IKPI Bali & Nusra – UNDIKNAS Buka Peluang RPL bagi Anggota yang Ingin Raih Sarjana Hukum

IKPI, Denpasar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Bali & Nusra bersama IKPI Cabang Denpasar melakukan audiensi dengan Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar guna menjajaki kerja sama dalam program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Program ini membuka peluang bagi para anggota IKPI yang ingin melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum UNDIKNAS tanpa harus mengulang seluruh mata kuliah.

Ketua IKPI Pengda Bali & Nusra, I Ketut Agus Ardika, menyatakan bahwa program ini sangat strategis bagi pengembangan kapasitas anggota IKPI.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Bali & Nusra)

“Kami menyambut positif program RPL dari UNDIKNAS, karena sangat membantu para profesional seperti anggota IKPI yang memiliki pengalaman panjang namun belum memiliki gelar Sarjana Hukum. Program ini juga menjadi bagian dari kesiapan kami dalam merespons Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023,” ujarnya, Sabtu (5/7/2025).

Program RPL sendiri memungkinkan peserta mengonversi pengalaman kerja atau pembelajaran sebelumnya menjadi Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga proses studi menjadi lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Pihak UNDIKNAS menyampaikan bahwa jika terdapat minimal 15 peserta dari IKPI, maka kelas dapat diselenggarakan secara daring (online).

(Foto: DOK. IKPI Pengda Bali & Nusra)

Dekan Fakultas Hukum UNDIKNAS, Putu Eva Ditayani Antari, mengatakan pihaknya terbuka terhadap kolaborasi jangka panjang dengan IKPI, termasuk kemungkinan penguatan kurikulum melalui kontribusi praktisi pajak.

“Kami melihat para anggota IKPI memiliki potensi akademik dan pengalaman praktis yang kuat. Program RPL ini kami desain untuk menjembatani kebutuhan profesional dan dunia pendidikan. Kami juga terbuka untuk kerja sama saling menguatkan melalui MoU ke depan,” ujarnya.

Sebagai tindak lanjut, IKPI Bali & Nusra akan menyebarluaskan informasi pendaftaran yang ditutup pada 31 Juli 2025, sekaligus menjaring minat anggota untuk mengikuti gelombang pertama program RPL tersebut.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Bali & Nusra)

Sekadar informasi, peserta audiensi dari IKPI dan UNDIKNAS antara lain:

• I Ketut Agus Ardika – Ketua Pengda Bali Nusra

• Anak Agung Ngurah Setiawan – Humas Pengda Bali Nusra

• Anak Agung Sagung Widya Jayanti – Sekretaris Pengda Bali Nusra

• Peter – TI, Dokumentasi & Publikasi Pengda Bali Nusra

• Ni Made Galih Masari – Bidang Humas Antar Lembaga Cabang Denpasar

• A.A. Gede Sanjaya Adi Pranata – Bidang Hubungan Antar Anggota Cabang Denpasar

• Made Ika Klaorina – Bidang Pendidikan dan Pelatihan Cabang Denpasar

• Putu Eva Ditayani Antari – Dekan Fakultas Hukum UNDIKNAS

• I Wayan Sukadana – Dekan Fakultas Teknik dan Informatika UNDIKNAS

• Kadek Julia Mahadewi – Ketua Departemen Fakultas Hukum UNDIKNAS

• Komang Sri Widiantari – Ketua Program Studi Manajemen UNDIKNAS

Melalui kolaborasi ini, IKPI dan UNDIKNAS diharapkan dapat mencetak lulusan hukum yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga kuat dalam praktik perpajakan dan regulasi keuangan. (bl)

Vaudy Starworld Pimpin Audiensi IKPI-DJP: Bahas Edukasi hingga Tax Clinic

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, memimpin langsung audiensi bersama Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Jumat (4/7/2025). Dalam pertemuan tersebut, Vaudy yang didampingi jajaran pengurus pusat IKPI menyampaikan sejumlah agenda strategis, termasuk kebutuhan edukasi bagi anggota, percepatan kerja sama formal, hingga usulan penguatan regulasi terkait kuasa wajib pajak.

