Target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2030 bagi Indonesia terasa seperti mendaki Everest dengan kecepatan penuh. Ambisi ini, yang dilemparkan ke tengah pusaran ketidakpastian global, menuntut lebih dari sekadar harapan; ia butuh strategi radikal. Strategi yang kini mulai terlihat adalah pergeseran peran pajak dari sekadar mesin pemungut dana negara menjadi pengungkit (leverage) investasi paling strategis yang dimiliki pemerintah.
Kita selama ini terbiasa melihat pajak sebagai kewajiban, sebagai kantong negara yang wajib diisi. Namun, seperti yang ditegaskan oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, paradigma itu harus dipecah. Untuk mencapai lompatan 8% yang diidam-idamkan, Indonesia membutuhkan investasi kolosal senilai US$815 miliar dalam lima tahun ke depan. Jumlah ini, tak ubahnya sebuah gunung emas, mustahil dipindahkan hanya dengan mengandalkan konsumsi domestik. Ia butuh dorongan instrumen fiskal yang luar biasa cerdas.
“Pajak harus ditempatkan sebagai instrumen insentif untuk mendorong inovasi, investasi berkualitas, serta mempercepat transisi hijau,” ujar Rosan, menandakan revolusi dalam kebijakan fiskal.
Perjudian Cerdas di Meja Reformasi Fiskal
Inilah inti dari taruhan besar pemerintah: mengubah pajak dari cost center menjadi profit driver melalui skema insentif yang selektif.
Bukan lagi saatnya obral diskon pajak tanpa pandang bulu. Kebijakan ini menekankan pentingnya pajak yang ditargetkan pada sektor-sektor yang menciptakan multiplier effect tertinggi seperti hilirisasi, alih teknologi, dan proyek transisi energi hijau. Investor asing atau domestik tidak hanya diberi wortel, tetapi dipandu untuk menanam modal di lahan yang paling subur untuk masa depan ekonomi Indonesia.
Namun, di sinilah letak dilema terbesarnya, yang ibarat dua sisi mata uang:
Sisi Insentif: Pemberian insentif, bagaimanapun bentuknya, secara langsung menggerus penerimaan negara di neraca APBN saat ini. Kebijakan ini adalah perjudian: kita harus percaya bahwa penurunan penerimaan jangka pendek akan diimbangi oleh investasi berkualitas yang melipatgandakan basis pajak (tax base) di masa depan.
Sisi Penerimaan: Di saat yang sama, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan bahwa penguatan penerimaan tetap fundamental. Fokus diarahkan pada perbaikan tata kelola internal di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai.
Para ahli fiskal sejak lama memperingatkan: insentif tidak akan pernah berhasil jika sistem administrasi dan birokrasinya bocor dan lamban. Mengapa? Karena bagi investor besar, kepastian regulasi dan kecepatan birokrasi seringkali jauh lebih bernilai ketimbang diskon pajak semata.
Kepastian di Atas Segalanya
Jika visi pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang sehat dan berdaya saing, maka reformasi birokrasi di DJP dan DJBC adalah kuncinya. Perbaikan integritas dan tata kelola bukan hanya isu etika, melainkan penentu daya saing. Investasi triliunan rupiah tidak akan datang jika harus berhadapan dengan birokrasi yang berbelit atau rawan negosiasi di bawah meja.
Di sisi lain, publik juga menuntut keadilan. Pajak yang adil berarti manfaat dari pertumbuhan 8% itu harus merata. Jika korporasi besar mendapat insentif, maka masyarakat berhak mendapat jaminan bahwa hasil investasi tersebut menjelma menjadi lapangan kerja berkualitas, peningkatan infrastruktur, dan layanan publik yang lebih baik.
Sukses atau Gagal?
Strategi pemerintah menempatkan pajak sebagai senjata rahasia untuk mencapai 8% adalah langkah yang berani, ambisius, dan sarat risiko.
Ini bukan lagi tentang sekadar menghitung persenan PPN atau PPh. Ini adalah soal desain ulang filosofis bagaimana kita menggunakan kekuasaan fiskal. Keberhasilan target 8% pada 2030 akan sepenuhnya ditentukan oleh:
Seberapa cermat pemerintah merancang insentif yang benar-benar selektif agar modal tidak lari.
Seberapa cepat dan tuntas reformasi integritas birokrasi pajak dilakukan, membebaskan investor dari jerat ketidakpastian.
Jika kedua prasyarat ini dipenuhi, lompatan ekonomi 8% mungkin saja terjadi. Jika tidak, strategi ini hanya akan menjadi tumpukan insentif mahal yang gagal mendongkrak potensi Indonesia. Kita tunggu, apakah senjata fiskal ini akan memicu ledakan investasi, atau hanya menjadi amunisi yang macet di larasnya.
Referensi:
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). (2025, 15 Desember). Target Ekonomi 8 Persen 2030, Pemerintah Andalkan Pajak sebagai Pengungkit Investasi.
Pernyataan mengenai kebutuhan investasi (Rosan Roeslani, Menteri Investasi) dan pentingnya reformasi administrasi pajak (Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan)
Teori Ekonomi Fiskal: Konsep mengenai dilema antara fungsi pajak sebagai sumber penerimaan (revenue collector) dan alat stimulasi ekonomi (investment driver), termasuk prinsip pemberian insentif pajak yang selektif dan berdampak tinggi.
Data dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tren investasi global.
Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo
Muhammad Ikmal
Email: ikmal.patarai@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis