Triliunan Rupiah Menanti, Mampukah Indonesia Rebut Pajak Global?

Kesepakatan Global Minimum Tax (GMT) sebesar 15 persen di bawah kerangka OECD/G20 Inclusive Framework telah menandai babak baru dalam tata kelola perpajakan dunia. Kebijakan ini ditujukan untuk menutup ruang penghindaran pajak lintas batas yang selama ini dilakukan oleh perusahaan multinasional, khususnya mereka yang beromzet global di atas €750 juta (OECD, 2021).

Bagi Indonesia, GMT membuka peluang besar. Selama ini, perusahaan digital global menikmati pasar domestik yang luas, tetapi kontribusi pajaknya masih minim. Kementerian Keuangan (2023) memperkirakan potensi tambahan penerimaan mencapai Rp20–30 triliun per tahun. Angka ini tentu penting, terutama bila dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan 2025 sebesar Rp2.189 triliun dan target 2026 sebesar Rp2.357 triliun (Kemenkeu, 2024).

Namun, optimisme ini perlu dicermati. International Monetary Fund (IMF, 2022) mengingatkan bahwa mekanisme pembagian pajak yang kompleks berisiko lebih menguntungkan negara asal perusahaan multinasional (home country). Artinya, meskipun tarif minimum global sudah berlaku, penerimaan tambahan bisa lebih banyak masuk ke kas negara maju dibanding ke negara pasar seperti Indonesia.

Belajar dari India dan Brasil

Negara berkembang lain sudah lebih dulu bersikap tegas. India, misalnya, tidak sepenuhnya tunduk pada OECD karena khawatir hanya mendapat “sisa kue”. Mereka tetap mempertahankan instrumen domestik berupa Equalisation Levy sejak 2016 untuk menjamin adanya penerimaan dari transaksi digital asing.

Sementara itu, Brasil memilih jalur diplomasi agresif. Mereka aktif menekan negara maju dalam perundingan agar formula pembagian pajak lebih berpihak pada negara pasar. Brasil menjadi bagian dari kelompok vokal dalam OECD/G20 yang menuntut distribusi lebih adil.

Kedua contoh ini memberi pelajaran penting: negara berkembang tidak boleh pasif. Tanpa keberanian politik, potensi penerimaan bisa hilang begitu saja.

Jalan Tengah untuk Indonesia

Indonesia menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, mekanisme pembagian pajak yang masih belum sederhana. Kedua, kapasitas administrasi pajak yang perlu ditingkatkan untuk menelusuri laba global perusahaan multinasional. Ketiga, risiko dominasi negara maju, yang dapat mengurangi porsi penerimaan bagi negara pasar.

Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

1. Perkuat aturan domestik. Revisi UU Pajak Penghasilan agar klausul GMT dapat diimplementasikan langsung di dalam negeri.

2. Aktif di forum internasional. Indonesia harus memperkuat peran di OECD/G20, bukan sekadar pengikut.

3. Bangun koalisi strategis. Kerja sama dengan India, Brasil, dan Afrika Selatan dapat meningkatkan posisi tawar.

4. Investasi pada transparansi data. Sistem informasi lintas negara perlu dikembangkan untuk mengawasi laba perusahaan multinasional.

Global Minimum Tax seharusnya menjadi alat pemerataan penerimaan pajak global, bukan instrumen baru yang memperkuat dominasi negara maju. Bagi Indonesia, kuncinya adalah keberanian politik untuk memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus kapasitas teknis untuk memanfaatkan peluang.

Jika berhasil, Indonesia bukan hanya akan meraih tambahan penerimaan hingga puluhan triliun rupiah, tetapi juga menegaskan bahwa era “main aman” bagi perusahaan multinasional telah berakhir. Sebaliknya, jika pasif, potensi besar itu bisa saja mengalir keluar negeri.

Referensi

• OECD (2021). Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy.

• OECD (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules.

• Kementerian Keuangan RI (2023). Outlook Perpajakan Indonesia.

• Kementerian Keuangan RI (2024). Nota Keuangan dan RAPBN 2025–2026.

