Pemerintah Hapus Sejumlah Pungutan untuk Pembelian Rumah, Masyarakat Diharapkan Terbantu

IKPI, Jakarta: Dalam langkah terobosan untuk mempermudah masyarakat memiliki rumah, pemerintah mengumumkan penghapusan sejumlah pungutan yang selama ini dikenakan pada pembelian rumah. Keputusan ini diambil melalui kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang biasanya sebesar 5 persen dari harga jual dikurangi Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), akan dihapus sepenuhnya menjadi 0 persen.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, menyatakan bahwa penghapusan ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat.

“BPHTB itu harusnya 5 persen, itu bisa menjadi 0 persen. Ini sangat membantu rakyat membeli rumah,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, baru-baru ini.

Selain BPHTB, pemerintah juga menghapus biaya Persetujuan Bangun Gedung (PBG). PBG adalah izin yang diperlukan untuk pembangunan atau renovasi gedung. Biaya PBG sebelumnya bervariasi antara Rp5 juta hingga Rp12 juta, tergantung faktor seperti luas bangunan, administrasi, dan retribusi daerah.

“PBG untuk bangunan gedung, ya itu juga 0 persen,” lanjut Maruarar.

Kebijakan lainnya adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Kebijakan ini akan berlaku selama enam bulan ke depan.

“Ini sesuatu yang tadinya bayar, sekarang menjadi gratis buat rakyat kecil berpenghasilan rendah,” kata Maruarar.

Selain penghapusan pungutan, pemerintah juga mempercepat proses penerbitan PBG dari sebelumnya 45 hari menjadi hanya 10 hari. Langkah ini diharapkan semakin mempermudah masyarakat mendirikan rumah.

Kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar memiliki rumah dengan lebih mudah dan terjangkau. “Ini adalah wujud nyata keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil,” kata Maruarar. (alf)

Target Pajak 2025 Dinilai Tidak Realistis, Ekonom Soroti Wacana Kebijakan Baru

IKPI, Jakarta: Target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun pada 2025 dinilai terlalu tinggi dan sulit tercapai, terutama mengingat target 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun diproyeksikan akan mengalami shortfall atau tidak terpenuhi. Hal ini disampaikan oleh ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, dalam sebuah diskusi daring, Rabu (8/1/2025).

“Dengan shortfall itu, target 2025 menjadi sangat berat. Karena dalam outlook 2024 diasumsikan tercapai, artinya butuh kenaikan sebesar 11,56% pada 2025,” ujar Awalil.

Menurutnya, kenaikan sebesar itu tidak realistis tanpa adanya perubahan kebijakan signifikan. Pemerintah diduga akan mengubah aturan perpajakan, baik dengan menaikkan tarif atau menambah jumlah wajib pajak.

Awalil juga mengungkapkan adanya beberapa wacana kebijakan yang berpotensi diambil pemerintah untuk mendongkrak penerimaan pajak:

1. Penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Bank Dunia dan OECD merekomendasikan agar Indonesia menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak dari Rp56 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Dengan perubahan ini, jumlah wajib pajak akan meningkat, sehingga penerimaan pajak penghasilan (PPh) bertambah.

“Jika penghasilan di atas Rp3 juta per bulan sudah dikenakan pajak, maka setoran PPh 21 bisa meningkat signifikan,” kata Awalil.

2. Penurunan ambang batas omzet kena pajak untuk UMKM. Saat ini, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun tidak dikenakan pajak. Namun, wacana penurunan ambang batas ini bertujuan menambah jumlah pembayar pajak dari sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun demikian, pemerintah sempat membantah adanya rencana ini.

3. Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Jilid III. Program ini kembali diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski dapat menambah penerimaan melalui denda, pelaksanaan tax amnesty yang berulang dianggap tidak mencerminkan keadilan dan menunjukkan kelemahan reformasi perpajakan di Indonesia.

