Pemerintah dan DPR Sepakat Jalankan Sistem Pajak Lama dan Coretax Bersamaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersama Komisi XI DPR sepakat untuk kembali menerapkan sistem perpajakan lama sambil tetap menggunakan Coretax System secara bertahap. Langkah ini diambil sebagai upaya mitigasi terhadap implementasi Coretax yang masih dalam tahap penyempurnaan, agar tidak mengganggu penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah mendengarkan penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rapat kerja tertutup. “Kami sudah mendengarkan penjelasan dari Dirjen Pajak dan menyimpulkan bahwa DJP akan kembali menggunakan sistem perpajakan lama,” ujar Misbakhun selepas rapat pada Senin (10/2/2025).

Meski demikian, DJP tetap berkomitmen untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dalam APBN 2025 dengan sistem teknologi informasi yang ada. Pemerintah memastikan bahwa sistem perpajakan apapun yang digunakan tidak akan memengaruhi target kolektivitas pajak.

Mitigasi Risiko dan Penguatan Keamanan Sistem

Dalam rangka mengurangi risiko, DJP menyiapkan roadmap implementasi Coretax yang lebih stabil dan ramah bagi wajib pajak. “DJP wajib memperkuat keamanan siber dalam penyempurnaan sistem Coretax,” tambah Misbakhun.

Selain itu, DJP juga berjanji tidak akan mengenakan sanksi terhadap wajib pajak akibat gangguan sistem Coretax pada 2025.

Sebagai bentuk transparansi, DJP juga diwajibkan untuk secara berkala melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR. “DJP akan menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan dan tanggapan Pimpinan serta Anggota Komisi XI DPR paling lama tujuh hari kerja,” tegasnya.

Keluhan Wajib Pajak

Keputusan ini diambil menyusul banyaknya keluhan dari wajib pajak sejak peluncuran Coretax pada 1 Januari 2025. Para wajib pajak mengeluhkan berbagai permasalahan teknis, seperti akses layanan yang sulit, sistem yang lambat, serta error yang menghambat aktivitas usaha.

Coretax, yang dikembangkan dengan anggaran besar, justru menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Proyek ini pun semakin disorot, terutama karena pemenang tender pengadaan sistem, LG CNS, sebelumnya sempat terlibat sengketa paten. (alf)

 

 

 

PMK 11/2025 Sudah Berlaku, Ini Penjelesan dan Contoh Penghitungannya!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini diundangkan pada tanggal 4 Februari 2025 dan mulai berlaku pada hari yang sama.

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan PPN dengan menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dan besaran tertentu. PMK ini juga menyesuaikan beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan PPN atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, serta Pemanfaatan Barang dan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Pokok-Pokok Peraturan

1. Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak

PMK ini mengatur penggunaan nilai lain sebagai dasar pengenaan PPN untuk berbagai jenis transaksi, termasuk penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Nilai lain ini dihitung sebesar 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor, setelah dikurangi laba kotor atau komponen tertentu lainnya.

Contohnya, untuk pemberian cuma-cuma BKP atau JKP, nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari harga jual setelah dikurangi laba kotor. Sementara itu, untuk penyerahan film cerita impor, nilai lain ditetapkan sebesar 11/12 dari perkiraan hasil rata-rata per judul film.

2. Besaran Tertentu PPN

PMK ini juga mengatur besaran tertentu PPN yang berlaku untuk beberapa jenis transaksi, seperti penyerahan Liquefied Petroleum Gas (LPG) tertentu, hasil tembakau, pupuk bersubsidi, dan emas perhiasan. Besaran tertentu ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari tarif PPN yang berlaku.

Misalnya, untuk penyerahan LPG tertentu, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 1,1/101,1 dari selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran. Sementara itu, untuk penyerahan emas perhiasan, besaran tertentu PPN ditetapkan sebesar 10% dari 11/12 tarif PPN yang berlaku.