• IMF (2022). Global Minimum Tax: Impact on Developing Countries.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas PP-IKPI, Dosen, Konsultan, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email : jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Afrika Selatan Desak Uni Eropa Beri Keringanan Pajak Karbon Seperti AS

IKPI, Jakarta: Afrika Selatan resmi mengajukan permohonan kepada Uni Eropa (UE) pada Rabu (27/8/2025) untuk meninjau ulang rencana penerapan pajak tambahan terhadap impor barang berintensitas karbon tinggi. Melalui surat resmi yang dikirimkan Departemen Perdagangan, Industri, dan Kompetisi, pemerintah Afrika Selatan meminta perlakuan khusus yang setara dengan fleksibilitas yang dijanjikan Uni Eropa kepada Amerika Serikat (AS).

Dalam surat tersebut, Afrika Selatan menyoroti mekanisme penyesuaian pajak karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa. Menurut pemerintah setempat, kebijakan ini berpotensi menghambat upaya negara berkembang dalam menurunkan emisi sekaligus mendekarbonisasi ekonominya.

“CBAM berpotensi membatasi kemampuan Afrika Selatan dan negara berkembang lainnya untuk berkontribusi pada pengurangan emisi,” demikian isi surat yang dikutip dari Bloomberg, Senin (1/9/2025).

Afrika Selatan menegaskan, jika Uni Eropa dapat memberikan opsi lebih fleksibel bagi usaha kecil dan menengah di AS, maka negara berkembang juga sepatutnya mendapatkan keringanan serupa.

Permintaan ini tidak lepas dari pernyataan bersama yang diterbitkan pekan lalu oleh Uni Eropa dan AS. Dalam dokumen bertajuk Framework of Reciprocal, Fair, and Balanced Trade Agreement, kedua pihak sepakat untuk meninjau ulang sejumlah kebijakan keberlanjutan yang selama ini dikeluhkan AS, termasuk CBAM.

Kesepakatan itu menyebutkan Uni Eropa akan mencari jalan agar penerapan pajak karbon lebih fleksibel, misalnya dengan memangkas beban administrasi dan memperhatikan kondisi usaha kecil menengah. Inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Afrika Selatan untuk menuntut perlakuan serupa.

CBAM dikhawatirkan akan menekan daya saing produk ekspor Afrika Selatan, khususnya di sektor baja, aluminium, semen, pupuk, hidrogen, dan listrik—industri yang sebagian besar masih bergantung pada energi berbasis batubara.

Data terbaru menunjukkan, sekitar 2,13% dari total ekspor Afrika Selatan ke Uni Eropa berpotensi terdampak CBAM. Jika kebijakan ini diberlakukan penuh, risiko penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Afrika Selatan diperkirakan bisa mencapai 0,62%.

Karena itu, pemerintah Afrika Selatan mendorong agar Uni Eropa mempertimbangkan kebijakan karbon domestik yang telah diterapkan secara nasional sebelum mengenakan tarif tambahan pada ekspor mereka. (alf)

 

Pemprov DKI Tawarkan Diskon Pajak Hotel dan Restoran, Begini Mekanismenya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menggulirkan insentif pajak daerah untuk sektor perhotelan serta makanan dan minuman. Melalui Keputusan Gubernur Nomor 722 Tahun 2025, para pelaku usaha kini berkesempatan menikmati keringanan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hingga 50%. Kebijakan ini berlaku mulai 25 Agustus 2025 sampai 31 Januari 2026.

Langkah tersebut diambil untuk menjaga roda perekonomian Ibu Kota tetap berputar, sekaligus membantu daya tahan bisnis di tengah tantangan ekonomi global. Sektor hotel dan restoran dipilih karena kontribusinya yang signifikan terhadap pendapatan daerah sekaligus penyerapan tenaga kerja.

Rincian Insentif Pajak

Jasa perhotelan: potongan pajak sebesar 50% untuk masa pajak Agustus–September 2025, lalu berlanjut 20% pada Oktober–Desember 2025.

Makanan/minuman: pengurangan pajak sebesar 20% yang berlaku sejak Agustus hingga Desember 2025.

Dengan skema ini, Pemprov berharap pelaku usaha memiliki ruang lebih untuk bertahan dan tumbuh, tanpa mengurangi kontribusi sektor tersebut terhadap pendapatan daerah.

Cara Memanfaatkan Insentif

Wajib Pajak tidak perlu mengajukan permohonan khusus. Cukup mengunggah Surat Pernyataan Kesediaan untuk melaporkan data transaksi usaha secara elektronik melalui sistem Electronic Transaction Perporation Agent (E-TRAPT) di situs pajakonline.jakarta.go.id. Surat ini harus ditandatangani oleh direksi perusahaan yang berwenang.

