PPh 22 di Marketplace Diklaim Sebagai Senjata Baru Lawan Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menggandeng marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, dan Lazada untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang yang bertransaksi di platform tersebut. Kebijakan ini menyasar merchant dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta dan bertujuan langsung untuk menekan praktik shadow economy, yaitu aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara resmi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, baru-baru ini menegaskan bahwa pemungutan melalui marketplace akan membuat transaksi dagang lebih transparan karena terekam otomatis.

“Kebijakan ini bukan hanya menyederhanakan kewajiban perpajakan, tapi juga mengatasi masalah besar bernama shadow economy yang selama ini menggerus potensi penerimaan negara,” ujarnya.

Pemerintah menilai keberadaan pedagang online yang tidak terjangkau sistem perpajakan telah memperbesar sektor informal yang sulit dipantau. Dengan langkah ini, pedagang digital diwajibkan tunduk pada skema yang sama dengan pelaku usaha konvensional.

“Ini adalah langkah untuk menciptakan level playing field dan sekaligus mendorong perluasan basis pajak secara adil,” tambah Rosmauli.

Selain menertibkan pelaku usaha digital, strategi ini juga menjadi bagian dari upaya mengamankan penerimaan negara yang melambat pada kuartal pertama 2025. (alf)

 

Asosiasi UMKM Tegaskan Rencana Pajak E-Commerce 0,5% Picu Gejolak Ekonomi Ritel Digital

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% melalui platform e-commerce menuai sorotan tajam dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Asosiasi UMKM menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan usaha kecil dan justru bisa memicu gejolak ekonomi di sektor ritel digital.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyampaikan bahwa pelaku UMKM sangat mungkin menaikkan harga produk sebagai respons terhadap pungutan pajak tersebut. Kenaikan ini, kata Edy, berisiko menurunkan minat beli masyarakat.

“Pasti pelaku UMKM akan berpikir, ‘kalau begitu harga jual saya naikkan dong 0,5% untuk menutupi pajak 0,5%’,” ujar Edy, Jumat (4/7/2025).

Menurutnya, kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil akan mendorong konsumen menunda pembelian. “Transaksi bisa menurun, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi kita makin lesu,” tegas Edy.

Edy juga mempertanyakan kemampuan e-commerce dalam mendeteksi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. Ia mengusulkan agar pajak dikenakan langsung kepada platform e-commerce, bukan pada para penjual.

“Lebih baik aplikator yang dikenakan pajak. Mereka punya margin besar dan punya sistem yang sudah canggih. Jangan bebani penjual kecil,” katanya.

Senada dengan Edy, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengungkapkan keresahan di kalangan pelaku UMKM. Menurutnya, wacana pungutan pajak melalui e-commerce sudah membuat sebagian UMKM berniat hengkang dari platform digital.

“Sudah mulai terdengar, pelaku UMKM ada yang bilang mau keluar dari e-commerce kalau ini benar-benar diberlakukan,” ujar Hermawati.

Ia menambahkan, potensi kenaikan harga barang akibat pajak bisa membebani konsumen sekaligus menggerus omzet pelaku usaha kecil. Belum lagi, UMKM yang berjualan online sudah menanggung berbagai potongan biaya lainnya dari platform.

“Potongan sudah banyak, lalu ditambah pajak, ini bisa jadi beban ganda. Jangan sampai kebijakan ini malah menyingkirkan UMKM dari ekosistem digital,” tegasnya.

Hermawati mendesak agar pemerintah mengkaji ulang rencana kebijakan ini secara komprehensif. Ia menekankan pentingnya memberikan insentif atau “reward” kepada UMKM yang telah patuh membayar pajak.

“Kalau memang ingin menarik pajak dari UMKM, negara harus hadir dengan imbal balik yang jelas. Jangan hanya menarik, tapi tak memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha kecil,” pungkasnya.

