Ketua IKPI Pengda DKJ: Rakorda 2025 Siap Dilaksanakan dengan Optimal

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah – Daerah Khusus Jakarta (Pengda DKJ) Tan Alim, menyatakan bahwa persiapan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) 2025 telah berjalan dengan baik dan siap untuk dilaksanakan sesuai agenda. Rakorda ini dijadwalkan berlangsung pada 21 Februari 2025 secara offline di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat.

Menurut Tan Alim, rapat koordinasi sebelumnya telah dilakukan bersama Ketua Pengurus Cabang (Pengcab) IKPI se- DKJ guna membahas persiapan Rakorda, termasuk konfirmasi tanggal dengan Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld. Rakorda ini akan dihadiri oleh seluruh pengurus Pengda dan Pengcab IKPI se-DKJ, serta akan dibuka dengan sambutan dari Ketua Umum IKPI atau perwakilannya.

“Persiapan hingga saat ini sudah cukup matang untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Kami berharap seluruh pengurus, baik di tingkat daerah maupun cabang, dapat hadir sesuai dengan target yang telah ditetapkan,” ujar Tan Alim di Jakarta, Kamis (20/2/2025).

Rakorda 2025 ini menargetkan kehadiran 113 peserta yang terdiri dari seluruh pengurus Pengda IKPI DKJ serta pengurus dari tujuh cabang, yakni Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Depok, dan Bekasi. Rakorda ini akan dihadiri khusus oleh para pengurus tanpa melibatkan anggota umum.

Dengan mengusung tema “Memperkuat Organisasi, Meningkatkan Kesejahteraan Anggota melalui Sinergi Program Kerja Pengda dan Pengcab yang Efektif”, Rakorda 2025 diharapkan dapat menjadi momentum strategis untuk menyelaraskan program kerja dan meningkatkan kesejahteraan anggota.

Dalam pelaksanaan Rakorda kali ini, berbagai agenda telah disusun secara sistematis untuk memastikan hasil yang maksimal. Beberapa agenda utama yang akan dibahas antara lain perencanaan program kerja tahun berjalan, serta strategi kolaborasi antara Pengda dan PengCab untuk mencapai tujuan visi misi IKPI. Selain itu, Rakorda juga menjadi ajang untuk memperkuat jaringan dan komunikasi antar pengurus guna meningkatkan efektivitas organisasi.

Tan Alim menambahkan bahwa keterlibatan aktif dari seluruh peserta sangat diharapkan agar setiap pengurus dapat memberikan masukan konstruktif demi kemajuan IKPI DKJ. Diskusi dan koordinasi yang baik dalam Rakorda ini diyakini akan menjadi pondasi kuat bagi organisasi dalam menghadapi tantangan dan peluang di masa mendatang.

“Kami ingin memastikan bahwa Rakorda ini bukan hanya menjadi ajang seremonial, tetapi benar-benar menghasilkan kebijakan dan langkah strategis yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota IKPI DKJ Khususnya dan Seluruh Anggita IKPI Umumnya. Oleh karena itu, kami mengajak semua pengurus untuk hadir dan berpartisipasi secara aktif,” kata Tan Alim.

Lebih lanjut, ia juga menegaskan pentingnya menjaga profesionalisme dan sinergi dalam menjalankan program kerja yang telah disepakati. Dengan dukungan penuh dari seluruh pengurus, Rakorda ini diharapkan mampu menghasilkan keputusan-keputusan strategis yang akan memperkuat organisasi dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

“Semoga Rakorda pertama dalam masa bakti 2024-2029 ini dapat dihadiri oleh seluruh pengurus serta Ketua Umum IKPI. Kami berharap Rakorda berjalan lancar sesuai agenda yang telah disusun,” ujarnya. (bl)

IKPI se-Bali Nusra Bahas Perpanjangan PP 55/2022 Diperpanjang dengan DJP Bali

IKPI, Denpasar: Dalam audiensi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali, pada Jumat (14/2/2025), Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Bali Nusra membahas perpanjangan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022), yang memungkinkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tetap membayar pajak dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.

Perpanjangan ini diumumkan oleh pemerintah pada Desember 2024 sebagai upaya mendukung keberlangsungan UMKM di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, hingga kini, teknis implementasi perpanjangan tersebut masih menunggu regulasi lebih lanjut dari pemerintah.

