Tak Hanya Lokal, Marketplace Asing Kini Bisa Pungut PPh dari Pedagang RI

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai memberlakukan kewajiban baru bagi marketplace luar negeri untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% dari para pedagang asal Indonesia yang berjualan di platform mereka. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 dan menjadi langkah berani untuk memastikan keadilan pajak lintas platform digital.

Marketplace asing seperti yang berbasis di Singapura, Cina, Jepang, hingga Amerika Serikat kini tidak luput dari sorotan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selama mereka memenuhi syarat tertentu, termasuk memiliki transaksi dan lalu lintas pengguna yang signifikan serta menggunakan rekening escrow, pemerintah berwenang menunjuk mereka sebagai pemungut pajak.

“Kalau kita lihat ada marketplace luar negeri, entah di Singapura atau Amerika, yang ternyata digunakan oleh banyak pedagang dari Indonesia, maka kita bisa tunjuk mereka untuk memungut PPh 0,5%,” ujar Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, di Jakarta, baru-baru ini.

Hestu menekankan bahwa penunjukan ini bertujuan menciptakan level playing field antara marketplace domestik dan asing. Tanpa aturan ini, para pelaku usaha cenderung akan migrasi ke platform luar negeri demi menghindari potongan pajak.

“Ini bukan semata-mata soal pemasukan negara, tapi juga soal menjaga fairness dalam ekosistem e-commerce,” tambahnya.

Adapun kriteria penunjukan marketplace luar negeri sebagai pemungut pajak akan ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Hestu memberi gambaran bahwa kemungkinan besar kriterianya tidak jauh berbeda dari aturan PPN PMSE, yakni transaksi di atas Rp600 juta setahun atau traffic minimal 1.000 pengunjung per bulan.

Meski PMK 37/2025 telah resmi berlaku sejak 14 Juli 2025, implementasi pemungutan baru akan dimulai setelah DJP mengeluarkan keputusan resmi atas penunjukan masing-masing marketplace.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap semua pelaku usaha, baik yang berjualan di platform dalam maupun luar negeri, turut berkontribusi secara adil dalam sistem perpajakan nasional. (alf)

 

Ojol dan Penjual Pulsa Bebas dari Pungutan PPh 22 Pedagang Online

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pengemudi ojek online (ojol), penjual pulsa, hingga pelaku usaha emas tidak termasuk dalam kelompok yang wajib dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dalam skema perdagangan elektronik.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mengatur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh oleh pihak ketiga terhadap pedagang dalam negeri yang berjualan melalui platform digital (e-commerce).

“Ojol tidak termasuk objek pungutan. Mereka masuk dalam daftar pengecualian,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama dalam sesi taklimat media di Jakarta, Senin (14/7/2025).

Hestu juga menyebutkan bahwa penjual pulsa dan kartu perdana tidak dikenai pungutan pajak karena telah diatur dalam ketentuan tersendiri, yakni PMK Nomor 6 Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, sudah diatur mekanisme pajak untuk transaksi pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.

Tak hanya itu, beberapa jenis usaha lain juga dikecualikan dari pemungutan PPh 22. Di antaranya pelaku usaha emas perhiasan, emas batangan, hingga perhiasan dari bahan non-emas dan batu permata. Termasuk pula transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang lazimnya dilakukan melalui notaris.

“Khusus pengalihan tanah dan bangunan, proses pajaknya dilakukan secara terpisah melalui notaris,” jelas Hestu.

Pengecualian juga berlaku bagi pedagang yang telah memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) pemungutan atau pemotongan PPh.

Untuk pedagang yang dikenai pajak, tarif yang berlaku adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto, di luar komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Omzet bruto diartikan sebagai seluruh penghasilan sebelum dikurangi potongan penjualan dan sejenisnya.