Bagi pemilik lebih dari satu objek pajak, hanya perlu membuat satu surat pernyataan dengan melampirkan daftar seluruh objek usahanya. Untuk mempermudah, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta juga menyiapkan panduan lengkap melalui video tutorial di situs resmi maupun akun YouTube resminya.

Pemprov DKI menegaskan bahwa insentif ini diberikan secara otomatis dan transparan. Tujuannya tidak hanya meringankan beban pelaku usaha, tetapi juga memastikan ekosistem bisnis perhotelan dan restoran tetap kondusif, stabil, dan berdaya saing.

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah daerah mengajak seluruh pengusaha hotel dan restoran agar memanfaatkan fasilitas pajak tersebut seoptimal mungkin. Diharapkan, langkah ini akan menciptakan iklim usaha yang sehat, menjaga stabilitas ekonomi Jakarta, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. (alf)

 

 

 

 

 

KPP di Jakarta Tetap Buka Normal Meski Ada Imbauan WFH dari Pemprov

IKPI, Jakarta: Di tengah imbauan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta agar perusahaan mengaktifkan skema work from home (WFH) akibat aksi demonstrasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetap berjalan normal.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, menegaskan seluruh KPP di wilayah Jakarta tetap melayani Wajib Pajak pada Senin, 1 September 2025, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB.

“Pelayanan di kantor pajak berjalan normal hari ini. Namun, DJP menyiapkan mekanisme fleksibel agar layanan bisa terus diakses sesuai kondisi lapangan. Kami berkomitmen memberikan layanan perpajakan yang efisien, aman, dan nyaman,” ujar Rosmauli.

Selain layanan tatap muka di KPP, Wajib Pajak juga bisa memanfaatkan berbagai kanal digital maupun layanan jarak jauh. Misalnya melalui Kring Pajak 1500200 yang beroperasi pukul 08.00–16.00 WIB. Di luar jam tersebut, sistem interactive voice response akan mengambil alih dengan layanan informasi dasar, seperti kurs pajak, data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hingga status Surat Pemberitahuan (SPT).

Layanan lain yang dapat diakses melalui Kring Pajak mencakup perubahan data Wajib Pajak, pengaktifan kembali NPWP non-efektif, pemadanan data mandiri, pemberitahuan norma perhitungan penghasilan neto, serta panduan penggunaan aplikasi elektronik DJP seperti e-Filing, e-Billing, hingga e-Faktur.

Secara simultan, Wajib Pajak juga bisa bertanya melalui kanal resmi DJP, mulai dari fitur Tanya Fiska Fisko di laman www.pajak.go.id, akun X @kring_pajak, hingga e-mail informasi@pajak.go.id.

Sementara itu, imbauan WFH Pemprov Jakarta tercantum dalam Surat Edaran Nomor E-0014/Se/2025. Edaran tersebut meminta perusahaan yang berlokasi di sekitar titik demonstrasi menerapkan WFH.

Untuk sektor yang wajib beroperasi penuh, seperti layanan masyarakat 24 jam, aturan WFH dapat dikombinasikan dengan sistem work from office (WFO).

Perusahaan juga diminta melaporkan penerapan kebijakan tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi Jakarta melalui tautan resmi yang telah disediakan.

Dengan demikian, meski ibu kota diramaikan demonstrasi, Wajib Pajak tetap bisa mengakses layanan perpajakan tanpa hambatan, baik secara langsung maupun melalui berbagai saluran daring. (alf)

 

Pajak Tinggi vs Pajak Rendah, Negara Mana yang Paling Sejahtera?

IKPI, Jakarta: Isu pajak selalu menjadi perbincangan hangat di banyak negara, termasuk Indonesia. Perdebatan biasanya berputar pada besaran tarif yang dianggap membebani masyarakat. Namun, pengalaman internasional menunjukkan, kesejahteraan warga ternyata tidak semata ditentukan oleh tinggi rendahnya tarif pajak, melainkan bagaimana dana publik itu digunakan.