“Tax amnesty dalam waktu singkat, hanya tiga tahun sejak program sebelumnya, adalah bukti kegagalan pemerintah dalam mereformasi pajak,” kata Awalil.

Dengan berbagai wacana kebijakan ini, ia menilai bahwa target pajak 2025 tetap membutuhkan langkah ekstra yang komprehensif. Reformasi yang adil dan berkelanjutan harus menjadi prioritas agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan dapat terjaga. (alf)

IKPI Pengda Jawa Timur Siap Berkontribusi di Rakor Bogor 2025

IKPI, Jakarta: Pengurus Daerah (Pengda) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jawa Timur telah menyiapkan berbagai langkah strategis untuk menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) IKPI di Bogor, yang akan berlangsung pada 17-19 Januari 2025. Dengan mengusung semangat kolaborasi, Pengda Jawa Timur optimis dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pertemuan penting ini.

Demikian dikatakan Ketua IKPI Pengda Jawa Timur Zeti Arina, Kamis (9/1/2025).

Ia nenegaskan, sebagai langkah awal, Pengda Jawa Timur telah mengadakan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) untuk membahas isu-isu utama dan menyusun usulan yang akan disampaikan pada Rakor. Beberapa topik yang menjadi fokus pembahasan adalah konsep Pelatihan dan Pendidikan Lanjutan (PPL) murah, penyusunan program kerja, pembagian tugas (job description), dan kewenangan antara pengurus daerah dan cabang guna menghindari tumpang tindih peran.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

“Rapat koordinasi ini akan dihadiri oleh delapan perwakilan dari Jawa Timur, sesuai dengan ketentuan panitia yang membatasi dua peserta dari masing-masing cabang. Strategi ini diambil untuk memastikan seluruh pengurus daerah dan cabang tetap terwakili dalam forum penting tersebut,” kata Zeti.

Diungkapkan Zeti, IKPI Jawa Timur membawa sejumlah isu strategis untuk dibahas dalam Rakor, antara lain:

1. Konsep PPL murah guna meningkatkan kompetensi konsultan pajak secara lebih luas.

2. Sinkronisasi program kerja antara pengurus pusat dan daerah.

3. Penguatan koordinasi antara tingkatan pengurus untuk memastikan program-program pusat dapat diimplementasikan secara efektif di daerah.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Mantan Ketua IKPI Cabang Surabaya dua periode ini berharap nantinya Rakor dapat menghasilkan job description dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas untuk disepakati bersama, sehingga pengelolaan organisasi menjadi lebih terarah.

Setelah Rakor lanjut Zeti, IKPI Jawa Timur berencana mengadakan koordinasi intensif dengan seluruh cabang untuk menerjemahkan arahan pengurus pusat dan melaksanakan kebijakan tersebut sebaik-baiknya.

Dengan persiapan matang dan semangat kolaborasi, IKPI Jawa Timur optimis dapat memberikan kontribusi nyata dalam penguatan organisasi di tingkat nasional. (bl)

Ekonom Sebut Produktivitas dan Daya Beli Jadi Kunci Peningkatan Penerimaan Pajak 2025

IKPI, Jakarta: Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky, menyoroti pentingnya peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat sebagai langkah utama dalam menggenjot penerimaan pajak pada tahun 2025.

“Kalau Pemerintah belum bisa mengatasi isu produktivitas dan penurunan daya beli, saya rasa penerimaan perpajakan juga tidak akan meningkat secara drastis,” ujar Riefky kepada media di Jakarta, Rabu (8/1/2025).

Meski demikian, ia mengakui penerapan sistem Core Tax Administration System (Coretax) yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2024 dapat mendukung efektivitas penerimaan pajak. Namun, menurutnya, dampak maksimal hanya dapat tercapai jika aktivitas ekonomi nasional terus bertumbuh.