IKPI Bali Nusra Meminta Kejelasan Teknis

Ketua IKPI Bali Nusra, I Kadek Agus Ardika, menyoroti perlunya kejelasan aturan teknis agar pelaku UMKM tidak mengalami kebingungan dalam menjalankan kewajiban pajaknya.

“Saat ini, pelaku UMKM masih bisa membayar pajak Januari 2025 dengan tarif 0,5% sesuai dengan pernyataan resmi pemerintah. Namun, kami berharap ada aturan teknis yang lebih jelas agar tidak terjadi kesalahan administrasi di kemudian hari,” ujar Agus Ardika dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/2/2025).

Ia menambahkan bahwa kepastian regulasi sangat penting bagi para pelaku usaha kecil agar mereka dapat merencanakan keuangan dengan lebih baik tanpa kekhawatiran terkait perubahan aturan yang tiba-tiba.

Dampak Perpanjangan PP 55/2022 bagi UMKM

Kebijakan perpanjangan tarif pajak 0,5% ini dinilai memberikan angin segar bagi UMKM, terutama di sektor yang masih dalam tahap pemulihan setelah terdampak pandemi. Dengan tarif pajak yang lebih ringan, diharapkan pelaku usaha kecil tetap dapat bertahan dan berkembang tanpa terbebani kewajiban pajak yang lebih tinggi.

Meski demikian, masih ada tantangan yang perlu dihadapi, terutama terkait sosialisasi dan pemahaman UMKM terhadap aturan yang berlaku. Oleh karena itu, IKPI mengimbau anggotanya untuk terus mengikuti perkembangan kebijakan ini dan memastikan bahwa UMKM mendapatkan informasi yang akurat terkait perpanjangan tarif pajak ini.

Pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan teknis guna memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan UMKM dapat tetap mematuhi kewajiban perpajakan mereka tanpa kendala administrasi.

Ke depan, IKPI Bali Nusra berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan otoritas pajak guna memastikan bahwa kebijakan perpajakan yang berlaku dapat berjalan dengan baik dan tidak menyulitkan pelaku usaha kecil di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.

Hadir pada pertemuan tersebut adalah Perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:

 

Penerimaan Pajak Indonesia Masih Terbatas, Penasehat Presiden Soroti Ketergantungan pada Pembayar Pajak Terbatas

IKPI, Jakarta: Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan negara yang terlalu besar pada jumlah pembayar pajak yang terbatas, meskipun jumlah penduduk Indonesia sangat besar.

Dalam acara “Kumparan The Economics Insights 2025” yang digelar di The Westin, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2025) Bambang menyatakan, karena bergantung hanya kepada basis pajak yaitu pembayar pajak yang jumlahnya tidak seberapa besar dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, maka tax ratio RI hanya sekitar 10 persen.

Tax ratio Indonesia yang masih di angka 10 persen tersebut menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tax ratio terendah di kawasan ASEAN, bahkan berada jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bambang menambahkan, Indonesia ingin menjadi anggota OECD, namun tax ratio yang rendah menjadi salah satu tantangan terbesar.

Meskipun demikian, Bambang menegaskan bahwa meningkatkan tarif pajak atau menambah objek pajak bukanlah prioritas utama. “Pengalaman saya atau pengamatan saya adalah, tentunya kita tidak menjadikan kenaikan tarif pajak maupun penambahan objek pajak sebagai prioritas. Kalau memang itu dirasakan sangat mendesak, barangkali boleh-boleh saja, tapi yang lebih penting nomor satu adalah untuk bisa meningkatkan penerimaan pajak,” ujar Bambang.

Lebih lanjut, Bambang juga menyoroti praktik transfer pricing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun perusahaan domestik Indonesia. Ia menjelaskan bahwa banyak keuntungan yang seharusnya dikenakan pajak di Indonesia justru dipindahkan ke negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah, sehingga merugikan pendapatan negara.

“Nah keuntungan itu dipindahkan ke negara lain yang menjanjikan PPh badan atau corporate income tax yang jauh lebih rendah. Tentunya ini kerugian bagi kita,” jelas Bambang.

