Prabowo Tunjuk Anak Usaha BUMN Jadi Pemungut Pajak Digital Luar Negeri

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk PT Jalin Pembayaran Nusantara sebagai pelaksana Sistem Pemungutan Pajak atas Transaksi Digital Luar Negeri (SPP-TDLN). Penunjukan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2025 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni lalu.

Melalui regulasi tersebut, pemerintah menugaskan BUMN di bidang teknologi layanan keuangan untuk mengambil peran strategis dalam mengamankan potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital lintas batas.

“PT Jalin Pembayaran Nusantara ditetapkan sebagai penyelenggara SPP-TDLN,” bunyi Pasal 3 Ayat (2) dari Perpres tersebut.

Langkah ini menjadi tonggak penting dalam reformasi perpajakan nasional, khususnya di tengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital global yang selama ini sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional.

Anak Usaha BUMN Naik Kelas

PT Jalin, yang awalnya dibentuk oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan PT Telkom Indonesia pada 2016, kini berada di bawah naungan Holding Danareksa. Seiring penugasan ini, Jalin bukan sekadar pengelola infrastruktur pembayaran, tetapi juga berperan dalam menjaga kedaulatan fiskal Indonesia di ranah digital.

Dalam pelaksanaannya, Jalin diberikan wewenang untuk menunjuk mitra kerja, dengan ketentuan bahwa mitra tersebut harus berbadan hukum Indonesia atau asing, serta memiliki infrastruktur teknologi yang mampu menangani data dan sistem perpajakan lintas negara.

Setidaknya terdapat empat alasan utama di balik lahirnya kebijakan ini. Pertama, untuk menjawab tantangan kompleksitas pemajakan atas transaksi digital lintas negara. Kedua, menciptakan level playing field yang adil antara pelaku usaha lokal dan asing. Ketiga, mendorong kepatuhan pajak pelaku ekonomi digital luar negeri. Dan keempat, mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor yang selama ini cenderung lolos dari pengawasan.

Namun, sistem ini belum serta-merta berjalan. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa implementasi penuh baru bisa dilakukan setelah Jalin menetapkan mitra dan tim koordinasi menyelesaikan evaluasi awal.

Penunjukan Jalin menandai keseriusan pemerintah dalam mengimbangi perkembangan ekonomi digital global dengan kerangka hukum dan sistem pengawasan yang adaptif. Dengan potensi transaksi digital lintas negara yang terus membesar, sistem ini diharapkan dapat menutup celah kebocoran pajak yang selama ini terjadi.

Ke depan, publik menanti bagaimana Jalin dan mitranya akan mengimplementasikan sistem ini secara konkret, termasuk transparansi data, mekanisme pemungutan, serta integrasi dengan otoritas pajak dan pelaku platform digital internasional. (alf)

 

DJP Kalselteng Blokir 98 Rekening Penunggak Pajak, Tunggakan Capai Rp48,7 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah penegakan hukum dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Terbaru, sebanyak 98 rekening milik penunggak pajak resmi diblokir secara serentak oleh sepuluh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng). Nilai total tunggakan dari rekening-rekening tersebut mencapai angka fantastis, yakni Rp48,7 miliar.

Langkah tegas ini terbagi dalam dua wilayah, di Kalimantan Selatan, terdapat 57 permintaan pemblokiran yang diajukan oleh enam KPP dengan total tunggakan sebesar Rp6,7 miliar. Sementara di Kalimantan Tengah, empat KPP mengajukan 41 permintaan blokir dengan nilai tunggakan jauh lebih besar, mencapai Rp41,9 miliar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa pemblokiran dilakukan untuk menjaga agar aset para penunggak tidak berpindah tangan sebelum utang pajak dilunasi. “Tindakan ini bukan langkah pertama. Kami sudah lebih dulu memberikan peringatan dan kesempatan kepada para wajib pajak untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun karena tidak ada itikad baik, maka kami harus melanjutkan proses penagihan aktif,” ujar Syamsinar dalam keterangan tertulis, diterima, Sabtu (12/7/2025).

Proses pemblokiran ini dilakukan secara terkoordinasi bersama Lembaga Jasa Keuangan, khususnya di sektor perbankan. DJP mengajukan permintaan pemblokiran dengan melampirkan dokumen hukum pendukung, seperti surat paksa dan surat perintah penyitaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak.