“Performa perpajakan dengan Coretax ini cukup membantu secara konsep. Tapi, nanti kita lihat bagaimana kebijakan pemerintah, secara struktural maupun belanja, mampu menghasilkan penerimaan dan produktivitas,” ujarnya.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan pajak sepanjang tahun 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun, tumbuh 3,5 persen secara tahunan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan tersebut masih terhambat akibat koreksi harga komoditas dan tekanan ekonomi lainnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, meskipun ada tekanan pada penerimaan pajak di awal tahun 2024, situasi berbalik arah pada kuartal III-2024.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, kinerja pajak yang bersifat transaksional seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri, PPh 22 impor, dan PPN impor menjadi pendorong utama perubahan tersebut.

Coretax, yang diluncurkan sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan, dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem ini mampu mengotomasi layanan administrasi pajak dan menggunakan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Sri Mulyani memperkirakan, implementasi Coretax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan rasio pajak saat ini sebesar 10,02 persen, Indonesia memiliki potensi mencapai 11,5 persen melalui optimalisasi sistem ini.

Meski demikian, Riefky menegaskan bahwa performa pajak tetap bergantung pada keberhasilan pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi dan belanja negara untuk mendorong pertumbuhan produktivitas dan daya beli masyarakat. (alf)

Awali Tahun 2025 IKPI Pengda Sumbagteng Sukses Gelar Seminar Persiapan Coretax dan Edukasi Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah (Pengda) Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) sukses menggelar seminar perdana di tahun 2025, bertema “Persiapan Coretax, Persiapan SPT Tahunan Orang Pribadi dan Badan serta Antisipasi Timbulnya SP2DK dan Pemeriksaan Pajak.” Acara yang diadakan di Kota Dumai, Rabu (8/1/2025) ini dihadiri oleh 32 peserta dan mayoritas berasal dari masyarakat umum yang bukan anggota IKPI.

Menurut Ketua IKPI Pengda Sumbagteng Lilisen, kegiatan ini dirancang untuk memberikan pemahaman langsung kepada Wajib Pajak mengenai sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax. “Jika sebelumnya pelatihan Coretax hanya menggunakan dummy, kali ini Wajib Pajak langsung mempraktikkan pengisian melalui website Coretax menggunakan NPWP atau NIK masing-masing,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)

Ia mengungkapkan, dalam pelaksanaannya, peserta seminar menghadapi berbagai kendala teknis, seperti aksesibilitas sistem dan data yang belum sinkron. Beberapa peserta bahkan harus melakukan pembaruan data di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat mereka terdaftar. Namun, berkat bimbingan tim penyuluh dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau, setiap permasalahan berhasil diatasi.

Sementara itu, salah satu penyuluh pajak dari Kanwil DJP Riau, Agus Suyanto yang turut hadir dalam kegiatan ini, memberikan apresiasinya kepada IKPI. “Kami sangat mengapresiasi inisiatif IKPI Pengda Sumbagteng dalam mengadakan pelatihan ini. Kegiatan seperti ini sangat membantu DJP dalam memperluas edukasi kepada Wajib Pajak, terutama dalam masa transisi implementasi sistem Coretax,” kata Agus.

Agus juga menyatakan bahwa Kanwil DJP Riau terbuka untuk bermitra dengan pihak lain yang ingin mengadakan pelatihan serupa di masa mendatang. “Kami menyambut baik pihak-pihak yang ingin menjadi mitra DJP, terutama dalam menyediakan layanan helpdesk untuk membantu Wajib Pajak menghadapi kendala selama peralihan ke sistem baru ini,” ujarnya.

Lebih lanjut Lilisen mengatakan, seminar ini menjadi tonggak sejarah bagi IKPI Pengda Sumbagteng. Tidak hanya sebagai kegiatan perdana organisasi di awal tahun 2025, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam mendukung transformasi sistem administrasi perpajakan di Indonesia.

Lilisen berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi pengurus daerah lainnya untuk terus berinovasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat.

Dengan antusiasme peserta dan dukungan dari berbagai pihak, seminar ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta meminimalisasi potensi permasalahan perpajakan, seperti penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) maupun pemeriksaan pajak di masa mendatang.