3. Penyesuaian Ketentuan Sebelumnya

PMK ini mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru dalam beberapa peraturan menteri keuangan sebelumnya, termasuk PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, PMK Nomor 62/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan LPG Tertentu, dan PMK Nomor 63/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Contoh Penghitungan PPN

1. Penghitungan PPN dengan Nilai Lain

PT ABC memberikan cuma-cuma tetikus komputer kepada PT DEF dengan harga jual Rp200.000,00 dan laba kotor Rp50.000,00. Dasar pengenaan pajak dihitung sebesar 11/12 dari (Rp200.000,00 – Rp50.000,00) = Rp137.500,00. PPN yang terutang adalah 12% dari Rp137.500,00, yaitu Rp16.500,00.

2. Penghitungan PPN dengan Besaran Tertentu

PT PQR menyerahkan 5.000 tabung LPG tertentu kepada CV STU dengan harga jual agen Rp14.000,00 per tabung dan harga jual eceran Rp12.750,00 per tabung. Dasar pengenaan pajak adalah selisih lebih antara harga jual agen dan harga jual eceran, yaitu Rp6.250.000,00. PPN yang terutang adalah 1,1/101,1 dari Rp6.250.000,00, yaitu Rp68.002,00.

PMK ini berlaku untuk pemungutan PPN yang dilakukan sejak 1 Januari 2025. Untuk transaksi yang dilakukan sebelum tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri keuangan sebelumnya. (alf)

 

DPR Panggil DJP, Dirjen Pajak Minta Rapat Digelar Tertutup

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk membahas sistem Coretax yang mengalami berbagai kendala sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025.

Rapat yang berlangsung di ruang Komisi XI DPR RI Senin (10/2/2025) dimulai sekitar pukul 10.28 WIB dan dipimpin oleh Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun. Sebanyak 15 anggota DPR dari enam fraksi turut hadir dalam rapat tersebut, memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Dalam pembukaan rapat, Misbakhun memberikan kesempatan kepada Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk menentukan apakah rapat akan digelar secara terbuka atau tertutup. Suryo pun meminta agar pembahasan mengenai Coretax dilakukan secara tertutup.

“Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup,” ujar Suryo.

Permintaan tersebut kemudian disetujui oleh para anggota dewan, sehingga rapat secara resmi dinyatakan tertutup untuk umum oleh Misbakhun.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi terkait hasil pembahasan dalam rapat tersebut.

Namun, sistem Coretax yang bermasalah sejak awal tahun menjadi perhatian serius karena berpotensi mengganggu proses administrasi perpajakan di Indonesia. (alf)

Penghapusan NPWP Pribadi Kini Bisa Dilakukan Online, Ini Cara dan Ketentuannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam memberikan kemudahan layanan bagi masyarakat. Mulai tahun 2025, wajib pajak kini dapat menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara online melalui Coretax, sebuah sistem perpajakan terintegrasi yang dikembangkan DJP.

Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang ingin menonaktifkan NPWP mereka karena sudah tidak memiliki penghasilan, pensiun, atau bahkan meninggal dunia. Dengan layanan online ini, proses penghapusan NPWP menjadi lebih praktis tanpa perlu datang langsung ke kantor pajak.

Syarat Penghapusan NPWP Online 2025

Sebelum mengajukan permohonan penghapusan, wajib pajak perlu menyiapkan beberapa dokumen dan informasi berikut:

• Perangkat yang terhubung ke internet (komputer, laptop, atau ponsel).

• Koneksi internet yang stabil.

• Nomor Induk Kependudukan (NIK).

• Nama pemohon, perwakilan, atau kuasa wajib pajak.

• Alamat lengkap.

Cara Menghapus NPWP Secara Online melalui Coretax

Berdasarkan informasi dari laman resmi DJP, berikut adalah langkah-langkah untuk menghapus NPWP melalui Coretax:

• Akses situs Coretax DJP di https://coretaxdjp.pajak.go.id/.

• Jika belum memiliki akun, lakukan pendaftaran dengan memilih “Pengguna Baru? Daftar di Sini”.

• Login dengan ID pengguna, kata sandi, serta mengisi captcha.

• Pilih menu “Portal Saya”.

• Klik opsi “Penghapusan & Pencabutan” lalu pilih “Penghapusan Pendaftaran”.