Dengan munculnya gelombang kritik dari pelaku UMKM, pemerintah kini dituntut untuk lebih sensitif terhadap kondisi sektor riil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Kebijakan pajak e-commerce yang tidak tepat sasaran justru bisa menciptakan efek domino yang merugikan. (alf)

 

Kemenkeu Tegaskan Pungutan PPh 22 E-Commerce Hanya Ubah Mekanisme Pembayaran

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menegaskan bahwa rencana penerapan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform niaga elektronik (e-commerce) bukanlah kebijakan pajak baru. Pemerintah hanya mengubah mekanisme pembayaran pajak agar lebih praktis dan efisien bagi pelaku usaha.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa pola pemungutan semacam ini sudah diterapkan lebih dulu terhadap perusahaan digital berskala global seperti Google dan Netflix. Kini, mekanisme tersebut diperluas ke sektor perdagangan elektronik dalam negeri guna memperkuat kemitraan dengan marketplace sebagai pemungut pajak.

“Ini bukan pajak baru. Kita hanya mengubah cara pembayaran pajaknya agar lebih mudah dan terintegrasi. Marketplace akan membantu memungut PPh dari pedagang yang memenuhi syarat,” ujar Febrio, baru-baru ini.

Ia menekankan, pungutan PPh 22 hanya dikenakan kepada pedagang e-commerce yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Sementara itu, pelaku usaha kecil dan mikro yang penghasilannya di bawah batas tersebut tidak akan terkena pungutan ini.

“Justru ini bentuk keberpihakan pada UMKM. Mereka tetap bisa berjualan tanpa beban tambahan,” tambahnya.

Penjelasan lebih rinci juga disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli. Menurutnya, kebijakan ini merupakan bentuk pergeseran dari sistem self-assessment di mana pedagang membayar sendiri pajaknya menjadi sistem withholding tax, yaitu pemungutan oleh pihak ketiga yang ditunjuk, dalam hal ini marketplace.

“Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan Lazada akan ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi dari pedagang yang omzetnya di atas Rp500 juta per tahun. Pemungutan dilakukan dengan tarif 0,5 persen sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh Final UMKM,” jelas Rosmauli, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, sistem ini justru memberikan kemudahan dan kepastian bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pemotongan dilakukan otomatis oleh platform, tanpa perlu proses pelaporan terpisah oleh pedagang.

“Ini bukan soal pungutan tambahan, melainkan penyederhanaan sistem. Kami ingin bantu pedagang patuh pajak tanpa harus ribet,” tegas Rosmauli.

Dengan mekanisme baru ini, pemerintah berharap kepatuhan pajak dapat meningkat, terutama dari sektor digital yang terus berkembang pesat. (alf)

Berobat ke Malaysia Tak Lagi Murah, Pemerintah Setempat Kenakan Pajak 6%

IKPI, Jakarta: Kebijakan terbaru Pemerintah Malaysia yang mengenakan pajak layanan kesehatan sebesar 6% bagi warga negara asing mendapat sorotan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Menurut PERSI, langkah tersebut berpotensi mengurangi jumlah pasien asal Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar wisata medis ke negeri jiran itu.

Anggota Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI, dr. Daniel Budi Wibowo, M.Kes, menyebut penurunan pasien Indonesia kemungkinan terjadi, terutama dari kalangan yang sensitif terhadap harga layanan.

“Bagi kelompok yang mempertimbangkan biaya secara serius, kebijakan ini bisa membuat mereka berpikir dua kali sebelum berobat ke Malaysia,” ujar Daniel kepada Bloomberg Technoz, Jumat (4/7/2025).

Namun demikian, ia menilai dampak pajak tersebut tidak signifikan bagi pasien dari kelompok menengah atas yang cenderung tidak terlalu mempermasalahkan biaya pengobatan. “Kelompok ini tetap akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri meski ada tambahan pajak,” tambahnya.

Daniel juga menegaskan bahwa meskipun dikenakan pajak 6%, tarif layanan kesehatan di Malaysia masih lebih terjangkau dibandingkan dengan negara tujuan medis lain seperti Singapura.

Ia menguraikan bahwa pasien Indonesia yang berobat ke Malaysia umumnya berasal dari dua kelompok utama. Pertama, mereka yang kurang percaya pada mutu layanan kesehatan dalam negeri. Kedua, mereka yang mencari pengobatan berkualitas dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan rumah sakit swasta di Indonesia.

“Kelompok pertama tetap akan berangkat karena didorong oleh faktor kepercayaan. Sementara kelompok kedua akan lebih rasional, mereka akan berhitung secara cermat sebelum mengambil keputusan,” jelasnya.

Seperti diketahui, Malaysia mulai menerapkan perluasan pajak penjualan dan jasa (Sales and Service Tax/SST) pada 1 Juli 2025. Salah satu yang terdampak adalah layanan kesehatan untuk warga negara non-Malaysia.

Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan Malaysia, kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat posisi fiskal negara, meningkatkan pendapatan, serta memperluas basis pajak. Pendapatan dari pajak tersebut juga akan digunakan untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial tanpa membebani warga negara sendiri.

Pengenaan pajak 6% mencakup seluruh layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas swasta di bawah Private Healthcare Facilities and Services Act 1998, termasuk pengobatan tradisional dan komplementer, serta layanan kesehatan sekutu. Pajak hanya berlaku bagi penyedia layanan dengan nilai transaksi kena pajak mencapai RM1,5 juta dalam periode 12 bulan.

Sementara itu, warga negara Malaysia tetap dibebaskan dari pajak ini untuk layanan kesehatan swasta maupun pengobatan alternatif. (alf)

 

 

 

 

Zakat Bakal Dikelola Seperti Pajak? Kemenag Siapkan Terobosan Tata Kelola Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Kementerian Agama (Kemenag) tengah menggagas pendekatan baru dalam pengelolaan zakat nasional yang lebih modern dan terstruktur. Salah satu wacana yang mengemuka adalah menjadikan sistem tata kelola zakat menyerupai sistem perpajakan negara, dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integrasi data secara nasional.

“Zakat ini tidak cukup hanya dikelola secara normatif. Ke depan, kami dorong agar tata kelolanya bisa seperti pajak  terstruktur, terintegrasi, dan terdokumentasi,” ujar Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Prof. Waryono Abdul Ghafur, dalam acara silaturahmi bersama mantan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Kamis (3/7/2025).

Ia menekankan pentingnya sistem digital dalam pelaporan dan pemantauan zakat, serta mendorong sinergi kuat antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pemerintah daerah. “Langkah ini diharapkan memastikan distribusi zakat menjadi lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” tambahnya.

Pilar Ekonomi Syariah

Menyambut gagasan tersebut, Wapres KH Ma’ruf Amin menyatakan dukungannya. Ia menegaskan bahwa zakat bukan semata kewajiban ibadah, melainkan instrumen strategis dalam membangun ekonomi syariah yang inklusif dan berkeadilan.

“Zakat ini bagian dari pilar ekonomi syariah. Kita tidak hanya mengumpulkan, tapi juga memberdayakan. Ini instrumen ekonomi,” tegasnya.

Tahun 2024 menjadi tonggak penting dengan capaian pengumpulan zakat, infak, sedekah (ZIS), dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) sebesar Rp 40,5 triliun — naik 25,3% dari tahun sebelumnya. Jumlah penerima manfaat pun meningkat signifikan menjadi 119 juta jiwa, dari 97,8 juta jiwa pada 2023.

Ia juga menyoroti peran Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) sebagai perpanjangan tangan dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Hingga awal 2025, KDEKS telah hadir di 31 dari 38 provinsi di Indonesia.

Menariknya, keterlibatan kepala daerah lintas agama dalam mengelola KDEKS menjadi sorotan positif. KH Ma’ruf Amin menceritakan pengalaman seorang gubernur non-Muslim dari Indonesia Timur yang bangga memimpin KDEKS dan bahkan meminta testimoni darinya untuk dimuat dalam biografi pribadinya.

“Dia bilang, ‘kalau ada orang Islam yang nggak bangga dengan ekonomi syariah, saya yang Kristen justru bangga,'” ungkap Ma’ruf, menekankan bahwa prinsip ekonomi syariah bersifat inklusif dan adaptif dalam mendukung pembangunan daerah.

Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa integrasi zakat dan wakaf dalam kebijakan pembangunan daerah merupakan bagian dari strategi nasional jangka panjang. Menurutnya, ekonomi syariah harus dikelola secara profesional, berbasis data, dan terukur tidak lagi hanya menjadi konsep idealis. (alf)

 

Main Padel Kena Pajak? Ini Penjelasan DJP 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi terkait pengenaan pajak terhadap aktivitas olahraga padel yang tengah naik daun di kalangan masyarakat urban. Melalui akun resmi X (dulu Twitter) @DitjenPajakRI, DJP menegaskan bahwa pajak atas penyewaan lapangan padel merupakan Pajak Daerah, bukan Pajak Pusat yang dikelola oleh DJP.

