laman resmi DJP, wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan restitusi apabila terjadi kelebihan pembayaran pajak. Restitusi dapat dilakukan dalam dua kondisi utama, yakni pengembalian atas pajak yang tidak seharusnya terutang, dan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Peningkatan nilai restitusi ini mencerminkan peran aktif wajib pajak dalam memanfaatkan hak-hak perpajakannya, namun juga menjadi tantangan bagi DJP dalam menjaga stabilitas penerimaan negara secara keseluruhan. (alf)

 

 

 

 

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia: Strategi Efektif Menuju Kemandirian Fiskal

Tax ratio atau rasio pajak adalah salah satu indikator utama untuk mengukur efektivitas sistem perpajakan suatu negara. Rasio ini menunjukkan seberapa besar kontribusi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan menjadi cerminan langsung dari kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada utang. Sayangnya, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Tenggara. Padahal, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, baik dari sektor formal, informal, maupun ekonomi digital yang terus berkembang.

Rendahnya tax ratio menjadi tantangan struktural yang harus segera diatasi, terutama di tengah kebutuhan anggaran yang semakin besar untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial. Oleh karena itu, upaya meningkatkan tax ratio tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan konvensional. Diperlukan strategi yang lebih inovatif, adaptif terhadap tren global, dan berorientasi pada pembenahan sistemik.

Mengapa Tax Ratio Penting bagi Masa Depan Ekonomi Indonesia?

Tax ratio adalah indikator kunci yang menunjukkan seberapa besar penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Di Indonesia, tax ratio masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga, pada 2024 tax ratio hanya mencapai sekitar 10,08% dibandingkan dengan tax ratio pada 2023 sebesar 10,4% (sumber: Kemenkeu). Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya pendanaan pembangunan nasional secara mandiri.

Saat ini Pemerintah Indonesia terus menggencarkan reformasi perpajakan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan tax ratio yang selama ini masih tergolong rendah. Salah satu program unggulan dalam reformasi ini adalah digitalisasi sistem perpajakan, yang diwujudkan melalui implementasi Core Tax System (CTS) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai Januari 2025.

CTS dirancang sebagai sistem teknologi modern yang menyatukan seluruh layanan dan proses administrasi perpajakan dalam satu platform digital yang terintegrasi. Tujuannya jelas yaitu untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan pajak di seluruh lapisan masyarakat.

Pemerintah terus berupaya melakukan reformasi perpajakan

Meski menjanjikan banyak manfaat, peluncuran CTS juga menghadapi tantangan. Masalah literasi digital, resistensi terhadap perubahan, dan kesenjangan infrastruktur teknologi di daerah menjadi hambatan yang perlu diatasi. Namun, pemerintah optimistis bahwa dengan pendekatan bertahap dan dukungan regulasi, CTS akan menjadi tulang punggung sistem perpajakan Indonesia masa depan.

Menurut laporan Bank Dunia (2024), negara yang berhasil mendigitalisasi sistem perpajakannya rata-rata mampu meningkatkan tax ratio sebesar 1,5–3% dalam 3–5 tahun. Jika implementasi CTS berjalan sesuai rencana, maka Indonesia berpeluang meningkatkan tax ratio hingga 13–14% pada 2030—angka yang jauh lebih sehat untuk mendukung pembangunan nasional.

Selain itu, Pemerintah terus menggencarkan ekstensifikasi pajak dengan menjangkau sektor-sektor yang belum tersentuh secara optimal, seperti ekonomi digital dan sektor informal. Integrasi data lintas instansi melalui big data dan data analytics memungkinkan DJP memetakan potensi pajak lebih akurat. Salah satunya melakukan kolaborasi dengan OJK, Bank Indonesia, dan K/L lainnya membuka akses data keuangan yang selama ini tertutup, meningkatkan basis data perpajakan hingga 22% pada 2024.

Meski teknologi dan data analytics membawa banyak keuntungan, kesenjangan dalam infrastruktur digital dan literasi pajak masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, program pelatihan SDM pajak secara berkelanjutan dan peralihan paradigma dari pengawasan ke pelayanan adalah bagian penting dari reformasi. Melalui program DJP Digital Academy, pegawai pajak kini dilatih untuk menguasai teknologi dan pendekatan pelayanan berbasis data.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki tax ratio, edukasi dan literasi perpajakan menjadi kunci yang tak terelakkan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggencarkan program edukasi perpajakan, yang dimulai sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran pajak di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap pentingnya kontribusi pajak dalam pembangunan ekonomi negara. Kampanye digital seperti #PajakKuatAPBNSehat dan kerja sama dengan influencer pajak juga menjadi alat efektif membentuk persepsi positif public dan dapat membangun wajib pajak yang melek pajak.

Dengan kombinasi antara digitalisasi, integrasi data, perluasan basis pajak, dan inklusi pajak, target menaikkan tax ratio ke 15% secara bertahap sangat mungkin dicapai. Kuncinya ada pada komitmen politik, dukungan publik, dan implementasi yang konsisten.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DJP Sebut 3.794 Wajib Pajak Minta Keringanan Angsuran PPh 25, Didominasi Sektor Perdagangan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sebanyak 3.794 wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 sepanjang tahun 2024. Angka tersebut mencerminkan meningkatnya kesadaran sekaligus tantangan yang dihadapi pelaku usaha dalam menjaga arus kas di tengah dinamika ekonomi.

“Pada tahun 2024, sebanyak 3.794 wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti dalam pernyataan tertulis, Kamis (15/5/2025).

Dwi menjelaskan, mayoritas pengajuan datang dari pelaku usaha di sektor perdagangan besar dan eceran. Meski demikian, DJP belum merilis data pembanding terhadap jumlah pengajuan pada tahun-tahun sebelumnya.

“Data terkait perbandingan dengan tahun 2023 masih dikoordinasikan dengan direktorat terkait,” ujarnya.

Pengurangan angsuran PPh 25 ini merujuk pada ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan jika perkiraan PPh terutang tahun berjalan ternyata kurang dari 75% dari tahun sebelumnya, termasuk karena mengalami kerugian atau pendapatan yang tidak menentu.

DJP pun telah mempermudah proses pengajuan lewat digitalisasi layanan. Wajib pajak kini bisa mengajukan permohonan melalui Portal Wajib Pajak dengan alur yang relatif sederhana, mulai dari login, memilih layanan “Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25”, hingga menerima dokumen Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) secara otomatis.

Jika permohonan disetujui, DJP akan menerbitkan surat keputusan resmi terkait pengurangan angsuran. Namun jika ditolak, wajib pajak akan menerima pemberitahuan melalui portal yang sama.

Kebijakan ini menjadi angin segar bagi dunia usaha, khususnya sektor yang terdampak fluktuasi pendapatan, untuk menjaga likuiditas dan keberlangsungan operasional di tengah ketidakpastian ekonomi. (alf)

 

en_US