Syamsinar juga menambahkan bahwa pemblokiran rekening bukan akhir dari proses penagihan. Wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk melunasi utangnya. “Jika tunggakan dibayar, maka blokir akan dicabut dan proses penyitaan tidak perlu dilanjutkan,” jelasnya. (alf)

 

Mantan Direktur DJP Tegaskan Penegakan Hukum Pajak Harus Berbasis Keadilan

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2017–2021, Yuli Kristiyono, menegaskan pentingnya penegakan hukum perpajakan yang tidak semata-mata represif, namun tetap berkeadilan, transparan, dan berlandaskan asas kepastian hukum. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak” yang diselenggarakan di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yuli membeberkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal menghukum, tetapi juga memiliki delapan tujuan utama, yaitu:

• Membangun kepatuhan wajib pajak

• Menciptakan keadilan perpajakan

• Memberikan kepastian hukum

• Melindungi wajib pajak yang patuh

• Mengamankan penerimaan negara

• Memulihkan kerugian pendapatan negara

• Menciptakan efek jera

• Membangun integritas sistem perpajakan

“Penegakan hukum perpajakan harus menyasar dua hal sekaligus: edukasi dan koreksi. Tidak bisa semuanya dipidana, karena tujuan utamanya adalah membuat ekosistem kepatuhan yang berkelanjutan,” ujar Yuli yang juga pernah menjabat Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM DJP.

Tahapan Penegakan Hukum

Ia menegaskan bahwa dalam praktiknya, penegakan hukum perpajakan dilakukan secara bertahap, dimulai dari edukasi dan pelayanan oleh penyuluh pajak, dilanjutkan dengan pengawasan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, hingga penuntutan dan eksekusi.

“Langkah DJP itu tidak langsung represif. Ada proses edukatif dan administratif yang ditempuh terlebih dahulu sebelum penyidikan,” tegas Yuli.

Ancaman Sanksi

Dalam sesi panel tersebut, Yuli juga mengulas bentuk-bentuk sanksi yang dikenakan atas pelanggaran ketentuan perpajakan. Sanksi ini dibagi menjadi empat jenis:

• Sanksi Bunga, seperti keterlambatan bayar atau pembetulan SPT.

• Sanksi Denda, seperti tidak menyampaikan SPT, atau pengisian faktur pajak yang tidak lengkap.

• Sanksi Kenaikan, seperti pemotongan pajak yang tidak disetor.

• Sanksi Pidana, untuk pelanggaran karena kelalaian (Pasal 38 UU KUP) dan kesengajaan (Pasal 39, 39A UU HPP).

Dielaskannya, bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran namun masih beritikad baik, UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) memberikan ruang untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum proses pidana dimulai, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (3) dan (3a).

Pegawai Pajak Juga Bisa Dijerat

Yuli juga menyoroti bahwa pegawai DJP tidak luput dari jeratan hukum. Berdasarkan Pasal 43A UU HPP, jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana perpajakan yang melibatkan petugas DJP, maka Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa internal untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Jika terbukti korupsi, maka kasus akan diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya.

Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang adil dan berintegritas, agar wajib pajak tidak merasa menjadi korban dari sistem yang tidak konsisten.

“Penegakan hukum bukan tujuan akhir, melainkan jembatan menuju sistem pajak yang dipercaya. Di situlah kita bisa bicara tentang penerimaan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)

 

 

 

Assoc. Prof. Edy Gunawan: Keadilan dan Kepercayaan adalah Kunci Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Sekretaris Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Assoc. Prof. Edy Gunawan, menegaskan bahwa upaya penegakan hukum pajak yang efektif harus mengedepankan keseimbangan antara pendekatan legalistik dengan aspek kepercayaan dan keadilan. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam diskusi panel IKPI bertema “Upaya Penegakan Hukum dalam Peningkatan Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2025).

Dalam paparannya, Assoc. Prof. Edy membandingkan kebijakan penegakan hukum perpajakan di berbagai negara dan menyoroti tantangan khas yang dihadapi Indonesia. Ia menyebut, sistem hukum di Indonesia masih sangat formalistik dan sentralistis, dengan karakteristik hierarki hukum yang kompleks serta kendala seperti birokrasi lambat, patronase, hingga korupsi yang menghambat efektivitas kebijakan.