Bambang juga mengungkapkan kesepakatannya dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, yang sering menekankan pentingnya penerapan Coretax sebagai langkah untuk mendeteksi penerimaan pajak yang lebih akurat dan memperluas basis pajak.

“Karena salah satu cara kita untuk bisa mendeteksi penerimaan pajak yang lebih akurat dan memiliki basis pajak yang lebih luas adalah melalui sistem yang komprehensif seperti Coretax,” ujar Bambang.

Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam memperbaiki sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara, yang menjadi kunci penting dalam mendukung pembangunan nasional.(alf)

DEN Dorong Presiden Prabowo Audit Coretax untuk Tingkatkan Rasio Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan audit terhadap Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Hal ini disampaikan Luhut dalam acara “Economic Insight 2025” di Westin Hotel, Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Luhut menilai bahwa Coretax, yang sudah dirancang lebih dari sepuluh tahun, belum juga selesai dan ini menjadi salah satu hambatan utama bagi peningkatan rasio perpajakan Indonesia yang masih terbilang rendah.

Menurut Luhut, implementasi Coretax yang belum tuntas perlu dievaluasi lebih dalam agar bisa mengetahui penyebab dari keterlambatannya. Dia menekankan pentingnya sebuah audit untuk menggali lebih dalam kendala-kendala yang menghambat sistem ini.

“Coretax ini harus dipercepat. Buat saya, sebenarnya sederhana, masa Cortex sudah 10 tahun tidak jadi-jadi? Ada apa ini? Ini perlu dilihat. Makanya saya saran Presiden (Prabowo Subianto) audit saja, Pak,” ujar Luhut.

Lebih lanjut, Luhut menambahkan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk mengevaluasi sistem perpajakan yang ada saat ini, terutama terkait rendahnya *tax ratio* yang hanya sekitar 10%. “Kita harus bertanya kenapa tax ratio kita masih 10% saja? Kenapa tidak bisa naik begitu? Jadi hal semacam ini perlu kita jawab dengan melakukan audit tadi,” ungkapnya.

Pemerintah, menurut Luhut, juga perlu mempelajari lebih dalam alasan di balik rendahnya rasio pajak di Indonesia dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan yang ada. Sebab, potensi pendapatan pajak Indonesia sebenarnya sangat besar, apalagi jika Coretax diterapkan dengan optimal.

Luhut menjelaskan bahwa dengan penerapan sistem Coretax, diproyeksikan Indonesia dapat menarik pendapatan pajak hingga Rp 1.500 triliun. Ia menambahkan bahwa perbaikan sistem perpajakan, termasuk melalui digitalisasi, bisa memperbaiki efisiensi dan meningkatkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) serta rasio pajak, yang berpotensi menyumbang hingga 6,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kalau kita memperbaiki, ada beberapa item yang diberikan, termasuk digitalisasi tadi, itu kita bisa memperbaiki ICOR kita dan juga menaikkan tax ratio kita, (kontribusinya) dari 6,4% ke GDP atau setara dengan Rp 1.500 triliun. Kami pikir ya kita dapat sepertiganya saja saya kira sudah bagus,” kata Luhut.

Dengan langkah-langkah tersebut, Luhut berharap sistem perpajakan Indonesia dapat lebih efisien dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.(alf)

KPP Pratama Surakarta Buka Layanan Pojok Pajak Hingga Malam

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surakarta memperluas akses layanan dengan membuka Pojok Pajak di Kelurahan Gilingan, Kota Surakarta. Layanan ini beroperasi setiap hari mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WIB, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak (WP) yang ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk individu maupun badan usaha setelah pulang bekerja.

Kepala KPP Pratama Surakarta, Herry Wirawan, menjelaskan bahwa penambahan waktu layanan sore hingga malam ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak yang tidak dapat mengurus administrasi SPT pada jam kerja reguler. Dengan adanya Pojok Pajak, WP dapat lebih fleksibel dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

“Layanan ini termasuk aktivasi atau permintaan kembali Electronic Filing Identification Number (EFIN), permohonan perubahan data Wajib Pajak, hingga asistensi dalam pengisian dan pelaporan SPT Tahunan. Kami memastikan semua layanan tersedia hingga WP selesai melaporkan SPT mereka,” ungkap Herry dalam keterangan tertulis yang diterima oleh media, Rabu (19/2/2025).

