Gugatan di Pengadilan Pajak dalam perspektif Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024

Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2024 Tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2024 yang salah satu tujuannya untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi keputusan.

Pada lampiran di bagian E Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara di poin nomor 4 Sengketa Pajak huruf b “ Upaya Hukum bagi Wajib Pajak yang Tidak Puas Terhadap Materi/Isi Ketetapan Jumlah Pajak “ disebutkan ………………………

Upaya hukum bagi wajib pajak yang tidak puas terhadap isi/materi ketetapan jumlah pajak adalah melalui keberatan/banding berdasarkan Pasal 25 jo Pasal 27 UU KUP . Pemeriksaan tentang kewenangan, prosedur dan/atau pelaksanaan penerbitan putusan atau ketetapan pajak dan semua keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 diajukan melalui gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP

Perlu diketahui bahwa pengajuan gugatan khusus yang menyangkut penerbitan putusan atau ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedur sudah diatur berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d jo Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, misalnya untuk penerbitan SKP ataupun Surat Keberatan yang tidak sesuai prosedur.

Dalam SEMA No.2 Tahun 2024 ini lebih menekankan pada pengajuan gugatan atas Surat Keputusan Pajak (SKP) yang mengandung ketidakpuasan isi/materi berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (2) huruf b UU KUP supaya terdapat suatu pedoman bagi para Majelis dalam memutus suatu perkara gugatan di Pengadilan Pajak.

Penegasan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Pajak diatas dapat dimaknai bahwa sejak SEMA ini ditetapkan maka hasil putusan atas setiap gugatan terhadap SKP berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf b UU KUP yang mengandung materi (diluar prosedur penerbitan) akan ditolak.

Sebelumya dapat ditemukan banyak putusan Pengadilan terkait gugatan berdasarkann Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang mengandung isi/ materi telah dikabulkan Majelis, sehingga praktis putusan yang diucapkan setelah SEMA ini ditetapkan akan menolak semua gugatan terhadap Surat Ketetapan Pajak yang mengandung materi.

Selanjutnya timbul pertanyaan, akankah kedepannya berimplikasi atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan berdasarkann Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung materi (sengketa) tersebut ? Sebagaimana diketahui terdapat beberapa putusan atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan yang mengandung materi (sengketa) dibahas materinya oleh Majelis, bahkan ada yang dikabulkan.

Lalu bagaimana halnya apabila gugatan dilakukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan (misal STP) berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf a, huruf c UU KUP terkait pengurangan/ penghapusan sangsi administrasi dan pengurangan/ pembatalan STP apakah juga berimplikasi sehubungan ditetapkannya SEMA No.2 Tahun 2024 ini, seperti apa implikasinya ?

Mengacu pada Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yang menjadi dasar dilakukan gugatan apabila timbulnya dua keputusan yaitu keputusan perpajakan dan keputusan pelaksanaan keputusan perpajakan, lalu UU Pengaadilan Pajak dan Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-07/PP/2018 , Pengadilan Pajak hanya berwenang untuk memeriksa prosedur penerbitan Surat Keputusan, bukan materi atau isi SKP. Pengadilan Pajak memastikan seluruh prosedur pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan

Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP memberikan kewenangan diskresioner kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menunjukkan kewenangan diskresioner tersebut. Kewenangan ini juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak, telah ditentukan perbedaan yang tegas antara upaya hukum banding dan gugatan. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap Keputusan Keberatan atau keputusan lain yang dapat diajukan banding sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Adapun gugatan adalah upaya hukum yang diajukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan tertentu yang secara eksplisit dapat digugat berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP, banding merupakan upaya hukum utama yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan materi atas ketetapan pajak. Dengan kata lain, jika Wajib Pajak tidak setuju atas jumlah, dasar pengenaan, atau kewajiban perpajakan yang ditetapkan dalam SKPN, saluran yang semestinya digunakan adalah melalui pengajuan keberatan terlebih dahulu, dan apabila tidak puas terhadap keputusan keberatan tersebut, barulah diajukan banding ke Pengadilan Pajak;

Gugatan menurut Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan UU Pengadilan Pajak pada prinsipnya diperuntukkan bagi pengujian atas prosedur penerbitan keputusan tertentu, tindakan penagihan, atau keputusan lain yang dapat digugat secara administrasi, bukan untuk menilai ulang substansi atau materi pokok suatu ketetapan pajak. Dengan demikian, Gugatan tidak diperuntukkan untuk membahas materi utang pajak atau SKP secara substansial;