Vaudy menegaskan pentingnya sinergi antara DJP dan IKPI dalam menghadapi tantangan perpajakan yang makin kompleks, khususnya dalam era digital dan perubahan regulasi yang dinamis. “IKPI adalah mitra strategis DJP, baik dalam edukasi perpajakan ke masyarakat maupun sebagai pusat referensi kebijakan,” ujar Vaudy.

Dalam audiensi tersebut, IKPI mengusulkan agar DJP segera mempercepat implementasi Perjanjian Kerja Sama (PKS) mengenai Tax Clinic di berbagai daerah. Program ini dinilai strategis untuk memperluas layanan edukasi pajak langsung kepada masyarakat, khususnya UMKM, koperasi, dan pelaku ekonomi daerah.

Selain itu, Vaudy juga meminta dukungan dari DJP dalam penyebarluasan peraturan perpajakan terbaru. “Kami berharap setiap terbitnya regulasi baru, IKPI dapat memperoleh akses cepat dan resmi untuk disosialisasikan ke lebih dari 7.000 anggota kami melalui kanal digital, media sosial, dan kegiatan langsung,” ungkapnya.

Isu lain yang turut dibahas, adalah pentingnya kejelasan dan pengaturan ulang mengenai posisi Kuasa Wajib Pajak dari Pihak Lain. Vaudy menilai, regulasi yang tegas akan mencegah penyalahgunaan kuasa dan memastikan kompetensi para pendamping wajib pajak di lapangan.

Direktur P2Humas DJP, Rosmauli, menyambut baik aspirasi yang disampaikan IKPI. Ia menyatakan komitmen DJP untuk terus membangun kemitraan erat dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk profesi konsultan pajak.

“Kami sangat mengapresiasi inisiatif dan komitmen IKPI dalam membantu meningkatkan kepatuhan pajak secara berkelanjutan,” ujar Rosmauli.

Lebih lanjut Rosmauli meminta kepada IKPI untuk terus dan konsisten memberikan edukasi pendampingan pajak kepada masyarakat dengan cara pro-bono. ” Karena dengan ribuan anggota IKPI di seluruh Indonesia, DJP bisa menjangkau wajib pajak dengan lebih luas. Di sini lah letak kemitraan strategis diperlukan,” katanya.

Audiensi ini juga menandai kesinambungan kemitraan DJP dan IKPI yang telah berlangsung sejak lama, termasuk dalam penyusunan regulasi, penyediaan narasumber, hingga pelaksanaan kegiatan edukatif di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan total anggota lebih dari 7.000 orang yang tersebar di 13 pengurus daerah dan 45 pengurus cabang, IKPI merupakan organisasi profesi konsultan pajak terbesar di Indonesia. Organisasi ini juga aktif dalam pengembangan kompetensi, advokasi, dan peningkatan kesejahteraan anggotanya.

“Kolaborasi DJP dan IKPI bukan hanya soal teknis perpajakan, tapi juga tentang membangun budaya sadar pajak yang kuat dan berkelanjutan,” tutup Vaudy. (bl)

PPh 22 di Marketplace Diklaim Sebagai Senjata Baru Lawan Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menggandeng marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, dan Lazada untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang yang bertransaksi di platform tersebut. Kebijakan ini menyasar merchant dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta dan bertujuan langsung untuk menekan praktik shadow economy, yaitu aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara resmi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, baru-baru ini menegaskan bahwa pemungutan melalui marketplace akan membuat transaksi dagang lebih transparan karena terekam otomatis.

“Kebijakan ini bukan hanya menyederhanakan kewajiban perpajakan, tapi juga mengatasi masalah besar bernama shadow economy yang selama ini menggerus potensi penerimaan negara,” ujarnya.