Penyediaan layanan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi WP dalam menghadapi kebijakan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait implementasi Multi-Factor Authentication (MFA) yang berlaku sejak 2025. Setiap WP diwajibkan untuk memverifikasi identitas mereka melalui nomor handphone atau email untuk mengakses laman pajak.go.id. Langkah ini diambil untuk menjaga kerahasiaan data WP dan mencegah terjadinya pencurian akun.

Selain layanan di Pojok Pajak, KPP Pratama Surakarta juga memberikan informasi kepada WP melalui WhatsApp Blast mengenai jadwal layanan Pojok Pajak di kelurahan atau wilayah lainnya. Herry mengimbau kepada seluruh masyarakat agar segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan, yaitu 31 Maret untuk WP orang pribadi dan 30 April untuk WP badan. Keterlambatan pelaporan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda, yakni Rp 100 ribu untuk WP orang pribadi dan Rp 1 juta untuk WP badan.

Salah satu Wajib Pajak, Rahayu, menyampaikan apresiasinya terhadap layanan Pojok Pajak. “Saya selalu memanfaatkan layanan Pojok Pajak di kelurahan untuk melaporkan SPT Tahunan pribadi saya, bahkan untuk TK Aisyiyah 41 Tegalharjo,” ujar Rahayu.

Layanan Pojok Pajak ini diharapkan dapat mempermudah WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa mengganggu rutinitas harian mereka, serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelaporan SPT Tahunan tepat waktu.(alf)

DPD akan Panggil Dirjen Pajak Terkait Penurunan Laporan Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Nawardi mengungkapkan rencana untuk memanggil Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, setelah adanya penurunan signifikan dalam laporan faktur pajak akibat penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Rencana pemanggilan tersebut disampaikan Nawardi usai rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Senayan, Jakarta. Dalam rapat tersebut, Nawardi menanyakan masalah terkait sistem Coretax, namun ia menyatakan bahwa hingga saat ini penjelasan lebih lanjut dari Menteri Keuangan belum diterima, sehingga Komite IV berencana untuk mendalami masalah ini lebih lanjut dengan mengundang Dirjen Pajak.

“Saya ingin memperdalam persoalan ini. Yang pasti, ke depannya kami akan mengundang Dirjen Pajak,” ujar Nawardi kepada wartawan, Selasa (18/2/2025).

Nawardi juga mengungkapkan bahwa penurunan laporan faktur pajak tersebut berdampak langsung pada penerimaan negara. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, target penerimaan dari pengumpulan faktur pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai Rp 50 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 172 triliun.

“Faktur pajak yang diterbitkan tahun ini jauh berkurang. Pada tahun lalu, jumlah faktur yang masuk mencapai 60 juta, namun tahun ini hanya 20 juta faktur,” ungkap Nawardi. Penurunan tersebut diduga terkait dengan masalah pada penerbitan faktur dalam sistem Coretax.

Meskipun Coretax dipandang sebagai sistem pembayaran pajak digital yang canggih dan menjanjikan, Nawardi menekankan perlunya segera dilakukan perbaikan agar sistem ini tidak mengganggu penerimaan negara lebih lanjut. “Jangan sampai Coretax tidak digunakan sama sekali, apalagi sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 13 Februari 2025, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti melaporkan bahwa jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan sepanjang Januari 2025 tercatat sebesar 52,5 juta faktur. Sementara pada Februari 2025, jumlah faktur yang diterbitkan hanya mencapai 6,91 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46,9 juta faktur pada Januari dan 6,20 juta faktur pada Februari telah divalidasi atau disetujui.

Dengan penurunan yang signifikan ini, Komite IV DPD berharap pemerintah dapat segera mengatasi masalah teknis yang ada dalam penerapan Coretax agar target penerimaan negara dapat tercapai tanpa hambatan. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 15/2025, Berikan Kepastian Hukum Proses Pemeriksaan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan peraturan terkait pemeriksaan pajak, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan terpisah.

Dalam peraturan tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa diterbitkannya PMK ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. PMK 15 Tahun 2025 ini mengatur penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak guna menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 yang dikutip Rabu (19/2/2025).