Proses hukum pajak mengutamakan kepastian hukum dan kemanfaatan. UU Pengadilan Pajak menekankan penyelesaian sengketa pajak secara cepat, sederhana, efisien, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan mengenai batas waktu pengajuan Banding (3 bulan) dan Gugatan (30 hari atau 14 hari) telah ditetapkan secara tegas, termasuk pengaturan kewenangan dan ruang lingkup masing-masing upaya hukum;

bahwa dengan membiarkan materi sengketa pajak dibawa ke ranah Gugatan, maka kepastian hukum akan terganggu. Gugatan yang pada dasarnya ditujukan untuk memeriksa prosedur akan berubah menjadi forum untuk menguji materi ketetapan pajak, mengacaukan sistem penanganan sengketa pajak yang telah diatur dengan rinci. Hal ini dapat menyebabkan sengketa berlarut-larut, mengaburkan fungsi utama banding, serta menghambat kepastian dan kelancaran penerimaan negara;

Menimbang bahwa penyelesaian materi melalui Gugatan akan berakibat pada tereduksinya fungsi dan nilai upaya hukum keberatan dan banding. Banding telah ditentukan sebagai upaya hukum utama untuk menyelesaikan perselisihan materi, karena di dalam proses banding terdapat jangka waktu dan prosedur yang memungkinkan materi ketetapan pajak dipertimbangkan secara komprehensif. Sedangkan Gugatan dengan jangka waktu dan lingkup yang terbatas, serta tidak adanya penangguhan jatuh tempo utang pajak, tidak dirancang untuk menyelesaikan sengketa materi;

bahwa selain itu, sistem pajak menganut self assessment, di mana tanggung jawab penghitungan dan pembayaran pajak berada pada Wajib Pajak, dan koreksi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak menjadi objek utama penyelesaian melalui keberatan dan banding. Apabila materi ini dibawa ke jalur Gugatan, maka upaya hukum yang telah dirancang dalam sistem hukum pajak untuk menjaga keseimbangan dan kepastian akan terganggu;

tujuan pembedaan upaya hukum gugatan dan banding telah dinyatakan Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan suatu surat ketetapan pajak yang tidak benar, sehingga Pengadilan Pajak tidak dapat melakukan pemeriksaan atas materi pajak dalam upaya hukum Gugatan;

Majelis hanya memastikan sepanjang pihak Tergugat sudah menyelenggarakan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka tidak terdapat cacat prosedur yang dapat dibebankan kepada Tergugat. Di sisi lainm perlunya bukti kuat dari Penggugat untuk mendukung dalilnya apabila ditengarai adanya prosedur penerbitan yang dilanggar , tidak sesuai dengan ketentuang perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal Penggugat tidak melakukan upaya hukum keberatan untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas materi koreksi suatu SKP, Majelis dapat menilai tidak dilakukannya upaya hukum dalam jangka waktu tersebut menunjukkan persetujuan Penggugat atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Tergugat;

Lalu bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Surat Edaran adalah naskah dinas, tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak.

Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan merupakan suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga SEMA ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Mahkamah Agung, apalagi peraturan berhierarki lainnya.

SEMA ini merupakan pedoman bagi Majelis Hakim di Pengadilan Pajak untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan perpajakan diatas, SEMA ini tentunya tidak memiliki unsur sanksi apabila tidak diterapkan oleh Majelis.

Sepengetahuan penulis putusan-putusan sehubungan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang diucap semenjak SEMA ini ditetapkan, sudah menolak gugatan yang mengandung isi/materi ketetapan, Majelis Pengadilan Pajak sudah berpedoman pada SEMA ini. Tinggal selanjutnya mari kita kawal bersama, bagaimana pelaksanaannya di waktu-waktu yang akan datang.

Lalu bagaimana dengan nasib putusan Pengadilan Pajak terkait gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP maupun gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung isi/materi dimana sudah dikabulkan sebelumya, apakah jika dibawah ke ranah Peninjauan Kembali , Penggugat kemudian akan di kalahkan ?

Pada akhirnya timbul pertanyaan dalam benak kita, apabila gugatan atas isi/materi harus ditolak, namun penerbitan putusan SKP itu sendiri berasal dari materi yang nyata-nyata jelas tidak sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimanakah letak keadilan dan kepastian hukum bagi Penggugat ? Disatu sisi pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi harus ditolak, disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi dapat dikabulkan.