Finlandia, Denmark, dan Jepang misalnya, mematok pajak penghasilan di atas 50 persen. Meski begitu, warganya menikmati layanan publik kelas dunia. Finlandia menyediakan pendidikan gratis dari sekolah dasar hingga universitas, sementara Denmark dikenal dengan jaminan sosial bagi pengangguran. Jepang pun mampu menjaga kualitas hidup di tengah tantangan populasi lansia melalui sistem kesehatan nasional dan pensiun publik.

Berbeda dengan Belanda dan Swiss yang tarif pajaknya sedikit lebih rendah masing-masing sekitar 49,5 persen dan 40 persen namun hasilnya tetap serupa: masyarakat memperoleh akses kesehatan, pendidikan, serta transportasi umum yang modern dan efisien. Bahkan Belanda diakui UNICEF sebagai salah satu negara dengan anak-anak paling bahagia di dunia.

Menariknya, Singapura membuktikan bahwa pajak relatif rendah, sekitar 21 persen, juga bisa menopang kesejahteraan. Kuncinya terletak pada investasi berkelanjutan di pendidikan, pelatihan tenaga kerja, dan digitalisasi layanan publik. Negara kota ini bahkan menjadi salah satu pusat perdagangan paling maju di Asia.

Model berbeda terlihat di Uni Emirat Arab. Tanpa pajak penghasilan sama sekali, negara ini mampu membiayai layanan publik melalui pendapatan minyak dan gas. Subsidi listrik, air, dan perumahan membuat warganya tetap nyaman meski tidak menyetor pajak dari gaji.

Perbandingan ini memberi pelajaran penting bagi Indonesia. Tarif pajak yang tinggi atau rendah bukanlah penentu utama kesejahteraan. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan dalam pengelolaan dana publiklah yang menentukan apakah masyarakat merasa terbebani atau justru terlindungi. (alf/berbagai sumber)

 

 

Manfaatkan Segera! Pemutihan Pajak Kendaraan di Jabar Berakhir 30 September 2025

IKPI, Jakarta: Waktu hampir habis bagi masyarakat Jawa Barat yang ingin menikmati program pemutihan pajak kendaraan bermotor. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jabar menegaskan, fasilitas keringanan tersebut hanya berlaku sampai akhir September 2025.

Melalui program ini, pemilik kendaraan cukup membayar pajak tahun berjalan tanpa harus menanggung denda maupun beban tunggakan lama. Bahkan, masyarakat juga bisa memperoleh pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) II.

Kepala Bapenda Jabar, Asep Supriatna, mengingatkan masyarakat agar tidak menunda pembayaran hingga detik terakhir. “Biasanya antrean membludak menjelang penutupan. Lebih baik segera diselesaikan sekarang, apalagi layanan Samsat juga tetap buka di akhir pekan,” jelasnya.

Program pemutihan ini awalnya digelar mulai 20 Maret 2025 hingga 6 Juni 2025, namun diperpanjang oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi lantaran minat masyarakat cukup tinggi. Dedi menegaskan, setelah masa relaksasi berakhir, tidak ada toleransi lagi bagi wajib pajak yang masih membandel.

“Semua keringanan sudah diberikan. Jika sampai batas akhir belum juga bayar, kendaraan tidak akan diperbolehkan beroperasi di jalan raya,” tegasnya.

Bapenda bersama Jasa Raharja dan Polda Jabar akan melakukan evaluasi setelah program selesai. Fokusnya, merumuskan strategi baru agar kepatuhan pajak kendaraan terus meningkat, baik melalui edukasi maupun langkah penegakan aturan yang lebih tegas. (alf)

 

Ini Tarif PPh Transaksi Emas Bullion Sesuai PMK 51/2025 dan Cara Penghitungannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 menetapkan ketentuan baru mengenai pajak penghasilan (PPh) atas transaksi emas bullion. Aturan yang berlaku sejak 1 Agustus 2025 ini menetapkan bahwa tarif PPh Pasal 22 dikenakan sebesar 0,25% dari nilai jual emas.

Pemungutan PPh 22 ini berlaku pada transaksi yang dilakukan oleh:

• Lembaga Jasa Keuangan (LJK) bullion saat membeli emas batangan, kecuali jika nilai transaksinya tidak lebih dari Rp10 juta.

• Pedagang perhiasan atau pabrikan emas batangan yang menjual ke pihak selain konsumen akhir, wajib pajak dengan PPh final, atau wajib pajak yang memiliki surat keterangan bebas (SKB) PPh Pasal 22.