• Pada kolom “Jenis Pembatalan”, pilih “Penghapusan NPWP”.

• Jika bertindak sebagai perwakilan atau kuasa wajib pajak, centang kotak “Kuasa Wajib Pajak” dan isi data perwakilan.

• Data identitas wajib pajak akan terisi otomatis, pastikan semua informasi sudah benar.

• Isi seluruh data pada bagian “Penghapusan Pendaftaran”.

• Lanjutkan ke bagian “Pernyataan Wajib Pajak”, centang pernyataan, lalu klik “Kirim”.

• Tunggu notifikasi bahwa permohonan telah terkirim dan sedang dalam proses verifikasi oleh petugas DJP.

• Unduh bukti pengajuan dengan memilih “Unduh Bukti Tanda Terima”.

Bukti tanda terima akan berisi informasi penting, seperti nomor penerimaan, NPWP, NIK, nama wajib pajak, jenis permohonan, serta nama petugas yang menangani permohonan.

Dengan adanya sistem Coretax, penghapusan NPWP menjadi lebih efisien dan mengurangi antrean di kantor pajak. DJP terus berupaya meningkatkan digitalisasi layanan guna memberikan pengalaman yang lebih baik bagi wajib pajak di Indonesia. (alf)

Insentif Pajak Harus Lebih Berpihak pada Masyarakat Luas

IKPI, Jakarta: Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah dan menegaskan bahwa insentif yang diberikan harus lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat luas.

Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menilai bahwa salah satu bentuk insentif yang bermanfaat adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi karyawan tertentu. Menurutnya, insentif ini memungkinkan masyarakat membayar pajak lebih rendah, sehingga daya beli mereka meningkat.

“Insentif ini bisa menaikkan daya beli masyarakat,” ujar Huda dikutip, Minggu (9/2/2025).

Namun, ia mengkritisi kebijakan insentif pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP untuk sektor perumahan dan mobil listrik, yang dinilai tidak dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Gunanya bukan untuk menjadi boosting daya beli, melainkan menaikkan penjualan dan mendorong investasi di dua sektor tersebut. Tidak langsung untuk mendorong daya beli,” katanya.

Huda berpendapat bahwa insentif sebaiknya diberikan dalam bentuk perpajakan dan subsidi untuk barang-barang yang dikonsumsi masyarakat luas secara rutin. Ia mencontohkan subsidi untuk Public Service Obligation (PSO) pada Kereta Rel Listrik (KRL) dan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite sebagai bentuk insentif yang lebih langsung membantu masyarakat.

“Masyarakat akan sangat dibantu secara langsung, bukan harus beli mobil listrik terlebih dahulu,” tambahnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan bahwa jika kebijakan PPN DTP tidak dilanjutkan, maka daya beli masyarakat bisa terganggu. Oleh karena itu, menurutnya, melanjutkan kebijakan ini adalah langkah yang tepat.

“Tapi jika ingin lebih tepat sasaran, PPN DTP untuk mobil listrik saya rasa perlu ditinjau ulang. Selain karena ini murni produk impor dan konsumennya masyarakat kelas super atas, dampak lingkungan juga tidak akan terasa,” ujar Wijayanto.

Dengan berbagai pandangan ini, diskusi mengenai insentif pajak masih terus bergulir, terutama terkait efektivitas dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. (alf)

Pertanggung Jawaban Perpajakan dan Pidana Perpajakan untuk Pegawai yang diberikan Kuasa untuk menandatangani Faktur Pajak di Aplikasi Core Tax

Dengan berjalannya aplikasi Core Tax, Terdapat keadaan di mana seorang pegawai dari sebuah perusahaan diberikan kuasa oleh PIC/Direktur untuk membuat draft serta melakukan proses upload faktur pajak. Sehingga atas rangkaian proses tersebut, Mengakibatkan munculnya nama pegawai yang diberikan kuasa sebagai penandatangan di faktur pajak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi pertanggung jawaban perpajakan atau bahkan pertanggungjawaban pidana perpajakan bagi pegawai.  

Sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-undang ketentuan umum perpajakan. Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Jika kita mengacu pada penjelasan pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Jerat Pidana berlaku juga Baik Bagi Wajib Pajak maupun bagi Wakil, Kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.[1]  Jelas diatur dalam Pasal  43 ayat (1) tersebut pegawai dapat dijerat pidana pajak. Tetapi menurut pandangan penulis, Hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Di dalam Pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Seseorang dihukum bukan hanya karena perbuatannya jahat (actus reus), tetapi juga karena pikirannya yang salah (mens rea), yang merupakan alasan yang layak untuk dihukum. Seorang pegawai tidak dapat dipidana, Sepanjang di dalam melaksanakan pekerjaan mempunyai itikad baik dan tidak mengetahui adanya maksud jahat dari pekerjaan itu. Misalnya pegawai tersebut diberikan tugas membuat faktur pajak dan secara sistem di Core Tax otomatis juga sebagai penanda tangan faktur pajak dan dikemudian hari di ketahui bahwasanya. Faktur pajak tersebut merupakan faktur pajak yang dibuat tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS). Sepanjang pegawai tersebut tidak mengetahui adanya maksud jahat (mens rea) dari penerbitan faktur TBTS tersebut. Pandangan penulis pegawai tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kecuali bilamana dari awal proses penerbitan faktur pajak, Pegawai tersebut mengetahui adanya maksud jahat (mens rea) tetapi tetap membantu menerbitkan/membuat faktur tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya(TBTS). Sudah layak dan sepantasnya pegawai tersebut dijerat Pidana Pajak Pasal 43 KUP.  

Bilamana kita lakukan Kajian dari sisi pertanggung jawaban perpajakan. Penulis berpendapat, Tidak perlu juga dikhawatirkan secara berlebihan oleh pegawai yang di tugaskan untuk membuat Faktur Pajak. Mengacu kepada penjelasan mengenai penanggung jawab perpajakan, Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.[2] Penagihan Pajak terhadap penanggung Pajak untuk Wajib Pajak Badan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan yang bersangkutan dan Pengurus dari Wajib Pajak tersebut. Pengurus dari Wajib Pajak Badan Perseroan Terbatas meliputi Direksi, Dewan Komisaris, Pemegang Saham dan Orang yang nyata nyata mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan dan atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada Perseroan Terbatas.[3]  Termasuk orang yang nyata nyata mempunyai wewenang adalah orang yang berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan atau menandatangani cek, Orang yang berwenang mengangkat, menghentikan atau memberhentikan anggota direksi, anggota dewan komisaris, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pengurus, pengawas, pimpinan, atau jabatan setingkat; dan/atau orang yang berwenang atau berkuasa untuk mempengaruhi atau mengendalikan Wajib Pajak Badan tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Juga dalam hal Wajib Pajak Badan memiliki cabang, pengurus termasuk kepala cabang yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dari cabang yang bersangkutan.[4] Dari penjelasan ini dapat kita tarik kesimpulan, Pegawai yang diberikan kuasa untuk menandatangani Faktur Pajak. Sepanjang tidak masuk kriteria sebagai Orang yang nyata nyata mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan dan atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada perusahaan tempatnya bekerja. Maka pegawai tersebut tidak dapat dimintai pertanggung jawaban perpajakan sebagai Penanggung Pajak.

 ______________________________

[1] Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Penjelasan Pasal 43

[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 1 angka 5.

[3] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 9 ayat (2).

[4] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 9 ayat (3).

 

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor

Andi Deswanta

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Pemerintah Ubah Skema Pemungutan Bea Meterai Melalui PMK 78/2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78 Tahun 2024 melakukan perubahan signifikan terhadap skema pemungutan Bea Meterai. Perubahan ini mencakup aspek penetapan pemungut, registrasi, pencabutan, serta proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai.

Sebelumnya, berdasarkan PMK-151/2021, penetapan pemungut dilakukan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP) secara jabatan atau berdasarkan pemberitahuan dari wajib pajak. Namun, dalam PMK-78/2024, penetapan pemungut kini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), baik secara jabatan maupun berdasarkan permohonan pemungut.