Menurut Lilisen, melalui kegiatan ini IKPI Pengda Sumbagteng berhasil menunjukkan peran strategisnya sebagai mitra pemerintah dalam membangun kesadaran pajak di masyarakat. Dengan sistem Coretax yang mulai diterapkan, diharapkan Wajib Pajak semakin mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus berkontribusi pada pembangunan negara. (bl)

Pemerintah Terbitkan PMK Tentang PPnBM Kendaraan Listrik 

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 135 Tahun 2024. Aturan ini mengatur Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang ditanggung oleh pemerintah untuk impor dan penyerahan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu selama tahun anggaran 2025.

Dikutip dari peraturan tersebut, PMK ini ditujukan untuk mendukung percepatan adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBL Berbasis Baterai) roda empat tertentu, baik dalam bentuk kendaraan impor (CBU) maupun kendaraan yang dirakit di dalam negeri (CKD). PPnBM atas kendaraan tersebut akan ditanggung 100% oleh pemerintah selama periode Januari hingga Desember 2025.

Menurut Pasal 2 PMK ini, kendaraan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif ini harus terdaftar dalam surat persetujuan yang diterbitkan oleh kementerian terkait bidang investasi. Selain itu, kendaraan juga harus memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Persyaratan bagi Pelaku Usaha

Pelaku usaha yang ingin memanfaatkan insentif ini wajib memenuhi sejumlah ketentuan, seperti:

1. Status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP): Pelaku usaha harus terdaftar sebagai PKP sesuai dengan peraturan perpajakan.

2. Dokumen Pemberitahuan Impor dan Faktur Pajak: Pelaku usaha wajib melaporkan dokumen terkait, seperti pemberitahuan impor barang atau faktur pajak, sesuai aturan.

3. Laporan Realisasi: Laporan realisasi PPnBM yang ditanggung pemerintah harus disampaikan sesuai jadwal.

Sanksi dan Validasi

PMK ini juga mengatur sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan. Dalam hal dokumen atau laporan tidak disampaikan, PPnBM yang awalnya ditanggung pemerintah akan dibebankan kepada pelaku usaha sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Mendorong Transisi Energi

Kementerian Keuangan berharap kebijakan ini dapat menjadi langkah konkret untuk mendukung percepatan transisi energi di Indonesia. Insentif ini juga bertujuan meningkatkan daya saing industri otomotif nasional, terutama di sektor kendaraan listrik.

Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak diundangkan dan akan menjadi dasar bagi pelaksanaan subsidi pajak di tahun 2025. Dengan adanya dukungan ini, pemerintah optimistis dapat mendorong investasi di sektor kendaraan listrik serta mempercepat adopsi teknologi ramah lingkungan di Tanah Air. (alf)

Ketum Vaudy: Dukungan IKPI untuk Implementasi Coretax Dilakukan Sejak 2022

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan dukungannya terhadap peluncuran Coretax, yang secara resmi diimplementasikan mulai 1 Januari 2025.

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, menegaskan bahwa sistem ini merupakan langkah penting dalam digitalisasi administrasi perpajakan di Indonesia.

“IKPI telah mendukung Coretax sejak awal melalui berbagai kegiatan sosialisasi, seminar, dan edukasi yang melibatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta seluruh anggota IKPI di seluruh Indonesi, baik di tingkat pusat maupun daerah,” kata Vaudy di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Ia menegaskan, sejak 2022 IKPI telah mengadakan sosialisasi dan seminar di berbagai wilayah, termasuk yang terakhir di Surabaya pada 2023. Selain itu, IKPI juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Dit. P2 Humas untuk edukasi di delapan lokasi, serta dengan Kanwil DJP di berbagai daerah.

Vaudy optimis sistem ini akan meningkatkan akurasi, kecepatan, dan transparansi administrasi perpajakan, mempermudah pelaporan pajak, serta mendukung integrasi data untuk kebijakan fiskal yang lebih baik. Namun, ia mengakui masih terdapat kendala dalam penerapannya.

