IKPI, Pemda dan Asosiasi UMKM Depok Kolaborasi Gelar Bimtek Pengisian SPT UMKM

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok bersama Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta Dinas Koperasi dan UMKM Kota Depok, berkolaborasi memberikan bimbingan teknis (Bimtek) Pengisian SPT Badan kepada sedikitnya 50 UMKM di Balai Kota Depok, Selasa (26/3/2024) siang.

Ketua IKPI Depok Nuryadin Rahman mengatakan, terciptanya kolaborasi ini merupakan bentuk harmonisasi yang terjalin baik antara Pemda Kota Depok, Asosiasi UMKM dengan IKPI.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

“Selain untuk menciptakan keparuhan wajib pajak. Kegiatan ini sebagai bentuk kontribusi nyata IKPI Depok dalam membantu Pemda memberikan target pencapaian penerimaan pajak yang diinginkan,” kata Nuryadin di lokasi acara.

Menurut Nuryadin, kedatangan puluhan pelaku UMKM ini juga wajib mendapatkan apresiasi. Karena di tengah kesibukan mereka berdagang pada Ramadan ini, ternyata masih menyempatkan waktu untuk mengikuti Bimtek yang diselenggarakan IKPI.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku UMKM yang hadir pada kegiatan itu, sebanyak 100 persen mereka belum pernah melaporkan SPT Pajak, baik itu pribadi maupun badan.

Dikatakan Nuryadin, hal itu terjadi bukan karena mereka tidak mau melaporkan SPT, melainkan karena ketidak tahuan bagaimana mengisi SPT dan cara melaporkannya.

“Jadi, melalui Bimtek SPT UMKM ini kami memberikan bimbingan mengenai tata cara melaporkan SPT hingga membuat laporan keuangan dengan baik dan benar,” ujarnya.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

Dia berharap, selain meningkatkan kepatuhan wajib pajak, Bintek SPT UMKM ini semakin menguatkan perekonomian baik ditingkat daerah maupun nasional. Karena, UMKM di Indonesia merupakan penopang perekonomian terkuat disaat negara ini mengalami pelemahan perekonomian.

Hadir dalqm kesempatan tersebut, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kota Depok Mohammad Thamrin, dan Kepala KPP Pratama Cimanggis Eko pandoyo Wisnu Bawono. (bl)

 

Menkeu Minta Masyarakat Segera Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mengingat peran pajak yang menjadi komponen penting dalam fiskal negara.

“Kita lihat bahwa pajak menjadi komponen yang sangat penting untuk menjalankan kegiatan bernegara, terutama bagi masyarakat yang mendapatkan banyak dukungan dari pemerintah. Saya mengimbau penyerahan SPT untuk disampaikan secara tepat waktu dan tepat informasi,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (26/3/2024).

Khususnya, lanjut Sri Mulyani, untuk seluruh warga negara yang memiliki pendapatan di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP), mengingat penutupan lapor SPT Tahunan bagi wajib pajak orang pribadi tinggal lima hari lagi.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo melaporkan jumlah wajib pajak yang telah melaporkan SPT Tahunan per 24 Maret 2024 pukul 23.00 WIB mencapai 10,16 juta, tumbuh 8,24 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 9,38 juta SPT.

Jumlah SPT yang dilaporkan melalui e-filling mencapai 8,94 juta, naik dari tahun lalu sebanyak 8,15 juta. Sementara Sedangkan yang dilaporkan melalui e-form sebanyak 970.169 SPT dan manual 246.826 SPT.

“Jadi, relatif sebagian besar SPT disampaikan melalui e-filling,” ujar Suryo.

Untuk mengoptimalkan penyampaian SPT, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus membuka layanan di luar kantor, meski ketika hari libur.

DJP juga memperkuat saluran-saluran yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, salah satunya melalui email.

Namun, Suryo mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dengan upaya penipuan yang mengatasnamakan DJP.