Pemerintah menegaskan bahwa konsumen akhir tidak dipungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas. Namun, pembelian emas perhiasan oleh konsumen tetap dikenakan PPN 1,65% dari harga jual sesuai ketentuan di PMK 52/2025.

Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap regulasi pajak emas menjadi lebih sederhana, adil, dan transparan, sekaligus memperkuat penerimaan negara dari sektor perdagangan emas.

Cara Hitung Pajak Emas

Pemerintah juga memberikan contoh perhitungan agar lebih mudah dipahami.

• Emas batangan (pabrikan): jika sebuah perusahaan menjual emas senilai Rp180 juta, maka PPh 22 sebesar 0,25% atau Rp450 ribu wajib dipungut dan disetorkan ke negara.

• Emas perhiasan (pedagang): penjualan ke konsumen senilai Rp75 juta akan dikenakan PPN 1,65%, sehingga total pembayaran menjadi Rp76,237 juta. (alf)

 

Misbakhun Dorong PPN 10% untuk Jaga Daya Beli Rakyat

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengusulkan agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan dari 11% menjadi 10%. Menurutnya, kebijakan fiskal tersebut akan menjadi langkah nyata pemerintah dalam meringankan beban masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.

“Presiden Prabowo Subianto ingin wong cilik podho gemuyu, rakyat kecil bisa tersenyum. Semangat itu sederhana tetapi sarat makna. Maka harus ada kebijakan yang betul-betul terasa bagi masyarakat,” kata Misbakhun saat berbincang di sebuah kedai kopi kawasan Senayan, Minggu (31/8/2025).

Politisi Golkar yang juga Ketua Umum DEPINAS SOKSI itu menegaskan, konsumsi masyarakat harus tetap terjaga agar daya beli tidak melemah. Karena itu, DPR siap mendorong berbagai kebijakan fiskal yang bisa mempertahankan kekuatan belanja rakyat.

Tidak hanya soal tarif umum PPN, Misbakhun bahkan menyarankan agar beberapa produk turunan pertanian yang kini terkena pajak diberikan tarif lebih rendah, yakni 8%. Menurutnya, hal itu akan mendukung hilirisasi dan industrialisasi sektor pertanian yang tengah digencarkan pemerintah.

“Kalau produk turunan pertanian diberikan tarif lebih rendah, dampaknya akan positif bagi hilirisasi. Memang penerimaan negara bisa tertekan, tapi manfaat jangka panjang bagi sektor riil jauh lebih besar,” ujarnya.

Meski begitu, Misbakhun menilai penurunan PPN dari 11% ke 10% tidak akan menggerus penerimaan secara drastis. Ia yakin, berkurangnya tarif dapat tertutup oleh peningkatan volume transaksi ekonomi.

“Dengan tarif PPN yang lebih rendah, konsumsi masyarakat akan terdorong. Permintaan barang meningkat, dan sektor riil pun akan lebih produktif,” tutupnya. (alf)

 

HUT IKPI Ke-60: Kebersamaan yang Menguatkan Ciptakan Semangat yang Tak Pernah Padam

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merayakan Hari Ulang Tahun ke-60 dengan penuh semangat kebersamaan. Momentum enam dekade perjalanan ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam menjaga profesionalisme, integritas, dan peran strategis konsultan pajak di Indonesia.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi energi yang tak ternilai harganya. Dalam setiap langkah, rasa saling mendukung dan semangat untuk maju bersama menjadi fondasi kokoh yang membuat kita mampu melewati berbagai tantangan. Demikian pula di lingkungan IKPI, nilai kebersamaan selalu menjadi napas yang menghidupkan asosiasi ini.

Kami percaya, tanpa kebersamaan, tak mungkin lahir karya besar yang bermanfaat luas. Sinergi antaranggota, pengurus, dan seluruh pihak yang terlibat, menjadi sumber kekuatan yang membuat IKPI terus tumbuh, beradaptasi, dan berinovasi.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi semangat bagi kami untuk terus berkarya bagi asosiasi yang amat kami cintai dan banggakan. Terlebih di momen istimewa ini, HUT IKPI yang ke-60, kami ingin menjadikannya sebagai momentum refleksi sekaligus motivasi untuk melangkah lebih jauh. Enam dekade perjalanan bukanlah waktu yang singkat, melainkan bukti keteguhan, loyalitas, dan kontribusi nyata dari seluruh keluarga besar IKPI.