Pemerintah menilai keberadaan pedagang online yang tidak terjangkau sistem perpajakan telah memperbesar sektor informal yang sulit dipantau. Dengan langkah ini, pedagang digital diwajibkan tunduk pada skema yang sama dengan pelaku usaha konvensional.

“Ini adalah langkah untuk menciptakan level playing field dan sekaligus mendorong perluasan basis pajak secara adil,” tambah Rosmauli.

Selain menertibkan pelaku usaha digital, strategi ini juga menjadi bagian dari upaya mengamankan penerimaan negara yang melambat pada kuartal pertama 2025. (alf)

 

Asosiasi UMKM Tegaskan Rencana Pajak E-Commerce 0,5% Picu Gejolak Ekonomi Ritel Digital

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% melalui platform e-commerce menuai sorotan tajam dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Asosiasi UMKM menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan usaha kecil dan justru bisa memicu gejolak ekonomi di sektor ritel digital.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyampaikan bahwa pelaku UMKM sangat mungkin menaikkan harga produk sebagai respons terhadap pungutan pajak tersebut. Kenaikan ini, kata Edy, berisiko menurunkan minat beli masyarakat.

“Pasti pelaku UMKM akan berpikir, ‘kalau begitu harga jual saya naikkan dong 0,5% untuk menutupi pajak 0,5%’,” ujar Edy, Jumat (4/7/2025).

Menurutnya, kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil akan mendorong konsumen menunda pembelian. “Transaksi bisa menurun, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi kita makin lesu,” tegas Edy.

Edy juga mempertanyakan kemampuan e-commerce dalam mendeteksi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. Ia mengusulkan agar pajak dikenakan langsung kepada platform e-commerce, bukan pada para penjual.

“Lebih baik aplikator yang dikenakan pajak. Mereka punya margin besar dan punya sistem yang sudah canggih. Jangan bebani penjual kecil,” katanya.

Senada dengan Edy, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengungkapkan keresahan di kalangan pelaku UMKM. Menurutnya, wacana pungutan pajak melalui e-commerce sudah membuat sebagian UMKM berniat hengkang dari platform digital.

“Sudah mulai terdengar, pelaku UMKM ada yang bilang mau keluar dari e-commerce kalau ini benar-benar diberlakukan,” ujar Hermawati.

Ia menambahkan, potensi kenaikan harga barang akibat pajak bisa membebani konsumen sekaligus menggerus omzet pelaku usaha kecil. Belum lagi, UMKM yang berjualan online sudah menanggung berbagai potongan biaya lainnya dari platform.

“Potongan sudah banyak, lalu ditambah pajak, ini bisa jadi beban ganda. Jangan sampai kebijakan ini malah menyingkirkan UMKM dari ekosistem digital,” tegasnya.

Hermawati mendesak agar pemerintah mengkaji ulang rencana kebijakan ini secara komprehensif. Ia menekankan pentingnya memberikan insentif atau “reward” kepada UMKM yang telah patuh membayar pajak.

“Kalau memang ingin menarik pajak dari UMKM, negara harus hadir dengan imbal balik yang jelas. Jangan hanya menarik, tapi tak memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha kecil,” pungkasnya.

Dengan munculnya gelombang kritik dari pelaku UMKM, pemerintah kini dituntut untuk lebih sensitif terhadap kondisi sektor riil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Kebijakan pajak e-commerce yang tidak tepat sasaran justru bisa menciptakan efek domino yang merugikan. (alf)

 

Kemenkeu Tegaskan Pungutan PPh 22 E-Commerce Hanya Ubah Mekanisme Pembayaran

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menegaskan bahwa rencana penerapan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform niaga elektronik (e-commerce) bukanlah kebijakan pajak baru. Pemerintah hanya mengubah mekanisme pembayaran pajak agar lebih praktis dan efisien bagi pelaku usaha.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa pola pemungutan semacam ini sudah diterapkan lebih dulu terhadap perusahaan digital berskala global seperti Google dan Netflix. Kini, mekanisme tersebut diperluas ke sektor perdagangan elektronik dalam negeri guna memperkuat kemitraan dengan marketplace sebagai pemungut pajak.