“Kami berharap kendala ini dapat segera diatasi agar manfaat penuh dari sistem ini, termasuk peningkatan tax ratio, dapat tercapai,” ujarnya.

Kenaikan PPN ke 12% 

Terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang berlaku mulai 1 Januari 2025, Vaudy menegaskan ketaatannya pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 29 Oktober 2021.

Namun, ia menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap perubahan ini. Hal ini menyebabkan tanggapan negatif dari masyarakat dan dunia usaha.

“Kami berharap ke depan, setiap perubahan tarif yang berdampak signifikan dapat disosialisasikan lebih awal untuk menghindari ketidakpahaman dan kekhawatiran publik,” kata Vaudy. (bl)

Benarkah Penerapan PPN 12% Hanya untuk Barang Mewah?

Menjelang beberapa jam berakhirnya tahun 2024 dimana sebagian rakyat Indonesia bersiap merayakan pergantian tahun, Pemerintah tiba-tiba mengumumkan berita yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat mengenai kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12%, isu kenaikan PPN ini sudah menjadi isu kontroversial dimana sudah berbulan-bulan menjadi bola panas.

Dalam pengumumannya, mengutip berita harian Media Indonesia : Presiden Prabowo Subianto secara sah meresmikan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kebijakan PPN 12 persen ini akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2024. “Setelah berkoordinasi dengan DPR RI hari ini pemerintah merumuskan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen,” ujar Presiden Prabowo di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa, 31 Desember 2024.

Presiden Prabowo menekankan kebijakan ini hanya berlaku terhadap barang dan jasa yang sebelumnya telah dikenakan PPN untuk mewah. Hal ini kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat mampu.

Kemudian pengumuman tersebut diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tanggal 31 Desember 2024, yang mana PMK 131 tersebut mengatur 3 hal sbb :

1. Atas Barang dan Jasa Mewah dikenakan PPN 12%, dengan perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menggunakan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12 untuk masa transisi di bulan Januari 2025, kemudian selanjutnya, akan dikenakan tarif PPN 12% dengan DPP sesuai nilai impor/harga jual / harga penyerahan.

2. Atas barang / jasa non mewah dikenakan tarif PPN 12%, namun dengan perhitungan DPP menggunakan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12 tanpa masa transisi, dengan rumus ini maka tarif efektif PPN atas barang / jasa non mewah tetap dikenakan tarif 11%.

3. Pengecualian PMK 131 bagi PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain atau menggunakan PPN besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan.

Setelah dievaluasi ternyata terdapat sedikit ketidak-sinkronan antara Pengumuman Presiden Prabowo dengan substansi PMK 131 Tahun 2024, sehingga efek kenaikan PPN tersebut juga berimbas kepada barang-barang tertentu (tidak hanya untuk barang mewah saja). Selain itu PMK 131 tersebut juga menyajikan sesuai yang menarik dimana Pemerintah mengeluarkan rumus baru dalam menghitung Dasar Pengenaan Pajak dengan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12.

Mengenai rumus baru tersebut, walau dapat dipahami bahwa tujuan Pemerintah adalah untuk mengambil jalan tengah antara amanat konstitusi di Pasal 7 ayat (1) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (kenaikan tarif PPN menjadi 12%) di satu sisi, dengan tuntutan mayoritas masyarakat yang meminta Pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif PPN tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan ialah apakah rumus harga jual / harga penyerahan dengan menggunakan DPP nilai lain tersebut tidak akan menimbulkan masalah baru bagi Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya ?

