INACA Desak Pemerintah Terapkan Pajak Karbon untuk Maskapai Asing yang Melintasi Udara Indonesia

IKPI, Jakarta: Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mendorong pemerintah agar segera menerapkan pajak karbon (carbon tax) bagi maskapai asing yang melintasi wilayah udara Indonesia. Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja menilai langkah ini penting demi kedaulatan ruang udara nasional serta sebagai respons atas tren global penerapan pajak karbon di sektor penerbangan.

“Kalau negara lain bisa menerapkan carbon tax terhadap maskapai asing, Indonesia juga seharusnya bisa. Itu sebabnya pengelolaan ruang udara nasional harus diatur dalam Undang-Undang. Tanpa itu, kita tidak punya dasar mengenakan carbon tax kepada pesawat asing yang melintas di airspace Indonesia,” tegas Denon dalam Indonesia Aero Summit 2025, Rabu (30/7/2025).

Menurut Denon, maskapai nasional seperti Garuda Indonesia selama ini telah dikenai carbon tax saat melintas di wilayah negara-negara Eropa. Ia mencontohkan rute Jakarta–Amsterdam yang harus membayar pajak karbon per penumpang ketika pesawat memasuki kawasan udara Eropa.

“Artinya, ada biaya tambahan yang dibebankan ke maskapai kita. Sementara kita belum punya instrumen serupa untuk pesawat asing yang memanfaatkan udara kita,” ujarnya.

Dorong Regulasi dan Akselerasi SAF

Tak hanya soal pajak karbon, INACA juga mendorong percepatan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor penerbangan nasional. Sustainable Aviation Fuel (SAF) dinilai menjadi kunci untuk menekan emisi sekaligus biaya operasional jangka panjang.

“Negara-negara lain sudah mulai. Singapura akan mewajibkan penggunaan SAF 1 persen mulai 2026. Sementara Indonesia baru merencanakan pencampuran SAF 3 persen di tahun yang sama,” jelas Denon.

Ia menekankan pentingnya langkah konkret untuk mengejar target net zero carbon yang kini ditetapkan Indonesia pada 2060. Salah satunya dengan mendorong penggunaan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) sebagai bahan baku bioavtur, yang dinilai lebih ekonomis dan tersedia melimpah.

“UCO bisa membantu menurunkan biaya operasional maskapai, yang pada akhirnya berdampak ke harga tiket. Tapi distribusinya harus efisien. Jangan sampai UCO dikumpulkan di satu titik seperti Cilacap, lalu malah menambah ongkos karena harus dikirim lagi,” ujar Denon.

INACA berharap pemerintah segera merumuskan regulasi yang mencakup tata kelola ruang udara dan kebijakan lingkungan sektor aviasi. Tanpa dukungan hukum yang kuat, Indonesia berisiko tertinggal dalam transformasi menuju penerbangan hijau.

“Pajak karbon bukan hanya soal penerimaan negara, tapi juga bagian dari komitmen global terhadap pengurangan emisi. Kalau negara lain bisa menjadikannya standar, kita juga harus punya,” tutup Denon. (alf)

 

DJP dan Dukcapil Teken Kerja Sama Data Kependudukan untuk Perkuat Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri resmi menjalin kerja sama pemanfaatan data kependudukan untuk mendukung penguatan sistem administrasi perpajakan nasional.

Perjanjian kerja sama tersebut ditandatangani langsung oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi, Selasa (29/7/2025), di Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Kerja sama ini menandai sinergi antarinstansi pemerintah dalam memperluas integrasi data dan mendukung reformasi birokrasi, khususnya di sektor perpajakan.

Dalam siaran pers DJP Nomor SP-16/2025 yang dirilis Rabu (30/7/2025) Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi menyatakan komitmennya untuk mendukung penuh pemberian akses data kependudukan kepada DJP.

Ia menegaskan bahwa secara regulatif, data kependudukan memang dapat digunakan untuk menunjang berbagai kepentingan negara, mulai dari pelayanan publik hingga penegakan hukum.

“Pemanfaatan data ini mencakup validasi NIK, pemutakhiran data penduduk, hingga layanan face recognition, yang semuanya sangat relevan dalam mendukung pengawasan dan administrasi perpajakan,” kata Teguh.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menambahkan bahwa kerja sama ini merupakan bagian dari langkah strategis DJP dalam memperkuat tata kelola perpajakan nasional. Ia menilai integrasi data antar lembaga menjadi kunci dalam mewujudkan sistem administrasi perpajakan yang andal dan responsif terhadap dinamika digital.

“Ini adalah bagian dari fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih modern melalui pengembangan Coretax DJP,” ujar Bimo.

Menurut Bimo, kolaborasi lintas sektor seperti ini tidak hanya mendukung efektivitas pengawasan, tapi juga meningkatkan kualitas layanan publik yang berbasis data akurat. Ia menyampaikan apresiasi tinggi kepada Dukcapil serta seluruh jajaran DJP yang telah bekerja sama mewujudkan PKS ini.

Dengan kerja sama ini, DJP berharap pemadanan dan verifikasi data wajib pajak dapat dilakukan lebih efektif, sehingga mempersempit ruang gerak bagi praktik-praktik manipulasi identitas atau penghindaran pajak.