“Penegakan hukum perpajakan jangan semata-mata mengandalkan ancaman sanksi. Diperlukan pendekatan yang membangun kepercayaan dan kepastian hukum agar wajib pajak merasa sistem ini adil,” tegas Assoc. Prof. Edy.

Ia memperkenalkan tiga teori utama dalam penegakan hukum pajak:

• Economic Deterrence, yang menekankan risiko ketahuan dan besarnya sanksi;

• Responsive Regulation, yang menganut pendekatan bertahap dari edukasi hingga hukuman;

• Trust and Legitimacy, yang mengandalkan kepercayaan wajib pajak pada institusi pajak sebagai faktor utama kepatuhan.

Ia menyoroti bahwa banyak negara maju seperti Belanda dan Singapura telah menggeser fokus dari penindakan keras menuju model cooperative compliance, pendekatan yang kolaboratif dan edukatif, disertai transparansi serta pelayanan yang konsisten.

Assoc. Prof. Edy juga menguraikan prinsip legalitas (lex scripta) sebagai fondasi hukum pajak di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya menyeimbangkan pendekatan ini dengan prinsip substance over form, yakni menilai niat ekonomi transaksi di atas sekadar bentuk hukumnya. Negara seperti Inggris, Australia, dan Kanada bahkan telah menerapkan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) untuk mengantisipasi skema penghindaran pajak yang “legal secara formil namun manipulatif secara substansi”.

Dalam sesi analisis perbandingan, Assoc. Prof. Edy Gunawan menunjukkan bahwa:

• Amerika Serikat menekankan penegakan keras dengan sanksi berat dan audit agresif,

• Jerman dan Belanda mengedepankan kepastian hukum dan pendekatan administratif yang efisien,

• Singapura dan Jepang lebih kooperatif dan edukatif,

• Indonesia, menurutnya, masih mencari titik keseimbangan di tengah tantangan internal.

Menutup paparannya, Dosen Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) ini merekomendasikan tiga strategi kunci bagi Indonesia:

• Peningkatan kapasitas pengawasan DJP melalui teknologi seperti AI dan data mining;

• Penguatan edukasi dan pelayanan untuk membangun trust dan legitimasi;

• Penerapan bertahap terhadap pendekatan substantif, termasuk prinsip anti-abuse dalam hukum perpajakan nasional.

“Negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap otoritas pajak, seperti Australia dan Swedia, terbukti memiliki kepatuhan pajak yang jauh lebih tinggi. Ini pelajaran penting bagi Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, diskusi ini menjadi salah satu forum strategis yang diselenggarakan IKPI untuk mendalami peran kebijakan penegakan hukum dalam mendorong penerimaan negara yang berkeadilan dan berkelanjutan. (bl)

Brasil Ancam Balasan Setimpal atas Tarif 50% dari AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memantik ketegangan perdagangan global. Kali ini, Brasil menjadi sasaran kebijakan proteksionis terbarunya.

Dalam surat resmi kepada Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Trump mengumumkan tarif sebesar 50% terhadap sejumlah barang impor dari Negeri Samba, efektif mulai 1 Agustus 2025.

Namun langkah itu tak semata soal ekonomi. Trump juga menyinggung proses hukum terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang saat ini sedang diadili atas dugaan percobaan kudeta usai kekalahannya di pemilu 2022.

Dalam suratnya, Trump menyebut persidangan tersebut sebagai “aib internasional”, sekaligus menunjukkan dukungan terbuka terhadap sekutunya itu.

Lula tak tinggal diam. Presiden sayap kiri Brasil itu menegaskan bahwa kebijakan sepihak seperti ini akan ditanggapi tegas. “Setiap kenaikan tarif sepihak akan ditanggapi berdasarkan Hukum Timbal Balik Ekonomi Brasil,” tegasnya dalam pernyataan resmi.

Pemerintah Brasil juga telah memanggil pejabat diplomatik AS sebagai bentuk protes.

Tarif 50% ini, menurut Trump, diberlakukan atas nama “keamanan nasional” alasan yang juga digunakan untuk mengenakan pungutan serupa terhadap impor tembaga dari sejumlah negara lain. Trump menyebut tembaga sebagai logam strategis kedua paling penting bagi Departemen Pertahanan AS.