Selain itu, proses registrasi pemungut yang sebelumnya dilakukan secara manual kini telah diakomodir dalam sistem Coretax. Meskipun sebelum penerapan penuh SMO Coretax registrasi masih dilakukan secara manual, ke depan sistem ini akan memberikan kemudahan dan efisiensi bagi wajib pajak.

Kemudahan dalam Proses Pencabutan Pemungut

Dalam aturan lama, pencabutan penetapan pemungut dilakukan secara manual dan berlaku sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat pencabutan. Namun, di bawah PMK-78/2024, pencabutan pemungut telah diakomodir dalam sistem Coretax dan berlaku sejak tanggal surat pencabutan, sehingga mempercepat proses administrasi.

Perubahan dalam Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan

Salah satu perubahan utama dalam PMK-78/2024 adalah metode pemungutan Bea Meterai. Kini, pemungutan dapat dilakukan menggunakan Meterai Percetakan, Meterai Elektronik, Meterai Teraan Digital, dan/atau Tanda Pemungutan, menambahkan opsi baru berupa Meterai Teraan Digital yang sebelumnya tidak ada dalam PMK-151/2021.

Selain itu, distribusi meterai elektronik mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, pemungut menggunakan kuota meterai elektronik milik distributor, tetapi kini distribusi dilakukan langsung oleh PERURI ke pemungut tanpa deposit, sehingga memberikan fleksibilitas lebih bagi pemungut.

Dari sisi penyetoran dan pelaporan, terdapat perubahan batas waktu yang mulai berlaku sejak masa pajak November 2024:

• Penyetoran: Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (sebelumnya tanggal 10).

• Pelaporan: Paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (sebelumnya tanggal 20).

Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi pajak dan memberikan kepastian hukum bagi pemungut Bea Meterai.

Pemerintah terus mengupayakan penyempurnaan sistem perpajakan guna mendukung transparansi dan kemudahan bagi wajib pajak di Indonesia. (alf)

Cek Proses KSWP Melalui Coretax, Ini Cara Pengajuan dan Manfaatnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam memberikan kemudahan bagi wajib pajak, salah satunya melalui sistem Coretax DJP yang memungkinkan proses Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) dilakukan secara daring.

KSWP merupakan proses yang wajib dilakukan oleh instansi pemerintah sebelum memberikan layanan publik tertentu.

Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi kewajibannya, seperti kesesuaian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan selama dua tahun terakhir.

Langkah-langkah Pengajuan KSWP melalui Coretax DJP

• Masuk ke Akun Coretax DJP

Wajib pajak perlu masuk ke akun Coretax DJP dengan menggunakan ID Pengguna dan Kata Sandi, serta mengisi kode captcha untuk melanjutkan proses.

• Pengajuan KSWP

• Pilih Layanan Wajib Pajak

• Pilih Layanan Administrasi

• Pilih Buat Permohonan Layanan Administrasi

• Pilih AS.01-02 Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP)

• Mengisi Data Permohonan

• Pastikan data identitas wajib pajak sesuai, termasuk NPWP/NIK, nama, dan alamat.

• Isi informasi mengenai instansi pemerintah pemberi layanan publik, nama layanan publik, tahun, dan kota/kabupaten tempat formulir ditandatangani.

• Memeriksa Status Pajak

Sistem akan menampilkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, termasuk status aktif NPWP dan pelaporan SPT Tahunan dua tahun terakhir. Jika data belum terkoneksi, wajib pajak dapat menekan tombol “Refresh” untuk memperbarui informasi.

• Pembuatan dan Penandatanganan Dokumen

• Wajib pajak dapat membuat dokumen permohonan Keterangan Status Wajib Pajak dalam format PDF.

• Dokumen harus ditandatangani secara elektronik menggunakan KO DJP atau sertifikat digital lainnya.

• Mengunduh Surat Keterangan Status Wajib Pajak

Setelah dokumen ditandatangani dan dikirim, wajib pajak dapat mengunduh Surat Keterangan Status Wajib Pajak (KSWP) yang telah diterbitkan.