Langkah ini sejalan dengan agenda reformasi perpajakan jangka panjang yang menekankan pentingnya integrasi sistem dan pemanfaatan teknologi untuk mewujudkan kepatuhan sukarela yang berkeadilan dan berbasis data. (alf)

 

Menelaah PMK 37/2025 dan Revolusi E-Commerce Indonesia

Benjamin Franklin pernah berkata bahwa dalam hidup ini hanya ada dua kepastian: kematian dan pajak. Namun di era digital saat ini, penulis menambahkan satu kepastian lagi perubahan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025 adalah manifestasi nyata dari kepastian perubahan tersebut.

Dua dekade pengalaman di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan lebih dari satu dekade berpraktik sebagai konsultan mengajarkan satu hal kepada penulis, kesenjangan antara perkembangan ekonomi dan evolusi sistem pajak seringkali menjadi sumber ketidakadilan yang sistematis. PMK 37/2025 lahir dari kesadaran bahwa dunia telah bermetamorfosis, sementara instrumen perpajakan kita masih terpaku pada kerangka konvensional.

Bayangkan seorang pedagang sepatu di Jalan Malioboro yang setiap hari membayar sewa kios lima juta rupiah per bulan, tunduk pada Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan berbagai retribusi lainnya. Di sisi lain, pedagang sepatu daring dengan omzet setara dapat dengan mudah menghindari kewajiban perpajakan. Ini bukan lagi persoalan teknis—ini adalah persoalan keadilan fundamental dalam sistem ekonomi kita.

Data berbicara lebih tegas daripada argumen teoritis. Dari 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, hanya 653 ribu yang secara konsisten menyetorkan Pajak Penghasilan final pada tahun 2024. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia telah mencapai 487 triliun rupiah.

Inilah yang saya sebut sebagai “Paradoks Visibilitas Pajak” fenomena dimana aktivitas ekonomi raksasa berlangsung di luar jangkauan sistem perpajakan nasional.

Membedah Arsitektur Perubahan

PMK 37/2025 bukanlah sekadar penyesuaian regulasi biasa. Ini adalah intervensi bedah terhadap sistem yang tidak lagi sesuai dengan zamannya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia, platform digital tidak lagi berperan sebagai “tempat berdagang” semata, tetapi berevolusi menjadi perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Pajak di dunia maya. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform sejenis kini menjadi agen resmi pemungut pajak negara.

Keputusan menunjuk penyedia platform perdagangan elektronik sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah langkah cemerlang. Mengapa demikian? Karena mereka menguasai tiga aset strategis: data transaksi real time, infrastruktur teknologi yang solid, dan yang terpenting posisi sebagai titik kontrol dalam aliran dana digital.

Formula Tarif yang Terukur

Penetapan tarif 0,5 persen bukan angka yang dipilih secara sembarangan. Ini merupakan hasil kalkulasi cermat antara optimalisasi penerimaan negara dan pemeliharaan daya saing industri digital domestik. Jika dibandingkan dengan India yang menerapkan tarif 1 persen atau Filipina dengan rentang 1-2 persen, Indonesia memilih jalan tengah yang bijaksana.

Dalam konteks margin keuntungan yang tipis di industri perdagangan elektronik Indonesia, tarif 0,5 persen masih berada dalam ambang batas yang dapat ditolerir mayoritas pelaku usaha tanpa memicu eksodus besar-besaran atau distorsi harga yang merugikan konsumen.

Pengecualian bagi pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan hingga 500 juta rupiah bukan sekadar gestur politik kosong. Ini adalah kebijaksanaan kebijakan yang mengakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah adalah tulang punggung ekonomi rakyat yang perlu dilindungi sambil tetap didorong untuk berkembang dan berkontribusi.

Namun, seperti setiap narasi yang menarik, PMK 37/2025 memiliki aspek-aspek mengejutkan yang patut dicermati:

Pertama, regulasi ini memperluas definisi pedagang digital secara signifikan. Bukan hanya penjual barang, tetapi juga kurir, perusahaan asuransi, bahkan fotografer yang menawarkan jasa melalui platform. Ini adalah pendekatan ekosistem yang canggih dan komprehensif.

Kedua, persyaratan rekening penampung (escrow account) adalah langkah strategis yang brilian. Hanya platform dengan infrastruktur keuangan yang matang yang dapat ditunjuk sebagai pemungut. Ini secara tidak langsung mendorong profesionalisasi industri platform perdagangan elektronik.

Ketiga, penerapan secara bertahap menunjukkan pragmatisme pemerintah. Pengalaman internasional membuktikan bahwa pendekatan perubahan menyeluruh dalam reformasi perpajakan biasanya berakhir dengan kekacauan.

Sebagai mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang pernah menduduki posisi strategis mulai dari Pemeriksa Pajak hingga Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, kemudian berpraktik sebagai konsultan independen sejak 2011, saya memiliki perspektif holistik dari berbagai sudut pandang.

Pengalaman 20 tahun di kantor pajak—mulai dari pemeriksaan langsung, penanganan keberatan dan banding, administrasi PPh Badan, hingga pengawasan dan konsultasi memberikan pemahaman komprehensif tentang seluk-beluk sistem perpajakan Indonesia. Sementara pengalaman lebih dari 13 tahun sebagai konsultan membuka wawasan tentang tantangan praktis yang dihadapi dunia usaha dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Tidak semua penyedia platform memiliki sistem teknologi informasi yang siap untuk otomatisasi perpajakan. Integrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak, perhitungan pajak real time, dan pelaporan otomatis semua ini membutuhkan investasi teknologi yang substansial.