Penulis : Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HUT Jakarta ke-498, Pemprov Gratiskan Transportasi Umum dan Bebaskan Denda Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta menyiapkan sejumlah kebijakan spesial dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Ibu Kota pada 22 Juni 2025. Salah satu langkah utamanya adalah menggratiskan layanan transportasi umum serta memberikan pembebasan denda untuk berbagai jenis pajak daerah.

Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan bentuk apresiasi kepada warga sekaligus upaya mendorong partisipasi publik dalam perayaan tahunan kota. “Setiap ulang tahun Jakarta, selain transportasi yang nanti kami gratiskan, ada juga istilahnya dibebaskan dari pajak-pajak dendanya,” ujar Pramono usai membuka Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2025 di Lippo Mall Nusantara, Selasa (10/6/2025).

Terkait jenis pajak yang akan dibebaskan dari denda serta masa berlaku insentif tersebut, Pramono memastikan pengumuman resmi akan segera disampaikan oleh pihak Pemprov dalam waktu dekat.

Tak hanya itu, rangkaian perayaan HUT Jakarta tahun ini akan semakin semarak dengan berbagai pertunjukan seni dan budaya Betawi yang digelar di sepanjang area car free day (CFD), meliputi kawasan Dukuh Atas, Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, dan Bundaran Hotel Indonesia.

Puncaknya, pada Minggu (29/6/2025), Pemprov Jakarta akan menyelenggarakan karnaval budaya besar-besaran yang menghadirkan 5.000 penampilan kesenian Betawi.

Sementara itu, di Kepulauan Seribu, festival cahaya bertajuk Jakarta Illumination Island Festival 2025 akan berlangsung di Pulau Pramuka.

Masyarakat juga bisa menikmati hiburan tambahan di kawasan Ancol, karena PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk akan menggratiskan tiket masuk pada 10–20 Juni 2025 mulai pukul 17.00 WIB.

Tidak ketinggalan, Pemprov Jakarta turut menghadirkan sederet agenda seni dan budaya selama satu bulan penuh, termasuk car free night sebagai ruang alternatif bagi warga yang ingin berolahraga di malam hari.

Perayaan HUT Jakarta ke-498 kali ini dijanjikan lebih inklusif dan meriah, sebagai bentuk perayaan identitas, sejarah, dan semangat kebersamaan warga kota. (alf)

 

 

DJP Kalselteng Serahkan Dua Tersangka Pidana Pajak Rp20,4 Miliar ke Pengadilan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) resmi menyerahkan dua tersangka kasus pidana perpajakan berinisial HP dan YD ke Pengadilan Negeri Palangka Raya, disertai barang bukti yang relevan. Kedua tersangka diduga menyebabkan kerugian negara yang signifikan, dengan nilai mencapai Rp20,4 miliar.

Langkah hukum ini diambil setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada 9 April 2025. Penyerahan kepada pengadilan dilakukan sebagai bagian dari tahap II proses penyidikan (P-22).

“Tindakan ini merupakan kelanjutan dari proses hukum setelah P-21 ditetapkan, sebagai bagian dari komitmen kami dalam menegakkan kepatuhan pajak,” demikian pernyataan resmi DJP Kalselteng, dikutip Selasa (10/6/2025).

HP yang menjabat sebagai Direktur Utama dan YD sebagai Komisaris Utama di PT SMJL, diduga dengan sengaja tidak melaporkan dan/atau tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut selama periode Januari 2018 hingga Desember 2020.

Atas perbuatannya, keduanya dijerat dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan/atau huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Mereka terancam hukuman penjara minimal enam bulan hingga enam tahun, serta denda antara dua hingga empat kali lipat dari jumlah pajak yang tidak dibayar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa penegakan hukum dilakukan dengan mengedepankan prinsip ultimum remedium, yakni pendekatan pidana sebagai langkah terakhir setelah upaya administratif tidak diindahkan.

“Langkah hukum ini diambil bukan hanya untuk menindak, tapi juga sebagai bentuk edukasi kepada Wajib Pajak agar lebih patuh dan memahami kewajiban perpajakan secara utuh,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap sinergi lintas lembaga dalam menangani kasus ini. “Kami berterima kasih atas dukungan Korwas PPNS Polda Kalimantan Tengah, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, dan Pengadilan Negeri Palangka Raya yang telah bersinergi demi kelancaran proses hukum ini,” katanya. (alf)

 

Mulai 2026 Hawaii Pungut Pajak “Green Fee” dari Wisatawan

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Januari 2026, para wisatawan yang menginap di Hawaii akan dikenai pungutan baru bernama Green Fee, sebuah pajak iklim yang dirancang untuk membantu negara bagian itu menangani dampak perubahan iklim. Pajak ini berlaku bagi tamu hotel, penginapan jangka pendek, dan bahkan penumpang kapal pesiar.