“Ini bukan pajak baru. Kita hanya mengubah cara pembayaran pajaknya agar lebih mudah dan terintegrasi. Marketplace akan membantu memungut PPh dari pedagang yang memenuhi syarat,” ujar Febrio, baru-baru ini.

Ia menekankan, pungutan PPh 22 hanya dikenakan kepada pedagang e-commerce yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Sementara itu, pelaku usaha kecil dan mikro yang penghasilannya di bawah batas tersebut tidak akan terkena pungutan ini.

“Justru ini bentuk keberpihakan pada UMKM. Mereka tetap bisa berjualan tanpa beban tambahan,” tambahnya.

Penjelasan lebih rinci juga disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli. Menurutnya, kebijakan ini merupakan bentuk pergeseran dari sistem self-assessment di mana pedagang membayar sendiri pajaknya menjadi sistem withholding tax, yaitu pemungutan oleh pihak ketiga yang ditunjuk, dalam hal ini marketplace.

“Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan Lazada akan ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi dari pedagang yang omzetnya di atas Rp500 juta per tahun. Pemungutan dilakukan dengan tarif 0,5 persen sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh Final UMKM,” jelas Rosmauli, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, sistem ini justru memberikan kemudahan dan kepastian bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pemotongan dilakukan otomatis oleh platform, tanpa perlu proses pelaporan terpisah oleh pedagang.

“Ini bukan soal pungutan tambahan, melainkan penyederhanaan sistem. Kami ingin bantu pedagang patuh pajak tanpa harus ribet,” tegas Rosmauli.

Dengan mekanisme baru ini, pemerintah berharap kepatuhan pajak dapat meningkat, terutama dari sektor digital yang terus berkembang pesat. (alf)

Berobat ke Malaysia Tak Lagi Murah, Pemerintah Setempat Kenakan Pajak 6%

IKPI, Jakarta: Kebijakan terbaru Pemerintah Malaysia yang mengenakan pajak layanan kesehatan sebesar 6% bagi warga negara asing mendapat sorotan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Menurut PERSI, langkah tersebut berpotensi mengurangi jumlah pasien asal Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar wisata medis ke negeri jiran itu.

Anggota Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI, dr. Daniel Budi Wibowo, M.Kes, menyebut penurunan pasien Indonesia kemungkinan terjadi, terutama dari kalangan yang sensitif terhadap harga layanan.

“Bagi kelompok yang mempertimbangkan biaya secara serius, kebijakan ini bisa membuat mereka berpikir dua kali sebelum berobat ke Malaysia,” ujar Daniel kepada Bloomberg Technoz, Jumat (4/7/2025).

Namun demikian, ia menilai dampak pajak tersebut tidak signifikan bagi pasien dari kelompok menengah atas yang cenderung tidak terlalu mempermasalahkan biaya pengobatan. “Kelompok ini tetap akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri meski ada tambahan pajak,” tambahnya.

Daniel juga menegaskan bahwa meskipun dikenakan pajak 6%, tarif layanan kesehatan di Malaysia masih lebih terjangkau dibandingkan dengan negara tujuan medis lain seperti Singapura.

Ia menguraikan bahwa pasien Indonesia yang berobat ke Malaysia umumnya berasal dari dua kelompok utama. Pertama, mereka yang kurang percaya pada mutu layanan kesehatan dalam negeri. Kedua, mereka yang mencari pengobatan berkualitas dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan rumah sakit swasta di Indonesia.

“Kelompok pertama tetap akan berangkat karena didorong oleh faktor kepercayaan. Sementara kelompok kedua akan lebih rasional, mereka akan berhitung secara cermat sebelum mengambil keputusan,” jelasnya.