Kebijakan ini merupakan bagian dari rangkaian langkah Trump yang lebih luas. Sejak awal pekan ini, ia telah mengeluarkan lebih dari 20 surat peringatan kepada berbagai negara, mengancam tarif tinggi jika tak ada kesepakatan soal perdagangan “timbal balik”.

Meski sebelumnya Brasil tak masuk daftar negara yang terancam, hubungan dagang yang selama ini cenderung surplus bagi AS tampaknya tak cukup melindungi Brasil dari badai tarif.

Ketegangan ini berpotensi memperburuk hubungan bilateral kedua negara, yang sebelumnya relatif stabil. Kini, dunia menanti langkah lanjutan dari Brasil dan bagaimana eskalasi ini akan mengguncang pasar global. (alf)

 

RI Tak Perlu Negosiasi Tarif 32%, Guru Besar UI Yakini Kebijakan Trump Juga Bebani Rakyat AS

IKPI, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai Indonesia tidak perlu tergesa-gesa melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan tarif impor sebesar 32% oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Ia meyakini, kebijakan tersebut justru akan menjadi beban bagi masyarakat AS sendiri.

“Atas dasar hal tersebut, sebaiknya Indonesia tidak perlu untuk melakukan negosiasi dengan pihak AS, mengingat syarat yang ditentukan oleh Trump sangat mustahil untuk dipenuhi,” ujar Prof. Hikmahanto, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, dalam surat resmi yang dikirim Trump kepada Presiden RI Prabowo Subianto, disebutkan bahwa perusahaan Indonesia bisa terbebas dari tarif apabila bersedia melakukan investasi di dalam negeri AS. Namun, ia menilai opsi tersebut tidak realistis.

“Sejatinya bila Indonesia hendak mendapatkan tarif 0% bukan didapat melalui negosiasi, tapi dengan melakukan investasi di Amerika Serikat. Tapi mahalnya biaya produksi di sana membuat syarat ini hampir tak mungkin dilakukan,” jelasnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah tidak gegabah dan menunggu kejelasan implementasi tarif hingga 1 Agustus 2025, sebagaimana tenggat yang disebutkan dalam kebijakan tersebut.

Lebih lanjut, Prof. Hikmahanto menilai kebijakan Trump ini tak hanya menyasar Indonesia, melainkan merupakan langkah proteksionis yang bisa memicu dampak global. Ironisnya, kebijakan itu justru bisa berbalik merugikan masyarakat AS sendiri.

“Tarif yang makin tinggi hanya akan membebani konsumen di Negeri Paman Sam. Bila rakyat AS merasa dirugikan, mereka berpotensi melakukan tindakan ketatanegaraan terhadap Trump,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa isu ini bukanlah persoalan bilateral semata. “Permasalahan kebijakan tarif Trump bukanlah masalah antara AS dengan Indonesia, tetapi masalah AS dengan dunia,” ujarnya. (alf)

 

 

Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun Coretax, Ini Panduannya!

Mulai tahun pajak 2025, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan akan dilakukan secara penuh melalui sistem Coretax DJP, platform administrasi pajak digital terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Oleh karena itu, aktivasi akun Coretax DJP menjadi langkah wajib yang harus dilakukan oleh setiap wajib pajak sebelum melaporkan SPT.

Bagi wajib pajak yang telah memiliki akun DJP Online dan nomor NPWP 16 digit, proses aktivasi akun dapat dilakukan dengan mudah melalui laman coretaxdjp.pajak.go.id.

Langkah-langkah Aktivasi Akun Coretax DJP:

• Akses Laman Coretax DJP

Kunjungi situs resmi Coretax DJP, lalu gulir ke bagian paling bawah halaman dan klik tautan “Aktivasi Akun Wajib Pajak”.

• Isi Formulir Permintaan Akses Digital

Anda akan diarahkan ke halaman untuk mengisi data dan informasi pada kolom “Permintaan Akses Digital”. Centang pernyataan “Apakah wajib pajak sudah terdaftar?”.

• Masukkan NPWP

Ketikkan NPWP 16 digit Anda, lalu klik “Cari”.

• Isi Email dan Nomor Ponsel

Pastikan alamat email dan nomor ponsel yang dimasukkan adalah yang sama dengan data yang terdaftar di sistem DJP Online. Jika terdapat perubahan, hubungi Kring Pajak di 1500200 atau datangi kantor pajak terdekat untuk pembaruan data.

