IKPI dan KACTAE Teken Nota Kesepahaman, Perkuat Kolaborasi Konsultan Pajak Indonesia-Korea

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) resmi menjalin kerja sama strategis dengan Korean Association of Certified Tax Accountants Examination (KACTAE) melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang digelar Sekretariat Pusat IKPI, Jumat (9/5/2025). Kesepakatan ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat hubungan bilateral di bidang perpajakan antara Indonesia dan Korea Selatan.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas kehadiran delegasi KACTAE dan para tamu kehormatan dari Korea Selatan. Ia juga menyampaikan rasa senang atas perbedaan budaya yang menjadi kekayaan dan mempererat kerja sama antara kedua negara.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Dengan senang hati kami menyampaikan niat kami untuk menjalin kerja sama formal dengan KACTAE. Kami berharap penandatanganan Nota Kesepahaman ini dapat melahirkan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan serta memberikan dampak positif bagi IKPI dan KACTAE, baik dalam peningkatan profesionalisme praktik konsultan pajak maupun tata kelola asosiasi,” ujar Vaudy.

Lebih lanjut, Vaudy menegaskan bahwa kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat kontribusi kedua asosiasi terhadap sistem perpajakan di masing-masing negara.

Dalam sambutannya, ia juga menyampaikan bahwa IKPI merupakan asosiasi konsultan pajak pertama dan tertua di Indonesia, berdiri sejak 60 tahun lalu. Saat ini, IKPI memiliki lebih dari 7.000 anggota yang terdaftar di Kementerian Keuangan, atau mewakili sekitar 91% dari seluruh konsultan pajak di Indonesia.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Selama lima tahun ke depan, IKPI akan menjalankan program strategis untuk menjadikan IKPI sebagai pusat pengetahuan perpajakan terdepan dan motor penggerak ekosistem perpajakan nasional,” kata Vaudy.

Program tersebut mencakup:

• Menjadikan IKPI sebagai sumber acuan dalam perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia;

• Menjadikan IKPI sebagai pusat informasi perpajakan nasional;

• Meningkatkan sinergi dengan para pemangku kepentingan;

• Memperluas jaringan dan kemitraan di tingkat global.

Di akhir sambutannya, Vaudy juga menyatakan bahwa IKPI dan KACTAE sepakat bertukar pengetahuan perpajakan antar kedua negara.

“Jadi melalui kegiatan seminar, atau lainnya kami sepakat untuk bertukar pengetahuan mengenai regulasi antar Indonesia dan Korea Selatan,” ujarnya.

Ia berharap kerja sama ini juga dapat memperkenalkan keindahan dan keragaman budaya Indonesia kepada para delegasi Korea serta membuka pintu kolaborasi yang lebih luas di masa mendatang.

Acara ini turut dihadiri oleh sejumlah delegasi penting dari Korea Selatan, antara lain:

1. Delegasi KACTAE: Jang Bowon, Kim Hyunbai, Paik Seungsoo, dan Park Dongguk

2. Direktur Komite Keuangan ASEAN-Korea: Lee Young-Jick

3. Financial Attache, JaePhil Choi

4. Wakil Ketua Eksekutif Kamar Dagang dan Industri Korea di Indonesia: Joohan Lee

Perwakilan pemerinta Indonesia, dari Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan:

1. Lury Sofyan

Dari IKPI:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld

2. Sekretaris Umum, Associate Professor. Edy Gunawan

3. Wakil Sekretaris Umum Novalina Magdalena

4. Ketua Departen Hubungan Internasional, Tjhai Fung Njit

5.Ketua Departemen Humas, Jemmi Sutiono

6.Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman

7. Ketua Departemen Kemitraan Dengan Instansi dan Lembaga Pemerintah, Arinda Hutabarat

8.Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, Donny Rindorindo

9. Ketua Departemen Pendidikan, Sundara Ichsan

10. Ketua Departemen Kerja Sama dengan Organisasi dan Asosiasi, Handy

11. Ketua Departemen PPL, Buddhi Wibowo

(bl)

 

 

 

Jumlah Pelapor SPT di Sulsel Menurun, DJP Luncurkan Operasi Patuh Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penurunan signifikan jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di Sulawesi Selatan (Sulsel) per 31 Maret 2025. Berdasarkan data Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra), hanya 609.646 wajib pajak yang menyampaikan SPT turun 8,43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Mayoritas penurunan terjadi pada wajib pajak orang pribadi, yang hanya mencatatkan 595.364 pelapor, berkurang 8,24%. Sementara itu, SPT dari badan usaha hanya berjumlah 14.282, anjlok hingga 15,7%.