Dari pengalaman menangani banyak kasus pemeriksaan pajak, keberatan dan banding, serta mengawasi kepatuhan wajib pajak badan selama dua dekade di DJP, modul perpajakan mereka masih manual, pelaporan berbasis lembar kerja elektronik, dan rekonsiliasi dilakukan secara berkala. Bayangkan chaos yang akan terjadi jika mereka tiba-tiba harus mengelola kepatuhan pajak untuk ribuan pedagang.

Platform asing seperti AliExpress atau Amazon yang melayani konsumen Indonesia menghadapi dilema: patuh pada regulasi Indonesia atau mundur dari pasar. Mekanisme penegakan hukum terhadap platform luar negeri masih menjadi tanda tanya besar dalam implementasi regulasi ini.

Pertanyaan krusial yang harus dijawab: akankah pedagang mengalihkan beban pajak kepada konsumen? Elastisitas permintaan di sektor perdagangan elektronik relatif tinggi. Kenaikan harga 0,5 persen dapat bermakna signifikan dalam kategori produk tertentu, terutama yang bersaing ketat dalam hal harga.

Indonesia tidak berjalan sendiri dalam perjalanan ini. India dengan sistem Tax Collected at Source-nya, Inggris dengan Digital Services Tax, bahkan Uni Eropa dengan Digital Levy semua sedang bereksperimen dengan model perpajakan digital yang inovatif.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik:

Dari India: Implementasi bertahap dengan ambang batas yang jelas lebih efektif dibandingkan penerapan menyeluruh sekaligus.

Dari Inggris: Political will yang kuat sangat esensial, tetapi konsultasi dengan industri sama pentingnya.

Dari Uni Eropa: Harmonisasi lintas rezim perpajakan berbeda dimungkinkan, tetapi memerlukan koordinasi yang luar biasa.

Indonesia mengambil jalan tengah: tidak seagresif India, tidak sekomprehensif Uni Eropa, tetapi lebih tegas dibanding mayoritas negara ASEAN.

Efek Domino di Luar Penerimaan Pajak

PMK 37/2025 akan memicu efek berantai yang melampaui sekadar pengumpulan penerimaan pajak:

Untuk pertama kalinya, pemerintah akan memiliki visibilitas real time terhadap ekonomi digital Indonesia. Ini adalah tambang emas informasi untuk pembuatan kebijakan ekonomi yang berbasis data empiris.

Pedagang akan dipaksa untuk menata rumah mereka: pembukuan yang proper, struktur bisnis yang legal, pola pikir kepatuhan. Ini adalah modernisasi paksa yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak.

Platform akan berlomba mengembangkan solusi teknologi perpajakan. Kita mungkin akan menyaksikan lahirnya pemain teknologi finansial baru yang fokus pada otomatisasi perpajakan untuk usaha kecil dan menengah.

PMK 37/2025 adalah bukti konsep bahwa Indonesia mampu merumuskan kebijakan pajak digital yang canggih. Ini membuka jalan bagi kebijakan yang lebih maju di masa depan.

Panduan Strategis untuk Pemangku Kepentingan

Untuk Pemerintah: Imperatif Keunggulan Eksekusi

Berbekal pengalaman praktis dalam menangani berbagai sengketa pajak dan mengawasi kepatuhan korporasi, saya memahami betul bahwa kesuksesan suatu regulasi tidak hanya terletak pada kecanggihan rumusannya, tetapi pada kualitas implementasi di lapangan. PMK 37/2025 yang baik di atas kertas dapat menjadi kontraproduktif jika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan realitas operasional.

Prioritas Utama Investasi besar-besaran dalam integrasi sistem dan kemampuan analisis data.

Prioritas Kedua: Membentuk gugus tugas khusus untuk menangani proses onboarding platform.

Prioritas Ketiga: Mengembangkan program edukasi komprehensif, bukan sekadar sosialisasi.

Untuk Platform: Mengubah Kepatuhan Menjadi Keunggulan Kompetitif

Platform yang cerdas akan melihat ini sebagai peluang, bukan beban.

Strategi Pertama: Mengembangkan alat otomatisasi perpajakan superior yang dapat menjadi daya tarik bagi pedagang.

Strategi Kedua: Menciptakan layanan konsultasi pajak sebagai penawaran nilai tambah.

Strategi Ketiga: Menggunakan keunggulan kepatuhan sebagai sinyal kepercayaan kepada pengguna.

Untuk Pedagang: Keharusan untuk Adaptasi

Charles Darwin benar, yang bertahan bukan yang terkuat atau terpintar, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.

Taktik Pertama: Audit model bisnis dan struktur biaya segera.

Taktik Kedua: Investasi dalam sistem akuntansi yang proper dan perangkat kepatuhan pajak.

Taktik Ketiga: Pertimbangkan strategi perencanaan pajak yang legitimate dan menguntungkan.

PMK 37/2025 adalah babak pertama dari cerita transformasi yang lebih besar. Kemana arah selanjutnya?

Jangka Pendek (1-2 tahun): Fokus pada implementasi dan penyempurnaan. Bersiaplah untuk penyesuaian berdasarkan bukti empiris dari lapangan.

Jangka Menengah (3-5 tahun): Ekspansi ke pajak layanan digital, kemungkinan Pajak Pertambahan Nilai atas produk digital, integrasi dengan inisiatif pajak global.