Dalam PMK 131 tahun 2024 disebutkan adanya pengecualian bagi PKP yang telah menggunakan DPP Nilai Lain atau menggunakan PPN besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan. Artinya PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain dan / atau menggunakan PPN besaran tertentu tetap akan terdampak / mengalami kenaikan tarif PPN, sekedar informasi ada beberapa PKP yang menggunakan DPP Lain Lain dan/atau menggunakan PPN besaran tertentu sebagaimana dalam table berikut ini :

Selain PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam PMK 121/PMK.03/2015, terdapat juga PKP-PKP yang berusaha di bidang lainnya menggunakan DPP Nilai lain seperti :

1. PKP yang melakukan penyerahan produk tembakau (PMK 63/PMK.03/2022);

2. PKP yang melakukan penyerahan LPG (PMK 62/PMK.03/2022);

3. PKP yang melakukan penyerahan pupuk bersubsidi untuk produk pertanian (PMK 66/PMK.03/2022).

Contoh berikut dapat menggambarkan efek kenaikan PPN :

Contoh 1 :

PT K yang merupakan pengusaha kena pajak melakukan pemberian cuma-cuma (Barang Kena Pajak/BKP) berupa mouse komputer kepada PT L, diketahui bahwa atas mouse komputer tersebut memiliki harga jual sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) termasuk laba kotor Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), maka PT K wajib membuat FP kode 04 (DPP Nilai Lain) dengan perhitungan PPN sebagai berikut :

DPP Nilai Lain = Rp. 150.000,- (Rp. 200.000 – Rp. 50.000)

PPN 12% = Rp. 150.000 x 12% = Rp. 18.000,-

sedangkan jika menggunakan tarif yang lama yaitu 11%, perhitungannya sbb :

DPP Nilai Lain = Rp. 150.000,- (Rp. 200.000 – Rp. 50.000)

PPN 11% = Rp. 150.000 x 11% = Rp. 16.500,-

Berarti ada kenaikan PPN sebesar Rp. 18.000 – Rp. 16.500 = Rp. 1.500,- padahal mouse computer tidak termasuk barang mewah.

Contoh 2 :

PT M merupakan PKP yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian berupa tanda buah segar kelapa sawit kepada CV N yang bukan merupakan badan usaha industry sebanyak 16.000 kg dengan harga jual Rp. 3.125,- per kg, sehingga total harga jual sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta). Berdasarkan data tersebut, PT M memilih menggunakan besaran tertentu untuk memungut PPN yang terutang atas penyerahan buah segar kelapa sawit tersebut, sehingga PT M wajib membuat Faktur Pajak kode 05 (PPN besaran tertentu), dengan perhitungan sebagai berikut :

Harga jual = Rp. 50.000.000,- (16.000 kg x Rp. 3.125)

DPP = Rp. 50.000.000,-

Jumlah PPN = 10% x Rp. 50.000.000,- x 12% = Rp 600.000,-

 

Jika dibandingkan dengan tarif PPN 11% (Tarif yang lama)

Harga jual = Rp. 50.000.000,- (16.000 kg x Rp. 3.125)

DPP = Rp. 50.000.000,-

Jumlah PPN = 10% x Rp. 50.000.000,- x 11% = Rp 550.000,-

Berarti ada kenaikan PPN yang terutang sebesar Rp. 50.000,- (Rp. 600.000 – Rp. 550.000) padahal buah kelapa sawit juga bukan merupakan barang mewah.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka jelas pernyataan Presiden Prabowo yang menyatakan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja namun isi dari PMK 131 Tahun 2024 tidak selaras dengan pernyataan tersebut, karena kenaikan tarif PPN tersebut juga berimbas kepada barang-barang/jasa non barang mewah sebagaimana diatur dalam aturan di atas (PMK 121/PMK.03/2015, PMK No 62/PMK.03/2022, PMK No. 62/PMK.03/2022, PMK 66/PMK.03/2022 dan PMK No 71/PMK.03/2022).

Tentunya karena sifat PPN adalah pajak atas konsumsi, tentunya kenaikan PPN tersebut akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga sedikit banyak akan meningkatkan pengeluaran masyarakat.