Kepala Kanwil DJP Sulselbartra, Heri Kuswanto, menyebut momentum libur Lebaran yang bertepatan dengan batas akhir pelaporan SPT menjadi salah satu penyebab turunnya kepatuhan.

Meski DJP sempat memberikan perpanjangan waktu, banyak masyarakat diduga tidak mengetahui informasi tersebut. “Ini menjadi keprihatinan kami dan tentu akan menjadi bahan evaluasi ke depan,” ujar Heri dalam keterangannya, Kamis (8/5/2025).

Meski pelaporan SPT menurun, penerimaan pajak Sulsel pada kuartal I/2025 masih menunjukkan angka yang cukup kuat, mencapai Rp2,03 triliun. Namun, kontribusinya sangat timpang. Dari total itu, Rp1,38 triliun disumbang oleh 63.370 wajib pajak badan. Sedangkan 713.836 wajib pajak orang pribadi hanya menyetor Rp202 miliar.

“Kontribusi wajib pajak orang pribadi masih sangat kecil. Kami menduga masih banyak yang belum melaporkan omzet secara jujur,” tegas Heri.

Menanggapi hal tersebut, DJP Sulselbartra akan meluncurkan program Operasi Layanan Patuh Pajak yang menurunkan petugas langsung ke lapangan untuk memberikan edukasi dan konsultasi perpajakan. Petugas akan dilengkapi surat tugas, identitas resmi, dan seragam khusus. Operasi ini juga akan melibatkan aparat hukum serta pemangku wilayah demi menjaga integritas pelaksanaan.

“Para petugas sudah menandatangani pakta integritas. Kami pastikan tidak akan ada ruang bagi penyimpangan,” kata Heri. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Maret Tembus Rp467 T, DJP Klaim Penerimaan Masuk Tren Positif

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan kabar menggembirakan terkait kinerja penerimaan negara saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (7/5/2025). Ia mengungkapkan bahwa penerimaan pajak bruto hingga akhir Maret 2025 telah mencapai Rp467 triliun, dengan pertumbuhan positif pada bulan Maret setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi.

“Postur APBN 2025 tetap mengacu pada UU No. 62 Tahun 2024, dan realisasi penerimaan negara hingga 31 Maret telah menunjukkan arah pemulihan yang baik,” ujar Suryo.

Ia menjelaskan bahwa pada bulan Januari dan Februari, penerimaan pajak sempat tertekan akibat penurunan PPh 21 karena dampak implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER) serta peningkatan restitusi.

Namun, kondisi mulai berbalik arah pada Maret. Penerimaan pajak di bulan tersebut naik signifikan, sejalan dengan pola musiman yang biasa terjadi tiap tahun, di mana penerimaan meningkat setelah pelemahan di awal tahun.

Data yang disampaikan menunjukkan, penerimaan perpajakan secara keseluruhan telah mencapai Rp516,1 triliun atau sekitar 17,2% dari target APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan pajak mencapai Rp400,1 triliun dan cukai serta kepabeanan sebesar Rp116,0 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga berkontribusi Rp104,2 triliun.

Sementara itu, belanja negara hingga akhir Maret tercatat sebesar Rp620,3 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp413,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp207,1 triliun.

Dengan komposisi ini, APBN mencatat defisit sebesar Rp104,2 triliun atau 0,43% terhadap PDB, dan keseimbangan primer negatif Rp17,5 triliun. Meski demikian, pemerintah tetap optimis pengelolaan fiskal tetap terjaga, ditopang oleh tren penerimaan yang kembali positif serta belanja negara yang mulai meningkat seiring dengan program-program prioritas nasional.

“Kami akan terus mengawasi tren ini dengan ketat dan menjaga momentum pertumbuhan penerimaan di tengah tantangan ekonomi global dan domestik,” kata Suryo. (bl)

 

 

Kanwil DJP Kalselteng Blokir 68 Rekening Penunggak Pajak 

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali menunjukkan sikap tegas terhadap para penunggak pajak. Dalam langkah serentak yang mencerminkan ketegasan hukum fiskal, sebanyak 68 rekening milik Wajib Pajak (WP) diblokir pada Rabu (23/4/2025), dengan nilai tunggakan yang mencapai Rp32,8 miliar.