Jangka Panjang (5+ tahun): Sistem pajak yang sepenuhnya otomatis dan didukung kecerdasan buatan yang mampu melakukan penilaian dan monitoring kepatuhan secara real time.

PMK 37/2025 adalah momen bersejarah dalam evolusi perpajakan Indonesia. Ini bukan sekadar penyesuaian teknis—ini adalah pergeseran paradigma menuju sistem pajak yang modern, responsif, dan berkeadilan.

Bagi mereka yang siap beradaptasi, ini adalah peluang emas. Bagi yang enggan berubah, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.

Yang pasti, kereta perubahan sudah bergerak. Pertanyaannya bukan apakah kita setuju atau tidak, tetapi seberapa cepat kita dapat naik dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Seperti selalu dalam dunia perpajakan: perubahan adalah satu-satunya konstanta. PMK 37/2025 adalah pengingat bahwa dalam ekonomi digital yang bergerak cepat, kebijakan pajak harus sama gesit dan berwawasan ke depan.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Ketua IKPI Lampung Tegaskan Kesuksesan Penyelenggaraan Seminar Pajak Berkat Sinergi Pengurus dan Dukungan Otoritas Pajak

IKPI, Lampung: Ketua IKPI Cabang Lampung, Teten Dharmawan, menyampaikan bahwa keberhasilan seminar “Transformasi Pajak 2025: Ketentuan Terbaru Pelaporan Pajak Berdasarkan PER-11/PJ/2025 dan Kiat-Kiat Menanggapi SP2DK Era Coretax System” merupakan hasil dari sinergi dan kolaborasi berbagai pihak yang saling mendukung, baik dari internal organisasi maupun eksternal.

“Kesuksesan seminar ini adalah buah dari kerja kolektif yang luar biasa. Saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran pengurus IKPI, baik di tingkat cabang, daerah, maupun pusat, serta kepada otoritas pajak yang telah hadir dan mendukung penuh terselenggaranya kegiatan ini,” ujar Teten, Rabu (30/7/2025).

Ia secara khusus mengucapkan terima kasih atas kehadiran Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional sekaligus President IFA-Asia Pasifik Ichwan Sukardi, Ketua Pengda Sumbagsel Nurlena, dan Ketua Pengcab Palembang Susanti, yang menurutnya turut memberi energi dan semangat tersendiri bagi para peserta serta menjadi wujud dukungan nyata dari organisasi secara menyeluruh.

“Dukungan dari pengurus pusat dan pengda adalah bentuk nyata bahwa IKPI selalu hadir dan kompak dalam mengedukasi serta mendampingi para konsultan dan masyarakat di daerah,” tambahnya.

Selain itu, Teten juga mengapresiasi kehadiran jajaran pejabat dari Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, termasuk Kabid P2Humas Tunas Hariyulianto yang hadir mewakili Kepala Kanwil DJP, serta perwakilan dari beberapa KPP di wilayah Lampung, antara lain:

• Billy, Penyuluh Pajak KPP Madya Lampung

• Arini Dyah Rahmawati, Kasi Pengawasan IV KPP Pratama Bandar Lampung 1

• Amston Sipahutar, Kasi Pengawasan III KPP Pratama Bandar Lampung 2

Ia menyebut sinergi antara IKPI dan DJP menjadi elemen penting dalam meningkatkan literasi dan kepatuhan perpajakan.

“Acara ini diikuti oleh 160 peserta, dengan 120 di antaranya dari kalangan umum. Ini menunjukkan bahwa edukasi perpajakan makin diminati, dan IKPI hadir di saat yang tepat untuk menjawab kebutuhan tersebut,” ujar Teten.

Ia juga memuji penyampaian materi oleh Sapto Windi Argo (narasumber) yang dinilai sangat aplikatif dan relevan, serta kerja profesional para moderator Elda Susilowaty Tambara dan Krista Purnama Sari.

“Transformasi sistem pajak tentu harus dibarengi dengan transformasi pemahaman. Saya berharap kolaborasi semacam ini bisa terus ditingkatkan di masa mendatang, agar literasi perpajakan di masyarakat terus tumbuh dan sistem perpajakan kita semakin adil dan transparan,” kata Teten. (bl)

Tarif Baru PPh 22 Berlaku 1 Agustus, Pembelian Emas Batangan Kena Pajak 0,25%

IKPI, Jakarta: Pemerintah memperluas cakupan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan memasukkan kegiatan usaha bullion dan pembelian emas batangan ke dalam objek pungutan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 yang resmi diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku 1 Agustus 2025.

Salah satu poin penting dalam beleid ini adalah penetapan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian emas batangan (tidak termasuk PPN), khusus bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menjalankan usaha bullion dan telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Atas pembelian emas batangan oleh Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bullion yang telah memperoleh izin dari OJK dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25%,” bunyi kutipan pasal dalam PMK 51/2025.

Kebijakan ini merupakan perluasan dari aturan sebelumnya dalam PMK 34/2017, dengan beberapa penyesuaian dan penegasan baru. Misalnya, terdapat ketentuan pengecualian atas pemungutan PPh Pasal 22 untuk impor sejumlah barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan PPN.