Selain efek kenaikan PPN sebagaimana penjelasan di atas, ada hal teknis yang akan menyulitkan WP PKP, karena adanya rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12. Kesulitan teknis tersebut adalah sbb :

1. Kesulitan PKP dalam mensetting programnya mereka dalam waktu singkat;

2. Akan ada selisih nilai DPP dengan PPN nya, karena adanya unsur pembulatan, sebagai contoh : jika harga jual sebesar Rp. 100.000.000,- (exclude PPN), maka DPP nilai lainnya dihitung Rp. 100.000.000 x 11/12 = Rp. 91.666.667,-. Kemudian dikalikan 12%, hasilnya adalah Rp. 11.000.000,04.

3. Apakah rumus nilai impor x 11/12 sudah tersambung otomatis dengan pihak Bea Cukai ? jika belum tentunya akan menyulitkan importir saat melaksanakan kewajiban pajak dalam rangka impornya.

4. Kesulitan Wajib Pajak saat menghadapi pemeriksaan pajak, karena WP diminta untuk membuat laporan rekonsiliasi omzet dan pembelian dan harus bisa membuktikan kepada pemeriksa pajak, sehingga biaya kepatuhan wajib pajak akan lebih tinggi, bukankah adanya aplikasi coretax dibuat untuk tujuan menurunkan biaya kepatuhan wajib pajak.

Semoga saja ada keberanian bagi Pemerintah untuk melakukan perbaikan Peraturan yang ada, sehingga pernyataan Presiden Prabowo menjadi sesuai dengan kenyataan, bahwa kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja yang memang dikonsumsi oleh mereka yang mampu.

Penulis :

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer :

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi / lembaga.

 

 

 

 

 

 

Posisi Kedudukan Hukum PMK 81/2024  Tentang Pengkreditan Faktur Pajak Masukan dan Kepastian Hukum

Pada tanggal 14 Oktober 2024, Pemerintah mengeluarkan PMK 81 Tahun 2024 Tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau yang dikenal dengan istilah PMK Sapu Jagat (omnibus) yang salah satu pasalnya mengatur ulang mengenai pengkreditan faktur pajak masukan. Pengaturan tersebut ada di Pasal 376 ayat (1), tentunya menjadi tanda tanya, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku ?

Untuk memudahkan melihat masalah pengkreditan faktur pajak masukan tersebut, penulis menggunakan perbandingan antara Pasal 9 UU No 42 Tahun 2009 dengan PMK 81 tersebut, sebagai berikut:

Jika kita telaah maka Pasal 376 ayat (1) mempersempit jenis faktur pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk masa pajak yang tidak sama, yaitu hanya untuk Pajak Masukan dalam bentuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, adapun jenis-jenis dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak di atur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 16 Tahun 2021 :

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah:

a. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

b. bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;

c. bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh Penyelenggara Distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucher;

d. bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;

e. bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air minum;

f. tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;

g. nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;

h. dstnya….

Dengan berlakunya PMK 81 Tahun 2024 sejak tanggal 1 Januari 2025 ini, maka tidak ada lagi fasilitas bagi WP untuk melaporkan faktur pajak masukan di masa pajak tidak sama, sehingga seandainya masih ada FP masukan yang belum dikreditkan oleh WP di salah satu bulan, maka WP dapat mengkreditkan FP Masukan tersebut dengan mekanime pembetulan SPT Masa PPN di bulan yang bersangkutan, dan ini yang harus menjadi perhatian.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah tepat dan tidak menyalahi kaidah / asas-asas hukum yang umum dipakai dan harus diperhatikan?. Jika kita kaji perbandingan antara Pasal 9 ayat (9) UU PPN dan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 maka dapat disimpulkan, keberadaan Pasal 376 ayat (1) tersebut:

1. Melanggar Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, asas ini memiliki makna bahwa undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi dapat meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Artinya, peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas lex superior derogat legi inferiori ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan. Namun pada ketentuan pasal 376 ayat (1) ini malah diatur kebalikannya, yaitu meniadakan aturan yang lebih tinggi.