Aksi ini dilakukan oleh sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Kalselteng. Rinciannya, lima KPP di wilayah Kalimantan Selatan memblokir 14 rekening dengan total tunggakan Rp7,6 miliar, sementara empat KPP di Kalimantan Tengah menindak 54 rekening senilai Rp25,2 miliar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa langkah ini diambil setelah berbagai upaya persuasif tidak membuahkan hasil. “Sebelum pemblokiran dilakukan, kami telah mengirimkan Surat Teguran hingga Surat Paksa melalui Jurusita Pajak. Kami juga memberikan waktu dan kesempatan agar WP melunasi kewajibannya secara sukarela,” ujarnya.

Syamsinar menambahkan bahwa pemblokiran rekening ditujukan agar tidak terjadi pengalihan aset yang bisa menghambat proses penagihan. “Tindakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023. Kami ingin memastikan bahwa aset para penunggak tetap utuh dan bisa digunakan untuk melunasi utang pajaknya,” jelasnya.

Meskipun rekening telah diblokir, WP masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan tunggakannya agar pemblokiran tidak berlanjut ke tahap penyitaan aset. “Tindakan ini bukan hanya soal penegakan aturan, tetapi juga memberi keadilan bagi WP yang selama ini taat membayar pajak,” pungkas Syamsinar.

Aksi pemblokiran massal ini menjadi sinyal kuat bahwa DJP tidak akan mentolerir penunggakan pajak yang merugikan negara, sekaligus menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak adalah tanggung jawab bersama demi pembangunan yang berkelanjutan. (alf)

 

IKPI Apresiasi Perbaikan Signifikan Sistem Coretax DJP, Namun Ingatkan Masih Ada Kendala Registrasi NIK-NPWP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengapresiasi langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memperbaiki performa Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang kini menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (7/5/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan bahwa waktu akses login ke sistem kini hanya memerlukan 0,001 detik.

“Alhamdulillah, dari sebelumnya 4,1 detik untuk akses login, kini sekitar 0,001 detik. Jadi, cukup cepat,” ujar Suryo.

Tak hanya kecepatan akses, DJP juga telah melakukan pembenahan terhadap sistem basis data dan perbaikan error terkait perubahan data. Berdasarkan laporan internal, jumlah kasus error menurun drastis dari 397 kasus pada 10 Februari menjadi hanya 18 kasus selama periode 1–6 Mei 2025.

Perbaikan juga menyentuh pengiriman kode otorisasi dan OTP yang sebelumnya mengalami keterlambatan lebih dari 5 menit, menyebabkan timeout dan menghambat akses wajib pajak. Kini, masalah tersebut disebut telah teratasi.

Meski demikian, IKPI melalui Ketua Departemen Humas, Jemmi Sutiono, menyoroti masih adanya kendala terkait registrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini dinilai menghambat proses pelaporan dan perhitungan PPh Pasal 21, khususnya dalam pembuatan e-Bukti Potong (e-Bupot).

“Dari sisi pemberi kerja, masih ada kendala saat impor data menggunakan file XML ke dalam sistem Coretax karena sensitivitas variabel data. Ini membuat pengguna merasa tidak nyaman. Kami menghimbau pemberi kerja agar mendorong karyawan segera memadankan atau mengaktifkan NIK menjadi NPWP,” tegas Jemmi.

IKPI juga mendorong agar tim IT DJP segera memformulasikan solusi agar proses impor data lebih stabil dan tidak berubah-ubah, demi mendukung efisiensi pelaporan perpajakan secara elektronik. (bl)

Tax Amnesty Kembali Dibahas: Akademisi dan Praktisi UI Soroti Risiko Penurunan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan wacana tax amnesty lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Menanggapi hal itu, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) menggelar webinar, Kamis (8/5/2025) yang mempertemukan akademisi dan praktisi perpajakan untuk mengkaji urgensi dan risiko kebijakan tersebut.