Langkah ini resmi diadopsi usai Gubernur Josh Green menandatangani Act 96, yang secara efektif menaikkan Transient Accommodation Tax (TAT) sebesar 0,75 persen menjadi total 11 persen. Sebagai ilustrasi, untuk satu malam menginap dengan tarif 300 dolar AS (sekitar Rp4,8 juta), wisatawan akan membayar tambahan sekitar 3 dolar AS atau Rp48 ribu sebagai Green Fee.

“Hari ini, Hawaii menjadi negara bagian pertama yang menerapkan Green Fee. Ini adalah komitmen nyata untuk menjaga sumber daya alam kita yang tak ternilai,” ujar Green dalam pernyataannya, dikutip, Selasa (10/6/2025).

Ia menekankan bahwa sebagai wilayah kepulauan, Hawaii sangat rentan terhadap bencana iklim dan tak bisa terus menunggu hingga bencana berikutnya datang.

Pajak baru ini diperkirakan dapat menghasilkan pemasukan lebih dari 100 juta dolar AS per tahun—setara lebih dari Rp1,6 triliun yang akan digunakan untuk berbagai program lingkungan. Mulai dari pemulihan pantai yang terkikis di Waikīkī dan Maui, pembangunan jalur sekat api guna mencegah kebakaran hutan, hingga pemberantasan spesies invasif seperti katak coqui dan semut api kecil.

Pemerintah juga berencana membangun infrastruktur pesisir tahan banjir dan menyediakan lapangan kerja hijau bagi generasi muda.

Kebijakan ini lahir dari kesadaran akan pentingnya tindakan preventif. Tragedi kebakaran di Lahaina pada 2023, yang menewaskan lebih dari 100 orang dan menyebabkan kerugian 13 miliar dolar AS, menjadi pemicu kuat di balik dorongan untuk perubahan kebijakan.

“Kita harus menyeimbangkan antara industri pariwisata dan perlindungan lingkungan. Inilah cara paling efektif untuk melindungi kehidupan masyarakat kita, dan warisan untuk generasi mendatang,” tambah Green.

Meski bertujuan mulia, kebijakan ini tak lepas dari kritik. Grassroots Institute of Hawaiʻi menilai bahwa pungutan ini juga akan memberatkan penduduk lokal yang kerap bepergian antarpulau untuk bekerja atau keperluan keluarga. “Pada kenyataannya, ini bukan hanya pajak untuk wisatawan. Warga lokal pun terkena dampaknya,” kata Malia Hill, Direktur Kebijakan lembaga tersebut.

Namun, Green tetap yakin Green Fee tidak akan memengaruhi minat wisatawan. Biaya liburan ke Hawaii memang sudah tergolong tinggi, dan wisatawan yang datang umumnya siap membayar lebih untuk pengalaman alam yang luar biasa.

“Green Fee mencerminkan kuleana tanggung jawab bersama kita untuk menjaga pulau ini. Kalau kita ingin Hawaii tetap indah dan lestari untuk anak cucu kita, inilah langkah yang harus diambil sekarang,” ujarnya.(alf)

 

 

Status KSWP “Tidak Valid”, DJP Beberkan Penyebab dan Cara Cek Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan penjelasan resmi terkait sejumlah Wajib Pajak yang mengeluhkan status “Tidak Valid” saat melakukan pengecekan Keterangan Status Wajib Pajak (KSWP) melalui sistem Coretax.

Penjelasan ini muncul setelah salah satu pengguna media sosial menyampaikan keluhan kepada akun resmi DJP. Dalam cuitannya, warganet tersebut mengungkapkan kebingungan lantaran status KSWP miliknya masih “tidak valid” meskipun telah melaporkan pajak, dan sempat diarahkan untuk menghubungi Kantor Pajak maupun Kring Pajak.