“Tolong abaikan pesan yang tidak berasal dari djp.go.id atau pajak.go.id. Ini yang mungkin wajib pajak sering mendapat informasi yang tidak sesuai, kami khawatir ini adalah penipuan,” kata dia. (bl)

Dirjen Pajak Sebut Pemadanan NIK jadi NPWP Capai 67,36 Juta

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan jumlah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dipadankan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) telah mencapai 67,36 juta.

“Total 67,36 juta wajib pajak NIK-nya sudah dipadankan dengan NPWP, dari total 73,48 juta wajib pajak orang pribadi dalam negeri,” kata Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (26/3/2024).

Terkait dengan 11,7 juta NIK yang sebelumnya masih terkendala sistem pemadanannya, Suryo melaporkan sebanyak 5,5 juta telah terpadankan secara sistem. Dengan begitu, sisa NIK yang belum dipandankan dengan NPWP sebanyak 6,11 juta.

“Mungkin sebagian besar wajib pajaknya sudah meninggal dunia, tidak aktif, atau sudah bergerak ke luar Indonesia. Kami akan kalibrasi lagi,” ujar dia.

Suryo mengatakan akan terus berkoordinasi dengan Dukcapil untuk menyegerakan proses pemadanan NIK dengan NPWP.

Dalam kesempatan sebelumnya, Suryo mengimbau kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan sosialisasi untuk segera melakukan pemadanan NIK menjadi NPWP agar data Wajib Pajak tercatat sebagai indikator saat implementasi core tax system nanti.

“Kami juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Dukcapil untuk melakukan pemadanan dari sisa 12,3 juta yang saat ini belum dipadankan betul,” ujar dia saat konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Kamis (22/2/2024).

Sementara pemadanan NIK dan NPWP secara mandiri dapat dilakukan wajib pajak secara daring melalui laman pajak.go.id, serta terdapat pula layanan virtual untuk memberikan asistensi jika terdapat wajib pajak yang mengalami kesulitan dalam melakukan pemadanan data dan informasi.

Adapun implementasi penuh NIK sebagai NPWP akan dilaksanakan pada 1 Juli 2024. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 tentang perubahan atas PMK Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah. (bl)

Sri Mulyani Sebut Penerimaan Pajak Hingga Maret 2024 Capai Rp342,88 Miliar

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi penerimaan pajak sampai dengan 15 Maret 2024 mencapai Rp342,88 triliun atau setara dengan 17,24 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

“Penerimaan pajak sampai 15 Maret mencapai Rp342,88 triliun, ini artinya 17,24 persen dari target,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (26/3/2024).

Penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas tercatat sebesar Rp203,92 triliun atau setara dengan 19,18 persen dari target. Pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terdata senilai Rp121,92 triliun atau 15,03 persen dari target.

Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp2,56 triliun atau 6,79 persen dari target. Sementara realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat Rp14,48 triliun atau setara dengan 18,95 persen dari target.

“Penerimaan pajak kita agak mengalami tekanan karena harga komoditas yang menurun mulai tahun lalu, akibatnya perusahaan meminta restitusi sehingga restitusi neto kita mengalami tekanan. Namun, dari sisi brutonya, kalau belum dikurangi restitusi kita masih tumbuh 5,7 persen,” jelas Sri Mulyani.

Hal itu utamanya terlihat dari penurunan PPN dalam negeri dan PPh migas. Sementara PPh non migas masih tumbuh positif didukung oleh aktivitas ekonomi nasional.

Secara umum, pendapatan negara tercatat sebesar Rp493,2 triliun atau setara dengan 17,6 persen dari target yang sebesar Rp2.802,3 triliun. Capaian tersebut terkontraksi sebesar 5,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Pertumbuhan penerimaan negara sangat tinggi di 2021 dan 2022, itu tetap bisa terjaga pada 2023, dan kita tahu itu akan mengalami koreksi. Jadi, sekarang pertumbuhan pendapatan negara negatif 5,4 persen,” jelas Menkeu.

Penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp399,4 triliun, terdiri dari penerimaan pajak Rp342,9 triliun dan kepabeanan dan cukai Rp56,5 triliun. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat sebesar Rp93,5 triliun dan hibah Rp0,2 triliun. (bl)

Mahasiswa Keluhkan Rencana Kenaikan PPN 12% Kepada Jokowi

IKPI, Jakarta: Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 menjadi sorotan publik. Bahkan, para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengeluhkan hal ini secara langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jajaran KAMMI pagi ini diterima langsung oleh Jokowi untuk melakukan pertemuan di Istana Negara, Jakarta Pusat. Ketua Umum PP KAMMI Zaky Ahmad Rivai mengatakan dalam momen pertemuan dengan Jokowi pihaknya menyampaikan agar kekhawatiran masyarakat soal kenaikan PPN 12% harus jadi perhatian pemerintah.

“Kita sampaikan juga isu-isu yang terjadi di tengah-tengah kita. Isu-isu kerakyatan, terutama PPN, pajak pertambahan nilai yang mau naik 12%. Ini yang menjadi keresahan masyarakat, itu juga sudah kami sampaikan kepada bapak Presiden,” ungkap Zaky seperti dikutip dari Detik Finance, Senin (25/3/2024).

Zaky mengatakan Jokowi pun merespons kekhawatiran kenaikan PPN yang disampaikan oleh pihaknya. Dia menyebut Jokowi akan mempertimbangkan kebijakan ini bersama dengan jajarannya.

“Bapak Presiden sudah menjawab bahwa beliau akan mempertimbangkan kembali bersama dengan jajaran,” sebut Zaky.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 merupakan kewenangan pemerintah selanjutnya. Itu artinya pelaksanaannya ada di tangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku pihak yang memenangkan Pemilu.

Airlangga menyebut, kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meski begitu, pelaksanaannya akan diperjelas lagi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

“Tergantung pemerintah programnya nanti seperti apa. Nanti dibahas berikutnya,” kata Airlangga di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2024). (bl)

 

 

Bumikan Nama Organisasi, IKPI Depok Turun ke Jalan Bagikan 600 Takjil

IKPI, Depok; Puluhan pengurus dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok, turun kejalan membagikan 600 paket takjil kepada warga dan pelintas di Jalan Raya Cinere, Depok, Jawa Barat pada Sabtu (23/3/2024).

Ketua IKPI Depok Nuryadin Rahman mengungkapkan, kegiatan sosial rutin tahunan yang mereka jalankan ini bukan hanya sekadar pembagian takjil, tetapi lebih memperkenalkan IKPI kepada masyarakat Depok.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

“Kami tempelkan stiker IKPI Depok di doz takjil yang dibagikan. Jadi selain beramal masyarakat juga mengetahui apa itu IKPI,” kata Nuryadin di lokasi acara.

Diungkapkannya, pada saat kegiatan banyak juga masyarakat yang bertanya siapa yang sedang berbagi takjil. “Nah disinilah kami menjelaskan, apa itu IKPI dan apa perannya untuk masyarakat dan negara,” ujarnya.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

Nuryadin juga menjelaskan, dana untuk pembelian takjil juga tidak diambil dari kas organisasi melainkan hasil dari sumbangan seluruh anggota IKPI Depok. Hasilnya ada sekitar Rp10,5 juta dana terhimpun untuk berbagi takjil dan buka puasa bersama.

“Setelah pembagian takjil, para pengurus dan anggota juga melakukan buka puasa bersama di Balcony Cafe & Resto di Jl Pala Raya No 51, Pondok Cabe Udik, Pamulang Jakarta Selatan,” ujarnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam kesempatan itu secara khusus Nuryadin juga mengundang pengurus pusat IKPI yang diwakili Hijrah Hafiduddin dari Departemen Humas.

Bersama-sama mereka menyantap masakan timur tengah yakni nasi kebuli kambing lezat yang dihidangkan oleh restoran tersebut.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

(bl)

 

 

Dosen hingga Pelaku UMKM Ikuti Gelaran Konsultasi Pajak Gratis

IKPI, Jakarta: Sedikitnya 50 wajib pajak badan dan orang pribadi menghadiri kegiatan konsultasi pajak gratis yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di Kampus STIEI Banjarmasin, Senin (18/3/2024).