2. Melanggar Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu :

Ayat (1) :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat;

c. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Ayat (2) :

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Melanggar Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 yaitu

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dalam hal ini Pasal 9 ayat (9) UU PPN tidak memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur ulang terkait dengan pengkreditan PPN Masukan. Sehingga berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tersebut, maka keberadaan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terbitnya PMK 81 Tahun 2024 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sudah seharusnya memperhatikan asas-asas pembentukan hukum yang baik, dan memperhatikan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena Indonesia menganut negara hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang sesungguhnya dengan memperhatikan rambu-rambu dalam pembuatannya.

Penulis :

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer :

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi / lembaga.

 

 

Pelantikan Bersama IKPI Se-Jawa Timur Berlangsung Meriah dan Sukses

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, melantik sejumlah penguruh IKPI se- Jawa Timur (Jatim) di Hotel JW Marriott, Surabaya, Selasa (7/1/2025).

Adapun pengurus IKPI yang dilantik masing-masing, adalah: Ketua Pengda Jatim Zeti Arina, Ketua Cabang Surabaya Enggan Nursanti, Ketua Cabang Malang Ahmad Dahlan, dan Ketua Cabang Sidoarjo Budi Tjiptono.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Ketua Panitia Pelantikan Anggie, menyampaikan bahwa acara ini menjadi momen penting bagi IKPI untuk memperkuat struktur organisasi di Jawa Timur. “Pelantikan ini dihadiri oleh tiga Kanwil DJP Jawa Timur, yakni Kanwil DJP Jatim I, II, dan III. Bahkan, Kepala Kanwil DJP Jatim I, Bapak Sigit Danang Joyo, berkenan memberikan sambutan. Selain itu, hadir pula perwakilan dari PPATK, serta para ketua asosiasi seperti IAI, APINDO, OJK, REI, KADIN, dan organisasi lainnya,” ujar Anggie.

Sekadar informasi, pelantikan dipimpin langsung oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, didampingi Wakil Ketua Umum Jety. Turut hadir delapan pengurus pusat IKPI untuk menyaksikan jalannya prosesi pelantikan.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

“Acara ini dihadiri oleh sekitar 200 orang, yang terdiri dari, 80 anggota pengurus yang dilantik, 8 perwakilan pengurus pusat IKPI, 40 undangan dari DJP dan PPATK, 50 perwakilan asosiasi dan universitas yang pernah bekerja sama dengan IKPI Jawa Timur, 36 pengisi acara, termasuk Yayasan Tuna Grahita dan Paduan Suara Indonesia,” kata Anggie.

Menurut Anggie, acara ini berjalan khidmat, lancar, dan sukses. Kehadiran para undangan, kemeriahan acara, serta rangkaian kegiatan seperti kuis perpajakan dan doorprize membuat suasana semakin seru hingga akhir acara.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Melalui pelantikan ini, IKPI Pengda Jawa Timur berharap dapat semakin memperkenalkan organisasi ke masyarakat luas. “Dengan melibatkan banyak asosiasi dan universitas, kami berharap kerja sama yang baik akan terus terjalin, sehingga kontribusi IKPI di bidang perpajakan semakin dirasakan,” ujarnya.

Acara ini menjadi tonggak baru bagi IKPI Jawa Timur dalam memperkuat jaringan dan meningkatkan peran strategisnya di bidang perpajakan.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Hadir Pengurus Pusat IKPI:

1. Ketua Umum Vaudy Starworld

2. Wakil Ketua Umum Jetty

3. Sekretaris Umum Edy Gunawan

4. Ketua Departemen Investasi dan Pengembangan Bisnis Argi Evansarid Hughie Janitra

5. Ketua Departemen Penugasan Khusus Harun Pandapotan

6. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Nuryadin Rahman

7. Ketua Departemen Kerja Sama dengab Organisasi dan Asosiasi Handy

8. Ketua Pengawas Prianto Budi Saptono

 

(bl)

en_US