Mari kita rawat kebersamaan ini. Mari kita jadikan IKPI sebagai rumah besar tempat kita berkontribusi, bertumbuh, dan melahirkan gagasan terbaik. Karena bersama, kita lebih kuat. Bersama, kita bisa terus melangkah, menorehkan karya, dan menjaga marwah organisasi yang kita banggakan. Sukses IKPI, sukses untuk Kita semua.

Selamat Ulang Tahun IKPI ke-60,

IKPI Untuk Nusa Bangsa…

IKPI Pasti Bisa…

IKPI Jaya… Jaya… Jaya…

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Ratusan Anggota IKPI Ikuti KKL di Hanoi, Tampil di Forum Pajak Internasional

IKPI, Hanoi: Sebanyak 130 anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dari berbagai daerah di Tanah Air ambil bagian dalam Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Hanoi, Vietnam, pada 28–31 Agustus 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari mata kuliah semester dua Program RPL S1 Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.

Dikomando oleh 2 orang komandan tingkat (komting) yaitu Lilisen Ketua IKPI Pengurus Daerah Sumatera Bagian Tengah (Pengda Sumbagteng), dan Mardi Sekretaris IKPI Pengda DKJ

Lilisen menyampaikan bahwa KKL merupakan syarat penting bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi.

“KKL ini merupakan mata kuliah semester 2 yang wajib dilaksanakan sebagai bagian dari persyaratan kuliah S1. Kami bersyukur bisa melaksanakannya di luar negeri sehingga memberikan pengalaman berbeda bagi para peserta,” kata Lilisen, Minggu (31/8/2025).

Menurutnya, partisipasi besar anggota IKPI di kegiatan ini menunjukkan komitmen kuat para konsultan pajak dalam mengembangkan kapasitas akademik sekaligus menambah wawasan global. “Sebagai konsultan pajak, kita tidak bisa hanya terpaku pada praktik nasional. Perkembangan perpajakan dunia, terutama terkait digitalisasi dan kerja sama antarnegara, harus kita pahami. Karena itu, KKL ini sangat relevan,” tegasnya.

Mardi menyatakan, interaksi dengan mahasiswa di Hanoi Law University (HLU) juga menjadi momen penting untuk saling belajar. “Kami bangga melihat teman-teman Unwahas berani tampil membawakan presentasi di hadapan forum internasional. Ini membuktikan konsultan pajak dan praktisi hukum Indonesia siap bersuara di level global,” ujarnya.

Mereka yang tampil dalam forum akademik di Hanoi Law University (HLU), Vietnam pada Sabtu (30/8) adalah Arvin Max Samuels (anggota IKPI Tangkot) dan Roy David Kiantiong (anggota IKPI Jakbar).

Dalam forum akademik tersebut, Arvin mempresentasikan kajian berjudul “Indonesia – Vietnam Tax Administration Comparison Updates” dan Roy mempresentasikan kajian berjudul “Comparative Overview of Transfer Pricing Legal Basis in Indonesia and Vietnam.”

Dekan FH Unwahas, Dr. M. Shidqon Prabowo, SH., MH., menegaskan bahwa agenda ini merupakan bagian dari upaya internasionalisasi kampus. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya jago di hukum nasional, tetapi juga melek tren global, termasuk isu pajak yang kini menjadi perhatian banyak negara,” ujarnya.

Selain di HLU, delegasi Unwahas juga melakukan kunjungan resmi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Hanoi.

Dalam kesempatan itu, Dubes RI untuk Vietnam, Benny Abdi, menyampaikan pentingnya peran perguruan tinggi dalam mendukung diplomasi Indonesia melalui riset dan forum akademik.

Lilisen menilai seluruh rangkaian kegiatan ini memberi manfaat ganda bagi peserta, baik dari sisi akademik maupun profesional. “KKL di Hanoi ini bukan sekadar perjalanan studi, tetapi juga pembelajaran tentang bagaimana Indonesia bisa berdialog dan bekerja sama dengan negara lain melalui jalur akademik dan profesi. Saya yakin pengalaman ini akan menjadi bekal berharga bagi seluruh peserta, khususnya anggota IKPI,” katanya. (bl)

en_US