Ketua IKPI Banjarmasin Martha Leviena mengungkapkan, dalam kegiatan kali ini, peserta tidak hanya berasal dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) saja, tetapi ada juga dosen dan masyarakat umum mengikuti agenda konsultasi pajak yang diberikan.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Banjarmasin)

“Mereka sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Ada yang mengaku pernah melaporkan SPT bahkan ada juga dari mereka yang tidak pernah melaporkan karena tidak mengetahui caranya seperti apa,” kata Martha melalui keterangan tertulisnya, Jumat (22/3/2024).

Dikatakan Martha, antusiasme peserta dapat dilihat dengan banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan kepada para anggota IKPI ditugaskan sebagai pembimbing para wajib pajak tersebut. “Mereka sebenarnya mau melaporkan pajaknya, tetapi karena faktor ketidaktahuan menjadikan hal itu tidak pernah terlaksana,” ujarnya.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Banjarmasin)

Dia berharap dengan adanya konsultasi pajak gratis ini, masyarakat dan pelaku UMKM bisa menjalankan kewajibannya untuk rutin melaporkan SPT tahunan dengan benar lengkap dan jelas, sehingga angka kepatuhan wajib pajak semakin bertambah.

Menurut Martha, penyelenggaraan kegiatan tersebut digelar berkat kolaborasi antara IKPI Banjarmasin dengan Kampus STIEI Banjarmasin. Tujuannya adalah untuk lebih mengenalkan IKPI di Kalimantan Selatan khususnya Kota Banjarmasin. (bl)

MK Tolak Permohonan Penolakan Sanksi Bagi Wajib Pajak Lalai Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Puguh Suseno terkait pasal yang mengatur sanksi penjara dan denda bagi wajib pajak yang lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak atau SPT dan menyetorkan pajak. MK menilai permohonan Puguh tidak jelas.
Putusan perkara nomor 30/PUU-XXII/2024 itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Kamis (21/3/2024). Sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.

Dalam permohonannya, Puguh meminta agar MK menyatakan Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 13 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK mengubah Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menjadi “Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.

Pemohon mengaku ditetapkan sebagai tersangka gara-gara dianggap melanggar Pasal 39 UU KUP. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka karena lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT).

“Pemohon menjadi ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perpajakan hanya karena lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT),” demikian dikutip dari berkas putusan MK, Jumat (22/3/2024).

Selain itu, dalam permohonannya, pemohon juga menyinggung soal kasus gratifikasi mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo. Puguh menyebut wajib pajak bisa jadi menjadi ragu untuk menyetorkan pajak gara-gara kasus tersebut.

“Bukan bermaksud untuk tidak ingin membayar pajak, tetapi Pemohon wajar apabila pasca adanya perkara korupsi yang dilakukan oleh seorang oknum pegawai pajak bernama Rafael Alun Trisambodo, yang memiliki banyak harta mencurigakan tidak sesuai dengan profil penghasilannya sebagai pegawai, merasa khawatir apabila pajak yang dibayarkan malah dikorupsi oleh pegawai pajak,” ujar pemohon.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemohon keliru memahami pasal tersebut. Hakim MK Daniel Yusmic kalimat yang dianggap pemohon sebagai pasal 39 ayat 1 huruf i itu sebenarnya berdiri sendiri dan keberadaannya termuat di bawah huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 39 ayat (1) UU KUP. Sehingga, kata Daniel, kalimat demikian mencakup atau melingkupi seluruh perbuatan yang diatur dalam norma yang termaktub pada huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 39 ayat (1) UU KUP tersebut.

“Dengan demikian, Pemohon telah keliru membaca dan memahami norma, sehingga membuat permohonan Pemohon menjadi kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon tidak jelas dan ketidakjelasan ini berakibat pada permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal permohonan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengkajian Undang-Undang (PMK 2/2021),” ucap Daniel.

Atas dasar tersebut, MK menolak gugatan pemohon. Berikut amar putusannya:

1. Menyatakan permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) tidak dapat diterima;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Prabowo Singgung Rasio Pajak Capai 14 Persen di Era Orde Baru

IKPI, Jakarta: Presiden terpilih, Prabowo Subianto menyinggung penurunan angka rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia hari ini dibandingkan dengan era Orde Baru saat dipimpin Soeharto.