• Verifikasi Identitas

Lengkapi proses verifikasi identitas. Setelah itu, centang kotak pernyataan dan klik “Simpan”.

• Cek Email Resmi dari DJP

Anda akan menerima email dari alamat domain @pajak.go.id berisi surat penerbitan akun wajib pajak beserta kata sandi sementara.

• Login Pertama di Coretax DJP

Kembali ke laman Coretax DJP, lalu masukkan username, kata sandi sementara, dan kode captcha. Klik “Login”.

• Ganti Kata Sandi dan Buat Passphrase

Saat login pertama, Anda diwajibkan mengganti kata sandi dan membuat passphrase sebagai langkah keamanan tambahan. Simpan perubahan dan login ulang menggunakan kredensial baru.

Sertifikat Digital

Setelah aktivasi selesai, jangan lupa untuk membuat kode otorisasi atau sertifikat digital di dalam sistem Coretax DJP. Sertifikat ini akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik, yang diperlukan untuk pengesahan dan pengiriman SPT Tahunan melalui sistem.

Langkah-langkah pembuatan sertifikat digital juga tersedia dalam menu akun Coretax DJP dan hanya dapat dilakukan setelah akun berhasil diaktivasi.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk tidak menunda proses aktivasi ini agar pelaporan SPT 2025 dapat berjalan lancar dan tepat waktu. (alf)

 

Empat Jenis Baru SPT Masa PPN Berlaku Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menetapkan klasifikasi baru untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seiring implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax. Pembaruan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 serta diperjelas melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-1/PJ/2025 dan PER-12/PJ/2025.

Mengacu pada Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2 PMK 81/2024, terdapat empat jenis SPT Masa PPN yang mulai berlaku untuk masa pajak Januari 2025. Keempat jenis tersebut meliputi:

1. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Digunakan oleh PKP untuk melaporkan penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang, pengkreditan pajak masukan, serta pelunasan pajak baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak ketiga. SPT ini juga mencakup PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN atau pihak lain dalam negeri yang memiliki kewajiban serupa.

2. SPT Masa PPN bagi PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Diperuntukkan bagi PKP dengan omzet tertentu yang menghitung pajak masukan berdasarkan pedoman khusus, termasuk masa sebelum dikukuhkan sebagai PKP.

3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan Pihak Lain Non-PKP

Ditujukan bagi instansi atau badan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN meski tidak berstatus PKP, termasuk pihak lain yang berkedudukan di Indonesia.

4. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik)

SPT ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN di Indonesia. Formulirnya dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris, sebagaimana diatur dalam PER-12/PJ/2025.

Klasifikasi baru ini menggantikan jenis-jenis SPT sebelumnya seperti formulir 1111, 1117 DM, 1107 PUT, dan SPT Unifikasi untuk instansi pemerintah. Perubahan ini menandai transformasi sistem pelaporan perpajakan ke arah yang lebih digital dan terintegrasi lewat Coretax DJP.

Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi reformasi administrasi pajak yang lebih adaptif terhadap perkembangan digital dan model bisnis baru, seperti e-commerce lintas negara.

Selain reformasi SPT Masa PPN, DJP juga tengah mencermati sejumlah isu strategis lain seperti dampak program pemutihan terhadap penerimaan pajak daerah, efektivitas insentif fiskal di Ibu Kota Nusantara (IKN), penanganan lebih bayar PPh Pasal 25, serta pengelolaan dana abadi pemerintah daerah. Semua ini menjadi bagian dari upaya memperkuat sistem fiskal nasional dalam jangka panjang. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Daerah Tertekan, UU HKPD Tantang Kesiapan Daerah

IKPI, Jakarta: Implementasi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang mulai berlaku awal 2024 justru diwarnai penurunan penerimaan pajak daerah. Alih-alih memperkuat otonomi fiskal, realisasi pendapatan daerah tercatat mengalami kontraksi sebesar 8,06% secara tahunan (year-on-year) pada semester I-2025.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Chrityana, menilai salah satu penyebab utama penurunan ini adalah ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menjalankan transformasi sistem yang dibawa oleh UU HKPD.