Menanggapi hal itu, DJP menegaskan bahwa status “Valid” dalam KSWP hanya diberikan kepada Wajib Pajak yang memenuhi dua syarat utama: data identitas (nama dan NPWP) harus sesuai dalam sistem DJP, serta telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk dua tahun terakhir sesuai ketentuan perundang-undangan.

“Salah satu alasan umum mengapa KSWP tidak valid adalah karena SPT Tahunan PPh untuk dua tahun pajak terakhir belum disampaikan,” terang DJP melalui admin @kring_pajak, dikutip, Selasa (10/6/2025)

Begini Cara Mengecek Melalui Coretax dan DJP Online

DJP mengimbau masyarakat untuk melakukan pengecekan status pelaporan SPT secara mandiri melalui platform Coretax dengan langkah berikut:

1. Kunjungi laman https://coretaxdjp.pajak.go.id;

2. Masuk ke menu ‘Surat Pemberitahuan (SPT)’;

3. Klik ‘SPT Dilaporkan’;

4. Pilih ‘SPT Tahunan PPh’ pada jenis surat.

Jika tahun buku yang digunakan adalah Januari–Desember, maka wajib dicek apakah SPT Tahunan PPh untuk tahun 2023 dan 2024 sudah dilaporkan.

Selain melalui Coretax, pengecekan juga bisa dilakukan melalui DJPOnline, dengan cara:

  • Klik menu ‘Lapor’;
  • Pilih ‘e-Filing’ atau ‘e-Form PDF’;
  • Masuk ke ‘Arsip SPT’ untuk melihat status laporan.

“Jika ternyata SPT Tahunan PPh untuk tahun 2023 dan/atau 2024 belum dilaporkan, kami sarankan segera menyampaikan laporan tersebut,” imbau DJP.

Sebagai catatan, KSWP merupakan prosedur konfirmasi yang wajib dilakukan sebelum Wajib Pajak bisa mengakses layanan publik tertentu di bawah Kementerian Keuangan. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK.01/2020, yang menegaskan pentingnya verifikasi status perpajakan sebelum pemberian layanan. (alf)

 

 

 

DJP Rombak Aturan PKP Risiko Rendah, Restitusi Pajak Bisa Lebih Cepat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan penyempurnaan regulasi perpajakan melalui terbitnya Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor PER-6/PJ/2025. Regulasi baru ini secara khusus mengatur ulang ketentuan mengenai penetapan Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah yang berhak mengajukan restitusi atau pengembalian kelebihan pajak dengan skema percepatan.

PER-6/PJ/2025 sekaligus merevisi dan menggantikan ketentuan sebelumnya yang tertuang dalam PER-4/PJ/2021. Penyesuaian ini dilakukan untuk menyelaraskan dengan mekanisme restitusi dipercepat sebagaimana diatur dalam PMK 39/2018 dan perubahannya.

Secara umum, PKP berisiko rendah adalah wajib pajak yang dianggap memenuhi kriteria tertentu dan dapat mengajukan pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) setiap masa pajak dengan prosedur yang lebih ringkas. Namun, tidak semua wajib pajak dapat menikmati fasilitas ini.

Dalam beleid terbaru ini, DJP menetapkan sembilan kategori wajib pajak yang bisa masuk dalam klasifikasi PKP berisiko rendah. Penambahan kategori ini merupakan penguatan atas ketentuan yang telah diatur dalam PMK 117/2019, yang merupakan revisi dari PMK 39/2018.

Menariknya, PER-6/PJ/2025 juga mempertegas bahwa PKP yang termasuk dalam kelompok wajib pajak dengan “persyaratan tertentu” otomatis dianggap sebagai PKP berisiko rendah, tanpa perlu mengajukan permohonan secara terpisah. Ketentuan ini telah lebih dulu ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (8) PMK 39/2018 yang terakhir diubah dengan PMK 119/2024.

Adapun empat jenis wajib pajak dengan persyaratan tertentu yang dimaksud, berdasarkan Pasal 9 ayat (2) PMK 39/2018 s.t.d.d PMK 209/2021, adalah sebagai berikut:

• Orang pribadi non-usahawan yang mengajukan restitusi atas SPT Tahunan PPh lebih bayar.

• Orang pribadi dengan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang pengajuan restitusi tidak melebihi Rp100 juta.

• Badan usaha yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar hingga Rp1 miliar.

• PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar dengan nominal maksimal Rp5 miliar.

Selain itu, aturan baru ini juga memperbarui tata cara pengembalian pajak lebih bayar bagi individu yang termasuk dalam kategori wajib pajak dengan persyaratan tertentu. Sebelumnya, hal ini diatur dalam PER-5/PJ/2023.