Ia mengatakan kini rasio penerimaan pajak terhadap GDP sebesar 11 persen. Saat Orde Baru, rasio pernah mencapai 14 persen.

Prabowo mempertanyakan alasan di balik penurunan tersebut.

“Di zaman Orde Baru pernah 14 persen, kenapa sekarang turun?, katanya Orde Baru jelek,” kata Prabowo dalam pidatonya di acara buka bersama di Kantor DPP PAN,  seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (22/3/2024).

Prabowo juga membandingkan angka itu dengan besaran negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang juga lebih besar dari Indonesia hari ini.

Padahal, menurut Prabowo, orang Indonesia memiliki karakteristik yang serupa dengan warga di tiga negara tersebut.

“Nah, kenapa kok kita hanya 10 persen, bedanya apa orang Thailand, orang Malaysia, orang Kamboja sama kita?” tanya dia.

Prabowo pun menargetkan agar rasio penerimaan pajak Indonesia meningkat dan setara atau bahkan melebihi Thailand dan Malaysia.

Ia menyebut jika rasio penerimaan pajak Indonesia berada di angka 16 persen atau naik sekitar lima persen dari jumlah yang sekarang.

“Berarti kan naiknya 5 persen, 5 persen dari GDP (PDB) kita itu US$75 milliar,” ucapnya.

Prabowo lantas mengajak para pakar mencari jawaban atas itu. Ia percaya rasio pajak Indonesia akan meningkat jika memiliki manajemen yang lebih baik.

Selain itu, ia juga yakin angka itu akan bertambah melalui penerapan komputerisasi hingga digitalisasi ke depannya. (bl)

Ekonom UI Sebut Diperlukan Peningkatan Penerimaan Pajak untuk Pembangunan

IKPI, Jakarta: Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan penerimaan pajak perlu ditingkatkan untuk mendanai berbagai agenda pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi dan transisi energi.

“Terkait dengan penerimaan perpajakan ini memang menjadi isu yang sangat urgent di Indonesia dan memang perlu segera ditingkatkan penerimaan pajak kita atau tax ratio kita untuk kemudian bisa mendanai berbagai macam program khususnya untuk mendorong agenda pembangunan jangka panjang seperti pertumbuhan ekonomi dan transisi energi,” kata Riefky seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (22/3/2024).

Untuk membiayai berbagai macam program pembangunan, tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak dari pajak pertambahan nilai (PPN), sehingga perlu dikombinasikan dengan instrumen lain.

“Ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh PPN, jadi perlu kombinasi dengan berbagai macam instrumen lainnya,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan PPN ke arah 12 persen tidak menjadi masalah, tapi perlu didukung dengan program lain seperti meningkatkan kepatuhan pajak agar penerimaan pajak bisa terus meningkat.

“PPN ini tetap bisa dinaikkan ke 12 persen tapi perlu disupport oleh program-program lainnya seperti misalnya menurunkan informalitas, meningkatkan kepatuhan pajak dan lain semacamnya. Ini memang sangat sangat diperlukan agar penerimaan pajak kita bisa terus meningkat,” tuturnya.

Ia berharap implementasi berbagai kebijakan pemerintah termasuk terkait penerimaan pajak dapat dioptimalkan untuk meningkatkan pendapatan negara.

“Nah, apakah lebih baik di 11 persen, nampaknya tidak. Kalau bisa dinaikkan ke 12 persen better (lebih baik), tapi ini tidak cukup, dan memang perlu diteruskan dengan berbagai macam kombinasi kebijakan lainnya,” ujarnya.

Baca juga: Penerimaan pajak Sulselbartra per Januari 2024 capai Rp1,39 triliun

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo memastikan pemerintah terus mengkaji kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025.

Dia menjelaskan kebijakan tersebut telah ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah juga memantau perkembangan terkini.

“Kajian akan terus kami jalankan, dan transisi pemerintah juga akan terjadi, jadi kami juga menunggu,” ujar Suryo saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (19/3/2024). (bl)

en_US