Manfaat KSWP bagi Wajib Pajak

Dengan adanya sistem digital ini, wajib pajak kini dapat dengan mudah mengajukan permohonan tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Proses yang lebih cepat dan transparan ini akan mempermudah wajib pajak dalam memperoleh layanan publik yang membutuhkan konfirmasi status perpajakan.

DJP mengimbau wajib pajak untuk senantiasa memenuhi kewajiban perpajakannya agar dapat dengan lancar mengakses layanan publik. Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat mengunjungi portal resmi Coretax DJP atau menghubungi kantor pajak terdekat. (alf)

IKPI Yogyakarta, Sleman dan Bantul Gelar Bimtek Coretax Bersama

IKPI,Yogyakarta: Suasana penuh semangat dan antusiasme tampak menyelimuti Hotel Cakra Kusuma, Jl Kaliurang, Yogyakarta, pada Sabtu, 8 Februari 2025, ketika sekira 80 peserta dari anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-DI Yogyakarta berkumpul untuk mengikuti acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Coretax. Acara ini, digelar hasil kolaborasi IKPI Cabang Yogyakarta, Sleman dan Bantul yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam terkait penggunaan aplikasi Coretax yang semakin penting bagi konsultan pajak dalam menjalankan peran mereka di tengah arus digitalisasi perpajakan.

Kegiatan yang berlangsung dari pukul 08.30 hingga 16.30 WIB ini tidak hanya dihadiri oleh konsultan pajak saja, para staf anggota IKPI juga turut meramaikan kegiatan ini. Sejak pagi, para peserta tampak antusias mendaftarkan diri dan menyiapkan perlengkapan untuk mengikuti sesi demi sesi bimbingan teknis yang dipandu oleh para ahli.

(Foto: Istimewa)

Begitu memasuki ruangan, suasana serius namun penuh semangat langsung terasa di tengah ruangan yang dihiasi dengan banner dan alat presentasi modern.

Acara dibuka dengan sambutan Ketua IKPI Cabang Yogyakarta Matheas Prihargo Wahyandono dan Ketua IKPI Cabang Sleman Hersona Bangun, yang menyampaikan pentingnya acara ini untuk menjawab kebuntuan yang sering dihadapi oleh para konsultan pajak dalam mengoperasikan aplikasi Coretax.

(Foto: Istimewa)

“Saat ini, aplikasi Coretax semakin menjadi pusat dari kegiatan perpajakan digital di Indonesia. Akan tetapi, dengan terus berkembangnya regulasi dan fitur-fitur baru yang ada di dalam aplikasi ini, banyak dari kita yang merasa kesulitan. Melalui bimbingan teknis ini, kami berharap bisa memberikan solusi bagi permasalahan yang ada dan memastikan bahwa setiap anggota dapat memaksimalkan potensi aplikasi Coretax,” ujar Wahyandono di lokasi acara.

Antusiasme Peserta

Setelah sambutan pembukaan, suasana ruangan semakin hidup dengan diskusi-diskusi hangat di antara para peserta. Banyak dari mereka yang terlihat sangat antusias untuk mendalami materi yang akan disampaikan.

Wajah-wajah penuh perhatian dan penuh rasa ingin tahu terlihat jelas ketika para instruktur mulai menjelaskan berbagai fitur terbaru dari aplikasi Coretax, terutama yang berkaitan dengan pembaruan peraturan pajak. Beberapa peserta bahkan terlihat mencatat secara serius dan sesekali mengangkat tangan untuk bertanya langsung kepada pembicara.

(Foto: Istimewa)

Ketua panitia lainnya, Hersona Bangun yang juga merupakan Ketua IKPI Cabang Sleman, mengungkapkan bahwa antusiasme para peserta sangat luar biasa. Mereka datang dan menunjukkan komitmen untuk terus belajar dan mengasah kemampuan mereka dalam menghadapi perkembangan teknologi perpajakan.

Hersona menyatakan, kegiatan ini adalah momentum yang sangat penting bagi konsultan pajak, untuk memperkuat kapasitas kita sebagai konsultan pajak yang harus selalu mengikuti perkembangan teknologi, inovasi serta perkembangan peraturan perpajakan yang terus berubah secara dinamis..