“Ada perubahan-perubahan mendasar dalam UU HKPD yang mempengaruhi. Namun apakah kesiapan para fiskus di daerah itu sudah seragam dari Sabang sampai Merauke? Itu tantangan besar,” ungkap Lydia dalam diskusi publik yang diselenggarakan UPN Jakarta secara daring, Kamis (10/7/2025).

UU HKPD membawa sejumlah reformasi penting. Daerah kini menerima langsung opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), diperkenalkannya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), hingga kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) maksimal menjadi 0,5%.

Namun, perubahan struktur ini belum dibarengi kesiapan teknis dan sumber daya di lapangan. Perbedaan kapasitas antar daerah menciptakan kesenjangan kinerja fiskal. Sementara beberapa daerah mampu menyesuaikan dan mencatatkan pertumbuhan, mayoritas lainnya tertinggal, terutama karena lemahnya kualitas sistem informasi dan keterbatasan sumber daya manusia.

“Banyak daerah belum memperbarui datanya. Sistem kita sekarang mengandalkan integrasi antara SIKD Kemenkeu dan SIPD Kemendagri, tapi masih terjadi keterlambatan. Ini memengaruhi akurasi pelaporan nasional,” jelas Lydia.

Selain faktor struktural dan teknis, tren pemutihan pajak daerah juga ikut menekan penerimaan. Meski tak diatur secara eksplisit dalam UU, kebijakan insentif berupa penghapusan denda dan bunga pajak tetap diberlakukan di sejumlah daerah, yang pada akhirnya menggerus potensi pendapatan.

“Bahasa hukumnya memang bukan pemutihan, tapi pemberian insentif ini juga berdampak langsung pada turunnya pendapatan,” tambah Lydia.

Ia menegaskan, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menjamin peningkatan pajak daerah. Oleh karena itu, Lydia mendorong pemda agar tidak hanya mengandalkan regulasi baru, tetapi juga aktif melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

“Diperlukan strategi fiskal yang terencana, dukungan SDM yang kompeten, serta sinergi antar lembaga baik pemerintah pusat, pemda, DPRD maupun fiskus daerahuntuk memperkuat kemandirian fiskal,” pungkasnya. (alf)

 

 

DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pajak UMKM di E-Commerce

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia, menyoroti rencana pemerintah untuk memberlakukan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pelaku UMKM yang berdagang melalui platform e-commerce. Menurutnya, kebijakan tersebut harus dikaji lebih mendalam agar tidak berdampak negatif terhadap keberlangsungan usaha mikro dan kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

“Keberadaan UMKM, khususnya pascapandemi, adalah sesuatu yang patut kita syukuri dan jaga. Maka, kebijakan fiskal yang menyentuh sektor ini haruslah bijaksana,” ujar Chusnunia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Ia menilai bahwa penerapan pajak baru justru bisa menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha kecil, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. “Kita harus berhati-hati agar langkah ini tidak menjadi penghambat bagi pelaku usaha yang tengah berjuang bertahan,” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh dua anggota Komisi VII DPR RI lainnya, Novita Hardini dan Rahayu Saraswati. Keduanya menekankan pentingnya melibatkan suara pelaku UMKM dalam perumusan kebijakan ini agar regulasi yang dihasilkan benar-benar berpihak kepada sektor usaha lokal.

“Jika tidak melibatkan pelaku UMKM, dikhawatirkan regulasinya justru kontra produktif terhadap semangat pemberdayaan ekonomi kerakyatan,” kata Novita.

Sementara itu, Rahayu Saraswati menambahkan bahwa yang harus menjadi fokus utama adalah keberlanjutan produk lokal, bukan justru membebani mereka dengan skema perpajakan yang rumit. “Kita harus mencari cara mendukung produk dalam negeri tanpa merugikan pelaku usahanya,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak tengah merancang skema pemungutan PPh 22 terhadap pedagang daring di e-commerce. Dalam skema baru ini, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak, menggantikan sistem sebelumnya di mana pedagang membayar secara mandiri.

Pemerintah beralasan bahwa perubahan ini merupakan bentuk pergeseran mekanisme (shifting) agar pelaksanaan pemungutan pajak lebih efektif dan terkontrol. Namun, berbagai pihak meminta agar rencana ini tidak terburu-buru diterapkan sebelum ada kajian komprehensif dan keterlibatan semua pihak terkait, khususnya pelaku UMKM. (alf)

 

id_ID