“Main padel kena pajak? Iya, tapi pajak daerah,” tulis DJP dalam unggahannya yang dikutip Jumat (4/7/2025).

Fasilitas padel, termasuk penyewaan lapangan, kini dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua atas Keputusan Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

Menurut DJP, PBJT atas fasilitas padel dipungut oleh penyedia jasa sewa lapangan dan wajib disetorkan ke Kas Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Pembedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah

DJP juga memanfaatkan momentum ini untuk mengedukasi masyarakat terkait perbedaan antara pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat, yang dikelola oleh DJP di bawah Kementerian Keuangan, mencakup:

  1. Pajak Penghasilan (PPh)
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  4. Bea Meterai
  5. Pajak Bumi dan Bangunan sektor P5L (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, Migas, Minerba)
  6. Pajak Karbon (dalam tahap implementasi)

Sementara itu, pajak daerah terbagi menjadi dua lingkup: provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa pajak provinsi antara lain:

  • Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  • Pajak Alat Berat
  • Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
  • Pajak Air Permukaan (PAP)
  • Pajak Rokok
  • Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  • Adapun pajak kabupaten/kota mencakup:
  • Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  • Pajak Reklame
  • Pajak Air Tanah
  • Pajak Sarang Burung Walet
  • PBJT
  • Opsen PKB dan BBNKB

Sebagai ilustrasi, DJP mencontohkan bahwa pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak dikenai PPh. Sebaliknya, untuk pajak daerah, PBJT dikenakan atas jasa hiburan dan fasilitas olahraga seperti lapangan padel.

“Penyewa lapangan padel sebagai konsumen dikenai PBJT sebesar 10%, meliputi tiket masuk, sewa lapangan, dan jasa lainnya. Pajak ini dipungut oleh penyedia jasa dan disetor ke Kas Daerah,” jelas DJP. (alf)

 

 

 

 

RUU Pajak AS Picu Melesatnya Harga Bitcoin

IKPI, Jakarta: Pasar kripto global kembali menunjukkan performa impresif dalam 24 jam terakhir, dipicu oleh sentimen positif dari Amerika Serikat. Harga Bitcoin (BTC) melesat seiring munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak kripto baru di Senat AS yang dinilai pro-investor.

Mengutip data dari Coinmarketcap pada Jumat (4/7/2025) pukul 06.50 WIB, kapitalisasi pasar kripto global naik 0,46% menjadi US$ 3,38 triliun. Bitcoin sebagai aset kripto dengan kapitalisasi terbesar, menguat 0,71% dan kini diperdagangkan di level US$ 109.620 atau sekitar Rp 1,76 miliar per koin (kurs Rp 16.087).

Aset kripto lainnya turut mencatat penguatan. Ethereum (ETH) naik 0,73% menjadi US$ 2.590, Binance Coin (BNB) menguat 0,45% ke US$ 663, Dogecoin (DOGE) melonjak 1,91% ke US$ 0,172, XRP naik 1% ke US$ 2,25, dan Solana (SOL) turut terdongkrak 0,1% ke US$ 152 per koin.

RUU Pajak Pro-Kripto

Pendorong utama penguatan pasar datang dari Senat AS, di mana Senator Cynthia Lummis dari Wyoming mengajukan draft RUU pajak kripto yang berpotensi merevolusi perlakuan pajak atas aset digital di negara tersebut.

RUU ini mengusulkan pembebasan pajak untuk transaksi aset digital dengan keuntungan hingga US$ 300 per transaksi, dengan batas tahunan sebesar US$ 5.000.

Donasi amal dan perjanjian peminjaman aset kripto juga akan dikecualikan dari pajak.

Tak hanya itu, hadiah dari aktivitas mining dan staking tidak akan dikenakan pajak hingga aset tersebut dijual.

“Ini adalah regulasi yang seimbang dan visioner, yang memungkinkan inovasi tetap berjalan tanpa membebani warga dengan risiko pajak tak disengaja,” ujar Lummis dalam pernyataannya.

Ancaman Siber Masih Bayangi

Di tengah euforia pasar, Koi Security mengingatkan pengguna akan kampanye phishing besar-besaran yang menyasar pengguna Mozilla Firefox. Sebanyak lebih dari 40 ekstensi palsu yang meniru dompet kripto populer seperti MetaMask, Trust Wallet, dan Coinbase, ditemukan mencuri data pengguna secara diam-diam.