PMK 37/2025 juga menetapkan dua kriteria utama bagi pedagang online yang dikenai pungutan PPh 22. Pertama, menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening elektronik sejenis. Kedua, menggunakan alamat IP atau nomor telepon yang menunjukkan aktivitas dari dalam wilayah Indonesia. (alf)

 

 

 

 

Dirjen Pajak Jamin PPh 22 E-Commerce Tak Naikkan Harga Barang, Asosiasi Minta Masa Transisi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, memastikan bahwa pemberlakuan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform e-commerce tidak akan berdampak pada harga barang yang dibayar konsumen. Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang menunjuk platform digital sebagai pihak pemungut pajak.

“Enggak ada (kenaikan harga), ini bukan pajak baru. Jadi tidak akan menaikkan harga. Penjual di marketplace selama ini sudah menghitung sendiri kewajiban perpajakannya, meskipun belum dipungut oleh platform,” tegas Bimo usai rapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (15/7/2025).

Menurut Bimo, kebijakan ini dirancang dengan prinsip keadilan dan konsistensi dengan sistem perpajakan yang telah berjalan. “Policy ini sudah sangat fair dan sesuai dengan praktik yang selama ini diimplementasikan,” ujarnya.

Namun, kekhawatiran tetap muncul dari kalangan pelaku industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan bahwa meskipun PMK 37/2025 tidak menciptakan beban pajak baru, implementasinya membawa tantangan teknis dan administratif yang cukup signifikan, terutama bagi UMKM.

“Marketplace memang tidak diwajibkan memverifikasi surat pernyataan omzet dari penjual. Tapi mereka harus menyediakan sistem bagi seller untuk mengunggah dokumen tersebut, yang kemudian diteruskan ke sistem DJP. Surat ini wajib ditandatangani dan dibubuhi materai, sehingga perlu kesiapan sistem dan edukasi intensif,” jelas Budi dalam pernyataan resminya.

idEA pun meminta agar pemerintah memberikan masa transisi yang cukup serta sosialisasi menyeluruh kepada para pelaku usaha, khususnya UMKM yang belum familiar dengan administrasi digital perpajakan. Menurutnya, mayoritas platform butuh waktu setidaknya satu tahun untuk siap sepenuhnya menjalankan peran sebagai pemungut pajak.

Meski pungutan PPh Pasal 22 secara yuridis dibebankan kepada penjual, Budi tak menampik kemungkinan adanya dampak tidak langsung ke konsumen. “Dalam praktiknya, keputusan untuk menanggung atau meneruskan beban pajak ke harga jual sangat tergantung strategi masing-masing merchant,” pungkasnya. (alf)

 

Sri Mulyani Wajibkan Marketplace Setor Pajak Pedagang Online, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk para pelaku e-commerce atau marketplace sebagai pemungut dan penyetor pajak penghasilan (PPh) atas transaksi para pedagang online di platform mereka. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Melalui aturan tersebut, marketplace kini berperan sebagai “pihak lain” yang ditugaskan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi secara elektronik.

“Marketplace akan memungut PPh dari pedagang online yang omzetnya di atas Rp 500 juta per tahun,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Tidak Semua Pedagang Kena Pajak

Namun demikian, pemerintah menegaskan tidak semua pedagang online otomatis dikenai pungutan pajak. Pengecualian diberikan bagi mereka yang memiliki omzet tahunan maksimal Rp500 juta. Ketentuan ini mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kalau omzetnya sampai Rp 500 juta setahun, tidak dikenai PPh. Ini bentuk perlindungan bagi UMKM kecil,” jelas Yoga.

Skema Pemungutan PPh Final

Pedagang orang pribadi dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun akan dikenai PPh Final 0,5%, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Sementara itu, untuk omzet di atas Rp4,8 miliar atau bagi yang memilih skema tarif umum, PPh yang dipungut tetap 0,5% namun bersifat kredit pajak bukan final sehingga bisa diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan.

Aturan serupa juga berlaku untuk pedagang berbentuk badan usaha. Jika omzetnya di bawah Rp4,8 miliar dan memenuhi syarat PP 55/2022, maka tarif final 0,5% masih bisa digunakan. Di atas batas itu, pungutan menjadi kredit pajak.

“Kalau di atas Rp4,8 miliar, PPh yang dipungut bisa dikreditkan. Jadi ini bukan beban ganda, justru menyederhanakan dan memudahkan pelaporan,” imbuh Yoga.