Seperti diketahui, Malaysia mulai menerapkan perluasan pajak penjualan dan jasa (Sales and Service Tax/SST) pada 1 Juli 2025. Salah satu yang terdampak adalah layanan kesehatan untuk warga negara non-Malaysia.

Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan Malaysia, kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat posisi fiskal negara, meningkatkan pendapatan, serta memperluas basis pajak. Pendapatan dari pajak tersebut juga akan digunakan untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial tanpa membebani warga negara sendiri.

Pengenaan pajak 6% mencakup seluruh layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas swasta di bawah Private Healthcare Facilities and Services Act 1998, termasuk pengobatan tradisional dan komplementer, serta layanan kesehatan sekutu. Pajak hanya berlaku bagi penyedia layanan dengan nilai transaksi kena pajak mencapai RM1,5 juta dalam periode 12 bulan.

Sementara itu, warga negara Malaysia tetap dibebaskan dari pajak ini untuk layanan kesehatan swasta maupun pengobatan alternatif. (alf)

 

 

 

 

Zakat Bakal Dikelola Seperti Pajak? Kemenag Siapkan Terobosan Tata Kelola Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Kementerian Agama (Kemenag) tengah menggagas pendekatan baru dalam pengelolaan zakat nasional yang lebih modern dan terstruktur. Salah satu wacana yang mengemuka adalah menjadikan sistem tata kelola zakat menyerupai sistem perpajakan negara, dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integrasi data secara nasional.

“Zakat ini tidak cukup hanya dikelola secara normatif. Ke depan, kami dorong agar tata kelolanya bisa seperti pajak  terstruktur, terintegrasi, dan terdokumentasi,” ujar Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Prof. Waryono Abdul Ghafur, dalam acara silaturahmi bersama mantan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Kamis (3/7/2025).

Ia menekankan pentingnya sistem digital dalam pelaporan dan pemantauan zakat, serta mendorong sinergi kuat antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pemerintah daerah. “Langkah ini diharapkan memastikan distribusi zakat menjadi lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” tambahnya.

Pilar Ekonomi Syariah

Menyambut gagasan tersebut, Wapres KH Ma’ruf Amin menyatakan dukungannya. Ia menegaskan bahwa zakat bukan semata kewajiban ibadah, melainkan instrumen strategis dalam membangun ekonomi syariah yang inklusif dan berkeadilan.

“Zakat ini bagian dari pilar ekonomi syariah. Kita tidak hanya mengumpulkan, tapi juga memberdayakan. Ini instrumen ekonomi,” tegasnya.

Tahun 2024 menjadi tonggak penting dengan capaian pengumpulan zakat, infak, sedekah (ZIS), dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) sebesar Rp 40,5 triliun — naik 25,3% dari tahun sebelumnya. Jumlah penerima manfaat pun meningkat signifikan menjadi 119 juta jiwa, dari 97,8 juta jiwa pada 2023.

Ia juga menyoroti peran Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) sebagai perpanjangan tangan dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Hingga awal 2025, KDEKS telah hadir di 31 dari 38 provinsi di Indonesia.

Menariknya, keterlibatan kepala daerah lintas agama dalam mengelola KDEKS menjadi sorotan positif. KH Ma’ruf Amin menceritakan pengalaman seorang gubernur non-Muslim dari Indonesia Timur yang bangga memimpin KDEKS dan bahkan meminta testimoni darinya untuk dimuat dalam biografi pribadinya.

“Dia bilang, ‘kalau ada orang Islam yang nggak bangga dengan ekonomi syariah, saya yang Kristen justru bangga,'” ungkap Ma’ruf, menekankan bahwa prinsip ekonomi syariah bersifat inklusif dan adaptif dalam mendukung pembangunan daerah.

Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa integrasi zakat dan wakaf dalam kebijakan pembangunan daerah merupakan bagian dari strategi nasional jangka panjang. Menurutnya, ekonomi syariah harus dikelola secara profesional, berbasis data, dan terukur tidak lagi hanya menjadi konsep idealis. (alf)

 

Main Padel Kena Pajak? Ini Penjelasan DJP 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi terkait pengenaan pajak terhadap aktivitas olahraga padel yang tengah naik daun di kalangan masyarakat urban. Melalui akun resmi X (dulu Twitter) @DitjenPajakRI, DJP menegaskan bahwa pajak atas penyewaan lapangan padel merupakan Pajak Daerah, bukan Pajak Pusat yang dikelola oleh DJP.

“Main padel kena pajak? Iya, tapi pajak daerah,” tulis DJP dalam unggahannya yang dikutip Jumat (4/7/2025).

Fasilitas padel, termasuk penyewaan lapangan, kini dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua atas Keputusan Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

Menurut DJP, PBJT atas fasilitas padel dipungut oleh penyedia jasa sewa lapangan dan wajib disetorkan ke Kas Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Pembedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah

DJP juga memanfaatkan momentum ini untuk mengedukasi masyarakat terkait perbedaan antara pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat, yang dikelola oleh DJP di bawah Kementerian Keuangan, mencakup:

  1. Pajak Penghasilan (PPh)
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  4. Bea Meterai
  5. Pajak Bumi dan Bangunan sektor P5L (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, Migas, Minerba)
  6. Pajak Karbon (dalam tahap implementasi)

Sementara itu, pajak daerah terbagi menjadi dua lingkup: provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa pajak provinsi antara lain:

  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Alat Berat
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Pajak Air Permukaan (PAP)
  • Pajak Rokok
  • Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Adapun pajak kabupaten/kota mencakup:
  • Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  • Pajak Reklame
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • PBJT
  • Opsen PKB dan BBNKB

Sebagai ilustrasi, DJP mencontohkan bahwa pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh. Sebaliknya, untuk pajak daerah, PBJT dikenakan atas jasa hiburan dan fasilitas olahraga seperti lapangan padel.

“Penyewa lapangan padel sebagai konsumen dikenai PBJT sebesar 10%, meliputi tiket masuk, sewa lapangan, dan jasa lainnya. Pajak ini dipungut oleh penyedia jasa dan disetor ke Kas Daerah,” jelas DJP. (alf)

 

 

 

 

RUU Pajak AS Picu Melesatnya Harga Bitcoin

IKPI, Jakarta: Pasar kripto global kembali menunjukkan performa impresif dalam 24 jam terakhir, dipicu oleh sentimen positif dari Amerika Serikat. Harga Bitcoin (BTC) melesat seiring munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak kripto baru di Senat AS yang dinilai pro-investor.

Mengutip data dari Coinmarketcap pada Jumat (4/7/2025) pukul 06.50 WIB, kapitalisasi pasar kripto global naik 0,46% menjadi US$ 3,38 triliun. Bitcoin sebagai aset kripto dengan kapitalisasi terbesar, menguat 0,71% dan kini diperdagangkan di level US$ 109.620 atau sekitar Rp 1,76 miliar per koin (kurs Rp 16.087).

Aset kripto lainnya turut mencatat penguatan. Ethereum (ETH) naik 0,73% menjadi US$ 2.590, Binance Coin (BNB) menguat 0,45% ke US$ 663, Dogecoin (DOGE) melonjak 1,91% ke US$ 0,172, XRP naik 1% ke US$ 2,25, dan Solana (SOL) turut terdongkrak 0,1% ke US$ 152 per koin.

RUU Pajak Pro-Kripto

Pendorong utama penguatan pasar datang dari Senat AS, di mana Senator Cynthia Lummis dari Wyoming mengajukan draft RUU pajak kripto yang berpotensi merevolusi perlakuan pajak atas aset digital di negara tersebut.