Daftar Barang yang Dikecualikan

PMK ini memuat 19 kategori barang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 saat impor, antara lain:

• Barang milik perwakilan negara asing dan badan internasional,

• Hibah untuk kegiatan sosial, kebudayaan, dan penanggulangan bencana,

• Barang riset dan pendidikan,

• Alat bantu bagi penyandang disabilitas,

• Buku pelajaran, kitab suci, serta buku ilmu pengetahuan,

• Kendaraan dan alat keselamatan bagi industri pelayaran, penerbangan, dan perkeretaapian nasional,

• Barang strategis untuk kepentingan pertahanan, energi, dan kesehatan nasional.

Tarif Pemungutan yang Diperinci

Selain emas batangan, PMK ini juga mengatur tarif PPh Pasal 22 lainnya berdasarkan jenis barang dan kegiatan impor:

• 10% untuk barang tertentu yang masuk daftar khusus,

• 7,5% untuk impor komoditas tertentu lainnya,

• 0,5% untuk kedelai, gandum, dan tepung terigu,

• 0,25% untuk impor emas batangan,

• Tarif khusus untuk ekspor komoditas tambang seperti batubara dan mineral logam serta non-logam.

Kepastian dan Kepatuhan Pajak

Dengan diberlakukannya PMK ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kepatuhan pajak di sektor komoditas logam mulia, sekaligus memperjelas kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha bullion yang sebelumnya belum secara eksplisit diatur dalam PMK terdahulu.

Aturan baru ini juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga ekosistem perpajakan yang adil dan merata, terutama di sektor perdagangan emas batangan yang nilainya besar namun masih minim kontribusi pajak dalam beberapa tahun terakhir. (alf)

 

Mulai 2026, Tarif Pajak Kripto Naik Jadi 0,21% namun PPN Dihapuskan

IKPI, Jakarta: Pemerintah menetapkan kebijakan baru terkait perpajakan atas transaksi aset kripto. Mulai tahun pajak 2026, tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari transaksi kripto akan naik menjadi 0,21%. Sementara itu, objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas aset kripto resmi dibebaskan.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025. Regulasi ini secara khusus mengatur tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto.

“Untuk memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi pajak atas transaksi perdagangan aset kripto, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan PPN dan PPh,” tulis bagian pertimbangan PMK 50/2025, dikutip Rabu (30/7/2025).

Aset Kripto Dipersamakan dengan Surat Berharga

Dalam PMK tersebut, aset kripto dipersamakan dengan surat berharga, sehingga pembeliannya tidak lagi dikenakan PPN. Namun, jasa yang memfasilitasi transaksi kripto tetap menjadi objek pajak. Ini termasuk jasa penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) serta penambang aset kripto.

PPN sebesar 11% tetap berlaku untuk layanan seperti:

Fasilitasi jual beli kripto dengan mata uang fiat,

Pertukaran kripto (swap),

Dompet elektronik (e-wallet) untuk deposit, penarikan, dan penyimpanan aset kripto.

Besaran tarif tersebut dihitung dari tarif dasar PPN 12% yang dikalikan dengan faktor pengurang 11/12 sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024.

Kenaikan Tarif PPh atas Transaksi Kripto

Sementara itu, penghasilan dari penjualan atau pertukaran aset kripto dikenai PPh Pasal 22 dengan tarif final sebesar 0,21%, naik dari sebelumnya 0,1% sebagaimana diatur dalam PMK 68/2022. Kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh ini berada di tangan penyelenggara platform perdagangan kripto.

Tak hanya itu, jika transaksi dilakukan melalui sistem elektronik milik PMSE, tarif PPh dikenakan sebesar 1% dari nilai transaksi. Namun, pajak luar negeri atas transaksi serupa tidak bisa dikreditkan ke PPh dalam negeri.

Pemerintah juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban pajak kripto akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Ilustrasi Perhitungan PPh Kripto

PMK 50/2025 juga memuat contoh penghitungan praktis, seperti berikut:

1. Jual Beli Kripto dengan Rupiah

Tuan ABC menjual 0,7 koin kripto kepada Tuan BCD seharga Rp500 juta per koin. Maka, PPh yang dipungut adalah, 0,21% × (0,7 × Rp500 juta) = Rp735.000.

2. Tukar Menukar Kripto (Swap)

Tuan BCD menukar 0,3 koin Kripto F (Rp500 juta per koin) dengan 30 koin Kripto G (Rp5 juta per koin) milik Nyonya CDE. Maka masing-masing dikenai 0,21% × Rp150 juta = Rp315.000.

Seluruh pemungutan pajak harus disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan dalam SPT Masa paling lambat tanggal 20. (alf)

 

 

 

 

 

 

Faktur Uang Muka Bisa Dibuatkan Nota Retur, Asal Belum Diperiksa!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui layanan contact center resminya, Kring Pajak, menegaskan bahwa faktur pajak atas uang muka dapat dibuatkan nota retur atau diganti, selama belum dilakukan pemeriksaan atas masa pajak yang bersangkutan.

Penjelasan tersebut disampaikan Kring Pajak sebagai tanggapan atas pertanyaan seorang warganet di media sosial, Selasa (29/7/2025), yang mempertanyakan kemungkinan pembuatan nota retur atas faktur uang muka. Dalam cuitan itu, Kring Pajak menyebutkan bahwa mekanisme retur masih dimungkinkan, namun dengan catatan penting: belum ada pemeriksaan atas masa pajak terkait.