Jenis Pemeriksaan Pajak

PMK ini memberikan rincian mengenai jenis-jenis pemeriksaan pajak yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksaan spesifik.

1. Pemeriksaan Lengkap
Merupakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak secara menyeluruh pada seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dengan pendekatan yang mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus
Pemeriksaan ini berfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang diuji secara lebih mendalam.

3. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan yang dilakukan secara sederhana dan terfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan, data, atau kewajiban perpajakan lainnya.

Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK ini mencakup berbagai jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak tertentu. Pemeriksaan juga bisa mencakup satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pemeriksaan dapat dilakukan untuk tujuan lainnya, seperti penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan tersebut.

Dengan diterbitkannya PMK 15 Tahun 2025 ini, diharapkan proses pemeriksaan pajak dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, memberikan kejelasan bagi wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (alf)

“IKPI Gathering Partnership 2025”: DJP Tekankan Pentingnya Peran Konsultan Pajak dalam Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam mendukung kepatuhan wajib pajak. Hal ini disampaikan dalam acara “IKPI Gathering Partnership 2025” yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Dalam sambutannya, Dwi mengapresiasi kerja sama yang terjalin antara DJP dan IKPI. Menurutnya, konsultan pajak memiliki peran krusial dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pendampingan dalam memahami kewajiban perpajakan mereka.

“Kami mengapresiasi kerja sama yang selama ini telah terjalin dengan baik. Konsultan pajak tidak hanya berperan dalam membantu wajib pajak memenuhi kewajibannya, tetapi juga dalam menyampaikan hak-hak wajib pajak secara seimbang,” ujar Dwi .

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa DJP terus berupaya meningkatkan kualitas layanan perpajakan dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk asosiasi profesi seperti IKPI. Sosialisasi dan edukasi yang masif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional.

“Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk partisipasi kita dalam pembangunan. Banyak fasilitas yang kita nikmati hari ini, seperti pendidikan dan infrastruktur, bersumber dari pajak yang kita bayarkan,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar dalam menjalankan profesinya, para konsultan pajak selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Dwi menegaskan bahwa DJP akan terus meningkatkan pengawasan terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Sekadar informasi, “IKPI Gathering Partnership 2025” ini dihadiri oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, sejumlah ketua departemen, serta para anggota dan mitra IKPI dari berbagai daerah.

Hadir juga pada kesempatan tersebut, 206 asosiasi usaha dan asosiasi di sektor keuangan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara DJP dan konsultan pajak dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. (bl)

Ketum Vaudy Starworld Buka “IKPI Partnership Gathering 2025” Perkuat Ekosistem Perpajakan Indonesia

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar acara “Partnership Gathering IKPI Tahun 2025” sebagai upaya untuk mempererat hubungan antar pemangku kepentingan dalam ekosistem perpajakan Indonesia. Acara yang berlangsung di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025) dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), asosiasi usaha, serta para profesional di bidang perpajakan.

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan dalam acara yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh IKPI. Ia berharap kegiatan ini dapat menjadi agenda tahunan yang rutin dilaksanakan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/BayuLegianto)

Membangun Ekosistem Perpajakan yang Berkeadilan

Vaudy menegaskan bahwa ekosistem perpajakan Indonesia terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi, termasuk wajib pajak, pengusaha, pemerintah, asosiasi usaha dan profesi, serta konsultan pajak seperti IKPI. Interaksi antar elemen ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, efisien, dan adil.

Faktor-faktor yang memengaruhi ekosistem perpajakan antara lain kebijakan fiskal, sistem administrasi pajak, kepatuhan wajib pajak, serta dukungan dari berbagai pihak. Dengan membangun sistem yang baik, diharapkan penerimaan pajak negara dapat meningkat, kepatuhan pajak semakin tinggi, serta tax ratio dapat ditingkatkan.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam acara ini, IKPI juga menghadirkan narasumber dari Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan paparan mengenai tiga topik utama, yaitu implementasi coretax, pemeriksaan pajak, serta pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak. Vaudy menekankan pentingnya edukasi perpajakan dalam meningkatkan pemahaman wajib pajak terkait hak dan kewajiban mereka di tengah perubahan regulasi yang dinamis.