Simulasi Penghitungan Pajak

Mengacu situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, berikut simulasi penghitungan PPh di e-commerce:

• Omzet tahunan: Rp600 juta

• Bagian tidak kena pajak: Rp500 juta

• Bagian kena pajak: Rp100 juta

• PPh Final 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000

Kebijakan ini menjadi langkah pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan di sektor ekonomi digital, tanpa mempersulit pelaku UMKM kecil yang baru tumbuh. (alf)

RI Peringkat 2 Dunia dalam Transparansi Pajak Versi CEP dan IDOS

IKPI, Jakarta: Indonesia diganjar predikat sebagai negara paling transparan nomor dua di dunia dalam hal pelaporan belanja perpajakan. Kementerian Keuangan pun mengklaim pencapaian ini sebagai bukti nyata keberhasilan reformasi fiskal, meski kalangan legislatif meminta pemerintah tak terjebak dalam euforia.

Predikat bergengsi tersebut diberikan oleh Council on Economic Policies (CEP) bersama German Institute of Development and Sustainability (IDOS) lewat indeks Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) tahun 2024.

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (17/7/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut bahwa laporan belanja perpajakan Indonesia mendapat apresiasi tinggi secara internasional.

“Kami melakukan pelaporan belanja perpajakan setiap tahun dan laporan yang kami publikasikan dianggap cukup dihormati di tingkat global. Indonesia menempati posisi kedua dalam indeks transparansi belanja perpajakan dunia,” ujar Febrio.

Ia menambahkan, nilai belanja perpajakan Indonesia diperkirakan bakal menembus Rp500 triliun pada tahun 2025. Anggaran ini, kata Febrio, memberikan dampak langsung bagi rumah tangga, UMKM, dan sektor usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun di tengah pujian, muncul pula nada kritis. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan klaim efisiensi tinggi dalam pengumpulan pajak yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengklaim bahwa kinerja lembaganya hanya kalah dari dua negara maju, yakni Amerika Serikat dan Australia. “Kalau dibandingkan dengan Filipina, India, bahkan China, kita sudah lebih efisien,” ujar Bimo.

Ia menjelaskan bahwa biaya pengumpulan pajak (cost of tax collection) Indonesia kini berada di bawah 1 persen terhadap PDB. Ini dinilai sebagai indikator bahwa DJP bisa menghasilkan penerimaan pajak triliunan rupiah dengan anggaran yang relatif kecil.

Namun Misbakhun mengingatkan bahwa efisiensi bukan berarti pengorbanan nol. “Tidak ada rumus dalam teori ekonomi bahwa hasil optimal bisa dicapai tanpa pengorbanan. Untuk mencapai penerimaan yang optimal, tentu tetap harus ada investasi,” katanya mengkritik klaim sepihak DJP.

Transparansi yang meningkat dan efisiensi yang diklaim pemerintah patut diapresiasi, namun tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa insentif dan kebijakan fiskal benar-benar berdampak positif bagi rakyat dan bukan sekadar angka manis di atas kertas. (alf)

 

Indonesia Lolos dari Tarif 32%, Gantinya Borong Energi dan Jet AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan penurunan tarif impor terhadap barang-barang asal Indonesia menjadi 19%, jauh lebih rendah dari angka sebelumnya yang ditetapkan sebesar 32%.

Keputusan ini disampaikan Trump sebagai bagian dari kesepakatan dagang bilateral antara kedua negara.

Dalam konferensi pers yang dikutip dari Reuters, Rabu (16/7/2025) Trump menyatakan, “Mereka akan membayar 19% dan kami tidak akan membayar apapun. Kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan.”

Kesepakatan tersebut tidak hanya menandai meredanya tensi dagang yang sempat memanas, tapi juga membuka jalan bagi kerja sama bernilai jumbo. Trump mengungkapkan bahwa Indonesia telah berkomitmen membeli 50 unit pesawat Boeing mayoritas tipe Boeing 777 serta produk energi AS senilai US$15 miliar dan produk pertanian senilai US$4,5 miliar.

“Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli Energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$4,5 miliar, dan 50 Jet Boeing,” ujar Trump dalam keterangannya kepada AFP.

Kabar ini datang setelah Trump sebelumnya menyatakan melalui platform Truth Social miliknya bahwa dirinya telah meneken “Kesepakatan Besar” dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Namun saat itu ia belum mengungkapkan rincian kesepakatan. “Saya membuat kesepakatan langsung dengan Presiden mereka yang paling dihormati. DETAILNYA MENYUSUL!!!” tulis Trump dalam unggahannya.

Ketegangan dagang antara AS dan Indonesia sempat memuncak setelah Trump menetapkan kebijakan tarif resiprokal 32% terhadap barang dari Indonesia, berlaku mulai 1 Agustus 2025. Pemerintah Indonesia merespons cepat dengan melakukan rangkaian negosiasi intensif.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa Indonesia sempat berhasil mendapatkan penundaan penerapan tarif tersebut usai pertemuan dengan US Secretary of Commerce Howard Lutnik dan US Trade Representative Jamieson Greer pada 9 Juli 2025.

“Tambahan 10% untuk anggota BRICS itu tidak ada. Yang kedua, waktunya kita sebut ‘pause’, jadi penundaan penerapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah ada,” ujar Airlangga.

Setelah pertemuan lanjutan di Washington, AS memberikan tenggat waktu tiga minggu kepada Indonesia untuk merampungkan negosiasi. Kesepakatan yang diumumkan Trump kali ini disebut sebagai hasil dari diplomasi intens yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut.

Dengan turunnya tarif impor dan masuknya kontrak pembelian besar dari Indonesia, hubungan ekonomi AS-RI memasuki babak baru yang disebut berbagai pihak sebagai “win-win deal” membuka akses pasar yang lebih luas sekaligus memperkuat posisi dagang Indonesia di kancah global. (alf)

 

Kemenkeu Siapkan Cukai Baru untuk Snack Tinggi Garam

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji perluasan objek cukai dengan menyasar produk pangan olahan bernatrium (P2OB) seperti makanan ringan dalam kemasan. Kebijakan ini masuk dalam rencana program pengelolaan penerimaan negara tahun anggaran 2026.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan, usulan cukai terhadap produk pangan tinggi natrium merupakan bagian dari strategi ekspansi barang kena cukai. “Rekomendasi kepada ekspansi barang-barang kena cukai,” ujar Anggito saat rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

Rekomendasi ini masuk dalam output kebijakan administratif yang dirancang untuk mengoptimalkan penerimaan negara secara adil, sehat, dan berkelanjutan. Selain itu, Kemenkeu juga merancang strategi lain seperti optimalisasi potensi perpajakan berbasis data dan media sosial, penguatan regulasi perpajakan dan PNBP, serta penyempurnaan proses ekspor-impor dan logistik.

Produk pangan olahan tinggi natrium telah menjadi bahan kajian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sejak 2024. DJBC menilai, konsumsi garam berlebih dari makanan olahan memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat.

“Olahan bernatrium ternyata masuk dalam program GGL (gula, garam, lemak) di RPJMN Bappenas. Ini terkait penyakit tidak menular yang lebih berbahaya dari penyakit menular, karena dikonsumsi rutin tanpa disadari,” jelas Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Iyan Rubiyanto dalam kuliah umum di PKN STAN, Rabu (24/7/2024).

Selain P2OB, pemerintah juga masih mengkaji potensi cukai atas plastik, bahan bakar minyak (BBM), minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), serta pengalihan pajak barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor ke skema cukai.

Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan aspek kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, sembari menjaga kesinambungan penerimaan negara. (alf)

 

Pamer Harta di Medsos? Siap-Siap Diintip Fiskus!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini semakin aktif memanfaatkan media sosial sebagai alat pengawasan kepatuhan pajak masyarakat. Strategi ini akan diperkuat pada 2026 mendatang sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (14/7/2025), menegaskan pentingnya menggali potensi penerimaan melalui pendekatan data analitik dan pemantauan media sosial.