RUU ini mengusulkan pembebasan pajak untuk transaksi aset digital dengan keuntungan hingga US$ 300 per transaksi, dengan batas tahunan sebesar US$ 5.000.

Donasi amal dan perjanjian peminjaman aset kripto juga akan dikecualikan dari pajak.

Tak hanya itu, hadiah dari aktivitas mining dan staking tidak akan dikenakan pajak hingga aset tersebut dijual.

“Ini adalah regulasi yang seimbang dan visioner, yang memungkinkan inovasi tetap berjalan tanpa membebani warga dengan risiko pajak tak disengaja,” ujar Lummis dalam pernyataannya.

Ancaman Siber Masih Bayangi

Di tengah euforia pasar, Koi Security mengingatkan pengguna akan kampanye phishing besar-besaran yang menyasar pengguna Mozilla Firefox. Sebanyak lebih dari 40 ekstensi palsu yang meniru dompet kripto populer seperti MetaMask, Trust Wallet, dan Coinbase, ditemukan mencuri data pengguna secara diam-diam.

“Ini adalah serangan yang masif dan masih berlangsung. Ekstensi jahat ini secara aktif menyedot data dari dompet kripto pengguna,” tegas Koi Security. (alf)

 

DJP Jatim II Gandeng Kejati dan DPMD Jombang Awasi Pajak Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II terus memperkuat sinergi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Jombang dalam memastikan kepatuhan pajak pemerintah desa. Melalui kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kewajiban Perpajakan Instansi Pemerintah Desa (IPDes), sebanyak 69 kepala desa dari Kabupaten Jombang dikumpulkan di Ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Kamis (3/7/2025).

Kegiatan ini diinisiasi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa pengelolaan dana desa tak lepas dari tanggung jawab perpajakan. Kepala DPMD Jombang, Sholahuddin Hadi Sucipto, menekankan pentingnya aspek administrasi pajak dalam tata kelola desa. “Aspek perpajakan harus menjadi perhatian serius agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan terhindar dari penyimpangan,” tegasnya.

Kepala KPP Pratama Jombang, Syaiful Rakhman, menyebut IPDes memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara. “Kami ingin kerja sama ini terus ditingkatkan. Pelayanan kami harus makin baik, dan kesadaran pajak desa pun makin tumbuh,” ucapnya.

Dalam paparannya, Koordinator Kolaborasi PPNS DJP Jatim II, Paduanta Hutahayan, menjelaskan tanggung jawab pajak desa dan risiko pidana jika kewajiban tidak dipenuhi. Hal ini diperkuat oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Windhu Sugiarto, yang mengingatkan para kepala desa akan potensi kerugian negara bila pajak tidak disetor.

“Kami ingin para kepala desa memahami sepenuhnya konsekuensi hukum agar tak terjerumus dalam pelanggaran perpajakan,” kata Windhu dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7/2025).

Sebagai bentuk komitmen bersama, kegiatan ditutup dengan penandatanganan Berita Acara Kolaborasi Penegakan Hukum oleh perwakilan kepala desa, KPP Pratama Jombang, dan Tim Kolaborasi PPNS DJP Jatim II. Dokumen ini menjadi pijakan kuat dalam memastikan pemenuhan kewajiban pajak dana desa periode 2021–2025.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jatim II, Agustin Vita Avantin, menegaskan bahwa kegiatan serupa akan digelar di seluruh wilayah kerja DJP Jatim II. “Kami maksimalkan kolaborasi dengan Kejati untuk memastikan aparat desa tak terjerat sanksi pidana akibat kelalaian perpajakan,” ujarnya.

Dengan pendekatan kolaboratif dan preventif, DJP Jatim II berharap kepatuhan perpajakan di tingkat desa dapat terjaga, sekaligus menghindarkan pemerintah desa dari jerat hukum yang merugikan pembangunan di akar rumput. (bl)

 

en_US