Langkah reformasi ini mencerminkan upaya DJP untuk menyederhanakan birokrasi perpajakan sekaligus mendorong kepatuhan sukarela melalui insentif administratif. Kecepatan dan kepastian dalam proses restitusi diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan nasional.

Di sisi lain, media nasional hari ini juga menyoroti sejumlah isu hangat lainnya, seperti wacana pemajakan bagi influencer, meningkatnya tingkat kemiskinan, hingga penantian pelaku usaha mikro terhadap kepastian teknis tarif final PPh UMKM 0,5 persen. (alf)

 

Wajib Pajak Tertentu Kini Wajib Lapor Perhitungan PPh Pasal 25, Ini Ketentuannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkenalkan kewajiban baru bagi sejumlah kategori wajib pajak terkait pelaporan penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, serta diperkuat dengan PER-11/PJ/2025 yang diterbitkan oleh DJP.

Mulai tahun ini, wajib pajak tertentu diwajibkan menghitung angsuran PPh Pasal 25 menggunakan mekanisme khusus, serta menyampaikan laporan hasil penghitungan tersebut secara berkala kepada DJP.

Berdasarkan Pasal 90 PER-11/PJ/2025, kategori wajib pajak yang wajib menyampaikan laporan meliputi:

  • Bank
  • Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
  • Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
  • Perusahaan yang sudah go public

Wajib pajak sektor jasa keuangan non-bank, seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Ketentuan pelaporan dibedakan berdasarkan jenis wajib pajaknya:

Bank: Wajib melaporkan setiap bulan, berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Perusahaan publik dan lembaga jasa keuangan non-bank lainnya: Melaporkan setiap triwulan.

BUMN dan BUMD: Pelaporan dilakukan setahun sekali, mengacu pada rencana kerja dan anggaran pendapatan yang telah disetujui dalam RUPS.

DJP menetapkan batas akhir penyampaian laporan sebagai berikut:

  • 20 hari setelah akhir bulan bagi bank.
  • 20 hari setelah akhir triwulan bagi perusahaan publik dan lembaga keuangan lainnya.
  • 20 hari setelah akhir tahun pajak sebelumnya bagi BUMN dan BUMD.

Format dan Cara Lapor

Pelaporan dilakukan dalam bentuk dokumen elektronik, sesuai format yang tercantum dalam lampiran PER-11/PJ/2025. Format tersebut menyesuaikan dengan jenis wajib pajak dan periodisasi pelaporan.

Pemberlakuan regulasi ini diharapkan meningkatkan transparansi dan akurasi penghitungan angsuran pajak, khususnya di sektor-sektor strategis yang memiliki peran besar dalam penerimaan negara. (alf)

 

 

 

 

 

Stimulus Pemerintah Dinilai Tak Sentuh Kelas Menengah, Pajak Terancam Melemah

IKPI, Jakarta: Pemerintah telah menyalurkan stimulus ekonomi sebesar Rp24,44 triliun, namun menuai kritik tajam dari kalangan ekonom. Pasalnya, stimulus yang dirancang untuk menggairahkan perekonomian nasional dinilai luput menyasar kelompok masyarakat kelas menengah penopang utama penerimaan pajak negara.

Dari total anggaran tersebut, Rp23,59 triliun bersumber dari APBN, sementara sisanya berasal dari pendanaan di luar APBN sebesar Rp850 miliar. Lima jenis stimulus disiapkan, termasuk subsidi transportasi, diskon tarif tol, hingga bantuan sosial dan pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, fokus semacam ini berpotensi menimbulkan risiko jangka menengah bagi keuangan negara. Ia menegaskan, pemerintah terlalu terpaku pada kelompok bawah dan cenderung mengabaikan kontribusi vital kelas menengah dalam menjaga stabilitas fiskal.

“Kelompok masyarakat menengah itu kan pembayar pajak. Kalau mereka sampai turun kelas karena daya beli melemah, maka kemampuan mereka membayar pajak ikut hilang,” ujarnya di Jakarta, Senin (9/6/2025).

Esther menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia mengalami tren penurunan. Hal ini memperburuk potensi penurunan penerimaan pajak, terutama dari sektor konsumsi dan penghasilan.