“Penggalian potensi itu melalui data analytic maupun media sosial,” kata Anggito.

Langkah ini bukan hanya wacana. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, mengungkapkan bahwa DJP telah menggunakan teknologi crawling yakni pemindaian otomatis terhadap unggahan pengguna di media sosial untuk mendeteksi potensi pajak yang belum tergali.

“Di medsos itu pasti diamati. Model crawling kita lakukan pengawasan, walau belum ada regulasi kita untuk memungut,” jelas Yoga saat media briefing di Kantor Pusat DJP.

Menurutnya, para fiskus aktif mencocokkan informasi kekayaan yang dipamerkan wajib pajak di medsos dengan data yang tercatat dalam sistem administrasi pajak. Bila ditemukan ketidaksesuaian, otoritas akan memberikan edukasi atau peringatan langsung kepada wajib pajak terkait.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, pasti diamati teman-teman pajak,” tegasnya.

Tak hanya pengguna biasa, penerima endorsement juga menjadi sasaran pengawasan. DJP memastikan bahwa aktivitas ekonomi digital yang muncul di media sosial tidak luput dari radar fiskus.

“Kalau endorsement juga sudah kita lakukan banyak pengawasan,” imbuhnya.

Yoga menegaskan, pengawasan ini bertujuan menciptakan kesetaraan dalam kepatuhan perpajakan, baik di dunia nyata maupun digital. Dengan semakin luasnya ekosistem digital, DJP merasa perlu untuk terus beradaptasi.

“Jangan sampai ada yang tidak kena pajak hanya karena aktivitasnya dilakukan secara daring, sementara yang lain tunduk pada kewajiban pajak,” pungkasnya. (alf)

 

Korporasi Kini Bisa Dipidana Pajak dan Dikenai TPPU, Yunus Husein: Saatnya Berburu di Hutan Pajak

IKPI, Jakarta: Penegakan hukum di bidang perpajakan mengalami kemajuan penting dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam menyasar korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dijerat pidana. Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002–2010, Yunus Husein, dalam diskusi panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum Dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yunus menyebut bahwa perkembangan paling signifikan dalam penegakan hukum pajak adalah keberanian otoritas fiskal memproses badan hukum yakni wajib pajak korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan. Menurutnya, paradigma lama yang hanya menyasar individu wajib pajak mulai ditinggalkan.

“Sekarang, wajib pajak korporasi sudah mulai diproses sebagai subjek hukum. Ini bukan hanya karena putusan Mahkamah Agung tahun 2014 yang menegaskan bahwa Pasal 39 Undang-Undang KUP juga berlaku untuk badan, tapi juga karena keberanian fiskus menggunakan instrumen TPPU,” ujar Yunus.

Ia mencontohkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini mulai menggabungkan pendekatan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama Pasal 3, 4, dan 5, untuk membongkar skema pelanggaran pajak yang terorganisir dan kompleks.

Perampasan Aset Tanpa Terdakwa 

Salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan, menurut Yunus, adalah mekanisme non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa kehadiran atau status hukum terdakwa), sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU TPPU dan ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013.

“Kalau wajib pajak melarikan diri atau bahkan sudah meninggal, asetnya tetap bisa dirampas. Tidak perlu menunggu terdakwa diadili dan divonis bersalah. Ini penting untuk mencegah penghilangan barang bukti dan memulihkan kerugian negara lebih cepat,” jelasnya.

Meski demikian, Yunus mengakui masih ada hambatan implementasi di lapangan. Contohnya dalam kasus wajib pajak yang meninggal dunia, sebagian pengadilan masih ragu menyamakan status hukum dengan buron. Padahal, menurutnya, keduanya sama-sama tidak bisa hadir, dan karena itu pendekatan non-conviction tetap relevan.

Yunus juga mendorong agar aparat penegak hukum lebih berani menggunakan mekanisme in absentia penyidikan dan persidangan tanpa kehadiran terdakwa yang telah diperbolehkan oleh UU HPP maupun UU TPPU.