“Selama belum dilakukan pemeriksaan atas masa pajak terkait, maka atas faktur pajak dapat dibuatkan nota retur maupun dilakukan penggantian,” jelas Kring Pajak melalui akun resminya.

Langkah Membuat Nota Retur via Coretax

Kring Pajak juga memandu tahapan teknis pembuatan nota retur melalui platform Coretax DJP. Wajib Pajak diminta untuk login ke laman resmi DJP menggunakan NIK atau NPWP, kata sandi, dan captcha. Setelah berhasil masuk ke dashboard, pengguna dapat memilih menu e-Faktur, mencari nomor faktur yang ingin diretur, lalu mengeklik tombol “Retur” berwarna biru yang tersedia.

Setelah diarahkan ke kolom Retur Pajak, pengguna tinggal mengisi jumlah barang yang diretur serta nilai DPP yang sesuai. Sistem akan memproses input tersebut dan mengarahkan pada tahapan selanjutnya.

Dasar Hukum: PMK 81/2024

Aturan mengenai nota retur diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024. Berdasarkan Pasal 286 ayat (1), pengembalian Barang Kena Pajak (BKP) mencakup pengembalian baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli kepada penjual. Namun, jika BKP yang dikembalikan diganti dengan barang yang sama dalam jumlah, jenis, dan harga, maka tidak dianggap sebagai retur.

Dalam kondisi terjadi pengembalian BKP, pembeli wajib membuat nota retur yang kemudian diserahkan kepada PKP penjual pada saat pengembalian dilakukan.

Pasal 288 ayat (3) PMK 81/2024 mengatur bahwa nota retur paling sedikit harus memuat informasi sebagai berikut:

• Nomor nota retur;

• Kode, nomor seri, dan tanggal faktur pajak;

• Dokumen yang dipersamakan dengan faktur (jika berlaku);

• Identitas pembeli dan penjual (nama, alamat, dan NPWP);

• Rincian jenis dan jumlah BKP yang dikembalikan;

• Nilai PPN dan PPnBM (jika ada);

• Tanggal pembuatan nota retur;

• Nama serta tanda tangan pihak yang berwenang.

Syarat Elektronik dan Persetujuan DJP

Tak hanya itu, PMK 81/2024 juga mewajibkan nota retur disusun dalam format elektronik dan dibuat melalui modul Coretax atau platform lain yang terintegrasi dengan sistem DJP. Nota tersebut harus ditandatangani secara elektronik dan mendapatkan persetujuan dari DJP.

Sebagai tambahan, DJP juga telah menyediakan contoh format nota retur serta panduan pengisiannya dalam Lampiran RR PMK 81/2024, untuk memudahkan Wajib Pajak dalam menyusun dokumen sesuai ketentuan. (alf)

 

KPK Desak Pemkot Sorong Tindak Tegas Hotel dan Restoran Penunggak Pajak

IKPI, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Pemerintah Kota Sorong, Papua Barat Daya, bersikap tegas terhadap hotel dan restoran yang tidak patuh membayar pajak daerah. Langkah ini dinilai penting untuk mencegah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kian mengkhawatirkan.

Desakan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, dalam rapat koordinasi bersama jajaran Pemkot Sorong, Selasa (29/7/2025). Agenda utama pertemuan membahas penertiban aset daerah dan optimalisasi penerimaan pajak.

“Kami sudah ingatkan berulang kali. Kalau masih membandel, langkah terakhir yang bisa diambil adalah pencabutan izin usaha,” ujar Dian dengan nada tegas.

Menurutnya, ketidaktegasan pemerintah daerah dalam menindak penunggak pajak justru dapat menjadi preseden buruk dan merugikan pelaku usaha yang sudah taat aturan. Ia menyebut salah satu hotel dengan tunggakan paling besar adalah Hotel Vega, dengan akumulasi utang pajak mencapai Rp1,9 miliar sejak 2024 hingga pertengahan 2025.

“Kalau sudah ditegur, dipasangi plang, tapi tetap tidak digubris, jangan ragu cabut izinnya. Kita tidak boleh terus-menerus mentolerir kerugian daerah,” tegas Dian.

KPK, lanjutnya, berkomitmen untuk terus mendampingi Pemkot Sorong dalam membenahi tata kelola pajak daerah, khususnya dari sektor hotel, restoran, dan hiburan yang menjadi penyumbang utama PAD.

Di tempat yang sama, Kepala Pajak dan Retribusi Daerah Kota Sorong, Demianus Nako, menyebut potensi pajak dari sektor perhotelan cukup besar, namun banyak pelaku usaha yang tidak menunaikan kewajibannya.

“Selain Hotel Vega, kami mencatat beberapa hotel lain juga menunggak, seperti M-Hotel, Hotel Royal Mamberamo, Hotel Marina Mamberamo, Kasuari Valley, Hotel Luxio, Hotel Belagri, The Belagri Hotel, dan F-Two Hotel,” ungkap Demianus.

Ia mengaku pihaknya sudah melakukan berbagai upaya persuasif, mulai dari pemasangan stiker penanda tunggakan hingga pelayangan tiga kali surat teguran. Namun, mayoritas pengelola usaha tidak menunjukkan itikad baik.

“Kami bahkan sudah turun langsung ke lapangan. Tapi tidak ada respons. Ini sangat menghambat target peningkatan PAD,” ucapnya.

Sebagai bentuk peringatan terbuka, KPK bersama Pemkot Sorong turut memasang plang informasi tunggakan pajak di dua lokasi usaha yang paling menonjol yakni Hotel Vega dan Hotel Mamberamo. (alf)

 

 

 

 

Tindak Pidana Perpajakan Di Era KUHP Nasional

Salah satu hal yang paling dihindari oleh Konsultan Pajak adalah terlibat dalam tindak pidana perpajakan. Sekalipun Konsultan Pajak dengan kliennya didasari oleh hubungan keperdataan, Konsultan Pajak tidak terlepas dari ancaman sanksi pidana perpajakan ketika menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan:

“(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Lebih lanjut Penjelasan Pasal 43 ayat 1 UU KUP menjelaskan:

“Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Sebagaimana disebutkan Pasal 43 UU KUP di atas, Konsultan Pajak merupakan salah satu pihak yang terancam dikenakan sanksi pidana dalam hal terbukti melanggar Pasal 39, 39A, 41, dan 41B UU KUP. Pasal 43 ayat 1 UU KUP menyebutkan terdapat 5 (lima) peran yang diancam sanksi pidana, peran-peran tersebut yaitu:

1. Pihak yang melakukan;

2. Pihak yang menyuruh melakukan;

3. Pihak yang turut serta melakukan;

4. Pihak yang menganjurkan;

5. Pihak yang membantu melakukan;

Tindak pidana di bidang perpajakan.

Kelima peran di atas dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP, sedangkan Pasal 43 ayat 2 UU KUP menyebutkan 3 (tiga) peran yaitu pihak yang menyuruh melakukan, pihak yang menganjurkan, dan pihak yang membantu melakukan dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP disamping pelakunya itu sendiri. Pasal 43 UU KUP tersebut menyamaratakan ancaman sanksi pidana, baik terhadap pelaku maupun terhadap peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana. Hal tersebut tentunya sangat memberatkan bagi Konsultan Pajak yang sehari-hari menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Sewaktu-waktu Konsultan Pajak dapat terseret baik sebagai pelaku maupun sebagai penyerta atau pembantu dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39, 39A, 41A dan Pasal 41B UU KUP.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang berlaku efektif pada 2 Januari 2026 mendatang, pada akhirnya akan menyudahi penyamarataan sanksi pidana yang selama ini diatur dalam Pasal 43 UU KUP. Bab XXXVI Ketentuan Peralihan Pasal 613 KUHP Nasional menyebutkan bahwa:

“(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini.

(2) Ketentuan mengenai penyesuaian ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-Undang.

Penjelasan:

Dalam ketentuan ini, penyesuaian ketentuan pidana tidak termasuk bagi ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang Pidana Administratif.”

Jika merujuk pada Pasal 613 ayat 1 KUHP Nasional di atas, maka ketentuan Pasal 43 UU KUP yang menyamaratakan ancaman sanksi pidana terhadap pelaku maupun peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana wajib disesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu KUHP Nasional. Sesuai amanah Penjelasan Pasal 613, penyesuaian ancaman sanksi pidana tersebut tidak mencakup pidana denda. Dengan demikian ancaman sanksi pidana denda dalam Pasal 39, 39A, 41A, 41B UU KUP yang diberlakukan terhadap penyerta dan pembantu tidak mengalami penyesuaian.

Buku Kesatu KUHP Nasional, khususnya Pasal 20 mengatur mengenai penyertaan dan Pasal 21 mengatur mengenai pembantuan tindak pidana. KUHP Nasional membedakan ancaman sanksi pidana dalam penyertaan dengan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan. Ancaman sanksi pidana dalam penyertaan diperlakukan sama dengan pelaku tindak pidana, sedangkan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan adalah paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok. Dengan demikian setelah KUHP Nasional berlaku efektif, maka ancaman maksimum sanksi pidana pokok bagi pihak yang membantu melakukan tindak pidana Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP adalah menjadi sebagai berikut:

Adanya penyesuaian ancaman maksimum pidana pokok di atas, tentunya merupakan suatu hal yang meringankan baik bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana pihak yang membantu melakukan tindak pidana tersebut. Sesuai dengan Asas Lex Favor Reo (asas yang menetapkan bahwa sanksi diterapkan berdasarkan hukuman yang paling ringan ketika terjadi perubahan ketentuan hukum yang berlaku) yang menjiwai Pasal 3 KUHP Nasional, maka sanksi pidana yang disangkakan, dituntut dan dijalani harus disesuaikan dan didasarkan pada aturan pidana yang paling meringankan bagi pihak yang diduga, dituntut bahkan yang sedang menjalani sanksi pidana turut membantu tindak pidana tersebut.

 

 

Demikian benang merah perlakuan sanksi pidana pada pasal penyertaan dan pembantuan tindak pidana perpajakan di era KUHP Nasional yang penulis sampaikan. Semoga tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi. Teriring harapan agar profesi Konsultan Pajak segera memiliki payung hukum Undang-Undang yang memberikan perlindungan (imunitas) terhadap para Konsultan Pajak yang menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya dengan itikad baik.