Kelas Menengah: Tulang Punggung Penerimaan Pajak

Pajak adalah tulang punggung belanja negara. Ketika kelas menengah kehilangan daya beli, belanja mereka turun, dan kontribusi pajak ikut menyusut. Situasi ini dapat memicu ketidakseimbangan fiskal di saat pemerintah sedang memperluas belanja sosial.

“Stimulus yang menyasar bawah memang penting, tapi jangan abaikan yang menopang negara. Tanpa kelas menengah, fondasi pajak akan rapuh,” tegas Esther.

Rincian Stimulus Ekonomi 2025:

1. Diskon Transportasi (Rp940 miliar)

Tiket Kereta: Diskon 30%

Tiket Pesawat: PPN DTP 6%

Tiket Laut: Diskon 50%

Berlaku Juni–Juli 2025

2. Diskon Tarif Tol (Rp650 miliar)

Potongan 20% untuk 110 juta pengguna jalan tol saat libur sekolah.

3. Bansos dan Bantuan Pangan (Rp11,93 triliun)

Tambahan Rp200.000 per bulan via Kartu Sembako

Bantuan 10 kg beras untuk 18,3 juta KPM

Meski tujuan stimulus ini jelas, para analis menilai pendekatan pemerintah masih belum holistik. Tanpa strategi yang mencakup pemulihan daya beli kelas menengah seperti keringanan pajak penghasilan, insentif UMKM kelas menengah, atau subsidi pendidikan—penerimaan negara bisa terancam dalam jangka panjang. (alf)

 

 

 

 

Ketua Pengawas IKPI Sampaikan Pandangan Terkait Penunjukan Waketum di Rapat Pleno 

IKPI, Jakarta: Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menyampaikan pandangannya terkait penunjukan Wakil Ketua Umum (Waketum) IKPI oleh Ketua Umum Vaudy Starworld. Dalam rapat pleno yang dihadiri oleh Ketua Umum, anggota pengawas dan jajaran pengurus pusat di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (9/6/2025), Ia menekankan pentingnya keseimbangan dalam struktur kepemimpinan organisasi.

Prianto menyebut bahwa proses penunjukan Waketum tidak sekadar soal mengganti posisi, melainkan keputusan krusial yang akan berdampak pada keberlanjutan dan soliditas organisasi.

Menurutnya, diperlukan keharmonisan antara Ketua Umum dan Wakilnya agar roda organisasi bisa berjalan dengan efektif dan responsif terhadap tantangan yang dihadapi dunia perpajakan nasional.

“Artinya, Pak Vaudy lebih tahu siapa yang cocok untuk mendampinginya dan bisa mengimbangi pembagian tugas dalam menjalankan roda organisasi, baik itu ke eksternal maupun internal, karena penunjukan Waketum kali ini merupakan hak beliau,” ujar Prianto.

Sebagaimana diketahui, sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) IKPI, Pasal 12 Ayat (20) Ketua Umum dapat menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum dalam hal Wakil Ketua Umum berhalangan tetap setelah mendengar pendapat dari Rapat Pleno.

Lebih lanjut, Prianto mengatakan, bahwa setiap pemimpin pasti memiliki kekuatan dan kelemahan. Karena itu, menurutnya, kunci dari keberhasilan organisasi modern bukanlah pada kekuatan individu, melainkan pada kematangan membangun tim yang saling melengkapi. Pada akhirnya, terbentuk chemistry, kekompakan, dan keterpaduan.

“Tidak ada pemimpin yang sempurna. Tapi dengan membentuk tim yang saling melengkapi, kita bisa menutup celah kelemahan dan memaksimalkan potensi organisasi. Maka, dalam konteks penunjukan Waketum, langkah yang paling bijak adalah menempatkan orang yang bisa memperkuat titik-titik kritis itu,” jelasnya.

Prianto mengatakan bahwa Waketum bisa saja berasal dari latar belakang berbeda, baik dari internal kepengurusan yang telah terbentuk, maupun dari pensiunan pejabat Direktorat Jenderal Pajak di luar kepengurusan saat ini. Ia menyebutkan bahwa semua opsi itu sah selama mengacu pada kebutuhan strategis ketua umum dan sesuai ART..

“Apakah Pak Vaudy akan memilih wakil dari kalangan pensiunan DJP, atau dari internal pengurus aktif yang telah memahami ritme organisasi itu bisa disesuaikan dengan kebutuhan beliau,” tambahnya.