“Administrasi perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment, sehingga wajib pajak dituntut untuk memahami berbagai regulasi yang ada. Di sinilah peran tax intermediaries menjadi sangat penting dalam membantu meningkatkan kepatuhan pajak,” ujar Vaudy.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 

Penandatanganan Kerja Sama Strategis

Selain sesi paparan, acara ini juga menjadi momen bersejarah dengan adanya penandatanganan kerja sama antara IKPI dengan beberapa pihak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), dan Alumni Penabur Indonesia (ALP). Ruang lingkup kerja sama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari edukasi perpajakan kepada masyarakat, konsultasi perpajakan, pelatihan, hingga publikasi karya ilmiah.

Kerja sama ini diharapkan dapat mendukung terbentuknya ekosistem perpajakan yang lebih baik, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mendorong peningkatan tax ratio di Indonesia.

Harapan ke Depan

Vaudy berharap melalui kolaborasi dan sinergi antara otoritas pajak, wajib pajak, konsultan pajak, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkeadilan.

“Dengan terciptanya ekosistem perpajakan yang prudent dan berkeadilan, kita dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, yang pada akhirnya akan meningkatkan tax ratio nasional,” ujarya. (bl)

IKPI Soroti Tantangan Implementasi KEP-54/PJ/2025, Minta Perpanjangan Waktu dan Kepastian Transisi

IKPI, Jakarta: Setelah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 54/PJ/2025 pada 12 Februari 2025, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik kebijakan tersebut. Namun, IKPI juga mengajukan beberapa masukan agar pelaksanaan kebijakan ini lebih optimal dan tidak membebani Wajib Pajak (WP).

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyampaikan bahwa meskipun kebijakan ini merupakan langkah solutif bagi WP yang mengalami kendala dalam menggunakan coretax system, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.

“Kami menghargai adanya alternatif dalam penerbitan Faktur Pajak, tetapi ada aspek teknis dan administratif yang harus diperbaiki agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya.

Salah satu kendala yang disoroti adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Dengan KEP-54/PJ/2025 yang baru terbit pada 12 Februari, WP yang harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari memiliki waktu yang sangat terbatas. IKPI mengusulkan agar batas waktu diperpanjang hingga 25 bulan berikutnya untuk memberi kelonggaran bagi WP yang masih mengalami kendala teknis. IKPI juga meminta agar Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dapat berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025.

Menurut Pino, penutupan sistem e-Nofa per 1 Januari 2025 membuat banyak WP tidak sempat mengajukan NSFP sebelum kebijakan baru diterapkan. “Banyak WP yang tidak memiliki NSFP karena e-Nofa sudah ditutup, sementara di sisi lain mereka kesulitan mengunggah Faktur Pajak di coretax. Sebaiknya ada kebijakan transisi agar NSFP bisa berlaku surut untuk dua bulan pertama ini,” ujarnya.

Terkait implementasi kebijakan, IKPI menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas agar semua pihak memahami perubahan ini. Berdasarkan rilis DJP, penerbitan Faktur Pajak melalui e-Faktur Desktop tidak berlaku untuk beberapa kategori, seperti penjualan kepada turis asing, PPN Ditanggung Pemerintah, dan PKP yang baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2025. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan jika tidak disosialisasikan dengan baik.

Selain itu, IKPI menyoroti perlunya masa transisi yang cukup sebelum seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. “Jika nanti semua WP harus kembali menggunakan coretax, harus ada waktu transisi yang cukup agar mereka bisa menyesuaikan diri,” kata Pino.

IKPI juga meminta kejelasan apakah WP dapat menggunakan coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda. “Misalnya, apakah WP diperbolehkan menggunakan coretax untuk Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Jika tidak diperbolehkan, maka harus ada solusi agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaporan,” jelasnya.

Sebagai langkah perlindungan bagi WP, IKPI mengusulkan agar DJP menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak secara otomatis menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan akibat kendala coretax system. “Jika hal ini tidak bisa dihentikan, setidaknya perlu ada mekanisme yang mempercepat penghapusan STP akibat kendala teknis yang tidak disebabkan oleh kelalaian WP,” katanya.

IKPI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan ini agar kebijakan perpajakan semakin mendukung kepatuhan dan kemudahan bagi WP dalam menjalankan kewajibannya. (bl)

id_ID