Lebih lanjut Wahyandono mengungkapkan, ia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk berbagi pengalamannya terkait tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan aplikasi Coretax di lapangan. Ia menceritakan beberapa kendala teknis yang sering muncul, seperti masalah login, pembuatan e-faktur dan banyak permasalahan lainnya yang terjadi di aplikasi ini.

“Kami yakin Coretax ini adalah bagian dari pengembangan teknologi perpajakan yang harus dijalankan. Dengan berbagai kendala yang masih sering terjadi, kami IKPI se-DI Yogyakarta terus mempelajari penggunaan aplikasi ini dan mengikuti perkembangannya,” kata Wahyandono.

Tidak hanya sesi teori, acara ini juga dilengkapi dengan sesi praktikum yang memungkinkan para peserta untuk langsung mempraktikkan apa yang mereka pelajari dengan menggunakan aplikasi Coretax di perangkat masing-masing. Para instruktur memberikan bimbingan secara langsung, memastikan peserta memahami setiap langkah dengan baik.

Keberhasilan sesi praktikum ini terlihat dari kegembiraan peserta yang dengan cepat dapat mengatasi permasalahan aplikasi yang sempat mereka hadapi sebelumnya.

Bimbingan Teknis Coretax ini, selain menjadi sarana pembelajaran, juga semakin memperlihatkan betapa pentingnya peran IKPI sebagai organisasi yang selalu berusaha menciptakan profesionalisme dan meningkatkan kapasitas anggotanya di tengah dunia perpajakan yang semakin berkembang pesat. (bl)

Kanwil DJP Kepri Bentuk Satgas Coretax untuk Optimalkan Sosialisasi

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Kepulauan Riau (Kepri) membentuk Satuan Tugas (Satgas) Coretax guna mengoptimalkan penyuluhan terkait penggunaan aplikasi perpajakan terbaru. Langkah ini dilakukan untuk memastikan implementasi yang diluncurkan pada 1 Januari 2025 ini berjalan lancar selama masa transisi.

Kepala Kanwil DJP Kepri Imanul Hakim, dalam keterangannya di Batam pada Jumat (7/2/2025) menyatakan bahwa masa transisi ini difokuskan pada monitoring dan evaluasi pemanfaatan aplikasi. “Kami membentuk Satgas Coretax untuk memastikan sosialisasi dan pelatihan berjalan dengan baik,” ujarnya.

Sebagai bagian dari sosialisasi, pihaknya secara rutin mengadakan pelatihan bagi berbagai pihak. Baru-baru ini, penyuluhan telah diberikan kepada bendahara Pemerintah Kota Batam serta bagian keuangan industri perkapalan (shipyard). “Minggu depan, giliran notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang akan mendapatkan pelatihan terkait sistem ini,” ujarnya.

Imanul mengakui bahwa penerapan awal Coretax sempat mengalami kendala teknis. Namun, permasalahan tersebut mulai teratasi seiring dengan sinkronisasi data yang dilakukan. “Awal Januari, memang sempat banyak keluhan karena faktor pajak tidak bisa diproses. Namun, setelah sinkronisasi data dilakukan, sekitar 70 persen dari pertanyaan yang kami terima sudah terjawab,” jelasnya.

Ia berharap bahwa dengan semakin optimalnya dukungan Coretax, sistem ini dapat membantu menyediakan data potensi perpajakan yang berguna bagi upaya penggalian penerimaan pajak. Selain itu, penerapan Coretax juga mendukung ratifikasi Automatic Exchange of Information (AEOI), yang memungkinkan pertukaran data perpajakan secara otomatis dengan negara lain.

Lebih lanjut, Imanul menekankan pentingnya sosialisasi yang menyeluruh agar pelaku usaha di Kepri lebih memahami sistem perpajakan baru ini. “Dengan Satgas ini, kami akan melakukan lebih banyak sosialisasi dan pelayanan kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan dalam penggunaan Coretax,” ujarnya.

Dengan sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, diharapkan implementasi aplikasi Coretax di Provinsi Kepri berjalan kondusif dan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. (alf)

en_US