Dengan demikian, siapa pun yang nantinya ditunjuk, harapannya adalah ia mampu berkomitmen tinggi, tidak hanya dalam mengisi jabatan, tapi dalam menjaga arah perjuangan organisasi. Keputusan ini harus dilakukan dengan pertimbangan matang demi kinerja optimal.

Menurut Prianto, IKPI saat ini berada dalam momentum penting, di tengah dinamika perpajakan nasional dan internasional yang terus berkembang. Dengan penunjukan Wakil Ketua Umum yang tepat, diharapkan IKPI dapat terus tampil sebagai organisasi profesional yang menjadi mitra strategis pemerintah dan pelaku usaha dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan. (bl)

Ratna Febrina Tegaskan Kewenangan Ketua Umum IKPI Tunjuk Pengganti Waketum yang Berhalangan Tetap

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hukum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ratna Febrina, menegaskan bahwa Ketua Umum IKPI memiliki kewenangan penuh untuk menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum (Waketum) yang mengalami kondisi berhalangan tetap. Penegasan ini disampaikannya dalam Rapat Pleno yang diselenggarakan di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (9/6/2025).

Rapat pleno tersebut dihadiri oleh Ketua Umum IKPI, Ketua Pengawas, Sekretaris Umum serta jajaran pengurus pusat dan anggota pengawas. Agenda utama rapat adalah mendengarkan pembacaan dan interpretasi aturan organisasi yang terkait dengan penggantian posisi Wakil Ketua Umum yang lowong karena alasan tertentu.

Dalam paparannya, Ratna membacakan isi Anggaran Rumah Tangga (ART) IKPI, khususnya Pasal 12 Ayat 20, yang menjadi dasar hukum atas proses pergantian pejabat tinggi di tubuh organisasi tersebut.

“Dalam Pasal 12 Ayat 20 ART IKPI dijelaskan bahwa Ketua Umum memiliki kewenangan untuk menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum dalam hal yang bersangkutan berhalangan tetap. Namun, penunjukan ini harus dilakukan setelah Ketua Umum mendengarkan pendapat dari rapat pleno,” ujar Ratna.

Rapat pleno ini merupakan forum resmi internal organisasi IKPI yang digunakan untuk membahas berbagai kebijakan strategis, termasuk penunjukan dan penggantian pejabat struktural.

Ratna menekankan bahwa rapat yang digelar hari ini merupakan bagian dari proses legal dan prosedural untuk menampung aspirasi dan pendapat dari para pengurus, sebelum Ketua Umum menentukan langkah selanjutnya.

“Hari ini kita menyelenggarakan rapat pleno sebagai bentuk pelaksanaan mekanisme organisasi yang sah. Jadi, keputusan apa pun yang nantinya diambil oleh Ketua Umum memiliki dasar yang kuat, baik secara administratif maupun normatif,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa situasi “berhalangan tetap” sebagaimana disebutkan dalam ART mengacu pada kondisi di mana Wakil Ketua Umum tidak lagi dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara permanen, baik karena alasan kesehatan, hukum, atau sebab-sebab lain yang dianggap memenuhi kriteria ketidakhadiran tetap.

“Penunjukan pengganti bukanlah keputusan sepihak yang tanpa dasar. Ini adalah kewenangan prerogatif Ketua Umum yang diberikan oleh ART, namun tetap harus melewati rapat pleno sebagai bentuk check and balance dalam organisasi,” jelas Ratna.

Dengan demikian, lanjutnya, segala proses yang dijalankan hari ini merupakan bagian dari upaya menjaga stabilitas, keberlanjutan, dan profesionalitas organisasi IKPI di tengah tantangan dinamika perpajakan nasional yang terus berkembang.

Rapat pleno yang berlangsung secara tertib ini juga mendapat apresiasi dari berbagai unsur pengurus pusat. Mereka menyambut baik transparansi dan keterbukaan dalam proses penunjukan pejabat struktural, sekaligus mendorong agar IKPI tetap konsisten menegakkan prinsip tata kelola organisasi yang baik.

Sementara itu, Ketua Umum IKPI belum menyampaikan nama calon pengganti Wakil Ketua Umum yang akan ditunjuk. Namun berdasarkan jalannya rapat dan landasan hukum yang telah disampaikan, diperkirakan keputusan akan diumumkan dalam waktu dekat.

Sekadar informasi, peserta rapat pleno merupakan Pengurus Pusat dan Pengawas IKPI. Hal ini seperti diamanat dalam Anggaran Rumah Tangga (ART). (bl)

en_US