 

 

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Podcast Spesial Hari Pajak: DJP dan IKPI Ajak Masyarakat “Latihan Ikhlas Bayar Pajak” demi NKRI

IKPI, Jakarta: Dalam semangat memperingati Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) melalui Departemen Humas menghadirkan podcast spesial bertema “Hari Pajak, Bersama Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Podcast ini menghadirkan penyuluh senior dari Direktorat P2 Humas DJP, Kementerian Keuangan, Ahmad Rif’an, dan dipandu oleh Novia Artini serta Ronsianus B. Daur dari Humas Pengurus Pusat IKPI.

Dalam obrolan yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi IKPI, Ahmad Rif’an menegaskan bahwa mencintai pajak adalah bagian dari mencintai negeri. “Pajak itu kontribusi. Dan kontribusi itu lahir dari cinta pada Indonesia. Masyarakat perlu menyadari bahwa setiap rupiah yang dibayarkan akan kembali untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Refleksi Sejarah dan Makna Hari Pajak

Rif’an menjelaskan, Hari Pajak tidak hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi menjadi momentum refleksi diri bagi jajaran DJP. “Pada 14 Juli 1945, istilah ‘pajak’ untuk pertama kalinya dicantumkan dalam naskah UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, para pendiri bangsa sudah menyadari pentingnya pajak bagi kemandirian negara,” paparnya.

Novia pun menimpali bahwa nilai sejarah tersebut menjadi pengingat bahwa pajak bukanlah beban, melainkan bentuk gotong royong bangsa.
“Dengan patuh pajak, kita bersama-sama menjaga Indonesia tetap berdiri kokoh,” ujar Novia.

Ia menambahkan, salah satu inovasi yang dapat membantu wajib pajak menjaga kepatuhan adalah fitur deposit yang kini tersedia dalam sistem Coretax.

“Dengan adanya menu deposit pada Coretax, ini sangat membantu Wajib Pajak untuk menghindari denda apabila lupa atau berhalangan membayar pajak sebelum jatuh tempo. Fitur ini juga bisa menjadi semacam ‘tabungan’ untuk menyisihkan cadangan dana guna membayar kekurangan pajak di akhir masa pajak, sehingga tidak terasa terlalu berat di ujung,” jelas Novia.

Dari Mesin Tik ke Cortax: Evolusi Pelayanan DJP

Perbincangan mengalir membahas perkembangan sistem administrasi pajak, termasuk upaya DJP dalam menghadirkan Coretax sebuah sistem berbasis teknologi terbaru.

Ahmad menekankan bahwa reformasi perpajakan telah berlangsung selama empat dekade, dan kini berfokus pada kemudahan serta keterbukaan layanan.

“Kalau dulu wajib pajak lapor dengan kertas karbon dan mesin tik, sekarang semua serba digital. Kita punya prinsip 3C: Klik, Call, dan Counter. Masyarakat tetap bisa walk-in ke kantor pajak, tapi kita juga sediakan edukasi online, video tutorial, hingga podcast,” jelasnya.

Ikhlas Bayar Pajak: Latihan Cinta Negeri

Dalam segmen yang paling menggelitik sekaligus menyentuh, Rif’an membagikan cerita dari lapangan saat berdiskusi dengan pelaku UMKM. “Ada yang bilang, ‘Pak, saya ikhlas latihan bayar pajak.’ Itu luar biasa. Artinya, kita sudah mulai menanamkan mindset positif terhadap pajak,” ujarnya.

Ronsianus menambahkan, “Justru pajak itu bisa menjadi bahan bakar semangat untuk para pelaku usaha. Bayar pajak bukan berarti dicekik, tapi jadi tanda bahwa usahanya bertumbuh.”

Ahmad juga mengangkat analogi menarik, “Kalau jual 20 cangkir kopi sebulan, cukup sisihkan satu cangkir untuk negara. Yang 19 tetap bisa dinikmati keluarga. Satu cangkir itu bisa untuk bangun sekolah, bantu layanan kesehatan, dan infrastruktur.”

Diskusi juga menyoroti tantangan UMKM yang seringkali terkena “surat cinta” dari kantor pajak karena kurang memahami kewajiban perpajakan. Ahmad menjelaskan bahwa DJP secara aktif mengadakan sosialisasi dan membuka akses konsultasi, bahkan bekerja sama dengan asosiasi seperti IKPI.

“Kami paham, bukan karena bandel, tapi karena belum tahu. Itulah tugas kami sebagai penyuluh untuk mendampingi. Bahkan kami pernah punya program sunset policy dan PPS sebagai ruang pemutihan bagi wajib pajak yang ingin memperbaiki diri,” tegasnya.

Pajak Jadi Romantis?

Dalam balutan guyon segar, Rif’an juga menggambarkan pajak sebagai indikator ‘kualitas calon pasangan’. “Kalau dipotong pajak Rp10 juta, langsung hitung THP-nya. Bukan matre, tapi bijak. Cinta negeri, apalagi cinta pasangan,” ucapnya sambil disambut gelak tawa Novia dan Ronsianus.

Podcast ini ditutup dengan pesan inspiratif: Pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga wujud kepedulian terhadap sesama warga negara. Dari pemuda, pelaku UMKM, hingga profesional semua punya peran dalam membangun NKRI lewat pajak.

“Bayar pajak itu bukan urusan besar kecil, tapi urusan cinta negeri,” pungkas Ahmad Rif’an. Tonton podcast lengkapnya di YouTube IKPI dan jadikan pajak sebagai bagian dari gaya hidup cinta tanah air. (bl)

https://youtu.be/oBsm8TG4OZk?si=boPSZumKNcJ6SYvp

en_US