Webinar bertajuk “Urgensi Tax Amnesty dalam Perspektif Teoritis dan International Best Practice” itu diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan. Pimpinan FIA UI, Teguh Kurniawan, mengingatkan bahwa kebijakan tax amnesty harus dipertimbangkan secara matang karena dapat menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh. Ia menegaskan pentingnya transparansi, komunikasi publik, dan penegakan hukum yang berkelanjutan sebagai fondasi keberhasilan kebijakan ini.

“Tax amnesty bukan sekadar strategi jangka pendek untuk menggenjot penerimaan negara. Jika tidak disertai pembenahan sistem, kebijakan ini bisa melemahkan kepercayaan dan kepatuhan jangka panjang,” ujar Teguh.

Senada dengan Teguh, Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI Inayati menekankan perlunya evaluasi menyeluruh sebelum kebijakan serupa kembali digulirkan. “Pertanyaannya bukan hanya perlu atau tidak, tapi apa yang harus disiapkan agar kebijakan ini tidak kontra produktif terhadap kepatuhan pajak,” tegasnya.

Machfud Sidik, Dosen FIA UI, turut menyoroti efek negatif tax amnesty dari perspektif teori rational expectations. Ia memperingatkan bahwa pengulangan kebijakan tanpa reformasi nyata dapat mengikis insentif kepatuhan. “Jika masyarakat menganggap pemerintah akan terus memberi pengampunan, maka kepatuhan bisa turun drastis,” jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar FIA UI Haula Rosdiana menggarisbawahi pentingnya roadmap pasca-tax amnesty. “Kepatuhan tidak bisa dibeli lewat kebijakan sesaat. Pemerintah harus membangun sistem data, pengawasan, dan penegakan hukum yang konsisten,” kata Haula. Ia menambahkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan penurunan kepatuhan setelah kebijakan pengampunan dilaksanakan.

Direktur DDTC Fiscal Research and Advisory, Bawono Kristiaji, bahkan menyebut bahwa perluasan basis pajak bisa dilakukan tanpa tax amnesty. Ia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, keputusan untuk kembali memberikan pengampunan pajak perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Sebagai catatan, Indonesia telah beberapa kali menerapkan tax amnesty, mulai dari era Presiden Sukarno pada 1964, era Presiden Soeharto pada 1984, hingga kebijakan besar pada 2016 yang berhasil mengungkap harta sebesar Rp4.884 triliun. Namun, partisipasi dalam program serupa pada 2021–2022 jauh lebih rendah. (alf)

 

Kemenkeu Kehilangan Rp 90 Triliun Dividen BUMN, Siapkan Strategi Tambal Penerimaan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus bersiap menghadapi tantangan serius dalam menjaga stabilitas penerimaan negara. Pasalnya, mulai 2025, setoran dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebelumnya ditargetkan mencapai Rp 90 triliun tak lagi masuk ke kantong negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dividen tersebut kini akan disalurkan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah extra effort untuk menutupi kekosongan penerimaan dari dividen BUMN. Salah satu fokusnya adalah menggenjot penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA) serta optimalisasi PNBP dari Kementerian/Lembaga (K/L).

“Beberapa strategi extra effort dimaksudkan untuk memperkuat kepatuhan dan memperluas basis penerimaan,” ujar Suahasil dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (8/5/2025).

Upaya tersebut mencakup pengembangan Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar K/L (SIMBARA) dengan memperluas cakupan komoditas mineral, serta implementasi kebijakan baru terkait tarif royalti mineral dan batubara melalui PP 29/2025 yang mulai berlaku 26 April 2025.

Selain itu, Kemenkeu akan mendorong optimalisasi PNBP dari sejumlah instansi, antara lain Direktorat Jenderal Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Perhubungan, dan Kepolisian melalui pungutan atas plat nomor premium. Tidak ketinggalan, Kementerian Lingkungan Hidup juga akan terlibat dalam penegakan hukum di sektor lingkungan untuk menggali potensi PNBP non-SDA. Estimasi kontribusinya diperkirakan bisa mencapai Rp 1–2 triliun.

Namun demikian, Suahasil mengakui bahwa pendapatan dari langkah-langkah ini tidak akan langsung menutupi seluruh kekurangan akibat hilangnya dividen BUMN.

“Kami juga mendorong peningkatan kepatuhan dan kolaborasi lintas unit dalam Kemenkeu melalui joint program antara Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan pengelola PNBP. Tujuannya adalah mendorong keterhubungan data dan sinergi dalam mendorong rasio penerimaan negara,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menyatakan bahwa strategi yang disiapkan Kemenkeu penting, meskipun tak sepenuhnya bisa menggantikan hilangnya dividen.