“Jangan ragu menindak meski wajib pajaknya tidak hadir. Banyak kasus besar seperti Hartawan Aluwi, Bank Century, dan kasus-kasus pajak fiktif, bisa tetap diproses meski pelaku tidak muncul,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyayangkan masih rendahnya tingkat tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari PPATK oleh instansi penegak hukum, termasuk DJP.

“Dari ribuan laporan yang kami kirim ke instansi pajak, belum sampai 50 persen yang ditindaklanjuti. Padahal, sebagian besar sudah mengandung indikasi pidana perpajakan yang serius,” ungkapnya.

Jangan Lagi Berburu di Kebun Binatang

Dalam konteks penerimaan negara, Yunus menyoroti bahwa tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10%, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Vietnam, atau bahkan Filipina.

Ia mengkritik kebiasaan fiskus yang terlalu fokus pada wajib pajak lama dan terus-menerus “memelototi” Surat Pemberitahuan (SPT) dari pihak yang sama, tanpa menggali potensi pajak dari sektor dan entitas baru.

“Mantan Kabareskrim Polri, Pak Susno Duaji pernah bilang ini seperti ‘berburu di kebun binatang’. Sudah pasti ketemu, tapi ya itu-itu saja. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian berburu di hutan wajib pajak baru, perusahaan besar, aset-aset gelap yang belum tergali,” ujar Yunus.

Ia menegaskan bahwa sebagian besar potensi penerimaan negara belum tergali secara optimal. Banyak wajib pajak yang selama ini lolos dari radar pengawasan, khususnya dalam bentuk entitas bisnis yang belum memiliki riwayat pelaporan pajak, namun aktif dalam transaksi keuangan bernilai besar.

Yunus menekankan bahwa sinergi antara DJP, PPATK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi kunci untuk meningkatkan penegakan hukum yang berdampak langsung pada penerimaan negara. Ia juga mengingatkan kembali keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2017 yang mewajibkan instansi penegak hukum menindaklanjuti laporan dari PPATK serta melaporkan hasilnya ke Presiden.

“Pajak adalah tulang punggung keuangan negara. Kalau kita tidak serius menindak pelanggaran pajak dengan instrumen hukum yang tersedia, bagaimana kita bisa membangun tanpa utang?,” kata Yunus. (bl)

 

Dirjen Pajak Siapkan Tiga Gebrakan, Perkuat Pengawasan & Penegakan Hukum

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa upaya perluasan basis pajak bukan satu-satunya fokus Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (14/7/2025), ia mengungkapkan tiga strategi utama yang tengah difinalisasi DJP untuk mendongkrak penerimaan negara.

“Kita sedang merencanakan dan memfinalisasi beberapa kebijakan, mulai dari pengenaan pajak atas transaksi aset kripto, penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion, hingga digitalisasi transaksi lintas negara melalui platform luar negeri,” papar Bimo.

Ketiga inisiatif tersebut disebut sebagai bagian dari transformasi kebijakan perpajakan era digital. Untuk mendukung implementasinya, DJP menggelontorkan anggaran sebesar Rp8,62 miliar, meski kebutuhan riil mencapai Rp10,33 miliar.

Namun, Bimo tak hanya mengejar potensi pajak dari sektor digital dan investasi. Ia menegaskan pentingnya penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum guna menutup celah kejahatan fiskal.

“Kami bekerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan Agung, KPK, dan lembaga lain untuk mengawasi praktik ekonomi ilegal maupun aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy),” ujarnya.

Menurutnya, dalam berbagai kegiatan penegakan hukum, selalu terdapat potensi pajak yang belum dipungut negara. Karena itu, DJP tidak hanya menunggu, tetapi aktif masuk melalui kerja sama audit bersama (join audit) dan pendekatan hukum yang adil.

“Tujuan kami jelas, mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan kuat, bukan sekadar mengejar target semata,” tutup Bimo.

Langkah DJP di bawah kepemimpinan Bimo menandai arah baru yang lebih progresif, dengan menyeimbangkan perluasan basis pajak dan penguatan pengawasan sebagai fondasi sistem perpajakan modern. (alf)

 

id_ID