“Ini adalah serangan yang masif dan masih berlangsung. Ekstensi jahat ini secara aktif menyedot data dari dompet kripto pengguna,” tegas Koi Security. (alf)

 

DJP Jatim II Gandeng Kejati dan DPMD Jombang Awasi Pajak Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II terus memperkuat sinergi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Jombang dalam memastikan kepatuhan pajak pemerintah desa. Melalui kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kewajiban Perpajakan Instansi Pemerintah Desa (IPDes), sebanyak 69 kepala desa dari Kabupaten Jombang dikumpulkan di Ruang Bung Tomo, Pemkab Jombang, Kamis (3/7/2025).

Kegiatan ini diinisiasi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa pengelolaan dana desa tak lepas dari tanggung jawab perpajakan. Kepala DPMD Jombang, Sholahuddin Hadi Sucipto, menekankan pentingnya aspek administrasi pajak dalam tata kelola desa. “Aspek perpajakan harus menjadi perhatian serius agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan terhindar dari penyimpangan,” tegasnya.

Kepala KPP Pratama Jombang, Syaiful Rakhman, menyebut IPDes memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara. “Kami ingin kerja sama ini terus ditingkatkan. Pelayanan kami harus makin baik, dan kesadaran pajak desa pun makin tumbuh,” ucapnya.

Dalam paparannya, Koordinator Kolaborasi PPNS DJP Jatim II, Paduanta Hutahayan, menjelaskan tanggung jawab pajak desa dan risiko pidana jika kewajiban tidak dipenuhi. Hal ini diperkuat oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Windhu Sugiarto, yang mengingatkan para kepala desa akan potensi kerugian negara bila pajak tidak disetor.

“Kami ingin para kepala desa memahami sepenuhnya konsekuensi hukum agar tak terjerumus dalam pelanggaran perpajakan,” kata Windhu dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7/2025).

Sebagai bentuk komitmen bersama, kegiatan ditutup dengan penandatanganan Berita Acara Kolaborasi Penegakan Hukum oleh perwakilan kepala desa, KPP Pratama Jombang, dan Tim Kolaborasi PPNS DJP Jatim II. Dokumen ini menjadi pijakan kuat dalam memastikan pemenuhan kewajiban pajak dana desa periode 2021–2025.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jatim II, Agustin Vita Avantin, menegaskan bahwa kegiatan serupa akan digelar di seluruh wilayah kerja DJP Jatim II. “Kami maksimalkan kolaborasi dengan Kejati untuk memastikan aparat desa tak terjerat sanksi pidana akibat kelalaian perpajakan,” ujarnya.

Dengan pendekatan kolaboratif dan preventif, DJP Jatim II berharap kepatuhan perpajakan di tingkat desa dapat terjaga, sekaligus menghindarkan pemerintah desa dari jerat hukum yang merugikan pembangunan di akar rumput. (bl)

 

AOTCA 2025 Resmi Dibuka, Ruston Tambunan Ajak Anggota IKPI Berwawasan Global

IKPI, Jakarta: Presiden Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA), Ruston Tambunan, secara resmi mengumumkan pembukaan pendaftaran untuk AOTCA General Meeting dan International Tax Conference 2025 yang akan digelar di The Soaltee Kathmandu, Nepal, pada 18–21 November 2025. Pendaftaran telah dibuka sejak 1 Juli 2025 melalui laman resmi www.aotca2025.org.

Dalam pernyataannya Jumat (4/7/2025), Ruston menekankan bahwa konferensi ini bukan sekadar ajang tahunan, melainkan forum strategis bagi para profesional pajak dari kawasan Asia dan Oceania untuk mendalami isu-isu perpajakan terkini dan membangun jejaring internasional.

Ia menegaskan, tiga topik utama akan menjadi sorotan dalam konferensi tahun ini:

• Perkembangan kebijakan dan etika profesi perpajakan di negara berkembang

• Transformasi digital dan tantangan implementasi teknologi oleh otoritas pajak

• Tren regulasi perpajakan global yang semakin kompleks dan dinamis

Sebagai bagian dari 19 organisasi anggota AOTCA yang mewakili 15 negara, Ruston mendorong Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk berpartisipasi aktif, tidak hanya secara institusional, tetapi juga dengan melibatkan sebanyak mungkin anggotanya.

“Menjadikan IKPI sebagai organisasi profesional perpajakan kelas dunia hanya mungkin bila anggotanya juga mempunyai pengetahuan, pergaulan serta mampu memiliki wawasan dan bertindak secara global,” kata Ruston.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan dalam konferensi ini akan memberikan berbagai manfaat strategis, antara lain akses langsung ke perkembangan kebijakan perpajakan internasional, peluang berbagi praktik terbaik, serta kesempatan membangun sinergi lintas yurisdiksi yang sangat penting dalam menghadapi tantangan harmonisasi pajak di era digital dan ekonomi global.

Menurutnya, konferensi ini juga diharapkan menjadi wadah dialog antarnegara yang memperkuat posisi profesi konsultan pajak sebagai mitra strategis otoritas dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil, efisien, dan adaptif.

Informasi selengkapnya mengenai agenda dan tata cara pendaftaran tersedia di situs resmi AOTCA: www.aotca2025.org. (bl)

Tak Hanya untuk Anggota, IKPI Buka Edukasi Pajak Gratis bagi Publik via Webinar

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) resmi meluncurkan program Edukasi Pajak yang digelar secara rutin setiap hari Kamis pukul 14.00–16.00 WIB. Program ini ditujukan bagi anggota IKPI maupun masyarakat umum, dan diselenggarakan secara daring tanpa dipungut biaya.

Program perdana bertema “Sengketa Perpajakan” ini menghadirkan Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, sebagai narasumber.

Selain sebagai konsultan pajak, Vaudy juga dikenal sebagai pemegang sertifikasi ahli kepabeanan, serta kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Webinar ini dimoderatori oleh Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Nuryadin Rahman.

“Edukasi pajak ini akan kita adakan rutin tiap Kamis, pukul 14.00-16.00 WIB. Ini penting karena peraturan perpajakan itu sangat dinamis, berubah-ubah terus. Wajib pajak harus update agar tak bermasalah di kemudian hari,” ujar Nuryadin, seusai acara.
Nuryadin menambahkan bahwa edukasi ini tidak hanya ditujukan untuk internal IKPI saja, tapi terbuka luas untuk masyarakat umum. Dalam sebulan, akan ada empat topik berbeda yang dibahas, menghadirkan narasumber yang beragam dari kalangan ahli perpajakan nasional. Peserta juga bisa aktif bertanya dan berdiskusi langsung seperti dalam seminar interaktif.

“Ini bukan podcast, bukan FGD, Ini benar-benar seminar edukatif dua arah secara daring. Kita buka tanya-jawab, semua bisa ikut terlibat. Dan yang terpenting: gratis dan terbuka untuk siapa saja,” tegasnya.

Pada webinar perdana, lebih dari 500 peserta terpantau mengikuti acara tersebut. Bahkan, antusiasme terlihat dari komunikasi dua arah atara narasumber dan peserta webinar.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, juga menekankan pentingnya kegiatan edukasi ini sebagai bagian dari misi profesi konsultan pajak untuk mencerdaskan publik.

“Penting bagi masyarakat untuk terus menambah wawasan dalam memenuhi kewajiban dan melaksanakan hak perpajakannya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya,” kata Jemmi.

Menurut Jemmi, sarana edukasi dan sosialisasi yang dipersembahkan oleh IKPI, merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi profesi untuk memberikan wawasan dan pengetahuan yang tepat bukan hanya kepada anggota, tetapi juga kepada masyarakat luas.

Dengan banyaknya peserta webinar perdana tersebut, ia optimistis bahwa program ini akan menjadi kanal utama pencerdasan publik di bidang perpajakan. Edukasi ini juga menjadi bentuk nyata dari semangat yang diusung oleh IKPI, yaitu “IKPI Hadir untuk Nusa Bangsa”, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Umum Vaudy Starworld.

“Dengan masyarakat yang tercerahkan, kita berharap kepatuhan pajak meningkat. Masyarakat jadi sadar membayar pajak bukan karena takut, tapi karena paham hak dan kewajibannya,” kata Jemmi.

Ia menegaskan, untuk informasi dan tautan Zoom untuk mengikuti sesi edukasi ini akan disebarkan secara terbuka oleh panitia melalui kanal resmi IKPI setiap minggunya. (bl)

en_US