“Upaya lain memang harus dilakukan, tapi harus diakui tidak ada yang bisa langsung menyamai kontribusi dividen BUMN. Jadi optimalisasi dari pajak dan sumber penerimaan lain menjadi krusial,” tegas Dolfie.

Dengan beragam strategi yang mulai dijalankan, Kemenkeu berharap tetap bisa menjaga momentum penerimaan negara dan memastikan pembiayaan APBN 2025 tetap solid. (alf)

 

Dirjen Pajak Optimis Tren Positif Penerimaan Berlanjut

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat kinerja penerimaan pajak yang impresif sepanjang 2020 hingga 2024. Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (7/5/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memaparkan bagaimana penerimaan pajak berhasil pulih dan tumbuh konsisten meski diwarnai tantangan global dan domestik.

“Pada 2020, penerimaan pajak sempat terkontraksi hingga 19,6% akibat pandemi COVID-19. Namun berkat reformasi perpajakan dan pemulihan ekonomi, kita bisa bangkit,” ujar Suryo.

(Sumber: Direktorat Jenderal Pajak)

Tahun 2021 menjadi titik balik penting dengan pertumbuhan tajam 19,3%, didorong oleh efek pemulihan ekonomi dan lonjakan harga komoditas.

Tren positif ini berlanjut pada 2022 yang mencatatkan pertumbuhan spektakuler sebesar 34,3%, ditopang oleh commodity boom, kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan penyesuaian tarif PPN sesuai Undang-Undang HPP.

Namun, pada 2023 laju pertumbuhan melambat menjadi 8,8% karena penurunan harga komoditas dan menurunnya nilai impor. Meski demikian, DJP tetap berhasil mencapai target penerimaan hingga 102,7% dari APBN.

Tahun 2024 mencatatkan pertumbuhan moderat sebesar 3,5%. Suryo menekankan bahwa capaian ini tetap positif mengingat basis tinggi di tahun-tahun sebelumnya serta adanya tantangan eksternal.

“Selama empat tahun terakhir, penerimaan pajak tidak hanya tumbuh secara nominal tetapi juga berhasil melampaui target APBN, menunjukkan bauran kebijakan yang efektif dan kelanjutan reformasi perpajakan yang konsisten,” kata Suryo.

Untuk 2025, DJP menargetkan penerimaan sebesar Rp 2.016 triliun, atau tumbuh 13,3% dari realisasi 2024. Pemerintah optimistis, meski harga komoditas tidak lagi setinggi sebelumnya, implementasi penuh UU HPP dan sistem administrasi perpajakan yang semakin digital diyakini akan menjadi tulang punggung pencapaian target. (bl)

 

Ribuan Wajib Pajak Ajukan Keringanan PPh 25, Sektor Perdagangan Paling Dominan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat lonjakan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 sepanjang tahun 2024. Hingga saat ini, sebanyak 3.794 wajib pajak telah mengajukan permohonan tersebut, dengan sektor perdagangan besar dan eceran menjadi kontributor terbanyak.

“Permohonan paling banyak berasal dari sektor perdagangan, baik besar maupun eceran,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangannya baru-baru ini.

Menurutnya, pengajuan pengurangan angsuran ini merupakan opsi legal bagi wajib pajak yang mengalami penurunan pendapatan atau kesulitan likuiditas, sehingga kesulitan memenuhi kewajiban angsuran PPh 25. Langkah ini diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000, yang memungkinkan pengurangan diberikan apabila estimasi pajak terutang tahun berjalan tidak melebihi 75% dari PPh terutang tahun sebelumnya.

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan tersebut setelah melewati tiga bulan pertama tahun pajak, dengan menyertakan proyeksi pendapatan serta perhitungan ulang kewajiban pajaknya untuk sisa tahun berjalan. Permohonan diajukan ke Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat mereka terdaftar.

Langkah ini menjadi salah satu bentuk respons fiskal yang memberi ruang napas bagi dunia usaha, terutama di tengah dinamika ekonomi yang masih fluktuatif. DJP pun mengimbau para pelaku usaha yang memenuhi syarat untuk memanfaatkan fasilitas ini secara bijak dan sesuai ketentuan yang berlaku.(alf)

 

en_US